• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Trematoda Hati 2.1.1 Fasciola hepatica a. Morfologi dan Daur Hidup - Prevalensi Kasus Infeksi Trematoda Di Jaringan Hati Sapi Pada Rumah Potong Hewan Di Medan Mabar Taun 2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Trematoda Hati 2.1.1 Fasciola hepatica a. Morfologi dan Daur Hidup - Prevalensi Kasus Infeksi Trematoda Di Jaringan Hati Sapi Pada Rumah Potong Hewan Di Medan Mabar Taun 2012"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Trematoda Hati

2.1.1 Fasciola hepatica

a. Morfologi dan Daur Hidup

Cacing dewasa mempunyai bentuk pipih seperti daun, besarnya ± 30x13

mm. Bagian anterior berbentuk seperti kerucut dan pada puncak kerucut terdapat

batil isap mulut yang besarnya ±1 mm, sedangkan pada bagian dasar kerucu

terdapat batil isap perut yang besarnya ±1,6 mm. Saluran pencernaan bercabang –

cabang sampai ke ujung distal sekum. Testis dan kelenjar vitelin juga bercabang –

cabang (Sutanto et al, 2008).

Gambar 2.1. Telur Fasciola hepatica (Sumber : CDC, 2012)

Telur cacing ini berukuran 140x90 mikron, dikeluarkan melalui saluran

empedu ke dalam tinja dalam keadaan belum matang. Telur menjadi matang

dalam air selama 9-15 hari dan berisi mirasidium. Telur kemudian menetas dan

mirasidium keluar mencari keong air (Lymnaea spp). Serkaria keluar dari keong air dan berenang mencari hospes perantara II, yaitu tumbuh-tumbuhan air dan

(2)

Gambar 2.2 Fasciola hepatica (Sumber : CDC, 2012)

Bila tertelan, metaserkaria menetas dalam usus halus binatang yang

memakan tumbuhan air tersebut, menembus dinding usus dan bermigrasi dalam

ruang peritoneum hingga menembus hati. Larva masuk ke saluran empedu dan

menjadi dewasa (Sutanto et al, 2008).

(3)

b. Epidemiologi

Suweta (1985) berpendapat bahwa faktor - faktor yang berperan di dalam

epidemiologi cacing tersebut adalah :

1.Luasnya wilayah penyebaran telur cacing hati di lapangan oleh pencemaran

ternak peliharaan dan binatang menyusui lainnya.

2.Kondisi lingkungan tempat tersebarnya telur cacing.

3.Penyebaran siput hospes intermedier di lapangan dan situasi/kondisi lapangan

tempat tersebarnya siput.

4.Tingkat perkembangan cacing di dalam tubuh siput dan jumlah serkaria yang

dapat berkembang sampai siap keluar tubuh siput.

5. Jumlah serkaria dan kondisi lapangan tempat tersebarnya serkaria.

6. Cara menggembalakan ternak

2.1.2 Clonorchis sinensis

a. Morfologi dan Daur Hidup

Ukuran cacing dewasa 10-25 mm x 3-5 mm, bentuknya pipih, lonjong,

menyerupai daun. Telur berukuran kira – kira 30x16 mikron, bentuknya seperti

bola lampu pijar dan berisi mirasidium, ditemukan dalam saluran empedu

(Sutanto et al, 2008).

Gambar 2.4 Telur Clonorchis sinensis (Sumber : CDC, 2012)

Telur dikeluarkan dengan tinja. Telur menetas bila dimakan keong air.

Kemudian mirasidium pada tubuh keong air berkembang menjadi sporokista,

(4)

yaitu ikan. Setelah menembus tubuh ikan, serkaria melepaskan ekornya dan

membentuk kista di dalam kulit di bawah sisik. Kista ini disebut metaserkaria

(Sutanto et al, 2008).

Gambar 2.5 Clonorchis sinensis (Sumber : CDC, 2012)

Infeksi terjadi dengan makan ikan yang mengandung metaserkaria yang

dimasak kurang matang. Ekskistasi terjadi di duodenum. Kemudian larva masuk

ke duktus koledoktus lalu menuju ke saluran empedu yang lebih kecil dan menjadi

dewasa dalam sebulan. Seluruh daur hidup berlangsung selama tiga bulan

(Sutanto et al, 2008).

(5)

b. Epidemiologi

Kebiasaan makan ikan yang diolah kurang matang merupakan faktor

penting dalam penyebaran kecacingan. Selain itu, cara pemeliharaan ikan dan

cara pembuangan tinja di kolam ikan juga penting (Sutanto et al, 2008).

2.1.3 Opistorchis felineus

a. Morfologi dan Daur Hidup

Ukuran cacing dewasa berukuran 7-12 mm, mempunyai batil isap mulut

dan batil isap perut. Bentuknya seperti lanset, pipih dorsoventral.

Gambar 2.7.Telur Opistorchis felineus (Sumber : CDC, 2012)

Telur Opisctorchis mirip telur C.sinensis, hanya bentuknya lebih langsing. Infeksi terjadi dengan makan ikan yang mengandung metaserkaria dan dimasak kurang

matang (Sutanto et al, 2008).

(6)

Gambar 2.9 Daur Hidup Opistorchis spp (Sumber : CDC, 2012)

2.1.4 Opistorchis viverrini

a. Morfologi dan Daur Hidup

Morfologi dan daur hidup cacing ini mirip dengan Opistorchis felineus. Infeksi terjadi dengan makan ikan mentah yang mengandung metaserkaria

(Sutanto et al, 2008).

(7)

Gambar 2.11 Opistorchis viverrini (Sumber : CDC, 2012)

b. Epidemiologi

Daerah Muangthai timur laut terdapat banyak penderita

kolangiokarsinoma dan hepatoma pada penderita opistorkiasis yang diduga akibat

peradangan pada saluran empedu yang berhubungan dengan cara pengawetan ikan

yang menjadi hospes perantara cacing tersebut (Sutanto et al, 2008).

2.2 Perubahan Patologi Anatomi Hati

Cacing yang hidup di saluran empedu hati seperti Clonorchis, Opisthorchis, dan Fasciola dapat menimbulkan rangsangan dan menyebabkan peradangan saluran empedu, menyebabkan penyumbatan aliran empedu sehingga

menimbulkan ikterus dan akibat lainnya bisa berupa hepatomegali (Sutanto et al, 2008).

(8)

Pada kasus akut ditandai dengan adanya gejala klinis berupa ikterus,

anemia, penurunan berat badan, edema submandibular (bottle jaw), serta perdarahan akibat dari cacing yang memakan jaringan hati (Soulsby, 1986).

Gambar 2.13 Trematoda yang Tampak Setelah Proses Penyayatan

(Sumber :Global FM Jogja, 2012)

Pada kasus kronik ditandai dengan penurunan nafsu akan, anemia, anoreksia,

diare kronis, penurunan berat badan, bottle jaw, cholangitis, dan fibrosis organ hati akibat dari cacing hati dewasa yang hidup dalam buluh empedu (Soulsby,

1986).

Tingkat kerusakan atau perubahan patologi anatomi pada hewan

dipengaruhi oleh jumlah metaserkaria yang termakan oleh ternak, fase

perkembangan cacing di dalam hati, dan spesies inang definitif. Perubahan

patologi di dalam tubuh inang definitif terjadi akibat adanya migrasi cacing di

dalam tubuh. Migrasi diawali dengan penetrasi intestinal (prehepatik) kemudian

sampai ke hati dan akhirnya masuk ke saluran empedu. Migrasi cacing pada organ

hati menyebabkan hemoragi, kerusakan parenkim dan buluh empedu. Buluh

empedu mengalami peradangan, penebalan dan penyumbatan sehingga terjadi

sirosis periportal, peritonitis serta kolesistitis. Secara mikroskopis terjadi

perubahan pada struktur jaringan hati. Perubahan tersebut digolongkan menjadi

dua kelompok yaitu kelompok perubahan akut dan kronis. Pada stadium akut

(9)

empedu, infiltrasi sel radang, serta adanya globula leukosit pada mukosa buluh

empedu. pada stadium kronis tampak fokus-fokus radang granuloma, mineralisasi,

dan fibrosis (Winarsih et al, 1996)

2.3 Prosedur Operasional Standar Pemotongan Hewan di RPH

Pemotongan hewan di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) harus dilakukan

dengan memperhatikan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh pemerintah,

yang dalam hal ini Departemen Pertanian. Penetapan aturan maupun teknis

pelaksanaan pemotongan di RPH dimaksudkan sebagai upaya penyediaan pangan

asal hewan khususnya daging ASUH (aman, sehat, utuh dan halal). Untuk

mendapatkan daging ASUH yang bersumber dari RPH maka sudah seharusnya

RPH memiliki prosedur operasional standar yang dijadikan dasar atau patokan

dalam menyelenggarakan fungsi RPH sebagai tempat pemotongan, pengulitan,

pelayuan dan akhirnya penyediaan daging untuk konsumen (Wahyudi, 2010).

Prosedur operasional standar yang ditetapkan oleh Dirjen Peternakan

Departemen Pertanian adalah sebagai berikut:

a. Tahap Penerimaan dan Penampungan Hewan, prosedur operasional meliputi:

1. Hewan ternak yang baru datang di RPH harus diturunkan dari alat angkut

dengan hati-hati dan tidak membuat hewan stress.

2. Dilakukan pemeriksaan dokumen (surat kesehatan hewan, surat

keterangan asal hewan, surat karantina, dsb).

3. Hewan ternak harus diistirahatkan terlebih dahulu di kandang

penempungan minimal 12 jam sebelum dipotong.

4. Hewan ternak harus dipuasakan tetapi tetap diberi minum kurang lebih 12

jam sebelum dipotong.

5. Hewan ternak harus diperiksa kesehatannya sebelum dipotong

(10)

b. Tahap Pemeriksaan Ante Mortem:

1. Pemeriksaan ante mortem dilakukan oleh dokter hewan atau petugas yang ditunjuk di bawah pengawasan dokter hewan sesuai dengan prosedur yang

ditetapkan (Surat Keputusan Bupati/Walikota/Kepala Dinas).

2. Hewan ternak yang dinyatakan sakit atau diduga sakit dan tidak boleh

dipotong atau ditunda pemotongannya, harus segera dipisahkan dan

ditempatkan pada kandang isolasi untuk pemeriksaan lebih lanjut.

3. Apabila ditemukan penyakit menular atau zoonosis, maka dokter

hewan/petugas yang ditunjuk di bawah pengawasan dokter hewan harus

segera mengambil tindakan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan.

c. Persiapan Penyembelihan/Pemotongan, prosedur operasionalnya:

1. Ruang proses produksi dan peralatan harus dalam kondisi bersih sebelum

dilakukan proses penyembelihan/pemotongan.

2. Hewan ternak harus ditimbang sebelum dipotong.

3. Hewan ternak harus dibersihkan terlebih dahulu dengan air (disemprot air)

sebelum memasuki ruang pemotongan.

4. Hewan ternak digiring dari kandang penampungan ke ruang pemotongan

melalui gang way dengan cara yang wajar dan tidak membuat stress.

d. Penyembelihan:

1. Hewan ternak dapat dipingsankan atau tidak dipingsankan.

2. Apabila dilakukan pemingsaan, maka tata cara pemingsanan harus

mengikuti Fatwa MUI tentang tata cara pemingsanan hewan yang

diperbolehkan.

3. Apabila tidak dilakukan pemingsanan, maka tata cara menjatuhkan hewan

harus dapat meminimalkan rasa sakit dan stress (missal menggunakan

re-straining box).

4. Apabila hewan ternak telah rebah dan telah diikat (aman) segera dilakukan

(11)

leher dengan menggunakan pisau yang tajam sekali tekan tanpa diangkat

sehingga memutus saluran makan, nafas dan pembuluh darah sekaligus.

5. Proses selanjutnya dilakukan setelah hewan ternak benar-benar mati dan

pengeluaran darah sempurna.

6. Setelah hewan ternak tidak bergerak lagi, leher dipotong dan kepala

dipisahkan dari badan, kemudian kepala digantung untuk dilakukan

pemeriksaan selanjutnya.

7. Pada RPH yang fasilitasnya lengkap, kedua kaki belakang pada sendi

tarsus dikait dan dikerek (hoisted), sehingga bagian leher ada di bawah,

agar pengeluaran darah benar-benar sempurna dan siap untuk proses

selanjutnya.

8. Untuk RPH yang tidak memiliki fasilitas hoist, setelah hewan benar-benar

tidak bergerak, hewan dipindahkan ke atas keranda/penyangga karkas

(cradle) dan siap untuk proses selanjutnya.

e. Tahap Pengulitan:

1. Sebelum proses pengulitan, harus dilakukan pengikatan pada saluran

makan di leher dan anus, sehingga isi lambung dan feses tidak keluar dan

mencemari karkas.

2. Pengulitan dilakukan bertahap, diawali membuat irisan panjang pada kulit

sepanjang garis dada dan bagian perut.

3. Irisan dilanjutkan sepanjang permukaan dalam (medial) kaki.

4. Kulit dipisahkan mulai dari bagian tengah ke punggung.

5. Pengulitan harus hati-hati agar tidak terjadi kerusakan pada kulit dan

terbuangnya daging.

f. Pengeluaran Jeroan:

1. Rongga perut dan rongga dada dibuka dengan membuat irisan sepanjang

garis perut dan dada.

2. Organ-organ yang ada di rongga perut dan dada dikeluarkan dan dijaga

(12)

3. Dilakukan pemisahan antara jeroan merah (hati, jantung, paru-paru,

tenggorokan, limpa, ginjal dan lidah) dan jeroan hijau (lambung, usus,

lemak dan esophagus).

g. Tahap Pemeriksaan Post Mortem:

1. Pemeriksaan post mortem dilakukan oleh dokter hewan atau petugas yang ditunjuk di bawah pengawasan dokter hewan.

2. Pemeriksaan postmortem dilakukan terhadap kepala, isi rongga dada dan

perut serta karkas.

3. Karkas dan organ yang dinyatakan ditolak atau dicurigai harus segera

dipisahkan untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.

4. Apabila ditemukan penyakit hewan menular dan zoonosis, maka dokter

hewan/petugas yang ditunjuk di bawah pengawasan dokter hewan harus

segera mengambil tindakan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan.

h. Pembelahan Karkas, dengan tahapan:

1. Karkas dibelah dua sepanjang tulang belakang dengan kampak yang tajam

atau mesin yang disebut automatic cattle splitter.

2. Karkas dapat dibelah dua/empat sesuai kebutuhan.

i. Pelayuan:

1. Karkas yang telah dipotong/dibelah disimpan diruang yang sejuk

2. Karkas selanjutnya siap diangkut ke pasar.

j. Pengangkutan Karkas:

1. Karkas/daging harus diangkut dengan angkutan khusus daging yang

didesain dengan kotak tertutup, sehingga dapat mencegah kontaminasi dari

luar.

2. Jeroan dan hasil sampingannya diangkut dengan wadah dan atau alat

(13)

3. Karkas/daging dan jeroan harus disimpan dalam wadah/kemasan sebelum

disimpan dalam kotak alat angkut.

4. Untuk menjaga kualitas daging dianjurkan alat angkut karkas/daging dan

Gambar

Gambar 2.1. Telur Fasciola hepatica (Sumber : CDC, 2012)
Gambar 2.2 Fasciola hepatica (Sumber : CDC, 2012)
Gambar 2.4 Telur Clonorchis sinensis (Sumber : CDC, 2012)
Gambar 2.5 Clonorchis sinensis (Sumber : CDC, 2012)
+5

Referensi

Dokumen terkait