• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN KEGIATAN ASURANSI A. Usaha Perasuransian - Pertanggungjawaban Agen Asuransi Dalam Penyampaian Informasi Produk Ditinjau Dari Undang-Undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN KEGIATAN ASURANSI A. Usaha Perasuransian - Pertanggungjawaban Agen Asuransi Dalam Penyampaian Informasi Produk Ditinjau Dari Undang-Undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN KEGIATAN ASURANSI

A. Usaha Perasuransian

Usaha perasuransian pada mulanya masuk ke Indonesia pada waktu

penjajahan Belanda yang pada saat itu negara Indonesia masih disebut dengan

Nederlands Indie. Keberadaan asuransi di negara kita sebagai akibat berhasilnya

Bangsa Belanda dalam sektor perkebunan dan perdagangan di negeri jajahannya.

Untuk menjamin kelangsungan usahanya, maka adanya asuransi mutlak

diperlakukan. Dengan demikian usaha perasuransian di Indonesia dapat dibagi

dalam dua kurun waktu yakni zaman penjajahan sampai tahun 1942 dan zaman

sesudah Perang Dunia II atau zaman kemerdekaan. Perusahaan-perusahaan

asuransi yang ada di zaman Hindia Belanda pada zaman penjajahan itu adalah :

1. Perusahaan-perusahaan yang didirikan oleh orang Belanda

2. Perusahaan-perusahaan yang merupakan kantor cabang dari perusahaan

asuransi yang berkantor pusat di Belanda, Inggris dan negara lainnya.

Dengan sistem monopoli yang dijalankan di Hindia Belanda, perkembangan

asuransi kerugian di Hindia Belanda terbatas pada kegiatan dagang dan

kepentingan bangsa Belanda, Inggris dan bangsa Eropa lainnya sehingga manfaat

dan peranan asuransi belum dikenal oleh masyarakat, terutama oleh masyarakat

(2)

Jenis asuransi yang telah diperkenalkan di Hindia Belanda pada waktu itu

masih sangat terbatas dan sebagian besar terdiri dari asuransi kebakaran dan

pengangkutan. Asuransi kendaraan bermotor masih belum memegang peran

karena jumlah kendaraan bermotor sangat sedikit dan hanya dimiliki oleh Belanda

dan bangsa asing lainnya.

Pada zaman penjajahan tidak tercatat adanya perusahaan asuransi kerugian

satupun. Selama terjadinya Perang Dunia II kegiatan perasuransian di Indonesia

praktis berhenti, terutama karena pemisahan perusahaan asuransi milik Belanda

dan Inggris.

Setelah Perang Dunia II usai, perusahaan-perusahaan Belanda dan Inggris

kembali beroperasi di negara yang sudah merdeka ini. Sampai tahun 1964 pasar

industri asuransi di Indonesia masih dikuasai oleh perusahaan asing terumata

Belanda dan Inggris. Pada awal mulanya beroperasi di Indonesia mereka

mendirikan sebuah badan yang disebut “Bataviasche Verzekerings Unie” (BVU)

pada tahun 1946 yang melakukan kegiatan asuransi secara kolektif. Kemudian

mulailah bermunculan berbagai perusahaan asuransi baik lokal maupun asing di

Indonesia hingga saat ini.7

Usaha perasuransian di Indonesia terus berkembang sehingga menjadi salah

satu kegiatan usaha yang diatur oleh pemerintah karena di dalamnya merupakan

kegiatan yang berkaitan dengan pengumpulan dana masyarakat. Usaha

perasuransian ini telah disahkan pada tanggal 11 Februari 1992 yaitu

Undang-7

(3)

Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (selanjutnya disingkat

dengan UUUP).8

Peraturan mengenai usaha perasuransian tersebut merupakan hukum publik

yang mengatur kegiatan usaha perasuransian, sedangkan perjanjian yang timbul

sehubungan dengan kontrak asuransi diatur tersendiri di dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) yang merupakan hukum privat.9

Menurut UUUP, kegiatan asuransi merupakan salah satu kegiatan

menghimpun dana masyarakat yang pada akhirnya akan dikembalikan kepada

masyarakat dalam bentuk manfaat asuransi. Meskipun sama-sama menghimpun

dana, kegiatan perasuransian tidak sama dengan kegiatan perbankan. Salah satu

perbedaan yang sangat prinsip dan mencolok adalah jika konsumen akan

mendapatkan bunga setelah uang tersebut disimpan di bank selama beberapa hari,

bulan, bahkan tahun. Sebaliknya, apabila konsumen menggunakan uangnya untuk

membayar premi asuransi jiwa selama masa pertanggungan, kompensasinya

adalah konsumen mendapatkan manfaat asuransi jiwa berupa proteksi selama

masa pertanggungan dan sejumlah uang pertanggungan pada waktu berakhirnya

masa pertanggungan.10

Asuransi atau pertanggungan merupakan suatu perjanjian yang mengikat antara pihak penanggung dengan pihak yang tertanggung yang mana dalam hal ini pihak penanggung akan menerima premi asuransi dari pihak tertanggung yang sebagai gantinya pihak tertanggung akan mendapatkan tanggung jawab dari pihak penanggung atas terjadinya suatu kerugian, kerusakan, kehilangan keuntungan

8

Usaha Perasuransian,

2014).

9

Asuransi,

10

(4)

yang diharapkan yang merupakan suatu peristiwa yang tidak dapat diduga sebelumnya.11

Bahan pertanggungan atau yang dikatakan sebagai obyek asuransi adalah hal-hal yang dapat ditanggung oleh pihak penanggang adalah berupa benda-benda yang dimiliki oleh pihak tertanggung, jasa pihak tertanggung, jiwa dan raga pihak tertanggung serta materil yang hilang dikarenakan oleh suatu kejadian yang merugikan pihak tertanggung dan kerusakan yang bukan disengaja. Sebagai contoh adalah sebuah kecelakaan mobil yang mengakibatkan mobil tersebut hancur. Apabila mobil tersebut sebelumnya telah diasuransikan, maka mobil itu menjadi tanggungjawab pihak penanggung.12

Perusahaan Perasuransian adalah Perusahaan Asuransi yang bergerak dibidang Kerugian, Jiwa, Reasuransi, Pialang Asuransi, Pialang Reasuransi, Agen Asuransi, Penilai Kerugian Asuransi dan Perusahaan Konsultas Aktuaria.13 Usaha Perasuransian dibagi menjadi 2 (dua) sesuai dengan penjabaran diatas, yaitu :14 1. Usaha Asuransi

a. Usaha Asuransi Kerugian, yaitu usaha yang memberikan jasa dalam

penanggulangan resiko atas kerugian, dan tanggung jawab hukum kepada

pihak ketiga, yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti.

b. Usaha Asuransi Jiwa, yaitu usaha yang memberikan jasa dalam

penanggulangan resiko yang dikaitkan dengan hidup atau meninggalnya

seseorang yang dipertanggungkan.

c. Usaha Reasuransi, yaitu usaha yang memberikan jasa dalam

pertanggungan ulang terhadap resiko yang dihadapi oleh perusahaan

asuransi kerugian dan atau perusahaan asuransi jiwa.

2. Usaha Penunjang Usaha Asuransi

11

Republik Indonesia, Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Pengertian Asuransi

atau Pertanggungan, Pasal 1 ayat (1)

12Ibid,

Pasal 1 ayat (2)

13Ibid

, Pasal 1 ayat (4) 14

Bagaimana Aturan Usaha Perasuransian di Indonesia,

(5)

a. Usaha Pialang Asuransi yaitu usaha yang memberikan jasa keperantaraan

dalam penutupan asuransi dan penanganan penyelesaian ganti rugi

asuransi dengan bertindak untuk kepetingan tertanggung.

b. Usaha Pialang Reasuransi yaitu usaha yang memberikan jasa

keperantaraan dalam penempatan reasuransi dan penanganan penyelesaian

ganti rugi reasuransi dengan bertindak untuk kepentingan perusahaan

asuransi.

c. Usaha Penilai Kerugian Asuransi, yaitu usaha yang memberikan jasa

penilaian terhadap kerugian obyek asuransi yang dipertanggungkan.

d. Usaha Konsultan Aktuaria, yaitu usaha yang memberikan jasa konsultasi

aktuaria.

e. Usaha Agen Asuransi, yaitu usaha yang memberikan jasa keperantaraan

dalam rangka pemasaran jasa asuransi untuk dan atas nama penanggung.

Hanya terdapat 3 (tiga) badan hukum yang dianggap layak untuk melakukan usaha perasuransian. Ketiga badan hukum tersebut adalah Perusahaan Perseroan (selanjutnya disingkat dengan PERSERO), Koperasi dan Usaha Bersama

(Mutual).15 PERSERO adalah perusahaan yang semua modalnya berbentuk saham, yang jenis peredarannya tergantung jenis saham tersebut.16

Perseroan terbatas diatur pada Pasal 1 undang-undang perseroan terbatas yaitu badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha degan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaanya. Koperasi adalah badan usaha yang

berlandaskan asas-asas kekeluargaan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian yang menegaskan pengertian koperasi pada

Persero adalah suatu bentuk usaha yang berbentuk perseroan terbatas yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

15

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Perusahaan Perasuransian, Pasal 7 ayat (1).

16

(6)

Pasal 1 ayat (1) yaitu badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan. Lain pula dengan Usaha Bersama (Mutual) yang merupakan badan usaha namun peraturan undang-undangnya belum ada, untuk sementara ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk usaha bersama akan diatur dengan Peraturan

Pemerintah.17 Usaha bersama (mutual) dapat dikategorikan sebagai persekutuan perdata (maatschap). Di dalam hal kepemilikan perusahaan perasuransian, perusahaan perasuransian hanya dapat didirikan oleh :18

1. Warga Negara Indonesia (WNI) dan atau badan hukum Indonesia yang

sepenuhnya dimiliki warga negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia

2. Perusahaan perasuransian yang pemiliknya sebagaimana dimaksud dalam

angka 1, dengan perusahaan perasuransian yang tunduk pada hukum asing

Setiap pihak yang melakukan usaha perasuransian wajib mendapatkan izin usaha dari menteri, kecuali bagi perusahaan yang menyelanggarakan Program Asuransi Sosial.19 Program asuransi sosial adalah suatu program yang merupakan turun tangan dari pemerintah yang bersifat memberikan perlindungan bagi masyarakat.20 Hal-hal yang perlu diperhatikan untuk mendapatkan izin usaha butuh memenuhi beberapa persyaratan mengenai :21

a. Anggaran dasar

b. Susunan organisasi

c. Permodalan

d. Kepemilikan

e. Keahlian di bidang perasuransian

f. Kelayakan rencana kerja

17

Republik Indonesia, Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Perusahaan Perasuransian, Pasal 7 ayat (3).

18

Ibid

19

Ibid, Pasal 9 ayat (1). 20

Jenis Badan Usaha Indonesia, www.akademiasuransi.org (diakses tanggal 21 Juli 2014). 21

(7)

g. Hal-hal lain yang diperlukan untuk mendukung pertumbuhan usaha

perasuransian secara sehat

Selain dalam perlunya suatu perizinan dalam usaha perasuransian, suatu usaha perasuransian membutuhkan pengawasan yang wajib dilakukan oleh menteri.22 Hal-hal didalam usaha perasuransian yang memerlukan pembinaan dan pengawasan meliputi:23

1. Kesehatan keuangan bagi perusahaan asuransi kerugian, perusahaan

asuransi jiwa dan perusahaan reasuransi, yang terdiri dari:

a. Batas tingkat solvabilitas;

b. Retensi sendiri;

c. Reasuransi;

d. Investasi;

e. Cadangan teknis; dan

f. Ketentuan-Ketentuan lain yang berhubungan dengan kesehatan

keuangan;

2. Penyelenggaraan usaha, yang terdiri dari:

a. Syarat-syarat polis asuransi;

b. Tingkat premi;

c. Penyelesaian klaim;

d. Persyaratan keahlian di bidang perasuransian; dan

e. Ketentuan-ketentuan lain yang berhubungan dengan penyelenggaraan

usaha;

Segala hal yang mengatur masalah perusahaan perasuransian telah diatur, namun apabila dalam suatu hal terdapat pelanggaran terhadap ketentuan dalam

22

Ibid , Pasal 10.

23

(8)

undang-undang ini atau peraturan pelaksanaanya, menteri dapat melakukan tindakan berupa pemberian peringatan, pembatasan kegiatan usaha, atau

pencabutan izin usaha,24 namun tetap memiliki tahapan yang berstruktur dengan tahapan pelaksanaan yang utama yaitu pemberian peringatan, yang kedua

pembatasan kegiatan usaha dan yang terakhir adalah pencabutan izin usaha,25 oleh sebab itu sebab itulah sebelum sampai pada tahapan akhir, menteri dapat

memerintahkan perusahaan yang bersangkutan untuk menyusun rencana dalam rangka mengatasi penyebab dari pembatasan kegiatan usahanya,26 dan pada akhirnya pencabutan izin usaha tersebut akan diumumkan oleh menteri dalam surat kabar harian di Indonesia yang memiliki peredaran luas.27

B. Perlindungan Konsumen Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

Pembangunan perekonomian nasional pada era globalisasi harus dapat

mendukung tumbuhnya dunia usaha sehingga mampu menghasilkan beraneka

barang dan/atau jasa yang, memiliki kandungan teknologi yang dapat

meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak dan sekaligus mendapatkan

kepastian atas barang dan/atau jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa

mengakibatkan kerugian konsumen.

Konsumen perlu meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian,

kemampuan dan kemandirian untuk melindungi dirinya serta

menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggungjawab. Perlindungan

konsumen semakin banyak dibicarakan, hal ini disebabkan selama masih banyak

konsumen yang dirugikan, masalahnya tidak akan pernah tuntas sehingga masalah

perlindungan konsumen perlu diperhatikan.

(9)

Hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen

yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan juga

mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen. Berbicara tentang

hukum perlindungan konsumen maka kita harus pula membicarakan tentang

UUPK. UUPK lahir sebagai jawaban atas pembangunan dan perkembangan

perekonomian dewasa ini. Konsumen sebagai motor penggerak dalam

perekonomian kerap kali berada dalam posisi lemah atau tidak seimbang bila

dibandingkan dengan pelaku usaha dan hanya menjadi alat dalam aktivitas bisnis

untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha.

Ketentuan yang menyatakan bahwa semua undang-undang yang ada dan

berkaitan dengan perlindungan konsumen tetap berlaku, sepanjang tidak

bertentangan atau telah diatur khusus oleh undang-undang sehingga haruslah

dipelajari juga peraturan perundang-undangan tentang konsumen dan/atau

perlindungan konsumen ini dalam kaidah-kaidah hukum peraturan

perundang-undangan umum yang mungkin atau dapat mengatur dan/atau melindungi

hubungan dan/atau masalah konsumen dengen penyedia barang dan jasa. Sebagai

akibat dari penggunaan peraturan perundang-undangan umum ini, dengan

sendirinya berlaku pula asas-asas hukum yang terkandung di dalamnya pada

berbagai pengaturan dan/atau perlindungan konsumen tersebut yang menyebabkan

di antara asas hukum tersebut tidak cocok untuk memenuhi fungsi pengaturan

dan/atau perlindungan pada konsumen, tanpa setidak-tidaknya

(10)

Pembatasan dimaksudkan dengan tujuan “menyeimbangkan kedudukan” di antara

para pihak pelaku usaha dan/atau konsumen bersangkutan.28

Hukum perlindungan konsumen dirancang dengan asas dan tujuan yang

jelas, bahwa perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan,

keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum,29 yang mana perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama

berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu:30 1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam

menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat

sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara

keseluruhan

2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan

secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku

usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil

3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara

kepentingan konsumen, pelaku usaha , dan pemerintah dalam arti materiil dan

spiritual

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan

jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan,

pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau

digunakan

28

Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta : Diadit Media, 2001), hlm. 30. 29

Republik Indonesia, Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Perusahaan Perasuransian, Pasal 2

30

(11)

5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen

menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan

perlindungan konsumen serta negara menjamin kepastian hukum

Hukum ekonomi mempersoalkan hubungan antara hukum dan

kegiatan-kegiatan ekonomi, maka asas lain yang juga patut mendapat perhatian adalah

asas-asas yang berlaku dalam aspek kegiatan ekonomi tersebut. Dalam kegiatan

ekonomi yang sangat terkenal yaitu upaya mendapatkan keuntungan

sebesar-besarnya dengan biaya yang sekecil-kecilnya. Berangkat dari hal ini, maka dalam

hukum ekonomi juga berlaku asas “maksimalisasi” dan asas “efisiensi”. Melalui

asas ini suatu aturan yang hendak diambil/diterapkan harus mempertimbangkan

sesuatu yang lebih menguntungkan secara maksimal bagi semua pihak demikian

pula harus menghindari suatu prosedur yang panjang dalam rangka efisiensi

waktu, biaya dan tenaga.31

Sedangkan dalam tujuannya, perlindungan konsumen memiliki

tujuan-tujuan yang telah dirancang sebaik mungkin, yaitu:32

1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk

melindungi diri

2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya

dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa

3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan

menuntut hak-haknya sebagai konsumen

31

Ibid, hlm. 31. 32

(12)

4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur

kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan

informasi

5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan

konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam

berusaha

6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan

usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan

keselamatan konsumen

Dalam esensialnya dapat diambil bahwa alasan yang dapat dikemukakan

untuk menerbitkan peraturan perundang-undangan secara khusus mengatur dan

melindungi kepentingan konsumen dapat disebutkan sebagai berikut:33

1. Konsumen memerlukan pengaturan tersendiri, karena dalam suatu hubungan

hukum dengan penjual, konsumen merupakan pengguna barang dan jasa untuk

kepentingan diri sendiri dan tidak untuk diproduksi ataupun diperdagangkan

2. Konsumen memerlukan sarana atau secara hukum tersendiri sebagai upaya

guna melindungi atau memperoleh haknya.

Di samping UUPK, hukum konsumen ditemukan di dalam berbagai

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebelumnya, telah diuraikan bahwa

Undang-Undang Perlindungan Konsumen berlaku setahun sejak disahkannya

(tanggal 20 April 2000) dan ditambah dengan ketentuan Pasal 64 (Ketentuan

Peralihan) undang-undang ini, berarti untuk membela kepentingan konsumen,

33

(13)

masih harus dipelajari semua peraturan perundang-undangan umum yang berlaku.

Tetapi peraturan perundang-undangan ini tidak khusus diterbitkan untuk

konsumen atau perlindungan konsumen, setidak-tidaknya ia merupakan sumber

juga dari hukum konsumen dan/atau hukum perlindungan konsumen. Beberapa

diantaranya adalah:34

1. Undang-Undang Dasar dan Ketetapan MPR

Hukum Konsumen, terutama Hukum Perlindungan Konsumen mendapatkan

landasan hukumnya pada Undang-Undang Dasar 1945, Pembukaan , Alinea

ke-4 berbunyi “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah

Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia”. Landasan

hukum lainnya terdapat pada Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945

(UUD 1945). Ketentuan tersebut berbunyi: Tiap warga Negara berhak atas

penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, yang mana penjelasan autentik

Pasal 27 ayat (2) ini berbunyi “Telah jelas, pasal-pasal ini mengenal hak-hak

warga negara.” dan salah satu yang menarik dari TAP-MPR 1993 ini adalah

disusunya dalam satu napas, dalam satu baris kalimat, tentang kaitan produsen

dan konsumen. Susunan kalimat tersebut berbunyi : “...meningkatkan

pendapatan produsen dan melindungi kepentingan konsumen”

2. Hukum Konsumen dalam Hukum Perdata

Dalam hukum perdata yang dimaksudkan hukum perdata dalam arti luas,

termasuk hukum perdata, hukum dagang serta kaidah-kaidah keperdataan yang

termuat dalam berbagai peraturan perundang-undangan lainnya. Kesemuanya

34

(14)

itu baik hukum perdata tertulis maupun hukum perdata tidak tertulis. Seperti

penjelasannya, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) ,

terutama dalam buku kedua, ketiga dan keempat. Kitab Undang-Undang

Hukum Dagang (KUHD), Buku Kesatu dan Buku Kedua. Lalu, berbagai

peraturan perundang-undangan lain yang memuat kaidah-kaidah hukum

bersifat perdata tentang subjek-subjek hukum, hubungan hukum dan masalah

antara penyedia barang atau penyelenggara jasa tertentu dan konsumen.

3. Hukum Konsumen dalam Hukum Publik

Dengan hukum publik dimaksudkan hukum yang mengatur hubungan antara

negara dan alat-alat perlengkapannya atau hubungan antara negara dengan

perorangan. Termasuk hukum publik dan terutama dalam kerangka hukum

konsumen dan/atau hukum perlindungan konsumen, adalah hukum

administrasi negara, hukum pidana, hukum acara perdata dan/atau hukum acara

pidana dan hukum internasional khususnya hukum perdata internasional.

Ketentuan hukum administrasi , misalnya menentukan bahwa pemerintah

melakukan pengaturan dan pembinaan rumah susun dan pengawasan terhadap

pelaksanaan undang-undang (termuat dalam Pasal 4 ayat (1) dan pasal 20 ayat

(1) Undang-Undang tentang Rumah Susun, Undang-Undang Nomor 16 Tahun

1985 LN Tahun 1985 No.75. Selanjutnya dalam Undang-Undang Kesehatan,

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992, Pasal 73 ditentukan “ Pemerintah

melakukan pembinaan terhadap semua kegiatan yang berkaitan dengan

penyelenggaraan upaya kesehatan”. Dari peraturan perundang-undangan

(15)

menjalankan tindakan administratif berupa pengawasan dan pembinaan

terhadap pelaku usaha dengan perilaku tertentu dalam melaksanakan

undang-undang tersebut.

Ketentuan dasarnya, perlindungan konsumen adalah segala upaya yang

menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada

konsumen.35 Pihak-pihak yang terkait didalam hal ini adalah konsumen dan pelaku usaha. Konsumen yaitu setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang

tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain

maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.36 Sebagai konsumen tentunya memiliki hak dan kewajiban. Hak konsumen, sebagaimana

tertuang dalam Pasal 4 UUPK adalah:37

1. Hak atas kenyamanan dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau

jasa;

2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau

jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang

dijanjikan;

3. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan

barang dan/atau jasa;

4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang

digunakan

35

Republik Indonesia, Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 1 ayat (1)

36

Ibid, Pasal 1 ayat (2)

37

(16)

5. Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan dan upaya penyelesaian

sengketa perlindungan konsumen secara patut;

6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

7. Hak untuk diperlakukan dan dilayani secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif;

8. Hak untuk mendapatkan kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian, apabila

barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak

sebagaimana mestinya;

9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya;

Apabila hak-hak tersebut diakui oleh Undang-Undang yang mana berarti

berlaku hanya di Indonesia, bukan berarti secara Internasional konsumen tidak

memiliki hak terhadap suatu barang dan jasa. Terdapat 4 hak dasar yang diakui

secara internasional, yang mana secara umum 4(empat) hak dasar konsumen,

yaitu:38

1. Hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety)

2. Hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed)

3. Hak untuk memilih (the right to choose)

4. Hak untuk didengar (the right to be heard)

Pada prinsipnya, apabila adanya suatu hak maka ada suatu kewajiban.

Dalam hal inilah yang menjadi kewajiban konsumen, yaitu:39

1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau

pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;

38

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta : Grasindo,2000), hlm. 16-27. 39

(17)

2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;

3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara

patut

Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang

berbentuk hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan

dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun

bersama-sama melalui perjanjian penyelenggaraan kegiatan usaha dalam berbagai bidang

ekonomi.40 Namun ternyata tidak hanya konsumen yang memiliki hak di dalam bidang ini, sangatlah jelas bahwa pada dasarnua hak pelaku usaha adalah:41

1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai

kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

2. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang

beritikad baik;

3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum

sengketa konsumen;

4. Hak untuk rehabilitasi nama baik terbukti secara hukum bahwa kerugian

konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan

5. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Sedangkan yang menjadi kewajiban pelaku usaha adalah:42 1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

40

Ibid, Pasal 1 ayat (3) 41

Ibid ,Pasal 6

42

(18)

2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan.atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan

dan pemeliharaan

3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif

4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan

berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku

5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba

barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas

barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan

6. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat

penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang

diperdagangkan

7. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau

jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Tentang kewajiban kedua pelaku usaha yaitu memberikan informasi yang

benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta

memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan, disebabkan karena

informasi merupakan hak konsumen dan juga karena ketiadaan informasi yang

tidak memadai dari pelaku usaha merupakan salah satu jenis cacat produk (cacat

informasi), yang akan sangat merugikan konsumen.43

43

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), hlm. 44.

(19)

yang sangat penting, terutama yang jelas dan benar adanya, terlebih karena

menguntungkan dan melindungi kedua belah pihak.

Objek didalam perlindungan konsumen ini adalah barang dan jasa. Barang

adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun

tidak bergerak, dapat dihabiskan meupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat

untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh

konsumen.44 Jasa pada definisinya adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh

konsumen.45 Di dalam memperkenalkan barang dan jasa tersebut perlu dilakukan adanya promosi, yaitu kegiatan pengenalan atau penyebarluasan informasi suatu

barang dan/atau jasa untuk menarik minat beli konsumen terhadap barang

dan/atau jasa yang akan dan sedang diperdagangkan,46 Promosi tersebut sangatlah penting dalam proses penyebaran informasi yang dari pengertiannya sendiri dapat

kita ambil fungsinya sendiri yaitu agar masyarakat tahu mengenai fungsi dan

tujuan barang dan/atau jasa tersebut. Namun, promosi juga harus mengandung

unsur agar suatu promosi tersebut efektif terhadap penyebaran informasinya

kepada setiap anggota masyarakat, beberapa unsur yang harus ada ialah:47 1. Kegiatan pengenalan atau penyebarluasan informasi

2. Tentang suatu barang dan/atau jasa yang;

a. akan diperdagangkan, dan

44

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ,Pasal 1 ayat (4)

45

Ibid ,Pasal 1 ayat (5)

46

Ibid, Pasal 1 ayat (6) 47

(20)

b. sedang diperdagangkan

3. Tujuan menarik minat beli dari pihak konsumen

Sangatlah wajar apabila harga yang ditawarkan biasanya lebih rendah

daripada harga yang diperdagangkan di tempat lain.48 Hal ini dapat dilihat dari pengertian promosi itu sendiri yang dapat kita ketahui bahwa tujuannya adalah

menarik minat masyarakat, membuat konsumen memperhatikan apa yang sedang

kita promosikan, dan juga mengambil perhatian masyarakat. Semakin besar dan

berkembangnya pasar, maka semakin penting pula suatu perlindungan bagi pihak

konsumen. Perlindungan terhadap konsumen dipandang secara material maupun

formal makin terasa sangat penting, mengingat makin lajunya ilmu pengetahuan

dan teknologi yang merupakan motor penggerak bagi produktivitas dan efisiensi

produsen atas barang dan jasa yang dihasilkannya dalam rangka mencapai sasaran

usaha. Rangka mengejar dan mencapai kedua hal tersebut, akhirnya baik langsung

atau tidak langsung, konsumenlah yang pada umumnya akan merasakan

dampaknya sehingga upaya-upaya untuk memberikan perlindungan yang

memadai terhadap kepentingan konsumen merupakan suatu hal yang penting dan

mendesak untuk segera dicari solusinya, terutama di Indonesia, mengingat

sedemikian kompleksnya permasalahan yang mengangkut perlindungan

konsumen, lebih-lebih menyongsong era perdagangan bebas yang akan datang.49 Pemberian hal-hal yang berkaitan dengan perlindungan yang memadai

terhadap kepentingan konsumen, terdapat lembaga yang dapat menangani segala

hal yang berkaitan dengan perlindungan konsumen, yaitu Lembaga Perlindungan

48

Ibid

49

(21)

Konsumen Swadaya Masyarakat (LPSK) yang memiliki definisi lembaga

non-pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh non-pemerintah yang mempunyai kegiatan

menangani perlindungan konsumen,50 yang sesuai dengan penjelasannya bahwa lembaga ini dibentuk untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya

perlindungan konsumen serta menunjukkan bahwa perlindungan konsumen

menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat.51 Tidak hanya satu badan saja yang wajib dalam pembelaan konsumen, namun ada satu

badan lagi yaitu Badan Perlindungan Konsumen Nasional, yang berfungsi sebagai

badan yang dibentuk untuk membantu upaya pengembangan perlindungan

konsumen,52 tampak bahwa saat ini konsumen tidak perlu lagi merasa takut akan dirugikan di dalam suatu pasar karena kedua lembaga yang disahkan oleh

undang-undang adalah lembaga yang cukup kuat dalam melindungi konsumen. Rumusan

pengertian Badan Perlindungan Konsumen Nasional sebagai badan yang

membantu upaya pengembangan perlindungan konsumen adalah pengertian yang

luas. Sudah tentu hal ini sangat menguntungkan konsumen. Hal tersebut

memperlihatkan kesungguhan pemerintah untuk memberdayakan konsumen dari

kedudukan yang sebelumnya berada pada pihak yang lemah tatkala berhadapan

dengan pelaku usaha yang memiliki bargaining position yang sangat kuat dalam

aspek sosial, ekonomi, bahkan psikologi.53

50

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 1 ayat (9)

51

Ahmad Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : Raja Grafindo Persada,2011), hlm. 17.

52

Republik Indonesia, Op.Cit., Pasal 1 ayat (12). 53

(22)

Berjalannya suatu produk yang akan diperdagangkan kepada konsumen,

untuk memastikan bahwa suatu objek tersebut tidak merugikan kedua-belah

pihak, maka perlu adanya suatu klausula baku yang merupakan setiap aturan atau

ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu

secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau

perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.54 Sebelum lahirnya UUPK, dalam berbagai literatur lebih banyak memperkenalkan istilah “kontrak

baku” atau “standard baku”, kini dalam UUPK menggunakan istilah klausula

baku. Bagi kedua istilah tersebut semuanya benar, mengingat penggunaan istilah

kontrak baku lebih luas yaitu tidak terbatas pada klausula baku yang telah

dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha

didalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi

oleh konsumen, tetapi juga meliputi bentuknya.55 Namun, dalam penggunaan kontrak baku/klausula baku, kebebasan untuk melakukan kontrak serta pemberian

kesepakatan terhadap kontrak tersebut tidak dilakukan sebebas dengan perjanjian

yang dilakukan secara langsung dengan melibatkan pihak dalam menegosiasikan

klausula perjanjian.56

54

Republik Indonesia, Op.Cit., Pasal 1 ayat (10).

Suatu kegiatan usaha pasti erat dengan adanya suatu

sengketa. Selama ini sengketa konsumen diselesaikan melalui gugatan di

pengadilan, namun pada kenyataanya yang tidak dapat dipungkiri bahwa lembaga

pengadilanpun tidak akomodatif untuk menampung sengketa konsumen karena

proses perkara yang terlalu lama dan sangat birokratis. Berdasarkan Pasal 45

UUPK setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui

55

Ahmad Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit., hlm. 18. 56

(23)

lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku

usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.57

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (atau selanjutnya disingkat dengan

BPSK) sebagai badan diluar pengadilan, yang mana memiliki wewenang untuk

menangani dan menyelesaikan segala masalah antara pelaku usaha dan konsumen

yang berhubungan dengan pasar, dimana fungsi ini tampak pada pengertian dasar

BPSK adalah badan yang berfungsi menangani dan menyelesaikan sengketa

antara pelaku usaha dan konsumen.

58

Untuk lebih mengetahui secara jelas Tugas

dan wewenang BPSK, maka diuraikan secara sistematis bahwa tugas dan

wewenang BPSK meliputi:59

1. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan

cara melalui mediasi, arbitrasi atau konsiliasi;

2. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen;

3. Pengawasan klausul baku;

4. Melapor kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran undang-undang

ini;

5. Menerima pengaduan dari konsumen, lisan maupun tertulis, tentang

dilanggarnya perlindungan konsumen

6. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa konsumen

7. Memanggil pelaku usaha pelanggar

57

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), hlm. 126.

58

Republik Indonesia, Op.Cit., Pasal 1 ayat (11) 59

(24)

8. Menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap

mengetahui pelanggaran itu

9. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan mereka tersebut huruf g

apabila tidak mau memenuhi panggilan

10. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen atau alat-alat bukti

lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan

11. Memutuskan dan menetapkan ada tidaknya kerugian konsumen

12. Memberitahukan keputusan kepada pelaku usaha pelanggaran undang-undang

13. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha pelanggar

undang-undang

Pengertian BPSK baru memberikan makna apabila dihubungkan dengan

substansi penjelasannya, sehingga pengertian tersebut seharusnya

menyatakan,”Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan yang

menangani dan menyelesaikan sengketa di luar pengadilan antara pelaku usaha

dan konsumen secara efisien, cepat, murah dan profesional”.60 Penyelesaian sengketa melalui BPSK hanya menerima perkara yang nilai kerugiannya kecil,

yang mana pemeriksaannya dilakukan oleh hakim tunggal dan kehadiran penuh

pihak ketiga (pengacara) sebagai wakil pihak yang bersengketa tidak

diperkenankan. Putusan dari BPSK tidak dapat dibanding kecuali bertentangan

dengan hukum yang berlaku.61

60

Ahmad Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit., hlm. 20. 61

(25)

C. Peranan Pemerintah Untuk Melindungi Konsumen di dalam Industri Asuransi Menurut UU No 2 tahun 1992

Perlindungan hukum terhadap nasabah asuransi dijelaskan dalam Pasal 2

huruf a Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, yang

berbunyi : “Usaha asuransi yaitu usaha jasa keuangan yang dengan menghimpun

dana masyarakat melalui pengumpulan premi asuransi memberikan perlindungan

kepada anggota masyarakat pemakai jasa asuransi terhadap kemungkinan

timbulnya kerugian karena suatu peristiwa yang tidak pasti atau terhadap hidup

atau meninggalnya seseorang.”

Perlindungan hukum terhadap nasabah asuransi yang dijelaskan dalam

UUUP masih tergolong belum jelas, karena di dalam undang-undang tersebut

tidak menyebutkan secara rinci mengenai perlindungan hukum yang seperti apa

yang diberikan kepada nasabah asuransi berkaitan dengan hak dan kewajiban

yang seharusnya diterima oleh nasabah sebagai pihak pemakai jasa asuransi yang

pada dasarnya memiliki hak dan kewajiban dalam mendapatkan perlindungan

hukum. Penjelasan dalam pasal tersebut mengandung banyak makna yang oleh

sebagian besar orang memiliki pemahaman yang berbeda. Hal yang sangat wajar

apabila kemudian muncul banyak pertanyaan seputar perlindungan yang

bagaimana dan seperti apa yang dimaksudkan di dalam UUUP ini.62

Pelaksanaan perlindungan yang dijelaskan dalam UUUP perlu diselaraskan

dengan undang-undang lain yang memiliki keterkaitan dan dapat saling

menunjang antara satu dengan yang lainnya, salah satunya adalah UUPK. UUPK

62

Septiana Wahyu Triwidiyanti, “Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Asuransi JS. Proteksi Extra Income Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha

Perasuransian (Studi di PT. Asuransi Jiwasraya),”(Tesis, Ilmu Hukum, Universitas Negeri

(26)

banyak menyebutkan mengenai perlindungan yang dapat diberikan terhadap

nasabah asuransi dalam kedudukannya sebagai pemakai jasa asuransi.63

Pentingnya peranan usaha perasuransian dalam perekonomian nasional

membuat pemerintah juga ikut mempunyai andil untuk senantiasa menjamin

usaha perasuransian yang berkelanjutan demi melindungi hak-hak setiap

nasabahnya yang dibuktikan dengan adanya ketentuan yang sudah diatur secara

baik dan mendetail sebagai landasan dari kegiatan usaha perasuransian di

Indonesia, meliputi:64

1. Persyaratan bagi direksi dan komisaris untuk dinilai kemampuan dan

kepatutannya;

2. Persyaratan bagi perusahaan asuransi untuk memperkerjakan secara tetap

tenaga ahli yang berkualifikasi sesuai bidang asuransi yang memberikan

petunjuk perusahaan dikelola secara profesional;

3. Pengaturan meneganai batas tingkat solvabilitas minimum perusahaan;

4. Kewajiban Perusahaan Asuransi untuk diaudit laporan keuangannya oleh

Akuntan Publik;

5. Kewajiban untuk memiliki dukungan reasuransi;

6. Ketentuan dasar dalam penyusunan polis.

Perlindungan hukum terhadap nasabah perusahaan asuransi pada dasarnya

sudah ada sejak diterbitkannya polis asuransi melalui Keputusan Menteri

63

Ibid, hlm. 15. 64

Istikhomah Dika Romadhona, “Kajian Yuridis Terhadap Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Pengajuan Permogonan Pernyataan Pailit bagi Perusahaan Asuransi Berkaitan

Dengan Perlindungan Hukum Nasabah,”

(27)

Keuangan RI Nomor. 225/KMK.017/1993 tentang Penyelenggaraan Perusahaan

Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Selain itu untuk lebih menjamin hak dan

kewajiban para pihak agar dapat terlaksana dengan baik pemerintah juga

mengeluarkan kebijakan melalui

bahwa: Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dilarang melakukan

tindakan yang dapat memperlambat penyelesaian atau pembayaran klaim, atau

tidak melakukan tindakan, yang seharusnya dilakukan yang dapat mengakibatkan

kelambatan penyelesaian atau pembayaran klaim.

Kepailitan di perusahaan asuransi menyebabkan kepentingan nasabah juga

dilindungi secara mutlak, meskipun perlindungan hukum tersebut hanya

menyangkut kedudukan hukum nasabah ketika terjadi kepailitan perusahaan

asuransi. Pasal 20 ayat (2) UUUP menyebutkan bahwa : “Hak pemegang polis

atas harta kekayaan Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Asuransi

Jiwa yang dilikuidasi merupakan hak utama”

Likuidasi tidak berbeda dengan kepailitan, karena akhir dari kepailitan bisa

berakhir dengan kepailitan ataupun sebaliknya. Jika suatu perusahaan asuransi

telah dinyatakan pailit, maka kedudukan nasabah perusahaan asuransi merupakan

kreditur prefere yaitu kreditur yang oleh undang-undang, semata-mata karena sifat

piutangnya, mendapatkan pelunasan terlebih dahulu. Kreditur preferen merupakan

kreditur yang mempunyai hak istimewa, yaitu suatu hak yang oleh

(28)

daripada orang berpiutang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya

sebagaimana Pasal 1134 KUHPerdata.

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang Pasal 55 ayat (1) dinyatakan bahwa: “Dengan tetap

memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 56, pasal 57 dan

pasal 58, setiap kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan,

hipotek atau hak guna atas kebendaan lainnya dapat mengeksekusi haknya

seolah-olah tidak terjadi kepailitan”. Sehingga nasabah dari perusahaan asuransi

yang telah dijatuhi pailit berhak untuk mengajukan tuntutan pemenuhan

kewajiban pembayaran utang terhadap perusahaan asuransi yang bersangkutan

Referensi

Dokumen terkait

Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual

It was subse- quently demonstrated that lithium also increases bcl-2 levels in C57BL/6 mice (Chen et al 2000), and in human neuroblastoma SH-SY5Y cells in vitro (Manji et al 2000b);

Rincian butir kegiatan yang terkait dengan sub unsur Analisis dalam rangka perumusan dan evaluasi Kebijakan Kepabeanan dan Cukai serta melakukan pengujian kompetensi

Tujuan dari pembuatan tugas akhir ini adalah memanfaatkan teknologi Red5 untuk mengembangkan sebuah sistem video conference yang berbasis web. Dengan hadirnya ini,

Kondisi lingkungan yang kurang sesuai disiasati oleh petani dengan menanam kultivar lokal berumur dalam yang toleran dengan lingkungan pada musim yang sesuai selama 6-7

Elemen Biaya Langsung yaitu biaya pembelian kain yang menjadi bahan baku utama perusahaan.. Beban Gaji Buruh dan uang makan adalah biaya tenaga kerja

Universitas Negeri

[r]