• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Stroke 2.1.1 Defenisi Stroke - Dukungan Pasangan dalam Merawat Pasien Stroke yang Mengalami Disabilitas Fungsional di Rumah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Stroke 2.1.1 Defenisi Stroke - Dukungan Pasangan dalam Merawat Pasien Stroke yang Mengalami Disabilitas Fungsional di Rumah"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Stroke

2.1.1 Defenisi Stroke

WHO mendefinisikan stroke adalah terjadinya gangguan fungsional otak fokal maupun global secara mendadak dan akut yang berlangsung lebih dari 24 jam akibat gangguan aliran darah otak. Stroke sering menyebabkan cacat berupa kelumpuhan anggota gerak, gangguan bicara, proses berpikir, daya ingat dan bentuk-bentuk kecacatan yang lain sebagai akibat gangguan fungsi otak.

Black dan Hawks (2005) mengatakan bahwa stroke adalah perubahan neorulogis yang diakibatkan oleh interupsi aliran darah menuju kebagian – bagian otak tertentu. Stroke adalah gangguan aliran darah ke otak secara tiba-tiba atau mendadak (Stroke, center, 2017).

(2)

2.1.2 Etiologi stroke

1. Trombosis serebral

Trombosis ini terjadi pada pembuluh darah yang mengalami oklusi sehingga menyebabkan iskemia jaringan otak yang dapat menimbulkan edema dan kongesti di sekitarnya. Trombosis dapat terjadi akibat aterosklerosis, hiperkoagulasi pada polisitemia, arteristis (radang pada arteri) dan emboli.

2. Hemoragi (perdarahan)

Pendarahan intrakraminal atau intraserebral temasuk perdarahan dalam ruang subaraknoid atau kedalam jaringan otak sendiri sebagai akibat dari pecahnya pembuluh darah. Pecahnya pembuluh darah diakibatkan oleh adanya aterosklerosis dan hipertensi. Pecahnya pembuluh darah otak yang dapat mengakibatkan penekanan, pergeseran, dan pemisahan jaringan otak yang berdekatan, sehingga otak akan membengkak, jaringan otak tertekan, sehingga terjadi infark otak, edema dan mungkin herniasi otak.

3. Hipoksia umum

(3)

4. Hipoksia setempat

Hipoksia setempat diakibatkan oleh spasme arteri serebral yang disertai perdarahan subaraknoid dan vasokonstriksi arteri otak disertai sakit kepala migren.

Hudak, dkk. (1996) menyatakan bahwa stroke biasanya terjadinya disebabkan oleh salah satu dari empat kejadian dibawah, yaitu:

a. Trombosis bekuan darah didalam pembuluh darah otak atau leher, yaitu kemudian menyumbat darah aliran darah otak. Trombosis bersama dengan emboli hampir menjadi penyebab sekitar tiga perempat dari semua kasus stroke

b. Emboli serebral yaitu bekuan darah atau lainnya seperti lemak yang mengalir melalui pembuluh darah di bawa ke otak dan menyumbat aliran darah kebagian otak tertentu.

c. Spasme pembuluh darah serebral yaitu terjadi penurunan aliran darah ke area otak tertentu yang bersifat sementara. Biasanya akibat dari spasme pembuluh darah otak tertentu.

(4)

Faktor resiko terjadinya stroke terbagi atas dua yaitu faktor resiko yang dapat dimodifikasi dan tidak dapat dimodifikasi. Faktor resiko yang dapat dimodifikasi diantaranya adalah gaya hidup. Bebepara penyakit yang diakibatkan oleh perubahan gaya hidup dan dapat menyebabkan terjadinya stroke yaitu hipertensi, diabetes militus, ganguan jantug (miokardium infark) dan hiperlepidemia. Hipertensi merupakan faktor resiko tertinggi terjadinya stroke. Autoregulasi serebral tidak efektif bila tekanan darah sistemik dibawah 50 mmHg dan diatas 160 mmHg (LeMone & Burke, 2008). Pengontrolan tekanan darah yang adekut dapat menurunkan serangan stroke sebesar 38% (Biller & Love, 2000, dalam Black & Hawks, 2005). Diabetes Militus (DM) merupakan faktor resiko yang dapat meningkatkan kejadian stroke dan kematian setelah serangan stroke (Ignativius & Workman, 2006).

Faktor resiko stroke lainnya yang dapat dimodifikasi yaitu hiperlipidemia, merokok, pemakai alkohol, pemakai kokain dan kegemukan. Hasil penelitian menunjukan bahwa peminum alkohol berat dapat meningkatkan kejadian stroke, tetapi peminum alkohol ringan dan sedang dapat mencegah stroke berulang (Reynolds, 2003, dalam Black & Hawks, 2005).

(5)

2.1.3 Klasifikasi

Menurut Lumbantobing, (2004) menyatakan bahwa secara umum stroke dapat terbagi atas dua bagian yaitu stroke iskemik dan stroke hemoragik. Stroke dapat diklasifikasikan dengan beberapa jenis dari kedua bagian besar stroke tersebut yaitu :

1) Stroke Iskemik

Menurut Lumbantobing, (2004) stroke iskemik secara patofisiologis adalah kematian jaringan otak karena pasokan darah yang tidak mencukupi. Stroke iskemik disebabkan penggumpalan darah.Penyebab utamanya adalah aterosklerosis pembuluh darah dileher dan kepala.Stroke iskemik terdiri dari :

a) Stroke Iskemik Trombotik: Stroke jenis ini terjadi karena adanya penggumpalan pada pembuluh darah ke otak. Ini terkait dengan hipertensi dan merupakan indikator penyakit ateroklerosis.

b) Stroke Iskemik Embolik: terjadi tidak dipembuluh darah otak, melainkan ditempat lain, seperti jantung. Penggumpalan darah terjadi dijantung, sehingga darah tidak bisa mengaliri oksigen dan nutrisi ke otak.

(6)

salah satu gejala, juga disfagia (sulit menelan), lemahnya kedua kaki, mual, dan ataksia (jalan sempoyongan).

2) Stroke Hemoragik

Ini jenis stroke yang disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah diotak atau pembuluh darah otak bocor. Ini bisa terjadi karena tekanan darah ke otak tiba-tiba meninggi, sehingga menekan pembuluh darah.Stroke hemoragik terdiri dari :

a) Stroke Hemoragik Intraserebral: Pada kasus ini, sebagian besar orang yang mengalaminya bisa menderita lumpuh dan susah diobati. Pada stroke jenis ini pendarahan terjadi didalam otak.Biasanya mengenai basal ganglia, otak kecil, batang otak, dan otak besar.Jika yang terkena didaerah talamus, sering penderitanya sulit dapat ditolong meskipun dilakukan tindakan operatif untuk mengevakuasi perdarahannya.

(7)

Stroke dapat diklasifikasikan menurut etiologi dan perjalanan penyakitnya. a. Klasifikasi stroke menurut etiologinya

1. Stroke non hemoragik adalah stroke yang menimbulkan jaringan otak mengalami iskemik dan berlanjut pada nekrosis. Terjadi karna adanya proses trombosis, emboli dan spasme pembuluh darah otak.

2. Stroke hemoragik adalah stroke yang menimbulkan pendarahan pada intrakarnial seperti intraserebral hemoragik, epidural hematom, subdural hematom, subarachnoid hematom yang disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak baik karna hipertensi yang berlebihan atau pecahnya aniorisma serebral.

b. Klasifikasi stroke menurut perjalan penyakitnya

Stroke diklasifikasikan juga sesuai dengan perjalan penyakitnya. Perjalanan tersebut juga dapat dilihat dari kronologis kejadian awal dan mulainya serangan stroke. Menurut perjalanan penyakitnya, maka stroke dapat diklasifikasikan menjadi :

1. Transient ischemik attacks (TIA)

(8)

2. Reversible ischemik neurologic deficit (RIND)

RIND mirip dengan TIA’s tetapi kejadiannya lebih lama dari pada TIA’s dimana gejala hilang lebuh dari 24 jam tetapi lebih dari satu minggu

3. Stroke progresif (stroke in evalution)

Stroke in evalution merupakan perkembangan stroke kearah yang lebih berat yang terjadi secara perlahan yang dapat menyebabkan kelainan neurologis menetap (permanen) dengan karakteristik seperti: selain gejala TIA’s diatas yang paling menonjol adalah muncul tanda dan gejala makin lama makin bertambah buruk yang dapat terjadi dalam beberapa jam sampai beberapa hari.

4. Stroke komplet (stroke complete)

Stroke komplet atau stroke lengkap adalah stroke yang menunjukkan gangguan neurologis yang permanen sejak awal serangan dan sedikit sekali memperlihatkan perbaikan. Karakteristik utama yang menjadi kriteria kelompok ini adalah berawal dari serangan TIA’s yang berulang diikuti oleh stroe in evalution. Kelainan neurologi yang terjadi bersifat menetap. Perbaikan gangguan neurologis terjadi sedikit dan akan banyak menimbulkan gejala sisa. Selanjutnya, mungkin akan menetap sampai beberapa bulan atau bahkan beberapa tahun.

2.1.4 Patofisiologi

(9)

mengalami thrombus dan emboli sehingga otak kekurangan sumber kalori berupa glukosa dan dan mineral lain serta oksigen. Iskemik terjadi ketika aliran darah menurun kurang dari 25 ml per 100 g/menit akibatnya neuron tidak bisa mempertahankan metabolisme (respirasi) aerobnya. Mitokondri berubah menjadi respirasi anaerob sehingga menghasilkan asam laktat dan perubahan asam pH. Perubahan bentuk metabolisme ini juga mengakibatkan penurunan jumlah neuron dalam memproduksi Adenosin Triphosepate (ATP) yang akan dijadikan sumber energi dalam aktivitas sel neuron berupa proses depolarasasi.

Penurunan aliran darah serebral menyebabkan terjadinya dearah penumbra dan berkembang menjadi daerah infark. Daerah penumbra yaitu dearah otak yang iskemik dan terdapat pada daerah sekitar yang mengalami infark jika tidak dilakukan tindakan penyelamatan. Daerah ini dapat diselamatkan dengan meningkatkan aliran darah serebral menuju kedaerah tersebut dalam waktu yang cepat. Jika hal ini berlanjut akan mengakibatkan bertambahnya kerusakan pada selaput sel. Akibat yang timbul adalah kalsium dan glumat banyak terbuang, terjadi vasokontriksi dan menghasilkan redikal bebas.

(10)

Proses evolusi dari jaringan iskemik ke arah infark ini cukup cepat. Iskemik selama 8 sampai 12 jam menimbulkan keadaan dimana neuron mengecil, sitoplasma, nukleus rusak & sel mati (Dukta, 1991 dalam Hickey, 1997). Cerebral Blood Flow (CBF) sebesar 18 ml per 100gram permenit selama 4 jam akan menimbulkan infark. CBF sebesar 15 ml per 100 gram permenit, akan menimbulkan infark dalam waktu 3,5 jam, CBF 10 ml per 100 gram permenit akan menjadikan proses infark dalam 3 jam dan CBF 5 ml per 100 gram permenit menimbulkan infark dalam 30 menit (Nortje & Menon, 2004).

Stroke hemorogik terjadi sesuai dengan penyebab pendarahan otak dan lokasi pendarahannya. Pendarahan subaraknoid dapat terjadi sebagai akibat trauma atau hipertensi, tetapi penyebab paling utama adalah kebocoran aneurisma pada area sirkulus wilis dan kelainan bentuk Arteri Vena (AVM). Pendarahan tersebut dapat menyebabkan meningkatnya tekanan dalam otak yang menimbulkan terjadinya proses menekan dan merusak jaringan otak sekitarnya. Daerah yang tertekan tersebut selanjutnya akan mengalami edema sekunder akibat iskemia dan menambahkan tekanan intrakranial semakin berat. Pendarahan subarakhnoid juga disebabkan oleh efek sekunder iskemia pada otak akibat terjadinya penurunan tekanan perfusi dan vasospasme.

(11)

ganglia, thalamus, pons dan serebellum. Perdarahan dapat terjadi pada intraventrikuler (Black & Hawsk, 2005).

2.1.5 Tanda dan gejala

Manifestasi stroke sangat beragam, tergantung dari arteri serebral yang terkena dan luasnya kerusakan jaringan serebral. Manifestasi klinik yang sering terkena dan luasnya kerusakan jaringan serebral. Manifestasi klinik yang sering terjadi diantaranya adalah kelemahan pada alat gerak, penurunan kesadaran, gangguan penglihatan, gangguan komunikasi, sakit kepala dan ganguan keseimbangan. Tanda dn gejala ini biasanya terjadi secara mendadak, fokal dan mengenai satu sisi (LeMeno & Burke, 2008).

Geoffery, et al (2008) menentukan bahwa sebagian besar pasien paksa serangan stroke memiliki keterbatasan gerak, gangguan penglihatan, gangguan bicara dan gangguan kognitif. Selain aspek fisik ditemukan pula bahwa pasien paksa serangan stroke mengalami gangguan psikologis seperti depresi, cemas, ketakutan dan menarik diri dari kehidupan sosial.

Menurut Hickey (1997) tanda dan gejala stroke iskemik dihubungkan dengan bagian arteri yang terkena sebagai berikut:

a. Arteri karotis interna

(12)

berlawanan; (2). Gangguan sensori pada wajah, tangan dan kaki bagian yang berlawanan dan; (3). Afasia jika yang terkena adalah daerah hemisfer dominan (hemisfer kiri) khususnya area Broca’s atau Werhinic’s atau kedua-duanya

b. Arteri serebri anterior

Arteri ini paling jarang terkena dan bila terkena akan menimbulkan gejala sebagai berikut: (1) paralisis pada kaki sisi yang berlawana; (2). Gangguan keseimbangan; (3). Gangguan sensori pada kaki dan jari daerah berlawanan daerah terkena (4). Gangguan kognitif; dan (5) inkontinensia urin

c. Arteri serebri posterior

Gejala yang sering mencul pada kelompok ini khususnya dalam lobus otak tengah atau talamus adalah; (1). Gangguan kesadaran sampai koma; (2). Kerusakan memori; (3). Gangguan penglihatan

d. Arteri serebral media

(13)

Menirut Geoffery, et al (2008), berdasarkan lokasinya gejala-gejala stroke terbagi menjadi berikut:

1) Bagian sistem saraf pusat: Kelemahan otot (hemiplegia), kaku, menurunnya fungsi sensorik Batang otak, dimana terdapat 12 saraf kranial: menurun kemampuan membau, mengecap, mendengar, dan melihat parsial atau keseluruhan, refleks menurun, ekspresi wajah terganggu, pernafasan dan detak jantung terganggu, lidah lemah.

2) Cerebral corteks: aphasia (kehilangan kemampuan memakai atau memahami kata-kata), aproksia (tidak mampu melaksanakan instruksi-instruksi), daya ingat menurun, kebingungan. Jika tanda-tanda dan gejala tersebut hilang dalam waktu 24 jam, dinyatakan sebagai Transient Ischemic Attack(TIA), dimana merupakan serangan kecil atau serangan awal stroke.

2.1.6 Faktor resiko stroke

Utami (2009) mengemukakan factor resiko stroke yang tidak dapat diubah adalah sebagai berikut:

1. Keturunan

(14)

peningkatan kejadian stroke pada keluarga penyandang stroke adalah akibat diturunkannya factor risiko stroke.

2. Jenis kelamin

Menurut studi kasus yang sering ditemukan, laki-laki lebih berisiko terkena stroke tiga kali lipat dibanding dengan wanita. Namun, menurut laporan American Heart Association Statistics Subcommittee and Stroke Statistics Subcommittee (2007) menyebutkan bahwa kematian akibat stroke lebih banyak dijumpai pada wanita dari pada laki-laki. Hal ini diduga akibat pengaruh hormone pasca monopouse didukung oleh penelitian dari Women’s Health Initiative (2004) yang mengemukakan bahwa pemakaian hormone esterogen dan progesterone pada wanita pasca monopouse meningkatkan risiko terjadinya stroke tipe iskemik sebesar 44%.

3. Umur

Mayoritas stroke menyerang semua orang berusia diatas 50 tahun. Namun, dengan pola makan dan jenis makanan yang ada sekarang ini tidak menutup kemungkinan stroke bisa menyerang mereka yang berusia muda.

Faktor risiko yang dapat diubah adalah hipertensi, diabetes, merokok, dislipidemia dan obesitas:

1. Hipertensi

(15)

Sedangkan pada lansia dikatakan mengalami hipertensi jika tekanan darahnya 160/90 mmHg. Hipertensi dapat mengakibatkan stroke khususnya stroke hemogarik (perdarahan) akibat tekanan yang kuat kepembuluh darah. Tekanan darah yang tinggi bisa diakibatkan oleh diameter pembuluh darah yang kurang elastis atau adanya sumbatan berupa thrombus dan emboli (Brunner & Suddarth 2002).

Tabel 2.1 Klasifikasi hipertensi menurut Badadero, dkk (2008): Tingkat tekanan darah sistolik tekanan darah diastolik

I 140-159 90-99

II 160-179 100-109

III 180-209 110-119

IV >210 >120

2. Diabetes

Diabetes merupakan salah satu factor resiko stroke iskemik. Diabetes akan meningkatkan resiko stroke karena mengakibatkan peningkatan fiskositas darah sehingga mempermudah terbentuknya emboli. Peningkatan kadar gula darah berbanding lurus dengan resiko stroke artinya semakin tinggi kadar gula darah seseorang maka semakin mudah terkena stroke.

Tabel 2.2 Klasifiasi Kadar Glukosa Darah (mg/dl) menurut (ACE, 2003)

Jenis Pemeriksaan Gula Normal GTT DM

Gula darah puasa 80-109 110-125 ≥126

2 jam setelah beban glukosa 80-144 145-179 ≥180

(16)

DM : Diabetes mellitus 3. Merokok

Berbagai penelitian menghubungkan kebiasaan merokok dengan peningkatan resiko penyakit pembuluh darah (termasuk stroke). Merokok memacu peningkatan kekentalan darah, pengerasan dinding pembuluh darah, dan penimbunan plak di dinding pembuluh darah. 4. Dislipidemia

Banyak penelitian secara konsisten menunjukkan bahwa kolestrol darah yang tinggi dapat meningkatkan resiko stroke. Penelitian Amerenco, dkk (2006) pada 492 pasien stroke iskemik (sumbatan) menunjukkan bahwa kadar kolestrol LDL (kolestrol jahat) dan kolestrol total yang tinggi meningkatkan resiko stroke sampai dua kali lipat.

5. Obesitas

(17)

2.1.7 Dampak stroke

Gejala stroke yang muncul sangat tergantung pada bagian otak yang terganggu. Otak manusia terdiri dari otak besar (cerebrum), otak kecil (cerebellum), dan batang otak. Otak besar terdiri atas bagian besar yang disebut hemisfer, yaitu hemisfer kanan dan hemisfer kiri. Fungsi bagian tubuh sebelah kanan dikendalikan oleh hemisfer kiri dan fungsi bagian tubuh bagian kiri dikendalikan oleh hemisfer kanan.

Tabel 2.3 klasifikasi otak berdasarkan fungsinya (Sherwood, 2001):

No Bagian otak Fungsi Dampak stroke

1 Lobus frontal Gerakan, pengambilan keputusan, pembauan

Kelumpuhan, kelemahan

anggota gerak (hemiplegia), disartria

2 Lobus temporal Pendengaran, memori, emosi

Gangguan pendengaran, dimensia, marah

3 Lobus parietal Rasa kulit, pemahaman bahasa

Gangguan sensori, aphasia

4 Lobus occipitas Penglihatan Gangguan pada bola mata

5 Cerebellum(ota

6 Batang otak Menelan, pernapasan, dan fungsi vital

(18)

1. Kecacatan akibat stroke

Kecacatan pasca-stroke pada umumnya dinilai dengan kemampuan pasien untuk melanjutkan fungsinya kembali sebelum sakit dan kemampuan pasien untuk mandiri. Salah satu skala ukur yang paling sering dipakai untuk pasien menggambarkan kecacatan akibat stroke adalah skala Rankin.

Tabel 2.4 Klasifikasi cacat stroke menurut Skala Rankin

No Klasifikasi Kriteria

1 Tidak ada disabilitas yang signifikan

Dapat melakukan tugas harian seperti biasa

2 Disabiitas ringan Tidak dapat melakukan beberapa aktivitas seperti sebelum sakit, namun dapat memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa bantuan

3 Disabilitas sedang Memerlukan sedikit bantuan tetapi dapat berjalan tanpa bantuan

4 Disabilitas sedang-berat Tidak dapat berjalan tanpa bantuan dan tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa bantuan

5 Disabilitas berat Ditempat tidur bedrest, inkontinensia, memerlukan perawatan dan perhatian

2. Letak Kelumpuhan Akibat Serangan Stroke

a. Kelumpuhan sebelah kiri (Hemiparesis sinistra)

(19)

kehilangan memori visual dan mengabaikan sisi kiri.Penderita mamberikan perhatian hanya kepada sesuatu yang berada dalam lapang pandang yang dapat dilihat (Harsono, 2006).

b. Kelumpuhan sebelah kanan (Hemiparesis Dextra)

Kerusakan pada sisi sebelah kiri otak yang menyebabkan kelemahan atau kelumpuhan tubuh bagian kanan.Penderita ini biasanya mempunyai kekurangan dalam kemampuan komunikasi verbal.Namun persepsi dan memori visuomotornya sangat baik, sehingga dalam melatih perilaku tertentu harus dengan cermat diperhatikan tahap demi tahap secara visual.Dalam komunikasi kita harus lebih banyak menggunakan body language (bahasa tubuh) (Harsono, 2006).

c. Kelumpuhan kedua sisi (Paraparesis)

Karena adanya sclerosis pada banyak tempat, penyumbatan dapat terjadi pada dua sisi yang mengakibatkan kelumpuhan satu sisi dan di ikuti satu sisi lain. Timbul gangguan seudobulber (biasanya hanya pada vaskuler) dengan tanda-tanda hemiplegic dupleks, sukar menelan, sukar berbicara dan juga mengakibatkan kedua kaki sulit untuk digerakkan dan mengalami hiperaduksi (Markam, 2002).

(20)

Hanya 10-15 % penderita stroke bisa kembali hidup normal seperti sedia kala, sisanya mengalami cacat, sehingga banyak penderita Stroke menderita stress akibat kecacatan yang ditimbulkan setelah diserang stroke (Pinzon, 2006).

Penurunan parsial total gerakan lengan dan tungkai, 90% bermasalah dalam berpikir dan mengingat, 70% menderita depresi, 30 % mengalami kesulitan bicara, menelan, membedakan kanan dan kiri. Stroke tak lagi hanya menyerang kelompok lansia, namun kini cenderung menyerang generasi muda yang masih produktif. Stroke juga tidak lagi menjadi milik warga kota yang berkecukupan, namun juga dialami oleh warga pedesaan yang hidup dengan serba keterbatasan.

Hal ini akan berdampak terhadap menurunnya tingkat produktifitas serta dapat mengakibatkan terganggunya sosial ekonomi keluarga. Selain karena besarnya biaya pengobatan paska stroke,(Pinzon, 2009).

2.1.8 Pencegahan Stroke

(21)

beresiko stroke, mengandalikan factor resiko, dan melakukan intervensi dini. Sedangkan pencegahan tersier adalah untuk individu yang mengalami masalah kesehatan (stroke) yaitu dengan melakukan rehabilitasi, pencegahan komplikasi, meningkatkan kualitas hidup (Harsono, 2011).

1. Pencegahan primordial

Upaya pencegahan primordial adalah upaya yang dimaksudkan memberikan kondisi pada masyarakat yang memungkinkan penyakit stroke tidak meningkat dengan adanya dukungan dasar dari kebiasaan, gaya hidup dan faktor resiko lainnya, misalnya kebersihan lingkungan, yaitu terbebas dari polusi seperti asap rokok yang dapat menimbulkan penyempitan pembuluh darah. Hal ini didukung dengan peraturan pemerintah tentang bahaya rokok bagi kesehatan, seperti dilarang merokok ditempat umum terutama ruangan ber-AC dan pada bungkus rokok.

Hal ini juga bisa dimulai dari membiasakan anak-anak untuk lebih memilih makanan-makanan tradisonal yang lebih aman dari zat-zat pengawet dan membatasi mengkonsumsi makanan-makanan siap saji sehingga dapat mengurangi resiko stroke.

2. Pencegahan primer

(22)

a). Gaya hidup: Bebas rokok, stress mental, alkohol, kegemukan, konsumsi garam yang berlebihan, obat-obat golongan amfetamin, kokain dan sejenisnya.

b). Lingkungan: kesadaran atas stress kerja

c). Biologi: perhatian terhadap faktor resiko biologis (jenis kelamin, riwayat keluarga) efek aspirin.

d) Pelayanan kesehatan: health education dan pemeriksaan tensi, mengendalikan hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung dan penyakit vaskuler aterosklerotik.

3. Pencegahan sekunder

Pencegahan sekunder ditujukan bagi mereka yang pernah menderita stroke.Pada tahap ini ditekankan pada pengobatan terhadap penderita stroke agar stroke tidak berlanjut menjadi kronik. Tindakan yang dilakukan adalah :

a) Gaya hidup: manejemen stress, makanan rendah garam, berhenti merokok, penyesuaian gaya hidup

b) Lingkungan: penggantian kerja jika diperlukan, family counseling c) Biologi : pengobatan yang patuh dan cegah efek samping

d) Pelayanan kesehatan: pendidikan pasien dan evaluasi penyebab sekunder

4. Pencegahan tersier

(23)

ketergantungan pada orang lain dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari. Pencegahan dapat dilakukan dalam bentuk rehabilitasi. Rehabilitasi merupakan pencegahan tersier yang bertujuan untuk menjaga atau meningkatkan kemampuan fisik, ekonomi dan kemampuan untuk bekerja seoptimal mungkin (Thomas, 2005).

2.1.9. Perawatan pasien pasca stroke di rumah

Merawat adalah memelihara, menjaga, mengurus, membela orang sakit.Merawat adalah mengobati memperlakukan, menghadiri, menyertai, mendampingi, memelihara, mendorong, membesarkan, mendidik. (Kamus Inggris-Indonesia,).

1. Perawatan mata dan mulut

Pasien yang tidak dapat minum tanpa bantuan harus membersihkan mulutnya dengan sikat lembut, perawatan mulut yang teratur sangat penting, terutama untuk pasien yang sulit atau tidak dapat menelan, gunakan kain lembab yang bersih untuk membersihkan kelopak mata pasien jika diperlukan. 2. Pemberian makan

(24)

Inkontinensia atau retensi pada umumnya terjadi pada pasien stroke terutama pada pasien yang mengalami penurunan kesadaran dan kebingungan, saat mereposisi pasien, pembalut inkontinensia yang basah atau tercemar kotoran harus diganti, pasien yang dipasang kateter perlu diajarkan kepada keluarga tentang perawatan kateter tersebut untuk menghindari komplikasi yang mungkin terjadi.

4. Pengendalian buang air besar

Sembelit adalah masalah yang umum dijumpai pada orang berusia lanjut dan pada orang yang mengalami stroke, beberapa obat (misalnya opioid) juga dapat menyebabkan sembelit. Cara terbaik untuk mengatur buang air besar adalah makanan yang memadai dan seimbang serta banyak cairan (paling tidak dua liter sehari) dan serat (buah dan sayuran), serta aktivitas fisik yang cukup. Pelunak tinja (laksatif, pencahar), supositoria, dan oedema dapat digunakan untuk sembelit yang terjadi sekali-kali.

5. Mencegah jatuh

Faktor resiko yang mempermudah pasien jatuh antara lain masalah ayunan langkah dan keseimbangan, obat-obat sedatif, kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari, inaktivitas, inkontinensia, gangguan penglihatan, dan berkurangnya kekuatan tungkai bawah. Apabila klien ingin berpindah dari tempat tidur maka pasien harus turun secara perlahan dan bertahap.

(25)

Keluarga beresiko mengalami cedera otot lumbal atau cedera punggung ketika mengangkat, memindahkan, atau mengubah posisi pasien pasca stroke yang mengalami imobilisasi. Untuk menghindari cedera punggung ini perlu diperhatikan :

a) Posisi beban, tinggi objek, posisi tubuh, dan berat maksimum. Hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah anda dapat melakukannya sendiri atau membutuhkan bantuan.

b) Mengangkat objek harus dari bawah pusat gravitasi, menempatkan kedua kaki sedikit terbuka untuk memperbesar dukungan, serta mempertahankan kesejajaran yang tepat pada kepala dan leher dengan vertebra, keluarga atau pengasuh harus menjaga tubuh untuk tetap tegak. c) Berdiri sedekat mungkin dengan objek untuk mencapai

pusat gravitasi yang lebih dekap dengan objek. 2) Mencegah terjadinya luka dikulit pasien akibat tekanan

Pasien yang mengalami imobilisasi perlu dibalik dan diposisikan secara reguler, bahkan pada malam hari hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya luka akibat tekanan. Bagi pasien yang hanya dapat berbaring atau duduk di kursi roda, bagian-bagian tubuh yang paling beresiko antara lain adalah punggung bawah (sakrum), bokong, paha, tumit, siku, dan tulang belikat (skapula).

(26)

Untuk mencegah kekakuan sendi keluarga perlu melakukan berbagai hal misalnya mengubah posisi lengan dan tungkai setiap 1-2 jam sepanjang siang dan malam hari, memijat tungkai yang lumpuh sekali atau dua kali sehari, menggerakkan semua sendi di tungkai yang lumpuh secara lembut dan perlahan-lahan (yaitu, lurus dan menekuk) 5-7 kali.

4) Mencegah terjadinya nyeri bahu (shoulder pain)

Nyeri bahu merupakan masalah yang sering terjadi pada pasien stroke dialami oleh sekitar 1 dari 5 pasien dalam waktu enam bulan setelah stroke (Agustina, dkk 2009). Komplikasi ini disebabkan oleh peregangan dan peradangan sendi bahu yang melemah, dan sangat sering pada pasien dengan tungkai bawah atau atas yang lemah, atau mereka yang memiliki riwayat gangguan tungkai atas, diabetes melitus, dan tinggal sendiri di rumah. Tindakan pencegahan terbaik adalah penempatan posisi dan reposisi di tempat tidur menopang lengan yang lemah (lumpuh) dengan bantal atau sandaran tangan jika mungkin, menghindari peregangan sendi bahu, terutama oleh tarikan pada lengan lemah dan menopang lengan yang lemah dengan lengan yang normal atau dengan menggunakan perban sportif saat berjalan sehingga lengan tersebut tidak terkulai ke bawah.

(27)

Peningkatan mobilitas pasien harus lambat dan bertahap, dan jika mungkin, mengikuti rangkaian berikut: bergerak di tempat tidur dengan tungkai ke bawah, berdiri di samping tempat tidur, berjalan ke kursi, duduk di kursi, berjalan di lantai yang rata. Pasien pada tahap-tahap awal setelah stroke perlu di bantu untuk turun dari tempat tidur atau berpindah dari tempat tidur ke kursi.

2.1.10.Disabilitas Fungsional

Kehilangan fungsi yang terjadi setelah stroke sering digambarkan sebagai impairments, disabilitas dan handicaps. Oleh WHO membuat batasan sebagai berikut (Caplan, 2000):

a. Impairments menggambarkan hilangnya fungsi fisiologis, psikologis dan anatomis yang disebabkan stroke. Tindakan psikoterapi, fisioterapi, terapi okupasional ditujukan untuk menetapkan kelainan ini.

b. Disabilitas adalah setiap hambatan, kehilangan kemampuan untuk berbuat sesuatu yang seharusnya mampu dilakukan orang yang sehat seperti: tidak bisa berjalan, menelan dan melihat akibat pengaruh stroke.

c. Handicaps adalah halangan atau gangguan pada seseorang penderita stroke berperan sebagai manusia normal akibat ”impairment” atau disability” tersebut.

(28)

pengukuran yang sensitif terhadap keparahan stroke dan memperlihatkan interrater reliability (Sulter dkk, 1999; Weimar dkk, 2002).

Salah satu skala ukur yang sering dipakai untuk pasien menggambarkan kecacatan akibat stroke adalah skala Rankin.1.Tidak ada disabilitas yang signifikan, dapat melakukan tugas harian seperti biasa 2. Disabilitas ringan, tidak dapat melakukan beberapa aktivitas seperti sebelum sakit, namun dapat memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa bantuan 3. Disabilitas sedang, memerlukan sedikit bantuan, tapi bisa berjalan tanpa bantuan 4. Disabilitas sedang-berat, tidak dapat berjalan tanpa bantuan, dan tidak dapat memenuhikebutuhannya sendiri tanpa bantuan5. Disabilitas berat di tempat tidur, inkontinensi memerlukan perawatan dan perhatian.

Pasien dengan tingkat kecacatan yang berat tidaklah dapat mandiri. Sebagian besar aktivitas kehidupannya memerlukan bantuan, bahkan sampai aktivitas kehidupan yang paling dasar sekali pun (makan, berkemih, mandi) (Melcon, 2006). Stroke yang menunjukan derajat keparahan yang tinggi saat serangan lebih sering dihubungkan dengan kecacatan pasca stroke. Keparahan derajat stroke tentu pula berhubungan dengan kecepatan mendapat pertolongan medis yang adekuat (Johnston dan Wagner, 2006).

(29)

disabilitas didefinisikan sebagai kesulitan dalam melakukan satu atau lebih aktifitas sehari-hari atau ADL (Activities of Daily Living) seperti aktifitas mandi, memakai baju, makan, ke WC, atau kesulitan dalam melakukan satu atau lebih aktivitas instrumental sehari-hari atau IADL (Instrumental Activities of Daily Livings) seperti aktifitas menggunakan telepon, belanja, menyiapkan makanan, dan mencuci.

a. Pengertian Fungsional

Ridge dan Goodson (2000) menjelaskan bahwa status fungsional mengarah dalam domain fungsi sebagai konsep multidimensi yang melihat karakteristik kemampuan individu untuk berperan penuh dalam memenuhi kebutuhan hidup, termasuk kebutuhan dasar, pemeliharaan kesehatan, serta kesejahteraan. Wilkinson (2010) menjelaskan status fungsional merupakan suatu konsep mengenai kemampuan individu untuk melakukan self care (perawatan diri), self maintenance (pemeliharaan diri), dan aktivitas fisik.

Berdasarkan definisi yang telah dijelaskan diatas dapat disimpulkan bahwa status fungsional merupakan suatu kemampuan individu untuk menggunakan kapasitas fisik yang dimilikinya untuk memenuhi kewajiban hidup meliputi kewajiban melaksanakan aktivitas fisik, perawatan diri, pemeliharaan dan kewajiban untuk dapat berinteraksi dengan orang lain, sehingga dapat meningkatkan kesehatan individu.

b. Jenis-jenis pengukuran status fungsional

(30)

fungsional dengan menggunakan alat ukur untuk mendapatkan gambaran indikasi keparahan suatu penyakit, mengukur kemampuan, dan kebutuhan individu terhadap perawatan, memonitor perubahan sepanjang waktu, serta untuk pantauan pemeliharaan. Pengukuran yang dapat digunakan sebagai alat ukur status fungsional yaitu Indeks Katz, Indeks Kenny Self Care, The Index of Independence in Activities of Daily Living (IADL), Functional Independent Meassure (FIM), Indeks Barthel.

c. Faktor yang mempengaruhi status fungsional pasien stroke

Faktor yang mempengaruhi status fungsional pasien stroke Ketergantungan status fungsional sering menjadi permasalahan pada pasien stroke. Faktor-faktor yang mempengaruhi status fungsional pada pasien stroke menurut Junaidi (2011) antara lain jenis stroke, komplikasi penyakit, dan usia. Ropyanto (2011) menambahkan faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi status fungsional, yaitu motivasi, sistem support, kelelahan, kepercayaan diri, nyeri yang dirasakan, jenis stroke, usia perkembangan, dan jenis ketergantungan yang dialami.

(31)

Kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan yang sangat utama yang harus dipenuhi untuk memelihara homeostatis biologis dan kelangsungan kehidupan bagi setiap manusia, dan apabila kebutuhan ini tidak terpenuhi maka akan mempengaruhi kebutuhan lain. Jadi, kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan syarat yang harus dipenuhi oleh setiap manusia (Asmadi, 2008).

Status fungsional atau yang lebih dikenal dengan kemampuan fungsional merupakan salah satu bagian dalam kebutuhan fisiologis dalam kehidupan manusia. Status fungsional atau kemampuan fungsional pada pasien stroke berada pada tahap terendah dari sebelumnya. Perawat dan keluarga mempunyai tugas yang sangat penting untuk memfasilitasi kemampuan fungsional pasien stroke. Pasien stroke pada umumnya cenderung memerlukan bantuan orang disekitarnya untuk dapat beraktivitas dan melakukan perawatan diri, seperti mandi, toileting, makan, minum, mengenakan pakaian, berhias, kebersihan diri, berjalan maupun berpindah tempat (Junaidi, 2011).

(32)

konsentrasi atau penurunan kognitif pasien. Orang terdekat pasien seperti perawat maupun keluarga harus memperhatikan gizi yang terkandung dalam makanan pasien, maupun diet yang disarankan oleh dokter pada pasien stroke (Sutrisno, 2007).

Mandi juga merupakan kebutuhan fisiologis yang harus didapat oleh pasien stroke. Pasien stroke yang mengalami ketergantungan sedang hingga ketergantungan total mengalami gangguan dalam memenuhi kebutuhan mandi. Mandi merupakan praktik menjaga kebersihan tubuh dengan menggunakan agen pembersih seperti sabun, shampo, air, odol, penyikat gigi, dan shower puff digunakan untuk membersihkan tubuh dari kotoran, keringat, dan mikroorganisme seperti bakteri dan jamur yang dapat menempel di kulit (Ropyanto, 2011).

Berpakaian dan berhias juga merupakan salah satu perawatan diri yang perlu dilakukan pada pasien stroke. Penggunaan celana dan baju dapat dipakai dengan mengenakannya pada bagian ekstremitas yang sakit terlebih dahulu dan melepaskannya dari ekstremitas yang sehat. Orang terdekat seperti keluarga dan perawat dapat membantu terpenuhinya kebutuhan mandi, berpakaian, dan berhias pada pasien stroke, sehingga pasien stroke dapat terawat, rapi, dan bersih walaupun dalam keterbatasan fisik yang dialami (Ropyanto, 2011).

(33)

ringan hingga sedang, yang masih memungkinkan pasien untuk beraktivitas toileting mandiri dapat dilakukan tanpa bantuan. Pasien stroke yang mengalami kelumpuhan tubuh akan mengalami kesulitan dalam aktivitas toileting karena minimnya gerakan tubuh yang dilakukan sehingga dapat menyebabkan konstipasi pada pasien. Hal ini menyarankan perawat maupun keluarga untuk dapat memastikan diberikannya makanan yang bergizi dengan serat yang tinggi untuk membantu memperlancar eliminasi (Ropyanto, 2011). Mobilitas atau pergerakan (berpindah) pada pasien stroke perlu dilakukan secara teratur. Dalam hal ini perawat maupun keluarga harus dapat memotivasi dan memberikan semangat pada pasien untuk melakukan pergerakan, agar dapat melatih kemampuan fungsi tubuh. Keteraturan dalam mengikuti fisioterapi perlu diperhatikan untuk dapat meningkatkan status fungsi tubuh pasien, namun tidak langsung diperoleh secara instan, tetapi diperoleh secara perlahan dan dibutuhkan kesabaran (Ropyanto, 2011).

(34)

mengontrol defekasi dan berkemih, mandi, makan, berjalan di jalan datar, naik turun tangga, dan berpakaian.

2.2. Dukungan Pasangan

2.2.1. Definisi Dukungan Pasangan

Menurut (Sarafino, 2008) dukungan adalah suatu bentuk kenyamanan, perhatian, penghargaan, ataupun bantuan yang diterima individu dari orang yang berarti, baik secara perorangan maupun kelompok. Dukungan dapat berupa dukungan sosial keluarga internal, seperti dukungan dari suami istri atau dukungan dari saudara kandung atau dukungan sosial keluarga eksternal, dukungan sosial eksternal bagi keluarga inti (dalam jaringan kerja sosial keluarga).

Dukungan adalah informasi verbal atau non verbal, saran, bantuan, yang nyata atau tingkah laku diberikan oleh orang-orang yang akrab dengan subjek didalam lingkungan sosialnya atau yang berupa kehadiran dan hal-hal yang dapat memberikan keuntungan emosional atau berpengaruh pada tingkah laku penerimanya atau dukungan adalah keberadaan, kesediaan, kepedulian dari orang-orang yang diandalkan, menghargai dan menyayangi kita (Kuntjoro, 2002).

(35)

merupakan dorongan, motivasi terhadap pasangan, baik secara moral maupun material (Bobak, 2005).

Perkawinan selalu dianggap sebagai hal yang memuaskan dan berharga.Dalam setiap hubungan seperti perkawinan, masalah tidak selalu dapat dihindarkan (Rini, 2001), karena pada dasarnya sebuah perkawinan terdiri dari dua orang yang mempunyai sifat, kepribadian, maupun karakter yang berbeda.Perkawinan adalah salah satu aktivitas sentral dari manusia yang bertujuan untuk memperoleh suatu kehidupan yang bahagia.

Pada pernikahan dua orang menjadi satu kesatuan yang saling merindukan, saling menginginkan kebersamaan, saling membutuhkan, saling melayani, saling memberi dorongan dan dukungan (Gunarsa, 2000). Banyak fungsi-fungsi yang dilakukan pasangan yang berkeluarga antara lain memberikan kasih sayang, rasa aman dan perhatian (Al-Maqassary, 1998). Dukungan dari pasangan dipercaya dapat membantu para penderita untuk menghadapi penyakit yang dideritanya.

(36)

dimana dalam semua tahap siklus kehidupan dukungan keluarga membuat keluarga mampu berfungsi dengan berbagai kepandaian dan akal untuk meningkatkan kesehatan dan adaptasi keluarga dalam kehidupan (Friedman,1998).

Dukungan sosial yang diterima seseorang tidak selalu menguntungkan. Status menikah tidak menjamin seseorang mempunyai sumber dukungan sosial. Ketika seorang menderita penyakit yang sudah lama dan serius, keluarganya mungkin terlalu melindungi, sehingga menghambat keinginan pasien untuk menjadi lebih aktif atau bekerja kembali (Rustiana, 2006). Hal ini dapat mengacaukan program pengobatan dan membuat penderita makin tergantung dan tak mampu berbuat apa-apa.

Beberapa penulis meletakkan dukungan sosial terutama pada konteks hubungan yang akrab atau kualitas hubungan (Winnubst dkk, dalam Rustiana 2006). Menurut Jacobson (dalam Nurmalasari dan Putri, 2007) dukungan sosial adalah suatu bentuk tingkah laku yang menumbuhkan perasaan nyaman dan membuat individu percaya bahwa ia dihormati, dihargai, dicintai dan bahwa orang lain bersedia memberikan perhatian dan keamanan. Menurut Cooper & Watson (Nurmalasari dan Putri, 2007) dukungan sosial adalah bantuan yang diperoleh individu secara terus menerus dari individu lain, kelompok dan masyarakat luas.

(37)

Perubahan yang kedua adalah perubahan yang terjadi secara tiba-tiba dan tidak dapat diprediksi sebelumnya. Perubahan ini akan menyebabkan ketidakseimbangan pada perkawinan dan bisa menjadi bayangan kehancuran. Misalnya ketika terjadi kecelakaan, bencana alam, dan serangan penyakit.Salah satu penyakit yang tiba-tiba terjadi adalah stroke.

Dukungan yang diberikan oleh caregiver adalah penting untuk membantu kesembuhan pasien baik dari segi fisik, psikososial, dan spiritual. Tujuan dari rencana pendidikan kesehatan juga berbeda antara pasien dan caregiver. Caregiver mungkin membutuhkan bantuan dalam mempelajari perawatan fisik dan teknik penggunaan alat bantu perawatan, menemukan sumber home care, menempatkan peralatan, menata lingkungan rumah untuk mengakomodasi kesembuhan pasien (Lewis, et al, 2011).

Pasangan dari penderita stroke seringkali berperan sebagai primary

caregiver sedangkan anak dari penderita lebih berperan sebagai

(38)

Beberapa keluarga dapat menyesuaikan diri dengan baik kepada kondisi pasien stroke, tetapi beberapa keluarga lainnya tidak mampu menyesuaikan diri dengan baik pada perubahan hubungan, dan harmonisasi perkawinan selalu menurun (Newman, 2006).Penyakit strokebisa merepotkan pihak keluarga pasien.Terutama keluarga yang masih membutuhkan tenaga dan pikiran pasien dalam mensejahterakan keluarganya. Pihak keluarga bahkan akan merasa terbebani karena biaya yang besar dan waktu yang tersita dalam perawatan pasien tersebut (Sutrisno, 2007).

Kondisi pasien strokeini membuat pasangan mendapatkan dampak dari kondisi fisik dan kondisi psikologis yang dialami pasangannya, dimana pasien mengalami kesulitan dalam bekerja karena mengalami kelumpuhan, kesulitan dalam komunikasi karena pasien mengalami gangguan bicara, gangguan kognitif dan kesulitan dalam penyesuaian emosi (Sarafino, 2006).

Keterbatasan fisik dan psikologis pasien strokeseperti yang telah dialami pasangan, dapat mengurangi kebersamaan dalam mengisi waktu senggang bersama pasangan. Paul &Stephanie (2008) mengatakan bahwa pasangan sebagai caregiveryang menderita strokeakan merasakan berkurangnya waktu luang untuk melakukan aktivitas yang menyenangkan dibandingkan ketika pasangan belum terserang stroke. Dengan demikian kebutuhan sosial pasangan kurang terpenuhi.

(39)

memberikan tantangan serius bahkan pada pasangan yang paling bahagia. Beberapa keluarga dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap kondisi pasien stroke, tetapi beberapa keluarga lainnya tidak mampu menyesuaikan diri dengan baik pada perubahan hubungan dan harmonisasi perkawinan selalu menurun (Newman dalam Rodiatul & Dewi 2010).

Peran sebagai primary caregiver yang dilakukan oleh pasangan dapat menimbulkan dampak yang positif dan juga negatif. Dampak positif yang dirasakan antara lain pasangan merasa lebih dibutuhkan kehadirannya dalam membantu kegiatan pasien sehari- hari, mengurus dan menjaga pola makan pasien, serta mendampingi pasien saat terapi, merasa lebih berguna dengan memberikan makna lebih bagi kehidupan pasangannya, memperkuat hubungannya dengan orang lain, meningkatkan kualitas diri secara spiritual, dan juga memperkuat komitmen yang lebih intens terhadap pasangan melalui kegiatan caregiving yang diberikan kepada pasangan, (Robert, 2006; Teasell, Foley, Salter, Bhogal, Juntai & Speechley, 2011; Cempaka 2012).

(40)

Seperti yang telah diuraikan mengenai dampak positif dan negatif dalam merawat yang dirasakan oleh pasangan sebagai primarycaregiver, maka proses caregiving dapat menjadi hal yang menekan. Proses caregiving dapat menyebabkan pasangan mengalami depresi, perasaan sedih dan tertekan, kelelahan fisik, dan perubahan pada hubungan sosial. Berbagai tekanan dalam menjalani keseharian sebagai perawat pasien stroke membuat pasangan mengalami stres yang bersumber dari respon fisik dan psikologisnya. Seiring dengan berjalannya waktu, stres dan beban tugas yang dirasakan oleh caregiver berubah menjadi strain, yang merupakan persepsi atau perasaan kesulitan atas tugas dan tanggung jawab yang berhubungan dengan peran sebagai caregiver (Oncology Nursing Society, 2008).

(41)

2.2.2 Komponen Dukungan Pasangan

Menurut Hause Kahn (1985) dan Caplan (1976) dalam Friedman (1998) bahwa komponen-komponen dukungan pasangan terdiri dari:

a. Dukungan Penilaian

Dukungan penilaian meliputi pertolongan pada individu untuk memahami kejadian depresi dengan baik, sumber depresi dan strategi koping yang dapat digunakan dalam menghadapi stressor. Dukungan penilaian yang diberikan berdasarkan kondisi sebenarnya dari penderita. Sehingga dukungan yang diberikan dapat membantu meningkatkan strategi koping individu dengan strategi – strategi alternatif berdasarkan pengalaman yang berfokus pada aspek – aspek yang positif.

Dalam dukungan penilaian, kelompok dukungan dapat mempengaruhi persepsi individu akan ancaman dengan mengikutsertakan individu untuk membandingkan diri mereka sendiri dengan orang lain yang mengalami hal yang lebih buruk. Dukungan keluarga dan pasangan membantu individu dalam melawan keadaan yang dialami individu dengan membantu mendefinisikan kembali situasi tersebut sebagai ancaman kecil dan memberikan pilihan yang tepat untuk menyelesaikan masalah.

b. Dukungan Nyata/Instrumental

(42)

menyediakan peralatan yang dibutuhkan. Dukungan nyata paling efektif bila dihargai oleh penerima dengan tepat. Pada dukungan nyata keluarga merupakan sumber untuk mencapai tujuan praktis dan konkrit

c. Dukungan Informasi

Informasi dapat membantu individu memahami peristiwa stres yang lebih baik dan menentukan sumber daya dan strategi penanganan yang dapat dihimpun untuk menghadapinya. Dukungan informasi meliputi pemberian solusi dari masalah, pemberian nasehat, pengarahan, saran, ide-ide, dan umpan balik tentang apa yang dilakukan

d. Dukungan Emosional

Dukungan emosional yang diberikan oleh pasangan atau orang lain dapat membuat individu merasa tidak menanggung beban sendiri tetapi masih ada orang terdekat dalam hal ini pasangan, keluarga atau orang lain yang memperhatikan, mau mendengar segala keluhannya, dan empati terhadap persoalan yang dihadapinya, bahkan mau membantu memecahkan masalah yang dihadapinya. Keluarga dapat memberikan dukungan emosional dengan meyakinkan penerima dukungan bahwa ia adalah individu yang berharga. Kehangatan kasih sayang yang diberikan dapat memungkinkan kelompok penerima dukungan untuk didekati. Dukungan emosional dapat berupa dukungan simpati, empati, cinta, kepercayaan, dan penghargaan.

(43)

pasangan mengijinkan pasangan terlibat dalam suatu kelompok yang memungkinkannya untuk berbagi minat, perhatian, pasangan menghargai atas kemampuan dan keahlian pasangan, pasangan dapat diandalkan ketika pasangan membutuhkan bantuan, dan pasangan merupakan tempat bergantung untuk menyelesaikan masalah pasangannya. Dengan adanya dukungan pasangan, tugas yang tadinya terasa berat menjadi lebih ringan dan membahagiakan. Sebaliknya, jika pasangan dalam sebuah perkawinan tidak mampu menjalin kerjasama, maka hal itu akan menyebabkan kesulitan dalam mengatasi permasalahan hidup yang lebih kompleks di kemudian hari.

2.2.3 Fungsi Dukungan Pasangan

Menurut Caplan dalam Friedman & Jones (2010) keluarga dalam hal ini pasangan memiliki fungsi pendukung yaitu meliputi:

a. Dukungan sosial dimana pasangan berfungsi sebagai pencari dan penyebar informasi mengenai dunia.

b. Dukungan penilaian dimana pasangan bertindak sebagai sistem pembimbing umpan balik, membimbing dan memerantarai pemecahan masalah, dan merupakan sumber serta validator identitas anggota.

c. Dukungan tambahan dimana pasangan adalah sumber bantuan praktis dan konkrit.

(44)

2.2.4. Dukungan Pasangan pada Pasien Stroke yang Mengalami Disabilitas Fungsional

Dukungan Pasangan ada secara biologis, fisiologis, psokososial, sosial dan spiritual. Dukungan secara biologis terdiri dari: untuk meneruskan keturunan, memeliharan dan membesarkan anak, memelihara dan merawat keluarga. Fungsi psikologis terdiri dari: memberikan kasih sayang dan rasa aman, memberikan perhatian diantara anggota keluarga, membina pendewasaan kepribadian anggota keluarga, memberikan identitas keluarga. Fungsi Sosial terdiri dari: membina sosialisasi pada anak, membentuk norma-norma tingkah laku sesuai dengan tingkat perkembangan anak, meneruskan nilai-nilai budaya keluarga.

Fungsi biologis terdiri dari: memenuhi kebutuhan gizi keluarga, perhatian dari suami atau istri termasuk kedalam kelompok dukungan internal yang sangat membantu pemulihan kesehatan bagi pasangannya yang dirawat (Friedman, 1998). Ketiadaan pasangan sangat mempengaruhi kondisi psikologis pasien paska stroke, dimana pasien menjadi lebih menurun kesehatannya dan kurang kooperatif berbeda dengan pasien yang didampingi oleh pasangan mereka dimana pasien menjadi lebih bersemangat dan memiliki harapan untuk mencapai kesembuhan (Anggraeni & Ekowati, 2010).

(45)

perubahan feminitas, seksualitas dan ketertarikan merupakan faktor yang menyebabkan terjadinya tekanan psikologis baik setelah didiagnosa maupun setelah menjalani pengobatan (Reich et al, 2007).

Handayani (2009) juga mengemukakan bahwa seseorang yang menderita stroke dan telah dilakukan pengobatan memiliki citra diri yang cenderung negatif. Namun citra diri pada pasangan penderita stroke dapat menjadi positif karena mendapatkan dukungan yang besar dari pasangan. Stroke juga memberikan dampak pada penampilan fisik bagi pasien, yang membawa akibat cukup serius terhadap keharmonisan hubungan suami dan istri (Anggraeni & Ekowati, 2010). 2.3. Landasan Teori Konsep Self-Care Deficit Orem

Menurut Orem, asuhan keperawatan dilakukan dengan keyakinan bahwa setiap orang mempunyai kemampuan untuk merawat diri sendiri sehingga membantu individu memenuhi kabutuhan hidup, memelihara kesehatan dan kesejahteraannya, oleh karena itu teori ini dikenal sebagai Self Care (perawatan diri) atau Self Care Defisit Teori. Orang dewasa dapat merawat diri mereka sendiri, sedangkan bayi, lansia, dan orang sakit membutuhkan bantuan untuk memenuhi aktivitas Self Care mereka.

(46)

kebutuhan hidup, memelihara kesehatan dan kesejahteraannya, oleh karena itu teori ini dikenal sebagai Self Care (perawatan diri) atau Self Care Defisit Teori.

Orem memulai pengembangan keperawatan dengan memunculkan arti keperawatan dan mengidentifikasi situasi saat seorang klien membutuhkan perawat. Orem kemudian mempunyai kesimpulan bahwa sesorang membutuhkan tindakan keperawatan saat seseorang tersebut tidak bisa merawat dirinya sendiri (Ladner, 2002). Pada tahun 1971 Orem memunculkan theory Self Care DeficitTheory of Nursing (SCDTN) dalam buku Nursing Concepts of Practice. Teori keperawatan self care deficit sebagai grand teori keperawatan terdiri dari tiga teori terkait yaitu teori self care, self care deficit, dan system keperawatan. Teori ini mempunyai beberapa elemen konsep yaitu self care, agency/agen, dan keperawatan. Dalam teorinya orem menetapkan empat konsep yang pada akhirnya bersama theory keperawatan yang lain membentuk metaparadigma keperawatan, yaitu: human being, lingkungan, kesehatan, dan keperawatan.

Pandangan Teori Orem dalam tatanan pelayanan keperawatan ditujukan kepada kebutuhan individu dalam melakukan tindakan keperawatan mandiri serta mengatur dalam kebutuhannya. Dalam konsep praktek keperawatan Orem mengembangkan tiga bentuk teori Self care di antaranya:

1. Perawatan Diri Sendiri (Self Care)

(47)

memenuhi serta mempertahankan kehidupan, kesehatan serta kesejahteraan. Perawatan diri sendiri dibagi pada 3 kelompok yaitu: a. Self Care Agency, merupakan suatu kemampuan individu dalam

melakukan perawatan diri sendiri, yang dapat dipengaruhi oleh usia, perkembangan, sosiokultural, kesehatan dan lain-lain. Adanya tuntutan atau permintaan dalam perawatan diri sendiri yang merupakan tindakan mandiri yang dilakukan dalam waktu tertentu untuk perawatan diri sendiri dengan menggunakan metode dan alat dalam tindakan yang tepat.

Kebutuhan Self Care merupakan suatu tindakan yang ditujukan pada penyediaan dan perawatan diri sendiri yang bersifat universal dan berhubungan dengan proses kehidupan manusia serta dalam upaya mempertahankan fungsi tubuh.

b. Kebutuhan self care therapeutik(Therapeutic self care demand) adalah merupakan totalitas dari tindakan self care yang diinisiatifdan dibentuk untuk memenuhi kebutuhan self care dengan menggunakan metode yang valid yang berhubungan dengan tindakan yang akan dilakukan.

c. Konsep lain yang berhubungan dengan teori self care adalah self care requisite.

2. SelfCare Defisit

(48)

pada kasus ketergantungan) tidak mampu atau terbatas dalam melakukan self care secara efektif. Keperawatan diberikan jika kemampuan merawat berkurang atau tidak dapat terpenuhi atau adanya ketergantungan. Orem mengidentifikasi lima metode yang dapat digunakan dalam membantu self care:

a. Tindakan untuk atau lakukan untuk orang lain. b. Memberikan petunjuk dan pengarahan.

c. Memberikan dukungan fisik dan psychologis.

d.Memberikan dan memelihara lingkungan yang mendukung pengembangan personal.

e. Pendidikan, perawat dapat membantu individu dengan menggunakan beberapa atau semua metode tersebut dalam memenuhi self care.

Merupakan bagian penting dalam perawatan secara umum dimana segala perencanaan keperawatan diberikan pada saat perawatan dibutuhkan yang diterapkan pada anak yang belum dewasa, atau kebutuhan yang melebihi kemampuan serta adanya perkiraan penurunan kemampuan dalam perawatan dan tuntutan dalam peningkatan self care baik secara kualitas. Dalam pemenuhan perawatan diri serta membantu dalam proses penyelesaian masalah. Orem memiliki metode untuk proses tersebut diantaranya bertindak atau berbuat untuk orang lain, sebagai pembimbing orang lain, memberi

support, meningkatkan pengembangan lingkungan pribadi serta

(49)

Dalam praktek keperawatan Orem melakukan identifikasi kegiatan praktek dengan melibatkan pasien dan keluarga dalam pemecahan masalah (contohnya, masalah yang terjadi pada pasien atau keluarga yaitu masalah penyakit stroke). Menentukan kapan dan bagaimana pasien memerlukan bantuan secara teratur bagi pasien dan mengkoordinasi serta mengintegrasikan keperawatan dalam kehidupan sehari-hari dan asuhan keperawatan diperlukan ketika klien tidak mampu memenuhi kebutuhan biologis, psikologis, perkembangan dan sosial. 3. Teori Sistem Keperawatan

Merupakan teori yang menguraikan secara jelas bagaimana kebutuhan perawatan diri pasien terpenuhi oleh perawat atau pasien sendiri yang didasari pada Orem yang mengemukakan tentang pemenuhan kebutuhan diri sendiri kebutuhan pasien dan kemampuan pasien dalam melakukan perawatan mandiri. Dalam pandangan teori sistem ini Orem memberikan identifikasi dalam sistem pelayanan keperawatan diantaranya :

a. Sistem bantuan secara penuh (Wholly Compensatory system)

(50)

b. Sistem bantuan sebagian (Partially Compensatory System )

Merupakan sistem dalam pemberian perawatan diri secara sebagian saja dan ditujukan kepada pasien yang memerlukan bantuan secara minimal seperti pada pasien yang Stroke dimana pasien ini tidak memiliki kemampuan seperti cuci tangan, gosok gigi, cuci muka akan tetapi butuh pertolongan perawat atau pasangan dalam melakukan perawatandiri. Contohnya perawatan pada pasien strokedimana pasien tidak memiliki kemampuan untuk melakukan BAB dan BAK karena mengalami gangguang mobilitas.

c. Sistem Suportif dan Edukatif

Merupakan sistem bantuan yang diberikan pada pasien yang membutuhkan dukungan pendidikan dengan harapan pasien mampu memerlukan perawatan secara mandiri. Sistem ini dilakukan agar pasien mampu melakukan tindakan keperawatan setelah dilakukan pembelajaran. Contoh pemberian pendidikan kesehatan pada ibu dan bapak (keluarga) yang memerlukan informasi tentang perawatan pasien stroke.

(51)

anggota keluarga atau orang lain hingga orang tersebut mampu untuk melakukan perawatan diri. Perawatan diri mempunyai tujuan dan berperan terhadap integritas struktural, fungsi, dan perkembangan manusia (Orem, 1985, hlm. 86). Tujuan yang ingin dicapai adalah keperluan universal, perkembangan, dan perawatan kesehatan akibat penyimpangan kesehatan.

Ketiga tipe keperluan perawatan diri yang dikemukakan Orem adalah universal, perkembangan, dan penyimpangan kesehatan. Keperluan perawatan diri universal ditemukan pada seluruh manusia dan dihubungkan dengan proses kehidupan dan kesejahteraan umum mereka. Kebutuhan perkembangan berhubungan dengan tahapan-tahapan yang berbeda yang dialami manusia. Kebutuhan yang ketiga disusun hasil dari atau dikaitkan dengan penyimpangan dalam aspek struktur dan fungsi manusia (Orem, 1991, hlm. 125). Orem mengoperasionalkan masing-masing dari kebutuhan-kebutuhan ini. Fokus keperawatan adalah pada pengidentifikasian kebutuhan perawatan diri, perancangan metode dan tindakan untuk memenuhi kebutuhan, dan “totalitas kebutuhan untuk tindakan perawatan diri” (Orem, 1985, hlm. 88).

(52)

Kondisi klien yang dapat mempengaruhi self-care dapat berasal dari faktor internal(dari dalam diri individu) dan eksternal(dari luar diri individu), faktor internal meliputi usia, tinggi badan, berat badan, budaya/suku, status perkawinan, agama, pendidikan dan pekerjaan. Adapun faktor luar meliputi dukungan keluarga dan budaya masyarakan dimana klien tinggal.

Klien dengan kondisi tersebut membutuhkan perawatan diri yang bersifat kontinun atau berkelanjutan. Adanya perawatan diri yang baik akan mencapai kondisi yang sejahtera. Klien membutuhkan tiga kebutuhan self care berdasarkan teori Orem yaitu:

1. Universal self care requisites (kebutuhan perawatan diri secara menyeluruh) seperti pada pasien stroke dimana membutuhkan perawatan total harus dengan bantuan orang lain baik perawat dan keluarga terlebih dari pasangan.

2. Development self care requisites (kebutuhan perawatan diri

pengembangan) fungsi klien sesuai dengan fungsi perannya. Perubahan fisik pada klien dengan stroke antara lain menimbulkan ketidakmampuan dalam melakukan sebagian saja dimana pasien tidak mampu makan, mandi, memakai baju, BAK, BAB, ke WC dan berjalan harus dengan bantuan orang lain.

(53)

hipotensi(tekanan darah rendah),perubahan sensorik (perubahan pada indera perasa), takikardi (frekuensi jantung yang meningkat) dan hemiparesis (kelumpuhan separu badan). Pasien Stroke akan mengalami penurunan pola makan dan adanya komplikasi yang dapat mengurangi kerharmonisan pasangan dalam melakukan hubungan intim.

Ketidakseimbangan baik secara fisik maupun mental yang di alami oleh pasien dengan Stroke menurut Orem disebut dengan self care-deficit. Menurut Orem peran perawat dalam hal ini yaitu mengkaji klien sejauh mana klien mampu untuk merawat dirinya sendiri dan mengklasifisikannya sesuai dengan klafisikasi kemampuan pasien.

(54)

Dalam penelitian ini pasangan mempunyai dukungan dan peranan dalam memberikan perawatan diri kepada pasangan yang mengalami suatu penyakit seperti stroke dimana salah satu tujuan keperawatan model Orem adalah Memungkinkan orang yang berarti (bermakna) yaitu pasangan bagi pasien untuk memberikan asuhan dependen jika self care tidak memungkinkan, oleh karenanya self care deficit.

2.1 Skema Model Konseptual Orem Self – Care

(55)

2.4. Konsep Studi Fenomenologi

Fenomenologi adalah metode penelitian kualitatif dimana peneliti mencoba untuk menemukan dan mengeksplorasi pengalaman hidup manusia. Fenomenologi berakar dari ilmu filosofi yang dikembangkan oleh Husserl dan Heidegger, mereka memandang fenomena subjektif dengan keyakinan bahwa kebenaran tentang realita didasarkan pada pengalaman hidup manusia yang penuh makna dan dialami secara sadar. Fenomenologi telah menjadi bidang yang tidak terpisahkan dari penelitian keperawatan karena banyak digunakan untuk mempelajari fenomena penting dalam dunia keperawatan (Husserl, 1965; Merleau & Ponty, 1956 dalam Chamberlain, 2009).

Pengalaman manusia dipelajari oleh peneliti untuk mengetahui dan memahami makna dari pengalaman tersebut melalui berbagai cara. Peneliti berusaha mengeksplorasi pengalaman informan melalui pengumpulan data dan peneliti berusaha masuk kedalam dunia informan, dengan demikian peneliti dapat merasakan pengalaman informan dengan cara yang sama. Pengumpulan data dapat dilakukan dengan cara wawancara mendalam (indepth interview), dan partisipation observation, sedangkan alat pengumpulan data utama adalah peneliti sendiri, dan alat bantu lainnya seperti panduan wawancara, panduan observasi, catatan lapangan, dan alat perekam suara atau gambar (Polit & Beck, 2008 ; Denzin & Lincoln, 2009).

(56)

a. Fenomenologi deskriptif

Jenis penelitian ini difokuskan pada deskripsi pengalaman yang dialami oleh manusia. Husserl (1962 dalam Denzin dan Lincoln, 2009) berpendapat bahwa hubungan antara persepsi dan objek-objeknya tidaklah pasif dan kesadaran manusia secara aktif mengandung objek-objek pengalaman.

Menurut Beck (1994), fenomenologist dalam proses analisa data pada fenomenologi deskriptif adalah Collaizi (1998), Giorgi (1985), dan Van Kaam (1959). Perbedaan antara ketiga fenomenologist tersebut yaitu: Collaizi menganjurkan kembali kepada partisipan untuk memvalidasi hasil yang sudah diperoleh peneliti dari informan, Giorgi berpendapat bahwa memvalidasi hasil hanya mengandalkan peneliti saja, tidak perlu kembali kepada informan untuk memvalidasi hasil temuan, sedangkan menurut Van Kaam bahwa kesepakatan hasil analisis data diperoleh dengan menggunakan bantuan dari ahlinya.

b. Fenomenologi interpretif-hermeneutik

Fenomenologi interpretif-hermeneutik dikembangkan oleh Heidegger pada tahun 1962. Inti dari fenomenologi ini adalah pemahaman dan penafsiran, bukan sekedar deskripsi dari pengalaman manusia tetapi menemukan pemahaman dengan cara masuk kedalam dunia partisipan (Sosha, 2012). Menurut Beck (1994), fenomenologist dalam proses analisa data pada fenomenologi interpretif-hermeneutik adalah Van Manen (1990).

(57)

credibility, transferability, dependability, dan confirmability. Keabsahan data akan dijelaskan sebagai berikut :

a. Credibility

Menjamin credibility merupakan salah satu yang paling penting dilakukan. Credibility dilakukan untuk mengetahui apakah proses dan hasil penelitian kredibel, dapat dipercaya dan diterima. Kredibilitas suatu penelitian dapat dicapai ketika peneliti dapat mengembangkan dan menginterpretasikan pengalaman partisipan yang sedang ditelitinya, dalam hal ini kesadaran peneliti merupakan suatu hal yang esensial. Kredibilitas dapat dicapai dengan prolonged engagement, catatan lapangan yang komprehensif, hasil rekaman dan transkrip, triangulasi data dan member checking.

b. Transferability

Transferability merupakan validitas eksternal yang berarti sejauhmana penelitian ini dapat dilakukan pada situasi dan di tempat yang berbeda. Seorang peneliti harus dapat menyediakan deskripsi data yang baik pada laporan penelitiannya sehingga orang lain dapat mengaplikasikannya ke dalam konteks yang berbeda.

c. Dependability

(58)

d. Confirmability

Confirmability merupakan salah satu kriteria yang menunjukkan

Gambar

Tabel 2.1 Klasifikasi hipertensi menurut Badadero, dkk (2008):
Tabel 2.3 klasifikasi otak berdasarkan fungsinya (Sherwood, 2001):

Referensi

Dokumen terkait

King (2010) menyatakan dukungan sosial ( sosial support ) adalah informasi dan umpan balik dari orang lain menunjukkan bahwa seseorang.. dicintai dan diperhatikan,

tubuh merupakan manifestasi pasien pasca stroke yang terdiri dari kemampuan. motorik, sensorik, fungsi otak lain, fungsi luhur,

Dalam faktor kebutuhan yang searah ketika dimana pasien stroke membutuhkan bantuan yang diberikan perawat dalam pemenuhan ADL nya dan apabila bantuan dipenuhi dapat