• Tidak ada hasil yang ditemukan

PUSAT PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH LAPAN PEDOMAN PENGOLAHAN DATA PENGINDERAAN JAUH LANDSAT 8 UNTUK MANGROVE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PUSAT PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH LAPAN PEDOMAN PENGOLAHAN DATA PENGINDERAAN JAUH LANDSAT 8 UNTUK MANGROVE"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

2015

PUSAT PEMANFAATAN

PENGINDERAAN JAUH

LAPAN

PEDOMAN PENGOLAHAN DATA PENGINDERAAN

JAUH LANDSAT 8 UNTUK MANGROVE

▸ Baca selengkapnya: data penginderaan jauh yang berupa objek bangunan sekolah dan rumah sakit dapat dikenali melalui ciri

(2)
(3)
(4)

iii

KATA PENGANTAR

Indonesia memiliki luas hutan mangrove terluas di dunia dengan keanekaragaman yang tinggi tetapi saat ini keberadaan mangrove terancam punah akibat adanya konversi lahan padahal tanaman mangrove memiliki peranan yang sangat penting. Tanaman mangrove berfungsi sebagai pelindung wilayah pesisir, sumber pangan, tempat berkembangbiak bagi ikan dan udang, memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, serta sebagai penyerap karbon di atmosfer. Begitu pentingnya peranan mangrove, maka diperlukan adanya pengelolaan ekosistem mangrove yang tepat.

Pengelolaan hutan mangrove dapat dilakukan dengan menggunakan data penginderaan jauh sehingga lebih mudah dan efisien baik dari segi waktu dan biaya. Beragamnya metode yang digunakan pada pengolahan data penginderaan jauh dapat memberikan informasi yang berbeda-beda. Oleh karena itu diperlukan adanya suatu kesepakatan pada teknik pengolahan data penginderaan juah sehingga akan menghasilkan output yang sama.

Dokumen ini ditujukan untuk menjadi acuan bersama pada teknik pengolahan data penginderaan jauh untuk identifikasi tanaman mangrove. Diharapkan dokumen teknik ini dapat dimanfaatkan dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan perkembangan ilmu dan teknologi.

Jakarta, 14 Desember 2015 Kepala

Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh,

(5)
(6)

v

DAFTAR ISI

Halaman:

KATA PENGANTAR iii

DAFTAR ISI v DAFTAR TABEL vi DAFTAR GAMBAR vi DAFTAR RUMUS vi BAB I. PENDAHULUAN 1 1.1 Latar Belakang 1 1.2 Tujuan 1 1.3 Ruang Lingkup 2 1.4 Acuan Normatif 2 1.5 Definisi Umum 2 1.6 Daftar Istilah 4

BAB II. TAHAP PENGOLAHAN 5

2.1 Pemetaan Unit Pedoman 5

2.2 Diskripsi Unit 5

2.3 Metodologi 6

2.3.1. Bahan dan Material 6

2.3.2. Peralatan 8

2.3.3. Sumberdaya Manusia 8

2.3.4. Tahapan Pengolahan Data 8

2.3.5. Uji Akurasi 13

BAB III. PENUTUP 14

(7)

vi

DAFTAR TABEL

Halaman: Tabel 1. Tahapan dan Uraian Pengolahan Data Penginderaan Jauh

Landsat 8 untuk Mangrove

5

Tabel 2. Karakteristik Landsat 8 7

DAFTAR GAMBAR

Halaman:

Gambar 1. Contoh data Landsat 8 8

Gambar 2. Interpretasi Visual Data Citra Landsat 8 10

Gambar 3a. Citra Sebelum Penajaman 11

Gambar 3b. Citra Setelah Penajaman 11

Gambar 4a. Citra Keseluruhan 11

Gambar 4b. Citra Hasil Cropping Lokasi Penelitian 11 Gambar 5. Klasifikasi Unsupervised Mangrove 12 Gambar 6. Klasifikasi Supervised Mangrove 13

DAFTAR RUMUS

Halaman: Rumus 1. Algoritma yang Digunakan untuk Menghitung OIF 9

(8)

1

Pedoman Pengolahan Data Penginderaan Jauh Landsat 8

untuk Mangrove

Bab I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Ekosistem mangrove adalah ekosistem yang penting di kawasan pesisir karena fungsinya secara ekologis maupun ekonomis. Ekosistem mangrove juga menjadi penting seiring dengan isu perubahan iklim dan perdagangan karbon, karena ekosistem mangrove menjadi salah satu penyimpan stok karbon yang cukup besar. Peningkatan kepedulian akan ekosistem mangrove dengan melakukan rehabilitasi dan pengelolaan kawasan mangrove meningkat pula. Pemanfaatan data penginderaan jauh untuk aplikasi hutan mangrove telah berkembang dengan baik, tetapi tetap terjadi kecenderungan peningkatan kebutuhan informasi mangrove dengan skala informasi yang lebih detail, misalnya informasi spasial jenis mangrove. Selain berguna untuk pengelolaan dan pelestarian, informasi spasial jenis mangrove juga berguna dalam penelitian estimasi biomasa dan kandungan karbon, karena biomasa dan kandungan karbon terkait dengan perbedaan jenis spesies mangrove. Oleh karena itu, penelitian dan pengembangan ekstraksi informasi untuk mengidentifikasi spesies atau minimal zonasi (spesies dominan) sangat diperlukan.

Berkembangnya teknologi penginderaan jauh terutama pada resolusi spasial dan temporalnya mempermudah pada proses identifikasi tanaman mangrove. Begitu juga dengan beragamnya teknik identifikasi dapat menyebabkan perbedaan hasil pada proses tersebut. Oleh karena itu, diperlukan adanya kesepakatan pada metode yang akan digunakan untuk proses identifikasi tanaman mangrove sehingga akan sama hasilnya.

Pedoman ini dibuat untuk pengolahan data citra Landsat 8. Landsat 8 adalah generasi terbaru menggantikan Landsat 7 yang memiliki sensor Onboard Operational Land Imager (OLI) dan Thermal Infrared Sensor (TIRS) dengan jumlah kanal sebanyak 11 dimana kanal 1-9 berada pada OLI dan kanal 10 dan 11 pada TIRS. Data citra satelit Landsat 8 memiliki resolusi spasial 30 m untuk kanal 1, 2, 3, 4, 5, 6,7, dan kanal 9 sedangkan kanal panchromatic memiliki resolusi spasial 15 m. Selain beresolusi spasial 30 m dan 15 m, pada kanal 10 dan 11 yang merupakan kanal TIR-1 dan TIR-2 memiliki resolusi spasial 100 m. Kelebihan data Landsat 8 adalah adanya kanal Near Infra Red (NIR-Kanal 5) sehingga dengan menggunakan kombinasi RGB yang tepat akan menunjukkan lokasi tanaman mangrove.

1.2. Tujuan

Tujuan penyusunan pedoman adalah untuk menyediakan petunjuk teknis dalam pengumpulan dan pengolahan data penginderaan jauh untuk identifikasi tanaman mangrove yang sesuai dengan prosedur yang telah disepakati.

(9)

2

1.3. Ruang Lingkup

Dokumen ini sebagai petunjuk teknis untuk identifikasi tanaman mangrove yang terdiri dari pra pengolahan data, pengolahan data secara visual, dan pengolahan data secara digital. Tahapan pengolahan data penginderaan jauh sebagai berikut:

A. Pra Pengolahan Data i. Koreksi Geometris Citra ii. Koreksi Radiometris Citra B. Pengolahan Data Secara Visual

i. Penyusunan Komposit Warna

ii. Penajaman Digital (Digital Enhancement) iii. Pemotongan Citra (Cropping)

C. Pengolahan Data Secara Digital

i. Klasifikasi Tidak terbimbing (Unsupervised) ii. Klasifikasi Terbimbing (Supervised)

D. Uji Akurasi

1.4. Acuan Normatif

Pedoman Teknik Pengolahan Data Penginderaan Jauh Landsat 8 untuk Mangrove ini mengacu kepada Peraturan Kepala BIG No. 3 Tahun 2014 tentang Pedoman Teknis Pengumpulan Dan Pengolahan Data Geospasial Mangrove, SNI 7645-2010 tentang Klasifikasi Penutup Lahan, SNI 7717-2011 tentang Survei dan Pemetaan Mangrove.

1.5. Definisi Umum

Hutan mangrove adalah tipe hutan yang khas yang hidup di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut dengan rentang salinitas yang tinggi. Mangrove tumbuh pada pantai-pantai yang terlindung dan datar. Di tempat yang tidak ada muara sungainya, maka hutan mangrove akan tipis sedangkan di tempat yang terdapat muara sungai besar dan delta yang aliran airnya banyak mengandung lumpur dan pasir maka hutan mangrove akan tumbuh meluas. Mangrove tidak tumbuh di pantai yang terjal dan berombak besar dengan arus pasang surut yang kuat karena hal tersebut tidak memungkinkan terjadinya pengendapan lumpur dan pasir, substrat yang diperlukan untuk pertumbuhan mangrove (Nontji, 2005). Secara global penyebaran mangrove terbatas di daerah tropis dan sub tropis.

Mangrove merupakan jenis tumbuhan yang memiliki toleransi yang tinggi terhadap kondisi lingkungan yang memiliki kadar garam yang berbeda – beda. Kemampuan beradaptasi mangrove untuk membuang kelebihan garam dalam jaringan tanaman menyebabkan mangrove dapat tumbuh subur. Keanekargaman mangrove bukan hanya karena kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungannya tetapi tidak terlepas juga adanya campur tangan manusia untuk memelihara. Pada saat ini keanekaragaman mangrove sudah menurun hal ini di

(10)

3 sebabkan laju perubahan habitat akibat pembangunan tambak, penebangan hutan, sedimentasi, reklamasi, dan pencemaran lingkungan (Nybaken, 1992).

Hutan mangrove memiliki nilai ekologis, ekonomis dan sosial yang tinggi. Hutan mangrove berfungsi sebagai tempat ikan, udang, kerang dan jenis biota lainnya untuk memijah dan daerah asuhan bagi jenis-jenis udang. Hutan mangrove juga berfungsi menjaga stabilitas garis pantai, melindungi pantai dan tebing sungai, memfilter dan meremediasi limbah, serta untuk menahan banjir dan gelombang. Secara ekonomis fungsi hutan mangrove merupakan sumber energi, daerah pengembangan perikanan dan pertanian, penghasil bahan bangunan, bahan tekstil, dan produk bernilai ekonomi lainnya. Di samping itu, hutan mangrove juga memiliki manfaat sosial seperti tempat berinteraksi sosial dan jasa-jasa wisata.

Ekosistem mangrove juga menjadi penting seiring dengan isu perubahan iklim dan perdagangan karbon, karena ekosistem mangrove menjadi salah satu penyimpan stok karbon yang cukup besar. Peningkatan kepedulian akan ekosistem mangrove dengan melakukan rehabilitasi dan pengelolaan kawasan mangrove meningkat pula. Pemanfaatan data penginderaan jauh untuk aplikasi hutan mangrove telah berkembang dengan baik, tetapi tetap terjadi kecenderungan peningkatan kebutuhan informasi mangrove dengan skala informasi yang lebih detail, misalnya informasi spasial jenis mangrove. Selain berguna untuk pengelolaan dan pelestarian, informasi spasial jenis mangrove juga berguna dalam penelitian estimasi biomasa dan kandungan karbon, karena biomasa dan kandungan karbon terkait dengan perbedaan jenis spesies mangrove. Oleh karena itu, penelitian dan pengembangan ekstraksi informasi untuk mengidentifikasi spesies atau minimal zonasi (spesies dominan) sangat diperlukan.

Fakta menunjukkan bahwa kerusakan mangrove ada dimana-mana, bahkan intensitas kerusakan dan luasannya cenderung meningkat secara siginifikan. Menurut catatan Direktorat PPA luas hutan mangrove di Indonesia di tahun 1970an adalah 3.627.119 Ha atau 25% dari luas hutan di Indonesia. Diperkirakan hutan mangrove saat ini hanya 2%. Kerusakan hutan mangrove disebabkan oleh: perluasan areal pertambakan, perluasan areal permukiman, pembabatan yang tidak teratur oleh penduduk setempat untuk kepentingan pembuatan peralatan rumah tangga, alat penangkap ikan, dan kayu bakar, kegiatan pembangunan, dan pencemaran industri (Wibisono, 2011).

Pentingnya peranan mangrove bagi keberadaan wilayah pesisir memerlukan adanya pengelolaan yang tepat untuk menajga eksistensi mangrove di wialayah tersebut. Berkembangnya teknologi penginderaann jauh baik dari resolusi spasial dan temporal mampu digunakan untuk mendeteksi keberadaan mangrove baik dari luasan dan pola sebaran mangrove. Saat ini telah dikembangkan penelitian tentang spektral untuk masing-masing spesies tanaman mangrove. Metode yang dilakukan untuk identifikasi tanaman mangrove sangat beragam, oleh karena itu diperlukan suatu kesepakatan metode apa yang akan digunakan sehingga hasil interpretasi akan sama. Identifikasi tanaman mangrove juga telah dilakukan oleh BIG dengan hasil berupa peta tematik mangrove yang dibuat berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) nomor 7717 tahun 2011 tentang survei dan pemetaan mangrove.

(11)

4

1.6. Daftar Istilah

Data geospasial Data yang memiliki referensi ruang kebumian (georeference) dimana berbagai data atribut terletak dalam berbagai unit geospasial

Data raster data yang disimpan dalam bentuk grid atau piksel sehingga terbentuk suatu ruang yang teratur, data ini merupakan data geospasial permukaan bumi yang diperoleh dari citra perekaman foto atau radar dengan wahana Unmanned Aerial Vehicle (UAV), pesawat atau satelit.

Mangrove Tumbuhan pantai yang khas di sepanjang pantai tropis dan sub tropis yang terlindung, dipengaruhi pasang surut air laut, dan mampu beradaptasi di perairan payau.

Pantai Daerah pasang surut antara pasang tertinggi dan surut terendah.

Penginderaan jauh Ilmu untuk mendapatkan informasi tentang obyek, daerah atau gejala di permukaan bumi yang direkam dengan alat tertentu (device), yang diperoleh tanpa kontak langsung terhadap obyek, daerah atau gejala yang dikaji.

Pesisir Merupakan daerah pertemuan antara darat dan laut; kearah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat – sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin; sedangkan kearah laut meliputi bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses – proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran.

Peta Gambaran dari unsur – unsur alam dan/atau unsur – unsur buatan, yang berada di atas maupun di bawah permukaan bumi yang digambarkan pada suatu bidang datar dengan skala tertentu.

Skala Angka perbandingan antara jarak dua titik di atas peta dengan jarak tersebut di permukaan bumi.

Geospasial Aspek keruangan suatu objek atau kejadian yang mencakup lokasi, letak, dan posisinya.

Spesies Suatu tingkat takson yang dipakai dalam taksonomi untuk menunjuk pada satu atau beberapa kelompok individu (populasi) yang serupa dan dapat saling membuahi satu sama lain di dalam kelompoknya (saling membagi gen) namun tidak dapat dengan anggota kelompok yang lain.

(12)

5

Bab II

Pengolahan Data

2.1. Pemetaan Unit Pedoman Kode Unit : LI 1 02 002 01 01

Judul Unit : Klasifikasi Digital Multispektral 2.2. Diskripsi Unit

Pedoman teknis ini dibuat sebagai acuan untuk melakukan identifikasi vegetasi mengrove. Metode yang digunakan adalah klasifikasi supervised dan unsupervised.

Tabel 1. Tahapan dan Uraian Pengolahan Data Penginderaan Jauh Landsat 8 untuk Mangrove

Tahapan Uraian 1. Mempersiapkan

perangkat dan data

1.1. Mempersiapkan perangkat keras dan perangkat lunak pengolahan citra .

1.2. Mempersiapkan software sesuai dengan kebutuhan 1.3. Mempersiapkan data yang akan digunakan

1.4. Mempersiapkan metode yang akan digunakan

1.5. Mempersiapkan informasi pendukung lainnya (data lapangan, peta rupa bumi, dan lain sebagainya)

2. Melakukan pra pengolahan data

2.1. Melakukan koreksi geometrik. Koreksi mengacu pada Peraturan Kepala BIG No. 3 Tahun 2014 tentang Pedoman Teknis Pengumpulan dan Pengolahan Data Geospasial Mangrove.

2.2. Melakukan koreksi radiometris. 3. Melakukan interpretasi

data secara visual

3.1. Penyusunan komposit warna dengan menggunakan metode Optimum Index Factor (OIF) pada citra yang telah terkoreksi.

3.2. OIF digunakan untuk menentukan kombinasi tiga kanal terbaik untuk menggambarkan informasi tertentu. Semakin besar nilai OIF yang dihasilkan semakin banyak informasi warna yang diperoleh dan sedikit duplikasi informasi, sehingga dapat dikatakan bahwa nilai OIF tertinggi merupakan kombinasi kanal yang terbaik.

3.3. Melakukan penajaman citra untuk mendapatkan tampilan yang tajam.

3.4. Melakukan pemotongan citra pada objek yang dikehendaki sehingga memudahkan analisis.

4. Melakukan klasifikasi tak terbimbing (Unsupervised)

4.1. Mempersiapkan citra terkoreksi

4.2. Melakukan klasifikasi unsupervised dengan input semua kanal pada citra.

4.3. Melakukan reclass pada citra yang telah terklasifikasi dengan mengacu pada tampilan RGB citra ataupun informasi lainnya (data survei, RBI, dan lain

(13)

6

sebagainya)

4.4. Melakukan identifikasi objek 5. Melakukan klasifikasi

terbimbing (Supervised)

5.1. Mempersiapkan citra terkoreksi

5.2. Melakukan training area pada objek yang akan diklasifikasi dengan jumlah sampel minimal 30 untuk masing-masing objek.

5.3. Melakukan klasifikasi supervised pada citra

5.4. Melakukan reclass pada citra yang telah terklasifikasi pada tampilan RGB citra ataupun informasi lainnya (data survei, RBI, dan lain sebagainya)

6. Uji akurasi hasil klasifikasi

6.1. Uji akurasi dilakukan dengan membandingkan antara nilai dari data lapangan dengan data citra

6.2. Akurasi diperoleh dari hasil analisis regresi data citra dengan data lapangan

7. Penyimpanan data hasil klasifikasi

7.1. Menyediakan media penyimpanan untuk citra hasil klasifikasi dengan format yang telah ditentukan.

2.3. Metodologi

2.3.1. Bahan dan Material

Data yang digunakan adalah data penginderaan jauh berupa raster yang telah terkoreksi radiometrik, geometrik, dan atmosferik yang telah dilakukan oleh PUTEKDATA LAPAN. Data yang diperoleh berupa data reflektans multi spektral dengan format *.tif.

Data citra yang digunakan pada pedoman teknis mangrove ini adalah data raster sensor optis Landsat 8. Landsat 8 adalah generasi terbaru menggantikan Landsat 7 yang memiliki sensor Onboard Operational Land Imager (OLI) dan Thermal Infrared Sensor (TIRS) dengan jumlah kanal sebanyak 11 dimana kanal 1-9 berada pada OLI dan kanal 10 dan 11 pada TIRS. Data citra satelit Landsat 8 memiliki resolusi spasial 30 m untuk kanal 1, 2, 3, 4, 5, 6,7, dan kanal 9 sedangkan kanal panchromatic memiliki resolusi spasial 15 m. Selain beresolusi spasial 30 m dan 15 m, pada kanal 10 dan 11 yang merupakan kanal TIR-1 dan TIR-2 memiliki resolusi spasial 100 m.

Pedoman ini dibuat untuk pengolahan data citra Landsat 8. Landsat 8 adalah generasi terbaru menggantikan Landsat 7 yang memiliki sensor Onboard Operational Land Imager (OLI) dan Thermal Infrared Sensor (TIRS) dengan jumlah kanal sebanyak 11 dimana kanal 1-9 berada pada OLI dan kanal 10 dan 11 pada TIRS. Data citra satelit Landsat 8 memiliki resolusi spasial 30 m untuk kanal 1, 2, 3, 4, 5, 6,7, dan kanal 9 sedangkan kanal panchromatic memiliki resolusi spasial 15 m. Selain beresolusi spasial 30 m dan 15 m, pada kanal 10 dan 11 yang merupakan kanal TIR-1 dan TIR-2 memiliki resolusi spasial 100 m. Kelebihan data Landsat 8 adalah adanya kanal Near Infra Red (NIR-Kanal 5) sehingga dengan menggunakan kombinasi RGB yang tepat akan menunjukkan lokasi tanaman mangrove.

Pada data Landsat generasi sebelumnya, tingkat keabuan (Digital Number-DN) berkisar pada 0-256 sedangkan pada data cita Landsat 8 memiliki tingkat keabuan 0-4096. Hal ini disebabkan oleh adanya peningkatan sensitifitas yang semula tiap piksel memiliki kuantifikasi 8 bit sekarang telah meningkat menjadi 12 bit. Peningkatan ini menjadikan proses interpretasi objek di permukaan menjadi lebih

(14)

7 mudah (Sugiarto, 2013). Spesifikasi kanal untuk Landsat 8 dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Karakteristik Landsat 8 Kanal

Panjang Gelombang

µm

Keterangan

1 – aerosol pesisir 0.43 – 0.45 Studi aerosol dan wilayah pesisir

2 – biru 0.45 – 0.51 Pemetaan bathimetrik, membedakan tanah dari vegetasi dan daun dari vegetasi konifer

3 – hijau 0.53 – 0.59 Mempertegas puncak vegetasi untuk menilai kekuatan vegetasi 4 – merah 0.64 – 0.67 Membedakan sudut vegetasi 5 – Infra Merah

Dekat-Near Infrared (NIR)

0.85 – 0.88 Menekankan konten biomassa dan garis pantai

6 – short – wave infrared (SWIR 1)

1.57 – 1.65 Mendiskriminasikan kadar air tanah dan vegetasi; menembus awan tipis

7 – short – wave infrared (SWIR 2)

2.11 – 2.29 Peningkatan kadar air tanah dan vegetasi dan penetrasi awan tipis

8 – Pankromatic 0.50 – 0.68 Resolusi 15 m, penajaman citra 9 – Sirus 1.36 – 1.68 Peningkatan deteksi awan sirus

yang terkontaminasi 10 – TIRS 1 10.60 –

11.19

Resolusi 100 m, pemetaan suhu dan penghitungan kelembaban tanah

11 – TIRS 2 11.5 – 12.51

Resolusi 100 m, peningkatan pemetaan suhu dan penghitungan kelembaban tanah

(15)

8

Gambar 1. Contoh data Landsat 8

Selain menggunakan data citra Landsat 8, dilakukan pula mengambilan data lapangan. Data lapangan tersebut akan digunakan sebagai bahan untuk uji akurasi. Pengambilan sampel di lapangan mengacu pada Peraturan Kepala BIG No. 3 Tahun 2014 tentang Pedoman Teknis Pengumpulan Dan Pengolahan Data Geospasial Mangrove.

2.3.2. Peralatan

Peralatan dan software yang digunakan pada pengolahan data penginderaan jauh untuk identifikasi tanaman mangrove adalah sebagai berikut:

i. Personal komputer

ii. Software pengolahan data penginderaan jauh

iii. Peralatan terkait dengan survei lapangan sesuai dengan Peraturan Kepala BIG No. 3 Tahun 2014 tentang Pedoman Teknis Pengumpulan dan Pengolahan Data Geospasial Mangrove

2.3.3. Sumberdaya Manusia

Sumberdaya manusia untuk pengolahan data penginderaan jauh untuk identifikasi tanaman mangrove harus mampu mengoperasikan perangkat komputer serta software pengolahan data penginderaan jauh. Selain itu, operator tersebut mampu menterjemahkan data secara visual dan tidak buta warna.

2.3.4. Tahapan Pengolahan Data

Pengolahan data penginderaan jauh terdiri dari tiga tahapan, yaitu pra pengolahan data, pengolahan data secara visual, dan pengolahan data secara digital. Hasil pengolahan data penginderaan jauh tersebut disajikan sebagai informasi spasial.

(16)

9 Pra pengolahan data dilakukan sebelum tahapan interpretasi dan deliniasi data penginderaan jauh. Secara umum tahapan pra pengolahan data adalah koreksi geometris dan radiometris.

2.3.4.2. Interpretasi Data Secara Visual

Interpretasi secara visual (manual) dilakukan terhadap data penginderaan jauh yang berdasarkan pada pengenalan ciri/karakteristik objek secara keruangan. Karakteristik objek dapat dikenali berdasarkan 9 unsur interpretasi yaitu bentuk, ukuran, pola, bayangan, rona/warna, tekstur, situs, asosiasi dan konvergensi bukti. Tahapan yang dilakukan pada interpretasi secara visual adalah dengan menggunakan teknik kombinasi RGB. RGB yang digunakan disesuaikan dengan informasi yang diinginkan.

2.3.4.2.1. Penyusunan Komposit Warna

Penyusunan komposit warna diperlukan untuk mempermudah intrepretasi citra inderaja. Susunan komposit warna dari kanal citra inderaja minimal terdapat kanal Inframerah dekat untuk mempertajam penampakan unsur vegetasi. Pemilihan kanal untuk proses komposit dilakukan dengan menggunakan metode Optimum Index Factor (OIF). OIF digunakan untuk menentukan kombinasi tiga kanal terbaik untuk menggambarkan informasi tertentu. Semakin besar nilai OIF yang dihasilkan semakin banyak informasi warna yang diperoleh dan sedikit duplikasi informasi, sehingga dapat dikatakan bahwa nilai OIF tertinggi merupakan kombinasi kanal yang terbaik. Algoritma yang digunakan untuk menghitung OIF adalah:

(1)

dimana:

SDi = Standar deviasi kanal i

ABS = Nilai absolut koefisien korelasi dua kanal dari kemungkinan tiga kanal

Berdasarkan analisis OIF untuk data Landsat 8, maka komposit RGB yang digunakan untuk identifikasi mangrove adalah 573. Kombinasi RGB 573 untuk mangrove pada Landsat 8 dapat dilihat pada Gambar 5. Warna merah kecoklatan sangat kontras diantara objek-objek lainnya, menunjukkan keberadaan mangrove.

(17)

10

Gambar 2. Interpretasi Visual Data Citra Landsat 8 2.3.4.2.2. Penajaman Digital (Digital Enhancement)

Tahapan ini berisi penajaman digital yang bertujuan untuk mendapatkan kualitas visual dan variabilitas spektral citra menjadi lebih baik. Teknik yang digunakan pada penajaman digital ini adalah teknik perentangan linear.

Teknik ini dapat digunakan untuk mempertajam kenampakan objek secara keseluruhan mempertajam tepian, menghaluskan noise/gangguan, memunculkan spesifik area tertentu di citra. Adapun teknis penajaman dengan perentangan linear dapat dilakukan dengan melihat distribusi nilai piksel citra asli terlebih dahulu (nilai terendah dan tertinggi), kemudian nilai terendah tersebut direntangkan menjadi bernilai nol, dan nilai tertinggi ditarik ke nilai maksimum bit (binary digit) citra yang digunakan. Metode ini biasa disebut sebagai perentangan linear minimum-maksimum. Perentangan linear dapat pula dilakukan secara otomatis dengan memasukkan nilai persentase perentangan (biasanya berkisar antara 1 – 3 atau 5%) pada histogram masing-masing citra asli.

Teknis perentangan dilakukan masing-masing terhadap band merah, hijau, dan biru dalam komposisi warna RGB. Perentangan linear juga dapat dilakukan secara interaktif, dengan cara menarik garis transformasi (transform line) menjadi nilai minimum dan maksimum citra output. Ini sangat bermanfaat pada saat penentuan training area obyek maupun membantu pemilihan GCP untuk koreksi geometrik. Contoh penajaman citra dapat dilihat pada Gambar 6a dan 6b.

(18)

11 Gambar 3a. Citra Sebelum Penajaman Gambar 3b. Citra Setelah Penajaman

2.3.4.2.3. Pemotongan Citra (Cropping)

Pemotongan citra dilakukan untuk membatasi daerah penelitian sehingga memudahkan analisis pada komputer. Selain itu, pemotongan citra akan mengurangi kapasitas memori sehingga memudahkan pada proses pengolahan data citra tersebut. Teknik yang digunakan pada tahapan cropping adalah dengan memfokuskan lokasi yang diinginkan pada citra. Cropping dapat dilakukan dengan menggunakan data vektor, koordinat geodetik, atau dengan menggunakan box (zooming) yang ada pada software yang digunakan. Contoh cropping citra dapat dilihat pada Gambar 7a dan 7b.

Gambar 4a. Citra Keseluruhan Gambar 4b. Citra Hasil Cropping Lokasi Penelitian

2.3.4.3. Pengolahan Data Secara Digital

Pengolahan data secara digital yang dimaksud adalah proses klasifikasi sebagai salah satu tahapan pada interpretasi. Klasifikasi yang dilakukan pengacu pada SNI 7645-2010 tentang Klasifikasi Penutup Lahan. Dalam melakukan klasifikasi, metode minimum yang disarankan adalah klasifikasi tidak terbimbing (unsupervised). Secara singkat, penjelasan mengenai metode klasifikasi yang digunakan adalah sebagai berikut:

(19)

12

2.3.2.3.1. Klasifikasi Tidak Terbimbing (Unsupervised)

Klasifikasi tidak terbimbing (unsupervised) dilakukan dengan mengelompokkan piksel pada citra menjadi beberapa kelas hanya berdasarkan pada perhitungan statistik tertentu tanpa menentukan sampel piksel (training) yang digunakan oleh komputer sebagai acuan untuk melakukan klasifikasi. Identifikasi ulang dilakukan dengan membandingkan citra hasil koreksi untuk menghasilkan klasifikasi yang lebih sedikit (penggabungan kelas/merging) sesuai dengan klasifikasi yang dibutuhkan pada skala hasil. Pada proses interpretasi ulang ini dibantu secara visual menggunakan citra komposit warna atau data hasil kerja lapangan sebagai dasar penggabungan kelas. Algoritma yang disarankan digunakan dalam klasifikasi tidak terbimbing adalah isodata classification.

Pada prinsipnya klasifikasi isodata mengklasifikasikan nilai piksel berdasarkan nilai rata-rata (means) menjadi klaster-klaster tertentu, piksel yang tidak terkelaskan dalam nilai rata-rata tertentu akan dikelaskan kembali secara iterative berdasarkan analisis nilai piksel minimum. Parameter utama dalam klasifikasi isodata adalah threshold dan iterasi klasifikasi. Secara praktis, klasifikasi isodata dilakukan secara trial and error hingga menghasilkan jumlah kelas optimal yang mewakili kelas habitat pada skala hasil. Contoh hasil klasifikasi unsupervised dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 5. Klasifikasi unsupervised mangrove 2.3.4.3.2. Klasifikasi Terbimbing (Supervised)

Klasifikasi terbimbing merupakan proses pengelompokkan piksel pada citra menjadi beberapa kelas tertentu dengan berdasarkan pada statistik sampel piksel (training) atau region of interrest ditentukan oleh pengguna sebagai piksel acuan yang selanjutnya digunakan oleh komputer sebagai dasar melakukan klasifikasi. Sampel piksel yang baik memiliki rerata keterpisahan yang baik antar tiap kelasnya yang ditunjukkan oleh nilai indeks separabilitas (separability index) (Richards, 1999). Sampel piksel dapat bersumber dari pengetahuan interpreter terhadap kondisi lokal

(20)

13 atau data hasil kerja lapangan. Algoritma klasifikasi citra yang digunakan yaitu maximum likelihood.

Klasifikasi maximum likelihood mengkelaskan nilai piksel berdasarkan probabilitas suatu nilai piksel terhadap kelas tertentu dalam sampel piksel. Apabila nilai probabilitas nilai piksel berada di bawah nilai threshold yang ditentukan maka piksel tersebut tidak terkelaskan. Lain halnya apabila dalam klasifikasi tidak memasukkan nilai threshold maka semua piksel dapat terkelaskan sesuai sampel piksel yang ada.

Gambar 6. Klasifikasi Supervised Mangrove 2.3.5. Uji Akurasi

Uji akurasi dilakukan dengan pengambilan sampel di lapangan, hasil penelitian yang telah lalu ataupun dengan data sekunder yang telah dirilis oleh instansi yang berkepentingan. Akurasi hasil pengolahan data citra minimal adalah 70% dan setelah divalidasi dengan data lapangan maka akurasi hasil penelitian adalah 90%. Pengambilan sampel di lapangan mengacu pada Peraturan Kepala BIG No. 3 Tahun 2014 tentang Pedoman Teknis Pengumpulan Dan Pengolahan Data Geospasial Mangrove.

(21)

14

Bab III

Penutup

Berdasarkan Undang-undang Keantariksaan No. 21 Tahun 2013, Pasal 19 ayat 92) dan Pasal 22 ayat (1) yang menyatakan bahwa LAPAN bertugas untuk menetapkan metode dan kualitas pengolahan data penginderaan jauh. Pemanfaatan data dan diseminasi informasi penginderaan jauh oleh setiap instansi harus berdasarkan pada pedoman yang telah dilakukan oleh lembaga. Salah satu pedoman yang telah berhasil terselesaikan adalah Pedoman Teknik Pengolahan Data Penginderaan Jauh Landsat 8 untuk Mangrove.

Ucapan terimakasih kami ucapkan pada seluruh pihak yang telah berkontribusi dalam menyelesaikan pedoman ini. Pedoman teknis ini dibuat sebagai panduan untuk identifikasi vegetasi mangrove dengan menggunakan data Landsat 8. Sangat disadari bahwa pedoman ini masih banyak kekurangannya sehingga perlu masukan dan saran dari berbagai pihak yang berkepentingan.

DAFTAR PUSTAKA

Nontji, A. 2005. Laut Nusantara. Ikrar Mandiriabadi. Jakarta. ed.rev.cet.4

Nybakken, James W. 1982. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis (terj.), Marine Biologi: An Ecological Approach oleh Muhammad Eidman, Koesoebiono, Dietrich Geolffrey Bengen, Malikusworo Hutomo, Sukristijono Sukardjo. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Peraturan Kepala BIG No. 3 Tahun 2014 tentang Pedoman Teknis Pengumpulan Dan Pengolahan Data Geospasial Mangrove.

SNI 7645-2010 tentang Klasifikasi Penutup Lahan.

SNI 7717-2011 tentang Survei dan Pemetaan Mangrove.

Sugiarto, D. Putro., 2013. Landsat 8 : Spesifikasi, Keunggulan Dan Peluang

Pemanfaatan Bidang Kehutanan.

Http://Tnrawku.Wordpress.Com/2013/06/12/Landsat-8-Spesifikasi-Keungulan-Dan-Peluang-Pemanfaatan-Bidang-Kehutanan

Wibisono, M.S. 2011. Pengentar Ilmu Kelautan Edisi 2. UI Press. Jakarta.

Widjaja, A.M.H, 2014. Kombinasi Band pada Citra Landsat 8. arnithestoryview.wordpress.com / 2014/04/12/tugas-1-praktikum-pcd-kombinasi-band-pada-citra-landsat-8/

(22)

Gambar

Gambar 1. Contoh data Landsat 8
Gambar 2. Interpretasi Visual Data Citra Landsat 8
Gambar 4a. Citra Keseluruhan  Gambar 4b. Citra Hasil Cropping Lokasi  Penelitian
Gambar 5. Klasifikasi unsupervised mangrove
+2

Referensi

Dokumen terkait

Sosialisasi Teknologi Penginderaan Jauh dan pengolahan data menggunakan Software Open

Sehubungan dengan hal tersebut, maka dilakukan kegiatan penelitian, pengembangan, dan perekayasaan (litbangyasa) pemanfaatan penginderaan jauh sebagai dasar dalam

Kelemahan metode terestrial untuk pemetaan ekosistem hutan mangrove bila dibandingkan dengan memanfaatkan data penginderaan jauh adalah lebih baik dari segi

Dari Gambar 40 dapat dilihat bahwa kualitas informasi Klorofil-a yang dihasilkan melalui pengolahan manual jauh lebih baik daripada kualitas klorofil hasil

6 Pada tahap ini dilakukan juga proses penghapusan piksel awan (cloud masking) sehingga diperoleh citra yang bersih dari awan. Proses koreksi radiometrik dan geometrik ini

Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengembangkan sistem pengolahan data penginderaan jauh. Selain itu, evaluasi kinerja dilakukan untuk mengetahui potensi sistem untuk

Tujuan penelitian yang dilakukan adalah membuat proses otomatisasi pengolahan data satelit METOP-A yang berada di Stasiun Bumi Penginderaan Jauh Pekayon Jakarta

Informasi spasial Zona Potensi Penangkapan Ikan (ZPPI) berbasis data satelit penginderaan jauh yang secara operasional dibuat di Bidang Sumber Daya Wilayah Pesisir dan