TRADISI PINGIN PENGANTIN DALAM
PANDANGAN HUKUM ISLAM
(Study Kasus Ds. Klalingan Kec. Klego Kab. Boyolali)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam
Oleh:
NURUL HIDAYAH
211 11 005
JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARI‟AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA (IAIN)
SALATIGA
vi MOTTO
“PERTAHANKAN SESUATU YANG HARUS KAMU PERJUANGKAN
SAMPAI KAMU BENAR-BENAR MENDAPATKANNYA”
“JANGAN PERNAH BERHENTI BERMIMPI, KARENA MIMPI MEMBERI ASA
DAN HARAPAN DALAM MENJALANI KEHIDUPAN”
“BELAJAR MENGALAH SAMPAI SEORANGPUN TIDAK BISA
MENGALAHKANMU, BELAJAR MERENDAH SAMPAI TIDAK
SEORANGPUN BISA MERENDAHKANMU”
PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan buat :
1. Kedua orang tua saya ayahanda Turmuji dan ibunda Samiyem ynag tidak
pernah henti-hentinya memberikan motifasi kepada saya untuk tetap selalu
menimba ilmu dan do‟anya yang tidak putus-putus mereka panjatkan guna
kesuksesan anaknya.
2. Kedua Kakakku Nurul Inayah dan Nurul Fauziah yang selalu memberikan
semangat dan dorongan moral dan spriritual, dan adikku tercinta Ida
Fauziah yang selalu ada buat saya dalam keadaan apapun.
3. Sahabat-sahabatku Siti nuraini, Irinna Ika Wulandari, Rosalina Ardhiarini
dan kak oelya busromun yang sudah menemani selama 4 tahun ini dan
berjuang bersama dalam keadaan suka dan duka, dan terima kasih bersama
kalian kita bisa mengukir kenangan indah dan kesuksesan bersama
4. Teman-teman seperjuangan yang selalu memberkan dorongan dan
vii
5. Bapak Drs. Badwan M.Ag dan Bapak Yusuf Khumaini S.HI.,M.H yang
telah memberikan bimbingan skripsi yang sabar dan teliti yang senantiasa
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulliah penulis panjatkan kepada Allah SWT
yang telah memberikan beribu-ribu nikmat, berupa nikmat Iman, Islam
Ihksan. Serta yang memberiakn rahmat dan karunia- Nya, sehingga karya
tulis ini bisa diselesaikan dengan baik.
Shalawat berserta salam tak lupa kita lantunkan kepada junjungan
kita yaitu nabi agung nabi akhirul zaman Nabi Muhhammad SAW, yang
memberikan syafa‟atnya diyaumil khiamah kelak dan emoga saja kita
semua mendapatkan syafa‟at dari Beliau.amin.
Karya tulis ini dapat diselesaikan berkat bantuan beberapa pihak.
Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
banyak dan penghargaan yang tulus kepada semua pihak, terutama kepada:
1. Rektor IAIN Salatiga bapak Dr. Rahmat Hariyadi M.Pd.
2. Dekan Fakultas Syariah IAIN Salatiga Ibu Dra. Siti Zumrotun M.Ag
3. Ketua Jurusan Ahwal Al-Syakhshiyyah (AS) IAIN Salatiga Bapak
Syukron Ma‟mum S.HI,.M.Si.
4. Bapak Dra. Badwan M.Ag dan Yusuf Khumaini S.H.I,.M.H yang telah
membimbing peneliti dalam penyelesaikan karya tulis ini dengan baik,
penuh kesabaran serta tulus.
5. Masyarakat desa Klalingan kecamatan Klego Kabupaten Boyolali dan
pengantin yang telah bersedeia untuk meluangkan waktunya ntuk
memberikan informasi terkait dengan judul yang penulis teliti.
ix
Meskipun kegiatan peneliti ini sudah dilakukan secara maksimal,
namun penulis merasa masih banyak kekurangan. Untuk itu saran dan
kritik yang membangun saya harapkan untuk memperbaiki study
selanjutnya.
Ahkirnya semioga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada
umunya dan masyarakakat desa Klalingan khususnya.
x
ABSTRAK
Nurul Hidayah. 211 11 005. TRADISI PINGIT PENGANTIN DI TINJAU
PANDANGAN HUKUM ISLAM (Desa Klalingan, Kecamatan Klego, Kabupaten
Boyolali). Skripsi. Fakultas Syariah. Jurusan Ahwal Al-Syakhshiyyah. Intitut Agama Islam Negeri. Dosen Pembimbing. Drs. Badwan M.Ag
Kata Kunci : Hukum Islam Dalam Memandang Tradisi Pingitan.
Peneliti ini bertujuan untuk mengetahui; (1) Apa yang di maksud dengan tradisi pingitan tersebut serta tujuannya?(2) Bagaimana pandangan masyarakat tentang tradisi pingitan tersebut? (3) Bagaimana pandangan hukum Islam tentang tradisi pingitan?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metodelogi penelitian kualitatif. Metedo pengumpulan datanya penyusun menggunakan metode observasi, wawancara dan dokumentasi. Peneliti juga menggunakan pendekatan historis dan fenomenologis untuk memperoleh data yang akurat (benar dan jelas).
Data yang diperoleh peneliti dari beberapa informan di desa Klalingan Kecamatan Klego Kabupaten Boyolali ini adalah tradisi “Pingit pengantin” tidak wajib dilaksanakan, dan boleh digunakan untuk menjaga calon pengantin, dan persiapan diri bagi calaon pengantin dalam menghadapi hari pernikahan.
Dalam kaedah fiqh dijelaskan bahwasanya suatu tradisi bisa sebagai hujjah yang wajib dikerjakan jika tradisi itu digunakan oleh kebanyakan orang, tetapi untuk sebagian besar masyarakat desa Klalingan masih dan akan melestarikan tradisi pingitan tersebut karena tradsi pingitan tersebut adalah tradisi warisan nenek moyang yang harus dilestarikan dan kepercayan masyarakat Klalingan terhadap musibah yang didapat apabila tidak melakukan tradisi pingitan tersebut menjadi salah satu alasan yang kuat bagi masyarakat desa Klalingan untuk tidak meninggalkan tradisi pingitan tersebut.
Tradisi “pingit pengantin” ini termasuk Urf shahih yakni urf
xii
2. Macam-Macam Al-„Urf 28
3. Syarat-Syarat Al-„Urf 20
4. Legalitas Al-„Urf 32
C. Pingitan 1. Pengertian Pingitan 33
2. Asal Usul Tradisi Pingitan 34
D. Hukum Islam 1. Definisi Hukum Islam 36
2. Tujuan Hukum Islam 37
BAB : III HASIL PENELITIAN A. Diskripsi Lokasi Penelitian 1. Kondisi Umum Tentang Desa Klalingan 39
2. Letak Geografis dan Batas Administrasi Desa Klalingan 43
3. Kondisi fisik Desa Klego 43
4. Keadaan Sosial Keagamaan Masyarakat. 47
BAB: IV ANALISIS A. Kegiatan Pingitan Des. Klalingan Kec. Klego Kab. Boyolali 1. Proses Pingitan Des. Klalingan Kec. Klego Kab. Boyolali. 51
2. Pelaku Pingitan Des. Klalingan Kec. Klego Kab. Boyolali 51
3. Landasan Masyarakat Des. Klalingan Melakukan Pingitan. 54
B. Pendapat Masyarakat Des. Klalingan Tentang Tradisi Pingit Pengantin. 55
xiii
D. Pandangan Hukum Islam tentang Tradisi Pingitan Penganti Boyolali. 66
E. Analisis 1. Faktor Yang Mendorong Yang Melakukan Tradisi Pingitan Pengantin 67 2. Faktor Penghambat Desa Klalingan Melakukan Tradisi Pingitan. 69
3. Konsep U‟rf Terkait Dengan Tradisi Pingit Pengantin 70
BAB: V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Tradisi Pingitan 73
2. Pendapat Ulama Desa Klalingan Tentang Pingitan 74
3. Pandangan Hukum Islam Tentang Tradisi Pingitan 74
1 BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam Pandangan Islam Pernikahan itu merupakan Sunnah Allah
dan Sunnah Rasul. Sunnah Allah berarti : menurut qudrat dan iradat Allah
dalam penciptaan alam ini, pada dasarnya Allah menciptakan makhluk ini
dlam bentuk berpasang-pasangan sebagaimana firman Allah dalam surat
Az-Zariyat ayat 49
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah”
Sedangkan sunnah Rasul berarti sesuatu tradisi yang telah
ditertapkan oleh Rasul untuk dirinya sendiri dan untuk umatnya. Pada
dasarnya agama Islam itu ada dengan peraturan-peraturan yang di bawa
dengan tujuan agar kehidupan sosial masyarakat menjadi tenteram
(sakinah) baik di dunia dan di ahkhirat, karena Islam mengatur dengan
landasan syari‟at Islam.
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Oleh karena itu pengertian perkawinan dalam ajaran agama
2
menegaskan bahwa perkawinan adalah akad yang sangat kuat (mitsqan
ghalidhan) untuk menaati perintah Allah, dan melaksanakannya
merupakan ibadah ( Zainudin, 2006 : 7).
Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, baik
perseorangan maupun kelompok. Dengan jalan perkawinan yang sah,
pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi secara terhormat sesuai
kedudukan manusia sebagai makhluk yang berkehormatan (Departemen
Agama Republik Indonesia . 1999, Hal. 5).
Dalam pengertian lain pernikahan merupakan pintu gerbang untuk
memasuki kehidupan baru yang sah menurut kaca mata agama islam bagi
pria dan wanita. Pernikahan bagi masyarakat jawa sendiri diyakini sebagai
sesuatu yang sakral, sehingga diharapkan dalam menjalaninya cukup
sekali dalam seumur hidup (Sholikhin, 2010 : 180).
Hukum Islam senantiasa menjadi hukum yang berlaku dalam
masyarakat muslim, yang bertujuan untuk mencapai kehidupan yang
berbahagia dan sejahtera sesuai dengan syari‟at Islam. Pada dasarnya
agama Islam ada dengan peraturan yang apabila melanggarnya ataupun
mematuhi peraturan tersebut hukuman dan imbalannya langsung dari sang
Khalik kelak di Ahkirat maupun didunia berupa azab. Semua itu telah
dituliskan pada Al-qur‟an dan Hadits.
Hukum Islam merupakan seperangkat peraturan berdasarkan wahyu
3
diakui dan diyakini mengikat untuk semua yang beragama Islam
(Syarifuddin,2007 : 2).
Kebiasan dan budaya memang tidak pernah lepas dari kehidupan
masyarakat disamping berhubungan dengan orang lain, masyarakat juga
berhubungan dengan namanya budaya.
Hubungan ini tidak dapat dipisahkan karena budaya itu sendiri
tumbuh dan berkembang didalam ruang lingkup kehidupan masyarakat.
Tiap masyarakat pasti punya tradisi atau budaya sendiri-sendiri
(http://pernikahanadat..com/2010/01/pernikahan-adat-betawi.html).
Upacara perkawinan memiliki banyak ragam dan variasi diantara
bangsa, suku satu dan yang lain, agama, budaya, maupun kelas sosial.
Penggunaan atau aturan tertentu kadang-kadang berkaitan dengan aturan
atau hukum agama tertentu pula. Upacara perkawinan sendiri biasanya
merupakan acara yang dilangsungkan untuk melakukan upacara
berdasarkan adat istiadat yang berlaku. Sedangkan perkawinan secara adat
merupakan salah satu unsur kebudayaan yang sangat luhur dan asli dari
nenek moyang kita yang perlu dilestarikan, agar generasi berikutnya tidak
kehilangan jejak. Upacara perkawinan adat mempunyai nilai luhur dan
suci meskipun diselenggarakan secara sederhana sekali.
Tiap daerah mempunyai upacara tersendiri sesuai dengan adat
istiadat setempat. Ini bisa dikatakan seperti negara kita yang terdiri dari
berbagai suku bangsa dengan adat istiadat dan upacara perkawinan yang
4
t.com/2012/09/proses-perkawinan-dan-upacara-adat-masyarakat-dalam-pernikahan.htm)
Tradisi yang ada dimasyarakat yang menurut mereka berasal dari
turun-temurun dari para orangtua mereka dan disampaikan secara lisan
berupa cerita dan bukan secara tulisan yang terkodifikasi. Maka tiap tradisi
sering dan terus bermodifikasi sesuai dengan perkembangan zaman atau
sesuai dengan selera dari masyarakat yang ada, contoh budaya peringatan
kematian tiga hari dan tujuh hari pada perkembangannya sekarang sering
gabung dengan istilah tiga sekaligus tujuh hari.
Budaya pernikahan ada akad dan walimahan, maka sebelum nikah
ada acara pingitan atau siraman, sesudah akad ada acara lempar pantun
atau cacap-cacapan (budaya Palembang), diwalimahan ada orgen
tunggalan. Sedangkan tradisi yang ada pada masyarakat Jawa dalam hal
perkawinan melalui beberapa tahapan. Biasanya seluruh rangkaian acara
perkawinan berlangsug selama kurang lebih dua bulan, hal ini diperinci
sebagai berikut :
1. Nontoni; Melihat calon istri dan keluarganya, dengan mengirim
utusan (wakil) untuk melamar (meminang); Tahapan setelah
nontoni apabila si gadis bersedia dipersunting.
2. Paningset ; Pemberian harta benda, berupa pakaian lengkap
5
3. Pasok Tukon ; Upacara penyerahan harta benda kepada keluarga si
gadis berupa uang,pakaian dan sebagainya, diberikan tiga hari
sebelum pernikahan.
4. Pingitan ; Calon istri tidak diperbolehkan keluar rumah selama 7
hari atau 40 hari sebelum perkawinan.
5. Tarub ; Mempersiapkan perlengkapan perkawianan termasuk
menghias rumah dengan janur.
6. Siraman ; Upacara mandi bagi calon pengantin wanita yang
dilanjutkan dengan selamatan.
7. Ijab Kabul (Akad Nikah); Upacara pernikahan dihadapan
penghulu, disertai orang tua atau Wali dan saksi-saksi.
8. Temon (Panggih manten); Saat pertemuan pengantin pria dengan
wanita
9. Ngunduh Mantu (ngunduh temanten) ; Memboyong pengantin
wanita kerumah pengantin pria yang disertai pesta ditempat
pengantin pria ((Hilman. 2003 : 3).
Fokus bahasan penulis yaitu tradisi “pingit pengantin”. Tradisi ini biasanya juga dilakukan oleh sebagian masyarakat Klego. Dalam
menggelar pernikahan biasanya para calon pengantin tidak boleh bertemu
sampai hari acara ijab qobul tersebut, karena dalam kepercayaan
masyarakat Jawa masa-masa menjelang pernikahan adalah masa-masa
yang riskan, untuk itu calon pengantin tidak diperbolehkan untuk bertemu
6
tersebut, oleh karena itu orang tua “memingit” calon pengantin. Pingit
pengantin ini bertujuan untuk mempersiapkan calon pengantin untuk
memasuki dunia baru yang dinamakan rumah tangga.
Pingitan adalah proses mempersiapkan diri mempelai untuk
memasuki dunia baru yaitu dunia rumah tangga yang baru. Pengertian
lainnya pingitan adalah calon pengantin wanita tidak boleh bertemu
dengan calon pengantin pria sampai akad nikah ditentukan, dan untuk jarak
waktunya biasanya beragam, ada yang melaksanakan selama 2 bulan, 1
bulan dan 5 hari, yang pada perkembangan selanjutnya hanya cukup tiga
hari saja. Selama itu calon mempelai putri dilarang keluar rumah dan tidak
boleh bertemu dengan calon mempelai putra. Seluruh tubuh pengantin
putri dilulur dengan ramu-ramuan, dan dianjurkan pula berpuasa.
Tujuannya agar pada saat jadi pengantin nanti, mempelai putri tampil
cantik sehingga membuat pangling orang yang menyaksikannya
(
http://infopengantin.com/2010/03/rangkaian-upacara-adat-pengantin-jawa.html)
Untuk itu penulis tertarik untuk meneliti tradisi pingitan yang mana
pingitan termasuk dalam salah satu upacara adat dan merupakan tradisi
yang tidak bisa ditinggalkan dan dipercayai yang dijalani secara
turun-temurun. Karena kepercayaan yang telah mendarah daging pada
masyarakat yang apabila salah satu prosesi upacara perkawinan tersebut
7
mempelai maupun pengantin, untuk itu penulis bermaksud mengkaji tradisi
pingitan pengantin tersebut dengan pandangan hukum Islam. Sehingga
judul yang ditentukan oleh penulis adalah TRADISI PINGIT
PENGANTIN DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM (DESA
KLALINGAN, KECAMATAN KLEGO, KABUPATEN BOYOLALI)
B. Fokus Penelitian
Sebagai pokok permasalahan yang berangkat dari latar belakang
masalah, maka penulis mengambil beberapa hal yang dijadikan sebagai
rumusan masalah atau fokus dalam penelitian, adalah sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan tradisi pingitan tersebut?
2. Bagaimana pandangan masyarakat klego tentang tradisi pingitan
tersebut?
3. Bagaimana pandangan hukum Islam tentang tradisi pingitan?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui makna dari “Pingitan” dan tujuan pingitan pengatin itu
dilakukan.
2. Mengetahui persepsi atau tanggapan dari masyarakat jawa khususnya
masyarakat Klego terhadap tradisi pingitan pengantin?
3. Mengetahui pandangan Hukum Islam tentang tradisi pingitan
tersebut?.
D. Kegunaan Penelitian
8
1. Pembaca bisa memahami dan mengetahui tentang tradisi adat yang ada
di pulau Jawa khususnya tradisi pingitan pengantin.
2. Pembaca dapat mengetahui argument masyarakat kususnya di Desa
Klalingan, Kecamatan Klego, Kabupaten Boyolali tentang
keyakinannya dalam melakukan tradisi pingitan pengantin.
3. Pembaca dapat mengetahui bagaimana pandangan Hukum Islam
terhadap tradisi pingitan pengantin.
E. Penegasan Istilah
Agar di dalam penelitian ini tidak terjadi penafsiran yang berbeda
dengan maksud penulis, maka penulis akan menjelaskan istilah di dalam
judul ini. Istilah yang perlu penulis jelaskan adalah :
1. Tradisi
Tradisi dalam kamus bahasa Indonesia adalah ada, kebiasaan
yang diturunkan dari nenek moyang yang dijalankan oleh masyarakat
(Fajri dan Senja:826). Sedangkan yang dimaksuid penulis adalah
kebiasaan pingitan pengantin yang yang diturunkan dari nenek moyang
masyarakat klego dan yang telah menjadi kebiasaan masyarakat jawa
pada umumnya.
2. Pingitan
Pingit, berpingitan : berkurung di dalam rumah tanpa keluar sama
sekali.
Memingit ; mengurung dalam rumah. Pingitan ; Sesuatu yang di
9
Sedangkan yang dimaksud oleh penulis adalah mengurung
pengantin putri di dalam rumah dan tidak diperbolehkan bertemu
dengan pengantin pria sampai akad nikah yang ditentukan, dengan
ditentukan waktu pingitannya.
3. Hukum Islam
Hukum Islam merupakan seperangkat peraturan berdasarkan wahyu
Allah dan atau Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukkalaf
yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua yang beragama Islam
(Syarifuddin,2007 : 2).
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan yang digunakan penulis adalah pendapat historis.
Karena dalam pendekatan historis ini penulis bisa mengetahui asal
mula kepercayaan masyarakat tentang tradisi pingit pengantin dan apa
itu tradisi pingit menurut masyarakat Klego.
Karena semua itu bisa diketahui dengan penulis harus terjun
langsung kelapangan guna mengadakan penelitian pada obyek yang
dibahas (Mukhtar, 2007:29), sehingga data yang diperoleh bisa
bervariasi, akurat dan lengkap.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitihan Kualitatif
yaitu penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak
menggunaka prosedur analisis statistik atau cara kuantifikasi lainnya
10
2. Kehadiran Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti hadir dalam lokasi guna
memperoleh data. Selain itu penulis juga harus membaur dengan
obyek penelitian dan juga berperan dan berpartisipi dalam seluruh
rangkain kegiatan pingit pengantin, dengan tujuan penulis
mendapatkan data yang akurat. Kehadiran penulis sebagai peneliti
diketahui statusnya sebagai peneliti.
3. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini adalah di Desa Klalingan Kecamatan Klego
Kabupaten Boyolali. Karena sebagian masyarakat tersebut menganut
tradisi adat jawa pingitan pengantin, dan untuk itu penulis harus terjun
pada lokasi tersebut. Guna mendapatkan data yang relevan dan akurat.
4. Sumber Data
Untuk mendapatkan gambaran yang jelas dari proses penelitian,
penulis menggunakan obyek penelitian berupa informan. Sedangkan
untuk mendapatkan informan tersebut penulis harus terjun di Desa
Klailingan Kecamatan Klego Kabupaten Boyolali, baik itu masyarakat
biasa maupun ulama‟ setempat. Selain informan yang penting adalah
pengantin wanita yang menjalani pingitan tersebut.
5. Prosedur Pengumpulan Data
a. Observasi
Yaitu metode pengumpulan data dengan jalan pengamatan
11
fenomena-fenomena yang diselidiki (Arikunto, 1987:128). Oleh
karena itu peneliti harus terjun langsung di Desa Klalingan
Kecamatan Klego Kabupaten Boyolali agar bisa mengamati
fenomena-fenomena dan rangakain kegiatan pingitan yang
dilakukan oleh pengantin wanita dan observasi dalam lingkungan
masyarakat tersebut.
b. Wawancara
Wawancara ini digunakan untuk memperoleh beberapa jenis
data dengan teknik komunikasi secara langsung
(Winarno,1990:174). Wawancara ini dilakukan dengan acuan
catatan-catatan mengenai pokok masalah yang akan ditanyakan.
Sasaran yang akan diwawancara adalah masyarakat Klego dan
pengantin wanita yang menjalani pingitan di daerah tersebut.
c. Dokumentasi
Mencari data mengenai beberapa hal, baik berupa catatan dan
data dari pemuka adat ataupun rangakaian kegiatan pingitan yang
dikomentasikan oleh pemuka adat ataupun masyarakat setempat.
Metode ini digunakan sebagai salah satu pelengkap dalam
memperoleh data.
d. Studi Pustaka
Studi pustaka yaitu peneliti yang mencari data dari
bahan-bahan tertulis (M. Amirin, 1990:135) berupa catatan, buku-buku,
12
6. Analisis Data
Menganalisa data artinya, menguraikan data, menjelaskan data,
sehingga dari data-data tersebut dapat ditarik pengertian-pengertian
yang kemudian dipahami sehingga menghasilkan sebuah kesimpulan.
Dalam penelitian ini penulis menentukan bentuk analisa terhadap
data-data tersebut, antara lain dengan metode:
a. Deskriptif
Adalah menuturkan dan menafsirkan data yang ada, misalnya
tentang situasi yang dialami, satu hubungan, kegiatan, dan
pandangan sikap yang tampak (Winarno, 1985:139).
Mendeskripsikan data yang didapat penulis tentang situasi di
desa Klalingan, kegiatan masyarakat desa Klalingan terutama pada
kegiatan “pingit pengantin” b. Kualitatif
Adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang
secara fundamental bergantung pada pengamatan terhadap manusia
pada kawasan sendiri berhubungan dengan orang-orang tersebut
dalam bahasa(Meleong, 2003:3).
Penulis menggunakan metode ini untuk memperoleh data
dengan cara membaur dalam masyarakat dan melakukan
13
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan penlitian ini terdiri dari lima bab yang saling
berkaitan yang dapat dijelaskan sebagai berikut :
BAB 1 : Merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang
masalah, fokus penelitian, tujuan penelitian, kegunaan
penelitian, penegasan istilah, metedo penelitian dan sistematika
penulisan
BAB II : Dalam bab ini berisi kajian pustaka yang menjelaskan tentang
pengertian pingitan pengantin, konsep kegiatan dalam masa
pingitan pengantin, pengertian tradisi dan kaedah fiqh yang
menjadi landasan hukum.
BAB III : Bab in desa berisi tentang gambaran umum desa Klalingan,
Kecamatanm Klego Kabupaten Boyolali terdiri dari letak
Geografis, keadaan masyarakat, jumlah penduduk serta struktur
organisasi.
BAB IV : Dalam bab ini berisi analisa mengenai faktor apa saja yang
membuat masyarakat Klego melakukan tradisi Pingitan pada
calon pengantin wanita dan pandangan Hukum Islam tentang
tradisi pingitan pengantin. Menguraikan hasil observasi yang
berisi tentang mitos yang berkembang pada tradisi pingitan
tersebut dan penyajian data tentang gambaran umum masyarakat
Klego terhadap tradisi pingitan. Bab ini diketengahkan untuk
14
BAB V : Dalam bab ini penutup yang berisi kesimpulan dan saran.
Bagian akhir terdiri dari daftar pustaka dan riwayat hidup penulis
H. Telaah Pustaka
Penelitian tentang tradisi pingitan pengantin dalam pandangan
hukum Islam telah dilakukan oleh Ninik Nirma Zunita mahasiswi
Universitas Islam Negeri( UIN) Malang dalam Skripsinya yang berjudul
Pandangan Masyarakat Terhadap Tradisi Pingitan (Studi Kasus Desa
Maduran, Kecamatan Maduran, Kabupaten Lamongan). Penelitian tersebut
menjelaskan tentang bagaimana tradisi pingitan dilaksanakan oleh
masyarakat setempat, tata cara pelaksanaan tradisi Pingitan, maksud dan
tujuan masyarakat melaksanakan tradisi pingitan
Dalam skripsi Zunita dapat diambil kesimpulan bahwa tradisi
“pingit pengantin” tidak wajib dilaksanakan, dan boleh digunakan untuk
menjaga calon pengantin, dan persiapan diri bagi calon pengantin menuju
hari pernikahannya. Dalam kaedah fiqh dijelaskan bahwa suatu tradisi bisa
sebagai hujjah yang dikerjakan jika tradisi itu digunakan oleh kebanyakan
orang. Tradisi “pingit pengantin” ini termasuk u‟rf shahih yakni u‟rf yang baik dan dapat diterima karena tidak bertentangan denagn syara‟.
Kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat yang tidak
bertentangan dengan nash (ayat Al-qur‟an atau Hadits), tidak
menghilangkan kemaslahatan mereka, dan tidak pula membawa mudharat
15
Dari kajian sebelumnya hanya fokus pada bagaimana tradisi
Pingitan tersebut dilaksankan oleh masyarakat setempat, tata cara
pelaksanaan tradisi Pingitan, maksud dan tujuan masyarakat melaksanakan
tradisi Pingitan, oleh karena itu penulis bermaksud untuk mengkaji lebih
dalam lagi tentang tradisi Pingitan yang ada pada masyarakat Desa
Klalingan, Kecamatan Klego, Kabupaten Boyolali dan lebih fokus pada
hukum Islam. Sehingga kita semua bisa mengetahui bagaimana hukum
16 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pernikahan
1. Pengertian Pernikahan
Pernikahan atau perkawinan dalam literatur fiqh berbahasa Arab
disebut dengan dua kata, yaitu nikah dan za‟aj. Kedua kata ini yang terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat
dalam Al-quran dan Hadits Nabi Muhammad SAW. Kata na-ka-ha banyak
terdapat dalam Al-quran dengan arti kawin. Secara arti kata nikah berarti
bergabung, hubungan kelamin, dan juga berarti akad yang berarti
mengadakanperjanjian pernikahan. Dalam pemakaian bahasa sehari-hari
perkataan nikah lebih banyak dipakai dalam arti kiasan daripada arti yang
sebenarnya jarang sekali dipakai pada saat ini (Muhtar, 1974 :11).
Menurut istilah Hukum Islam, terdapat beberapa definisi, di
antaranya adalah :
“Perkawinan menurut syara‟ yaitu akad yang ditetapkan syara‟
untuk membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan
dan menghalalkan bersenang-senangnya perempuan dengan laki-laki”
Abu Yahya Zakariya Al-Anshary mendefinisikan :
“ Nikah menurut istilah syara‟ ialah yang mengandung ketentuan
hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafaz nikah atau dengan
17
Pengertian lain nikah adalah: Mengumpulkan. Menurut syara‟ artinya :
akad yang telah terkenal dan memenuhi rukun-rukun serta syarat (yang
telah tertentu) untuk berkumpul (Idris dan Ahmadi, 1994 : 198).
Firman Allah :
“Maka nikahilah wanita-wanita yang kami senangai.“(QS. An-Nisa‟: 3) Dalam Kompilasi Hukum Islam, pengertian perkawinan dan tujuannya
dinyatakan dalam pasal 2 dan 3 sebagai berikut :
Pasal 2 : Perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad
yang sangat kuat atau mutsaqon ghalizhan untuk mentaati perintah Allah
dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Pasal 3 : Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah
tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Sayyid Sabiq, lebih lanjut mengomentari : Perkawinan merupakn salah
satu sunnatullah yang berlaku pada semua makhluk Tuhan, baik pada
manusia, hewan maupuyn tumbuh-tumbuhan. Perkawinan merupakan cara
yang dipilih Allah sebagai jaln bagi manusia untuk beranak-pinak,
berkembang biak, dan melestarikan hidupnya setelah masing-masing
pasangan siap melakukan perannya yang positif dalam memwujudkan
tujuan perkawinan (Ghazaly :11).
2. Prinsip-Prinsip Perkawinan dalam Islam
Ada beberapa prinsip perkawinan menurut agama Islam yang perlu
diperhatikan agar perkawinan itu benar-benar berarti dalam hidup manusia
18
a. Pilihan jodoh yang tepat.
b. Pernikahan didahului dengan pinangan.
c. Ada ketentuan tentang larangan perkawinan antara laki-laki dan
perempuan.
d. Pernikahan didasarkan atas suka rela antara pihak-pihak yang
bersangkutan.
e. Ada persaksian dalam akad nikah.
f. Pernikahan tidak ditentukan untuk waktu tertentu.
g. Ada kewajiban membayar maskawin/mahar atas suami.
h. Ada kebebasan mengajukan syarat dalam akad nikah.
i. Tanggung jawab pimpinan keluarga pada suami.
j. Ada kewajiban bergaul denganm baik dalam kehidupan rumah tangga
Prinsip-prinsip perkawinan ini sangat penting, karena apabila tidak
terpenuhi prinsip-prinsip tersebut berakibat batal atau tidak sah ( fasid)
nikahnya.
3. Hukum Melakukan Perkawinan
Hukum nikah sangat erat hubungannya dengan pelakunya. Kalau
pelakunya sudah memerlukan dan mampu yang akan menambah takwa,
yang akan menjaga jiwa dan menyelamatkannya dari perbuatan haram,
maka hukumnya wajib. Kalau pelakunya tidak mampu dalam
melaksanakan pernikahan, maksudnya bagi orang yang tahu dirinya tidak
mampu melaksanakan hidup rumah tangga, melaksanakan kewajibannya
19
kewajiban batin seperti mencampuri isteri, maka hukum nikah menjadi
haram. Nikah disunnahkan bagi orang yang mampu tetapi masih sanggup
mengendalikan diri dari peerbuatan haram. Dalam hal ini lebih baik
daripada membujang. Sedangkan hukum asal dari nikah adalh mubah.
Nikah hukumnya sunnah bagi orang yang memerlukannya. Syarat nikah
berasal dari Al-Qur‟an dan hadits serta( ijma‟ umat) kesepakatan umat dengan niat yang kuat (Idris dan Ahmadi .1994 : 199).
Firman Allah :
“ Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dan hamba-hambanmu yanglelaki
dan hamba-hambamu yang perempuan.” (QS. An-Nuur : 32)
4. Rukun dan Syarat Sah Pernikahan.
a. Rukun Pernikahan.
Jumhur ulama sepakat bahwa rukun pernikahan itu terdiri atas.
1) Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan
perkawinan.
2) Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita.
Akad nikah akan dianggap sah apabila ada seorang wali atau
wakilnya yang akan menikahkannya.
3) Adanya dua orang saksi.
4) Sighat akad nikah, yaitu ijab kabul yang diucapkan oleh wali
atau wakilnya dari pihak wanita, dan dijawab oleh calon
20
Tentang jumlah rukun nikah ini, para ulama berbeda pendapat :
Imam Malik mengatakan bahwa rukun nikah itu ada lima macam,
yaitu :
1) Wali dari pihak perempuan.
2) Mahar (maskawin)
3) Calon pengantin laki-laki.
4) Sighat akad nikah.
Imam Syafi‟i berkata bahwa rukun nikah itu ada lima macam,
yaitu:
1) Calon pengantin laki-laki.
2) Calon pengantin perempuan.
3) Wali dari pihak perempuan
4) Dua orang saksi.
5) Sighat akad nikah (Ghazaly,2006 : 48)
Memang ada sedikit perbedaan pendapat dikalangan para
ulama seputar rukun nikah, namun rukun nikah yang dipakai di negara
Indonesia pada umumnya adalah rukun nikah yang disimpulkan dalam
madzhab Syafi‟i
b. Syarat Sahnya Pernikahan
Dasar bagi sahnya perkawinan adalah sudah dipenuhinya
syarat-syarat perkawinan tersebut, sehingganya menghasilkan suatu
perkawinan yang sah dan menimbulkan segala hak dan kewajiban
21
Pada garis besarnya syarat-syaratsahnya perkawinan itu ada
dua :
1) Calon mempelai perempuannya halal dikawini oleh laki-laki
yang ingin menjadikannya istri. Jadi, perempuannya itu bukan
merupakan orang yang haram dinikahi.
2) Akad nikahnya dihadiri para saksi.
Secara rinci, masing-masing rukun di atas akan dijelaskan
syarat-syaratnya sebagai berikut:
a) Syarat-syarat kedua mempelai.
(1) Syarat- syarat pengantin pria.
Syariat Islam menentukan beberapa syarat yang harus
dipenuhi oleh calon suami berdasarkan ijtihad para
ulama, yaitu :
(a) Calon suami beragama Islam.
(b) Terang (jelas) bahwa calon suami itu betul laki-laki.
(c) Orangnya diketahui dan tertentu.
(d) Calon mempelai laki-laki itu jelas halal kawin
dengan calon istri.
(e) Calon mempelai laki-laki mengetahui atau
mengenal calon istri serta tahu betul calon istrinya
halal baginya.
(f) Calon suami rela (tidak dipaksa) untuk melakukan
22
(g) Tidak sedang melakukan ihram.
(h) Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan
calon istri.
(i) Tidak sedang mempunyai istri empat (Ghazali, 2006
: 50)
(2) Syarat-syarat calon pengantin perempuan :
(a) Beragama Islam atau ahli Kitab (wanita muslimah
dengan laki-laki muslim)
(b) Terang bahwa ia wanita, bukan khunsta (banci)
(c) Wanita itu tentu orangnya.
(d) Halal bagi calon suami.
(e) Wanita itu tidak dalam ikatan perkawinan dan tidak
masih dalam masa „iddah.
(f) Tidak dipaksa/ikhtiyar.
(g) Tidak dalam keadaan ihram haji atau umrah
(Ghazaly, 2006 : 55)
b) Syarat-syarat Ijab Kabul.
Perkawinan wajib dilakukan dengan ijab dan kabul
dengan lisan. Inilah yang dinamakan akad nikah (ikatan atau
perjanjian perkawinan). Bagi orang bisu sah perkawinannya
dengan isyarat tangan atau kepala yang bisa dipahami. Ijab
23
sedangkan kabul dilakukan oleh mempelai laki-laki atau
wakilnya.(Ghazaly, 2006 : 57)
c) Syarat-syarat wali.
Perkawinan dilangsungkan oleh wali pihak mempelai
perempuan atau wakilnya dengan calon suami atau wakilnya.
Wali hendaknya seorang laki-laki, muslim, baligh, berakal dan
adil (tidak fasik). Perkawinan tanpa wali tidak sah.(Ghazaly,
2006 : 59)
d) Syarat-syarat saksi.
Saksi yang menghadiri akad nikah haruslah dua orang
laki-laki, muslim,baligh, berakal, melihat dan mendengan serta
mengerti (paham) akan maksud akad nikah.
Ada yang berpendapat bahwa syarat-syarat saksi itu
adalah sebagai berikut :
(1) Berakal, bukan orang gila.
(2) Baliq, bukan anak-anak.
(3) Merdeka, bukan budak.
(4) Islam.
(5) Kedua orang saksi itu mendengar (Gazaly,2006 :64).
Hikmah adanya saksi adalah untuk kemaslahatan kedua
belah pihak dan masyarakat. Misalnya, salah seorang
mengingkari, hal itu dapat dielakan oleh adanya dua orang
24
maka dua orang saksi dapatlah menjadi pembela terhadap
adanya akad perkawinan dari sepasang suami istri. Di samping
itu, menyangkut pula keturunan apakah benar yang lahir
adalah dari perkawianan suami istri tersebut. Ternyata disini
dua saksi dapat memberikan kesaksiannya.
5. Hikmah Pernikahan
Pada dasarnya nikah dianjurkan oleh Allah SAW karena nikah
mempunyai banyak hikmah bagi pelakunya sendiri, masyarakat, dan
umat manusia. Adapun hikmah pernikahan sebagai berikut :
a. Sesungguhnya naluri seks merupakan naluri yang paling kuat dan
keras yang selamanya menuntut adanya jalan keluar. Bilaman jalan
keluar tidak dapat memuaskan, maka banyak manusia yang
terguncang jiwanya sehingga akan mengambil jalan yang buruk.
Dengan demikian perkawinan badan menjadi segar, jiwa menjadi
tenang, mata terpelihara dari melihat yang haram, dan perasaan
akan tenang menikmati hal yang halal.
b. Perkawinan adalah jalan untuk memperbanyak keturunan,
melestarikan hidup manusia, serta memelihara nafsu yang oleh
Islam sangat dianjurkan.
c. Naluri kebapakan dan keibuan akan tumbuh dalam hidup berumah
tangga dengan anak-anak yang akan menimbulksn rasa cinta,
sayang, dan sikap ramah yang merupakn sifat-sifat baik yang
25
d. Menyadari tanggung jawab beristeri dang menanggung anak-anak
menimbulkan sikap rajin dan sungguh-sungguh dalam memperkuat
bakat dan pembawakan seseorang.
e. Ada pembagian tugas, dimana yang satu mengurus dan mengatur
rumah tangga, sedangkan yang lain bekerja mencari nafkah sesuai
dengan batas-batas tanggung jawab antara suami isteri dalam
menanggani tugas-tugasnya.
f. Dengan perkawinan diantaranya dapat membuahkan tali
kekeluargaan, memperteguh kelanggengan rasa cinta antara
keluarga dan memperkuat hubungan kemasyarakatan yang
memang oleh Islam direstui, ditopang, dan ditunjang (Sabiq:1980
:80)
B. Adat Istiadat (Al-„Urf)
Tradisi merupakan adat kebiasaan turun temurun dari nenek
moyang yang masih dijalankan di masyarakat. Sejak dahulu tradisi telah
ada dan menjadi kebiasaan yang dilani oleh masyarakat saat ini dalam
Hukum Islam istilah tradisi lebih dikenal dengan urf.
1. Definisi Al-„Urf
Al-„Urf secara bahasa berarti suatu yang telah dikenal dan dipandang baik serta dapat diterima akal sehat. Al-„Urf (adat istiadat) yaitu sesuatu yang sudah diyakini mayoritas orang, baik berupa ucapan atau
perbuatan yang sudah berulang-ulang sehingga tertanam dalam jiwa dan
26
'Urf merupakan sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan
merupakan kebiasaan di kalangan mereka baik berupa perkataan maupun
perbuatan (Khallaf. 2005 : 104)
Definisi Al-„Urf menurut para ulama yaitu :
1) Menurut Al-Ghazali dalam kitab Al-Mustashfa Al-„Urf merupakan: Sesuatu yang telah menjadi mantap/kuat di dalam jiwa dari segi akal
dan dapat diterima oleh fikiran sehat/baik
(http://www.Wikipedia.Org/wiki/Budaya/Tradisi. diakses pada 22 juni
2008, 4).
2) Menurut Abdul Wahab Khalaf dalam bukunya yang berjudul Ilmu
Ushul al-Fiqih yaitu : Al-'Urf adalah sesuatu yang telah diketahui oleh
orang banyak dan dikerjakan oleh mereka, baik itu yang berupa
perkataan, perbuatan ataupun sesuatu yang lazimnya untuk
ditinggalkan. Hal ini dinamakan pula dengan al-âdah. Sehingga dalam
bahasa ahli syara' disana dijelaskan bahwa antara al-'urf dan al-âdah
tidak terdapat perbedaan (Idem. 1978/1398 : 89).
3) Menurut Al-Jurjaniy yang dikutip oleh Abdul Mudjib dalam bukunya
yang berjudul kaidah-kaidah fiqih, al-„urf adalah : sesuatu (perbuatan maupun perkataan) yang jiwa merasa tenang ketika mengerjakannya,
karena sejalan dengan akal sehat dan diterima oleh tabi‟at. Al-„Urf
juga merupakan hujjah bahkan lebih cepat untuk dipahami (Mudjib.
27
Para Ulama ushul fiqh membedakan antara adat dengan „urf dalam membahas kedudukannya sebagai salah satu dalil untuk menetapkan
hukum syara‟ urf didefinisikan dengan :
“Kebiasaan mayoritas kaum baik dalam perkataan atau perbuatan”
Berdasarkan definisi ini, Mushthafa Ahmad al-Zarqa‟ (guru besar
fiqh Islam di Universitas „Amman, Jordania), mengatakan bahwa „urf
merupakan bagian dari adat, karena adat lebih umum dari „urf . Adapun adat menurut ulama ushul fiqh adalah :
“Sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa adanya hubungan
rasional”
Sedangkan pengertian lain Al-„Adah adalah sesuatu (perbuatan maupun perkataan yang terus menerus dilakukan oleh manusia, karena
dapat dierima oleh akal dan manusia mengulang-ulanginya secara
terus-menerus (Mudjib. 1999 : 44).
Definisi ini menunjukan bahwa apabila suatu perbuatan dilakukan
cara berulang-ulang menurut hukum akal, dinamakan adat. Definis ini juga
menunjukan bahwa adat itu mencakup persoalan yang amat luas yang
menyangkut permasalahan pribadi, seperti kebiasaan seseorang dalam
28
yang menyangkut orang banyak, yaitu sesuatu yang berkaitan dengan hasil
pemikiran yang baik dan yang buruk.
2. Macam-macam 'Urf
Dari beberapa persyaratan di atas kita bisa membagi 'urf (adat
kebiasaan) kepada dua bagian yaitu:
1) 'Urf yang fasid (rusak/jelek) Ialah 'urf yang tidak baik dan tidak dapat
diterima, karena bertentangan dengan nash qath'iy (syara‟). Seperti
kebiasaan mengadakan sesajian untuk sebuah patung atau suatu tempat
yang dipandang keramat. Hal ini tidak dapat diterima, karena
berlawanan dengan ajaran tauhid yang diajarkan agama Islam (Zahrah.
2005 :418).
2) „Urf yang shahih (baik/benar) Ialah 'urf yang saling diketahui orang, tidak menyalahi dalil syari'at, tidak menghalalkan yang haram dan tidak
membatalkan yang wajib, serta dapat diterima karena tidak
bertentangan dengan syara', 'urf ini juga dipandang sebagai salah satu
sumber pokok hukum Islam. Seperti mengadakan pertunangan sebelum
melangsungkan akad nikah, dipandang baik, telah menjadi kebiasaan
dalam masyarakat dan tidak bertentangan dengan syara (Khallaf. 2005
:105).
'Urf yang shahih dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu:
1) 'Urf 'Aam (kebiasaan yang bersifat umum) Yaitu „Urf yang telah
disepakati masyarakat di seluruh negeri. 'Ulama mazhab Hanafi
29
kemudian dinamakan istishna 'urf. 'Urf ini dapat mentakhshis nas
yang am yang bersifat zhanny, bukan yang qath'i (Firdaus. 2004 :
97-98). 'Urf seperti ini dibenarkan berdasarkan ijma'. Bahkan tergolong
macam ijma' yanng paling kuat karena di dukung, baik oleh kalangan
mujtahid maupun diluar ulama-ulama mujtahid; oleh golongan
sahabat maupun orang yang datang setelahnya. Oleh karena itu dapat
disimpulkan bahwa 'urf ialah yang diterapkan diseluruh negeri tanpa
memandang kepada kenyataan pada abad-abad yang telah lalu.
2) 'Urf khas (kebiasaan yang bersifat khusus) Yaitu 'urf yang dikenal
berlaku pada suatu negara, wilayah atau golongan masyarakat tertentu,
seperti; „urf yang berhubungan dengan perdagangan, pertanian dan
lain-lain. 'Urf ini tidak boleh berlawanan dengan nash, tetapi boleh
berlawanan dengan qiyas yang illatnya ditemukan tidak melalui jalan
yang qath'i, baik berupa nash maupun yang menyerupai nash dari segi
jelas dan terangnya. Hukum yanng ditetapkan qiyas zhanny akan
selalu berubah seiring dengan perubahan zaman. Karena itu para
ulama berpendapat bahwa ulama mutaakhirin boleh mengeluarkan
pendapat yang berbeda dari mazhab Mutaqaddimin. Karena dalam
menerapkan dalil qiyas mereka sangat terpengaruh oleh 'urf-'urf yang
berkembang dalam masyarakatnya pada waktu itu.
30
Mereka yang mengatakan al-„urf adalah hujjah, memberikan syarat-syarat tertentu dalam menggunakan al-„urf sebagai sumber hukum diantaranya sebagai berikut :
1) Tidak bertentangan dengan Alquran atau sunnah. Jika seperti kebiasaan
orag minum khamr, riba, berjudi, dan jual beli gharar(ada penipuan)
dan yang lainnya maka tidak boleh diterapkan.
2) Adat kebiasaan tersebut sudah menjadi tradisi dalam setiap muamalah
mereka, atau pada sebagian besarnya. Jika hanya dilakukan dalam
tempo tertentu atau hanya beberapa individu maka hal ini tidak dapat
dijadikan sumber hukum.
3) Tidak ada kesepakatan sebelumnya tentang penentangan terhadap adat
tersebut. Jika adat suatu negeri mendahulukan sebagian mahar dan
menunda sebagiannya, namun kedua calon suami isteri sepakat untuk
membayarnya secara tunai lalu keduanya berselisih pendapat, maka
yang menjadi patokan adalah apa yang sudah disepakati oleh kedua
belah pihak, karena tidak ada arti bagi sebuah adat kebiasaan yang
sudah didahului oleh sebuah kesepakatan untuk menentangnya.
4) Adat istiadat tersebut masih dilakukan oleh orang ketika kejadian itu
berlangsung. Adat lama yang sudah ditinggal orang sebelum
permasalahan muncul tidak dapat digunakan, sama seperti adat yang
baru lahir setelah permasalahannya muncul (Khalil, 2009 : 170)
31
1) Adat harus berbentuk dari sebuah perbuatan yang sering dilakukan
orang banyak dengan berbagai latar belakang dan golongan secara terus
menerus, dan dengan kebiasaan ini, ia menjadi sebuah tradisi dan
diterima oleh akal pikiran mereka. Dengan kata lain, kebiasaan tersebut
merupakan adat kolektif dan lebih khusus hanya sekadar adat biasa
karena adat dapat berupa adat individu dan adat kolektif.
2) Adat berbeda dengan ijma‟. Adat kebiasaan lahir dari sebuah kebiasaan
yang sering dilakukan oleh orang yang terdiri dari berbagai status
sosial, sedangkan ijma‟ harus lahir dari kesepakatan para ulama
mujtahid secara khusus dan bukan orang awam. Dikarenakan adat
istiadat berbeda ijma‟ maka legalitas adat terbatas pada orang-orang
yang memang sudah terbiasa dengan hal itu, dan tidak menyebar
kepada orang lain yang tidak pernah melakukan hal tersebut, baik yang
hidup satu zaman dengan mereka atau tidak. Adapun ijma‟ menjadi
hujjah kepda semua orang dengan berbagai golongan yang ada pada
zaman itu atau sesudahnya sampai hari ini.
3) Adat terbagi menjadi dua kategori : ucapan dan perbuatan. Adat berupa
ucapan misalnya adalah penggunaan kata walad hanya untuk anak
laki-laki, padahal secara bahasa mencakup anak laki-laki dan perempuan
32
“Allah mensyari‟atkan bagimu tentang anak-anakmu. Yaitu : Bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.”
(QS. An-Nisa‟ (4) :11).
Sedangkan adat yang berupa perbuatan adalah setiap perbuatan yang
sudah biasa dilakukan orang, seperti dalam hal jual beli, mereka cukup
dengan cara mu‟athah (menerima dan memberi) tanpa ada ucapan, juga
kebiasaan orang mendahulukan sebagian mahar dan menunda sisanya
sampai waktu yang disepakati (Khalil, 2009 : 168).
d. Legalitas Al-„Urf
Jumhur fuqaha‟ mengatakan bahwa al-„urf merupakan hujjah dan
dianggap sebagai salah satu sumber hukum syariat. Mereka bersandar pada
dalil-dalil sebagai berikut.
1. Firman Allah SAW :
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf.(QS. Al-A‟raf : 199)
Ayat ini menjelaskan tentang wajibnya mengamalkan adat sebab jika
tidak wajib Allah tidak menyuruh Rasullah SWT.
2. Hadits Rasulullah SAW, “Apa yang dilihat kaum muslimin baik maka
ia juga baik di sisi Allah”. Hadits ini menunjukkan bahwa setiap yang
dianggap baik oleh kaum muslimin maka hal itu juga baik di sisi Allah
dan jika memang begitu maka wajib diamalkan dan dijadikan sandaran
33
3. Syariat Islam sangat memperhatikan aspek adat kebiasaan orang Arab
dalam menetapkan hukum. Semua ditetapkan demi mewujudkan
kemaslahatan bagi khalayak ramai, seperti akad dan mewajibkan denda
kepada pembunuhan yang tidak disengaja. Selain itu, Islam juga telah
membatalkan beberapa tradisi buruk yang membahayakan, seperti
mengubur anak perempuan dan menjauhkan kaum wanita dari harta
warisan Islam mengakui keberadaan adat istiadat yang baik.
4. Syariat Islam memiliki prinsip menghilangkan segala kesusahan dan
memudahkan urusan manusia dan mewajibkan orang untuk
meninggalkan sesuatu yang sudah menjadi adat kebiasaan mereka
karena sama artinya dengan menjerumuskan mereka ke dalam jurang
kesulitan. Agar mereka tidak terjatuh dalam jurang ini, kita harus
mengakui adat kebiasaan mereka (Khalil. 2009 : 169) sebagaimana
firman Allah SAW :
“Dan Dia sekali-kali menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”.(QS. Al-Hajj (22) :78)
Dan firman Allah SAW :
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”.(QS. Al-Baqoroh (2) : 185)
C. Pingitan.
1. Pengertian Pingitan
34
Memingit ; menurung dalam rumah. Pingitan ; Sesuatu yang di
pingit (Fajri dan Senja : 655).
Sengkeran atau Pingitan adalah proses mempersiapkan diri
mempelai untuk memasuki sebuah dunia yang bernama rumah tangga.
Dipingit adalah istilah yang diterapkan pada calon pengantin agar tidak
kemana-mana maksudnya adalah agar calon pengatin aman dan segar
bugar. Pada dasarnya pingit pengantin itu sama antara daerah satu
dengan daerah yang lain, namun pada pelaksanaannya saja yang
berbeda.
Menurut ethicalweddings.com pingitan pengantin adalah calon
pengantin putri tidak diperbolehkan keluar rumah atau bertemu calon
pengantin putra sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, yaitu sebelum
acara akad nikah. Kedua mempelai harus tidak saling bertemu dulu.
2. Asal Usul Tradisi Pingitan.
Pendidikan anak perempuan menurut adat-istiadat lebih terikat
kepada lingkungan rumah. Semua kebebasan dan pendidikan yang
dinikmati anak-anak gadis itu berakhir, begitu ia menginjak dewasa dan
menjelang pernikahan. Ukuran dewasa bagi gadis-gadis remaja yang
hidup di daerah tropis sangat cepat, sekitar 10 sampai 12 tahun. Mulai
dipersiapkan untuk kehidupan berkeluarga dengan memasuki dunia
pingitan.
Pingitan adalah dunia wanita, dimana gadis-gadis kecil mulai
35
mengasuh dan mengurus adik-adik mereka yang masih kecil, belajar
memasak dan menjahit, serta kecakapan-kecakapan lain yang perlu
dimiliki ibu rumah tangga. Rumah tangga adalah tiang masyarakat,dan
masyarakat adalah tiang Negara, sebab itu setiap wanita harus menjadi
ibu yang baik dan cakap dalam penanganan rumah tangga.
Tradisi pingitan ini sudah ada pada zaman keraton atau zaman
kerajaan Yogyajakarta. Pada zaman keraton Yogyakarta yang dipimpin
Sri Sultan Hamengkubuwono 1, tradisi pingit pengantin sudah ada sejak
zaman nenek moyang mereka dan tradisi ini merupakan tradisi Jawa
asli yang dijadikan sebagai tradisi turun temurun. Pada zaman dahulu
para pendatang dari Yogyakarta dan Solo datang ke Desa Maduran
Kec.Maduran Kab. Lamongan dan membawa tradisi dan bahasa Jawa
halus (krama inggil).
Mereka tinggal berdampingan bersama masyarakat Desa Maduran
dan kemudian mereka menikah dengan masyarakat Desa Maduran
tersebut. Dan disaat pernikahan tersebut semua adat dari Yogyakarta
dan Solo diterapakan di acara pernikahan, sehingga berbagai adat Jawa
itu ada di Desa Maduran dan merupakan tradisi turun temurun yang
wajib dilestarikan sampai sekarang. Maka dari itu Tradisi pingitan lebih
terkenal di Ds. Maduran Kab. Lamongan, karena tradisi ini sebagian
masih dilakukan oleh beberapa masyarakat sampai sekarang. Tetapi
bukan berarti masyarakat Solo dan Yogyakarta tidak melakukan tradisi
36
daerah Klaten dan Boyolali masih menggunakan tradisi pingitan
tersebut.(Sumber :http://muthiapriyanti.blogspot.com.2004/04)
D. Hukum Islam
1. Definisi Hukum Islam
Secara etimologis, hukum adalah sebuah kumpulkan aturan,
baik berupa hasil pengundangan formal maupun dari kebiasaan, yang
mana sebuah negara atau masyarakat mengaku terikat sebagai anggota
atau subyeknya. Kalau pengertian hukum tersebut dihubungkan
dengan Islam, maka “Hukum Islam” adalah sejumlah aturan yang
bersumber pada wakyu Allah dan Sunnah Rasul-baik yang langsung
maupun yang tidak langsung-yang mengantur tingkah laku manusia
yang diakui dan diyakini serta harus dikerjakan oleh umat Islam. Di
samping itu, hukum Islam juga harus memiliki kekuatan untuk
mengatur, baik secara politis maupun sosial.
Secara terminologis, M. Hasbi ash-Shiddieqy menyebutkan
bahwa hukum Islam adalah koleksi daya upaya para ahli hukum untuk
menerapkan syari‟ah atas kebutuhan masyarakat. Sementara itu, An
-Naim menyebutkan bahwa hukum islam mencakup persoalan
keyakinan, ibadah(ritual), etika, dan hukum (Dahlan, 2009 : 92).
Menurut Marcus Tullius Cicero (Romawi) dalam De Legibus
menyatakan hukum adalah akal tertinggi ( the highest reason) yang
ditanamkan oleh alam dalam diri manusia untuk menetapkan apa yang
37
digunakan dalam perspektif ini adalah aspek perbuatan yang boleh
diperbuat manusia dan aspek perbuatan yang harus doihindari.
Perbuatan manusia, antara yang boleh dilakukan, tidak boleh
dilakukan, merugikan atau tidak merugikan, bertentangan dengan
norma yang ditetapkan oleh negara atau tidak merupakan beberapa
unsur yang menentukan rumusan mengenai hukum. Adapun hukum
Islam biasanya disebut dengan beberapa istilah atau nama yang
masing-masing menggambarkan sisi atau karakteristik tertentu hukum
tersebut (Mustofa dan wahid, 2008 : 1).
Uraian tersebut menunjukan bahwa hukum Islam mencakup
berbagai persoalan hidup manusia, baik yang menyangkut urusan
dunia maupun urusan akhirat.
2. Tujuan Hukum Islam.
Scholten menyebutkan : Tiada hukum tanpa formula, yang
dituntut adalah ucapan hukum berupa penilaian kata mengenai apa
hukum itu, penilaian mana bersandar pada formula-formula umu yang
tersusun dalam kata-kata. Kalau dipelajari dengan seksama ketetapan
Allah dan ketentuan Rasul-Nya yang terdapat di dalam Alquran dan
kitab-kitab hadis yang sahih, kita segera dapat mengetahuio tujuan
hukum Islam. Secara umum sering dirumuskan bahwa tujuan hukum
Islam kebahagian hidup manusia di dunia dan diahkirat kelak, dengan
jalan mengambil (segala) yang bermanfaat dan mencegah atau
38
kehidupan. Dengan kata lain, tujuan hukum Islam adalah
kemaslahatan hidup manusia, baik rohani maupun jasmani, individual,
dan sosial.(Mustofa dan Wahid. 2008 : 6)
Kemaslahatan itu tidak hanya untuk kehidupan di dunia ini
saja, tetapi juga untuk kehidupan yang kekal di akhirat kelak. Abu
Ishaq al Shatibi (m.d. 790/1388) merumuskan lima tujuan hukum
Islam , yakni :
1) Memelihara agama.
2) Memelihara jiwa.
3) Memelihara akal.
4) Memelihara keturan.
39 BAB III
HASIL PENELITIAN
A.Deskripsi Lokasi Penelitian
1. Kondisi Umum Tentang Desa Klalingan
a. Sejarah Desa Klalingan.
Pada zaman dahulu di Indonesia dijajah negara Belanda.
Tentara-tentara Belanda menyerbu di berbagai kota di Indonesia. Melihat hal
tersebut akhirnya Nyi Ageng Serang mengajak rakyatnya bertekad
mengadakan perlawanan terhadap tentara Belanda tersebut dengan
mengguakan senjata sederhana yaitu sebuah bambu runcing. Kemudian
terjadilah sebuah pertempuran yang sangat sengit antara tentara Belanda
dengan rakyat Indonesia dibawah pimpinan Nyi Ageng Serang karena
terlalu lelah akhirnya Nyi ageng Serang beristirahat disebuah tempat. Nyi
Ageng Serang berkata tepat ini kelak akan dinamakan “Klaliangan” yang
berasal dari kata “kaling- kalingan”, yang artinya Belanda tidak akan
pernah melihat karena kaling-kalingan (ketutupan)
Sumber lain menyatakan bahwa zaman dahulu saat masa penjajahan
Belanda Indonesia banyak juga didatangi oleh negara-negara lain dengan
tujuan melakukan perdagangan dan penyiksaan dengan warga negara
Indonesia. Masyarakat kemudian mencari tempat yang aman dari penjajah,
yang kemudian menemukan sebuah Desa yang nampak tertutup bundaran
40
tersebut disebut dengan sebutan Klalingan.. (Sumber: Cerita warga Desa
Klalingan, Kecamatan Klego, Kabupaten Boyolali).
b. Visi dan Misi Desa Klalingan. Adapun visi dan misi dari Desa
Klalingan yaitu sebagai berikut:
1) Visi Desa Klalingan
Terwujudnya masyarakat Desa Klaliangan yang tertib, sehat dan
kondusif dalam tata kehidupan yang demokratis, cerdas, mandiri, kreatif
dan produktif dilandasi oleh akhlak mulia dalam rangka mencapai/menuju
terwujudnya Boyolali Tersenyum (Tertib, Rapi, Sehat, Nyaman untuk
Masyarakat), mampu meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan lahir
batin berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
2) Misi Desa Klalingan
a) Untuk menumbuh kembangkan keinginan masyarakat dalam
memenuhi kebutuhan kehidupan sehari-hari sesuai dengan situasi
dan kondisi Sumber Daya Alam (SDA) Desa Klalingan.
b) Menjadikan Desa Klalingan sebagai Desa (Sentra Pertanian).
Desa yang mampu mewujudkan pertanian yang modern dengan
mengembangkan penggunaan pupuk organik yang ramah
lingkungan.
c) Menjadikan masyarakat Desa Klalingan berbudi pekerti luhur,
tangguh, sehat jasmani dan rokhaninya, cerdas, patriotik,
41
demokratis demi terciptanya sumber daya manusia yang
berkualitas.
d) Meningkatkan upaya pemerataan pembangunan disegala bidang
pada semua lapisan masyarakat untuk mewujudkan kemakmuran.
e) Mewujudkan Aparat Pemerintahan Desa yang berfungsi sebagai
pelayan masyarakat yang profesional, berdaya guna, dan berhasil
guna, sehingga terwujud Pemerintahan Desa yang bersih dan
beribawa.
f) Meningkatkan inisiatif perencanaan pembangunan, pemberdayaan
masyarakat dan peran wanita serta generasi muda juga
menegakkan supremasi hukum bagi masyarakat.
g) Meningkatkan persatuan dan kersatuan serta toleransi beragama
demi terwujudnya kedamaian, ketentraman, keamanan,
kenyamanan, dan ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. (Sumber: Rencana Pembangunan
Jangka Menengah (RPJM) Desa Klalingan, Kecamatan Klego,
42
c. Peta Desa Klego.
Gambar 5. Peta Desa Klego
d. Susunan Organisasi dan Tata Kerja Aparat Pemerintahan Desa Klalingan.
Adapun susunan organisasi dan tata kerja aparat pemerintahan Desa Klalingan
yaitu sebagai berikut:
Gambar 3.1. Susunan Organisasi dan Tata Kerja Aparat Pemerintahan Desa
Klalingan
Kepala Dusun
:
Waryanti
Rukun
Tetangga(Rt) 22
: Tasrun
Rukun
Tetangga(Rt) 23
: Suhar
Rukun Tetangga
(Rt) 24 :
Jamhari
43
2. Letak Geografis dan Batas Administrasi Desa Klalingan
Desa Klego memiliki batas wilayah sebagai berikut:
1) Sebelah Utara : Desa Gondang Legi
2) Sebelah Selatan : Desa Kedokan
3) Sebelah Timur : Desa Karanganyar
4) Sebelah Barat : Desa klumpang
(Sumber: Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Desa Klalingan,
Kecamatan Klego, Kabupaten Boyolali).
3. Kondisi fisik Desa Klego
a. Topografi. Kondisi Topografi Desa Klego yang dibagi menjadi tiga Rukun
tetangga (RT). Adapun pembagian wilayahnya dibagi sebagai berikut :
1) Bagian Selatan Rt (Rukun Tetangga) 22.
2) Bagian Tengah Rt (Rukun Tetangga) 23.
3) Bagian Utara Rt (Rukun Tetangga) 24.
Secara keseluruhan wilayah Desa Klalinagn tergolong (dataran rendah
atau dataran tinggi) dengan kemiringan 2-15% dan ketinggian kurang lebih 300
meter di atas permukaan laut.(Sumber: Rencana Pembangunan Jangka
Menengah (RPJM) Desa Klalingan, Kecamatan Klego, Kabupaten Boyolali).
b. Klimatologi. Berdasarkan kondisi iklimnya, Desa Klalinagan dapat
digolongkan sebagai wilayah dengan karakteristik lembab dengan curah hujan
2.000 mm/tahun dan jumlah bulan kering 6 bulan. (Sumber: Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Desa Klaliangan, Kecamatan Klego,
44
c. Hidrologi. Kondisi Hidrologi Desa Klalingan digolongkan kekurangan
sumber mata air. Kondisi tersebut sangat memprihatinkan untuk kebutuhan
sehari-hari saat musim kemarau, serta kondisi persawahan adalah sawah tadah
hujan. (Sumber: Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Desa
Klaliangan, Kecamatan Klego, Kabupaten Boyolali).
d. Jenis tanah. Desa Klalingan memiliki jenis tanah yang pada umumnya
termasuk jenis Aluvial, yang jenis tanah ini cukup sesuai untuk kegiatan
pertanian namun masih labil. Sehingga mengakibatkan banyak jalan di Desa
Klalingan yang cepat rusak. (Sumber: Rencana Pembangunan Jangka
Menengah (RPJM) Desa Kalingan, Kecamatan Klego, Kabupaten Boyolali).
e. Kondisi lingkungan. Desa Klalingan memiliki karakteristik lingkungan
berupa dataran rendah dengan lingkungan basah dan kering. Karakter
lingkungan wilayah ini mempengaruhi jenis usaha pertanian tanaman pangan,
dengan pengembangan pada lingkungan sebagai berikut:
1) Tanah basah yaitu upaya pengembangan usaha pertanian yang betul-betul
modern dengan mengembangkan penggunaan pupuk organik, sehingga
Desa Klalingan mampu memberikan konstribusi terhadap negara dalam
swadaya beras secara nasional.
2) Tanah kering yaitu sangat cocok untuk pengembangan pertaian tanaman
pangan lahan kering khususnya palawija.
Permasalahan lingkungan hidup yang cukup mencolok yaitu dengan
keberadaan peternakan ayam potong dan pengembangan ikan air tawar jenis
45
Meskipun selama ini masalah pengaruh polusi dan lalat masih terkendali,
namun yang perlu perhatian khusus dalam pengendaliannya sehingga
benar-benar tidak akan menggangu masyarakat dan lingkungan sehingga semua
bisatertangani dengan baik.(Sumber: Rencana Pembangunan Jangka Menengah
(RPJM) Desa Klalingan, Kecamatan Klego, Kabupaten Boyolali).
f. Kependudukan. Kependudukan Desa Klalingan dapat dibedakan
berdasarkan usia. Kependudukan desa Klalingan dapat dilihat pada tabel
dibawah ini.
Tabel 3.1 Kependudukan Desa Klalingan
No Usia/tahun Jumlah
1 0 – 5 90
2 6 – 16 60
3 17 – 25 70
4 26 – 55 85
5 56 ke atas 55
(Sumber: Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Desa
Klalingan, Kecamatan Klego, Kabupaten Boyolali).
Berdasarkan tabel di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kependudukan
yang paling tinggi adalah kelompok usia 0 sampai 5 tahun yaitu mencapai 90
orang, sedangkan yang paling rendah yaitu usia 56 tahun ke atas yang hanya
46
g. Penduduk Menurut Mata Pencaharian. Desa Klalingan dapat dibedakan
berdasarkan mata pencaharian. Penduduk menurut mata pencaharian desa
Klalingan dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 3.2 Penduduk Menurut Mata Pencaharian
No Jenis Mata Pencaharian Jumlah
1 Petani Pemilik Tanah 15
2 Petani Penggarap Tanah 25
3 Buruh Tani 30
4 Nelayan 3
5 Pengrajin/Industri Kecil 3
6 Buruh Industri 15
7 Buruh Bangunan 50
8 Pedagang 30
9 Pengangkutan 15
10 Pegawai Negeri Sipil 26
11 TNI 9
47
13 Peternak Sapi 50
14 Peternak Kambing 30
15 Peternak Ayam 49
(Sumber: Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Desa Klalingan,
Kecamatan Klego, Kabupaten Boyolali).
Berdasarkan tabel di atas, maka mata pencaharian desa Klalingan paling
banyak yaitu peternak ayam yang mencapai 2011, sedangkan mata pencaharian
yang terkecil yaitu jenis nelayan yang hanya berjumlah 3 orang.
h. Penduduk menurut pendidikanya. Desa Klalingan dapat dibedakan
berdasarkan pendidikanya. Penduduk menurut pendidiknya desa Klalingan
dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 3.3 Penduduk Menurut Pendidikan
NO Tingkat Pendidikan Jumlah
1 SD 100
2 SMP 85
3 SMA (Sederajat) 70
4 Perguruan Tinggi 10