SKRIPSI
PENGARUH PEER GROUP DISSCUSION TERHADAP PENINGKATAN
PENGETAHUAN DAN SIKAP REMAJA TENTANG PENCEGAHAN PERILAKU SEKS BEBAS PADA SISWA KELAS VIII SMP PANCA JAYA SURABAYA
PENELITIAN QUASY-EXPERIMENT
Oleh: SUHARTINA NIM. 131111074
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS
SKRIPSI
PENGARUH PEER GROUP DISSCUSION TERHADAP PENINGKATAN
PENGETAHUAN DAN SIKAP REMAJA TENTANG PENCEGAHAN PERILAKU SEKS BEBAS PADA SISWA KELAS VIII SMP PANCA JAYA
SURABAYA
PENELITIAN QUASY-EXPERIMENT
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana (S.Kep) dalam Program Studi Pendidikan Ners
pada Program Studi Pendidikan Ners Fakultas Keperawatan UNAIR
Oleh : SUHARTINA NIM. 131111074
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS
FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
SURAT PERNYATAAN
Saya Bersumpah bahwa skripsi ini adalah hasil karya sendiri dan belum pernah
dikumpulkan oleh orang lain untuk memperoleh gelar dari berbagai jenjang
HALAMAN PERNYATAAN
PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Airlangga, saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Suhartina
NIM : 131111074
Program Studi : Pendidikan Ners Fakultas : Keperawatan Jenis karya : Skripsi
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Airlangga Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:
“Pengaruh Peer Group Discussion terhadap Peningkatan Pengetahuan dan Sikap Remaja tentang Pencegahan Perilaku Seks Bebas pada Siswa Kelas VIII SMP Panca Jaya Surabaya” beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Airlangga berhak menyimpan, alihmedia/format, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
MOTTO
“Man Jadda Wa Jada”
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji Syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan bimbinganNya, saya dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “PENGARUH
PEER GROUP DISCUSSION TERHADAP PENINGKATAN
PENGETAHUAN DAN SIKAP REMAJA TENTANG PENCEGAHAN PERILAKU SEKS BEBAS PADA SISWA KELAS VIII SMP PANCA JAYA SURABAYA”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana keperawatan (S.Kep) pada program studi pendidikan Ners Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga.
Bersama ini perkenankanlah saya untuk mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dengan hati yang tulus kepada:
1. Bu Mira Triharini S.Kp.,M.Kep., sebagai wakil dekan 1 Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga yang telah memberikan kesempatan dan dorongan kepada kami untuk menyelesaikan program studi Pendidikan Ners sekaligus sebagai pembimbing 1 dan Bu Eka Mishbahatul, S.Kep., Ns., M.Kep., selaku pembimbing 2 saya yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan selama penyusunan skripsi.
2. Bu Elida Ulfiana S.Kep, Ns., M.Kep., selaku penguji seminar proposal dan ujian skripsi yang telah memberikan masukan dan saran untuk penyempurnaan skripsi ini, dan Bu Aria Aulia S. Kep., Ns., M. Kep., selaku penguji seminar proposal yang sudah memberikan masukan dan sarannya.
3. Bu Herdina M. S.Kep. Ns., M.Kep., selaku dosen wali saya yang telah memberikan semangat dalam proses pembuatan skripsi.
4. Bu Purwaningsih S.Kp., M.Kes., selaku dekan Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga atas kesempatan serta fasilitas yang diberikan kepada kami untuk menyelesaikan dan mengikuti Program Ptudi pendidikan Ners. 5. Kedua Orang tua saya (H. La Dimani dan Hj. Waode Sahea) dan
6. Paman saya Laode Rabani beserta keluarga besar di Yogyakarta yang telah memberikan dukungan dalam penyelesaian skripsi ini.
7. Bu Sutri, S.Pd selaku kepala sekolah SMP Panca Jaya Surabaya yang telah memberikan izin untuk fasilitas penelitian.
8. Bu Isnaini selaku guru perwakilan siswa SMP Panca Jaya Surabaya yang selalu mendukung selama proses penelitian.
9. Remaja kelas VIII A dan D SMP Panca Jaya Surabaya yang sudah bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.
10. Saudara-saudaraku di GenCorps yaitu Gen 0, Gen 1, Gen 2, Gen 3, Gen 4, Gen 5, Gen 6, Gen 7, dan terutama untuk generasi ke-4 (Dina Rosita dan Ni komang Wepiyanti (yang sudah bersedia membantu saya selama penelitian), Hakim zulkarnain, Ika Ayu dianty, Choirul Anwar, Bety Ayu Astuti, Filiani Cynthia, Chirst Wibowo Dwi Andrianto, Prajna Paramitha M., Bestya Nurima M.A, Yulia Dyah A., Hartono, Dian Agustin, Novita Nindy M., Gilang Ramadhan, Okgi Tiara, Ari Kurniawan, dan Yuni Tristian C.E.P.,) yang telah saling menyemangati satu sama lain.
11. Eka Agustin Herliana, Navira Chairunnisa, Selfi Ratna P., Eli Sazana, Arief priyo, yang sudah bersama-sama berjuang dalam satu bimbingan bu Eka Mishbahatul dan Bu Mira Triharini dan saling menyemangati satu sama lain. 12. Mery Priska Napitupulu dan Yosephin Nova yang sudah bersedia membantu
selama proses penelitian.
13. Rekan-rekan A11 yang berjuang bersama-sama serta saling menyemangati satu sama lain.
Semoga Allah SWT membalas budi baik semua pihak yang telah memberi kesempatan, dukungan, dan bantuan dalam menyelesaikan skripsi ini.
Saya sadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna, tetapi kami berharap skripsi ini bermanfaat bagi pembaca dan bagi keperawatan.
Surabaya, 23 Juni, 2015
ABSTRACT
THE EFFECT OF PEER GROUP DISCUSSION TO IMPROVE ADOLESCENT’S KNOWLEDGE AND ATTITUDE ABOUT FREE SEX
PREVENTION ON 8th GRADE STUDENT’S AT SMP PANCA JAYA SURABAYA
A Quasy-Experimental Study By: Suhartina
Adolescence is a stage of transition from children to adulthood. Lack of knowledge about free sex prevention can increase free sex behavior in the future among adolescence. This study was aimed to analyze the effect of peer group discussion to improve adolescent’s knowledge and attitude about free sex prevention on 8th grade student’s at SMP Panca Jaya Surabaya.
This study was used quasy experimental design. Population were all of adolescence 8th grade and through multistage random method derived A 8th grade and D 8th grade as affordable population. 50 respondent involved, taken according to purposive sampling, devided into 27 respondent on experiment group and 23 respondent on control group. The independent variable of this research was peer group discussion and dependent variable were knowledge and attitude. Data were collected by questionnaires and analyze using Wilcoxon Signed Rank Test and Mann Whitney U Test with significant level α=<0,05.
Wilcoxon signed rank test showed that peer group discussion had effect on adolescent’s knowledge (p= 0,022) but not on attitude (p=0,157). Mann Whitney U Test showed there was difference result between experiment group and control group on knowledge (p=0,022) but the result is not significant on attitude (p=0,424).
It can be concluded that peer group discussion can be used as a method of health education in providing information about free sex prevention in adolescence especially to increase their knowledge. Nurses should do preventive action to decrease free sex cases in adolescence. Further study should involve behavior variable, analyze some factors that can effect adolescent’s knowledge and attitude.
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul dan Prasyarat Gelar ... i
Surat Pernyataan... ii
Lembar Persetujuan ...iii
Lembar Penetapan penguji ... iv
Motto ... v
Ucapan Terima Kasih ... vi
Abstract ...viii
1.2 Identifikasi Masalah ... 6
1.3 Rumusan Masalah ... 6
1.4 Tujuan Penelitian ... 7
1.4.1 Tujuan umum ... 7
1.4.2 Tujuan khusus ... 7
1.5 Manfaat ... 7
1.5.1 Manfaat teoritis ... 7
1.5.2 Manfaat praktis ... 7
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 9
2.1 Teori difusi inovasi Roger ... 9
2.1.1 Elemen difusi inovasi ... 9
2.1.2 Faktor yang berpengaruh terhadap tahapan difusi inovasi ... 10
2.2 Konsep Pendidikan Kesehatan ... 13
2.2.1 Pengertian pendidikan kesehatan ... 13
2.2.2 Proses pendidikan kesehatan ... 13
2.2.3 Tujuan pendidikan kesehatan ... 14
2.2.4 Ruang lingkup pendidikan kesehatan ... 15
2.2.5 Metode Pembelajaran dalam pendidikan kesehatan ... 16
2.3 Konsep Kesehatan Reproduksi Remaja ... 18
2.3.1 Pengertian kesehatan reproduksi remaja ... 18
2.3.2 Tujuan kesehatan reproduksi remaja ... 18
2.3.3 Hak-hak remaja terkait sistem reproduksi ... 19
2.3.4 Program kesehatan reproduksi remaja ... 19
2.4 Konsep Perilaku Seks Bebas ... 20
2.4.1 Pengertian remaja ... 20
2.4.2 Fase perkembangan remaja ... 20
2.4.5 Pola perilaku seks bebas ... 24
2.4.6 Faktor yang mempengaruhi remaja melakukan seks bebas .... 25
2.4.7 Akibat perilaku seks bebas ... 26
2.5 Upaya Pencegahan Perilaku Seks Bebas ... 30
2.6 Domain Perilaku ... 30
2.7 Konsep Peer Group Discussion ... 37
2.7.1 Pengertian peer group discussion ... 37
2.7.2 Prinsip peer group discussion ... 37
2.7.3 Tujuan dan manfaat peer group discussion... 38
2.7.4 Kelebihan dan kekurangan peer group discussion ... 39
2.7.4 Teknik peer group discussion ... 40
2.8 Keaslian Penulisan ... 41
BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN .. 43
3.1 Kerangka Konseptual ... 43
3.2 Hipotesis Penelitian ... 46
BAB 4 METODE PENELITIAN ... 47
4.1 Desain Penelitian ... 47
4.2 Kerangka Kerja ... 48
4.3 Populasi, sampel, dan sampling ... 49
4.3.1 Populasi ... 49
4.3.2 Sampel ... 49
4.3.3 Sampling... 50
4.4 Identifikasi Masalah ... 51
4.4.1 Variabel independen ... 51
4.4.2 Variabel dependen ... 51
4.5 Definisi Operasional ... 51
4.6 Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 53
4.6.1 Instrumen penelitian ... 53
4.6.2 Uji Validitas dan Reliabilitas ... 54
4.6.3 Lokasi dan waktu pengumpulan data ... 55
4.6.4 Prosedur Pengumpulan data ... 55
4.6.5 Cara analisis data ... 58
4.7 Etika Penelitian ... 60
4.7.1 Informed Consent ... 60
4.7.2 Anonimity (tanpa nama) ... 60
4.7.3 Kerahasiaan ... 60
4.8 Keterbatasan Penelitian ... 61
BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 62
5.1 Hasil Penelitian ... 62
5.1.1 Gambaran umum lokasi penelitian ... 62
5.1.2 Data demografi responden ... 63
5.1.3 Data variabel yang diukur ... 65
5.2 Pembahasan ... 68
5.2.2 Pengaruh peer group discussion terhadap sikap remaja tentang
pencegahan perilaku seks bebas ... 73
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 76
6.1 Kesimpulan ... 76
6.2 Saran ... 77
DAFTAR PUSTAKA ... 78
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Identifikasi penyebab masalah perilaku seks bebas ... 6
Gambar 2.1 Tahapan proses adopsi Roger (2003) ... 12
Gambar 2.2 Proses belajar Notoadmodjo (2003) ... 14
Gambar 3.1 Kerangka konseptual penelitian ... 43
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Data informasi umum remaja berdasarkan survei data awal ... 3
Tabel 1.2 Data pengetahuan remaja berdasarkan survei data awal ... 3
Tabel 2.8 Keaslian penelitian ... 41
Tabel 4.1 Desain penelitian ... 47
Tabel 4.2 Definisi operasional ... 51
Tabel 5.1 Jumlah siswa SMP Panca Jaya 4 tahun terakhir ... 62
Tabel 5.2 Data demografi responden ... 64
Tabel 5.3 Distribusi frekuensi responden berdasarkan pengetahuan remaja .... 66
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Sertifikat etik penelitian ... 81
Lampiran 2 Surat permohonan fasilitas data penelitian ... 82
Lampiran 3 Surat izin dari Bakesbang, Pol dan Linmas ... 83
Lampiran 4 Surat ijin penelitian dari dinas pendidikan kota Surabaya ... 84
Lampiran 5 Surat keterangan penelitian dari SMP Panca Jaya Surabaya ... 85
Lampiran 6 Lembar Penjelasan Penelitian ... 86
Lampiran 7 Informed Consent ... 88
Lampiran 8 Kuisioner penelitian ... 89
Lampiran 9 SAP peer group discussion 1 ... 91
Lampiran 10 Materi SAP peer group discussion 1 ... 97
Lampiran 11 SAP peer group discussion 2... 103
Lampiran 12 Materi peer group discussion 2 ... 107
DAFTAR SINGKATAN
PMS = Penyakit Menular Seksual HIV = Human Imunodeficiency Virus
AIDS = Aqquired Imunodeficiency Syndrome
KB = Keluarga Berencana
KTD = Kehamilan yang Tidak Di inginkan BAK = Buang Air Kecil
NAPZA = Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif HE = Health Education
SAP = Satuan Acara Pembelajaran
SPSS = Statistical Package for the Social Sciences
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Pada masa remaja terjadi masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa
dewasa. Pada masa ini terjadi perubahan fisik, perilaku, kognitif, biologis, dan
emosi yang dapat mempengaruhi perilaku remaja (Efendi & Makhfudli, 2013).
Adanya kematangan fisik, intelektual, serta emosional pada masa remaja dapat
berpengaruh pada perilaku seksualnya. Perilaku seksual remaja timbul akibat
dorongan seksual karena proses pematangan biologis saat pubertas dan
pematangan psikoseksual. Selain dipengaruhi oleh perubahan tumbuh
kembangnya, berbagai faktor eksternal juga dapat mempengaruhi perilaku
seksual remaja seperti kurangnya pendidikan kesehatan reproduksi, pengaruh
berbagai media masa, pengaruh negatif teman sebaya, pergaulan bebas serta
adanya keinginan remaja untuk mencoba-coba. Perilaku seks bebas pada remaja
merupakan perilaku seksual remaja pranikah tanpa memperhatikan
batasan-batasan yang sesuai dengan nilai-nilai moral, hukum, serta agama di masyarakat
(Soetjiningsih, 2004). Bentuk perilaku tersebut meliputi bergandengan tangan,
berpelukan, bercumbu, bercumbu berat (petting) sampai berhubungan seksual
(Efendi & Makhfudli, 2013). Hal ini jika dibiarkan akan berdampak pada masa
depan remaja yaitu kehamilan di luar nikah, aborsi, timbulnya penyakit menular
seksual, dikucilkan, di-drop out dari sekolah dan memiliki masa depan yang
Berdasarkan data statistik dunia terkait perilaku seks bebas, terdapat 26
negara dengan frekuensi rata-rata berhubungan seks setiap minggu mencapai 67%.
Tiga negara dengan angka tertinggi berturut-turut meliputi Yunani 87% Brazil
82%, dan Rusia 80% dan tiga Negara dengan angka kejadian terendah
berturut-turut meliputi Nigeria 53%, USA 53% dan Jepang 34% (ChartsBin Statistic,
2009).
Berdasarkan data BKKBN (2012) masalah yang paling populer di kalangan
remaja Indonesia terutama dalam aspek kesehatan reproduksi meliputi perilaku
seks bebas, narkoba, dan infeksi menular seksual HIV/AIDS. Ketiga masalah ini
saling berhubungan satu sama lain. Berdasarkan hasil penelitian Kemenkes RI
(2009), tentang perilaku seks bebas remaja di empat kota besar (Jakarta Pusat,
Medan, Bandung dan Surabaya) menunjukan sebanyak 35,9% remaja memiliki
teman yang sudah pernah melakukan hubungan seksual sebelum menikah, dan
sebanyak 6,9% responden sudah pernah melakukan hubungan seksual pranikah.
Selain itu, perilaku seksual di kalangan anak-anak dan remaja di Indonesia sangat
memprihatinkan. Bahkan dari data Riskesdas 2010 disebutkan bahwa 0,5%
perempuan dan 0,1% laki-laki pertama kali berhubungan seksual di usia 8 tahun
(BKKBN, 2014).
Penelitian lain dalam Australian National University dan Pusat Penelitian
Kesehatan Universitas Indonesia (2010) yang melakukan penelitian di kota
Jakarta, Tangerang, dan Bekasi, dengan jumlah sampel 3.006 responden, rentang
usia kurang dari 17 sampai 24 tahun, terdapat 20,9 persen remaja hamil dan
melahirkan sebelum menikah. Dari data tersebut terungkap 38,7 persen remaja
tinggi pada remaja yang menikah karena kehamilan yang tidak diinginkan
(BKKBN, 2012).
Berdasarkan data awal yang dilakukan pada hari Selasa 03 Maret 2015 pada
10 responden remaja kelas VIII SMP Panca Jaya Surabaya didapatkan
pengetahuan remaja tentang pencegahan perilaku seks bebas yaitu:
Tabel 1.1 Data informasi umum remaja SMP Panca Jaya Surabaya
Informasi umum Prosentase
Pentingnya informasi
kesehatan reproduksi Tidak penting Penting 50% 50% Usia rata-rata remaja
memulai pacaran 9-13 tahun
Remaja pacaran Memiliki pacar 80%
Tidak memiliki pacar 20%
Dari 80% Remaja pacaran yang diketahui
oleh orang tuanya
Diketahui orang tua 30%
Tidak diketahui orang tua 50%
Sumber: Berdasarkan hasil survei pengambilan data awal peneliti
Tabel 1.2 Data pengetahuan remaja kelas VIII SMP Panca Jaya Surabaya tentang pencegahan seks bebas
Sumber: Berdasarkan hasil survei pengambilan data awal peneliti
Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa rata-rata 80% remaja
SMP Panca Jaya memiliki pengetahuan yang kurang terkait pencegahan perilaku
seks bebas dan 20% remaja lainnya memiliki pengetahuan yang cukup terkait
guru SMP Panca Jaya didapatkan bahwa Informasi kesehatan reproduksi sudah
diberikan di sekolah, namun frekuensinya hanya sekali. Hal ini disebabkan karena
sekolah tersebut lebih fokus pada pencegahan NAPZA. Selain itu, SMP Panca
Jaya terletak di dekat area bekas lokalisasi sehingga remaja SMP Panca Jaya
rentan terhadap resiko perilaku seks bebas.
Menurut BKKBN (2015) perlu adanya pendidikan kesehatan reproduksi
dini pada remaja SMP karena tidak hanya remaja SMA, namun remaja SMP juga
sangat beresiko terhadap perilaku seks bebas. Angka kejadian ini disebabkan oleh
kurangnya pemahaman remaja terkait kesehatan reproduksi. Kurangnya
pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi menyebabkan kebingungan
remaja dalam memahami terkait tindakan yang boleh dan tidak boleh dilakukan
seperti dalam hal berpacaran, ciuman, serta dalam hal berhubungan seksual
pranikah. Oleh karena itu, pemahaman yang benar akan kesehatan seksualitas
sangat penting untuk masa depan remaja (Soetjiningsih, 2004).
Menurut Roger (2003) seseorang dapat mengadopsi suatu perilaku melalui
proses difusi inovasi. Proses difusi inovasi merupakan suatu proses komunikasi
yang disampaikan melalui berbagai saluran sepanjang waktu kepada sekelompok
anggota dari berbagai sistem sosial. Peran perawat dalam hal ini adalah
memberikan suatu inovasi berupa pendidikan kesehatan tentang pencegahan
perilaku seks bebas agar remaja dapat mengadopsi perilaku positif dalam upaya
pencegahan perilaku seks bebas. Tahapan dalam proses adopsi perilaku meliputi
pengetahuan, persuasif, pengambilan keputusan, implementasi, dan komfirmasi
Pendidikan kesehatan reproduksi sejak dini perlu dilakukan kepada remaja
awal agar dapat memahami batasan perilaku yang harus dilakukan (BKKBN,
2015). Untuk meningkatkan pemahaman remaja, maka pendidikan kesehatan
harus dilakukan dengan metode yang efektif. Salah satu metode yang efektif
digunakan dalam kelompok remaja adalah diskusi kelompok sebaya (Peer Group
Discussion) (Santrock, 2007). Metode peer group discussion merupakan metode
diskusi kelompok di mana remaja dengan beberapa remaja lainnya dalam suatu
kelompok tertentu dengan usia relatif sama yang memiliki tujuan yang sama
berinteraksi satu sama lain serta bertukar pengalaman dan informasi positif
terkait suatu pokok permasalahan tertentu, sehingga dapat saling mendukung satu
sama lain dalam hal perilaku positif remaja (Mulyana & Nugrahani, 2014).
Metode peer group discussion ini dapat sangat efektif digunakan karena dapat
meningkatkan pengetahuan remaja serta memberikan situasi belajar yang nyaman
dalam bertukar informasi serta pengalaman positif antara remaja dengan teman
sebayanya (Santrock, 2007).
Kelompok sebaya sangat diperlukan pada remaja karena hal ini dapat
berpengaruh terhadap perkembangan sosioemosionalnya. Menurut Piaget (1932)
dan Sullivan (1953), peran teman sebaya dalam perkembangan sosioemosional
sangat penting karena dengan adanya interaksi peer group, remaja dapat belajar
bagaimana hubungan yang simetris dan timbal balik. Dengan kelompok sebaya,
remaja dapat belajar memformulasikan dan menyatakan pendapat mereka, belajar
menghargai sudut pandang sebaya, belajar menegosiasikan solusi atas
Menurut Piaget dan Kohlberg, melalui hubungan sebaya remaja dapat
mengembangkan pemahaman sosial serta logika moralnya (Santrock, 2007).
Oleh sebab itu peneliti menggunakan metode peer group discussion dengan
tujuan meningkatkan pemahaman remaja terkait pencegahan perilaku seks bebas
dan dampak perilaku seks bebas, sehingga remaja generasi mendatang
diharapkan dapat memahami dan bersikap positif terhadap perilaku seks bebas
tersebut.
1.2 Identifikasi Masalah
Gambar 1.1 Identifikasi penyebab masalah perilaku seks bebas
1.3 Rumusan Masalah
Apakah ada pengaruh peer group discussion terhadap peningkatan
pengetahuan dan sikap remaja tentang pencegahan perilaku seks bebas pada siswa
kelas VIII SMP Panca Jaya Surabaya?
1.4 Tujuan
1.4.1Tujuan umum
Menjelaskan pengaruh peer group discussion terhadap peningkatan
pengetahuan dan sikap remaja tentang pencegahan perilaku seks bebas pada siswa
kelas VIII SMP Panca Jaya Surabaya.
1.4.2Tujuan khusus
1. Mengidentifikasi pengetahuan remaja terkait pencegahan perilaku seks bebas
sebelum dan sesudah dilakukan peer group discussion terhadap siswa kelas
VIII di SMP Panca Jaya Surabaya.
2. Mengidentifikasi sikap remaja terkait pencegahan perilaku seks bebas
sebelum dan sesudah dilakukan peer group discussion terhadap siswa kelas
VIII di SMP Panca Jaya Surabaya.
3. Mengidentifikasi pengaruh peer group discussion terhadap peningkatan
pengetahuan dan sikap remaja tentang pencegahan perilaku seks bebas pada
siswa kelas VIII SMP Panca Jaya Surabaya.
1.5 Manfaat
1.4.1Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk pengembangan ilmu
keperawatan komunitas dan keperawatan maternitas.
1.4.2 Manfaat Praktis 1. Manfaat bagi remaja
Dapat meningkatkan pengetahuan serta sikap positif remaja terhadap
pencegahan perilaku seks bebas sehingga remaja dapat bersikap positif sebagai 1.5.1 Manfaat Teoritis
dasar upaya pencegahan dini dalam menurunkan angka kejadian perilaku seks
bebas.
2. Manfaat bagi sekolah
Menjadi salah satu sarana bagi sekolah dalam melakukan tindakan pencegahan
dini terhadap perilaku seks bebas terutama dikalangan remaja SMP.
3. Manfaat bagi perawat dan puskesmas
Dapat dijadikan sebagai dasar dalam tindakan pencegahan primer perilaku seks
bebas sehingga dapat menurunkan angka kesakitan akibat berbagai dampak
kesehatan yang ditimbulkan dari perilaku seks bebas.
4. Manfaat bagi peneliti
Sebagai dasar penelitian selanjutnya tentang peer group discussion dan
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA 2.1Teori Difusi Inovasi Roger
Teori difusi inovasi merupakan teori yang menjelaskan bahwa bagaimana
suatu proses dikomunikasikan melalui berbagai saluran sepanjang waktu kepada
sekelompok anggota dari sistem sosial. Pesan yang disampaikan berupa
komunikasi khusus di mana pesan tersebut menyangkut ide baru. Komunikasi
adalah suatu proses dari beberapa individu yang membuat dan berbagi informasi
dengan orang lain untuk memperoleh pemahaman bersama. Definisi ini
mempunyai makna bahwa komunikasi merupakan suatu proses dari suatu tindakan
antara dua atau lebih individu untuk bertukar informasi yang terpusat maupun
berbeda (Roger, 2003).
2.1.1 Elemen difusi inovasi
Empat elemen difusi inovasi meliputi (Roger, 2003):
1. Sebuah inovasi, merupakan suatu ide, tindakan, atau objek yang di anggap
baru oleh individu untuk diadopsi sebagai perilaku baru dan kebaruan tersebut
bersifat subjektif menurut pandangan individu yang menerimanya.
2. Saluran komunikasi, merupakan alat yang digunakan untuk menyampaikan
informasi dari sumber kepada penerima dengan memperhatikan tujuan
diadakannya komunikasi dan karakteristik penerima. Jika komunikasi untuk
memperkenalkan suatu inovasi kepada khalayak yang tersebar luas, maka
media massa merupakan komunikasi yang tepat, cepat dan efisien. Namun,
jika komunikasi uuntuk mengubah sikap dan perilaku penerima secara
3. Over time, proses perubahan perilaku seseorang setelah menerima suatu
inovasi, sehingga individu memutuskan untuk menerima atau menolak inovasi
tersebut. Hal ini berkaitan dengan dimensi waktu yang akan terlihat dalam
proses difusi inovasi individu, keinovatifan dalam menerima inovasi baru, dan
laju dari adopsi inovasi. Konsep dari proses tersebut meliputi: pengetahuan,
persuasi, keputusan, implementasi, dan konfirmasi.
4. Jumlah anggota dari sistem sosial. Sistem sosial merupakan kumpulan unit
yang berbeda secara fungsional dan terikat untuk kerjasama dalam
memecahkan suatu masalah tertentu untuk mencapai tujuan bersama. Roger
(2003) mengemukakan bahwa, terdapat teori yang memiliki relevansi dan
argumen yang signifikan dalam pengambilan keputusan yang menggambarkan
terkait variabel yang mempengaruhi tingkat adopsi suatu inovasi serta tahapan
dari proses pengambilan keputusan inovasi.
2.1.2 Faktor yang berpengaruh terhadap tahapan difusi inovasi
Faktor yang berpengaruh terhadap tahapan difusi inovasi meliputi (Roger, 2003):
1. Atribut inovasi (Perceived attribute of innovation)
a. Relative advantage (manfaat relatif), inovasi dapat diterima dimasyarakat
jika inovasi tersebut bermanfaat secara ekonomis atau dapat meningkatkan
status sosial, kenyamanan, dan kepuasaan individu.
b. Compatibility (kesesuaian), inovasi yang dirasakan konsisten dengan nilai
yang berlaku, pengalaman yang dimiliki, kesesuaian tradisi, serta
c. Complexity (Kerumitan), merupakan suatu mutu derajat dimana inovasi
diterima individu sukar untuk dimengerti dan digunakan. Kompleksitas
tersebut sangat berpengaruh dalam sistem sosial.
d. Trialability (Kemungkinan untuk di coba), merupakan mutu derajat
dimana inovasi di eksperimentasikan dalam landasan yang terbatas.
e. Observability (kemungkinan diamati). Hasil inovasi dapat
dikomunikasikan, dideskripsikan, dan disaksikan oleh orang lain.
2. Type of innovation decision (Jenis keputusan inovasi)
Terdapat tiga tipe pengambilan keputusan inovasi meliputi (Roger, 2003):
a. Optional innovation decision (Keputusan opsional), yaitu keputusan yang
diambil sendiri oleh individu. Tahapan keputusan opsional menurut Roger
(2003) meliputi:
1. Knowledge (pengetahuan), individu dapat memperoleh berbagai informasi
baik secara interpersonal maupun melalui berbagai media massa. Hal tersebut
terjadi ketika individu belum memiliki informasi terkait inovasi baru.
2. Persuasion (persuasi), pada tahap ini individu mulai tertarik terhadap inovasi
tersebut serta secara lebih jelas dan rinci mencoba mencari tahu terkait
informasi tersebut.
3. Decision (keputusan), individu mempertimbangkan dan menilai baik
keuntungan maupun kerugian dari suatu inovasi serta memutuskan untuk
mengadopsi perilaku tersebut atau menolaknya.
4. Implementation (pelaksanaan), individu menentukan manfaat dari suatu
inovasi, mencari informasi lebih lanjut, serta menunjukan penerimaan
lebih lanjut terkait inovasi merupakan penanda bahwa individu telah mulai
menerima dan mengadopsi inovasi tersebut.
5. Confirmation (konfirmasi), pada tahap ini individu akan mencari pembenaran
atau mengkonfirmasi terkait keputusan yang diambil.
Gambar 2.1 Tahapan proses adopsi inovasi Roger (2003)
Gambar diatas merupakan tahapan proses adopsi inovasi Roger (2003) yang
menjelaskan bahwa proses adopsi inovasi diawali dengan adanya pengetahuan
yang diperoleh dari berbagai media komunikasi selanjutnya individu akan mulai
tertarik atau mulai menerima stimulus inovasi yang diberikan. Setelah itu,
individu akan mencoba memutuskan apakah akan mengadopsi perilaku tersebut
atau menolaknya. Setelah individu memututuskan untuk menolak atau menerima
inovasi tersebut, individu akan menunjukan tingkah laku yang berkaitan dengan
keputusannya. Jika individu lebih memiliki keinginan untuk mencari informasi
lebih terkait inovasi tersebut, menunjukan bahwa individu telah menerima untuk
mengadopsi perilaku tersebut begitupula sebaliknya. Pada tahapan akhir, individu
akan mencari pembenaran atau mengkonfirmasi keputusan inovasi yang diambil
(Roger, 2003).
b. Keputusan kolektif. Pilihan mengadopsi atau menolak inovasi dibuat oleh
anggota sistem sosial.
c. Keputusan otoriter. Keputusan otoriter yang dibuat oleh beberapa individu
yang memiliki kekuatan, status, atau keahlian.
Knowledge Persuasif Decision Confirmation
n Implementation
Gabungan dari dua atau lebih dari ketiga tipe pengambilan keputusan inovasi
disebut contingent innovation decision atau penyatuan dari keputusan inovasi.
Akhir dari keputusan inovasi adalah apakah seseorang akan mengadopsi atau
menolak inovasi tersebut (Roger, 2003).
2.2Konsep Pendidikan Kesehatan 2.2.1Pengertian pendidikan kesehatan
Pendidikan kesehatan merupakan suatu upaya dalam memberdayakan
masyarakat, kelompok, dan perorangan agar dapat memelihara, meningkatkan dan
melindungi kesehatan melalui peningkatan pengetahuan, kemauan dan
kemampuan agar dapat berperilaku hidup bersih dan sehat (Maulana, 2009).
Menurut Notoatmodjo (2007) pendidikan kesehatan merupakan suatu usaha
atau kegiatan yang membantu individu, kelompok, maupun masyarakat untuk
meningkatkan kemampuan dalam bentuk pengetahuan, sikap, dan keterampilan
dengan tujuan untuk mencapai kualitas hidup sehat yang optimal.
2.2.2Proses pendidikan kesehatan
Menurut Notoatdmodjo (2003) proses belajar merupakan suatu prinsip
pokok dalam pendidikan kesehatan yang di dalam proses belajar tersebut terdapat
3 pokok persoalan meliputi :
1. Input, merupakan suatu masukan dalam pendidikan kesehatan meliputi sasaran
belajar yaitu individu, kelompok, atau masyarakat yang sedang belajar dari
berbagai latar belakang.
2. Proses, menurut Notoadmodjo (2007) proses merupakan suatu perubahan
pengaruh timbal balik dari berbagai faktor meliputi: subjek belajar, pengajar,
teknik belajar, alat bantu, dan materi yang di pelajari.
3. Output, merupakan suatu hasil belajar berupa kemampuan atau adanya
perubahan perilaku dari suatu subjek.
Proses kegiatan belajar tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 2.2 Proses belajar (Notodmodjo, 2003)
2.2.3Tujuan pendidikan kesehatan
Pendidikan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kontrol individu
terhadap kesehatan dan meningkatkan kesehatannya berbasis filosofi yang jelas
mengenai pemberdayaan sendiri dan dilakukan dari, oleh, untuk, dan bersama
masyarakat sesuai dengan tingkat sosial budaya setempat. Dalam rangka mencapai
derajat kesehatan yang optimal baik fisik, mental, sosial, masyarakat harus mampu
mengenal dan mewujudkan aspirasi dan kebutuhannya serta mampu mengubah
atau mengatasi lingkungannya yang mencakup lingkungan fisik, sosial budaya dan
ekonomi, serta kebijakan pemerintah (Maulana, 2009).
Menurut Notoadmodjo (2007) tujuan pendidikan kesehatan secara umum
adalah untuk mengubah perilaku individu atau masyarakat dalam bidang
kesehatan meliputi:
1. Menjadikan kesehatan sebagai salah satu yang bernilai di masyarakat.
2. Agar individu mampu secara mandiri atau berkelompok dalam mencapai tujuan
hidup sehat.
3. Mendorong penggunaan dan pengembangan sarana pelayanan kesehatan yang
ada secara tepat.
2.2.4 Ruang lingkup pendidikan kesehatan
Ruang lingkup pendidikan kesehatan dapat dilihat dari sasaran pendidikan,
tempat pelaksanaan, serta tingkat pelayanan dalam pendidikan kesehatan (Efendi
& Makhfudli, 2013).
1. Sasaran pendidikan kesehatan
Sasaran pendidikan kesehatan adalah individu, kelompok, dan masyarakat.
Agar promosi kesehatan lebih tepat sasaran, pengelompokan sasaran dengan
sasaran primer, sekunder, dan tersier.
a. Sasaran primer adalah mereka yang diharapkan menerapkan perilaku baru.
b. Sasaran sekunder adalah mereka yang dapat mempengaruhi sasaran primer.
c. Sasaran tersier adalah mereka yang berpengaruh terhadap keberhasilan
kegiatan, seperti para pengambil keputusan atau penyandang dana.
2. Tempat pelaksanaan pendidikan kesehatan
Tempat pelaksanaan pendidikan kesehatan meliputi:
a. Pendidikan kesehatan di sekolah dengan sasaran murid yang pelaksanaannya
diintegrasikan dengan upaya kesehatan sekolah.
b. Pendidikan kesehatan di pelayanan kesehatan, dilakukan di puskesmas, balai
kesehatan, rumah sakit umum ataupun khusus dengan sasarannya pasien dan
keluarganya.
c. Pendidikan kesehatan di tempat kerja dengan sasaran penyuluhan adalah
3. Tingkat pelayanan dalam pendidikan kesehatan
Pada ruang lingkup tingkat pelayanan kesehatan promosi kesehatan dapat
dilakukan berdasarkan lima tingkat pencegahan (five level of prevention) dari
Leavel dan Clark (Redaktor, 2014), yaitu:
a. Promosi Kesehatan
b. Perlindungan khusus (specific protection)
c. Diagnosis dini dan pengobatan segera (early diagnosis and prompt treatment)
d. Pembatasan cacat (disability limitation)
e. Rehabilitasi (rehabilitation)
2.2.5 Metode pembelajaran dalam pendidikan kesehatan
Metode pembelajaran dalam promosi kesehatan meliputi (Efendi &
Makhfudli, 2013) :
1. Kuliah atau ceramah, merupakan suatu metode dalam memberikan informasi,
motivasi, dan pengaruh terhadap cara berpikir sasaran mengenai suatu topik,
dengan pembicara merupakan pihak yang lebih tahu daripada sasaran kuliah.
2. Konferensi, merupakan metode dimana orang belajar dengan cara berbagi
informasi, ide, dan pengalaman. Sikap opini yang terbentuk kemudian
diperiksa secara periodik untuk mengetahui perubahannya.
3. Roleplay, merupakan metode bermain peran dengan tujuan mendapatkan
pandangan yang lebih luas terhadap suatu perilaku baru.
4. Buzz group, merupakan sasaran yang dibagi dalam kelompok-kelompok kecil
5. Simulasi, merupakan metode untuk meniru suatu situasi dengan tujuan untuk
pemecahan masalah, pengambilan keputusan serta klarifikasi nilai dalam suatu
konteks individu, organisasi, sosial.
6. Brainstorming, yaitu pemimpin kelompok memancing sasaran dengan satu
masalah dan kemudian tiap sasaran memberikan jawaban atau tanggapan.
7. Seminar, merupakan metode pendidikan kesehatan di mana pertemuannya
dihadiri oleh 5-30 orang sasaran untuk membahas suatu topik tertentu dibawah
pimpinan ahli pada bidang tersebut.
8. Demonstrasi, merupakan suatu metode di mana cara penyajian suatu
pengertian atau ide yang dipersiapkan dengan teliti untuk memperlihatkan
bagaimana menggunakan suatu prosedur.
9. Symposium, merupakan pertemuan terbuka dengan beberapa pembicara yang
menyampaikan ceramah pendek tentang aspek yang berbeda tetapi berkaitan
dengan topik yang dibahas.
10. Diskusi, yaitu metode yang menggerakan partisipatif untuk ikut terlibat dalam
penyuluhan.
11. Peer group discussion, merupakan metode diskusi kelompok di mana remaja
dengan beberapa remaja lainnya dalam suatu kelompok tertentu yang memiliki
tujuan yang sama, berinteraksi satu sama lain, serta bertukar pengalaman dan
informasi positif terkait suatu pokok permasalahan tertentu, sehingga dapat
saling mendukung satu sama lain dalam hal perilaku positif remaja (Santrock,
2.3Konsep Kesehatan Reproduksi Remaja 2.3.1Pengertian kesehatan reproduksi remaja
Kesehatan reproduksi secara umum merupakan keadaan di mana terdapat
kondisi sejahtera baik secara fisik, mental, maupun keadaan sosial yang berkaitan
dengan fungsi, peran, dan sistem reproduksi (ICPD, 1594 dalam Efendi &
Makhfudli, 2013). Sedangkan kesehatan reproduksi pada remaja merupakan suatu
kondisi sehat sejahtera dari sistem, fungsi, dan proses reproduksi yang dimiliki
oleh remaja baik secara fisik, mental, dan sosial budaya (Samino, 2012).
Kesehatan reproduksi remaja merupakan suatu kondisi sehat dari suatu sistem
(fungsi, komponen, dan proses) yang meliputi keadaan fisik, mental, emosional,
dan spiritual dari sistem reproduksi yang dimiliki oleh remaja (BKKBN, 2011).
2.3.2Tujuan kesehatan reproduksi remaja
Tujuan dari pemberian informasi kesehatan reproduksi pada remaja adalah
agar remaja dapat memiliki berbagai informasi yang benar terkait kesehatan
reproduksi serta dapat memilki sikap dan tingkah laku yang bertanggung jawab
mengenai proses reproduksi, sehingga remaja dapat terhindar dari berbagai
masalah kesehatan dengan indikator sehat secara fisik, mental, dan memiliki
nilai-nilai positif secara sosial (Maulana, 2009). Beberapa pengetahuan dasar yang
harus diketahui oleh remaja terkait kesehatan reproduksi meliputi (Efendi &
Makhfudli, 2013):
a. Pengenalan terkait aspek tumbuh kembang remaja mencakup fungsi, sistem,
dan proses reproduksi
b. Remaja perlu mengetahui batasan usia menikah yang tepat serta bagaimana
c. Remaja perlu mengetahui tentang PMS serta dampaknya terhadap kondisi
kesehatan reproduksi
d. Remaja perlu mengetahui bahaya miras, narkotika, dan obat-obatan terlarang
terhadap kesehatan reproduksi
e. Pengaruh sosial media terhadap perilaku seksual
f. Kekerasan seksual dan bagaimana menghindarinya
g. Kemampuan dalam berkomunikasi agar mampu menangkal hal-hal yang
bersifat negatif
2.3.3Hak-hak remaja terkait sistem reproduksi
Remaja merupakan kelompok yang rentan terhadap hak-hak kesehatan
reproduksi dan merupakan korban yang seringkali dihakimi secara tidak adil serta
merupakan kelompok rentan terhadap infeksi saluran reproduksi, kehamilan
pranikah, dan penggunaan obat-obatan terlarang. Pemenuhan kebutuhan remaja
dalam kesehatan reproduksi meliputi (Effendi & Makhfudli, 2013):
a. Kebutuhan akan pendidikan dan konseling
b. Perlindungan remaja terhadap kekerasan
c. Hubungan seksual yang aman
d. Pelayanan KB
e. Kesehatan reproduksi
f. Pencegahan PMS dan HIV/AIDS
g. Pencegahan dan perawatan terhadap pelecehan seksual
2.3.4Program kesehatan reproduksi remaja
Program dalam kesehatan reproduksi remaja yaitu menfasilitasi terwujudnya
a. Berperilaku sehat
b. Terhindar dari resiko seksualitas, HIV/AIDS, Narkoba
c. Menunda usia pernikahan dini
d. Mewujudkan keluarga kecil bahagia dan sejahtera
e. Menjadi contoh, model, idola, dan sumber informasi bagi teman sebayanya
2.4Konsep Perilaku Seks Bebas 2.4.1Pengertian remaja
Remaja merupakan masa perpindahan atau tahap transisi dari anak-anak ke
masa dewasa di mana didefinisikan oleh WHO (2007) rentang usia remaja adalah
12 sampai 24 tahun yang terbagi atas remaja awal, remaja tengah dan remaja akhir
(Effendi & Makhfudli, 2013). Dalam arti yang lebih luas, masa remaja merupakan
masa yang mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik (Hurlock,
1992 dalam Sekarini, 2012).
2.4.2Fase perkembangan remaja
Perkembangan seksual remaja terjadi pada masa pubertas ditandai dengan
adanya pertumbuhan dan perkembangan secara fisik dan psikososial.
Perkembangan fisik remaja meliputi perubahan ukuran, bentuk, dan kematangan
fungsinya. Perkembangan psikososial pada masa remaja meliputi (Soetjiningsih,
2004):
a. Bersikap tidak tergantung pada orang tua
b. Mengembangkan keterampilan bersama teman kelompoknya
c. Mulai mempelajari prinsip-prinsip etika
e. Memiliki tanggung jawab pribadi dan sosial
Remaja dibagi dalam beberapa tahapan berdasarkan kematangan fisik,
psikososial, dan seksualnya yaitu (Sekarrini, 2012):
1. Remaja awal
Usia remaja awal berkisar antara 11-13 tahun. Pada masa ini, remaja perempuan
seringkali memiliki perkembangan yang matang lebih cepat dibanding laki-laki.
Beberapa hal yang dilakukan remaja usia pra yaitu senang melakukan kegiatan
dengan teman jenis kelamin yang sama, mulai menyenangi kesendirian, pemalu,
menyukai eksperimen dengan dirinya sendiri, serta memiliki kecemasan
tersendiri terhadap kondisi tubuhnya yang mengalami perkembangan (Sekarrini,
2012). Pada usia ini, perubahan fisik remaja mulai matang dan berkembang.
Remaja sudah mulai mencoba melakukan onani karena telah terangsang secara
seksual akibat pematangan yang dialami. Rangsangan yang dialami remaja pada
masa ini disebabkan oleh faktor internal yaitu meningkatnya kadar testoteron
pada laki-laki dan estrogen pada wanita. Seringkali akibat yang ditimbulkan dari
perilaku tersebut adalah perasaan kecewa dan berdosa (Soetjiningsih, 2004).
2. Remaja tengah
Usia pada masa remaja tengah berkisar antara 14-16 tahun (Sekarrini, 2012).
Pada masa ini, gairah seksual remaja sudah mencapai puncak, sehingga memiliki
kecenderungan dalam melakukan sentuhan fisik. Seringkali remaja pada usia ini
melakukan perilaku hubungan seksual serta memiliki sikap tidak bertanggung
3. Remaja akhir
Remaja akhir berkisar antara 17-21 tahun (Sekarrini, 2012). Perkembangan
fisik yang dialami remaja akhir sudah secara penuh seperti orang dewasa
(Soetjiningsih, 2004). Pada masa ini, remaja sudah mulai berpikir untuk
melakukan hubungan yang lebih serius serta mampu mengembangkan cinta yang
disertai kasih sayang. Adanya penundaan perkawinan pada usia ini akan
mendorong remaja melakukan hubungan seks pranikah (Sekarrini, 2012).
2.4.3Pertumbuhan dan perkembangan fisik remaja
Menurut Kemenkes (2003) organ reproduksi sudah mulai berkembang dan
matang pada masa remaja. Pertumbuhan fisik remaja meliputi pertumbuhan seks
primer dan sekunder yaitu (Sekarrini, 2012):
a. Tanda seks primer
Pada perempuan remaja terjadi menstruasi pertama kali (menarche).
Biasanya menarche terjadi pada usia 8 atau 9 tahun, dan secara umum terjadi pada
usia 12 tahun. Pada pria sudah mulai memproduksi sperma setiap harinya yang
dikeluarkan melalui proses ejakulasi melalui penis. Ejakulasi bisa terjadi secara
alami dan tidak disadari oleh remaja pria melalui mimpi basah (Efendi &
Makhfudli, 2013).
b. Tanda seks sekunder
Pada laki-laki terjadi perubahan suara, penis dan testis membesar, terjadi
ereksi dan ejakulasi, berotot, tumbuh rambut ketiak, kumis, jambang, serta di
sekitar ketiak dan kemaluan, dan dada mulai melebar. Sedangkan pada perempuan
terjadi pelebaran pinggul, rahim dan vagina mulai tumbuh, payudara melebar dan
Perubahan yang terjadi pada masa remaja ini merupakan efek dari hormon
androgen pada pria dan estrogen pada wanita. Perubahan-perubahan tersebut dapat
mengakibatkan munculnya dorongan seksual remaja (Efendi & Makhfudli, 2013).
2.4.4Pengertian perilaku seks bebas
Perilaku seksual merupakan perilaku yang muncul karena adanya dorongan
seksual akibat adanya perubahan tumbuh kembang secara fisik dan
sosioemosional saat pubertas (Soetjiningsih, 2004). Perilaku seks bebas remaja
diartikan sebagai perilaku seksual yang dilakukan oleh remaja tanpa
memperhatikan batasan-batasan nilai moral dalam sosialnya. Beberapa bentuk
perilaku seksual remaja yaitu: bergandengan tangan, berpelukan, bercumbu,
bercumbu berat (petting), hingga berhubungan seksual. Perilaku seksual ada yang
tidak beresiko dan beresiko terhadap masalah kesehatan reproduksi. Perilaku
seksual yang tidak beresiko terhadap masalah kesehatan reproduksi meliputi
bergandengan tangan, berpelukan, dan berciuman. Perilaku tersebut di anggap
tidak beresiko karena tidak menyebabkan masalah kesehatan reproduksi. Namun
demikian, dampak yang ditimbulkan dari perilaku tersebut adalah secara
psikologis yaitu perasaan berdosa dan bersalah karena hal tersebut tetap
melanggar norma dan nilai yang ada di masyarakat. Timbulnya perilaku tersebut
di kalangan remaja akan mengganggu konsentrasi remaja, sehingga dapat
mengakibatkan gangguan psikologis yaitu depresi remaja (Efendi & Makhfudli,
2013). Perilaku seksual yang beresiko adalah berhubungan seksual yang dapat
menyebabkan kehamilan, infeksi seksual dan rusaknya masa depan remaja.
Beberapa faktor yang menyebabkan remaja lebih banyak bergaul diluar rumah
a. Kesibukan kedua orang tua
b. Pengaruh kebudayaan dan aktivitas pergaulan bebas
c. Pendidikan seksual yang minim
d. Kurangnya perhatian dan dukungan orang tua
e. Perubahan sikap moral remaja lebih materialistis
2.4.5Pola perilaku seksual remaja
Berbagai faktor yang mempengaruhi perkembangan perilaku seksual remaja
meliputi perkembangan fisik, proses belajar, dan sosiokultural. Beberapa pola
aktifitas seksual yang terjadi pada remaja meliputi sentuhan seksual,
membangkitkan gairah seksual, seks oral, seks anal, masturbasi dan hubungan
seksual dengan lawan jenis (Soetjiningsih, 2004).
Beberapa jenis perilaku seksual remaja yaitu:
a. Ciuman, merupakan ungkapan cinta yang klasik dalam mengekspresikan rasa
cinta dan kasih sayang dengan pasangan. Ciuman tidak menyebabkan
kehamilan atau masalah kesehatan reproduksi lainnya namun, ciuman dapat
menjadi rangsangan yang dapat menimbulkan remaja melakukan hubungan
seksual (Salim, 2014).
b. Masturbasi, merupakan suatu tindakan menyentuh, menggosok, dan meraba
bagian tubuh sendiri yang peka untuk mendapatkan kepuasan seksual orgasme
(Efendi & Makhfudli, 2013).
c. Bercumbu berat (petting), Yaitu melakukan hubungan sekual dengan atau
tanpa pakaian tanpa melakukan penetrasi penis ke vagina, biasanya dilakukan
sebagai pemanasan sebelum melakukan hubungan seksual (Efendi &
d. Hubungan seksual, merupakan suatu perilaku seksual dengan memasukan
penis ke dalam vagina. Bila terjadi ejakulasi dalam proses ini, maka akan
menimbulkan kehamilan. Perilaku ini sangat beresiko timbulnya berbagai
masalah kesehatan (Efendi & Makhfudli, 2013).
2.4.6Faktor yang mempengaruhi remaja melakukan perilaku seks bebas 1. Penggunaan Napza
Narkoba atau napza merupakan suatu obat, bahan atau zat, dan bukan
tergolong makanan dan jika diminum, dihisap, dihirup, ditelan, atau disuntikan,
dapat berpengaruh terdapat kerja otak terutama pada susunan saraf pusat serta
dapat menyebabkan adiksi. Seseorang yang sudah menjadi pecandu narkoba
dapat beresiko terhadap masalah kesehatan reproduksi khususnya pada pengguna
jarum suntik bergantian yang tidak steril dapat beresiko terkena HIV/AIDS dan
penularan Hepatitis B. Selain itu, secara tidak langsung perilaku seksual pranikah
terjadi akibat kecanduan narkoba atau miras yang selanjutnya dapat merusak
masa depan remaja (Martono, 2008).
2. Pengaruh teman sebaya
Teman sebaya dapat berpengaruh positif atau negatif terhadap perilaku remaja
(Santrock, 2007). Perilaku usia remaja sangat dipengaruhi oleh pengaruh teman
sebaya karena pada usia remaja, remaja lebih banyak waktu bersama teman
sebayanya (Nurhayati, 2008).
3. Perubahan fisik dan psikososial
Adanya perubahan fisik dan psikososial dalam tumbuh kembang remaja dapat
4. Informasi kesehatan reproduksi yang kurang
Kurangnya pengetahuan terkait kesehatan reproduksi dapat menjerumuskan
remaja dalam melakukan perilaku seks bebas (Soetjiningsih, 2004).
5. Peranan orang tua
Perilaku anak yang tidak sehat juga dapat dipengaruhi oleh perilaku orang
tuanya. Perilaku negatif orang tua seperti merokok, miras, atau gagal menjaga
kesehatan dengan baik dapat ditiru oleh anaknya. Salah satu penelitian
menyebutkan bahwa 50% remaja dengan pengalaman perilaku seksual memiliki
orang tua dengan perilaku merokok (Efendi & Makhfudli, 2013).
6. Minimnya nilai-nilai moral agama dalam diri individu
Seks bebas merupakan jenis penyimpangan perilaku yang terjadi di kalangan
remaja. Penyimpangan tersebut cenderung disebabkan oleh remaja yang keluar
dari aturan, baik secara hukum positif maupun agama. Kurangnya pendidikan
moral dan nilai-nilai agama dalam diri individu dapat menjerumuskan remaja
dalam melakukan perilaku seks bebas (Himawan, 2007).
2.4.7Akibat perilaku seks bebas 1. Penyakit Menular Seksual (PMS)
PMS adalah penyakit menular yang dapat ditularkan seseorang ke orang lain
melalui kontak hubungan seksual. Seseorang yang berganti-ganti pasangan dan
melakukan seks melalui oral, vagina, maupun anal merupakan kelompok resiko
tinggi terkena PMS. Resiko yang berdampak buruk dalam hal kesehatan
reproduksi terkait PMS meliputi kemandulan, pada bayi baru lahir mengalami
kebutaan serta kematian. Gejala PMS pada pria lebih mudah terlihat daripada
dalam tubuh. Beberapa gejala dari PMS baik pria maupun wanita yaitu (Efendi &
Makhfudli, 2013):
1) Pada pria:
a. Terdapat bintil-bintil berisi cairan
b. Terdapat lecet atau borok pada penis
c. Adanya luka tapi tidak sakit pada penis
d. Keras dan berwarna merah
e. Adanya kutil
f. Nyeri hebat saat buang air kecil
g. Terdapat nanah atau darah pada urin
h. Bengkak, panas, nyeri, pada pangkal paha yang kemudian menjadi borok
2) Pada wanita:
a. Nyeri saat BAK dan berhubungan seksual
b. Nyeri pada perut bagian bawah
c. Pengeluaran lendir dari alat kelamin
d. Keputihan berwarna putih susu, bergumpal, disertai rasa gatal dan
kemerahan pada alat kelamin dan sekitarnya
e. Keputihan berbusa, hijau, berbau busuk, dan gatal
f. Timbul bercak darah paska hubungan seksual
g. Terdapat bintil-bintil berisi cairan disekitar alat kelamin
Beberapa penyakit menular seksual, meliputi (Cahyono, 2008):
a. Klamidia : 75% wanita dan 25% laki-laki terinfeksi tapi tidak menimbulkan
gejala.
b. Gonore: keluar cairan kekuningan atau nanah dari perut, vagina atau rektum
dan rasa gatal pada penis saat kencing.
c. Hepatitis B : demam, sakit kepala, nyeri otot, lemah, kehilangan nafsu makan,
muntah dan diare. Gejala akibat gangguan di hati: kencing warna gelap, nyeri
perut, kekuningan.
d. Herpes kelamin : rasa gatal, terbakar, nyeri, bintil-bintil berair, atau luka yang
terasa nyeri, dapat sembuh dalam beberapa minggu tapi muncul kembali.
e. HIV/AIDS: pertama timbul tanpa gejala selanjutnya kekebalan tubuh akan
hilang.
f. Kutil Kelamin : tonjolan berupa bunga kol pada kelamin, anus, dan
tenggorokan.
g. Sifilis : fase awal tidak terdapat nyeri, fase berikutnya timbul ruam pada kulit,
demam, luka pada tenggorokan, rambut rontok, dan pembengkakan kelenjar
di seluruh saluran tubuh.
h. Trikomoniasis : gejalanya pada wanita terjadi keputihan yang banyak,
berbusa, berwarna kuning kehijauan, rasa sakit saat kencing atau
berhubungan seks. Pada pria mungkin timbul radang pada saluran kencing.
2. Kehamilan pada Remaja
Remaja dimungkinkan untuk menikah pada usia dibawah 20 tahun sesuai
menikah adalah 16 tahun bagi wanita dan 18 tahun bagi pria. Namun harus
memperhatikan hal-hal berikut (Efendi & Makfudli, 2013):
a. Peningkatan resiko kehamilan di usia muda
b. Peningkatan resiko keracunan kehamilan di usia muda
Namun, kebanyakan pada usia remaja terjadi kehamilan yang tidak
diinginkan (KTD). Beberapa faktor penyebab di antaranya adalah (Efendi &
Makfudli, 2013):
a. Pengetahuan yang kurang lengkap dan kurang benar
b. Terjadinya tindakan pemerkosaan
c. Kegagalan alat kontrasepsi
Beberapa kerugian dari KTD meliputi (Efendi &Makfudli, 2013):
a. Wanita hamil tidak mengurus kehamilannya
b. Perasaan kasih sayang ibu kurang terhadap bayinya
c. Sering terjadi perilaku aborsi
d. Masa depan remaja suram karena di-drop out dari sekolah
3. Depresi dan merasa berdosa
Depresi dan perasaan berdosa seringkali terjadi pada remaja yang sering
melakukan onani maupun masturbasi. Hal ini berkaitan dengan pemahaman
agama yang diperoleh dari tokoh agamanya yaitu mereka akan berdosa jika
2.5Upaya Pencegahan Perilaku Seks Bebas
Beberapa tindakan yang dapat dilakukan dalam hal pencegahan masalah seks
dan penyakit yang berhubungan dengan kesehatan seksualitas meliputi (Manuaba,
2009) :
a. Pada kasus penyakit yang berhubungan dengan masalah kesehatan
reproduksi diharapkan dapat memberikan pengobatan radikal untuk
kesembuhan sehingga menyelamatkan alat dan fungsi reproduksi remaja.
b. Menghindari kehamilan yang tidak diinginkan dengan menggunakan salah
satu metode yang aman dan bersih.
c. Meningkatkan kegiatan positif remaja dan meningkatkan produktifitas
kegiatan remaja diluar rumah.
d. Meningkatkan pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi secara
komprehensif.
e. Meningkatkan keimanan dan ketakwaan remaja.
f. Menjaga nila-nilai moral, hukum, dan agama dalam masyarakat
2.6Domain Perilaku
Terdapat 3 domain perilaku manusia yaitu, pengetahuan, sikap dan tindakan.
1. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu terhadap objek tertentu setelah
seseorang melakukan penginderaan. Proses adopsi perilaku meliputi: (Efendi &
a. Timbul kesadaran (awareness) di mana seseorang mengetahui stimulus
terlebih dahulu.
b. Ketertarikan (interest) di mana seseorang mulai tertarik terhadap stimulus.
c. Mempertimbangkan baik tidaknya stimulus dimana sikap seseorang sudah
lebih baik (evaluation).
d. Mulai mencoba (trial), di mana seseorang mulai mencoba perilaku baru.
e. Mengadaptasi (adoption), dalam hal ini seseorang mulai berperilaku sesuai
dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.
Pada penelitian selanjutnya Roger (2003) mengemukakan bahwa proses
adopsi perilaku meliputi beberapa tahap yaitu:
a. Pengetahuan (knowledge), di mana subjek memperoleh pengetahuan dari suatu
proses inovasi.
b. Persuasif (persuasion), di mana subjek mulai tertarik dengan isi pesan yang
disampaikan sehingga dapat membentuk sikap subjek baik sikap positif atau
negatif.
c. Pengambilan keputusan (decision), subjek mulai menilai atau
mempertimbangkan apakah menerima atau mengadopsi perilaku.
d. Pelaksanaan (Implementation), subjek mulai mengadopsi perilaku.
e. Konfirmasi (confirmation), subjek mengkonfirmasi hal-hal yang berkaitan
dengan perilaku.
Adopsi perilaku seseorang akan berlangsung lama (long lasting) jika
didasari dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikap positif, sebaliknya jika tidak
didasari oleh pengetahuan, kesadaran, dan sikap positif maka adopsi perilaku tidak
Tingkat pengetahuan dalam domain kognitif meliputi (Efendy &
Makhfudli, 2013):
a. Tahu (know), dapat diartikan sebagai pengingat akan suatu materi yang telah
dipelajari sebelumnya.
b. Memahami (comprehension), suatu kemampuan untuk menjelaskan secara
benar tentang objek yang diketahui, dan dapat diinterpretasikan secara benar.
c. Aplikasi (application), kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada situasi dan kondisi yang sebenarnya.
d. Analisis (analysis), kemampuan menjabarkan materi atau objek ke dalam
komponen-komponen, tetapi masih dalam satu struktur organisasi yang masih
berkaitan satu sama lain.
e. Sintesi (syntethic), kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan
bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
f. Evaluasi (evaluation), kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian
terhadap suatu materi atau objek.
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terbentuknya peningkatan
pengetahuan meliputi (Notoadmodjo, 2003):
a. Tingkat pendidikan, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin
mudah pula memperoleh hal-hal baru.
b. Sumber informasi, semakin banyak informasi yang diperoleh semakin jelas
pula pemahaman terhadap informasi yang didapatkan.
c. Budaya, seseorang melakukan tradisi atau budaya tanpa melalui penalaran
apakah yang dilakukan baik atau buruk sehingga memperoleh pengetahuan
d. Pengalaman masa lalu, cara untuk mengulang pengalaman masa lalu untuk
memecahkan masalah.
2. Sikap
Merupakan suatu respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau objek.
Secara nyata sikap menunjukan konotasi terkait adanya kesesuaian reaksi terhadap
stimulus tertentu dalam kehidupan sehari-hari yang merupakan reaksi emosional
terhadap stimulus sosial. Sikap merupakan suatu predisposisi tindakan suatu
perilaku bukan merupakan tindakan atau aktifitas, atau dapat dikatakan sebagai
reaksi tertutup. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di
lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek (Efendi &
Makhfudli, 2013). Tingkat sikap dalam domain afektif yaitu (Notoadmodjo, 2003)
a. Menerima berarti subjek memperhatikan stimulus yang diberikan.
b. Merespon dimana subjek merespon terhadap apa yang diberikan.
c. Menghargai berarti mengajak orang lain mendiskusikan suatu masalah.
d. Bertanggung jawab berarti bertanggung jawab terhadap sesuatu yang
dipilihnya.
Beberapa komponen sikap menurut Allport (1954) dalam Notoadmodjo
(2003) meliputi:
a. Kepercayaan, ide, dan konsep terhadap suatu objek
b. Kehidupan emosional atauevaluasi terhadap suatu objek
c. Kecenderungan bertindak (tend to behave)
Ketiga komponen tersebut bersama-sama membentuk total attitude. Dalam
Azwar (1995) dalam Maulana (2009) menyatakan bahwa beberapa komponen
yang membentuk struktur sikap seseorang meliputi:
a. Komponen koginitf, disebut juga komponen perceptual yang berisi
kepercayaan yang berhubungan dengan persepsi individu terhadap objek sikap
dengan apa yang dilihat dan diketahui, pandangan, keyakinan, pikiran,
pengalaman pribadi, kebutuhan emosional, dan informasi dari orang lain.
Sebagai contoh seseorang akan tahu bahwa kesehatan itu sangat penting jika
pernah merasakan sakit dan nikmatnya sehat.
b. Komponen afektif (emosional), menunjukan dimensi emosional subjektif
individu terhadap objek sikap baik bersifat positif (senang) atau negatif (tidak
senang). Reaksi emosional banyak dipengaruhi oleh apa yang kita percayai
sebagai sesuatu yang benar terhadap objek sikap tersebut.
c. Komponen konatif (perilaku), merupakan predisposisi atau kecenderungan
bertindak terhadap objek sikap yang dihadapi.
Sikap memiliki beberapa fungsi yaitu (Maulana, 2009):
a. Fungsi instrumental, sikap dikaitkan dengan alasan praktis atau manfaat dan
menggambarkan keadaan keinginannya atau tujuan.
b. Fungsi pertahanan ego, sikap yang diambil untuk melindungi diri dari
kecemasan atau ancaman harga diri.
c. Fungsi nilai ekspresi, sikap menunjukan nilai yang ada pada dirinya. Sistem
nilai individu dapat dilihat dari sikap yang diambil individu yang bersangkutan
misalnya, individu yang telah menghayati ajaran agama, sikapnya akan
d. Fungsi pengetahuan, setiap individu memiliki motif ingin tahu, mengerti dan
banyak memperoleh pengetauan dan pengalaman yang diwujudkan dalam
kehidupan sehari-hari.
e. Fungsi penyesuaian sosial, sikap yang diambil sebagai bentuk adaptasi dengan
lingkungannya.
Beberapa cara yang dapat membentuk atau mengubah sikap individu
meliputi (Maulana, 2009):
a. Adopsi, suatu cara pembentukan dan perubahan sikap melalui kegiatan yang
berulang dan terus menerus sehingga lama-kelamaan secara bertahap akan
diserap oleh individu.
b. Diferensiasi, terbentuknya atau berubahnya sikap karena individu telah
memiliki pengetahuan, pengalaman, inteligensi, dan bertambahnya umur.
c. Integrasi, sikap terbentuk secara bertahap dimulai dari pengetahuan
pengalaman terhadap objek sikap tertentu. Sebagai contoh mahasiswa
keperawatan yang secara rajin mengikuti perkuliahan, praktik klinik, dan
mengikuti seminar keperawatan, pada akhirnya akan bersikap positif terhadap
profesi keperawatan.
d. Trauma, pembentukan sikap terjadi melalui kejadian yang tiba-tiba
mengejutkan dan menimbulkan kesan mendalam. Seseorang akan bersikap
negatif terhadap suatu objek jika memiliki pengalaman buruk dari objek
tersebut.
e. Generalisasi, sikap terbentuk karena pengalaman traumatik pada individu
terhadap hal tertentu yang dapat menimbulkan sikap positif atau negatif
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi seseorang dalam membentuk
sikap meliputi:
a. Pengalaman pribadi, yaitu apa yang sedang dialami akan ikut membentuk
sikap seseorang.
b. Pengaruh orang lain yang dianggap penting, pada umumnya seseorang akan
cenderung memiliki sikap yang searah dengan sikap yang dianggap penting
oleh orang lain.
c. Pengaruh budaya, budaya dapat mempengaruhi seseorang dalam bersikap.
d. Media massa, dapat mempengaruhi kepercayaan dan membentuk opini serta
akan memberikan landasan berpikir efektif dalam menilai suatu hal sehingga
dapat membentuk sikap seseorang.
e. Lembaga pendidikan dan lembaga agama.
f. Pengaruh faktor emosional.
3. Tindakan
Tindakan juga memiliki berbagai tingkatan (Notoadmodjoo, 2003 dalam
Efendi & Makhfudli, 2013):
a. Persepsi dalam mengenal dan memilih objek.
b. Respon terpimpin di mana seseorang dapat melakukan sesuatu dengan
urutan yang benar.
c. Mekanisme di mana apa yang dilakukan sudah menjadi kebiasaan
2.7Konsep Peer Group Discussion
2.7.1Pengertian peer group discussion
Peer Group Discussion merupakan metode diskusi kelompok di mana
remaja dengan beberapa remaja lainnya dalam suatu kelompok tertentu dengan
usia relatif sama yang memiliki tujuan yang sama berinteraksi satu sama lain serta
bertukar pengalaman dan informasi positif terkait suatu pokok permasalahan
tertentu sehingga dapat saling mendukung satu sama lain dalam hal perilaku
positif remaja (Santrock, 2007). Menurut Godwin (1998) dalam Nurmalasari
(2013) peer group discussion merupakan suatu kelompok diskusi informal remaja
yang dilakukan selama kurang lebih satu jam dengan melibatkan partisipasi
remaja serta membahas segala hal tentang remaja. Boyle (2003) menjelaskan
bahwa peer group discussion merupakan suatu metode pembelajaran dengan
teman sebaya yang dapat membantu meningkatkan pemahaman dan
pengembangan terkait konsep dan ide.
2.7.2Prinsip peer group discussion
Prinsip dalam Peer Group Discussion meliputi (Nurmalasari, 2013):
1. Anggota kelompok terdiri dari 6-7 orang, saling mengenal, dengan usia relatif
sama, memiliki kebutuhan dan tujuan yang sama, serta dibentuk secara sengaja
maupun sudah ada sebelumnya.
2. Terdapat satu orang ketua yang dipilih berdasarkan kesepakatan bersama.
3. Ketua kelompok yang telah dipilih sebelumnya bertugas mengatur jalannya
diskusi, memberikan pancingan pertanyaan agar semua anggota memiliki
4. Semua anggota kelompok duduk berhadap-hadapan, begitu juga dengan ketua
kelompok agar semua anggota merasa memiliki taraf yang sama agar dapat
memiliki kebebasan dalam menyampaikan pendapatnya masing-masing.
5. Ketua kelompok akan menyampaikan kesimpulan terkait jawaban kasus yang
telah dibahas bersama.
6. Peran fasilitator sebagai pengatur jalannya diskusi agar sesuai dengan tujuan
yang telah disepakati.
2.7.3Tujuan dan manfaat peer group discussion
Tujuan dilakukan peer group discussion adalah sebagai berikut (Santrock,
2007):
a. Meningkatkan pemahaman remaja dalam menyikapi perilaku seks bebas.
b. Dengan diskusi dengan kelompok sebayanya, remaja dapat
mengembangkan sosioemosionalnya.
c. Menjadi salah satu sarana remaja dalam bertukar informasi positif bersama
teman sebayanya.
Manfaat yang dapat diperoleh remaja dalam melakukan peer group
discussion meliputi (Nurmalasari, 2013):
1. Dapat dijadikan sebagai sarana dalam mendukung refleksi
2. Dapat mengembangkan pemikiran kritis remaja
3. Dapat membangun pengetahuan yang ada
4. Mendukung remaja dalam melakukan pembelajaran kooperatif
5. Mendorong siswa dalam menghargai masing-masing pendapat orang lain