• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI PENGARUH PEER GROUP DISSCUSION TERHADAP PENINGKATAN PENGETAHUAN DAN SIKAP REMAJA TENTANG PENCEGAHAN PERILAKU SEKS BEBAS PADA SISWA KELAS VIII SMP PANCA JAYA SURABAYA PENELITIAN QUASY-EXPERIMENT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "SKRIPSI PENGARUH PEER GROUP DISSCUSION TERHADAP PENINGKATAN PENGETAHUAN DAN SIKAP REMAJA TENTANG PENCEGAHAN PERILAKU SEKS BEBAS PADA SISWA KELAS VIII SMP PANCA JAYA SURABAYA PENELITIAN QUASY-EXPERIMENT"

Copied!
150
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

PENGARUH PEER GROUP DISSCUSION TERHADAP PENINGKATAN

PENGETAHUAN DAN SIKAP REMAJA TENTANG PENCEGAHAN PERILAKU SEKS BEBAS PADA SISWA KELAS VIII SMP PANCA JAYA SURABAYA

PENELITIAN QUASY-EXPERIMENT

Oleh: SUHARTINA NIM. 131111074

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS

(2)

SKRIPSI

PENGARUH PEER GROUP DISSCUSION TERHADAP PENINGKATAN

PENGETAHUAN DAN SIKAP REMAJA TENTANG PENCEGAHAN PERILAKU SEKS BEBAS PADA SISWA KELAS VIII SMP PANCA JAYA

SURABAYA

PENELITIAN QUASY-EXPERIMENT

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana (S.Kep) dalam Program Studi Pendidikan Ners

pada Program Studi Pendidikan Ners Fakultas Keperawatan UNAIR

Oleh : SUHARTINA NIM. 131111074

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS

FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SURABAYA

(3)

SURAT PERNYATAAN

Saya Bersumpah bahwa skripsi ini adalah hasil karya sendiri dan belum pernah

dikumpulkan oleh orang lain untuk memperoleh gelar dari berbagai jenjang

(4)

HALAMAN PERNYATAAN

PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Airlangga, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Suhartina

NIM : 131111074

Program Studi : Pendidikan Ners Fakultas : Keperawatan Jenis karya : Skripsi

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Airlangga Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:

“Pengaruh Peer Group Discussion terhadap Peningkatan Pengetahuan dan Sikap Remaja tentang Pencegahan Perilaku Seks Bebas pada Siswa Kelas VIII SMP Panca Jaya Surabaya” beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Airlangga berhak menyimpan, alihmedia/format, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

(5)
(6)
(7)

MOTTO

“Man Jadda Wa Jada”

(8)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji Syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan bimbinganNya, saya dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “PENGARUH

PEER GROUP DISCUSSION TERHADAP PENINGKATAN

PENGETAHUAN DAN SIKAP REMAJA TENTANG PENCEGAHAN PERILAKU SEKS BEBAS PADA SISWA KELAS VIII SMP PANCA JAYA SURABAYA”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana keperawatan (S.Kep) pada program studi pendidikan Ners Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga.

Bersama ini perkenankanlah saya untuk mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dengan hati yang tulus kepada:

1. Bu Mira Triharini S.Kp.,M.Kep., sebagai wakil dekan 1 Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga yang telah memberikan kesempatan dan dorongan kepada kami untuk menyelesaikan program studi Pendidikan Ners sekaligus sebagai pembimbing 1 dan Bu Eka Mishbahatul, S.Kep., Ns., M.Kep., selaku pembimbing 2 saya yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan selama penyusunan skripsi.

2. Bu Elida Ulfiana S.Kep, Ns., M.Kep., selaku penguji seminar proposal dan ujian skripsi yang telah memberikan masukan dan saran untuk penyempurnaan skripsi ini, dan Bu Aria Aulia S. Kep., Ns., M. Kep., selaku penguji seminar proposal yang sudah memberikan masukan dan sarannya.

3. Bu Herdina M. S.Kep. Ns., M.Kep., selaku dosen wali saya yang telah memberikan semangat dalam proses pembuatan skripsi.

4. Bu Purwaningsih S.Kp., M.Kes., selaku dekan Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga atas kesempatan serta fasilitas yang diberikan kepada kami untuk menyelesaikan dan mengikuti Program Ptudi pendidikan Ners. 5. Kedua Orang tua saya (H. La Dimani dan Hj. Waode Sahea) dan

(9)

6. Paman saya Laode Rabani beserta keluarga besar di Yogyakarta yang telah memberikan dukungan dalam penyelesaian skripsi ini.

7. Bu Sutri, S.Pd selaku kepala sekolah SMP Panca Jaya Surabaya yang telah memberikan izin untuk fasilitas penelitian.

8. Bu Isnaini selaku guru perwakilan siswa SMP Panca Jaya Surabaya yang selalu mendukung selama proses penelitian.

9. Remaja kelas VIII A dan D SMP Panca Jaya Surabaya yang sudah bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.

10. Saudara-saudaraku di GenCorps yaitu Gen 0, Gen 1, Gen 2, Gen 3, Gen 4, Gen 5, Gen 6, Gen 7, dan terutama untuk generasi ke-4 (Dina Rosita dan Ni komang Wepiyanti (yang sudah bersedia membantu saya selama penelitian), Hakim zulkarnain, Ika Ayu dianty, Choirul Anwar, Bety Ayu Astuti, Filiani Cynthia, Chirst Wibowo Dwi Andrianto, Prajna Paramitha M., Bestya Nurima M.A, Yulia Dyah A., Hartono, Dian Agustin, Novita Nindy M., Gilang Ramadhan, Okgi Tiara, Ari Kurniawan, dan Yuni Tristian C.E.P.,) yang telah saling menyemangati satu sama lain.

11. Eka Agustin Herliana, Navira Chairunnisa, Selfi Ratna P., Eli Sazana, Arief priyo, yang sudah bersama-sama berjuang dalam satu bimbingan bu Eka Mishbahatul dan Bu Mira Triharini dan saling menyemangati satu sama lain. 12. Mery Priska Napitupulu dan Yosephin Nova yang sudah bersedia membantu

selama proses penelitian.

13. Rekan-rekan A11 yang berjuang bersama-sama serta saling menyemangati satu sama lain.

Semoga Allah SWT membalas budi baik semua pihak yang telah memberi kesempatan, dukungan, dan bantuan dalam menyelesaikan skripsi ini.

Saya sadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna, tetapi kami berharap skripsi ini bermanfaat bagi pembaca dan bagi keperawatan.

Surabaya, 23 Juni, 2015

(10)

ABSTRACT

THE EFFECT OF PEER GROUP DISCUSSION TO IMPROVE ADOLESCENT’S KNOWLEDGE AND ATTITUDE ABOUT FREE SEX

PREVENTION ON 8th GRADE STUDENT’S AT SMP PANCA JAYA SURABAYA

A Quasy-Experimental Study By: Suhartina

Adolescence is a stage of transition from children to adulthood. Lack of knowledge about free sex prevention can increase free sex behavior in the future among adolescence. This study was aimed to analyze the effect of peer group discussion to improve adolescent’s knowledge and attitude about free sex prevention on 8th grade student’s at SMP Panca Jaya Surabaya.

This study was used quasy experimental design. Population were all of adolescence 8th grade and through multistage random method derived A 8th grade and D 8th grade as affordable population. 50 respondent involved, taken according to purposive sampling, devided into 27 respondent on experiment group and 23 respondent on control group. The independent variable of this research was peer group discussion and dependent variable were knowledge and attitude. Data were collected by questionnaires and analyze using Wilcoxon Signed Rank Test and Mann Whitney U Test with significant level α=<0,05.

Wilcoxon signed rank test showed that peer group discussion had effect on adolescent’s knowledge (p= 0,022) but not on attitude (p=0,157). Mann Whitney U Test showed there was difference result between experiment group and control group on knowledge (p=0,022) but the result is not significant on attitude (p=0,424).

It can be concluded that peer group discussion can be used as a method of health education in providing information about free sex prevention in adolescence especially to increase their knowledge. Nurses should do preventive action to decrease free sex cases in adolescence. Further study should involve behavior variable, analyze some factors that can effect adolescent’s knowledge and attitude.

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul dan Prasyarat Gelar ... i

Surat Pernyataan... ii

Lembar Persetujuan ...iii

Lembar Penetapan penguji ... iv

Motto ... v

Ucapan Terima Kasih ... vi

Abstract ...viii

1.2 Identifikasi Masalah ... 6

1.3 Rumusan Masalah ... 6

1.4 Tujuan Penelitian ... 7

1.4.1 Tujuan umum ... 7

1.4.2 Tujuan khusus ... 7

1.5 Manfaat ... 7

1.5.1 Manfaat teoritis ... 7

1.5.2 Manfaat praktis ... 7

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1 Teori difusi inovasi Roger ... 9

2.1.1 Elemen difusi inovasi ... 9

2.1.2 Faktor yang berpengaruh terhadap tahapan difusi inovasi ... 10

2.2 Konsep Pendidikan Kesehatan ... 13

2.2.1 Pengertian pendidikan kesehatan ... 13

2.2.2 Proses pendidikan kesehatan ... 13

2.2.3 Tujuan pendidikan kesehatan ... 14

2.2.4 Ruang lingkup pendidikan kesehatan ... 15

2.2.5 Metode Pembelajaran dalam pendidikan kesehatan ... 16

2.3 Konsep Kesehatan Reproduksi Remaja ... 18

2.3.1 Pengertian kesehatan reproduksi remaja ... 18

2.3.2 Tujuan kesehatan reproduksi remaja ... 18

2.3.3 Hak-hak remaja terkait sistem reproduksi ... 19

2.3.4 Program kesehatan reproduksi remaja ... 19

2.4 Konsep Perilaku Seks Bebas ... 20

2.4.1 Pengertian remaja ... 20

2.4.2 Fase perkembangan remaja ... 20

(12)

2.4.5 Pola perilaku seks bebas ... 24

2.4.6 Faktor yang mempengaruhi remaja melakukan seks bebas .... 25

2.4.7 Akibat perilaku seks bebas ... 26

2.5 Upaya Pencegahan Perilaku Seks Bebas ... 30

2.6 Domain Perilaku ... 30

2.7 Konsep Peer Group Discussion ... 37

2.7.1 Pengertian peer group discussion ... 37

2.7.2 Prinsip peer group discussion ... 37

2.7.3 Tujuan dan manfaat peer group discussion... 38

2.7.4 Kelebihan dan kekurangan peer group discussion ... 39

2.7.4 Teknik peer group discussion ... 40

2.8 Keaslian Penulisan ... 41

BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN .. 43

3.1 Kerangka Konseptual ... 43

3.2 Hipotesis Penelitian ... 46

BAB 4 METODE PENELITIAN ... 47

4.1 Desain Penelitian ... 47

4.2 Kerangka Kerja ... 48

4.3 Populasi, sampel, dan sampling ... 49

4.3.1 Populasi ... 49

4.3.2 Sampel ... 49

4.3.3 Sampling... 50

4.4 Identifikasi Masalah ... 51

4.4.1 Variabel independen ... 51

4.4.2 Variabel dependen ... 51

4.5 Definisi Operasional ... 51

4.6 Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 53

4.6.1 Instrumen penelitian ... 53

4.6.2 Uji Validitas dan Reliabilitas ... 54

4.6.3 Lokasi dan waktu pengumpulan data ... 55

4.6.4 Prosedur Pengumpulan data ... 55

4.6.5 Cara analisis data ... 58

4.7 Etika Penelitian ... 60

4.7.1 Informed Consent ... 60

4.7.2 Anonimity (tanpa nama) ... 60

4.7.3 Kerahasiaan ... 60

4.8 Keterbatasan Penelitian ... 61

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 62

5.1 Hasil Penelitian ... 62

5.1.1 Gambaran umum lokasi penelitian ... 62

5.1.2 Data demografi responden ... 63

5.1.3 Data variabel yang diukur ... 65

5.2 Pembahasan ... 68

(13)

5.2.2 Pengaruh peer group discussion terhadap sikap remaja tentang

pencegahan perilaku seks bebas ... 73

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 76

6.1 Kesimpulan ... 76

6.2 Saran ... 77

DAFTAR PUSTAKA ... 78

(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Identifikasi penyebab masalah perilaku seks bebas ... 6

Gambar 2.1 Tahapan proses adopsi Roger (2003) ... 12

Gambar 2.2 Proses belajar Notoadmodjo (2003) ... 14

Gambar 3.1 Kerangka konseptual penelitian ... 43

(15)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Data informasi umum remaja berdasarkan survei data awal ... 3

Tabel 1.2 Data pengetahuan remaja berdasarkan survei data awal ... 3

Tabel 2.8 Keaslian penelitian ... 41

Tabel 4.1 Desain penelitian ... 47

Tabel 4.2 Definisi operasional ... 51

Tabel 5.1 Jumlah siswa SMP Panca Jaya 4 tahun terakhir ... 62

Tabel 5.2 Data demografi responden ... 64

Tabel 5.3 Distribusi frekuensi responden berdasarkan pengetahuan remaja .... 66

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Sertifikat etik penelitian ... 81

Lampiran 2 Surat permohonan fasilitas data penelitian ... 82

Lampiran 3 Surat izin dari Bakesbang, Pol dan Linmas ... 83

Lampiran 4 Surat ijin penelitian dari dinas pendidikan kota Surabaya ... 84

Lampiran 5 Surat keterangan penelitian dari SMP Panca Jaya Surabaya ... 85

Lampiran 6 Lembar Penjelasan Penelitian ... 86

Lampiran 7 Informed Consent ... 88

Lampiran 8 Kuisioner penelitian ... 89

Lampiran 9 SAP peer group discussion 1 ... 91

Lampiran 10 Materi SAP peer group discussion 1 ... 97

Lampiran 11 SAP peer group discussion 2... 103

Lampiran 12 Materi peer group discussion 2 ... 107

(17)

DAFTAR SINGKATAN

PMS = Penyakit Menular Seksual HIV = Human Imunodeficiency Virus

AIDS = Aqquired Imunodeficiency Syndrome

KB = Keluarga Berencana

KTD = Kehamilan yang Tidak Di inginkan BAK = Buang Air Kecil

NAPZA = Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif HE = Health Education

SAP = Satuan Acara Pembelajaran

SPSS = Statistical Package for the Social Sciences

(18)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pada masa remaja terjadi masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa

dewasa. Pada masa ini terjadi perubahan fisik, perilaku, kognitif, biologis, dan

emosi yang dapat mempengaruhi perilaku remaja (Efendi & Makhfudli, 2013).

Adanya kematangan fisik, intelektual, serta emosional pada masa remaja dapat

berpengaruh pada perilaku seksualnya. Perilaku seksual remaja timbul akibat

dorongan seksual karena proses pematangan biologis saat pubertas dan

pematangan psikoseksual. Selain dipengaruhi oleh perubahan tumbuh

kembangnya, berbagai faktor eksternal juga dapat mempengaruhi perilaku

seksual remaja seperti kurangnya pendidikan kesehatan reproduksi, pengaruh

berbagai media masa, pengaruh negatif teman sebaya, pergaulan bebas serta

adanya keinginan remaja untuk mencoba-coba. Perilaku seks bebas pada remaja

merupakan perilaku seksual remaja pranikah tanpa memperhatikan

batasan-batasan yang sesuai dengan nilai-nilai moral, hukum, serta agama di masyarakat

(Soetjiningsih, 2004). Bentuk perilaku tersebut meliputi bergandengan tangan,

berpelukan, bercumbu, bercumbu berat (petting) sampai berhubungan seksual

(Efendi & Makhfudli, 2013). Hal ini jika dibiarkan akan berdampak pada masa

depan remaja yaitu kehamilan di luar nikah, aborsi, timbulnya penyakit menular

seksual, dikucilkan, di-drop out dari sekolah dan memiliki masa depan yang

(19)

Berdasarkan data statistik dunia terkait perilaku seks bebas, terdapat 26

negara dengan frekuensi rata-rata berhubungan seks setiap minggu mencapai 67%.

Tiga negara dengan angka tertinggi berturut-turut meliputi Yunani 87% Brazil

82%, dan Rusia 80% dan tiga Negara dengan angka kejadian terendah

berturut-turut meliputi Nigeria 53%, USA 53% dan Jepang 34% (ChartsBin Statistic,

2009).

Berdasarkan data BKKBN (2012) masalah yang paling populer di kalangan

remaja Indonesia terutama dalam aspek kesehatan reproduksi meliputi perilaku

seks bebas, narkoba, dan infeksi menular seksual HIV/AIDS. Ketiga masalah ini

saling berhubungan satu sama lain. Berdasarkan hasil penelitian Kemenkes RI

(2009), tentang perilaku seks bebas remaja di empat kota besar (Jakarta Pusat,

Medan, Bandung dan Surabaya) menunjukan sebanyak 35,9% remaja memiliki

teman yang sudah pernah melakukan hubungan seksual sebelum menikah, dan

sebanyak 6,9% responden sudah pernah melakukan hubungan seksual pranikah.

Selain itu, perilaku seksual di kalangan anak-anak dan remaja di Indonesia sangat

memprihatinkan. Bahkan dari data Riskesdas 2010 disebutkan bahwa 0,5%

perempuan dan 0,1% laki-laki pertama kali berhubungan seksual di usia 8 tahun

(BKKBN, 2014).

Penelitian lain dalam Australian National University dan Pusat Penelitian

Kesehatan Universitas Indonesia (2010) yang melakukan penelitian di kota

Jakarta, Tangerang, dan Bekasi, dengan jumlah sampel 3.006 responden, rentang

usia kurang dari 17 sampai 24 tahun, terdapat 20,9 persen remaja hamil dan

melahirkan sebelum menikah. Dari data tersebut terungkap 38,7 persen remaja

(20)

tinggi pada remaja yang menikah karena kehamilan yang tidak diinginkan

(BKKBN, 2012).

Berdasarkan data awal yang dilakukan pada hari Selasa 03 Maret 2015 pada

10 responden remaja kelas VIII SMP Panca Jaya Surabaya didapatkan

pengetahuan remaja tentang pencegahan perilaku seks bebas yaitu:

Tabel 1.1 Data informasi umum remaja SMP Panca Jaya Surabaya

Informasi umum Prosentase

Pentingnya informasi

kesehatan reproduksi Tidak penting Penting 50% 50% Usia rata-rata remaja

memulai pacaran 9-13 tahun

Remaja pacaran Memiliki pacar 80%

Tidak memiliki pacar 20%

Dari 80% Remaja pacaran yang diketahui

oleh orang tuanya

Diketahui orang tua 30%

Tidak diketahui orang tua 50%

Sumber: Berdasarkan hasil survei pengambilan data awal peneliti

Tabel 1.2 Data pengetahuan remaja kelas VIII SMP Panca Jaya Surabaya tentang pencegahan seks bebas

Sumber: Berdasarkan hasil survei pengambilan data awal peneliti

Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa rata-rata 80% remaja

SMP Panca Jaya memiliki pengetahuan yang kurang terkait pencegahan perilaku

seks bebas dan 20% remaja lainnya memiliki pengetahuan yang cukup terkait

(21)

guru SMP Panca Jaya didapatkan bahwa Informasi kesehatan reproduksi sudah

diberikan di sekolah, namun frekuensinya hanya sekali. Hal ini disebabkan karena

sekolah tersebut lebih fokus pada pencegahan NAPZA. Selain itu, SMP Panca

Jaya terletak di dekat area bekas lokalisasi sehingga remaja SMP Panca Jaya

rentan terhadap resiko perilaku seks bebas.

Menurut BKKBN (2015) perlu adanya pendidikan kesehatan reproduksi

dini pada remaja SMP karena tidak hanya remaja SMA, namun remaja SMP juga

sangat beresiko terhadap perilaku seks bebas. Angka kejadian ini disebabkan oleh

kurangnya pemahaman remaja terkait kesehatan reproduksi. Kurangnya

pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi menyebabkan kebingungan

remaja dalam memahami terkait tindakan yang boleh dan tidak boleh dilakukan

seperti dalam hal berpacaran, ciuman, serta dalam hal berhubungan seksual

pranikah. Oleh karena itu, pemahaman yang benar akan kesehatan seksualitas

sangat penting untuk masa depan remaja (Soetjiningsih, 2004).

Menurut Roger (2003) seseorang dapat mengadopsi suatu perilaku melalui

proses difusi inovasi. Proses difusi inovasi merupakan suatu proses komunikasi

yang disampaikan melalui berbagai saluran sepanjang waktu kepada sekelompok

anggota dari berbagai sistem sosial. Peran perawat dalam hal ini adalah

memberikan suatu inovasi berupa pendidikan kesehatan tentang pencegahan

perilaku seks bebas agar remaja dapat mengadopsi perilaku positif dalam upaya

pencegahan perilaku seks bebas. Tahapan dalam proses adopsi perilaku meliputi

pengetahuan, persuasif, pengambilan keputusan, implementasi, dan komfirmasi

(22)

Pendidikan kesehatan reproduksi sejak dini perlu dilakukan kepada remaja

awal agar dapat memahami batasan perilaku yang harus dilakukan (BKKBN,

2015). Untuk meningkatkan pemahaman remaja, maka pendidikan kesehatan

harus dilakukan dengan metode yang efektif. Salah satu metode yang efektif

digunakan dalam kelompok remaja adalah diskusi kelompok sebaya (Peer Group

Discussion) (Santrock, 2007). Metode peer group discussion merupakan metode

diskusi kelompok di mana remaja dengan beberapa remaja lainnya dalam suatu

kelompok tertentu dengan usia relatif sama yang memiliki tujuan yang sama

berinteraksi satu sama lain serta bertukar pengalaman dan informasi positif

terkait suatu pokok permasalahan tertentu, sehingga dapat saling mendukung satu

sama lain dalam hal perilaku positif remaja (Mulyana & Nugrahani, 2014).

Metode peer group discussion ini dapat sangat efektif digunakan karena dapat

meningkatkan pengetahuan remaja serta memberikan situasi belajar yang nyaman

dalam bertukar informasi serta pengalaman positif antara remaja dengan teman

sebayanya (Santrock, 2007).

Kelompok sebaya sangat diperlukan pada remaja karena hal ini dapat

berpengaruh terhadap perkembangan sosioemosionalnya. Menurut Piaget (1932)

dan Sullivan (1953), peran teman sebaya dalam perkembangan sosioemosional

sangat penting karena dengan adanya interaksi peer group, remaja dapat belajar

bagaimana hubungan yang simetris dan timbal balik. Dengan kelompok sebaya,

remaja dapat belajar memformulasikan dan menyatakan pendapat mereka, belajar

menghargai sudut pandang sebaya, belajar menegosiasikan solusi atas

(23)

Menurut Piaget dan Kohlberg, melalui hubungan sebaya remaja dapat

mengembangkan pemahaman sosial serta logika moralnya (Santrock, 2007).

Oleh sebab itu peneliti menggunakan metode peer group discussion dengan

tujuan meningkatkan pemahaman remaja terkait pencegahan perilaku seks bebas

dan dampak perilaku seks bebas, sehingga remaja generasi mendatang

diharapkan dapat memahami dan bersikap positif terhadap perilaku seks bebas

tersebut.

1.2 Identifikasi Masalah

Gambar 1.1 Identifikasi penyebab masalah perilaku seks bebas

1.3 Rumusan Masalah

Apakah ada pengaruh peer group discussion terhadap peningkatan

pengetahuan dan sikap remaja tentang pencegahan perilaku seks bebas pada siswa

kelas VIII SMP Panca Jaya Surabaya?

(24)

1.4 Tujuan

1.4.1Tujuan umum

Menjelaskan pengaruh peer group discussion terhadap peningkatan

pengetahuan dan sikap remaja tentang pencegahan perilaku seks bebas pada siswa

kelas VIII SMP Panca Jaya Surabaya.

1.4.2Tujuan khusus

1. Mengidentifikasi pengetahuan remaja terkait pencegahan perilaku seks bebas

sebelum dan sesudah dilakukan peer group discussion terhadap siswa kelas

VIII di SMP Panca Jaya Surabaya.

2. Mengidentifikasi sikap remaja terkait pencegahan perilaku seks bebas

sebelum dan sesudah dilakukan peer group discussion terhadap siswa kelas

VIII di SMP Panca Jaya Surabaya.

3. Mengidentifikasi pengaruh peer group discussion terhadap peningkatan

pengetahuan dan sikap remaja tentang pencegahan perilaku seks bebas pada

siswa kelas VIII SMP Panca Jaya Surabaya.

1.5 Manfaat

1.4.1Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk pengembangan ilmu

keperawatan komunitas dan keperawatan maternitas.

1.4.2 Manfaat Praktis 1. Manfaat bagi remaja

Dapat meningkatkan pengetahuan serta sikap positif remaja terhadap

pencegahan perilaku seks bebas sehingga remaja dapat bersikap positif sebagai 1.5.1 Manfaat Teoritis

(25)

dasar upaya pencegahan dini dalam menurunkan angka kejadian perilaku seks

bebas.

2. Manfaat bagi sekolah

Menjadi salah satu sarana bagi sekolah dalam melakukan tindakan pencegahan

dini terhadap perilaku seks bebas terutama dikalangan remaja SMP.

3. Manfaat bagi perawat dan puskesmas

Dapat dijadikan sebagai dasar dalam tindakan pencegahan primer perilaku seks

bebas sehingga dapat menurunkan angka kesakitan akibat berbagai dampak

kesehatan yang ditimbulkan dari perilaku seks bebas.

4. Manfaat bagi peneliti

Sebagai dasar penelitian selanjutnya tentang peer group discussion dan

(26)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1Teori Difusi Inovasi Roger

Teori difusi inovasi merupakan teori yang menjelaskan bahwa bagaimana

suatu proses dikomunikasikan melalui berbagai saluran sepanjang waktu kepada

sekelompok anggota dari sistem sosial. Pesan yang disampaikan berupa

komunikasi khusus di mana pesan tersebut menyangkut ide baru. Komunikasi

adalah suatu proses dari beberapa individu yang membuat dan berbagi informasi

dengan orang lain untuk memperoleh pemahaman bersama. Definisi ini

mempunyai makna bahwa komunikasi merupakan suatu proses dari suatu tindakan

antara dua atau lebih individu untuk bertukar informasi yang terpusat maupun

berbeda (Roger, 2003).

2.1.1 Elemen difusi inovasi

Empat elemen difusi inovasi meliputi (Roger, 2003):

1. Sebuah inovasi, merupakan suatu ide, tindakan, atau objek yang di anggap

baru oleh individu untuk diadopsi sebagai perilaku baru dan kebaruan tersebut

bersifat subjektif menurut pandangan individu yang menerimanya.

2. Saluran komunikasi, merupakan alat yang digunakan untuk menyampaikan

informasi dari sumber kepada penerima dengan memperhatikan tujuan

diadakannya komunikasi dan karakteristik penerima. Jika komunikasi untuk

memperkenalkan suatu inovasi kepada khalayak yang tersebar luas, maka

media massa merupakan komunikasi yang tepat, cepat dan efisien. Namun,

jika komunikasi uuntuk mengubah sikap dan perilaku penerima secara

(27)

3. Over time, proses perubahan perilaku seseorang setelah menerima suatu

inovasi, sehingga individu memutuskan untuk menerima atau menolak inovasi

tersebut. Hal ini berkaitan dengan dimensi waktu yang akan terlihat dalam

proses difusi inovasi individu, keinovatifan dalam menerima inovasi baru, dan

laju dari adopsi inovasi. Konsep dari proses tersebut meliputi: pengetahuan,

persuasi, keputusan, implementasi, dan konfirmasi.

4. Jumlah anggota dari sistem sosial. Sistem sosial merupakan kumpulan unit

yang berbeda secara fungsional dan terikat untuk kerjasama dalam

memecahkan suatu masalah tertentu untuk mencapai tujuan bersama. Roger

(2003) mengemukakan bahwa, terdapat teori yang memiliki relevansi dan

argumen yang signifikan dalam pengambilan keputusan yang menggambarkan

terkait variabel yang mempengaruhi tingkat adopsi suatu inovasi serta tahapan

dari proses pengambilan keputusan inovasi.

2.1.2 Faktor yang berpengaruh terhadap tahapan difusi inovasi

Faktor yang berpengaruh terhadap tahapan difusi inovasi meliputi (Roger, 2003):

1. Atribut inovasi (Perceived attribute of innovation)

a. Relative advantage (manfaat relatif), inovasi dapat diterima dimasyarakat

jika inovasi tersebut bermanfaat secara ekonomis atau dapat meningkatkan

status sosial, kenyamanan, dan kepuasaan individu.

b. Compatibility (kesesuaian), inovasi yang dirasakan konsisten dengan nilai

yang berlaku, pengalaman yang dimiliki, kesesuaian tradisi, serta

(28)

c. Complexity (Kerumitan), merupakan suatu mutu derajat dimana inovasi

diterima individu sukar untuk dimengerti dan digunakan. Kompleksitas

tersebut sangat berpengaruh dalam sistem sosial.

d. Trialability (Kemungkinan untuk di coba), merupakan mutu derajat

dimana inovasi di eksperimentasikan dalam landasan yang terbatas.

e. Observability (kemungkinan diamati). Hasil inovasi dapat

dikomunikasikan, dideskripsikan, dan disaksikan oleh orang lain.

2. Type of innovation decision (Jenis keputusan inovasi)

Terdapat tiga tipe pengambilan keputusan inovasi meliputi (Roger, 2003):

a. Optional innovation decision (Keputusan opsional), yaitu keputusan yang

diambil sendiri oleh individu. Tahapan keputusan opsional menurut Roger

(2003) meliputi:

1. Knowledge (pengetahuan), individu dapat memperoleh berbagai informasi

baik secara interpersonal maupun melalui berbagai media massa. Hal tersebut

terjadi ketika individu belum memiliki informasi terkait inovasi baru.

2. Persuasion (persuasi), pada tahap ini individu mulai tertarik terhadap inovasi

tersebut serta secara lebih jelas dan rinci mencoba mencari tahu terkait

informasi tersebut.

3. Decision (keputusan), individu mempertimbangkan dan menilai baik

keuntungan maupun kerugian dari suatu inovasi serta memutuskan untuk

mengadopsi perilaku tersebut atau menolaknya.

4. Implementation (pelaksanaan), individu menentukan manfaat dari suatu

inovasi, mencari informasi lebih lanjut, serta menunjukan penerimaan

(29)

lebih lanjut terkait inovasi merupakan penanda bahwa individu telah mulai

menerima dan mengadopsi inovasi tersebut.

5. Confirmation (konfirmasi), pada tahap ini individu akan mencari pembenaran

atau mengkonfirmasi terkait keputusan yang diambil.

Gambar 2.1 Tahapan proses adopsi inovasi Roger (2003)

Gambar diatas merupakan tahapan proses adopsi inovasi Roger (2003) yang

menjelaskan bahwa proses adopsi inovasi diawali dengan adanya pengetahuan

yang diperoleh dari berbagai media komunikasi selanjutnya individu akan mulai

tertarik atau mulai menerima stimulus inovasi yang diberikan. Setelah itu,

individu akan mencoba memutuskan apakah akan mengadopsi perilaku tersebut

atau menolaknya. Setelah individu memututuskan untuk menolak atau menerima

inovasi tersebut, individu akan menunjukan tingkah laku yang berkaitan dengan

keputusannya. Jika individu lebih memiliki keinginan untuk mencari informasi

lebih terkait inovasi tersebut, menunjukan bahwa individu telah menerima untuk

mengadopsi perilaku tersebut begitupula sebaliknya. Pada tahapan akhir, individu

akan mencari pembenaran atau mengkonfirmasi keputusan inovasi yang diambil

(Roger, 2003).

b. Keputusan kolektif. Pilihan mengadopsi atau menolak inovasi dibuat oleh

anggota sistem sosial.

c. Keputusan otoriter. Keputusan otoriter yang dibuat oleh beberapa individu

yang memiliki kekuatan, status, atau keahlian.

Knowledge Persuasif Decision Confirmation

n Implementation

(30)

Gabungan dari dua atau lebih dari ketiga tipe pengambilan keputusan inovasi

disebut contingent innovation decision atau penyatuan dari keputusan inovasi.

Akhir dari keputusan inovasi adalah apakah seseorang akan mengadopsi atau

menolak inovasi tersebut (Roger, 2003).

2.2Konsep Pendidikan Kesehatan 2.2.1Pengertian pendidikan kesehatan

Pendidikan kesehatan merupakan suatu upaya dalam memberdayakan

masyarakat, kelompok, dan perorangan agar dapat memelihara, meningkatkan dan

melindungi kesehatan melalui peningkatan pengetahuan, kemauan dan

kemampuan agar dapat berperilaku hidup bersih dan sehat (Maulana, 2009).

Menurut Notoatmodjo (2007) pendidikan kesehatan merupakan suatu usaha

atau kegiatan yang membantu individu, kelompok, maupun masyarakat untuk

meningkatkan kemampuan dalam bentuk pengetahuan, sikap, dan keterampilan

dengan tujuan untuk mencapai kualitas hidup sehat yang optimal.

2.2.2Proses pendidikan kesehatan

Menurut Notoatdmodjo (2003) proses belajar merupakan suatu prinsip

pokok dalam pendidikan kesehatan yang di dalam proses belajar tersebut terdapat

3 pokok persoalan meliputi :

1. Input, merupakan suatu masukan dalam pendidikan kesehatan meliputi sasaran

belajar yaitu individu, kelompok, atau masyarakat yang sedang belajar dari

berbagai latar belakang.

2. Proses, menurut Notoadmodjo (2007) proses merupakan suatu perubahan

(31)

pengaruh timbal balik dari berbagai faktor meliputi: subjek belajar, pengajar,

teknik belajar, alat bantu, dan materi yang di pelajari.

3. Output, merupakan suatu hasil belajar berupa kemampuan atau adanya

perubahan perilaku dari suatu subjek.

Proses kegiatan belajar tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 2.2 Proses belajar (Notodmodjo, 2003)

2.2.3Tujuan pendidikan kesehatan

Pendidikan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kontrol individu

terhadap kesehatan dan meningkatkan kesehatannya berbasis filosofi yang jelas

mengenai pemberdayaan sendiri dan dilakukan dari, oleh, untuk, dan bersama

masyarakat sesuai dengan tingkat sosial budaya setempat. Dalam rangka mencapai

derajat kesehatan yang optimal baik fisik, mental, sosial, masyarakat harus mampu

mengenal dan mewujudkan aspirasi dan kebutuhannya serta mampu mengubah

atau mengatasi lingkungannya yang mencakup lingkungan fisik, sosial budaya dan

ekonomi, serta kebijakan pemerintah (Maulana, 2009).

Menurut Notoadmodjo (2007) tujuan pendidikan kesehatan secara umum

adalah untuk mengubah perilaku individu atau masyarakat dalam bidang

kesehatan meliputi:

1. Menjadikan kesehatan sebagai salah satu yang bernilai di masyarakat.

2. Agar individu mampu secara mandiri atau berkelompok dalam mencapai tujuan

hidup sehat.

(32)

3. Mendorong penggunaan dan pengembangan sarana pelayanan kesehatan yang

ada secara tepat.

2.2.4 Ruang lingkup pendidikan kesehatan

Ruang lingkup pendidikan kesehatan dapat dilihat dari sasaran pendidikan,

tempat pelaksanaan, serta tingkat pelayanan dalam pendidikan kesehatan (Efendi

& Makhfudli, 2013).

1. Sasaran pendidikan kesehatan

Sasaran pendidikan kesehatan adalah individu, kelompok, dan masyarakat.

Agar promosi kesehatan lebih tepat sasaran, pengelompokan sasaran dengan

sasaran primer, sekunder, dan tersier.

a. Sasaran primer adalah mereka yang diharapkan menerapkan perilaku baru.

b. Sasaran sekunder adalah mereka yang dapat mempengaruhi sasaran primer.

c. Sasaran tersier adalah mereka yang berpengaruh terhadap keberhasilan

kegiatan, seperti para pengambil keputusan atau penyandang dana.

2. Tempat pelaksanaan pendidikan kesehatan

Tempat pelaksanaan pendidikan kesehatan meliputi:

a. Pendidikan kesehatan di sekolah dengan sasaran murid yang pelaksanaannya

diintegrasikan dengan upaya kesehatan sekolah.

b. Pendidikan kesehatan di pelayanan kesehatan, dilakukan di puskesmas, balai

kesehatan, rumah sakit umum ataupun khusus dengan sasarannya pasien dan

keluarganya.

c. Pendidikan kesehatan di tempat kerja dengan sasaran penyuluhan adalah

(33)

3. Tingkat pelayanan dalam pendidikan kesehatan

Pada ruang lingkup tingkat pelayanan kesehatan promosi kesehatan dapat

dilakukan berdasarkan lima tingkat pencegahan (five level of prevention) dari

Leavel dan Clark (Redaktor, 2014), yaitu:

a. Promosi Kesehatan

b. Perlindungan khusus (specific protection)

c. Diagnosis dini dan pengobatan segera (early diagnosis and prompt treatment)

d. Pembatasan cacat (disability limitation)

e. Rehabilitasi (rehabilitation)

2.2.5 Metode pembelajaran dalam pendidikan kesehatan

Metode pembelajaran dalam promosi kesehatan meliputi (Efendi &

Makhfudli, 2013) :

1. Kuliah atau ceramah, merupakan suatu metode dalam memberikan informasi,

motivasi, dan pengaruh terhadap cara berpikir sasaran mengenai suatu topik,

dengan pembicara merupakan pihak yang lebih tahu daripada sasaran kuliah.

2. Konferensi, merupakan metode dimana orang belajar dengan cara berbagi

informasi, ide, dan pengalaman. Sikap opini yang terbentuk kemudian

diperiksa secara periodik untuk mengetahui perubahannya.

3. Roleplay, merupakan metode bermain peran dengan tujuan mendapatkan

pandangan yang lebih luas terhadap suatu perilaku baru.

4. Buzz group, merupakan sasaran yang dibagi dalam kelompok-kelompok kecil

(34)

5. Simulasi, merupakan metode untuk meniru suatu situasi dengan tujuan untuk

pemecahan masalah, pengambilan keputusan serta klarifikasi nilai dalam suatu

konteks individu, organisasi, sosial.

6. Brainstorming, yaitu pemimpin kelompok memancing sasaran dengan satu

masalah dan kemudian tiap sasaran memberikan jawaban atau tanggapan.

7. Seminar, merupakan metode pendidikan kesehatan di mana pertemuannya

dihadiri oleh 5-30 orang sasaran untuk membahas suatu topik tertentu dibawah

pimpinan ahli pada bidang tersebut.

8. Demonstrasi, merupakan suatu metode di mana cara penyajian suatu

pengertian atau ide yang dipersiapkan dengan teliti untuk memperlihatkan

bagaimana menggunakan suatu prosedur.

9. Symposium, merupakan pertemuan terbuka dengan beberapa pembicara yang

menyampaikan ceramah pendek tentang aspek yang berbeda tetapi berkaitan

dengan topik yang dibahas.

10. Diskusi, yaitu metode yang menggerakan partisipatif untuk ikut terlibat dalam

penyuluhan.

11. Peer group discussion, merupakan metode diskusi kelompok di mana remaja

dengan beberapa remaja lainnya dalam suatu kelompok tertentu yang memiliki

tujuan yang sama, berinteraksi satu sama lain, serta bertukar pengalaman dan

informasi positif terkait suatu pokok permasalahan tertentu, sehingga dapat

saling mendukung satu sama lain dalam hal perilaku positif remaja (Santrock,

(35)

2.3Konsep Kesehatan Reproduksi Remaja 2.3.1Pengertian kesehatan reproduksi remaja

Kesehatan reproduksi secara umum merupakan keadaan di mana terdapat

kondisi sejahtera baik secara fisik, mental, maupun keadaan sosial yang berkaitan

dengan fungsi, peran, dan sistem reproduksi (ICPD, 1594 dalam Efendi &

Makhfudli, 2013). Sedangkan kesehatan reproduksi pada remaja merupakan suatu

kondisi sehat sejahtera dari sistem, fungsi, dan proses reproduksi yang dimiliki

oleh remaja baik secara fisik, mental, dan sosial budaya (Samino, 2012).

Kesehatan reproduksi remaja merupakan suatu kondisi sehat dari suatu sistem

(fungsi, komponen, dan proses) yang meliputi keadaan fisik, mental, emosional,

dan spiritual dari sistem reproduksi yang dimiliki oleh remaja (BKKBN, 2011).

2.3.2Tujuan kesehatan reproduksi remaja

Tujuan dari pemberian informasi kesehatan reproduksi pada remaja adalah

agar remaja dapat memiliki berbagai informasi yang benar terkait kesehatan

reproduksi serta dapat memilki sikap dan tingkah laku yang bertanggung jawab

mengenai proses reproduksi, sehingga remaja dapat terhindar dari berbagai

masalah kesehatan dengan indikator sehat secara fisik, mental, dan memiliki

nilai-nilai positif secara sosial (Maulana, 2009). Beberapa pengetahuan dasar yang

harus diketahui oleh remaja terkait kesehatan reproduksi meliputi (Efendi &

Makhfudli, 2013):

a. Pengenalan terkait aspek tumbuh kembang remaja mencakup fungsi, sistem,

dan proses reproduksi

b. Remaja perlu mengetahui batasan usia menikah yang tepat serta bagaimana

(36)

c. Remaja perlu mengetahui tentang PMS serta dampaknya terhadap kondisi

kesehatan reproduksi

d. Remaja perlu mengetahui bahaya miras, narkotika, dan obat-obatan terlarang

terhadap kesehatan reproduksi

e. Pengaruh sosial media terhadap perilaku seksual

f. Kekerasan seksual dan bagaimana menghindarinya

g. Kemampuan dalam berkomunikasi agar mampu menangkal hal-hal yang

bersifat negatif

2.3.3Hak-hak remaja terkait sistem reproduksi

Remaja merupakan kelompok yang rentan terhadap hak-hak kesehatan

reproduksi dan merupakan korban yang seringkali dihakimi secara tidak adil serta

merupakan kelompok rentan terhadap infeksi saluran reproduksi, kehamilan

pranikah, dan penggunaan obat-obatan terlarang. Pemenuhan kebutuhan remaja

dalam kesehatan reproduksi meliputi (Effendi & Makhfudli, 2013):

a. Kebutuhan akan pendidikan dan konseling

b. Perlindungan remaja terhadap kekerasan

c. Hubungan seksual yang aman

d. Pelayanan KB

e. Kesehatan reproduksi

f. Pencegahan PMS dan HIV/AIDS

g. Pencegahan dan perawatan terhadap pelecehan seksual

2.3.4Program kesehatan reproduksi remaja

Program dalam kesehatan reproduksi remaja yaitu menfasilitasi terwujudnya

(37)

a. Berperilaku sehat

b. Terhindar dari resiko seksualitas, HIV/AIDS, Narkoba

c. Menunda usia pernikahan dini

d. Mewujudkan keluarga kecil bahagia dan sejahtera

e. Menjadi contoh, model, idola, dan sumber informasi bagi teman sebayanya

2.4Konsep Perilaku Seks Bebas 2.4.1Pengertian remaja

Remaja merupakan masa perpindahan atau tahap transisi dari anak-anak ke

masa dewasa di mana didefinisikan oleh WHO (2007) rentang usia remaja adalah

12 sampai 24 tahun yang terbagi atas remaja awal, remaja tengah dan remaja akhir

(Effendi & Makhfudli, 2013). Dalam arti yang lebih luas, masa remaja merupakan

masa yang mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik (Hurlock,

1992 dalam Sekarini, 2012).

2.4.2Fase perkembangan remaja

Perkembangan seksual remaja terjadi pada masa pubertas ditandai dengan

adanya pertumbuhan dan perkembangan secara fisik dan psikososial.

Perkembangan fisik remaja meliputi perubahan ukuran, bentuk, dan kematangan

fungsinya. Perkembangan psikososial pada masa remaja meliputi (Soetjiningsih,

2004):

a. Bersikap tidak tergantung pada orang tua

b. Mengembangkan keterampilan bersama teman kelompoknya

c. Mulai mempelajari prinsip-prinsip etika

(38)

e. Memiliki tanggung jawab pribadi dan sosial

Remaja dibagi dalam beberapa tahapan berdasarkan kematangan fisik,

psikososial, dan seksualnya yaitu (Sekarrini, 2012):

1. Remaja awal

Usia remaja awal berkisar antara 11-13 tahun. Pada masa ini, remaja perempuan

seringkali memiliki perkembangan yang matang lebih cepat dibanding laki-laki.

Beberapa hal yang dilakukan remaja usia pra yaitu senang melakukan kegiatan

dengan teman jenis kelamin yang sama, mulai menyenangi kesendirian, pemalu,

menyukai eksperimen dengan dirinya sendiri, serta memiliki kecemasan

tersendiri terhadap kondisi tubuhnya yang mengalami perkembangan (Sekarrini,

2012). Pada usia ini, perubahan fisik remaja mulai matang dan berkembang.

Remaja sudah mulai mencoba melakukan onani karena telah terangsang secara

seksual akibat pematangan yang dialami. Rangsangan yang dialami remaja pada

masa ini disebabkan oleh faktor internal yaitu meningkatnya kadar testoteron

pada laki-laki dan estrogen pada wanita. Seringkali akibat yang ditimbulkan dari

perilaku tersebut adalah perasaan kecewa dan berdosa (Soetjiningsih, 2004).

2. Remaja tengah

Usia pada masa remaja tengah berkisar antara 14-16 tahun (Sekarrini, 2012).

Pada masa ini, gairah seksual remaja sudah mencapai puncak, sehingga memiliki

kecenderungan dalam melakukan sentuhan fisik. Seringkali remaja pada usia ini

melakukan perilaku hubungan seksual serta memiliki sikap tidak bertanggung

(39)

3. Remaja akhir

Remaja akhir berkisar antara 17-21 tahun (Sekarrini, 2012). Perkembangan

fisik yang dialami remaja akhir sudah secara penuh seperti orang dewasa

(Soetjiningsih, 2004). Pada masa ini, remaja sudah mulai berpikir untuk

melakukan hubungan yang lebih serius serta mampu mengembangkan cinta yang

disertai kasih sayang. Adanya penundaan perkawinan pada usia ini akan

mendorong remaja melakukan hubungan seks pranikah (Sekarrini, 2012).

2.4.3Pertumbuhan dan perkembangan fisik remaja

Menurut Kemenkes (2003) organ reproduksi sudah mulai berkembang dan

matang pada masa remaja. Pertumbuhan fisik remaja meliputi pertumbuhan seks

primer dan sekunder yaitu (Sekarrini, 2012):

a. Tanda seks primer

Pada perempuan remaja terjadi menstruasi pertama kali (menarche).

Biasanya menarche terjadi pada usia 8 atau 9 tahun, dan secara umum terjadi pada

usia 12 tahun. Pada pria sudah mulai memproduksi sperma setiap harinya yang

dikeluarkan melalui proses ejakulasi melalui penis. Ejakulasi bisa terjadi secara

alami dan tidak disadari oleh remaja pria melalui mimpi basah (Efendi &

Makhfudli, 2013).

b. Tanda seks sekunder

Pada laki-laki terjadi perubahan suara, penis dan testis membesar, terjadi

ereksi dan ejakulasi, berotot, tumbuh rambut ketiak, kumis, jambang, serta di

sekitar ketiak dan kemaluan, dan dada mulai melebar. Sedangkan pada perempuan

terjadi pelebaran pinggul, rahim dan vagina mulai tumbuh, payudara melebar dan

(40)

Perubahan yang terjadi pada masa remaja ini merupakan efek dari hormon

androgen pada pria dan estrogen pada wanita. Perubahan-perubahan tersebut dapat

mengakibatkan munculnya dorongan seksual remaja (Efendi & Makhfudli, 2013).

2.4.4Pengertian perilaku seks bebas

Perilaku seksual merupakan perilaku yang muncul karena adanya dorongan

seksual akibat adanya perubahan tumbuh kembang secara fisik dan

sosioemosional saat pubertas (Soetjiningsih, 2004). Perilaku seks bebas remaja

diartikan sebagai perilaku seksual yang dilakukan oleh remaja tanpa

memperhatikan batasan-batasan nilai moral dalam sosialnya. Beberapa bentuk

perilaku seksual remaja yaitu: bergandengan tangan, berpelukan, bercumbu,

bercumbu berat (petting), hingga berhubungan seksual. Perilaku seksual ada yang

tidak beresiko dan beresiko terhadap masalah kesehatan reproduksi. Perilaku

seksual yang tidak beresiko terhadap masalah kesehatan reproduksi meliputi

bergandengan tangan, berpelukan, dan berciuman. Perilaku tersebut di anggap

tidak beresiko karena tidak menyebabkan masalah kesehatan reproduksi. Namun

demikian, dampak yang ditimbulkan dari perilaku tersebut adalah secara

psikologis yaitu perasaan berdosa dan bersalah karena hal tersebut tetap

melanggar norma dan nilai yang ada di masyarakat. Timbulnya perilaku tersebut

di kalangan remaja akan mengganggu konsentrasi remaja, sehingga dapat

mengakibatkan gangguan psikologis yaitu depresi remaja (Efendi & Makhfudli,

2013). Perilaku seksual yang beresiko adalah berhubungan seksual yang dapat

menyebabkan kehamilan, infeksi seksual dan rusaknya masa depan remaja.

Beberapa faktor yang menyebabkan remaja lebih banyak bergaul diluar rumah

(41)

a. Kesibukan kedua orang tua

b. Pengaruh kebudayaan dan aktivitas pergaulan bebas

c. Pendidikan seksual yang minim

d. Kurangnya perhatian dan dukungan orang tua

e. Perubahan sikap moral remaja lebih materialistis

2.4.5Pola perilaku seksual remaja

Berbagai faktor yang mempengaruhi perkembangan perilaku seksual remaja

meliputi perkembangan fisik, proses belajar, dan sosiokultural. Beberapa pola

aktifitas seksual yang terjadi pada remaja meliputi sentuhan seksual,

membangkitkan gairah seksual, seks oral, seks anal, masturbasi dan hubungan

seksual dengan lawan jenis (Soetjiningsih, 2004).

Beberapa jenis perilaku seksual remaja yaitu:

a. Ciuman, merupakan ungkapan cinta yang klasik dalam mengekspresikan rasa

cinta dan kasih sayang dengan pasangan. Ciuman tidak menyebabkan

kehamilan atau masalah kesehatan reproduksi lainnya namun, ciuman dapat

menjadi rangsangan yang dapat menimbulkan remaja melakukan hubungan

seksual (Salim, 2014).

b. Masturbasi, merupakan suatu tindakan menyentuh, menggosok, dan meraba

bagian tubuh sendiri yang peka untuk mendapatkan kepuasan seksual orgasme

(Efendi & Makhfudli, 2013).

c. Bercumbu berat (petting), Yaitu melakukan hubungan sekual dengan atau

tanpa pakaian tanpa melakukan penetrasi penis ke vagina, biasanya dilakukan

sebagai pemanasan sebelum melakukan hubungan seksual (Efendi &

(42)

d. Hubungan seksual, merupakan suatu perilaku seksual dengan memasukan

penis ke dalam vagina. Bila terjadi ejakulasi dalam proses ini, maka akan

menimbulkan kehamilan. Perilaku ini sangat beresiko timbulnya berbagai

masalah kesehatan (Efendi & Makhfudli, 2013).

2.4.6Faktor yang mempengaruhi remaja melakukan perilaku seks bebas 1. Penggunaan Napza

Narkoba atau napza merupakan suatu obat, bahan atau zat, dan bukan

tergolong makanan dan jika diminum, dihisap, dihirup, ditelan, atau disuntikan,

dapat berpengaruh terdapat kerja otak terutama pada susunan saraf pusat serta

dapat menyebabkan adiksi. Seseorang yang sudah menjadi pecandu narkoba

dapat beresiko terhadap masalah kesehatan reproduksi khususnya pada pengguna

jarum suntik bergantian yang tidak steril dapat beresiko terkena HIV/AIDS dan

penularan Hepatitis B. Selain itu, secara tidak langsung perilaku seksual pranikah

terjadi akibat kecanduan narkoba atau miras yang selanjutnya dapat merusak

masa depan remaja (Martono, 2008).

2. Pengaruh teman sebaya

Teman sebaya dapat berpengaruh positif atau negatif terhadap perilaku remaja

(Santrock, 2007). Perilaku usia remaja sangat dipengaruhi oleh pengaruh teman

sebaya karena pada usia remaja, remaja lebih banyak waktu bersama teman

sebayanya (Nurhayati, 2008).

3. Perubahan fisik dan psikososial

Adanya perubahan fisik dan psikososial dalam tumbuh kembang remaja dapat

(43)

4. Informasi kesehatan reproduksi yang kurang

Kurangnya pengetahuan terkait kesehatan reproduksi dapat menjerumuskan

remaja dalam melakukan perilaku seks bebas (Soetjiningsih, 2004).

5. Peranan orang tua

Perilaku anak yang tidak sehat juga dapat dipengaruhi oleh perilaku orang

tuanya. Perilaku negatif orang tua seperti merokok, miras, atau gagal menjaga

kesehatan dengan baik dapat ditiru oleh anaknya. Salah satu penelitian

menyebutkan bahwa 50% remaja dengan pengalaman perilaku seksual memiliki

orang tua dengan perilaku merokok (Efendi & Makhfudli, 2013).

6. Minimnya nilai-nilai moral agama dalam diri individu

Seks bebas merupakan jenis penyimpangan perilaku yang terjadi di kalangan

remaja. Penyimpangan tersebut cenderung disebabkan oleh remaja yang keluar

dari aturan, baik secara hukum positif maupun agama. Kurangnya pendidikan

moral dan nilai-nilai agama dalam diri individu dapat menjerumuskan remaja

dalam melakukan perilaku seks bebas (Himawan, 2007).

2.4.7Akibat perilaku seks bebas 1. Penyakit Menular Seksual (PMS)

PMS adalah penyakit menular yang dapat ditularkan seseorang ke orang lain

melalui kontak hubungan seksual. Seseorang yang berganti-ganti pasangan dan

melakukan seks melalui oral, vagina, maupun anal merupakan kelompok resiko

tinggi terkena PMS. Resiko yang berdampak buruk dalam hal kesehatan

reproduksi terkait PMS meliputi kemandulan, pada bayi baru lahir mengalami

kebutaan serta kematian. Gejala PMS pada pria lebih mudah terlihat daripada

(44)

dalam tubuh. Beberapa gejala dari PMS baik pria maupun wanita yaitu (Efendi &

Makhfudli, 2013):

1) Pada pria:

a. Terdapat bintil-bintil berisi cairan

b. Terdapat lecet atau borok pada penis

c. Adanya luka tapi tidak sakit pada penis

d. Keras dan berwarna merah

e. Adanya kutil

f. Nyeri hebat saat buang air kecil

g. Terdapat nanah atau darah pada urin

h. Bengkak, panas, nyeri, pada pangkal paha yang kemudian menjadi borok

2) Pada wanita:

a. Nyeri saat BAK dan berhubungan seksual

b. Nyeri pada perut bagian bawah

c. Pengeluaran lendir dari alat kelamin

d. Keputihan berwarna putih susu, bergumpal, disertai rasa gatal dan

kemerahan pada alat kelamin dan sekitarnya

e. Keputihan berbusa, hijau, berbau busuk, dan gatal

f. Timbul bercak darah paska hubungan seksual

g. Terdapat bintil-bintil berisi cairan disekitar alat kelamin

(45)

Beberapa penyakit menular seksual, meliputi (Cahyono, 2008):

a. Klamidia : 75% wanita dan 25% laki-laki terinfeksi tapi tidak menimbulkan

gejala.

b. Gonore: keluar cairan kekuningan atau nanah dari perut, vagina atau rektum

dan rasa gatal pada penis saat kencing.

c. Hepatitis B : demam, sakit kepala, nyeri otot, lemah, kehilangan nafsu makan,

muntah dan diare. Gejala akibat gangguan di hati: kencing warna gelap, nyeri

perut, kekuningan.

d. Herpes kelamin : rasa gatal, terbakar, nyeri, bintil-bintil berair, atau luka yang

terasa nyeri, dapat sembuh dalam beberapa minggu tapi muncul kembali.

e. HIV/AIDS: pertama timbul tanpa gejala selanjutnya kekebalan tubuh akan

hilang.

f. Kutil Kelamin : tonjolan berupa bunga kol pada kelamin, anus, dan

tenggorokan.

g. Sifilis : fase awal tidak terdapat nyeri, fase berikutnya timbul ruam pada kulit,

demam, luka pada tenggorokan, rambut rontok, dan pembengkakan kelenjar

di seluruh saluran tubuh.

h. Trikomoniasis : gejalanya pada wanita terjadi keputihan yang banyak,

berbusa, berwarna kuning kehijauan, rasa sakit saat kencing atau

berhubungan seks. Pada pria mungkin timbul radang pada saluran kencing.

2. Kehamilan pada Remaja

Remaja dimungkinkan untuk menikah pada usia dibawah 20 tahun sesuai

(46)

menikah adalah 16 tahun bagi wanita dan 18 tahun bagi pria. Namun harus

memperhatikan hal-hal berikut (Efendi & Makfudli, 2013):

a. Peningkatan resiko kehamilan di usia muda

b. Peningkatan resiko keracunan kehamilan di usia muda

Namun, kebanyakan pada usia remaja terjadi kehamilan yang tidak

diinginkan (KTD). Beberapa faktor penyebab di antaranya adalah (Efendi &

Makfudli, 2013):

a. Pengetahuan yang kurang lengkap dan kurang benar

b. Terjadinya tindakan pemerkosaan

c. Kegagalan alat kontrasepsi

Beberapa kerugian dari KTD meliputi (Efendi &Makfudli, 2013):

a. Wanita hamil tidak mengurus kehamilannya

b. Perasaan kasih sayang ibu kurang terhadap bayinya

c. Sering terjadi perilaku aborsi

d. Masa depan remaja suram karena di-drop out dari sekolah

3. Depresi dan merasa berdosa

Depresi dan perasaan berdosa seringkali terjadi pada remaja yang sering

melakukan onani maupun masturbasi. Hal ini berkaitan dengan pemahaman

agama yang diperoleh dari tokoh agamanya yaitu mereka akan berdosa jika

(47)

2.5Upaya Pencegahan Perilaku Seks Bebas

Beberapa tindakan yang dapat dilakukan dalam hal pencegahan masalah seks

dan penyakit yang berhubungan dengan kesehatan seksualitas meliputi (Manuaba,

2009) :

a. Pada kasus penyakit yang berhubungan dengan masalah kesehatan

reproduksi diharapkan dapat memberikan pengobatan radikal untuk

kesembuhan sehingga menyelamatkan alat dan fungsi reproduksi remaja.

b. Menghindari kehamilan yang tidak diinginkan dengan menggunakan salah

satu metode yang aman dan bersih.

c. Meningkatkan kegiatan positif remaja dan meningkatkan produktifitas

kegiatan remaja diluar rumah.

d. Meningkatkan pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi secara

komprehensif.

e. Meningkatkan keimanan dan ketakwaan remaja.

f. Menjaga nila-nilai moral, hukum, dan agama dalam masyarakat

2.6Domain Perilaku

Terdapat 3 domain perilaku manusia yaitu, pengetahuan, sikap dan tindakan.

1. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu terhadap objek tertentu setelah

seseorang melakukan penginderaan. Proses adopsi perilaku meliputi: (Efendi &

(48)

a. Timbul kesadaran (awareness) di mana seseorang mengetahui stimulus

terlebih dahulu.

b. Ketertarikan (interest) di mana seseorang mulai tertarik terhadap stimulus.

c. Mempertimbangkan baik tidaknya stimulus dimana sikap seseorang sudah

lebih baik (evaluation).

d. Mulai mencoba (trial), di mana seseorang mulai mencoba perilaku baru.

e. Mengadaptasi (adoption), dalam hal ini seseorang mulai berperilaku sesuai

dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.

Pada penelitian selanjutnya Roger (2003) mengemukakan bahwa proses

adopsi perilaku meliputi beberapa tahap yaitu:

a. Pengetahuan (knowledge), di mana subjek memperoleh pengetahuan dari suatu

proses inovasi.

b. Persuasif (persuasion), di mana subjek mulai tertarik dengan isi pesan yang

disampaikan sehingga dapat membentuk sikap subjek baik sikap positif atau

negatif.

c. Pengambilan keputusan (decision), subjek mulai menilai atau

mempertimbangkan apakah menerima atau mengadopsi perilaku.

d. Pelaksanaan (Implementation), subjek mulai mengadopsi perilaku.

e. Konfirmasi (confirmation), subjek mengkonfirmasi hal-hal yang berkaitan

dengan perilaku.

Adopsi perilaku seseorang akan berlangsung lama (long lasting) jika

didasari dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikap positif, sebaliknya jika tidak

didasari oleh pengetahuan, kesadaran, dan sikap positif maka adopsi perilaku tidak

(49)

Tingkat pengetahuan dalam domain kognitif meliputi (Efendy &

Makhfudli, 2013):

a. Tahu (know), dapat diartikan sebagai pengingat akan suatu materi yang telah

dipelajari sebelumnya.

b. Memahami (comprehension), suatu kemampuan untuk menjelaskan secara

benar tentang objek yang diketahui, dan dapat diinterpretasikan secara benar.

c. Aplikasi (application), kemampuan untuk menggunakan materi yang telah

dipelajari pada situasi dan kondisi yang sebenarnya.

d. Analisis (analysis), kemampuan menjabarkan materi atau objek ke dalam

komponen-komponen, tetapi masih dalam satu struktur organisasi yang masih

berkaitan satu sama lain.

e. Sintesi (syntethic), kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan

bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

f. Evaluasi (evaluation), kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian

terhadap suatu materi atau objek.

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terbentuknya peningkatan

pengetahuan meliputi (Notoadmodjo, 2003):

a. Tingkat pendidikan, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin

mudah pula memperoleh hal-hal baru.

b. Sumber informasi, semakin banyak informasi yang diperoleh semakin jelas

pula pemahaman terhadap informasi yang didapatkan.

c. Budaya, seseorang melakukan tradisi atau budaya tanpa melalui penalaran

apakah yang dilakukan baik atau buruk sehingga memperoleh pengetahuan

(50)

d. Pengalaman masa lalu, cara untuk mengulang pengalaman masa lalu untuk

memecahkan masalah.

2. Sikap

Merupakan suatu respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau objek.

Secara nyata sikap menunjukan konotasi terkait adanya kesesuaian reaksi terhadap

stimulus tertentu dalam kehidupan sehari-hari yang merupakan reaksi emosional

terhadap stimulus sosial. Sikap merupakan suatu predisposisi tindakan suatu

perilaku bukan merupakan tindakan atau aktifitas, atau dapat dikatakan sebagai

reaksi tertutup. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di

lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek (Efendi &

Makhfudli, 2013). Tingkat sikap dalam domain afektif yaitu (Notoadmodjo, 2003)

a. Menerima berarti subjek memperhatikan stimulus yang diberikan.

b. Merespon dimana subjek merespon terhadap apa yang diberikan.

c. Menghargai berarti mengajak orang lain mendiskusikan suatu masalah.

d. Bertanggung jawab berarti bertanggung jawab terhadap sesuatu yang

dipilihnya.

Beberapa komponen sikap menurut Allport (1954) dalam Notoadmodjo

(2003) meliputi:

a. Kepercayaan, ide, dan konsep terhadap suatu objek

b. Kehidupan emosional atauevaluasi terhadap suatu objek

c. Kecenderungan bertindak (tend to behave)

Ketiga komponen tersebut bersama-sama membentuk total attitude. Dalam

(51)

Azwar (1995) dalam Maulana (2009) menyatakan bahwa beberapa komponen

yang membentuk struktur sikap seseorang meliputi:

a. Komponen koginitf, disebut juga komponen perceptual yang berisi

kepercayaan yang berhubungan dengan persepsi individu terhadap objek sikap

dengan apa yang dilihat dan diketahui, pandangan, keyakinan, pikiran,

pengalaman pribadi, kebutuhan emosional, dan informasi dari orang lain.

Sebagai contoh seseorang akan tahu bahwa kesehatan itu sangat penting jika

pernah merasakan sakit dan nikmatnya sehat.

b. Komponen afektif (emosional), menunjukan dimensi emosional subjektif

individu terhadap objek sikap baik bersifat positif (senang) atau negatif (tidak

senang). Reaksi emosional banyak dipengaruhi oleh apa yang kita percayai

sebagai sesuatu yang benar terhadap objek sikap tersebut.

c. Komponen konatif (perilaku), merupakan predisposisi atau kecenderungan

bertindak terhadap objek sikap yang dihadapi.

Sikap memiliki beberapa fungsi yaitu (Maulana, 2009):

a. Fungsi instrumental, sikap dikaitkan dengan alasan praktis atau manfaat dan

menggambarkan keadaan keinginannya atau tujuan.

b. Fungsi pertahanan ego, sikap yang diambil untuk melindungi diri dari

kecemasan atau ancaman harga diri.

c. Fungsi nilai ekspresi, sikap menunjukan nilai yang ada pada dirinya. Sistem

nilai individu dapat dilihat dari sikap yang diambil individu yang bersangkutan

misalnya, individu yang telah menghayati ajaran agama, sikapnya akan

(52)

d. Fungsi pengetahuan, setiap individu memiliki motif ingin tahu, mengerti dan

banyak memperoleh pengetauan dan pengalaman yang diwujudkan dalam

kehidupan sehari-hari.

e. Fungsi penyesuaian sosial, sikap yang diambil sebagai bentuk adaptasi dengan

lingkungannya.

Beberapa cara yang dapat membentuk atau mengubah sikap individu

meliputi (Maulana, 2009):

a. Adopsi, suatu cara pembentukan dan perubahan sikap melalui kegiatan yang

berulang dan terus menerus sehingga lama-kelamaan secara bertahap akan

diserap oleh individu.

b. Diferensiasi, terbentuknya atau berubahnya sikap karena individu telah

memiliki pengetahuan, pengalaman, inteligensi, dan bertambahnya umur.

c. Integrasi, sikap terbentuk secara bertahap dimulai dari pengetahuan

pengalaman terhadap objek sikap tertentu. Sebagai contoh mahasiswa

keperawatan yang secara rajin mengikuti perkuliahan, praktik klinik, dan

mengikuti seminar keperawatan, pada akhirnya akan bersikap positif terhadap

profesi keperawatan.

d. Trauma, pembentukan sikap terjadi melalui kejadian yang tiba-tiba

mengejutkan dan menimbulkan kesan mendalam. Seseorang akan bersikap

negatif terhadap suatu objek jika memiliki pengalaman buruk dari objek

tersebut.

e. Generalisasi, sikap terbentuk karena pengalaman traumatik pada individu

terhadap hal tertentu yang dapat menimbulkan sikap positif atau negatif

(53)

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi seseorang dalam membentuk

sikap meliputi:

a. Pengalaman pribadi, yaitu apa yang sedang dialami akan ikut membentuk

sikap seseorang.

b. Pengaruh orang lain yang dianggap penting, pada umumnya seseorang akan

cenderung memiliki sikap yang searah dengan sikap yang dianggap penting

oleh orang lain.

c. Pengaruh budaya, budaya dapat mempengaruhi seseorang dalam bersikap.

d. Media massa, dapat mempengaruhi kepercayaan dan membentuk opini serta

akan memberikan landasan berpikir efektif dalam menilai suatu hal sehingga

dapat membentuk sikap seseorang.

e. Lembaga pendidikan dan lembaga agama.

f. Pengaruh faktor emosional.

3. Tindakan

Tindakan juga memiliki berbagai tingkatan (Notoadmodjoo, 2003 dalam

Efendi & Makhfudli, 2013):

a. Persepsi dalam mengenal dan memilih objek.

b. Respon terpimpin di mana seseorang dapat melakukan sesuatu dengan

urutan yang benar.

c. Mekanisme di mana apa yang dilakukan sudah menjadi kebiasaan

(54)

2.7Konsep Peer Group Discussion

2.7.1Pengertian peer group discussion

Peer Group Discussion merupakan metode diskusi kelompok di mana

remaja dengan beberapa remaja lainnya dalam suatu kelompok tertentu dengan

usia relatif sama yang memiliki tujuan yang sama berinteraksi satu sama lain serta

bertukar pengalaman dan informasi positif terkait suatu pokok permasalahan

tertentu sehingga dapat saling mendukung satu sama lain dalam hal perilaku

positif remaja (Santrock, 2007). Menurut Godwin (1998) dalam Nurmalasari

(2013) peer group discussion merupakan suatu kelompok diskusi informal remaja

yang dilakukan selama kurang lebih satu jam dengan melibatkan partisipasi

remaja serta membahas segala hal tentang remaja. Boyle (2003) menjelaskan

bahwa peer group discussion merupakan suatu metode pembelajaran dengan

teman sebaya yang dapat membantu meningkatkan pemahaman dan

pengembangan terkait konsep dan ide.

2.7.2Prinsip peer group discussion

Prinsip dalam Peer Group Discussion meliputi (Nurmalasari, 2013):

1. Anggota kelompok terdiri dari 6-7 orang, saling mengenal, dengan usia relatif

sama, memiliki kebutuhan dan tujuan yang sama, serta dibentuk secara sengaja

maupun sudah ada sebelumnya.

2. Terdapat satu orang ketua yang dipilih berdasarkan kesepakatan bersama.

3. Ketua kelompok yang telah dipilih sebelumnya bertugas mengatur jalannya

diskusi, memberikan pancingan pertanyaan agar semua anggota memiliki

(55)

4. Semua anggota kelompok duduk berhadap-hadapan, begitu juga dengan ketua

kelompok agar semua anggota merasa memiliki taraf yang sama agar dapat

memiliki kebebasan dalam menyampaikan pendapatnya masing-masing.

5. Ketua kelompok akan menyampaikan kesimpulan terkait jawaban kasus yang

telah dibahas bersama.

6. Peran fasilitator sebagai pengatur jalannya diskusi agar sesuai dengan tujuan

yang telah disepakati.

2.7.3Tujuan dan manfaat peer group discussion

Tujuan dilakukan peer group discussion adalah sebagai berikut (Santrock,

2007):

a. Meningkatkan pemahaman remaja dalam menyikapi perilaku seks bebas.

b. Dengan diskusi dengan kelompok sebayanya, remaja dapat

mengembangkan sosioemosionalnya.

c. Menjadi salah satu sarana remaja dalam bertukar informasi positif bersama

teman sebayanya.

Manfaat yang dapat diperoleh remaja dalam melakukan peer group

discussion meliputi (Nurmalasari, 2013):

1. Dapat dijadikan sebagai sarana dalam mendukung refleksi

2. Dapat mengembangkan pemikiran kritis remaja

3. Dapat membangun pengetahuan yang ada

4. Mendukung remaja dalam melakukan pembelajaran kooperatif

5. Mendorong siswa dalam menghargai masing-masing pendapat orang lain

Gambar

Tabel 1.2 Data pengetahuan remaja kelas VIII SMP Panca Jaya Surabaya tentang pencegahan seks bebas
Gambar 1.1 Identifikasi penyebab masalah perilaku seks bebas
Gambar 2.1 Tahapan proses adopsi inovasi Roger (2003)
Gambar 2.2 Proses belajar (Notodmodjo, 2003)
+7

Referensi

Dokumen terkait

reproduksi remaja dan kontrol orangtua dengan perilaku seks bebas. pada remaja

Memberikan informasi pada sekolah tentang hubungan sumber informasi dan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dengan perilaku seks bebas pada remaja, sehingga

Sebagai masukan bagi Departeman Pendidikan untuk melakukan peningkatan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dan upaya pencegahan seks bebas terhadap kalangan remaja.

Hasil workshop pada saat penyampaian materi terkait kesehatan reproduksi, bahaya seks bebas dan perilaku asertif, remaja mulai memahami bagaimana sikap asertif yang

Ditinjau dari dakwah fardiyah, kegiatan upaya pencegahan seks bebas remaja melalui konseling sebaya di Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) Puskesmas Blora telah

Sikap terhadap aspek sosial remaja tentang seks pranikah sebelum penyuluhan kesehatan reproduksi dalam kategori cukup sebanyak 32 orang (66,7%) dan sesudah penyuluhan kesehatan

Pengaruh promkes tentang seks pranikah melalui peer group terhadap sikap remaja dalam pencegahan seks pranikah di SMA Negeri 1 Patianrowo Berdasarkan tabel 6

PENGARUH FOCUS GROUP DISCUSSION TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI TERHADAP PERSEPSI SEKS BEBAS REMAJA Di Kelas X SMKN Kebonagung Kecamatan Kebonagung Kabupaten Pacitan.. Oleh