• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKUTAN. telah diatur di Perjanjian Internasional yang berupa Konvensi dan Protokol yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKUTAN. telah diatur di Perjanjian Internasional yang berupa Konvensi dan Protokol yang"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKUTAN A. Pengaturan Hukum Pengangkutan Udara

Pengaturan mengenai pengangkutan udara secara internasional sejatinya telah diatur di Perjanjian Internasional yang berupa Konvensi dan Protokol yang mana telah ditandatangani oleh beberapa Negara yang hadir dan menyetujui kesepakatan Konvensi dan Protokol tersebut.

Setiap Negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional, memiliki hak untuk menetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negaranya, tak terkecuali Indonesia yang juga termasuk di dalamnya. Peraturan hukum tersebut dapat mencakup pengaturan operasi pengangkutan udara nasional maupun internasional yang berasal atau ke negara tersebut.

Hukum pengangkutan udara merupakan bagian dari hukum udara yang pengaturannya sudah ada sejak masa pemerintahan Belanda di Indonesia. Beberapa peraturan yang berlaku bagi pengangkutan udara, antara lain sebagai berikut:8

1) Undang-Undang nomor 83 Tahun 1958 (LN. 1958-1959), tentang Penerbangan. Undang-Undang ini mengatur tentang larangan penerbangan, pendaftaran dan kebangsaan pesawat-pesawat udara, surat tanda kelaikan dan kecakapan terbang, Dewan penerbangan, dan lain-lain;

(2)

2) Luchtverkeersverrordening (S. 1936-425), yang mengatur lalu lintas udara, misalnya: mengenai penerangan, tanda-tanda dan isyarat-isyarat yang harus dipergunakan dalam penerbangan dan lain-lain;

3) Verordening Toezicht luchtvaart (S. 1936-426), yang merupakan peraturan pengawasan atas penerbangan dan mengatur antara lain pengawasan atas personal penerbangan, syarat-syarat jasmani, surat tanda kecakapan sebagai ahli mesin dan ahli radio, pengawasan atas materiil/penerbangan;

4) Luchtvaartquarantine Ordonantie (S. 1939-149, jo. S. 1939-150) yang mengatur persoalan-persoalan yang berhubungan dengan pencegahan disebarkannya penyakit menular oleh penumpang-penumpang pesawat terbang;

5) Luchtverveorordonnantie (S. 1939-100), pengaturan ini merupakan Ordonansi Penerbangan, yang mengatur pengankutan penumpang, bagasi dan pengangkutan barang serta pertanggungjawaban pengangkutan udara.

Peraturan pokok mengenai penerbangan setelah dikeluarkannya beberapa peraturan tersebut, dirangkum dalam Ordonansi Pengangkutan Udara (Luchtverveorordonnantie. S. 1939-100). Ordonansi Pengangkutan Udara ini telah sesuai dengan Perjanjian Warsawa9

9 Perjanjian Warsawa adalah perjanjian yang bertujuan untuk mempersatukan beberapa ketentuan dalam hal pengangkutan udara internasional, dibuat di Warsawa pada 12 Oktober 1929 yang diberlakukan Indonesia tanggal 29 September 1933. (sebagaimana yang dimuat dalam Sution Usman Adji, Djoko Prakoso, Hari Pramono, ibid, hal. 56)

yang merupakan hukum khusus terhadap Ordonansi Pengangkutan Udara. Ordonansi ini ditujukan untuk mengatur

(3)

pengangkutan udarra tetapi tidak semua pengangkutan udara tunduk pada ordonansi ini.10

Pengangkutan udara yang tidak tunduk pada Ordonansi Pengangkutan Udara ini yaitu, pengangkutan udara tanpa bayaran yang tidak diselenggarakan oleh suatu perusahaan pengangkutan udara, pengangkutan udara yang diselenggarakan oleh suatu perusahaan pengangkutan udara sebagai suatu percobaan pertama berhubung dengan maksud untuk mengadakan line

penerbangan teratur, pengangkutan udara yang dilakukan dalam keadaan luar biasa yakni menyimpang dari usaha yang normal dari suatu perusahaan penerbangan, pengangkutan pos dan paket melalui udara yang dilaksanakan atas permintaan dari atau atas nama penguasa yang berwenang, dan pengangkutan udara yang dilakukan oleh pesawat-pesawat terbang militer Pabean dan Polisi.11

Pada tahun 1992, seluruh pengaturan mengenai penerbangan yang pernah berlaku di Indonesia digantikan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1992 (LNRI Tahun 1992 No. 53) tentang Penerbangan yang selanjutnya disingkat UUPU yang berlaku mulai tanggal 17 September 1992. Kelahiran Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 didasari oleh suatu keadaan dimana dunia penerbangan telah mengalami perkembangan yang sangat pesat, sehingga undang-undang yang telah ada dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman. Sebagaimana dinyatakan dalam mukadimah penjelasannya yang menyatakan “Di samping itu dalam rangka pembangunan hukum nasional

10Loc.Cit.

(4)

serta untuk lebih memantapkan perwujudan kepastian hukum, Undang Undang Nomor 83 Tahun 1958 tentang Penerbangan, perlu diganti dengan Undang Undang ini, karena tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan belum tertata dalam satu kesatuan.” Dengan lahirnya undang-undang ini maka Undang-Undang Nomor 83 Tahun 1958 Tentang Penerbangan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.12

Pada tahun 2009, telah dikeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan yang menggantikan UUPU. Namun, UUPU tersebut dinyatakan masih berlaku selama tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan ini. Undang-undang ini total memuat 466 pasal dan mengatur berbagai aspek penerbangan dengan sangat mendetail. Ketentuan-ketentuan yang ada dalam undang-undang tersebut tentunya memberi pengaruh yang tidak sedikit pada dunia transportasi udara, terutama disisi bisnis angkutan udara.13

Asas-asas hukum pengangkutan merupakan landasan filosofis yang dikualifikasikan menjadi asas yang bersifat publik, dan asas yang bersifat perdata.

B. Asas dan Tujuan Pengangkutan Udara

14

12 Asas Pengangkutan yang Bersifat Perdata, sebagaimana yang di muat dalam

eprints.undip.ac.id/16310/1/AHMAD_ZAZILI.pdf, diakses pada tanggal 1 Oktober 2014.

Asas yang bersifat publik merupakan landasan hukum pengangkutan

13

Fifi, “Undang-Undang Penerbangan”, 2009, sebagaimana yang dimuat dalam

14 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hal. 17.

(5)

yang berlaku dan berguna bagi semua pihak yaitu pihak-pihak dalam pengangkutan, pihak ketiga yang berkepentingan dengan pengangkutan, dan pihak pemerintah (penguasa). Asas-asas yang bersifat publik pada pelaksanaan pengangkutan, adalah:

a) Asas manfaat, setiap pengangkutan harus dapat memberikan nilai guna yang sebesar-besarnya bagi kemanusiaan, peningkatan kesejahteraan rakyat, dan pengembangan perikehidupan yang berkeimbangan bagi warga negara;

b) Usaha bersama dan kekeluargaan, penyelenggaraan usaha pengangkutan dilaksanakan untuk mencapai cita-cita dan aspirasi bangsa yang dalam kegiatannya dapat dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat dan dijiwwai semangat kekeluargaan;

c) Adil dan merata, penyelenggaraan pengangkutan harus dapat memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada segenap lapisan masyarakat dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat;

d) Keseimbangan, penyelenggaraan pengangkutan harus dengan keseimbangan yang serasi antara sarana dan prasarana, antara kepentingan pengguna dan penyedia jasa, antara kepentingan individu dan masyarakat, serta antara kepentingan nasional dan internasional; e) Kepentingan umum, penyelenggaraan pengangkutan harus lebih

(6)

f) Keterpaduan, pengangkutan harus merupakan kesatuan yang bulat dan utuh, terpadu, saling menunjang, dan saling mengisi baik intra mauun antar moda pengangkutan;

g) Kesadaran hukum, pemerintah wajib menegakkan dan menjamin kepastian hukum serta mewajibkan kepada setiap warga negara Indonesia agar selalu sadar dan taat kepada hukum dalam penyelenggaraan pengangkutan;

h) Percaya pada diri sendiri, pengangkutan harus berlandaskan pada kepercayaan akan kemampuan dan kekuatan sendiri serta bersendikan kepribadian bangsa;

i) Keselamatan penumpang, pengangkutan penumpang harus disertai dengan asuransi kecelakaan

Asas-asas perdata yang ada pada pengangkutan dikarenakan pengangkutan diadakan dengan perjanjian antara pihak-pihak. Tiket/karcis penumpang dan dokumen angkutan lainnya merupakan tanda bukti telah terjadi perjanjian antara pihak-pihak.15

Asas-asas pengangkutan yang bersifat perdata adalah:

16

1) Konsensual, pengangkutan tidak diharuskan dalam bentuk tertulis, sudah cukup dengan kesepakatan pihak-pihak. Tetapi untuk menyatakan bahwa perjanjiat itu sudah terjadi atau sudah ada harus dibuktikan dengan atau didukung oleh dokumen angkutan;

15Ibid, hal. 18

16 Asas Pengangkutan yang Bersifat Perdata, sebagaimana yang di muat dalam

(7)

2) Koordinatif, pihak-pihak dalam pengangkutan mempunyai kedudukan setara atau sejajar, tidak ada pihak yang mengatasi atau membawahi yang lain. Walaupun pengangkut menyediakan jasa dan melaksanakan perintah penumpang/pengirim barang, pengangkut bukan bawahan penumpang/pengirim barang. Pengangkutan adalah perjanjian pemberian kuasa;

3) Campuran, pengangkutan merupakan campuran dari tiga jenis perjanjian, yaitu pemberian kuasa, penyimpanan barang, dan melakukan pekerjaan dari pengirim kepada pengangkut. Ketentuan ketiga jenis perjanjian ini berlaku pada pengangkutan, kecuali jika ditentukan lain dalam perjanjian pengangkutan;

4) Pembuktian dengan dokumen, setiap pengangkutan selalu dibuktikan dengan dokumen angkutan. Tidak ada dokumen angkutan berarti tidak ada perjanjian pengangkutan, kecuali jika kebiasaan yang sudah berlaku umum, misalnya pengangkutan dengan angkutan kota (angkot) tanpa tiket/karcis penumpang.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan merumuskan asas-asas pengangkutan secara umum kedalam asas penerbangan diselenggarakan berdasarkan asas manfaat, usaha bersama dan kekeluargaan, adil dan merata, keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, kepentingan umum, keterpaduan, tegaknya hukum, kemandirian, keterbukaan dan anti monopoli,

(8)

berwawasan lingkungan hidup, kedaulatan negara, kebangsaan, dan kenusantaraan. 17

Menurut ketentuan Pasal 3 UUPU, pengangkutan dengan pesawat udara bertujuan untuk:18

a) Mewujudkan penyelenggaraan penerbangan yang selamat, aman, cepat, lancar, tertib dan teratur, nyaman dan berdaya guna dengan biaya yang terjangkau oleh daya beli masyarakat;

b) Mengutamakan dan melindungi penerbangan nasional;

c) Menunjang pemerataan, pertumbuhan dan stabilitas pembangunan nasional;

d) Sebagai pendorong, penggerak, dan penunjang pembangunan nasional; e) Mempererat hubungan antar bangsa.

C. Jenis-Jenis Penyelenggaraan Angkutan Udara

Pengelompokan jenis-jenis angkutan udara pada umumnya merujuk pada Pasal 83 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, yaitu angkutan udara niaga dan angkutan udara bukan niaga. Angkutan udara niaga adalah angkutan udara untuk umum dengan memungut biaya.19

17 Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan 18 Abdulkadir Muhammad, op.cit, hal. 27

19 Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, Pasal 1 ayat (14)

Angkutan Udara Niaga dapat dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah yang berbentuk Perusahaan Perseroan Terbatas (Persero), Badan Usaha

(9)

Milik Swasta yang berbentuk Perseroan Terbatas ataupun Koperasi yang memiliki status sebagai Badan Hukum dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.20

1) Angkutan udara niaga dalam negeri adalah adalah kegiatan angkutan udara niaga untuk melayani angkutan udara dari satu bandar udara ke bandar udara lain di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Angkutan udara niaga dalam negeri hanya dapat dilakukan oleh badan usaha angkutan udara nasional yang telah mendapat izin usaha angkutan udara niaga;

Angkutan udara niaga terbagi atas dua klasifikasi, yaitu:

2) Angkutan udara niaga luar negeri adalah kegiatan angkutan udara niaga untuk melayani angkutan udara dari satu bandar udara di dalam negeri ke bandar udara lain di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan sebaliknya.21

Angkutan udara bukan niaga adalah angkutan udara yang digunakan untuk melayani kepentingan sendiri yang dilakukan untuk mendukung kegiatan yang usaha pokoknya selain di bidang angkutan udara. Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 101 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, bahwa:

1) Kegiatan angkutan udara bukan niaga dapat dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, lembaga tertentu, orang perseorangan, dan/atau badan usaha Indonesia lainnya.

20 Pelaku Angkutan Udara Niaga, sebagaimana yang dimuat dalam http://repository.usu. ac.id/bitstream/123456789/20758/3/Chapter%20II.pdf , diakses pada tanggal 1 Oktober 2014

(10)

2) Kegiatan angkutan udara bukan niaga berupa:

a) angkutan udara untuk kegiatan keudaraan (aerial work);

b) angkutan udara untuk kegiatan pendidikan dan/atau pelatihan personel pesawat udara; atau

c) angkutan udara bukan niaga lainnya yang kegiatan pokoknya bukan usaha angkutan udara niaga.

Selain angkutan udara niaga dan angkutan udara bukan niaga, terdapat jenis angkutan udara lain, yakni; angkutan udara perintis adalah merupakan kegiatan angkutan udara niaga dalam negeri yang melayani jaringan dan rute penerbangan untuk menghubungkan daerah terpencil dan tertinggal atau daerah yang belum terlayani oleh moda transportasi lain dan secara komersial belum menguntungkan.22

Berdasarkan objek angkutannya, angkutan udara dapat mengangkut orang/penumpang (passanger) dan barang (cargo). Sesuai dengan penelitian skripsi ini yang membahas mengenai penumpang, maka perlu untuk diketahui bahwa pengaturan mengenai penumpang secara umum tidak diatur. Namun, dilihat dari pihak dalam perjanjian pengangkutan orang, penumpang adalah orang yang mengikatkan diri untuk membayar biaya angkutan dirinya yang diangkut. Sehingga, penumpang mempunyai dua status, yaitu sebagai subjek, karena dia adalah pihak dalam perjanjian, dan sebagai objek karena dia adalah muatan yang Angkutan udara perintis wajib diselenggarakan oleh Pemerintah, dan pelaksanaannya dilakukan oleh badan usaha angkutan udara niaga nasional berdasarkanperjanjian dengan Pemerintah.

22Ibid, Pasal 104

(11)

diangkut. Sebagai pihak dalam perjanjian pengangkutan, penumpang harus mampu melakukan perbuatan hukum atau mampu membuat perjanjian (Pasal 1320 KUH Perdata).23

1) Adanya kata sepakat antara para pihak yang akan mengadakan perjanjian.

D. Perjanjian Pengangkutan Udara

Berdasarkan bunyi Pasal 1313 KUHPerdata, bahwa yang dimaksud dengan perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang/lebih. Maksudnya ialah bahwa perjanjian merupakan suatu perbuatan hukum oleh seseorang atau lebih mengikatkan diri untuk melakukan prestasi atau kontra prestasi. Jadi, perjanjian tersebut berisi tentang perikatan.

Perikatan merupakan suatu hubungan hukum dimana satu pihak timbul kewajiban dan dipihak lain timbul hak. Sahnya suatu perjanjian adalah sebagaimana diatur oleh Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu:

2) Cakap untuk membuat perjanjian. 3) Mengenai hal tertentu.

4) Adanya sebab yang halal.

Perikatan yang lahir karena undang-undang disebabkan karena suatu perbuatan yang diperbolehkan adalah timbul jika seseorang melakukan suatu pembayaran yang tidak diwajibkan. Perbuatan yang demikian ini, menerbitkan suatu perikatan yaitu memberikan hak kepada orang yang telah membayar untuk

(12)

menuntut kembali apa yang telah dibayarkan dan meletakkan kewajiban di pihak lain untuk mengembalikan pembayaran-pembayaran itu.24

Perjanjian pengangkutan menimbulkan akibat hukum bagi pelaku usaha dan penumpang sebagai hal yang dikehendaki oleh kedua belah pihak. Perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik dikenal sebagai pembeda/pembagian perjanjian karena menimbulkan hak dan kewajiban para pihak maka perjanjian pengangkutan disebut perjanjian timbal balik, yaitu konsumen mendapat hak layanan pengangkutan dengan kewajiban membayar biaya pengangkutan,

Hukum perjanjian sebagaimana yang tertuang dalam KUHPerdata menganut asas kebebasan berkontrak, yakni dituangkan pada Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai UU bagi mereka yang membuatnya, hal ini mengandung makna bahwa setiap orang boleh membuat perjanjian apa saja asal tidak bertentangan dengan UU, disamping menganut “asas kebebasan berkontrak” juga menganut “asas konsensualisme/konsensualitas.” sebagai mana dinyatakan pada Pasal 1320 KUH Perdata. Maksudnya: bahwa perjanjian itu sudah dianggap lahir sejak terjadinya kata sepakat.

Perjanjian pengangkutan merupakan timbal balik dimana pihak pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dari dan ke tempat tujuan tertentu, dan pengiriman barang membayar biaya/ongkos angkutan sebagaimana yang disetujui bersama.

24 Subekti., Pokok-pokok Hukum Perdata, Cet. XXVI, Jakarta: PT. Intermasa, 1994, hal 132.

(13)

penyelenggara angkutan, memperoleh hak menerima pembayaran jasa pengangkutan dengan kewajiban menyelenggarakan pelayanan angkutan.

Undang-undang pengangkutan menentukan bahwa pengangkutan baru diselenggarakan setelah biaya pengangkutan dibayar terlebih dahulu. Akan tetapi, di samping kekuatan UU Pengangkutan, Perjanjian pengangkutan biasaanya meliputi kegiatan pengangkutan dalam arti luas, yaitu kegiatan memuat, membawa, dan menurunkan/membongkar, kecuali apabila dalam perjanjian ditentukan lain.25

Subjek hukum yaitu pihak-pihak yang terlibat secara langsung dalam proses perjanjian sebagai pihak dalam perjanjian pengangkutan, subjek hukum merupakan pendukung hak dan kewajiban. Dikatakan subjek hukum, yaitu:

Perjanjian pengangkutan udara adalah suatu perjanjian antara seorang pengangkut udara dan pihak penumpang atau pihak pengirim udara, dengan imbalan bayaran atau suatu prestasi lain. Dapat dikatakan, suatu perjanjian pengangkutan udara harus terdapat beberapa unsur diantaranya adanya para pihak atau subjek hukum, adanya alat atau sarana pengangkut, adanya prestasi yang harus dilaksanakan oleh pengangkut, kemudian adanya kewajiban membayar ongkos atau biaya pengangkutan.

26

a. Pihak pengangkut. b. Pihak penumpang. c. Pihak pengirim.

25 Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga, Buku Kelima, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008, hal. 41.

(14)

d. Pihak penerima kiriman.

Dalam Ordonansi Pengangkutan Udara juga dalam UU No. 1 Tahun 2009 tidak ada ketentuan yang mengatur tentang perjanjian baik mengenai pengertiannya ataupun mengenai cara-cara mengadakan serta sahnya perjanjian pengangkutan udara. Perjanjian pengangkutan merujuk pada syarat-syarat sahnya perjanjian pengangkutan, dengan demikian perjanjian pengangkutan udara mempunyai sifat consensus artinya adanya kata sepakat antara para pihak perjanjian pengangkutan dianggap ada dan lahir.

Perjanjian ini mengikat pihak pengangkut (misal; maskapai penerbangan) dan pihak terangkut (penumpang maupun benda). Biasanya perjanjian pengangkutan udara berupa standart contract, dimana klausula atau aturan-aturan telah dibuat oleh pihak pengangkut.27

Dalam perjanjian pengangkutan, kedudukan para pihak yaitu pengangkut dan pengirim sama tinggi atau koordinasi (geeoordineerd), tidak seperti dalam perjanjian perburuhan, dimana kedudukan para pihak tidak sama tinggi atau kedudukan subordinasi (gesubordineerd). Mengenai sifat hukum perjanjian pengangkutan terdapat beberapa pendapat, yaitu :28

1) Pelayanan berkala artinya hubungan kerja antara pengirm dan pengangkut tidak bersifat tetap, hanya kadang kala saja bila pengirim membutuhkan pengangkutan (tidak terus menerus), berdasarkan atas ketentuan pasal 1601 KUH Perdata.

27 http://catatansurya09.blogspot.com/2013/04/hukum-pengangkutan-udara_15.html 28 http://argawahyu.blogspot.com/2011/06/hukum-pengangkutan.html

(15)

2) Pemborongan sifat hukum perjanjian pengangkutan bukan pelayanan berkala tetapi pemborongan sebagaimana dimaksud pasal 1601 b KUH Perdata. Pendapat ini didasarkan atas ketentuan Pasal 1617 KUH Perdata ( Pasal penutup dari bab VII A tentang pekerjaan pemborongan ).

3) Campuran perjanjian pengangkutan merupakan perjanjian campuran yakni perjanjian melakukan pekerjaan (pelayanan berkala) dan perjanjian penyimpana (bewaargeving).

Menurut sistem hukum Indonesia, pembuatan perjanjian pengangkutan tidak disyaratkan harus tertulis, cukup dengan lisan, asal ada persesuaian kehendak (konsensus). Dari pengertian diatas dapat diartikan bahwa untuk adanya suatu perjanjian pengangkutan cukup dengan adanya kesepakatan (konsensus) diantara para pihak. Dengan kata lain perjanjian pengangkutan bersifat konsensuil.

Dalam praktek sehari-hari, dalam pengangkutan darat terdapat dokumen yang disebut denga surat muatan (vracht brief) seperti dimaksud dalam pasal 90 KUHD. Demikian juga halnya dalam pengangkutan pengangkutan melalui laut terdapat dokumen konosemen, yakni; tanda penerimaan barang yang harus diberikan pengangkut kepada pengirim barang.

Dokumen-dokumen yang tersebut diatas, bukan merupakan syarat mutlak tentang adanya perjanjian pengangkutan. Tidak adanya dokumen tersebut tidak membatalkan perjanjian pengangkutan yang telah ada sebagaimana yang telah

(16)

merupakan unsur dari perjanjian pengangkutan. Dari uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa perjanjian pengangkutan bersifat konsensuil.29

Pasal 1338 : Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh UU Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Pada dasarnya, perjanjian tidak harus dibuat secara tertulis, kecuali diharuskan oleh peraturan perundang-undangan. Perjanjian yang dibuat secara lisan/tidak tertulis pun tetap mengikat para pihak, dan tidak menghilangkan, baik hak dan kewajiban dari pihak yang bersepakat. Namun, untuk kemudahan pembuktian, acuan bekerjasama dan melaksanakan transaksi, sebaiknya dibuat secara tertulis. Hal ini juga dimaksudkan, agar apabila terdapat perbedaan pendapat dapat kembali mengacu kepada perjanjian yang telah disepakati.

Suatu persetujuan wajib dilakukan dengan iktikad baik bagi mereka yang melakukannya, dan karenanya sifat mengikat dari persetujuan tersebut adalah pasti dan wajib. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata dan Pasal 1339 KUHPerdata, yang menyatakan:

Pasal 1339 : Persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan di dalamnya, melainkan juga segala sesuatu yang

29Ibid.

(17)

menurut sifatnya persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan, atau undang-undang.

D. Dokumen Pengangkutan Udara

Dokumen pengangkutan udara terdiri dari tiket penumpang (passenger ticket), tiket bagasi (baggage ticket), surat muatan udara (air way bill). Tiket penumpang merupakan alat bukti adanya perjanjian antara penumpang dengan perusahaan penerbangan. Namun demikian, bilamana tiket hilang atau rusak bukan berarti tidak ada perjanjian pengangkutan, karena alat bukti tersebut dapat dibuktikan dengan alat bukti lainnya misal bukti penerimaan uang oleh perusahaan penerbangan dari penumpang.

Antara penumpang angkutan udara dan perusahaan angkutan udara terikat dalam sebuah perjanjian. Perjanjian antara penumpang angkutan udara dan perusahaan angkutan udara termaktub dalam tiket yang dicantumkan didalamnya beberapa syarat-syarat dan ketentuan yang harus dilaksanakan. Ketentuan hukum yang menentukan bahwa tiket pesawat merupakan salah bukti adanya perjanjian antara penumpang dan pihak perusahaan angkutan udara tercantum di dalam Pasal 1 angka 27 UU No. 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan, yang menyatakan bahwa “tiket adalah dokumen berbentuk cetak, melalui proses elektronik, atau bentuk lainnya, yang merupakan salah satu alat bukti adanya perjanjian angkutan udara antara penumpang dan pengangkut, dan hak penumpang untuk menggunakan pesawat udara atau diangkut dengan pesawat udara. Pada ketentuan tersebut dengan sangat tegas menentukan bahwa tiket merupakan bukti adanya perjanjian

(18)

Selanjutnya mengenai tiket merupakan bukti adanya perjanjian antara penumpang dan pihak perusahaan angkutan udara, yaitu pada Pasal 140 UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan yang menentukan bahwa:

a. Badan usaha angkutan udara niaga wajib mengangkut orang dan/atau kargo, dan pos setelah disepakatinya perjanjian pengangkutan.

b. Badan usaha angkutan udara niaga wajib memberikan pelayanan yang layak terhadap setiap pengguna jasa angkutan udara sesuai dengan perjanjian pengangkutan yang disepakati.

c. Perjanjian pengangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan tiket penumpang dan dokumen muatan.

Selain daripada tiket tersebut berdasarkan Pasal 150 UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan bahwa dokumen angkutan udara terdiri atas:

1. tiket penumpang pesawat udara;

2. pas masuk pesawat udara (boarding pass);

3. tanda pengenal bagasi (baggage identification/claim tag); dan 4. surat muatan udara (airway bill).

Pihak perusahaan pengangkutan udara sesuai Pasal 140 UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan wajib menyerahkan tiket kepada penumpang perseorangan maupun penumpang kolektif, paling sedikit harus memuat:

a) Nomor, tempat, dan tanggal penerbitan; b) Nama penumpang dan nama pengangkut;

c) Tempat, tanggal, waktu pemberangkatan, dan tujuan pendaratan; d) Nomor penerbangan;

(19)

e) Tempat pendaratan yang direncanakan antara tempat pemberangkatan dan tempat tujuan, apabila ada;

f) Pernyataan bahwa pengangkut tunduk pada ketentuan dalam undang-undang ini.

Berdasarkan Pasal 151 UU Penerbangan ditegaskan bahwa orang yang berhak menggunakan tiket penumpang adalah orang yang namanya tercantum dalam tiket yang dibuktikan dengan dokumen identitas diri yang sah. Apabila dalam tiket tidak diisi keterangan-keterangan yang wajib dimuat tersebut atau tidak diberikan oleh pengangkut, maka pengangkut tidak berhak menggunakan ketentuan dalam UU Penerbangan untuk membatasi tanggung jawabnya, artinya perusahaan pengangkutan udara tidak bertanggung jawab atas peristiwa tersebut.

Sedangkan bedasarkan dengan Ordonansi Penerbangan Udara (OPU) Nomor 10 Tahun 1939, dinyatakan dokumen pengangkutan udara, yaitu sebagai berikut:

1. Tiket Penumpang

Pasal 5 ordonansi penerbangan No 10 Tahun 1939, menyatakan pengangkut udara untuk penumpang harus memberikan tiket kepada penumpang, yang harus memuat:

a. tempat dan tanggal pemberian;

b. tempat pemberangkatan dan tempat tujuan;

c. pendaratan antara yang direncanakan di tempat-tempat di antara tempat pemberangkatan dan tempat tujuan dengan tidak mengurangi hak

(20)

pengangkut udara untuk mengaiukan syarat, bahwa bila perlu la dapat mengadakan perubahan-perubahan dalam pendaratan pendaratan itu; d. nama dan alamat pengangkut atau pengangkut-pengangkut;

e. pemberitahuan, bahwa pengangkutan udara tunduk kepada ketentuan-ketentuan mengenai tanggung-jawab yang diatur oleh ordonansi ini atau traktat.

Selanjutnya tidak adanya tiket penumpang, kesalahan di dalamnya atau hilangnya tiket tersebut, tidak mempengaruhi adanya atau berlakunya perjanjian pengangkutan udara, yang tetap akan tunduk kepada ketentuan-ketentuan dalam ordonansi ini. Akan tetapi bila pengangkut udara menerima seorang penumpang tanpa memberikan tiket penumpang, pengangkut tidak berhak untuk menunjuk kepada ketentuan-ketentuan dalam ordonansi ini yang menghapus atau membatasi tanggungjawabnya.

2. Tiket Bagasi (Baggage Claim Tag)

Dalam Pasal 6 OPU 1939 dinyatakan pengertian bagasi, yaitu semua barang kepunyaan atau di bawah kekuasaan seorang penumpang, yang olehnya atau atas namanya diminta untuk diangkut melalui udara, sebelum ia memulai perjalanan udaranya. Dari pengertian bagasi dikecualikan benda-benda kecil untuk penggunaan pribadi yang ada pada penumpang atau dibawa olehnya sendiri. Selanjutnya ditentukan Tiket bagasi dibuat dalam rangkap dua, satu untuk penumpang, satu lagi untuk pengangkut udara.

Dalam tiket bagasi harus memuat: a. tempat dan tanggal pemberian;

(21)

b. tempat pemberangkatan dan tempat tujuan;

c. nama dan alamat pengangkut atau pengangkut-pengangkut; d. nomor tiket penumpang;

e. pemberitahuan, bahwa bagasi akan diserahkan kepada pemegang tiket bagasi;

f. jumlah dan berat barang-barang;

g. harga yang diberitahukan oleh penumpang sesuai dengan ketentuan dalam pasal 30 ayat (2);

h. pemberitahuan, bahwa pengangkutan bagasi ini tunduk kepada ketentuan-ketentuan mengenai tanggung-jawab yang diatur dalam ordonansi ini atau traktat.

Meskipun tiket bagasi merupakan salah satu alat bukti atau dokumen perjanjian pengangkutan udara akan tetapi tidak adanya tiket bagasi, suatu kesalahan di dalamnya atau hilangnya tiket bagasi, tidak akan mempengaruhi adanya atau berlakunya perjanjian pengangkutan udara yang tetap akan tunduk kepada ketentuan-ketentuan dalam ordonansi ini.

Akan tetapi bila pengangkut udara menerima bagasi untuk diangkut tanpa membe rikan tiket bagasi, atau bila tiket ini tidak memuat keterangan yang dimaksud dalam ayat (4) huruf-huruf d, f dan h, ia tidak berhak menunjuk kepada ketentuan-ketentuan ordonansi ini yang menghapus atau membatasi tanggung jawabnya.

(22)

3. Surat Muatan Udara.

Selain tiket penumpang dan tiket bagasi,dalam pengangkutan udara masih ada dokumen pengangkutan yang lain, yaitu surat muatan udara. Menurut ketentuan Ordonasi Pengangkutan Udara Tahun 1939, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 yang menyatakan, Setiap pengangkut barang berhak untuk meminta kepada pengirim untuk membuat dan memberikan surat yang dinamakan "surat muatan udara".

Sedangkan mengenai isi dari surat muatan udara dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 10 OPU yang menyatakan surat muatan udara harus berisi:

a. tempat dan tanggal surat muatan udara dibuat; b. tempat pemberangkatan dan tempat tujuan;

c. pendaratan-pendaratan antara yang direncanakan di tempat-tempat antara kedua tempat tersebut, dengan tidak mengurangi hak pengangkut udara untuk mengajukan syarat, bahwa bila perlu ia dapat mengadakan perubahan dalam pendaratan-pendaratan itu;

d. nama dan alamat pengangkut pertama; e. nama dan alamat pengirim;

f. nama dan alamat penerima, bila perlu; g. jenis barang;

h. jumlah, cara pembungkusan, tanda-tanda khusus atau nomer barang-barang, bila perlu;

i. berat, juga jumlah atau besar atau ukuran barang-barang; j. keadaan luar barang-barang dan pembungkusnya;

(23)

k. biaya pengangkutan udara, bila ditetapkan dengan perjanjian, tanggal dan tempat pembayaran dan orang-orang yang harus membayar;

l. jika pengiriman dilakukan dengan jaminan pembayaran (rembours), harga barangbarang dan jumlah biaya, bila ada;

m.jumlah nilai barang-barang yang dinyatakan sesuai dengan ketentuan pasal 30 ayat (2);

n. dalam rangkap berapa surat muatan udara dibuat;

o. surat-surat yang diserahkan kepada pengangkut untuk menyertai barang-barang;

p. lamanya pengangkutan udara dan petunjuk ringkas tentang jalur penerbangan yang akan ditempuh, bila tentang hal ini telah diadakan, perjanjian;

q. pemberitahuan, bahwa pengangkutan ini tunduk kepada ketentuan-ketentuan mengenai tanggung-jawab yang diatur dalam ordonangi ini atau traktat.

Surat muatan udara dikenal juga dengan nama surat kargo udara(SKU), dokumen ini dalam kegiatan penerbangan komersil memiliki fungsi sebagai prima facie adanya kontrak, penyerahan kargo, dan penerimaan persyaratan perjanjian, juga merupakan instruksi kepada pengangkut dimana dan kepada siapa kargo diserahkan dan siapa yang akan membayar.30

Referensi

Dokumen terkait

c; Pandangan jauh kedepan , kemana perusahaan tersebut akan dibawa d; Usaha , pikiran , dan langkah langkah formal untuk mewujudkan sebuah visi e; Sesuatu yang akan dicapai

7) Kepada Masyarakat Kelurahan Tegal Sari Mandala II Medan yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk mengisi kuesioner sehingga skripsi ini bisa selesai. 8) Kepada

Dapat disimpulkan bahwa dengan diameter yang sama yaitu 1” penggunaan bahan bakar briket dengan kulit kacang memberikan efisiensi yang lebih tinggi daripada bahan bakar

Dari hasil survei terhadap 32 manajer berbagai perusahaan di Indonesia, disimpulkan bahwa komitmen organisasional adalah variabel pemoderasi yang memperkuat hubungan antara

Keterampilan berpikir kritis siswa setelah diberikan model pembelajaran inkuiri terbimbing mengalami peningkatan, dikarenakan siswa dilatih untuk menganalisis argumen

Dari definisi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa media interaktif adalah alat perantara yang dirancang dengan pemanfaatan komputer menggunakan unsur seperti

Dennis Ladores Mrs... Dennis Ladores

Physic-chemical composition of extracted cassava starch were presented in Table 2. Based on Table 2 showed that cassava starch from all varieties cultivar have similar content