• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI A. Tindak Pidana Illegal Logging Dalam Perspektif Hukum di Indonesia 1. Peraturan Mengenai Tindak Pidana Illegal - PERAN PENYIDIK PEGAWAI NEGRI SIPIL (PPNS) DALAM MENANGGULANGI TINDAK PIDANA ILLEGAL LOGGING DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI A. Tindak Pidana Illegal Logging Dalam Perspektif Hukum di Indonesia 1. Peraturan Mengenai Tindak Pidana Illegal - PERAN PENYIDIK PEGAWAI NEGRI SIPIL (PPNS) DALAM MENANGGULANGI TINDAK PIDANA ILLEGAL LOGGING DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISL"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

A. Tindak Pidana Illegal Logging Dalam Perspektif Hukum di Indonesia

1. Peraturan Mengenai Tindak Pidana Illegal Logging di Indonesia

a. Ketentuan Pidana di Bidang Kehutanan Sejak bangsa Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945 sampai sekarang ternyata pemerintah dengan persetujuan DPR telah berhasil menetapkan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dalam bidang Kehutanan. Saat diberlakukannya UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pemberantasan dan Pencegahan Perusakan Hutan maka berdasarkan ketentuan Penutup Undang-Undang tersebut, pasal 113 bahwa “pada saat UU ini berlaku, semua peraturan Perundang-undangan yang merupakan pelaksanaan dari UU No 14 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang mengatur tindak pidana perusakan hutan diutamakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU ini.

Semakin berkembang dan kompleknya kejahatan dibidang kehutanan dirasakan tidak lagi memenuhi rasa keadilan masyarakat atau dengan kata lain UU No. 5 Tahun 1967 tidak efektif lagi untuk dipertahankan. Melihat keadaan ini maka pemerintan (Presiden bersama DPR) memberlakukan UU No. 41Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dan selanjutnya merefisi UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dengan lahirnya UU No. 18 tahun 201 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan

(2)

ketentuan maka ketentuan pidana yang dapat diterapkan pada kejahatan Illegal Logging antara lain pasal 82-106 Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan untuk menerapkan sanksi pidana. Ketentuan pidana yang diatur dalam pasal 82-106 No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan adalah merupakan salah satu dari upaya perlindungan hutan dalam rangka mempertahankan fungsi hutan secara lestari.

Ada tiga jenis sanksi pidana yang diatur dalam pasal 82-106 UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan yaitu:

1) Pidana penjara. 2) Pidana denda.

3) Pidana perampasan benda yang digunakan untuk melakukan perbuatan pidana.

Ketiga jenis ini dapat dijatuhkan secara komulatif. Hal ini dapat dilihat dalam rumusan sanksi pidana yang diatur dalam pasal 82-106 UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

Adapun dasar dari peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia bersumber dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (Pasal 33 ayat 3), yang berbunyi

“Bumi air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya

dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”

Dari penjelasan UUPA mengenai hal ini dinyatakan bahwa wewenang Hak menguasai Negara ini dalam tingkatan tertinggi:

(3)

2) Menentukan dan mengatur hak-hak yang mempunyai atas (bagian dari bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. 3) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan

hukum antar orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.1

Berdasarkan pasal 33 ayat (3) UUD 1945, maka dibentuklah berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia yang mengatur mengenai

Illegal Logging, yang akan diuraikan satu persatu di bawah ini:

1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)

Pada dasarnya undang-undang ini tidak mengatur secara tegas khusus tentang kehutanan, tetapi yang diatur adalah hubungan-hubungan hukum yang berkaitan dengan hasil hutan, yaitu tercantum dalam pasal 46 UUPA, yang berbunyi: a) Hak membuka tanah dan memungut hasil

hutan dapat dipunyai oleh Warga Negara Indonesia dan diatur dengan peraturan Pemerintah.

b) Dengan mempergunakan hak memungut hasil hutan secara tidak sah tidak dengan sendirinya diperoleh hak milik atas tanah itu.

Ketentuan ini memberikan kesempatan kepada Warga Negara Indonesia (terutama yang memenuhi syarat) untuk memungut hasil hutan, seperti kayu, rotan, getan dan lain-lain. Kepada pemungut hasil hutan hanya diberikan hak untuk memungut hasil hutan semata-mata, sedangkan

1

Ap. Perlindungan, Komentar Undang-Undang Pokok Agraria,

(4)

tanahnya tetap dikuasi oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.

2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan

Undang-Undang Pokok Kehutanan (UUPK) terdiri dari 8 Bab dan 22 pasal. Hal-hal yang diatur dalam UUPK Adalah: (1) pengertian hutan, hasil hutan, kehutanan, hutan menurut pemiliknya, dan fungsinya; (2) perencanaan hutan; (3) pengurusan hutan; (4) pengusahaan hutan; (5) perlindungan hutan dan; (6) ketentuan pidana dan penutup.

UUPK Dijabarkan lebih lanjut dalam peraturan undangan lainnya, peratutan perundang-undangan yang dimaksud, seperti:

a) PP Nomor 22 Tahun 1967 tentang Hak Penguasaan Hutan dan Iuran Hasil Hutan. b) PP Nomor 21 Tahun 1970 tentang Hak

Penguasaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan.

c) PP Nomor 33 Tahun 1970 tentang Perencanaan Hutan.

d) PP Nomor 18 Tahun1975 tentang Perubahan Pasal 9 PP No. 21 Tahun 1970 tentang Hak Penguasaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan.

e) PP Nomor 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan.

f) PP Nomor 7 Tahun 1990 tentang Hak Penguasaan Hutan Tanaman Industri.

g) Kepres Nomor 66 Tahun 1971 tentang Peningkatan Prasarana Pengusahaan Hutan. h) Kepres Nomor 20 Tahun 1975 tentang

Kebijaksanaan di Bidang Pemberian Hak Pengusahaan Hutan.

(5)

tentang Peningkatan Prasarana Pengusahaan Hutan Untuk Seluruh Wilayah RI.

j) Kepres Nomor 48 Tahun 1977 tentang Simpanan Wajib Pemegang Pengusahaan Hutan dan Eksportir Kayu.

k) Kepres Nomor 20 Tahun 1979 tentang Penggunaan Dana Simpanan Wajib Pemegang Hak Pengusahaan Hutan dan Eksportir Kayu. l) Kepres Nomor 39 Tahun 1979 tentang

Perubahan Atas Kepres Nomor 48 Tahun 1977 tentang Simpanan Wajib Pemegang Hak Pengusahaan Hutan dan Eksportir Kayu.

m) Kepres Nomor 3 Tahun 1985 tentang Pembangunan Taman Wisata Curug Dago sebagai Taman Hutan Rakyat Ir. H. Djuanda. n) Kepres Nomor 25 Tahun 1990 tentang

Perubahan Kepres Nomor 15 Tahun 1984 tentang Susunan Organisasi Departemen.

o) Kepres Nomor 29 Tahun 1990 tentang Dana Reboisasi.

p) Kepres Nomor 30 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung.

q) Kepres Nomor 33 Tahun 1990 tentang Penggunaan Tanah Bagi Pembangunan Kawasan Industri.

3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

Hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang ini yaitu:

a) Ketentuan Umum

b) Status dan Fungsi Hutan (Pasal 5 s/d Pasal 9) c) Pengurusan Hutan (Pasal 10)

d) Perencanaan Kehutanan (Pasal 11 s/d Pasal 20) e) Pengelolaan Hutan (Pasal 21 s/d Pasal 51) f) Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan dan

Latihan serta Penyuluhan Kehutanan (Pasal 52 s/d Pasal 65)

(6)

h) Masyarakat Hukum Adat (Pasal 67)

i) Peran serta masyarakat (Pasal 68 s/d Pasal 69) j) Gugatan Perwakilan (Pasal 71 s/d Pasal 73) k) Penyelesaian sengketa Kehutanan (Pasal 74 s/d

Pasal 76)

l) Penyidikan (Pasal 77)

m) Ketentuan Pidana (Pasal 78 s/d Pasal 79) n) Ganti rugi dan sanksi administrasi (Pasal 80) o) Ketentuan Peralihan (Pasal 80)

p) Ketentuan Penutup (Pasal 83 s/d Pasal 84)2

UU No. 41 Tahun 1999 merupakan ketentuan yang bersifat menyeluruh karena telah memuat ketentuan-ketentuan baru, yang belum dikenal dalam UUPK No. 5 Tahun 1967. Hal-hal baru itu adalah seperti gugatan perwakilan, yaitu gugatan yang diaukan oleh masyarakat ke pengadilan dan atau melaporkan ke penegak hukum terhadap kerusakan hutan yang merugikan kehidupan masyarakat, penyelesaian sengketa kehutanan, ketentuan pidana, gantu rugi dan sanksi administratif.

UU Kehutanan dijabarkan lebih lanjut dalam peratuaran perundangan lainnya. Peraturan Perundangan yang dimaksud seperti:

a) Perpu No 1 Tahun 2004 tentang perubahan atas UU NO. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan b) Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2002

tentang Hutan Kota

c) Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan

d) Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan

2

KementrianKehutanan, Buku Kumpulan Peraturan

(7)

e) Instruksi Presiden No. 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu secara Illegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh Wilayah Republik Indonesia

f) Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Penebang Kayu illegal (Illegal Logging) dan Peredaran Hasil Hutan Illegal di Kawasan Ekosistem Leuser dan Taman Nasional Tanjung Putting

4) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan

Hal-hal yang diatur dalam Undang-undang ini adalah:

a) Ketentuan Umum

b) Asas, Tujuan, dan Ruang Lingkup (Pasal 2 s/d Pasal 4)

c) Pencegahan Perusakan Hutan (Pasal 5 s/d Pasal 7)

d) Pemberantasan Perusakan Hutan (Pasal 8 s/d Pasal 53)

e) Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (Pasal 54 s/d Pasal 57)

f) Peran Serta Masyarakat (Pasal 58 s/d Pasal 63) g) Kerja Sama Internasional (Pasal 64 s/d Pasal

73)

h) Pembiayaan (Pasal 74 s/d 75)

i) Pelindungan Saksi, Pelapor dan Informan (Pasal 76 s/d Pasal 81)

j) Ketentuan Pidana (Pasal 82 s/d Pasal 109) k) Ketentuan Peralihan (Pasal 110)

l) Ketentuan Penutup (Pasal 111 s/d Pasal 114)

5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

(8)

a) Lingkungan hidup Indonesia sebagai karunia dan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa kepada rakyat dan bangsa Indonesia yang merupakan ruang kehidupan dalam aspek kemanusiaan sesuai dengan Wawasan Nusantara.

b) Dalam rangka mendayagunakan sumber daya alam untuk memaukan kesejahteraan umum seperti diamanatakan dalam UUD 1945 dan untuk mencapai kebahagiaan hidup berdasarkan Pancasila, perlu dilaksanakan pembanguan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup berdasarkan kebijakan nasional yang terpadu dan menyeluruh dengan memperhitungkan kebutuhan generasi masa kini dan generasi masa depan.

c) Dipandang perlu melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup untuk melestarikan dan mengembangkan kemampuan lingkungan hidup yang serasi, selaras, dan seimbang guna menunjang terlaksananya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup.

d) Penyelenggaraan pengelolaan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup telah berkembang sedemikian rupa sehingga pokok materi sebagaimana diatur dalam UU No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup perlu disempurnakan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungkan hidup.

Hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang ini yaitu:

a) Ketentuan umum (Pasal 1 s/d Pasal 2) b) Azaz, tujuan dan sasaran (Pasal 3 s/d

(9)

c) Hak, kewajiban dan peran serta masyarakat (Pasal 5 s/d Pasal 7)

d) Wewnang pengelolaan lingkungan hidup (Pasal 8 s/d Pasal 13)

e) Pelestarian fungsi lingkungan hidup (Pasal 14 s/d Pasal 17)

f) Persyaratan penataan lingkungan hidup (Pasal 18 s/d Pasal 29)

g) Penyelesaian sengketa lingkungan hidup (Pasal 30 s/d 39)

h) Penyidikan (Pasal 40)

i) Ketentuan pidana (Pasal 41 s/d Pasal 48) j) Ketentuan peralihan (Pasal 49)

k) Ketentuan penutup (Pasal 50 s/d Pasal 52)

6) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang

Ada tiga pertimbangan Undang-Undang ini ditetapkan, yaitu:

a) Bahwa di dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan tidak mengatur kelangsungan perizinan atau perjanjian pertambangan yang telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang tersebut

(10)

c) Bahwa dalam rangka terciptanya kepastian hukum dalam berusaha di bidang pertambangan yang berada di kawasan hutan, dan mendorong minat serta keprcayaan investor untuk berusaha di Indonesia, Pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

b. Ketentuan Pidana lain Terkait dengan Illegal Logging

Tindak pidana di bidang Kehutanan adalah merupakan tindak pidana khusus yang diatur dengan ketentuan pidana dan hukum acara tersendiri. Kejahatan Illegal Logging merupakan tindak pidana khusus yang dalam kategori hukum pidana yang perbuatannya khusus, yaitu untuk delik-delik kehutanan yang menyangkut pengelolaan hasil hutan.3

Pada dasarnya kejahatan Illegal Logging, secara umum kaitannya dengan unsur-unsur tindak pidana umum dalam KUHP, dapat dikelompokkan dalam beberapa bentuk kejahatan secara umum yaitu:

1) Pengrusakan

Pengrusakan sebagaimana diatur dalam Pasal 406 sampai 412 KUHP terbatas hanya mengatur tentang pengrusakan barang dalam arti barang-barang biasa yang dimiliki orang. Barang tersebut dapat berupa barang terangkat, namun barang-barang yang mempunyai fungsi sosial artinya dipergunakan untuk kepentingan umum.

Unsur pengrusakan terhadap hutan dalam kejahatan Illegal Logging berangkat dari pemikiran

3

Nurjana IGM DKK, Korupsi dan Illegal Logging Dalam Sistem

(11)

tentang konsep perizinan dalam sistem pengelolaan hutan yang mengandung fungsi pengendalian dan pengawasan terhadap hutan, untuk tetap menjamin kelestarian fungsi hutan. Ancaman hukuman Pasal 406 sampai dengan Pasal 412 KUHP paling lama lma tahun yaitu bagi pengrusakan terhadap rumah atau kapal. Hukuman itu ditambah sepertiganya apabila dilakukan bersama-sama.

2) Pencurian

Pencurian menurut penjelasan Pasal 363 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:

a) Perbuatan mengambil, yaitu mengambil untuk dikuasai.

b) Sesuatu barang, dalam hal ini barang berupa kayu yang pada waktu diambil tidak berada dalam penguasaan pelaku.

c) Sebagian atau seluruhnya milik orang lain, dalam hal ini hutan dapat merupakan hutan adat dan hutan hak yang termasuk dalam hutan negara maupun hutan negara yang tidak dibebani hak. d) Dengan sengaja atau dengan maksud ingin

memilikidengan melawan hukum. Jelas bahwa kegiatan penebangan kayu dilakukan dengan sengaja dan tujuan dari kegiatan itu adalah untuk mengambil manfaat dari hasil hutan berupa kayu tersebut (untuk dimilik). Ancaman hukuman paling berat dalam kasus pencurian menurut KUHP adalah Pasal 362 lima tahun, Pasal 363 tujuh sampai sembilan tahun, Pasal 365 lima belas tahun.

3) Pemalsuan

(12)

surat sedemikian rupa, sehingga menunjukkan seperti aslinya.

Dalam praktik-praktik Illegal Logging, salah satu modus Operandi yang sering digunakan oleh pelaku dalam melakukan kegiatannya adalah pemalsuan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH), pemalsuan tanda tangan, pembuatan stempel palsu, dan keterangan palsu dalam SKSHH. Modus Operandi ini belum diatur secara tegas dalam Undang-Undang Kehutanan.

Ancaman hukuman terhadap tindak pidana pemalsuan surat ini dalam Pasal 263 KUHP paling lama enam tahun, Pasal 264 paling lama delapan tahun dan Pasal 266 paling lama tujuh tahun. Sedangkan pemalsuan terhadap pemalsuan materi danmerk dalam Pasal 253 KUHP paling lama tujuh tahun.

4) Penggelapan

Penggelapan dalam KUHP diatur dalam Pasal 372 sampai dengan Pasal 377. Dalam penjelasan Pasal 372 KUHP, penggelapan artinya mengambil suatu barang yang sebagian atau seluruhnya adalah milik orang lain yang berda di dalam kekuasaanya untuk dimiliki dengan melawan hak.

Modus penggelapan dalam kejahatan Illegal Logging antara lain seperti Over Cutting yaitu penebangan di luar areal konsesi yang dimiliki, penebangan yang melebihi target kouta yang ada (Over Capasity). Ancaman hukuman yang ada dalam Pasal 372 KUHP adalah paling lama empat tahun.

5) Penadahan

(13)

diketahui atau patut diduga sebagai hasil dari kejahatan, dan perbuatan menjual, menukar atau menggadaikan barang yang diketahui atau patut diduga hasil dari kejahatan.

Modus ini banyak dilakukan dalam transaksi perdagangan kayu Illegal baik di dalam maupun di luar Negri, bahkan terhadap kayu-kayu hasil Illegal Logging yang nyata-nyata diketahui oleh para pelaku baik penjual maupun pembeli. Ancaman pidana dalam Pasal 480 ini adalah paling lama empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 900 (sembilan ratus rupiah).

2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Tindak Pidana Illegal Logging

Dampak pembalakan hutan di Indonesia sungguh luar biasa, banjir, longsor, kebakaran bahkan hingga kekeringan kerap terjadi di Negara ini. Eksploitasi hutan yang tidak sah melalui mekanisme praktek illegal logging

yang terjadi khususnya di kawasan hutan yang ada di Proponsi Lampung yang telah berlangsung cukup lama telah membawa hutan dalam kondisi rusak parah. Praktek

illegal logging yang terjadi telah mengantarkan hutan dalam kondisi ada dan tiada. Hutan tersebut ada namun tudak ada lagi sesuai fungsinya seperti apa yang digunakan dan diamanatkan dalam UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

Maraknya praktek illegal logging yang terjadi disebabkan karena beberapa faktor:

(14)

lokal.4 Tingginya permintaan terhadap kayu di dalam dan luar negeri ini tidak sebanding dengan kemampuan penyediaan industri perkayuan (legal logging). Ketimpangan antara persediaan dan permintaan kebutuhan kayu ini mendorong praktek

illegal logging di taman nasional dan hutan konservasi.

b. Tidak adanya kesinambungan antara Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 1970 yang mengatur tentang Hak Pengusahaan Hutan dengan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 309/Kpts-II/1999 yang mengatur tentang Sistem Silvikultur dan Daur Tanaman Pokok Dalam Pengelolaan Hutan Produksi. Ketidaksinambungan kedua peraturan perundang-undangan tersebut terletak pada ketentuan mengenai jangka waktu konsesi hutan, yaitu 20 tahun.5 Dengan jangka waktu siklus Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), khususnya untuk hutan produksi yangditetapkan 35 tahun.6 Hal demikian menyebabkan pemegang HPH tidak menaati ketentuan TPTI. Pemegang HPH tetap melakukan penebangan meskipun usia pohon belum mencapai batas usia yang telah ditetapkan dalam TPTI. Akibatnya, kelestarian hutan menjadi tidak terjaga akibat illegal logging.

c. Faktor ekonomi. Krisis ekonomi yang berkepanjaangan yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 mengakibatkan semakin sulitnya golongan ekonomi lemah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya mengakibatkan mereka mencari jalan pintas agar tetap

4“Illegal logging,” Penyebab dan Dampaknya” (On

-line), tersedia di :

http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0309/ 16/opini/563606.htm (19

April 2016) 5

Pasal 10 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1971 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan

6

(15)

dapat bertahan hidup. Dan salah satu jalan pintas tersebut adalah dengan beralih profesi antara lain menjadi buruh tebang liar, tenaga angkut, pengumpul maupun menjadi tangan kanan pemodal dalam praktek Illegal Logging. Pekerjaan tersebut tidak memerlukan keahlian profesional hanya dengan mengandalkan tenaga yang kuat maka uang dapat diperoleh dengan cepat. Praktek Illegal Logging yang terjadi terus bertahan bahkan semakin luas jaringannya manakala praktek ini didukung oleh aparat pemerintah dan aparat keamanan. Para pemodal memanfaatkan keadaan ekonomi aparat keamanan dan aparat pemerintah yang terbatas untuk melakukan kerjasama yang menguntungkan antara mereka. Kerjasama yang menguntungkan tersebut mengakibatkan praktek Illegal Logging melenggang dengan tenang, tanpa ada pihak yang berani melarang.7 Selain itu keuntungan finansial atau uang yang dihasilkan cukup tinggi, harga kayu yang tinggi membuat sekelompok orang tergiur untuk melakukan eksploitasi hutan secara besar-besaran dan tanpa terkendali sehingga memicu kerusakan hutan semakin cepat. Keuntungan finansial (uang) yang menggiurkan tersebut tidak luput dari perhatian para pengusaha kayu untuk meningkatkan bisnis dan memperoleh penigkatan laba sekalipun harus memnuhi jalan

Illegal demi memenuhi permintaan konsumen yang tinggi.

d. Faktor sosial. Pranata sosial yang bersumber dari kepercayaan maupun adat istiadat yang khusus mengatur hubungan manusia dalam hal pemanfaatan hutan disebagian daerah yang memiliki kawasan hutan tidak lagi ditemukan, karena saat ini tidak ada lagi tempat keramat di hutan yang dilarang untuk diganggu atau dimasuki oleh masyarakat di sekitar

7

Riza Suarga, Pemberantasan Illegal Logging I, (Jakarta : Wana

(16)
(17)

Logging adalah masyarakat yang tinggal di sekitar hutan dengan tingkat pendidikan yang rendah. Tingkat pendidikan yang rendah itu memberi dampak minimnya pengetahuan tentang fungsi hutan terhadap lingkungan hidup. Bagi mereka hutan adalah Sumber Daya Alam yang selalu dapat mereka pergunakan setiap saat. Persepsi masyarakat yang salah akan fungsi hutan tadi tidak dapat dibiarkan begitu saja. Apabila hal ini dibiarkan akan membawa pengaruh yang buruk bagi kondisi hutan kita karena dengan kawasan hutan dan mereka akan terus melakukan praktek Illegal Logging.

3. Proses Penyidikan Tindak Pidana Illegal Logging

Untuk dimulainya suatu penyidikan Polisi harus mengetahui terlebih dahulu adanya suatu peristiwa pidana yang terjadi.

Pasal 106 KUHAP merumuskan sebagai berikut:

“Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa pidana yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan”

Suatu penyidikan dimulai dengan konskuensi penggunaan upaya paksa, terlebih dahulu perlu ditentukan secara cermat berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penyelidikan bahwa suatu peristiwa yang semula diduga sebagai suatu tindak pidana adalah benar-benar merupakan tindak pidana8. Dimulainya penyidikan oleh pejabat yang berwenang di instansi penyidik. Bahwa suatu peristiwa pidana telah terjadi dapat diketahui dari 4 kemungkinan yaitu (1) adanya laporan atau pemberitahuan; (2) pengaduan; (3) tertangkap tangan; (4) media Massa.

Tiap-tiap orang terhadap siapa suatu tindak pidana dilakukan atau mengetahui hal itu berhak mengajukan

8

(18)

pengaduan atau memberitahukan kepada pejabat yang berwenang untuk menindaknya menurut hukum.

Pasal 1 butir 25 KUHAP, yang dimaksud dengan pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya.

Laporan berbeda dengan pengaduan, dimana perbedaan tersebut sebagai berikut:

a. Laporan dilakukan terhadap tindak pidana biasa, sedangkan pengaduan dilakukan terhadap tindak pidana aduan.

b. Untuk melakukan penentuan suatu delik biasa atau tindak pidana biasa, laporan tidak merupakan syarat, artinya walau tidak ada laporan, tetapi diketahui oleh penyidik atau tertangkap basah dapat dilakukan penentuan.

c. Laporan dapat dilakukan atau diajukan oelh siapa saja atau setiap orang, sedangkan pengaduan hanya dapat diajukan oleh orang yang berhak mengadu yaitu orang yang dirugikan.

d. Penyampaian laporan tidak terikat pada jangka waktu tertentu, sedangkan pengaduan hanya disampaikan dalam jangka waktu tertentu. Menurut Pasal 74 ayat 1 KUHAP ditentukan jangka waktu pengajuan pengaduan yaitu enam bulan setelah yang berkepentingan mengetahui tindak pidana itu apabila pengadu berdiam di Indonesia, sedangkan bagi orang yang berkepentingan yang berdiam di luar Indonesia, jangka waktu pengajuan pengaduan itu adalah sembilan bulan sejak saat diketahuinya tindak pidana itu.

(19)

dalam jangka waktu tiga bulan sejak diajukan pengaduan itu.

f. Dalam laporan tidak perlu ditegaskan bahwa pelapor menghendaki agar terhadap pelaku diambil tindakan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Dalam delik aduan, dengan adanya pengaduan baru dapat dilakukannya penuntutan terhadap delik tersebut, karena suatu delik yang merupakan delik aduan hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari pihak yang dirugikan. Tetapi pengaduan dalam delik yang bukan aduan, tidak merupakan syarat untuk dapat dilakukan penuntutan. Bila hal tersebut mengenai delik aduan, maka perlu diperhatikan antara delik aduan absolut atau delik aduan relatif.

Delik aduan absolut adalah peristiwa pidana yang penetuannya hanya dapat dilakukan bila ada pengaduan dari pihak-pihak yang berkepentingan. Akan tetapi hal ini tidak menutup kemungkinan dilakukannya penyidikan untuk menjaga jangan sampai hilangnya bukti-bukti jika dikemudian hari ada pengaduan dari pihak yang dirugikan, misalnya. Sedangkan delik aduan relatif adalah suatu peristiwa pidana yang biasanya bukan merupakan delik aduan, tetapi dalam keadaan tertentu merupakan delik aduan.

(20)

dapat dikualifikasikan sebagai tindakan yang bertentangan dengan tugas dan kewajibanya apabila terjadi ada penyidik yang bersikap atau bertindak menolak atau tidak bersedia menerima laporan atau pengaduan dengan berbagai macam alasan, misalnya dengan alasan bahwa materi laporan atau pengaduan itu bukan merupakan tindak pidana atau perkara itu sudah kadaluarsa atau nebis in idem.

Penyidikan terhadap tindak pidana Illegal Logging, dilakukan oleh pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, selain itu pejabat pegawai negri sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya meliputi pengurusan hutan, diberi wewnang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang Hukum Acara Pidana (Pasal 30 Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

Wewenang pejabat Pegawai Negri Sipil Kehutanan sebagai penyidik diatur dalam pasal 30 Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 yaitu:

a. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenaan dengan tindak pidana prusakan hutan hutan.

b. Melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana kerusakan hutan.

c. Meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan peristiwa tindak perusakan hutan.

d. Melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana perusakan hutan.

(21)

bahan dan barang hasil kejahatan yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana perusakan hutan. f. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan,

dan penyitaan.

g. Meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana perusakan hutan. h. Menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat

barang bukti tentang adanya tindakan perusakan hutan.

i. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.

j. Membuat dan menandatangani berita acara dan surat-surat lain yang menyangkut penyidikan perkara perusakan hutan. Dan,

k. Memotret dan/atau merekam melalui alat potret dan/atau perekam terhadap orang, barang, sarana pengangkut, atau apa saja yang dapat dijadikan bukti tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan.

Menurut ketentuan hukum acara pidana yang berlaku tugas dan kewajiban penyidik setelah menerima laporan atau pengaduan adalah memberikan “surat Tanda

Penerima Laporan/Pengaduan” kepada yang

menyampaikan laporan/pengaduan penyidik yang bersangkutan wajib secara menindaklanjuti dengan melakukan penyelidikan dan penyidikan. Menurut Pasal 1 butir 19 KUHAP yang dimaksud dengan tertangkap tangan adalah:

(22)

Tertangkap tangan disebut juga dengan tertangkap basah, dan menurut HIR menyebutkan kedapatan tangan berbuat, yaitu bila kejahatan atau tindak pidana kedapatan sedang dilakukan, atau dengan segera kedapatan susdah dilakukan, atau bila dengan segera kedapatan sesudah itu ada yang diserukan oleh suara ramai sebagai orang yang melakukannya atau bila ada padanya kedapatan barang-barang, senjata-senjata alat perkakas atau surat-surat yang menunjukkan bahwa kejahatan atau pelanggaran itu ia yang melaksananakan atau membantu melakukannya.

Penyidik dalam melakukan penyidikan menurut ketentuan KUHAP kadang-kadang diawali dengan tindakan penyelidikan oleh seorang penyelidik, dan dalam hal tertentu dilakukan oleh penyidik pembantu. Namun dalam tahap pertama sebelum penyerahan berkas perkara kepada penuntut umum penyempurnaan berita acara pada tingkat penyidikan sebagai tahap pemeriksaan pendahuluan.

Dalam melakukan penyidikan adakalanya penyidikan ini dihentikan atau tidak dilanjutkan karena suatu alasan penghentian penyidikan yaitu:

a. Tidak terdapat cukup bukti

b. Peristiwa tersebut ternyata bukan peristiwa pidana c. Penyidikan dihentikan demi hukum

(23)

Setelah penyerahan berkas perkara kepada penuntut umum maka menurut Pasal 110 ayat (4) KUHAP bahwa dalam tempo 14 hari setelah penyerahan berkas tersebut, penuntut umum tidak mengembalikan kepada penyidik atau sebelum 14 hari penuntut umum telah memberitahukan bahwa hal penyidikan dianggap selesai, maka barulah penyidik telah selesai.

Jadi dapat dikatakan bahwa penyidikan dianggapselesai atau tuntas apabila segala berkas perkara yang diperlukan telah diserahkan kepada penuntut umum oleh penyidik beserta dengan si tersangka dengan tidak mengandung kekurangan-kekurangan lagi untuk selanjutnya diajukan penuntutan di depan sidang pengadilan oleh penuntut umum. Artinya bahwa pada tahap pertama penyidik hanya menyerahkan berkas perkara saja dan jika penyidikan sudah dianggap selesai oleh jaksa, maka penyidik menyerahkan tanggungjawab atas tersangka dan barang-barang bukti kepada jaksa atau penuntut umum. (Pasal 8 ayat (3) KUHAP).

4. Hubungan antara PPNS dan Penyidik Polri

Pasal 1 butir 1 KUHAP yang dimaksud dengan penyidik adalah Pejabata Polisi Negara Republik Indonesia atau Pegawai Negri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusu oleh Undang-Undang untuk melakukan penyidikan.

Dalam pasal 6 KUHAP ditentukan bahwa syarat kepangkatan Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang berwenang menyidik akan diatur lenih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah yang dimaksud dengan Pasal 6 ayat (2) KUHAP tersebut adalah Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 yaitu tentang pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

(24)

yang dibebani wewenang penyidikan adalah sekurang-kurangnya Pengatur Muda Tingkat II (gol II/b) atau yang disamakan dengan itu. Suatu pengecualian, jika di suatu tempat tidak ada pejabat penyidik berpangkat Pembantu Letnan Dua ke atas, maka Komandan sektor Kepolisian yang berpangkat bintara di bawah pembantu Letnan Dua Polisi karena jabatannya adalah penyidik. Penyidik Pejabat Polisi Negara tersebut diangkat oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia, yang dapat melimpahkan wewenang tersebut kepada pejabat polisi lain. Penyidik Pegawai Negri Sipil diangkat oleh Mentri Hukum dan HAM atau Kementrian terkait yang mebawai pegawai tersebut.

Selanjutnya pada Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 menentukan bahwa Penyidik pembantu adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang berpangkat Sersan Dua Polisi dan Pegawai Negri Sipil tertentu dalam lingkungan Kepolisiaan Negara Republik Indonesia yang sekurang-kurangnya berpangkat Penanta Muda (Golongan III/a) atau yang disamakan dengan itu.

Hubungan antara penyidik Polisi Republik Indonesia dengan Pejabat Pegawai Negri Sipil dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 107 KUHAP, yaitu:

a. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik tersebut pada Pasla 6 ayat (1) huruf a memberikan petunjuk kepada penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat a huruf b dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan. b. Dalam hal suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana sedang dalam penyidikan oleh penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b dan kemudian ditemukan bukti yang kuat untuk diajukan kepada penuntut umum, penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat 1 huruf b melaporkan hal itu kepada penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat 1 huruf a.

(25)

ia menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat 1 huruf a.

Kemudian dalam penjelasan Pasal 107 KUHAP tersebut dinyatakan bahwa: “Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat 1 huruf a, diminta atau tidak diminta berdasarkan tanggungjawabnya wajib memberikan bantuan penyidikan itu kepada penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat 1 huruf a”.

Kemudian Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat 1 huruf a. dalam melakukan penyidikan suatu perkara pidana wajib melaporkan hal itu kepada penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat 1 huruf a disertai dengan berita acara penyidikan yang dikirim kepada penuntut umum. Penyidik Pegawai negri Sipil diberi wewenang khusus oleh Undang-undang dalam melakukan penyidikan. Penyidik Pegawai Negri Sipil diatur dalam Pasal 6 ayat 1 huruf b, yaitu Pegawai Negri Sipil yang mempunyai fungsi dan wewenang sebagai penyidik. Pada dasarnya wewenang yang mereka miliki bersumber pada undang- undang khusus, yang telah menetapkan sendiri mengenai pemberian wewenang kepada Penyidik Pegawai Negri Sipil pada salah satu Pasal.

(26)

a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenaan dengan tindak pidana yang menyangkut hasil hutan, kawasan hutan dan hasil hutan.

b. Melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan.

c. Memeriksa tanda pengenal seseorang yang berada dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya; d. Melakukan penggeledahan dan penyitaan barang

bukti tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

e. Meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil hutan;

f. Menagkap dan menahan dalam koordinasi dan pengawasan Penyidik Kepolisian Negara republik Indonesia ssesuai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;

g. Membuat dan menandatangani berita acara; h. Menghentikan Penyidikan apabila tidak terdapat

cukup alat bukti tentang adanya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil hutan.

Wewenang Penyidikan yang dimiliki oleh Pejabat Pegawai Negri Sipil hanya terbatas sepanjang yang menyangkut dengan tindak pidana yang diatur dalam undang-undang tertentu. Adapun yang menjadi kedudukan dan wewenang penyidik pegawai negri sipil dalam melaksanakan tugas penyidikan;

(27)

b. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik Polri memberikan petunjuk kepada penyidik pegawai negri sipil tertentu, dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan.

c. Penyidik pegawai negri sipil tertentu harus melaporkan kepada penyidik Polri tentang adanya suatu tindak pidana yang sedang disidik, jika dari penyidikan itu oleh penyidik pegawai negri sipil ada ditemukan bukti yang kuat untuk mengajukan tindak pidananya kepada penuntut umum.

d. Apabila penyidik pegawai negri sipil telah selesai melakukan penyidikan, hasil penyidikan tersebut harus diserahkan kepada penuntut umum. Cara penyerahannya kepada penuntut dilakukan penyidik pegawai negri sipil melalui peyidik Polri. Apabila Penyidik Pegawai Negri sipil menghentikan penyidikan yang telah dilaporkan kepada penyidik Polri, penghentian penyidikan harus diberitahukan kepada penyidik Polri dan Penuntut umum.9

B. Tindak Pidana Illegal Logging dan Lembaga Penyidik Dalam Perspektif Hukum Islam

1. Illegal Logging Dalam Hukum Islam

Alam raya telah diciptakan Allah swt. Dalam keadaan yang sangat harmonis, serasi, dan memenuhi kebutuhan makhluk. Allah telah menjadikannya baik, bahkan memerintahkan hamba-hambanya untuk memperbaikinya. Salah satu bentuk perbaikan yang dilakukan Allah, adalah dengan mengutus para Nabi untuk meluruskan dan memperbaiki kehidupan yang kacau dalam masyarakat. Siapa yang tidak menyambut kedatangan rasul, atau menghambat misi mereka, maka dia telah melakukan salah satu bentuk pengrusakan di bumi.

9

(28)

Adapun perbaikan Allah Ta‟ala terhadap keadaan manusia adalah berupa petunjuk agama dan diutusnya Nabi dan Rasul, yang hal itu disempurnakan dengan dibangkitkannnya Nabi dan Rasul terakhir, yang merupakan rahmat bagi seluruh alam. Dengan diutusnya itu, akidah umat islam telah diperbaiki, akhlak dan tata kesopanan mereka telah dibimbing. Sebab beliau telah menghimpun akhlak dan kesopanan itu bagi umat manusia. Segala kemaslahatan ruh dan jasad dan telah disyari‟atkan pula bagi mereka saling menolong dan saling mengasihi telah pelihara bagi mereka. Keadailan dan persamaan telah disyari‟atkan bagi mereka. Musyawarah yang terkait dengan suatu kaidah, menolak hal yang merusak, dan memelihara hal-hal yang maslahat. Dengan demikian, agama mereka melebihi agama-agama lainnya.10

Kehidupan alam dalam pandangan islam berjalan di atas prinsip keselarasan dan keseimbangan. Alam semesta berjalan atas dasar pengaturan yang serasi dan dengan perhitungan yang tepat. Sekalipun di dalam ala mini tampak seperti unit unit yang berbeda. Semuanya berada dalam satu sistem kerja yang saling mendukung, saling terkait, dan saling tergantung satu sama lain. Artinya, apabila ada satu unit atau bagian yang rusak pasti menyebabkan unit atau bagian lain menjadi rusak pula. Prinsip keteraturan yang serasi dan perhitungan yang tepat semacam ini seharusnya menjadi pegangan atau landasan berpijak bagi manusia dalam menjalani kehidupan di muka bumi ini. Dengan demikian, segenap tindakan manusia harus didasarkan atas perhitungan-perhitungan cermat yang diharapkan dapat mendukung prinsip keteraturan dan keseimbangan tersebut.

Dalam fiqh terdapat ketentuan dasar bahwa semua makhluk mempunyai status hukum muhtaram, bukan

10

Mustafa Al-Maragii, Ahmad, Tafsir Al-Maragi. (Semarang : Toha

(29)

dalam arti terhormat, tetapi harus dilindungi eksistensinya/ makhluk hidup, maka siapapun terlarang membunuhnya. Jika makhluk tak bernyawa, maka siapapun terlarang merusak binasakannya. Dengan kata lain, semua makhluk harus dilindungi hak kepriadaanya.11

Al-Qur‟an yang merupakan salah satu pedoman utama

–selain hadist– bagi umat Islam memuat banyak sekali ayat-ayat mengenai lingkungan.

Firman Allah SWT surat Al-A‟rof ayat 56

“Dan jangan lah kamu membuat kerusakan di muka

bumi, sesudah(Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada Allah, dengan rasa takut dan harapan. Sesungguhnya rahmat dan harapan. Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”12

Ayat ini melarang pengrusakan di muka bumi. Pengrusakan adalah salah satu bentuk pelanggran atau bentuk pelampauan batas. Karena itu. Ayat ini melanjutkan tutunan ayat yang lalu dengan menyatakan :

dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah perbaikannya yang dilakukan kamu oleh Allah SWT dan atau siapapun dan berdoalah serta beribadah kepada-Nya dalam keadaan takut sehingga kamu lebih mentataati-Nya dalam keadaan penuh harapan dan anugrah-Nya, termasuk pengabulan do‟a kamu.

Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada al-muhsinin, yakni orang-orang yang berbuat baik.13

11

Yafie, Ali. Merintis Fiqh Lingkungan Hidup. (Jakarta : Yayasan

Amanah, 2006), h.173 12

Kementrian Agama RI, Op.Cit., h. 152 13

(30)

Allah menggambarkan tentang ramah terhadap lingkungan dan tidak boleh mengeksplorasinya secara berlebihan. Allah menyampaikannya dalam Q.S. Ar-Rum ayat 9 yakni sebagai berikut :



“Dan Apakah mereka tidak Mengadakan perjalanan

di muka bumi dan memperhatikan bagaimana akibat (yang diderita) oleh orang sebelum mereka? orang-orang itu adalah lebih kuat dari mereka (sendiri) dan telah mengolah bumi (tanah) serta memakmurkannya lebih banyak dari apa yang telah mereka makmurkan. dan telah datang kepada mereka Rasul-rasul mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata. Maka Allah sekali-kali tidak Berlaku zalim kepada mereka, akan tetapi merekalah

yang Berlaku zalim kepada diri sendiri.”14

(31)

Artinya :

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut

disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang

benar.”15

Berdasarkan tafsir Ibnu Katsir yang ditulis oleh Muhammad Nasib Ar-Rifa‟i tentang surat Ar Ruum ayat 41 menjelaskan bahwa kekurangan tanaman pangan dan buah-buahan disebabkan oleh berbagai aneka kemaksiatan yang dilakukan oleh manusia itu sendiri. Manusia banyak berbuat durhaka terhadap bumi ini sehingga timbul kerusakan-kerusakan akibat kemaksiatan yang dilakukan. Jika manusia meninggalkan kemaksiatan, maka akan membuahkan aneka berkah dan langit dan bumi ini.

Bencana alam yang terjadi seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan serta bencana alam lainnya lebih banyak didominasi oleh aktifitas manusia itu sendiri. Firman Allah SWT di dalam surat Al Qashash ayat 77 di dalam tafsir Quraish Shihab menekankan agar manusia tidak membuat kerusakan lingkungan dan senantiasa ramah terhadap lingkungan (environmen tal friendly) karena Allah SWT telah memberikan kepada manusia di bumi ini berbagai nikmat jadi berbuat baiklah semua pihak. Dan jika manusia sudah tergugah hatinya untuk peduli terhadap lingkungan, maka keseimbangan alam akan tercipta dengan baik.16

Allah tidak melarang kita untuk mengeksplorasi kekayaan alam, memanfaatkan lingkungan sekitar kita. Akan tetapi Allah menegaskan bahwa boleh untuk memanfaatkan alam tetapi jangan sampai berlebihan. Hal ini dijelaskan dalam Q.S. Al-An‟am ayat 141 sebagai berikut :

15

Ibid., h. 409 16

(32)

berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila Dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan. (Q.S. Al-An‟am : 141).”17

Bila ditinjau dalam hukum pidana Islam tindak pidana

illegal logging merupakan suatu jarimah yang harus diberlakukan hukuman terhadap pelaku tindak pidana.

Illegal logging dikatakan sebagai jarimah karena perbuatannya merupakan perbuatan yang zalim. merugikan orang lain serta merupakan perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT. Hukuman yang tepat untuk tindak pidana illegal logging bila ditinjau dan hukurn pidana Islam diterapkan hukuman ta‟zir.

Sanksi hukuman ta‟zir diberlakukan karena tidak terdapat ketentuan di dalam nash Al-Quran dan Hadis yang mengatur mengenai tindak pidana illegal logging. Dan hukuman ta„zir diserahkan sepenuhnya kepada waliyyul amri atau hakim untuk penerapan hukuman yang

17

(33)

tepat terhadap pelaku kejahatan illegal logging. Menurut Wahbah a1-Zuhai1î bentuk hukuman ta‟zir sangat banyak dan beragam dan semuanya menjadi kompetensi penguasa setempat atau hakirn. Hukuman ta„zir diterapkan sesuai dengan kondisi suatu masyarakat atau bangsa. Jadi hukuman ta„zir yang diterapkan untuk tindak pidana illegal logging di Indonesia dapat berbentuk penjara, denda, serta perampasan benda. Hukuman ta„zir diterapkan untuk mewujudkan kedamaian, kesejahteraan, ketertiban, serta kemaslahatan umum.18

Jika melihat konteks pengertian kejahatan illegal logging yang melakukan kejahatannya dengan cara merusak burni khususnya hutan beserta ekosisternnya. Hal tersebut tentunya jika ditinjau dan hukum pidana Islam dapat dikenakan hukuman yang berlaku juga pada jarimah hirabah (perampokan). Menurut Imam Abu llanifah. Asy-Syalli, Ahmad bin Hanbal, dan ulama Syi‟ah Zaidiyah, hukuman atas tindak pidana hirabah berbeda-beda, tergantung pada perbuatan yang dilakukakan.19Allah berfirman di dalam Al Qur‟an surah Al-Maidah ayat 33 sebagai berikut:



“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang

yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau

18

Ahmad Wardu Muslich, Hukum Pidana Islam (Jakarta : Sinar Grafika, 2005) h.85

19

Abdul Qadir Audah, At-Tasryi' al-jina'I al-Islamiy Muqaranan bil

(34)

disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik[414], atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar. (Q.S. Al Maidah 33)20

Maksudnya Ialah: memotong tangan kanan dan kaki kiri; dan kalau melakukan lagi Maka dipotong tangan kiri dan kaki kanan.

Dalam Hukum pidana Islam tentunya berlaku juga mengikuti perkembangan yang terjadi. tetapi hal tersebut tentunya tidak bertentangan dengan Al Quran dan Hadis. Tentunya jika suatu unsur jarimah tidak terpenuhi untuk diberlakukan hukuman hudud maka akan diberlakukan hukuman ta„zir.

Dengan demikan hukuman ta„zir-lah yang diterapkan untuk tindak pidana illegal logging di Indonesia. Bentuk hukumannya dapat berbentuk penjara, denda, serta perampasan benda. Hukuman ta„zirditerapkan untuk mewujudkan kedamaian, kesejahteraan, ketertiban, serta kemaslahatan umum.

2. Sistem Penyidikan dalam Hukum Acara Pidana Islam

a. Penyidikan bagian dari Pembuktian

Pada dasarnya seluruh kegiatan dalam proses hukum penyelesaian perkara pidana sejak penyelidikan sampai putusan akhir diucapkan dimuka persidangan oleh majelis hakim adalah berupa kegiatan yang berhubungan dengan pembuktian atau kegiatan untuk membuktikan. Walaupun hukum pembuktian perkara pidana terfokus pada proses sesungguhnya proses membuktikan sudah ada dan dimulai pada saat penyidikan. Bahkan pada saat proses perkara pidana oleh negara. Batasan tentang penyidikan dalam hal dan menurut cara serta

20

(35)

mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

Tampak jelas bahwa untuk menemukan suatu peristiwa yang diduga mengandung muatan tindak pidana, dalam rangka untuk menentukan langkah berikutnya ialah dapat ataukah tidak dapat dilakukan pekerjaan lanjutan – penyidikan, tentulah juga diperlukan bukti-bukti dalam derajat tertentu. Untuk menemukan suatu peristiwa sudah barang tentu diperlukan tanda-tanda adanya peristiwa tersebut, dan tanda-tanda itu disebut sebagai bukti. Oleh karena itu, pada kegiatan penyidikan dapat dikategorikan kedalam pekerjaan pembuktian. Untuk membuat terang suatu tindak pidana yang terjadi dan untuk menemukan tersangkanya oleh penyidik, diperlukan pula bukti-bukti. mencari bukti-bukti dan menilainya serta menarik kesimpulan oleh penyidik inipun disebut pembuktian, walaupun in casu tidak sama arti dan isinya dengan istilah pembuktian yang berlaku dan dijalankan didalam sidang pengadilan pidana, yang selama ini oleh para praktisi disebut sebagai pembuktian.21

b. Sistem dan Asas

Dalam persengketaan di pengadilan, pembuktian adalah merupakan sesuatu hal yang sangat penting, sebab pembuktian merupakan esensi dari suatu persidangan guna didapati kebenaran yang mendekati kesempurnaan. Didalam Hukum Acara Pidana Islam, sistem pembuktiannya menggunakan sistem pembebanan pembuktian terhadap pihak penggugat atau pendakwa. Hal ini dilandaskan atas dasar kaidah yang umum tentang pembuktian yang bersumber dari Sabda Nabi SAW

21“Arti Pembuktian dan Hukum Pembuktian” (On

(36)

sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al Baihaqi dan al Tabrani:

هاَوَر

بلا

ىقهي

ىلص لوسرلا نأ حيحص دانسءاب نىابرطلاو

لله

ويلع

ىلع ةنيبلا: لاق ملسو

نم ىلع ینميلاو يعدلما

ركنا

(

هاَوَر

لا

ىقهيب

)نىابرطلاو

22

Artinya:

Diriwayatkan al Bayhaqi dan al Tabrani dengan sanad yang sohih, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, Bukti itu (wajib) atas penggugat dan sumpah itu (wajib) atas pihak yang menolak

(pengakuan)”.

Berawal dari hadis di atas Ibnu Qayyim berpendapat “maksud dari hadis tersebut bahwa untuk mendapatkan hukum yang sesuai dengan petitium gugatannya, seorang penggugat harus mengemukakan bukti-bukti yang membenarkan dalil-dalil gugatannya.23

Pendapat Ibnu Qayyim tersebut didukung oleh

fuqahayang lain, antara lain: Sayyid Sabiq, ia mengungkapan bahwasanya “pendakwa adalahorang yang dibebani dengan mengadakan pembuktian atas kebenaran dan keabsahan dakwaanya, sebab yang menjadi dasar ialah bahwa orang yang didakwa itu bebas dalam tanggunganya. Pendakwa wajib membuktikan keadaan yang berlawanan. Wahbah Az Zuhaili juga sependapat dengan kedua tokoh di atas, ia mengemukakan bahwa:

22

Abdul Qasim Sulaiman bin Ahmad Al-Akhmiy At-Thabrani. Daarul Qutub al-Ilmiyyah. Beirut: 1989, hadis No. 1009

23

(37)

“konsekuensi hukum setelah gugatan diajukan adalah wajibnya tertuduh menanggapi tuduhan penggugat dengan mengatakan “ya” atau “tidak”. Apabila tergugat diam, dia dianggap ingkar terhadap tuduhan tersebut sehingga penggugat harus mengemukakan bukti dan kemudian hakim menetapkan keputusan untuk kemenangan

penggugat”.24

Jelaslah bahwa sistem pembuktian dalam Hukum Acara Pidana Islam menggunakan sistem pembebanan pembuktian terhadap penggugat, serta harus memperhatikan asas-asas Hukum Pidana yang ada. Dengan demikian dengan sistem yang ada. Dengan demikian dengan sistem yang ada diharapkan keadilan dapat ditegakkan dan kebenaran yang sesungguhnya bisa terungkap.

c. Alat Bukti

Menurut Ibnu Qayyim al Jauziyyah seperti yang dikutip oleh Salam Madzkur “alat bukti adalah setiap alasan yang dapat memperkuat dakwaan atau gugatan.25 Bukti yang diajukan didepan persidangan untuk menguatkan gugatan bertujuan untuk memberikan dasar kepada hakim akan kebenaran peristiwa yang didalilkan para pihak yang dibebani pembuktian peristiwa-peristiwa di depan persidangan. Dalam kajian hukum Islam, mengenai macam alat bukti terdapat perbedaan pendapat dari banyak

ulama‟. Menurut fuqaha> Ibnu Qayyim

mengemukakan bahwa macam alat bukti terdiri dari 17 macam alat bukti,26 yaitu:

24

Wahbah al Zuhaili, al Fiqhu al Islami Wa Adillatuhu, terjemah,

Abdul Hayyie al Kattani, et all, Fiqih Islam Wa Adillatuhu 8, (Jakarta: Gema Insani 2011) h. 138.

25

Muhammad Salam Madkur, al Qada‟ fi al Islami, terjemah, Imron

AM, Peradilan dalam Islam, (Surabaya: Bina Ilmu 1993) h. 107.

26

Ibnu Qayyim al Jauziyah, Hukum Acara Peradilan Islam, h.

(38)

1) Pembuktian atas fakta yang berbicara pada dirinya dan tidak memerlukan sumpah.

2) Pembuktian dengan bukti disertai sumpah pemegangnya.

3) Pembuktian dengan bukti disertai sumpah pemegangnya.

4) Pembuktian dengan penolakan sumpah belaka. 5) Pembuktian dengan penolakan sumpah dan

sumpah yang dikembalikan.

6) Pembuktian dengan saksi satu orang laki-laki tanpa sumpah.

7) Pembuktian dengan saksi satu orang laki-laki dan sumpah penggugat.

8) Pembuktian dengan keterangan saksi satu orang laki-laki dan dua orang perempuan.

9) Pembuktian berdasar keterangan saksi satu orang laki-laki dan penolakan tergugat untuk bersumpah.

10) Pembuktian berdasar keterangan saksi dua orang perempuan dan sumpah penggugat, dalam perkara perdata kebendaan dan hak kebendaan. 11) Pembuktian dengan saksi dua orang perempuan

belaka.

12) Pembuktian dengan saksi tiga orang laki-laki. 13) Pembuktian berdasar keterangan saksi empat

orang laki-laki yang merdeka.

14) Pembuktian dengan saksi tiga orang laki-laki. 15) Pembuktian berdasar kesaksian anak-anak

dibawah umur.

16) Pembuktian dengan kesaksian orang-orang fasik. 17) Pembuktian berdasarkan kesaksian orang-orang

non Islam.

Pendapat lain dikemukakan oleh Sayyid Sabiq, bahwa macam alat bukti hanya ada 4 (empat) macam alat bukti,27yaitu :

27

(39)

1) Ikrar 2) Kesaksian 3) Sumpah

4) Dokumen resmi yang mantab.

Sementara itu fuqaha Indonesia, Hasbie Ash Siddiqie memberikan keterangan bahwa alat bukti dalam Hukum Islam diantaranya,28 yaitu:

1) Iqrar (pengakuan).

2) Syahadah (kesaksian).

3) Yamin (sumpah).

4) Nukul (menolak sumpah).

5) Qasamah (bersumpah 50 orang).

6) „Ilmu al- Qadi (pengetahuan hakim).

7) Qarinah (petunjuk/sangkaan) yang meyakinkan.

3. Lembaga yang berhak melakukan penyidikan Al-Hisbah secara etimologi merupakan kata benda yang berasal dari kata al-ihtisab artinya “menahan upah,” kemudian maksudnya meluas menjadi “pengawasan yang

baik”.29

Sedangkan secara terminologi, al-Mawardi mendefinisikan dengan “suatu perintah terhadap kebenaran dan mencegah kemungkaran bila muncul

kemungkaran”.30

Dasar hukum dari hisbah ini ialah, perbuatan Nabi sendiri.31 Pada suatu hari Nabi melihat setumpuk makanan dijual di pasar Madinah. Makanan itu sangat benar menarik hati beliau, tetapi sesudah Nabi masukkan tangannya ke dalam makanan itu, maka nyata bahwa penjual makanan itu berlaku curang, menampakkan yang baik dan menyembunyikan yang buruk.

Tugas dan wewenang Al-Hisbah adalah

28

Muhammad Hasbi Ash Shiddiqie, Peradilan dan Hukum Acara

Islam, h. 116. 29

A. Basiq Djalil, Peradilan Islam, (Jakarta: Amzah 2012) h. 125. 30

Al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th) h. 240.

31

Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqi, Peradilan & Hukum

(40)

a. Tugas dan wilayah Al-Hisbah

Tugas wilayah al-Hisbah adalah memberi bantuan kepada orang-orang yang tidak dapat mengembalikan haknya tanpa bantuan dari petugas-petugas al-hisbah.32

b. Wewenang dan fungsi wilayah Al-Hisbah

Dengan mencermati praktik hisbah yang pernah dilakukan oleh Rasulullah, maka dapat dikatakan pula bahwa hisbah itu merupakan institusi keagamaan yang bertugas untuk perintah berbuat baik dan larangan berbuat jahat, yang merupakan kewajiban atas orang-orang yang memegang kendali urusan kaum muslimin yang dipandang ahli.33

32

A.Basiq Djalil, Op Cit. 33

Oyo Sunaryo Mukhlas, Perkembangan Peradilan Islam, (Bogor:

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan kondisi operasi terbaik pada karet alam vulkanisat ( thermoset rubber ) dengan filler Hibrid abu sawit/ carbon

Answer these questions correctly based on the

strategi komunikasi yang baik efek dari proses komunikasi (terutama komunikasi media massa) bukan tidak mungkin akan menimbulkan pengaruh negatif. Perkembangan pesat

dan beban keija yang sebanding. Wilayah dengan potensi dan beban keija yang sama memberikan peluang bagi masing-masing wakil penj ualan untuk mendapatkan

Penulis meneliti bagaimana cara perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 25 berdasarkan Undang Undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan stdd Undang Undang

Small cell lung carcinoma (SCLC) juga disebut “oat cell carcinoma” merupakan kanker paru yang sedikit ditemukan, jenis ini berasal dari saluran napas yang lebih besar (bronkus

Program / kegiatan yang mendukung Capaian Indikator Persentase ketersediaan angkutan umum yang melayani wilayah di Kabupaten Banyuasin pada Tahun 2016 adalah

Dalam metode Montessori penggunaan alat permainan edukatif dan penyediaan lingkungan yang sesuai dengan tahap perkembangan anak sangat penting, sehingga untuk