• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERLINDUNGAN ORANG TUA TERHADAP PERKAWINAN DIBAWAH UMUR (Studi Kasus di Desa Giyanti Kecamatan Candimulyo Kabupaten Magelang) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PERLINDUNGAN ORANG TUA TERHADAP PERKAWINAN DIBAWAH UMUR (Studi Kasus di Desa Giyanti Kecamatan Candimulyo Kabupaten Magelang) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam"

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)

i

PERLINDUNGAN ORANG TUA TERHADAP PERKAWINAN

DIBAWAH UMUR (Studi Kasus di Desa Giyanti Kecamatan

Candimulyo Kabupaten Magelang)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

Oleh:

Iva Farida Rohmah

NIM : 21113008

JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARI

AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)

v

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada

kemudahan , sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada

kemudahan ”

(6)

vi

PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan untuk:

 BIDIKMISI IAIN Salatiga dan seluruh pengelola yang telah memberikan

kesempatan untuk saya berkuliah di IAIN Salatiga.

 Kedua Orang tua yang sangat saya cintai Ibu Nurul Istiqomah dan Bapak

Mahsun, karena selalu memberikan dukungan, bimbingan, dan doa dari mereka yang membuat saya selalu bersemangat untuk berkuliah dan menyelesaikan skripsi.

 Adik-adik saya yang sangat saya sayangi Eliana Zahrotun Nisa,

Muhammad Wildan Abdillah dan mas Ahmad Ngaziz yang tak pernah lupa memberikan dukungannya kepada saya.

 Ibu Dr. Siti Zumrotun, M.Ag. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah

bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk membimbing saya dalam menyelesaikan skripsi dari awal sampai akhir dengan penuh perhatian dan kesabaran.

 Kawanku Bidah Sariyati, Rahil Azni Kurnia, dan seluruh teman-teman

BIDIKMISI IAIN Salatiga angkatan tahun 2013, tempat berbagi suka cita dan duka lara selama ini.

 Tak lupa kepada Lia Wardah Nadhifah, Futmasepta Fanya Ulinnuha,

(7)

vii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah yang maha Pengaasih lagi Maha Penyanyang. Karena atas ridha-Nya skripsi yang berjudul “Perlindungan Orang Tua terhadap Perkawinan di Bawah Umur (Studi Kasus Di

Desa Giyanti Kecamatan Candimulyo Kabupaten Magelang)” dapat diselesaikan dengan baik.

Penulisan skripsi ini diajukan guna memenuhi tugas dan syarat untuk memperoleh gelar strata satu (S1) dalam Jurusan HKI (Hukum Keluarga Islam), Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga. Ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya penulis ucapkan kepada semua pihak yang telah memberikan pengarahan, bimbingan dan bantuan dalam berbagai bentuk. Ucapan terima kasih terutama penulis sampaikan kepada:

1. Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd., selaku Rektor Institut Agama Islam Negeri Salatiga.

2. Dr. Siti Zumrotun, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Syari‟ah Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Dan juga sebagai dosen pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk memberikan pengarahan dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.

(8)
(9)

ix ABSTRAK

Rohmah, Iva Farida. 2017. Perlindungan Orang Tua Terhadap Perkawinan Dibawah Umur (Studi Kasus di Desa Giyanti Kecamatan Candimulyo Kabupaten Magelang). Fakultas Syari‟ah. Jurusan

Hukum Keluarga Islam. Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Dosen Pembimbing: Dr. Siti Zumrotun, M.Ag.

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh masih saja terdapat pernikahan dibawah umur yang terjadi di masyarakat. Belum dewasanya seseorang dalam sebuah pernikahan menyebabkan orang tua harus melakukan perlindungan untuk mencegah hal-hal yang tidak diingankan terjadi. Dari hal itu pertanyaan utama yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah : (1) Bagaimana proses pelaksanaan perkawinan dibawah umur di Desa Giyanti Kecamatan Candimulyo Kabupaten Magelang?, (2) Bagaimana bentuk perlindungan orang tua terhadap perkawinan dibawah umur di Desa Giyanti Kecamatan Candimulyo Kabupaten Magelang?, (3) Bagaimana akibat dari perlindungan orang tua terhadap perkawinan dibawah umur di Desa Giyanti Kecamatan Candimulyo Kabupaten Magelang? Untuk menjawab pertanyaan tersebut penelitian ini menggunakan pendekatan Yuridis Normatif.

Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan didapat temuan yaitu pernikahan dibawah umur dilakukan dengan pernikahan siri sesuai dengan syari‟at Islam. Pernikahan dibawah umur ini menyebabkan orang tua melakukan perlindungan dalam bentuk perlindungan fisik, perlindungan ekonomi, dan perlindungan psikologi. Akibat yang ditimbulkan dari perlindungan orang tua terhadap perkawinan dibawah umur ini adalah Tidak menumbuhkan kesungguhan berusaha untuk mecari rizki, tidak terbentuk rumah tangga yang mandiri dan tidak terpenuhinya hak dan kewajiban antara suami dan isteri.

(10)

x

DAFTAR ISI

SAMPUL ... i

NOTA PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... iv

MOTTO ... v A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Kegunaan Penelitian... 6

E. Tinjauan Pustaka ... 8

F. Penegasan Istilah ... 9

G. Metode Penelitian... 10

1. Jenis Penelitian dan Pendekatan... 10

2. Kehadiran Peneliti ... 10

3. Objek Penelitian ... 11

4. Sumber Data ... 11

5. Tehnik Pengumpulan Data ... 12

6. Analisis Data ... 13

7. Pengecekan Keabsahan Data... 14

8. Tahap-tahap Penelitian ... 14

(11)

xi BAB II KAJIAN TEORI

A. Perkawinan ... 17

1. Pengertian Perkawinan ... 17

2. Tujuan Perkawinan... 19

3. Hukum Perkawinan ... 20

4. Rukun dan Syarat Perkawinan ... 21

5. Asas-asas Perkawinan ... 24

6. Usia Perkawinan... 25

B. Perkawinan Dibawah Umur ... 33

1. Pengertian Perkawinan Dibawah Umur ... 33

2. Latar Belakang Perkawinan Dibawah Umur... 35

3. Hukum Perkawinan Dibawah Umur ... 36

4. Akibat Perkawinan Dibawah Umur ... 36

C. Perlindungan Orang Tua Terhadap Perkawinan Dibawah Umur ... 41

BAB III HASIL PENELITIAN A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 47

1. Kondisi Geografis ... 47

2. Kondisi Demografis ... 48

B. Praktik Perkawinan Dibawah Umur di Desa Giyanti ... 51

1. Profil Pasangan Perkawinan Dibawh Umur di Desa Giyanti... 51

2. Faktor Terjadinya Perkawinan Dibawh Umur di Desa Giyanti ... 55

3. Proses Pelaksanaan Perkawinan Dibawh Umur di Desa Giyanti... 56

C. Bentuk Perlindungan Orang Tua terhadap Perkawinan Dibawah Umur di Desa Giyanti ... 58

D. Akibat Perlindungan Orang Tua terhadap Perkawinan Dibawah Umur di Desa Giyanti ... 62

(12)

xii

B. Analisis Bentuk Perlindungan Orang Tua terhadap Perkawinan Dibawah

Umur di Desa Giyanti dalam Tinjauan Hukum Positif dan Hukum ...66

C. Analisis Akibat dari Perlindungan Orang Tua terhadap Perkawinan Dibawah Umur di Desa Giyanti ...68

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ...72

B. Saran ...74

DAFTAR PUSTAKA ...75

(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Usia Perkawinan di Negara Lain………..30

Tabel 3.1. Jenis Tanah Desa/Kelurahan……….47

Table 3.2. Jumlah Penduduk………...48

Table 3.3. Mata Pencaharian Pokok Penduduk………..48

Tabel 3.4 Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Giyanti……….49

(14)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN AKTA NIKAH ATIN RAHAYU DAN ERWANTO LAMPIRAN KTP ATIN RAHAYU DAN ERWANTO

LAMPIRAN DAFTAR PERTANYAAN WAWANCARA SURAT TUGAS PEMBIMBING

SURAT IJIN PENELITIAN

LEMBAR KONSULTASI SKRIPSI

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN DAN KESEDIAAN PUBLIKASI RIWAYAT HIDUP PENULIS

(15)

1 tumbuhan. Perkawinan merupakan suatu cara yang dipilih Allah sebagai jalan bagi manusia untuk beranak, berkembang-biak, dan kelestarian hidupnya, setelah masing-masing pasangan siap melakukan perannya yang positip dalam mewujudkan tujuan perkawinan. (Sabiq, 1990:10)

Wahbah Al-Zuhaili dalam bukunya Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh

menerangkan pengertian perkawinan yaitu:

Perkawinan menurut syara‟ yaitu akad yang ditetapkan syara‟ untuk membolehkan bersenanga-senang antara laki-laki dengan perempuan dan menghalalkan bersenang-senangnya perempuan dengan laki-laki. (Ghozali, 2012:8)

(16)

2

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa perkawinan merupakan suatu perbuatan mulia bagi manusia sebagai bentuk ketaatannya kepada Allah. Selain itu perkawinan merupakan sarana bagi laki-laki maupun perempuan untuk mencurahkan naluri sex mereka dengan cara yang baik sehingga akan melahirkan keturunan yang baik pula. Ikatan perkawinan akan mengikat sepasang suami dan istri sehingga mereka mempunyai hak dan kewajiban masing-masing yang harus dilaksanakan. Hak dan kewajiban ini akan mengatur bagaimana mereka akan melangsungkan kehidupan perkawinan dan mencapai tujuan dalam perkawinan tersebut.

Undang-undang perkawinan di Indonesia mengatur batasan umur bagi seseorang yang akan melangsungkan perkawinan, dengan kata lain seseorang harus mencapai umur tertentu sehingga ia diizinkan atau dibolehkan untuk menikah. Batas umur yang ditentukan adalah apabila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 (enam belas) tahun. ( Pasal 7 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan)

Islam tidak menentukan batasan umur yang baku dalam perkawinan. Akan tetapi kebanyakan ulama‟ menyamakan batas umur perkawinan dengan

(17)

3

bahwa usia dewasa seorang perempuan adalah 15 tahun. Abu Hanifah mengatakan 17 tahun, sementara Ibnu Syubrumah berpendapat 18 tahun (Muhammad, 2016:216).

Usia dewasa dalam kitab-kitab fiqh ditentukan dengan tanda-tanda yang bersifat jasmani; yaitu bagi wanita telah mulai haid atau mens dan para laki-laki dengan mimpi bersetubuh. Pembatasan berdasarkan jasmani ini berdasarkan pada petunjuk Al-Qur‟an yaitu sampai mencapai usia perkawinan atau umur yang pada waktu itu telah melangsungkan perkawinan. Tanda dewasa, yaitu haid bagi wanita dan mimpi persetubuhan untuk laki-laki adalah tanda seseorang sudah dapat melakukan perkawinan. (Syarifudin, 2008:149)

Tidak adanya ketentuan dalam Islam mengenai batasan umur perkawinan memberikan peluang bagi masyarakat untuk melangsungkan perkawinan di bawah umur. Bahkan perkawinan di bawah umur sudah dilaksanakan oleh Rosulullah SAW. dan istrinya „Aisyah binti Abu Bakar.

Dijelaskan dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:

(18)

4

Dari Aisya r.a di berkata “Rasulullah saw menikahi aku dikala aku berusia enam tahun, dan Rasulullah saw menjalin hubungan rumah tangga denganku ketika akau berusia sembilan tahun.” Aisyah berkata, “Kami datang ke Madinah, lalu aku menderita sakit selama sebulan (sehingga rambutku rontok). Setelah rambutku tumbuh kembali sampai setinggi pundak, aku didaatangi oleh Ummu Ruman ketika sedang bermain jungkat-jungkit bersama teman-temanku. Ummu Ruman memanggilku lalu menghampirinya, tanpa aku mengerti apa yang dia inginkan denganku. Lalu dia memegang tanganku dan menghentikanku di pintu sampai nafasku bersuara: ha ha ha. Setelah nafasku reda, tiba-tiba disitu banyak wanita Anshar. Mereka berkata „Semoga engkau mendapatkan kebaikan, keberkahan, dan keberuntungan.‟ Ummu Ruman kemudian menyerahkanku kepada mereka, lalu mereka membasuh kepalaku dan mendandaniku. Setelah itu tidaklah aku dikejutkan kecuali oleh kedatangan Rosulullah saw pada waktu Dhuha, lalu mereka menyerahkanku kepadanya.” (Al-Abani, 2013:568)

Pernikahaan Sayyidah „ Aisyah dengan Rosulullah SAW. memang

memancing banyak ahli agama untuk bertukar pendapat dan argumentasi. Praktik pernikahan tersebut dapat dimasukkan kategori pernikahan dini mengingat usia Sayyidah „Aisyah saat itu masih sangat belia. Pernikahan dini

semacam ini pada dasarnya bukanlah suatu permasalahan di era Nabi Muhammad dan era sebelumnya. Pernikahan dini merupakan masalah klasik yang berkembang cukup lama dalam sejarah manusia yang hidup dengan budaya patriarchal di mana dominasi selalu berada di pihak laki-laki. (Makmun-Abha, 2015:109)

(19)

5

Kemunculan Undang-undang tentang perkawinan yang memberikan batasan usia perkawinan adalah salah satu cara untuk mencegah terjadinya perkawinan di bawah umur. Pencegahan perkawinan dibawah umur diperkuat dengan adanya ketentuan dalam Pasal 26 ayat (1) huruf c Undang-undang nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang menyebutkan bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak (Pasal 26 Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak).

Ketentuan dalam dua undang-undang tersebut merupakan upaya untuk mencegah terjadinya perkawinan dibawah umur. Akan tetapi jika perkawinan dibawah umur itu harus dilangsungkan maka perlu adanya tindakan dari orangtua untuk melindungi perkawinan yang dilakukan oleh anak dibawah umur. Sehingga akibat-akibat dari perkawinan dibawah umur dapat dihindarkan.

Peran orang tua dalam perkawinan dibawah umur sangat berpengaruh pada kelangsungan perkawinan tersebut. Hukum positif maupun Hukum Islam tidak menjelaskan adanya kewajiban untuk orang tua melakukan perlindungan pada perkawinan anaknya. Akan tetapi, usia anak yang belum matang menyebabkan orang tua belum bisa melepaskan tanggung jawab mereka.

(20)

6

pasangan yang melakukan perkawinan di bawah umur. Oleh karena itu, peneliti berkeinginan mengetahui informasi lebih lanjut mengenai pernikahan di bawah umur dengan skripsi yang berjudul PERLINDUNGAN ORANG TUA TERHADAP PERKAWINAN DIBAWAH UMUR (Studi Kasus di Desa Giyanti Kecamatan Candimulyo Kabupaten Magelang ).

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana proses pelaksanaan perkawinan dibawah umur di Desa Giyanti Kecamatan Candimulyo Kabupaten Magelang?

2. Bagaimana bentuk dan dampak dari perlindungan orang tua terhadap perkawinan dibawah umur di Desa Giyanti Kecamatan Candimulyo Kabupaten Magelang?

3. Bagaimana perspektif hukum Islam dan hukum positif terhadap perkawinan dibawah umur di Desa Giyanti Kecamatan Candimulyo Kabupaten Magelang?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui proses pelaksanaan perkawinan dibawah umur di Desa Giyanti Kecamatan Candimulyo Kabupaten Magelang.

2. Untuk menjelaskan bentuk dan akibat dari perlindungan orang tua terhadap perkawinan dibawah umur di Desa Giyanti Kecamatan Candimulyo Kabupaten Magelang.

(21)

7 D. Kegunaan Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat lebih memperdalam dan menambah wawasan ilmu pengetahuan khususnya pada hukum Keluarga di Fakultas Syari‟ah Jurusan Hukum Keluarga Islam Institut Agama Islam

Negeri (IAIN) Salatiga. 2. Manfaat Praktis

a. Bagi Instansi

Membantu memberikan masukan bagi para pihak yang berkompeten terhadap masalah-masalah keluarga. Instansi yang terkait adalah perangkat desa dan KUA yang bersangkutan.

b. Bagi Masyarakat

Memberikan penjelasan tentang pernikahan di bawah umur dalam perspektif hukum positif dan hukum Islam.

c. Bagi Peneliti

Digunakan sebagai bahan awal bagi penelitian selanjutnya yang memiliki pokok permasalahan yang sama.

E. Tinjauan Pustaka

(22)

8

Ngawen yaitu dinikahkan orang tua, atas kemauan anak, agama, adat dan budaya, ekonomi, pendidikan dan kecelakaan. Selain itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa faktor-faktor yang melatarbelakangi pernikahan dini tersebut.

Tinjuan pustaka yang kedua adalah skripsi yang berjudul PEMALSUAN UMUR DALAM PERNIKAHAN DI DESA KETAPANG KECAMATAN SUSUKAN KABUPATEN SEMARANG TAHUN 2011 yang dituli soleh Mauliawati Ulfah STAIN Salatiga tahun 2012. Mengetahui praktek pemalsuan umur dalam pernikahan, faktor penyebab pemalsuan umur, dampak yang ditimbulkan dari pemalsuan umur, dan mengetahui status perkawinan para pelaku yang memalsukan umur dalam pernikahan merupakan tujuan dari penelitian ini. Peneliti juga menambahkan bahwa dalam penelitian ini membuktikan adanya pengetahuan dan wawasan para pelaku terhadap hukum tentang batasan usia nikah yang sangat kurang.

(23)

9

yang lebih besar, seperti melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama. Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam fiqh lebih banyak dijadikan rujukan daripada peraturan perundang-undangan yang ada.

Perbedaan penelitian yang akan dilkukan oleh penulis adalah berada pada pokok masalahnya, penulis akan meneliti bagaimana perlindungan orang tua terhadap perkawinan dibawah umur dalam tinjuan Hukum Positif dan Hukum Islam. Sedangkan penelitian terdahulu hanya sebatas faktor-faktor yang menjadi penyebab perkawinan dibawah umur saja. Sehingga penelitian terdahulu oleh penulis dijadikan sebagai acuan dalam melakukan penelitian.

F. Penegasan Istilah

1. Perlindungan Orang tua

Salah satu arti dari kata perlindungan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah hal (perbuatan dan sebagainya), sedangkan orang tua adalah ayah dan ibu kandung. Sehingga dapat kita ketahui bahwa arti dari perlindungan orang tua adalah perbuatan yang dilakukan oleh ayah dan ibu dalam suatu hal.

2. Perkawinan Dibawah umur

(24)

10 G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian dan Pendekatan

Jenis penelitian ini adalah Penelitian Kualitatif Studi Kasus. Penelitian Studi Kasus merupakan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui secara mendalam terhadap suatu individu, kelompok, institusi, atau masyarakat tertentu tentang latar belakang, keadaan/kondisi, faktor-faktor atau interaksi sosial yang terjadi dalam masyarakat. (Ali, 2009:10)

Sedangkan pendekatan yang digunakan peneliti adalah Pendekatan Yuridis Normatif. Pendekatan yuridis normatif tersebut mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan pengadilan serta norma hukum-norma hukum yang ada dalam masyarakat. (Ali, 2009:105)

2. Kehadiran Peneliti

(25)

11

peneliti secara langsung dan aktif dengan informan dan atau sumber data lainnya di sini mutlak diperlukan. (Moleong, 1999:33)

3. Objek penelitian

Penelitian ini dilakukan pada keluarga perkawinan di bawah umur di di Desa Giyanti Kecamatan Candimulyo Kabupaten Magelang . Lokasi ini dipilih penulis karena di desa tersebut terjadi beberapa pernikahan dibawah umur.

4. Sumber Data

Berdasarkan sumbernya, jenis data dibagi menjadi dua yaitu data primer dan data sekunder. (Ali, 2009:106)

a. Data Primer

Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung dari sumbernya baik melalui wawancara, observasi maupun laporan dalam bentuk dokumen tidak resmi yang kemudian diolah oleh peneliti

b. Data Sekunder

(26)

12 5. Tehnik pengumpulan data

a. Observasi

Observasi atau pengamatan adalah perhatian yang terfokus terhadap kejadian, gejala, atau sesuatu dengan maksud menafsirkannya, mengungkapkan faktor-faktor penyebabnya dan menemukan kaidah-kaidah yang mengaturnya. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan observasi non-partisipan yaitu observasi yang menjadikan peneliti sebagai penonton atau penyaksi terhadap gejala atau kejadian yang menjadi topik penelitian (Emzir, 2011:38-40). b. Wawancara (interview)

Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti, dan ingin mengetahui hal-hal dari responden yang lebih mendalam dan jumlah respondennya sedikit/kecil. Teknik pengumpulan data ini berdasarkan laporan diri sendiri atau self-report. (Sugiyono, 2010: 194).

(27)

13

Studi Dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan yakni berupa catatan, transkip, buku, undang-undang, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, agenda, dan sebagainya (Emzir, 2011:61). Adapun dokumen yang diperlukan oleh peneliti adalah dengan mengumpulkan bahan-bahan seperi akta nikah, kartu keluarga, dan KTP.

6. Analisis Data

Miles dan Huberman menyatakan terdapat tiga jalur analisis data kualitatif, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Reduksi data adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyerderhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatn tertulis di lapangan. Reduksi data merupakan bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa sehingga kesimpulan akhir data diambil. Penyajian data adalah kegiatan ketika sekumpulan informasi disusun sehingga memberi kemungkinan akan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Upaya penarikan kesimpulan dilakukan penulis secara terus menerus selama berada dilapangan. (Agusta, 2012:10)

7. Pengecekan Keabsahan Data

(28)

14

dengan melihat reliabilitas dan validitas yang diperoleh. Agar dapat terpenuhinya validitas data dalam penelitian kualitatif, dapat dilakukan dengan cara antara lain (Idrus, 2009:145):

a. Memperpanjang observasi; b. Pengamatan yang terus-menerus; c. Triangulasi;

d. Membicarakan hasil temuan dengan orang lain; e. Menganalisis kasus negatif;

f. Menggunakan bahan referensi. 8. Tahap-tahap penelitian

a. Peneliti menentukan tema dan masalah untuk dan menentukan obyek penelitian.

b. Peneliti mencari informasi tentang perlindungan dibawah umur di Desa Giyanti Kecamatan Candimulyo Kabupaten Magelang .

c. Setelah mendapatkan informasi awal, peneliti membuat proposal penelitian yang diajukan kepada Ketua Jurusan lalu diteruskan kepada dosen pembimbing skripsi

d. Setelah proposal disetujui maka peneliti terjun ke lapangan untuk mengumpulkan data dengan melakukan observasi, wawancara, dan studi dokumentasi.

(29)

15

f. Analisa yang dilakukan peneliti adalah dengan cara reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan

g. Peneliti menyusun laporan penelitian.

H. Sistematika penulisan

Penelitian ini secara garis besar terdiri sari tiga bagian yaitu bagian awal, bagian inti, dan bagian akhir.

Pada bagian awal terdiri dari sampul, lembar berlogo, judul, persetujuan pembimbing, pernyataan keaslian tulisan, motto dan persembahan, kata pengantar, abstrak, daftar isi, daftar tabel, dan daftar lampiran.

Bagian inti terdiri dari: Bab I: Pendahuluan yang menguraikan tentang latar belakang masalah; rumusan masalah; tujuan penelitian; keguanaan penelitian, penegasan istilah, metode penelitian, dan sistematika penelitian.

Bab II: Kajian Teori tentang Perkawinan Dibawah Umur yang berisi pengertian perkawinan, tujuan perkawinan, asas-asas perkawinan, dan usia perkawinan. Bab ini juga akan termuat kajian teori tentang perlindungan orang tua terhadap perkawinan dibawah umur .

(30)

16

Bab IV: Analisa terhadap perlindungan orang tua terhadap perkawinan dibawah umur dalam tinjauan hukum positif dan hukum Islam.

Bab V: Penutup, yang berisi kesimpulan dan saran.

(31)

17

BAB II

PERLINDUNGAN ORANG TUA TERHADAP PERKAWINAN

DIBAWAH UMUR

A. PERKAWINAN

1. Pengertian Perkawinan

Perkawinan atau pernikahan dalam literature fiqh berbahasa Arab

disebut dengan dua kata, yaitu nikah )حاكن( dan zawaj

)

جاوز

(

. Kedua kata

ini yang terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam Al-Qur‟an dan hadis Nabi. Kata na-ka-ha banyak terdapat dalam Al-Qur‟an dengan arti kawin, seperti dalam surat an-Nisa‟ ayat 3 (Syarifuddin, 2014:35) :

ََماَتَيْلاَ ِفَِاْوُطِسْقُ تََّلَْاَْمُتْفِخَْنِاَو

َِءاَسِّنلاََنِمَْمُكَلََباَطَاَمَاوُحِكْناَفَى

َٰنَْ ثَم

ََوََثَاَََُُوَ

ََعاَبُر

َ ۚ

ًَةَدِحاَوَ فَاوُلِدْعَ تََّلَْاَْمُتْفِْنِْاَف

Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap anak yatim, maka kawinilah perempuan-perempuan ;ain yang kamu senangi, dua, tiga atau empat orang, dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil, cukup satu orang (Kemenag, 2012:77)

(32)

18

ََيِعْدَاَِجاَوْزَاَ ِفٌَِجَرَحََْيِْنِمْؤُمْلاَىَلَعََنْوُكَيََلَْْيَكِلَاَهَكَاَنْجَّوَزَاًرَطَوَاَهْ نِمٌَدْيَزَىَضَقَاَّمَلَ ف

َْمِهِءا

...

...

Maka tatkala Zaid telah mengkhiri keperluan (menceraikan) istri-nya; Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin unutuk (mengawini) mantan istri-istri anak angkat mereka…(Kemenag, 2012: 423)

Tetapi dalam Al-Qur‟an terdapat pula kata nikah dengan arti akad, seperti tersebut dalam firman Allah surat an-Nisa‟ ayat 22:

ََنَاَمَاوُحِكْنَ تََلَْو

...َ َفَلَسَْدَقَاَمََّلِْاَِءاَسِّنلاََنِمَْمُكُؤاَباَءََحَك

Janganlah kamu menikahi perempuan yang pernah dinikahi

oleh ayahmu kecuali apa yang sudah berlalu... (Kemenag, 2012:81) Dari beberapa pengertian perkawinan dalam Al-Qur‟an tersebut menimbulkan beberapa perbedaan pendapat di kalangan Ulama‟. Ulama‟ Syafi‟iyah, menyebutkan bahwa perkawinan adalah suatu akad dengan

menggunakan lafal nikah atau zauj yang menyimpan arti memiliki wati. Artinya dengan pernikahan seseorang dapat memiliki atau mendapatkan kesenangan dari pasangannya. (Abidin, 1999:10)

(33)

19

adalah akad yang dimaksudkan untuk mendapatkan kesenangan seksual dengan menggunkan lafad inkah atau tazwij. (Maskur, 2014:46)

Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 menyebutkan bahwa Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. (Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan).

Dari beberapa pengertian perkawinan diatas dapat disimpulkan bahwa perkawinan merupakan sunnatullah yang berupa kebutuhan naluri manusia sebagai sarana untuk membentuk suatu tatanan masyarakat dari populasi terkecil yaitu keluarga dengan cara yang telah diperintahkan oleh Allah SWT. dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW.

2. Tujuan Perkawinan

Menurut Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 1 (satu) dijelaskan bahwa tujuan perkawinan ialah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Undang-undang Perkawinan, 2014:2). Tujuan yang telah dijelaskan dalam Undang-undang perkawinan ini tidaklah bertentangan

dengan hukum Islam, Allah menjelaskannya dalam Qur‟an Surat Ar-Rum

ayat 21 yang berbunyi:

ًَةَّدَوَمَْمُكَنْ يَ بََلَعَجََوَاَهْ يَلِاَاِْۤوُ نُكْسَتِّلَاًجاَوْزَاَْمُكِسُفْ نَاَْنِمَْمُكَلََقَلَخَْنَاَِِۤهِتٰيٰاَْنِمََو

ًَةَْحَْرََو

ُ ۗ

ََِا

ََنْوُرَّكَفَ تَّ يٍَمْوَقِلَ ٍتٰيَٰلََْكِلٰذَِْفََِّن

(34)

20

Dan diantara tanda-tanda (kebesaran-Nya) ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri agar kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir. . (Kemenag, 2012:406)

Ayat di atas menjelaskan bahwa sebuah pernikahan antara laki-laki dan perempuan akan menjadikan ketentraman diantara mereka dan kasih sayang yang akan selalu tumbuh diantara mereka. Ketentraman dan kasih sayang sangat perlu untuk membina sebuah keluarga yang didambakan seluruh keluarga atau yang sering disebut keluarga sakinah, mawaddah, dan warohmah.

Tujuan Perkawinan lebih rinci dijelaskan oleh Filosof Imam Al-Ghozali, ia membagi tujuan perkawinan dalam lima hal sebagai berikut: a. Memperoleh keturunan yang sah, yang akan melangsungkan serta

mengembangkan suku-suku bangsa manusia b. Memenuhi tuntutan naluriah hidup manusia

c. Memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan

d. Membentuk dan mengatur rumah tangga yang menjadi basis pertama yang besar diatas dasar kecintaan dan kasih sayang

e. Menumbuhkan kesungguhan berusaha untuk mencari rizki yang halal dan memperbesar tanggung jawab. (Wasman, 2011:38)

3. Hukum Perkawinan

(35)

21

a. Wajib bagi orang yang sudah mampu menikah, sedangkan nafsunya telah mendesak untuk melakukan persetubuhan yang dikhawatirkan akan terjerumus dalam praktek perzinahan.

b. Haram bagi orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan nafkah lahir dan batin kepada calon isterinya, sedangkan nafsunya belum mendesak.

c. Sunnah bagi orang yang nafsunya telah mendesak dan mempunyai kemampuan untuk nikah, tetapi ia masih dapat menahan diri dari berbuat haram.

d. Makruh bagi orang yang lemah syahwatnya dan tidak mampu memberi belanja calon isterinya.

e. Mubah bagi orang tidak terdesak oleh alasan-alasan yang mewajibkan segera nikah atau karena alasan-alasan yang mengharamkan untuk nikah.

4. Rukun dan Syarat-syarat Perkawinan

Undang-undang Perkawinan hanya menjelaskan syarat-syarat perkawinan tanpa menjelaskan rukunnya, syarat-syarat tersebut bisa dibilang syarat formal untuk melakukan perkawinan atau pernikahan di Indonesia. Sedangkan rukun dan syarat perkawinan dijelaskan lebih rinci di dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 14 yang menyebutkan Untuk melaksanakan perkawinan harus ada:

(36)

22 c. Wali nikah;

d. Dua orang saksi dan; e. Ijab dan Kabul.

Kemudian Kompilasi Hukum Islam dalam bab yang sama pada bagian-bagian selanjutnya menjelaskan syarat-syarat dari rukun yang sudah dijelaskan pada pasal 14 tersebut. Adapun syarat yang harus dipenuhi dari masing-masing rukun adalah sebagai berikut (Maskur, 2014:52):

a. Syarat-syarat calon suami: 1) Beragama Islam. 2) Jelas laki-lakinya.

3) Jelas atau orangnya diketahui.

4) Calon laki-laki kenal dan tahu betul bahwa calon isterinya halal dinikahi baginya.

5) Tidak dipaksa tetapi harus ikhtiar (kemauan sendiri) 6) Tidak sedang berikhrom haji atau umroh.

7) Bukan mahromnya.

8) Tidak mempunyai istri yang haram di madu. 9) Tidak dalam keadaan beristri empat.

b. Syarat-syarat calon istri: 1) Beragama Islam.

(37)

23

4) Sepertujuan dirinya/tidak dipaksa.

5) Tidak bersuami atau dalam iddah orang lain. 6) Bukan mahromnya.

7) Belum perah di li‟an.

8) Tidak sedang berikhrom haji atau umroh. c. Syarat-syarat wali:

1) Laki-laki.

2) Beragama Islam. 3) Baligh.

4) Berakal sehat. 5) Adil.

d. Syarat-syarat saksi: 1) Beragama Islam. 2) Baligh.

3) Berakal sehat.

4) Merdeka/bukan budak.

5) Kedua orang saksi itu bisa mendengar/tidak tuna rungu. e. Syarat-syarat sighot (ijab dan qobul):

Sighot dan ijab mempunyai syarat-syarat masing-masing. Syarat-syarat ijab adalah sebagai berikut:

(38)

24

2) Harus dengan shighot yang mutlak (tidak muqoyyad atau terikat) tidak ditakwilkan atau dikaitkan dengan suatu syarat atau dengan batas waktu.

3) Shighot yang digunakan dalam akad itu mengandung pengertian relanya orang yang mencakup sejak berlangsungnya akad. Sighot yang dipakai adalah fiil madhi.

Sedangkan syarat-syarat qobul adalah sebagai berikut:

1) Dengan kata-kata yang mengandung arti menerima, setuju atau dengan perkawinan tersebut.

2) Harus dengan sighot yang mutlak

3) Shighot yang digunakan dalam akad (qobul) itu mengandung arti rela diri orang yang mengucapkan sejak berlangsungnya akad perkawinan. Sighot yang dipakai adalah fiil madhi.

5. Asas-asas Perkawinan

Asas-asas atau prinsip-prinsip perkawinan yang dimaksudkan adalah (Summa, 2005:173):

a. Asas (prinsip) sukarela; b. Asas (prinsip) keluarga;

c. Asas (prinsip) perceraian dipersulit;

d. Asas (prinsip) monogami (poligami dibatasi dan diperketat); e. Asas (prinsip) kedewasaan calon mempelai;

(39)

25 h. Asas (prinsip) selektivitas. 6. Usia Perkawinan

a. Usia perkawinan dalam Islam

Usia dalam menikah bukanlah suatu hal yang dapat disamaratakan dalam masyarakat. Setiap orang memiliki kriteria masing-masing mengenai usia yang pantas untuk melangsungkan perkawinan. Rosulullah pun tidak menentukan usia ideal menikah, hanya saja beliau memberikan patokan mampu. Hal ini dijelaskan dalam sebuah haditsnya yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari:

َِدْبَعَاَبَاَاَيَ:ََلاَقَ فَ،َ ِّتَِِّبَُِناَمْثُعَُهَيِقَلَ قَ،َِللهاَِدْبَعََعَمَُتْنُكَ:ََلاَقََةَمَقْلَعَْنَع

(40)

26

Utsman berkata, “Apakah engkau mau wahai Abdurrahman kami nikahkan dengan gadis yang dapat mengingatkanmu akan apa

yang biasa padamu dahulu?” Ketika Abdullah melihat 26aka da

kebutuhannya terhadap hal ini maka beliau mengisyaratkan kepadaku seraya berkata, “Wahai Alqamah.” Aku sampai kepadanya dan dia berkata, “Ketahuilah, sekiranya engkau mengatakan itu, Benar-benar (Kami pernah bersama Nabi saw. dan saat itu kami masih muda, kami tidak memiliki sesuatu. Maka Nabi saw. bersabda kepada kami,“Wahai sekalian pemuda, barangsiapa diantara kalian yang memiliki kesanggupan untuk menikah, maka hendaknya ia menikah. (Maka sesungguhnya ia dapat menundukkan pandangan dan menjaga farji) Dan barang siapa yang tidak sanggup maka hendaknya ia berpuasa karena sesungguhnya puasa itu adalah benteng. (Al Albani, 2013:752)

Pemuda yang dimaksud dalam hadits diُatas adalah seseorang yang telah mencapai aqil-baligh dan usianya belum mencapai tiga puluh tahun. jika seorang laki-laki telah mencapai aqil-baligh dan memiliki bekal, mampu menunaikan kewajiban baik batin maupun lahir (materi), ia dianjurkan oleh Rosulullah untuk segera menikah. Jadi secara fisik ia telah mengalami kematangan seksual, dari segi akal ia telah mencapai kematangan berfikir yang ditandai dengan sifat kecerdasan dasar yang mampu mengambil pertimbangan sehat dalam memutuskan sesuatudan bertanggung jawab, dan dari segi materi ia bisa mencari nafkah maka ia disunahkan untuk segera menikah.

(41)

27

dalam menikah dari pada hanya sekedar masalah usia. (Makmun-Abha, 2015:19)

Ulama‟ berbeda pendapat dalam menentukan batasan baligh

untuk laki-laki dan perempuan. Madzhab Imamiyah, Maliki, Syafi‟i dan Hambali mengatakan tumbuhnya bulu-bulu ketiak merupakan bukti baligh-nya seseorang. Imam Syafi‟I dan Hambali menyatakan usia baligh untuk anak laki-laki dan perempuan adalah lima belas tahun. Sementara itu Imam Hanafi menetapkan usia baligh bagi anak laki-laki adalah delapan belas tahun sedangkan anak perempuan tujuh belas tahun. Adapun Imamiyah, maka madzhab ini menetapkan usia

baligh anak laki-laki adalah lima belas tahun, sedangkan anak perempuan sembilan tahun, berdasarkan hadis Ibnu Sinan berikut :

َُدْوُدُْلْاَ ِتَمْيِقُاََوَ,اَهُرْمَاََزَجََوَ,اََلَاَمَاَهْ يَلِاََعَفَدََْيِْنِسََعْسِتَُةَيِراَْلْاَ ِتْغَلَ بَاَذِا

َاَهْ يَلَعََوَاََلََُةَّمَّتلا

Apabila anaka perempuan telah mencapai usia sembilan tahun, maka hartanya diserahkan kepadanya, urusannnya dipandang boleh, dan hukum pidana dilakukan atas haknya dan terhadap dirinya secara penuh. (Mughniyah, 1994:22)

(42)

28

menyadari suatu keharusan untuk memelihara dirinya sendiri, mengetahui pula harihari akan membawanya lebih dekat kepada tanggung jawab kekeluargaan beserta segala yang menyertainya. (Koro, 2012:178)

Dari berbagai pendapat mengenai usia baligh diatas, dapat digunakan sebagai patokan usia perkawinan dalam Islam. Apabila seseorang sudah mencapai usia baligh tersebut maka perbuatan seseorang sudah dikenai perbuatan hukum. Pada usia baligh tersebut seseorang juga sudah dapat mengerti apakah perbuatan yang ia lakukan baik ataukah sebaliknya. Oleh karena itu perkawinan dalam Islam dapat dilakukan oleh seseorang yang sudah mencapai usia tersebut.

b. Usia perkawinan dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan

Undang-undang perkawinan di Indonesia mengatur batasan umur bagi seseorang yang akan melangsungkan perkawinan, dengan kata lain seseorang harus mencapai umur tertentu sehingga ia diizinkan atau dibolehkan untuk menikah. Batas umur yang ditentukan adalah apabila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 (enam belas) tahun. (Undang-undang tentang Perkawinan, 2014:4)

(43)

29

usia perkawinan karena alasan untuk memiliki kematangan fisik dan pemikiran, tetapi lebih jauh Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan antara lain memuat aspek politik hukum untuk menuju program pendidikan termasuk program wajib belajar 9 tahun yang secara filosofis menghendaki agar sumber daya manusia Indonesia paling rendah berpendidikan SLTP. Oleh karena itu, batasan umur perkawinan yang telah ditetapkan menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, secara filosofis menghendaki agar sumber daya manusia Indonesia sebelum memasuki gerbang rumah tangga, diharapkan telah berpeluang mendapatkan pendidikan paling rendah SLTP/SLTA. ( Koro,

2012:117)

Ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang perkawinan tersebut dibuat dengan bahan acuan fiqh munakahat yang berkembang di Indonesia yang juga mengatur tentang usia menikah. Usia menikah dalam Islam sudah dijelaskan sebelumnya bahwa Islam tidak menentukan batas minimal usia menikah, namun lebih kepada kematangan kedewasaan seorang laki-laki maupun wanita. Kematangan seseorang ini oleh para Ulama‟ disamakan dengan

baligh, zaman sekarang seseorang yang sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun bagi laki-laki dan 16 (enam belas) tahun bagi wanita dianggap sudah baligh.

(44)

30

Ketika memasuki masa pubertas, setiap anak telah mempunyai sistem kepribadian yang merupakan pembentukan dari perkembangan selama ini. Di luar sistem kepribadian anak seperti perkembangan ilmu pengetahuan dan informasi, pengaruh media massa, keluarga, sekolah, teman sebaya, budaya, agama, nilai dan norma masyarakat tidak dapat diabaikan dalam proses pembentukan kepribadian tersebut. Pada masa remaja, seringkali berbagai faktor penunjang ini dapat saling mendukung dan dapat saling berbenturan nilai. Thornburgh membagi usia remaja menjadi tiga kelompok, yaitu (Retnowati, 2011:1):

1) Remaja awal : antara 11 hingga 13 tahun 2) Remaja pertengahan: antara 14 hingga 16 tahun 3) Remaja akhir: antara 17 hingga 19 tahun.

Menurut psikologi dapat dilihat dari dua aspek perkembangan, yaitu perkembangan fisik dan psikis, dari aspek fisik masa remaja ditandai dengan sampainya kematangan alat-alat kelamin dan keadaan tubuh secara umum, yaitu telah memperoleh bentuknya yang sempurna dan secara fungsional alat kelaminnya sudah berfungsi secara sempurna pula.

(45)

31

tahun, Hurlock menetapkan 13-21 tahun, F. J. Monte menetapkan sejak 12-18 tahun, Singgih Gursana menetapkan 12-22 tahun. Sehingga dapat disimpulkan bahwa masa remaja berada pada rentang usia ± 12-21 tahun untuk wanita dan ± 13-22 tahun untuk pria. (Asrori, 2015:813)

d. Usia Dewasa menurut Psikologi

Menurut Papalia dalam buku Human Development: Perkembangan Manusia. menyatakan bahwa golongan dewasa muda berkisar antara 18-21 tahun. Tanda dimulainya masa dewasa ditentukan oleh standar budaya dan pengalaman. Bagi kebanyakan individu yang berada pada masa dewasa awal, memilih pasangan, belajar hidup dengan seseorang secara intim dan memulai keluarga merupakan kegiatan yang banyak menyita waktu. Individu dikatakan menjadi dewasa apabila berani menerima tanggung jawab atau akibat dari tindakan sendiri, dan menentukan nilai dan keyakinan sendiri. (Astuti : 297)

e. Usia perkawinan di negara-negara lain

Negara-negara Islam mempunya batas usia perkawinan yang berbeda karena faktor budaya, pendidikan, ekonomi, dan lainya. Hal ini ditunjukkan pada table dibawah ini (Supriadi, 2007:82)

Tabel 2.1. Usia Perkawinan di Negara Lain

NO NEGARA USIA KAWIN

PRIA WANITA

1 Aljazair 21 18

(46)

32

Umumnya negara Islam membedakan usia nikah antara calon mempelai pria dengan calon mempelai perempuan. Untuk kaum pria, rata-rata usia nikah adalah 16 hingga 21 tahun, sementara usia nikah bagi kaum perempuan rata-rata berkisar antara 15-18 tahun. Jadi, usia nikah perempuan pada umumnya lebih muda antara 1 hingga 6 tahun lebih dibandingkan dengan rata-rata usia nikah kaum laki-laki. Perbedaan usia nikah ini terjadi, disebabkan Alqur‟an maupun al

-Hadits tidak secara eksplisit menetapkan usia nikah. Namun demikian, pembatasan usia nikah tersebut merupakan ciri kematangan sebuah perkawinan sebagaimana tersirat dalam Alqur‟an surat al -Nisâ‟ [4]: 5 yang mengakui pernikahan sebagai salah satu ciri bagi

(47)

33

َْمُهْوُسْكاَوَاَهْ يِفَْمُهْ قُزْراَّواًماَيِقَْمُكَلَُللهاََلَعَجَِْتَِّلاَُمُكُلاَوْمَاََءاَهَفُّسلاَاوُتْؤُ تََلَْو

َاًفْوُرْعَمًَلْْوَ قَْمَُلََاْوُلْوُ قَو

۝

Dan janganlah kamu serahkan kepada orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaan) kamu yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik. (Kemenag, 2012:77)

B. PERKAWINAN DIBAWAH UMUR

1. Pengertian Perkawinan Dibawah Umur

(48)

34

haid (menstruasi) bagi perempuan. Jika ditentukan dengan tahun maka pernikahan dini merupakan pernikahan antara laki-laki dan perempuan yang belum berusia 15 tahun, menurut mayoritas ulama fiqh dan 17/18 tahun menurut pendapat Abu Hanifah. (Arifin, 2014:38)

Dari segi psikologi, sosiologi maupun hukum Islam pernikahan dini terbagi menjadi dua kategori; pertama, pernikahan dini asli yaitu pernikahan di bawah umur yang benar murni dilaksanakan oleh kedua belah pihak untuk menghindarkan diri dari dosa tanpa adanya maksud sematamata hanya untuk menutupi perbuatan zina yang telah dilakukan oleh kedua mempelai; kedua, pernikahan dini palsu yaitu pernikahan di bawah umur yang pada hakekatnya dilakukan sebagai kamuflase dari moralitas yang kurang etis dari kedua mempelai. Pernikahan ini dilakukan hanya untuk menutupi perzinaan yang pernah dilakukan oleh kedua mempelai dan berakibat adanya kehamilan. Ketika terjadi fenomena pernikahan seperti ini, tampaknya antara anak dan kedua orang tua bersama-sama melakukan semacam “manipulasi” dengan cara melangsungkan pernikahan yang mulia dengan maksud untuk menutupi aib yang telah dilakukan oleh anaknya. (Jannah, 2012:86)

(49)

35

2. Latar Belakang Perkawinan Dibawah Umur

Latar belakang perkawinan usia muda atau dibawah umur adalah hal-hal yang dapat mempengaruhi perkawinan usia muda seperti ekonomi, pendidikan,budaya (adat), maupun akibat dari pergaulan bebas. Bahkan ada yang berpendapat bahwa faktor lemahnya ekonomi dan faktor budaya merupakan faktor yang dominan. Jika anak yang putus sekolah dikalangan keluarga ekonomi lemah, umumnya disebabkan oleh faktor biaya (ekonomi) dan jiwa anak yang putus sekolah, dorongan “cepat

kawin” semakin kuat. (Koro, 2012:111)

Menurut Akhmad Jayadiningrat, sebab-sebab utama terjadinya pernikahan dini adalah: pertama, adanya keinginan orang tua untuk segera mendapatkan tambahan anggota keluarga; kedua, tidak adanya pengertian mengenai akibat buruk perkawinan terlalu muda, baik bagi mempelai itu sendiri maupun keturunannya; ketiga, adanya sifat kolot orang Jawa yang tidak mau menyimpang dari ketentuan adat kebanyakan orang desa, yang mengatakan bahwa mereka mengawinkan anaknya begitu muda hanya karena mengikuti adat kebiasaan saja. (Jannah, 2012:89)

(50)

36 3. Hukum Perkawinan Dibawah Umur

Menurut Husein Muhammad perlu dilihat ada tidaknya unsur kemaslahatan di dalamnya dan ada tidaknya kekhawatiran terhadap kemungkinan terjadinya hubungan seksual yang tidak dibenarkan oleh agama. Apabila pernikahan dini tersebut justru menimbulkan kemudharatan, kerusakan, atau keburukan, padahal pada saat yang sama faktor-faktor kekhawatiran akan terjerumus ke dalam pergaulan seksual yang dilarang agama tidak dapat dibuktikan maka pernikahan tersebut tidak dapat dibenarkan. Jadi menurut Husein, jika tidak ada kekhawatiran akan terjerumusnya anak ke dalam pergaulan seksual, bahkan justru ketika menikah di usia dini menimbulkan kemudharatan, maka seharusnya pernikahan dini tersebut tidak dilakukan. (Arifin, 2014:38)

Perkawinan dibawah umur tidak dihukumi secara mutlak apakah wajib, sunnah, mubah, makruh, ataupun haram. Hanya saja sama seperti hukum pernikahan yang sudah ditetapkan oleh Jumhur Ulama‟, yaitu

kembali lagi pada tujuan dari pernikahan tersebut akan menimbulkan kemaslahatan atau kemudhratan. Hal ini kembali kepada pelaku perkawinan dibawah umur.

4. Akibat Perkawinan Dibawah Umur

(51)

37

Menurut Syaidu Syahar akibat hukum dari suatu perkawinan bahkan dapat menjaring sampai kepada sanak kedua keluarga belah pihak yang lebih jauh sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut pria dan wania sebagai calon suami isteri tetapi juga orang tua kedua belah pihak diatas, sehingga akibat hukum perkawinan usia muda dikaitkan dengan hak dan kewajiban antara orang tua dengan anak dalam memelihara, mendidik dan membiayai adalah suatu kewajiban hukum yang menjadi tanggung jawab bagi kedua orang tua. Kemampuan fisik dan kematangan berpikir (kematangan jiwa) merupakan potensi manusia yang sebaiknya tumbuh secara seimbang, karena keduanya saling memengaruhi. (Koro, 2012:136)

Pendapat tersebut menunjukkan bahwa kematangan usia berhubungan dengan kemampuan secara fisik dan jiwa dalam menjalankan hak dan kewajiban sebagai suami dan isteri. Ketika usia yang belum matang tersebut dihadapkan pada tugas-tugas atau kewajiban dalam rumah tangga tentunya akan berimbas kepada pola kehidupan berkeluarga yang cenderung tidak stabil dan berdampak buruk kepada anak yang dihasilkan dalam perkawinan tersebut.

(52)

38

Berbagai dampak pernikahan dini dapat dikemukakan sebagai berikut (Khilmiah, 2014:11):

a. Dampak Biologis

Anak secara biologis alat-alat reproduksinya masih dalam proses menuju kematangan sehingga belum siap untuk melakukan hubungan seks dengan lawan jenisnya, apalagi jika sampai hamil kemudian melahirkan. Jika dipaksakan justru akan terjadi trauma, perobekan yang luas dan infeksi yang akan membahayakan organ reproduksinya sampai membahayakan jiwa anak. Patut dipertanyakan apakah hubungan seks yang demikian atas dasar kesetaraan dalam hak reproduksi antara isteri dan suami atau adanya kekerasan seksual dan pemaksaan (penggagahan) terhadap seorang anak.

b. Dampak Psikologis

Secara psikis anak juga belum siap dan belum mengerti tentang hubungan seks, sehingga akan menimbulkan trauma psikis berkepanjangan dalam jiwa anak yang sulit disembuhkan. Anak akan murung dan menyesali hidupnya yang berakhir pada perkawinan, yang dia sendiri tidak mengerti atas putusan hidupnya. Selain itu, ikatan perkawinan akan menghilangkan hak anak untuk memperoleh pendidikan (Wajar 9 tahun), hak bermain dan menikmati waktu luangnya serta hak-hak lainnya yang melekat dalam diri anak.

(53)

39

Fenomena sosial ini berkaitan dengan faktor sosial budaya dalam masyarakat patriakhi yang bias gender, yang menempatkan perempuan pada posisi yang rendah dan hanya dianggap pelengkap seks laki-laki saja. Kondisi ini sangat bertentangan dengan ajaran agama apapun termasuk agama Islam yang sangat menghormati perempuan (Rahmatan lil Alamin). Kondisi ini hanya akan melestarikan budaya patriarki yang bias gender yang akan melahirkan kekerasan terhadap perempuan.

d. Dampak perilaku seksual menyimpang

Adanya prilaku seksual yang menyimpang yaitu prilaku yang gemar berhubungan seks dengan anak-anak yang dikenal dengan istilah pedofilia. Perbuatan ini jelas merupakan tindakan ilegal (menggunakan seks anak), namun dikemas dengan perkawinan seakan-akan menjadi legal. Hal ini bertentangan dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak khususnya pasal 81, ancamannya pidana penjara maksimum 15 tahun, minimum 3 tahun dan pidana denda maksimum 300 juta dan minimum 60 juta rupiah.

e. Dampak terhadap kesehatan reproduksi

(54)

40

menikah, dan rata-rata mereka menikah pada usia 15-16 tahun. perkawinan dini berdampak pada kesehatan reproduksi anak perempuan. Dari segi fisik, remaja itu belum kuat, tulang panggulnya masih terlalu kecil sehingga bisa membahayakan proses persalinan. Anak perempuan berusia 10-14 tahun memiliki kemungkinan meninggal lima kali lebih besar, selama kehamilan atau melahirkan, dibandingkan dengan perempuan berusia 20-25 tahun. Sementara itu, anak yang menikah pada usia 15-19 tahun memiliki kemungkinan dua kali lebih besar. Perkawinan dalam usia muda merupakan salah satu faktor yang menyebabkan keganasan mulut rahim.

(55)

41

menjadi tak stabil mudah terjadi pendarahan dan terjadilah abortus atau kematian janin. Usia kehamilan terlalu dini dari persalinan memperpanjang rentang usia reproduktif aktif. Hal ini dapat mengakibatkan resiko kanker leher rahim di kemudian hari.

Akibat dari perkawinan dibawah umur sangatlah banyak, hal tersebut terjadi apabila perkawinan tersebut dilakukan tanpa adanya persiapan yang matang. Pendidikan pra-nikah sangat diperlukan untuk meminimalisir akibat-akibat dari perkawinan dibawah umur tersebut. Walaupun tidak secara keseluruhan akibat dari perkawinan dibawah umur dapat dihandarkan, akan tetapi dapat dicegah dan tidak terlalu berakibat fatal.

C. PERLINDUNGAN ORANGTUA TERHADAP PERKAWINAN DI BAWAH UMUR

Sebenarnya tanggung jawab penuh orangtua pada anak hanya sebatas masa sejak ia lahir sampai menikah atau dapat memenuhi kebutuhannya sendiri. Hal ini diatur dalam pasal 45 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 yang menyebutkan bahwa:

1. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.

(56)

42

Dalam hal ini Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan anak pasal 1 menjelaskan yang dimaksud anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. (Undang-undang Perlindungan anak pasal 1 ayat 1). Undang-undang ini juga mengatur tentang kewajiban dan tanggung jawab orang tua kepada anak dalam pasal 26 yang menyebutkan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:

1. Mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak;

2. Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; dan

3. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.

Berdasarkan dua ketentuan dalam undang-undang yang berbeda tersebut tidak ada ketentuan yang mewajibkan orang tua bertanggung jawab dan berkewajiban kepada anaknya yang sudah menikah. Akan tetapi, dalam pasal 1 Undang-undang Perlindungan anak yang menjelaskan pengertian anak, batas usia anak yaitu 18 (delapan belas) tahun tidak dikhususkan bagi anak yang belum menikah. Sehingga memungkinkan bahwa orang tua masih bisa bertanggung jawab kepada anaknya yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun walaupun sudah menikah.

(57)

43

perkawinan dibawah umur pengetahuan tentang pernikahan masih sangat kurang sehingga peran orang tua sangat penting dalam keluarga perkawinan di bawah umur.

Dalam perkawinan yang sewajarnya dalam artian perkawinan yang dilakukan oleh seorang yang telah dewasa orang tua boleh ikut campur dalam permasalahan rumah tangga. Hanya saja kebolehan ini sebatas memberikan saran dan nasihat. Ini bertujuan untuk mengontrol keharmonisan rumah tangga sang anak. Misalnya, ketika orang tua mulai membaca gelagat yang kurang baik dalam hubungan rumah tangga si anak, maka mereka berkewajiban untuk memperbaikinya, sehingga suasana rumah tangga yang harmonis tetap terjaga. (Yasid, 2007:35)

(58)

44

kepada Tuhan Yang Maha Esa serta memiliki hubungan yang serasi, selaras, dan seimbang antar anggota keluarga, dan antar keluarga dengan masyarakat dan lingkungannya .(Puspitawati, 2014:3)

Perlindungan orang tua terhadap perkawinan dibawah umur dapat berbentuk sebuah nasehat, membantu ekonomi, memberikan pendidikan tentang pernikahan, dan lain sebagainya. Hal ini dilakukan demi kemaslahatan rumah tangga anaknya. Sebenarnya di dalam Islam tidak ada kewajiban orang tua untuk melakukan hal semacam itu dalam rumah tangga anaknya, akan tetapi hal ini perlu dilakukan karena keterbatasan anak yang belum mampu mengarungi bahtera rumah tangga tanpa orang tuanya.

Dr. Zahri Hamid dalam bukunya Pokok-pokok Hukum Islam dan UU Perkawinan di Indonesia menjelaskan bahwa sesungguhnya dalam fiqh sifat hukum antara orang tua dan anak dapat dilihat dari segi material yaitu memberi nafkah, menyusui (irdla’) dan mengasuh (hadhanah), dan dari segi immaterial yaitu curahan cinta kasih, penjagaan dan perlindungan, serta pendidikan rohani dan lain-lainya. (Wasman, 2011:248)

(59)

45

Hendaklah orang yang mempunyai kekuasaan memberi nafkah menurut kemampuanya, dan orang yang terbatas rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak membebani seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang diberikan Allah kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan. (Kemenag, 2012:559)

َ

Nafkah tersebut dibebankan oleh ayah atau kepala keluarga di dalam rumah tangga. Batasan anak mendapatkan nafkah dari orang tua adalah sampai ia sudah dapat berdiri sendiri atau sudah menikah. Akan tetapi, jika anak yang sudah menikah belum bisa memenuhi kebutuhan isteri dan anaknya maka nafkah masih dibebankan kepada ayah. Kewajiban ayah ini memerlukan syarat-syarat sebagai berikiut:

1. Anak-anak membutuhkan nafkah dan tidak mampu bekerja, anak dipandang tidak mampu bekerja apabila masih kanak-kanak atau telah besar tetapi tidak mendapatkan pekerjaan atau perempuan;

2. Ayah berkemampuan harta dan berkuasa memberi nafkah, baik karena memang mempunyai pekerjaan yang menghasilkan atau mempunyai kekayaan yang menjadi penopang hidupnya (Wasman, 2012:254)

Menurut Abd al-Karim Zaydan dalam bukunya Al-Mufassir fi Ahkam al-Mar’ah wa al-Bayt al-Muslim fil al-Syari’at al-Islamiyah menyebutkan bahwa menurut ulama Hanabilah, anak baligh yang tidak memiliki pekerjaan (padahal mampu bekerja) dianggap seperti anak cacat yang terhalangi untuk bekerja, atau seperti anak perempuan. Dalam hal ini, orangtua tetap wajib menafkahi anak baligh yang belum memiliki pekerjaan karena butuh

(60)

46

bahwa anak yang sudah baligh dan mampu bekerja, orangtuanya tidak wajib lagi menafkahinya. (Marwan, 2014:111)

(61)

47

BAB III

PERLINDUNGAN ORANG TUA TERHADAP PERKAWINAN

DIBAWAH UMUR DI DESA GIYANTI

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian 1. Kondisi Geografis

Lokasi yang digunakan untuk penelitian adalah Desa Giyanti Kecamatan Candimulyo Kabupaten Magelang. Desa Giyanti mempunyai empat Dusun yaitu Bojong, Giyanti I, Giyanti II, dan Mantenan yang terdiri dari 4 RW dan 16 RT. Kondisi Geografis dari Desa Giyanti adalah sebagai berikut:

a. Batas Wilayah Desa

1) Sebelah Utara : Desa Tembelang 2) Sebelah Timur : Desa Sonorejo 3) Sebelah Selatan : Desa Trenten 4) Sebelah Barat : Dusun Surojoyo b. Luas Wilayah Desa

(62)

48

Tabel 3.1. Jenis Tanah Desa/Kelurahan

NO JENIS TANAH LUAS

1 Tanah Sawah (Ha) 76.0000 2 Tanah Kering (Ha) 46.3500 3 Tanah Basah (Ha) 0.0000 4 Tanah Perkebunan (Ha) 0.0000 5 Tanah Fasilitas Umum (Ha) 28.0000 6 Tanah Hutan (Ha) 0.0000 7 Total Luas Tanah (Ha) 150.3500 Luas Desa/Kelurahan (Ha) 150.35

Sumber: Prodeskel Desa Giyanti tahun 2016

Jarak antara dusun satu dengan dusun lainnya tidak terlalu jauh sehingga penduduk tidak memerlukan kendaraan untuk menempuh perjalanan. Sedangkan jarak antara Desa Giyanti dengan desa lainnya ataupun Kecamatan cukup jauh sehingga penduduk biasa menggunakan kendaraan untuk sampai di desa lain atau kecamatan. 2. Kondisi Demografis

a. Jumlah penduduk

(63)

49 Table 3.2. Jumlah Penduduk

No KATEGORI JUMLAH

1 Jumlah Laki-Laki (orang) 979 2 Jumlah Perempuan (orang) 916

3 Jumlah Kepala Keluarga (KK) 595

4

Kepadatan Penduduk

(Jiwa/Km2) 1,260

Jumlah Total (orang) 1,895 Sumber: Prodeskel Desa Giyanti Tahun 2016 b. Mata Pencaharian Penduduk Desa Giyanti

Mayoritas penduduk di Desa Giyanti bekerja sebagai petani baik pemilik ataupun pengelola. Jenis tanaman yang banyak di tanam di Desa Giyanti adalah tanaman hias, hal ini terbukti dengan banyaknya usaha tanaman hias di Desa ini. Selain itu Desa Giyanti terkenal dengan Desa Durian karena kelezatan buah durian yang tumbuh di Desa ini. Berikut table mata pencaharian pokok penduduk Desa Giyanti:

(64)

50

Sumber: Prodeskel Desa Giyanti Tahun 2016

Selain mata pencaharian pokok diatas penduduk Desa Giyanti juga ada yang berprofesi sebagai guru, TNI, buruh pabrik, tukang batu, tukang kayu, montir dan lain-lain.

c. Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Giyanti

Tabel 3.4 Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Giyanti

Sumber: Prodeskel Desa Giyanti Tahun 2016

NO TINGKAT PENDIDIKAN JUMLAH

1 Jumlah penduduk buta aksara dan huruf latin (Orang)

0 2 Jumlah penduduk usia 3-6 tahun yang masuk

TK dan Kelompok Bermain Anak (Orang)

26 3 Jumlah anak dan penduduk cacat fisik dan

mental (Orang)

2 4 Jumlah penduduk sedang SD/sederajat

(Orang)

226 5 Jumlah penduduk tamat SD/sederajat

(Orang)

143 6 Jumlah penduduk tidak tamat SD/sederajat

(Orang)

56 7 Jumlah penduduk sedang SLTP/sederajat

(Orang)

79 8 Jumlah penduduk tamat SLTP/sederajat

(Orang)

112 9 Jumlah penduduk sedang SLTA/sederajat

(Orang)

49 10 Jumlah penduduk tamat D-1 (Orang) 2 11 Jumlah penduduk sedang D-3 (Orang) 2 12 Jumlah penduduk sedang S-1 (Orang) 5 13 Jumlah penduduk tamat S-1 (Orang) 7 14 Jumlah penduduk sedang SLB A (Orang) 1

(65)

51

Dari 1895 penduduk di Desa Giyanti yang sedang atau sudah tamat dalam proses belajar mengajar adalah sebesar 710 jiwa.

d. Pemeluk Agama Penduduk Desa Giyanti

Data pemeluk agama dari kantor kelurahan desa Giyanti

menyebutkan sebagai berikut :

Tabel 3.5 Pemeluk Agama Desa Giyanti

Sumber : Kantor Desa Giyanti 2015

Jadi berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa penduduk Desa Giyanti 100% memeluk agama Islam

B. Praktik Perkawinan Dibawah Umur di Desa Giyanti

1. Profil Pasangan Perkawinan Dibawah Umur Disa Giyanti

Profil dari pelaku perkawinan dibawah umur di Desa Giyanti adalah sebagai berikut:

a. Pasangan Erwanto dan Atin Rahayu

Pasangan ini menikah Sirri pada tanggal 2 januari 2016 yang pada saat itu pihak laki-laki masih berusia 17 tahun lebih 2 bulan dan

No Nama Agama Jumlah Pemeluk Agama

1 Islam 1895 orang

2 Kristen Katholik 0

3 Kristen Protestan 0

4 Hindu 0

(66)

52

pihak wanita 16 tahun 10 bulan. Mereka memutuskan untuk menikah

Sirri karena sudah mengajukan berkas dari RT/RW dan Kelurahan namun ditolak oleh pihak KUA karena pihak pria belum mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun. Mereka juga tidak berinisiatif untuk mengajukan permohonan dispensai ke Pengadilan Agama Kabupaten Magelang. Hal ini karena mereka berfikir bahwa prosesnya akan memakan waktu yang lama.

Kurang lebih 2 (dua) tahun kemudian tepatnya pada tanggal 9 Desember 2016 mereka menikah secara sah dan dicatatkan di KUA Kecamatan Candimulyo. Alasan mereka menikah dibawah umur karena mereka telah mengenal satu sama lain selama kurang lebih satu tahun dan berteman tanpa adanya pengawasan orang tua sehingga menyebabkan pihak wanita hamil. Pihak laki-lakipun mau bertanggung jawab dan siap menikahinya, akan tetapi karena kurangnya pengetahuan mengenai batas usia menikah mereka tanpa berfikir panjang langsung mendaftarkan pernikahannya.

(67)

53

umur mereka tidak mempertimbangkan akibat dari apa yang telah mereka lakukan.

Dihitung dari pernikahan sirinya mereka sudah menikah selama kurang lebih 2,5 tahun. Selama usia pernikahan tersebut mereka sudah tidak tinggal bersama orang tua mereka baik dari pihak suami maupun isteri, rumah yang mereka tempati berada disebelah rumah dari orang tua suami. Akan tetapi suami tidak mempunyai pekerjaan yang tetap sehingga orang tua dari isteri harus mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari terlebih lagi mereka sudah dikaruniai seorang putra.

Hal ini menyebabkan adanya konflik dalam rumah tangga tersebut. Mereka sudah tidak tinggal bersama sejak 4 bulan yang lalu, isteri sudah dipulangkan kerumah orang tuanya oleh keluarga suami. Mereka memutuskan untuk bercerai, keputusan mereka ini didukung oleh orang tua kedua belah pihak dengan alasan suami tidak bisa menafkahi isterinya karena pekerjaan yang tidak tetap.

(68)

54

b. Pasangan Angga Satria dan Icuk Dian Anis Marsela

Pasangan ini juga sudah melangsungkan Nikah Sirri pada tanggal 13 Juli 2016 dengan usia dari pihak laki-laki adalah 16 tahun 2 bulan dan pihak wanita 16 tahun 5 bulan sehingga sampai saat ini mereka belum menikah secara sah yang dicatatkan di KUA. Alasan mereka memilih untuk melakukan pernikahan sirri adalah karena mereka sudah mengajukan berkas persyaratan menikah sampai di KUA Kecamatan Candimulyo, tetapi karena umur pria belum mencapai 19 (sembilan belas) tahun maka ditolak. Mereka juga tidak mempunyai inisiatif untuk mengajukan permohonan dispensasi ke Pengadilan Agama karena khawatir prosesnya akan berbelit-belit sehingga mereka memutuskan untuk menikah sirri.

Mereka memutuskan untuk menikah dengan umur yang belum mencukupi karena mereka sudah suka sama suka walaupun saling mengenal belum terlalu lama. Kemantapan lahir batin sudah dirasakan oleh kedua pasangan ini untuk menikah, walaupun secara ekonomi mereka masih bergantung pada orang tua dari pihak perempuan. Selama menikah sirri mereka masih tinggal bersama orang tua dari isteri.

(69)

55

tua dari Isteri hanya bekerja sebagai buruh lepas yang gajinya juga tidak tentu hanya berkisar 500 (lima ratus) ribu rupiah. Dengan jumlah uang yang didapatkan dalam keluarga ini bisa dibilang bahwa keluarga ini termasuk dalam golongan ekonomi menengah kebawah.

Peran orang tua dalam rumah tangga anaknya sangat terlihat jelas hal ekonomi. Orang tua merasa belum siap untuk melepas putrinya yang usianya belum dewasa, terlebih lagi mereka baru saja dikaruniai seorang putra yang lahirnya harus secara ceasar, pastinya membutuhkan biaya yang banyak. Oleh karena itu, sebagai orang tua mereka tidak merasa terbebani sama sekali dengan kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan oleh rumah tangga anaknya.

Dalam rumah tangga tentunya ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya konflik seperti perbedaan pendapat, ekonomi, dan hal lainnya. Sebagai orang tua memberikan nasehat adalah hal yang paling tepat untuk dilakukan. Dari pengalaman yang mereka dapatkan selama hidup berumah tangga, mereka tidak segan untuk berbagi dengan anaknya dengan memberi nasehat dengan cara yang baik.

(70)

56

bawah umur di Desa Giyanti adalah pergaulan bebas yang mengakibatkan pihak perempuan hamil terlebih dahulu sehingga diharuskan menikah, kehendak dari pasangan perkawinan dibawah umur atas dasar suka sama suka, dan orang tua yang mendukung hal tersebut.

Faktor lain yang menyebabkan perkawinan dibawah umur adalah adat atau budaya dari salah satu pengantin. Misalnya dari pasangan Angga Satria dan Icuk Dian Marsela, pihak laki-laki berasal dari daerah Pakis Kabupaten Magelang yang disebut juga daerah Gunung yang mempunyai adat bahwa menikah harus tepat jam, hari, dan tanggalnya sehingga mereka memilih menikah sirri terlebih dahulu. (hasil wawancara dengan Tokoh Agama yang menikahkan Sirri Bapak Sumantri Ilyas) 3. Proses Pelaksanaan Perkawinan Dibawah Umur di Desa Giyanti

Gambar

Tabel 3.1. Jenis Tanah Desa/Kelurahan
Table 3.3. Mata Pencaharian Pokok Penduduk
Tabel 3.5 Pemeluk Agama Desa Giyanti

Referensi

Dokumen terkait

Tidak terdapat penyedia yang meminta penjelasan terhadap dokumen pengadaan paket pekerjaan Pengadaan Bekal Kantor/ATK Polres Tabanan Tahun Anggaran 2016 dan telah

Zahara Idris mengemukakan Pendidikan Nasional sebagai suatu sistem adalah karya manusia yang terdiri dari komponen-komponen yang mempunyai hubungan fungsional dalam rangka

[r]

Manungsa urip ing alam ndonya mesthi akeh sing kepincut karo gumebyare donya, mula ora mokal yen manungsa kadunungan sipat srakah. Sipat srakah kuwi mujudake

Sumber : Data Primer diolah, 2019 Pada tabel di atas menunjukkan bahwa pemilihan faktor yang lebih urgen dari matriks SWOT analisis lingkungan internal faktor kekuatan

Downloaded from http://pak-anang.blogspot.com... Downloaded

Menurut hasil analisis kegiatan Marketing Public Relations berdasarkan dimensi kegiatan sosial yang keefektivitasannya dilihat dari kegiatan sosial yang dilakukan Yamaha

signifikan antara pendekatan saintifik terhadap hasil belajar siswa di MTs.. Negeri se Kabupaten Trenggalek yang ditunjukkan dari t hitung > t tabel