• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PEMBAHASAN A. Kewenangan KOMNAS HAM dalam Penyelesaian Pelanggaran HAM yang Berat di Indonesia ditinjau dari Undang-Undang Nomor 26 Tahun

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB III PEMBAHASAN A. Kewenangan KOMNAS HAM dalam Penyelesaian Pelanggaran HAM yang Berat di Indonesia ditinjau dari Undang-Undang Nomor 26 Tahun"

Copied!
59
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III PEMBAHASAN

A. Kewenangan KOMNAS HAM dalam Penyelesaian Pelanggaran HAM yang Berat di Indonesia ditinjau dari Undang-Undang Nomor 26 Tahun

2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

1. Kewenangan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, dilahirkan di muka bumi disertai hak dasar yang melekat dalam dirinya.Hak yang bersifat dasar atau asasi ini kemudian dikenal dengan hak asasi manusia (selanjutnya disebut HAM).Hak-hak yang melekat pada manusia seperti hak hidup dan hak lainnya wajib dihormati (to respect), dilindungi (to protect), dan dipenuhi (to fullfil) oleh Negara, karena Negara sebagai pemangku kewajiban HAM.Hal ini senada dengan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945,

“perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah”.

Upaya-upaya untuk menegakkan, melindungi, dan memenuhi HAM, supaya tidak terjadi adanyapelanggaran HAM maka diperlukan suatu instrumen hukum untuk mengatur segala hal yang berkaitan dengan HAM.

Instrumen hukum yang menjamin perwujudan dan keberlangsungan HAM di Negara Indonesia. Selain adanya aturan yang menjamin perlindungan HAM, diperlukan pula sebuah lembaganasional yang melindungi hak-hak masyarakat. Pembentukan lembaga nasional ini sebagai salah satu mekanisme pemajuan atau perlindungan HAM.

Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (Office of the United Nation High Commissioner for Human Rights, selanjutnya disebut OHCHR) mendefinisikan Lembaga Nasional Hak Asasi Manusia atau National Human Rights Institutions (NHRI) sebagai organ

(2)

Negara dengan mandat dari konstitusi dan atau undang-undang berfungsi untuk melindungi dan memajukan HAM, yang mana lembaga ini merupakan bagian dari aparatur negara dan yang didanai oleh (anggaran) negara.

Pembentukan Komnas HAM sebagai lembaga nasional HAM terjadi ketika jatuhnya rezim Orde Baru.

“The fall of the authoritarian New Order regime triggered a wave of law reform including in the area of human rights. These reforms were driven both by political necessity and international pressure. This section will described the main changes to human rights framework, particularly where these changes concern redress for past human rights violations and the role of Komnas HAM” (Ken Setiawan, 2018:

2).

Komnas HAM dibentuk karena adanya tekanan internasional (Konferensi Dunia Hak Asasi Manusia di Jeneva) maupun nasional (oleh berbagai organisasi non pemerintah, fragmentasi di kalangan elit) dan tragedi Santa Cruz di Timor Leste (Rhona K.M. Smith, dkk, 2010: 285). Hal-hal tersebut yang menjadi faktor pembentukan Komnas HAM. Dalam lima tahun pertama sejak dibentuknya Komnas HAM, hidup dibawah rezim otoriter, represif, dan menekan HAM. Sehingga, Komnas HAM terlihat hanya sebagai pajangan belaka daripada lembaga pemajuan dan perlindungan HAM yang kredibel, independen, dan berintegritas (Enny Soeprapto, 2001: 3).

Masyarakat pun menaruh keraguan dikarenakan komisi ini dibentuk pada rezim Orde Baru.

Lembaga Nasional HAM ini berpedoman pada Prinsip-Prinsip Paris 1991 (Paris Principle 1991) selanjutnya disebut Prinsip Paris dalam mewujudkan norma HAM di tingkat nasional. Prinsip-Prinsip Paris diakui sebagai standar minimum internasional untuk memberikan panduan pada negara-negara dalam pembentukan lembaga HAM di tingkat nasional yang efektif dan independen.

Komnas HAM lahir pada 07 Juni 1993 di rezim Orde Baru dibawah kepemimpinan The Smilling General (julukan untuk Soeharto) melalui Keppres Nomor 50 Tahun 1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.

Pasal 1 menyatakan, “Dalam rangka meningkatkan pelaksanaan hak asasi

(3)

manusia di Indonesia, dibentuk suatu komisi yang bersifat nasional dan diberi nama Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, yang selanjutnya dalam Keputusan Presiden ini disebut Komisi Nasional”.

Kewajiban negara Indonesia sebagaimana disebutkan dalam Pasal 28I UUD 1945 yakni untuk melakukan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM diimplementasikan dengan membentuk lembaga nasional HAM yaitu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut Komnas HAM) yang dibentuk berdasarkan Keppres Nomor 50 Tahun 1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.

Komnas HAM sebagai lembaga independen yang sejajar dengan lembaga negara lainnya, dalam ranah internasional tidak bisa berbicara atas nama pemerintahannya, statusnya berbeda dengan status pemerintah maupun organisasi non pemerintah (Rhona, Christian, dkk, 2008: 283). Prinsip Paris menyebutkan lembaga nasional HAM minimal melaksanakan fungsi (UNDP- OHCHR, 2010: 1):

a. Fungsi perlindungan HAM, termasuk didalamnya untuk melakukan penerimaan, penyelidikan dan penyelesaian terkait suatu pengaduan sengketa (pelanggaran HAM), serta melakukan mediasi terkait adanya sengketa (pelanggaran HAM) dan melakukan pemantauan terhadap aktivitas yang diduga terjadi adanya pelanggaran HAM; dan

b. Fungsi pemajuan HAM, termasuk didalamnya untuk melakukan kegiatan pendidikan HAM dan penyuluhan HAM, serta melakukan pengelolaan media dan publikasi bersubstansi HAM, dan juga melakukan pelatihan dan peningkatan kapasitas bagi aparatur negara (serta warga negara lain) agar peka dan sensitive terhadap HAM, dan dengan memberikan nasehat/

rekomendasi dan atau membantu pemerintah dalam memperbaiki struktur kebijakan (peraturan perundang-undangan) agar memiliki perspektif HAM.

Prinsip Paris menetapkan kriteria yang harus dipenuhi dalam

pembentukan lembaga naisonal HAM, yaitu

(4)

(https://nhri.ohchr.org/EN/AboutUs/Pages/ParisPrinciples.aspx, diakses pada 8 September 2019 pukul 04.09 WIB):

a. Mandat dan kompetensi, mandat luas berdasarkan norma dan standar universal HAM;

b. Otonomi dari Pemerintah;

c. Independensi dijamin oleh undang-undang dan konstitusi;

d. Kemajemukan/ pluralism;

e. Sumber daya yang memadai; dan f. Kemampuan investigasi yang memadai.

Komnas HAM lahir pada 07 Juni 1993 di rezim Orde Baru dibawah kepemimpinan Soeharto melalui Keppres Nomor 50 Tahun 1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Keppres tersebut merupakan tindak lanjut dari rekomendasi Lokakarya tentang HAM yang diprakarsai oleh Departemen Luar Negeri Republik Indonesia pada tanggal 22 Januari 1991 di Jakarta. Tujuan pembentukan Komnas HAM berdasarkan Keppres tersebut adalah:

a. membantu pengembangan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia;

b. meningkatkan perlindungan hak asasi manusia guna mendukung terwujudnya tujuan pembangunan nasional yaitu pembangunan Manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya.

Kedudukan Komnas HAM diperkuat kembali dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut UU HAM). Tujuan Komnas HAM dalam UU ini tidak jauh berbeda dengan Keppres Nomor 50 Tahun 1993, tujuan yang tercantum dalam Pasal 75 UU HAM sebagai berikut:

a. mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan

(5)

Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia; dan

b. meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuannya berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.

Untuk mewujudkan tujuan tersebut, Komnas HAMharus melakukan fungsinya yang tertuang dalam Pasal 76 ayat (1) jo. Pasal 89 UU HAM.

Empat fungsi tersebut ialah pengkajian dan penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi. Berdasarkan fungsi yang dimilikinya, Komnas HAM memiliki tugas dan wewenang sebagai berikut:

a. Fungsi Pengkajian dan Penelitian

(1) pengkajian dan penelitian berbagai instrumen internasional hak asasi manusia dengan tujuan memberikan saran-saran mengenai kemungkinan aksesi dan atau ratifikasi;

(2) pengkajian dan penelitian berbagai peratuan perundang-undangan untuk memberikan rekomendasi mengenai pembentukan, perubahan, dan pencabutan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hak asasi manusia;

(3) penerbitan hasil pengkajian dan penelitian;

(4) studi kepustakaan, studi lapangan dan studi banding di negara lain mengenai hak asasi manusia;

(5) pembahasan berbagai masalah yang berkaitan dengan perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia; dan

(6) kerjasama pengkajian dan penelitian dengan organisasi, lembaga atau pihak lainnya, baik tingkat nasional, regional, meupun internasional dalam bidang hak asasi manusia.

b. Fungsi Penyuluhan

(1) penyebarluasan wawasan mengenai hak asasi manusia kepada masyarakat Indonesia;

(6)

(2) upaya peningkatan kesadaran masyarakat tentang hak asasi manusia melalui lembaga pendidikan formal dan non-formal serta berbagai kalangan lainnya; dan

(3) kerjasama dengan organisasi, lembaga atau pihak lainnya, baik di tingkat nasional, regional, maupun internasional dalam bidang hak asasi manusia.

c. Fungsi Pemantauan

(1) pengamatan pelaksanaan hak asasi manusia dan penyusunan laporan hasil pengamatan tersebut;

(2) penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran hak asasi manusia;

(3) pemanggilan kepada pihak pengadu atau korban maupun pihak yang dilakukan untuk dimintai dan didengar keterangannya;

(4) pemanggilan saksi untuk diminta didengar kesaksiannya, dan kepada saksi pengadu diminta menyerahkan bukti yang diperlukan;

(5) peninjauan di tempat kejadian dan tempat kejadian dan tempat lainnya yang dianggap perlu;

(6) pemanggilan terhadap pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya dengan persetujuan Ketua Pengadilan;

(7) pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan, dan tempat-tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu dengan persetujuan Ketua Pengadilan; dan

(8) pemberian pendapat berdasarkan persetujuan Ketua Pengadilan terhadap perkara tertentu yang sedang dalam proses peradilan, bilamana dalam perkara tersebut terdapat pelanggaran hak asasi manusia dalam masalah publik dan acara pemeriksaan oleh pengadilan yang kemudian pendapat Komnas HAM tersebut wajib diberitahukan oleh hakim kepada para pihak.

(7)

d. Fungsi Mediasi

(1) perdamaian kedua belah pihak;

(2) penyelesaian perkara melalui cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan penilaian ahli;

(3) pemberian saran kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan;

(4) penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada Pemerintah untuk ditindaklanjuti penyelesaiannya;

dan

(5) penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk ditindaklanjuti.

Masyarakat dapat melakukan pengaduan atas pelanggaran HAM yang terjadi kepada Komnas HAM. Pengaduan yang dilakukan oleh masyarakat dapat disampaikan ke Komnas HAM dengan cara: tatap muka atau datang langsung ke Kantor Komnas HAM, telepon, faksimili, surat elektronik, surat ke Komnas HAM atau Perwakilan Komnas HAM, dan audiensi. Pelaksanaan pengaduan ini untuk menampung peristiwa yang telah, sedang atau diduga sebagai pelanggaran hak asasi manusia.Pengaduan diatur Pasal 90 dan 91 UU HAM.

Pembentukan Komnas HAM merupakansalah satu langkah dalam pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia. Kewenangan yang diamanahkan oleh undang-undang kepada Komnas HAM diharapkan dapat meminimalisir terjadinya pelanggaran HAM. Klasifikasi HAM yang perlu dilindungi diatur di BAB III Pasal 9 sampai Pasal 66 UU HAM, diantaranya:

hak untuk hidup, hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak atas kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak turut serta dalam pemerintahan, hak wanita, dan hak anak.

(8)

Pelanggaran HAM harus dihilangkan dari muka bumi, karena adanya pelanggaran HAM merupakan bentuk pengkhianatan atas martabat manusia.

Pelanggaran HAM melukai nilai-nilai kemanusiaan yang ada dalam kehidupan bermasyarakat. Banyak pihak yang dirugikan atas pelanggaran yang terjadi, bahkan pihak yang tidak bersalah dapat mengalami kerugian pula. Maka UU HAM juga mengatur hak-hak yang harus diterima oleh para korban. Pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia selain klasifikasi yang tercantum dalam Pasal 9 hingga Pasal 66 UU HAM, ada pula pelanggaran HAM yang berat yang perlu diselesaikan oleh Komnas HAM. Sebagaimana diatur dalam Pasal 104 ayat (1) UU HAM yang berbunyi, “untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia yang berat dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia di lingkungan Peradilan Umum”.

Langkah pemerintah (BJ Habibie) dalam penyelesaian pelanggaran HAM yang berat yakni pada tanggal 8 Oktober 1999 ditetapkan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Namun, Perppu tersebut dinilai tidak memadai dan masih ditemui beberapa kelemahan, sehingga tidak disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).Perppu tersebut kemudian dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disebut UU Pengadilan HAM.

Pelanggaran HAM yang berat yang dimaksud dalam UU Pengadilan HAM terdiri atas kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Kejahatan genosida tertuang dalam Pasal 8 yang berbunyi,

“setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk mengahancurkan atau merumuskan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara membunuh anggota kelompok, mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok, menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya, memaksakan tindakan- tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau memindahkan secara paksa anak-anak dan kelompok tertentu ke kelompok lain”.

(9)

Pasal 9 menjelaskan kejahatan terhadap kemanusiaan yang berbunyi,

“salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dan serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:

pembunnuhan; pemusnahan; perbudakan; pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;

penyiksaan; perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara; penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alas an lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional; penghilangan orang secara paksa; atau kejahatan apartheid”.

Pelanggaran HAM yang berat sebagai extra ordinary crimes memerlukan instrumen hukum dan penyelesaian yang berbeda dari ordinary crimes. Pelanggaran HAM yang berat bukan tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), serta tidak dapat diselesaikan melalui pengadilan umum, sehingga perlu dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia. Hukum acara yang digunakan dalam penyelesaian pelanggaran HAM yang berat adalah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 10 UU Pengadilan HAM yang berbunyi, “dalam hal tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini, hukum acara atas perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana”. KUHAP sendiri diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP).

Hukum acara dalam UU Pengadilan HAM hanya mengacu pada pasal 10, dan ketentuannya diatur dalam Bab IV tentang Hukum Acara yakni Pasal 10 hingga Pasal 44, Pasal 46 dan Pasal 49. Sedangkan untuk ketentuan yang tidak diatur dalam UU Pengadilan HAM, akan menggunakan ketentuan dalam KUHAP. Dampak KUHAP sebagai pelengkap dalam hukum acara

(10)

pengadilan HAM tidak memiliki karakter khusus dari pelanggaran HAM yang berat (Nurrahaman Aji Utomo, 2018: 3).

Ketiadaan hukum acara yang khusus menjadi kendala pula dalam proses penyelesaian pelanggaran HAM yang berat. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumya, bahwa pelanggaran HAM yang berat membutuhkan hukum acara khusus, namun sayangnya belum ada ketentuan tersebut. Pasal 10 UU Pengadilan HAM yang pada intinya menjelaskan bahwa hukum acara atas pelanggaran HAM yang berat berdasarkan ketentuan hukum acara pidana yang diatur dalam KUHAP. Namun KUHAP dirancang untuk menangani pelanggaran HAM biasa, sedangkan pelanggaran HAM yang berat bukan tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Upaya khusus yang diperlukan diatur dalam UU Pengadilan dan dalam penjelasan UU Pengadilan HAM sebagai berikut:

a. Diperlukan penyelidik dengan membentuk tim ad hoc, penyidik ad hoc, penuntut umum ad hoc dan hakim ad hoc (Pasal 18 – 33);

b. Diperlukan penegasan bahwa penyelidikan hanya dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sedangkan penyidik tidak berwenang menerima laporan atau pengaduan sebagaimana diatur dalam KUHAP (Pasal 18);

c. Diperlukan ketentuan mengenai tenggang waktu tertentu untuk melakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan (Pasal 22, 24, 31, 32, 33);

d. Diperlukan ketentuan mengenai perlindungan korban dan saksi (Pasal 34);

e. Diperlukan ketentuan yang menegaskan tidak ada kadaluarsa bagi pelanggaran HAM yang berat (Pasal 46).

Ketentuan mengenai pihak-pihak beserta kewenangannya dalam hukum acara penyelesaian pelanggaran HAM yang berat telah diatur dalam UU Pengadilan HAM yang berdasarkan hukum acara pidana. Namun, dalam ketentuan pada KUHAP dengan UU Pengadilan HAM terdapat perbedaan sebagai berikut:

(11)

Kewenangan Lembaga Hukum dalam Hukum Acara Penegakan HAM Tabel 1

Kewenangan KUHAP UU Pengadilan HAM

Penyelidik Pejabat Polri (Pasal 1 angka 4)

Komnas HAM (Pasal 18 ayat (1))

Penyidik

Pejabat Polri atau Pejabat PNS tertentu (Pasal 1 angka 1)

Jaksa Agung (Pasal 21 ayat (1))

Penuntut Umum Jaksa (Pasal 1 angka 6) Jaksa Agung (Pasal 12 ayat (1))

Sumber: KUHAP dan UU Pengadilan HAM

Berdasarkan UU Pengadilan HAM, Komnas HAM memperoleh amanah untuk melakukan penyelidikan atau dalam hal ini sebagai penyelidik.

Penyelidikan ini pun sejalan dengan fungsi dari Komnas HAM yang tercantum dalam Pasal 89 ayat (3) huruf c UU HAM, “penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran hak asasi manusia”. Kewenangan penyelidikan merupakan penguatan kewenangan yang telah diberikan sebelumnya kepada Komnas HAM pada UU HAM.

Definisi penyelidikan dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (5) UU Pengadilan HAM, “penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan ada tidaknya suatu peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat guna ditindaklanjuti dengan penyidikan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang- undang ini”. Pelaksanaan dari penyelidikan tersebut dilaksanakan oleh Komnas HAM sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 18 ayat (1) yang berbunyi, “Penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia”. Ketentuan tersebut secara tegas menentukan Komnas HAM sebagai penyelidik. Dikarenakan Komnas HAM merupakan sebuah lembaga negara, sehingga dalam

(12)

pelaksanaan penyelidikan kasus pelanggaran HAM yang berat melalui alat perlengkapannya atau anggotanya.

Perumusan Komnas HAM sebagai penyelidik sebagaimana disebut dalam Pasal 18 ayat (1), berbeda dengan perumusan penyelidik sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 angka 4 KUHAP yang menyebutkan bahwa

“penyelidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan”.

Ketentuan ini tidak menentukan bahwa penyelidik adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia, yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai lembaga negara (R. Wiyono, S.H., 2013: 29).

Implikasi dari perumusan penyelidik dalam Pasal 18 ayat (1), secara formal setiap anggota Komnas HAM tidak dapat demikian saja bertindak sebagai penyelidik dengan menggunakan wewenangnya yang tertuang dalam Pasal 19 ayat (1) UU Pengadilan HAM. Anggota Komnas HAM secara formal boleh melaksanakan penyelidikan setelah mendapat surat perintah dari Ketua Komnas HAM atau pejabat yang ditunjuk. Surat ini bukan sekedar kelengkapan administratif saja, tetapi merupakan syarat mutlak agar penyelidikan yang dilakukan oleh Anggota Komnas HAM adalah penyelidikan yang sah. Berbeda dengan penyelidikan yang dilakukan oleh pejabat Polisi Negara Republik Indonesia (Polri), meskipun tidak mendapat surat perintah dari kepalanya, penyelidikan yang dilakukan oleh pejabat Polri adalah penyelidikan yang sah (R. Wiyono, S.H., 2013:30).

Kewenangan penyelidikan dalam Pasal 19 UU Pengadilan HAM dimaksudkan sebagai rangkaian tindakan Komnas HAM dalam lingkup proyustisia. Penyelidikan proyustisia dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (20) Peraturan Komnas HAM Nomor 002/Komnas HAM/IX/2011 tentang Prosedur Pelaksanaan Penyelidikan Proyustisia Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat, adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan ada atau tidaknya suatu peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat guna ditindaklanjuti dengan penyidikan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU Pengadilan HAM.

(13)

Berikut adalah ketentuan yang dilakukan oleh Komnas HAM dalam melaksanakan kewenangannya sebagai penyelidik (UU Pengadilan HAM):

Pasal 19

(1) Dalam melaksanakan penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, penyelidik berwenang:

a. Melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran hak asasi manusia yang berat;

b. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang atau kelompok orang tentang terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat, serta mencari keterangan dan barang bukti;

c. Memanggil pihak pengadu, korban, atau pihak yang diadukan untuk diminta dan didengar keterangannya;

d. Memanggil saksi untuk diminta dan didengar kesaksiannya;

e. Meninjau dan mengumpulkan keterangan di tempat kejadian dan tempat lainnya yang dianggap perlu;

f. Memanggil pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya;

g. Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa:

1) Pemeriksaan surat;

2) Penggeledahan dan penyitaan;

3) Pemeriksaan setempat terhadap rumah, perkarangan, bangunan, dan tempat-tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu;

4) Mendatangkan ahli dalam hubungan dengan penyelidikan.

(2) Dalam hal penyelidik mulai melakukan penyelidikan suatu peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat penyelidik memberitahukan hal itu kepada penyidik.

Komnas HAM memiliki kewenangan untuk menyelidiki dan memeriksa apabila terjadi suatu peristiwa yang diduga sebagai pelanggaran

(14)

HAM yang berat, sebagaimana klasifikasi jenis pelanggaran yang ditentukan Pasal 8 dan Pasal 9 yakni kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Penyelidikan dapat dilakukan atas laporan, pengaduan, maupun inisiatif Komnas HAM dalam melihat peristiwa yang terjadi. Frasa

“menerima” dalam Pasal 19 ayat (1) huruf b adalah menerima, mendaftar, dan mencatat laporan atau pengaduan tentang telah terjadinya pelanggaran HAM yang berat, dan dapat dilengkapi dengan barang bukti oleh pihak (seseorang/

kelompok) yang melakukan laporan atau pengaduan.

Kewenangan penyelidikan dalam UU Pengadilan HAM terdapat keterkaitan dengan beberapa kewenangan Komnas HAM di UU HAM yaitu pemantauan, antara lain dalam Pasal 89 ayat (3) huruf c, d, f, dan g. Adapun ketentuan dalam Pasal 19 ayat (1) huruf c, d, dan f UU Pengadilan HAM memiliki kesamaan dengan ketentuan dalam Pasal 89 ayat (3) huruf c dan d UU HAM, maka apabila terdapat panggilan dari penyelidik yang tidak dipenuhi oleh pihak pengadu, korban, pihak yang diadukan atau saksi, maka penyelidik dapat meminta bantuan kepada Ketua Pengadilan Negeri agar dapat mengeluarkan penetapan yang memerintahkan pihak pengadu, korban, pihak yang diadukan atau saksi dibawa ke penyelidik oleh pihak yang berwajib (R. Wiyono, S.H., 2013: 37).

Komnas HAM dalam proses penyelidikan memiliki kewenangan subpoena. Menurut Denny JA, istilah subpoena merujuk kepada hak yang dimiliki pengadilan. Demi mengungkapkan kebenaran, menghukum pembuat kriminal dan menegakkan keadilan, pengadilan diberikan hak subpoena, hak pemaksa. Seorang saksi yang menolak memberikan keterangan dapat dikirimkan ke penjara (Denny JA, 2006: 199). Kewenangan subpoena ini ditegaskan dalam Pasal 95 UU HAM, “apabila seseorang yang dipanggil tidak datang menghadap atau menolak memberikan keterangannya, Komnas HAM dapat meminta bantuan Ketua Pengadilan untuk pemenuhan panggilan secara paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Maksud dari “atas perintah penyidik” Pasal 19 ayat (1) huruf g, adalah perintah tertulis yang dikeluarkan oleh penyidik atas permintaan penyelidik

(15)

dan penyidik segera mengeluarkan surat perintah setelah menerima permintaan dari penyelidik.

Ketentuan penyelidikan oleh Komnas HAM selanjutnya diatur pada pasal sebagai berikut:

Pasal 20

(1) Dalam hal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berpendapat bahwa terdapat bukti permulaan yang cukup telah terjadi peristiwa pelanggaran hak asasi manusai yang berat, maka kesimpulan hasil penyelidikan disampaikan kepada penyidik.

(2) Paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah kesimpulan hasil penyelidikan disampaikan, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyerahkan seluruh hasil penyelidikan kepada penyidik.

(3) Dalam hal penyidik berpendapat bahwa hasil penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) masih kurang lengkap, penyidik segera mengembalikan hasil penyelidikan tersebut kepada penyelidik disertai petunjuk untuk dilengkapi dan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterimanya hasil penyelidikan, penyelidik wajib melengkapi kekurangan tersebut.

Maksud dari “bukti permulaan yang cukup” dalam penjelasan umum Pasal 20 ayat (1) di atas adalah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana bahwa seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku pelanggaran HAM yang berat. Sedangkan dalam Pasal 17 KUHAP menyebutkan bahwa bukti permulaan yang cukup, syarat minimal yakni laporan polisi ditambah salah satu alat bukti. Bukti permulaan yang cukup digunakan untuk kepentingan penyelidikan (Pasal 16 ayat (1) KUHAP), dalam artian bahwa penyelidikan yang dilakukan belum selesai, bahkan mungkin penyelidikannya baru mulai.

Sedangkan bukti permulaan yang cukup dalam Pasal 20 ayat (1) UU Pengadilan HAM adalah bukti permulaan sesudah penyelidikan selesai. Bukti permulaan yang cukup dalam pasal tersebut menurut Komnas HAM adalah

(16)

sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah seperti yang dimaksud dalam Pasal 183 KUHAP. (R. Wiyono, S.H., 2013: 40-41).

Frasa “kurang lengkap” pada Pasal 20 ayat (3) dalam penjelasan umum dinyatakan belum cukup memenuhi unsur pelanggaran HAM yang berat untuk dilanjutkan ke tahap penyidikan. Terkait pasal tersebut, Paian Siahaan dan Yati Ruyati mengajukan uji meteriil kepada Mahkamah Konstitusi. Pihak pemohon yang merupakan keluarga korban dari kasus penghilangan secara paksa tahun 1997/1998 dan kerusuhan Mei 1998, berpendapat bahwa ketentuan pada Pasal 20 ayat (3) menimbulkan multitafsir dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H, Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Namun pada akhirnya, pada Putusan MK Nomor 75/PUU- XIII/2015 menyatakan permohonan tersebut ditolak.

Kewenangan penyelidikan Komnas HAM dalam UU Pengadilan HAM diatur lebih lanjut dalam Peraturan Komnas HAM Nomor 002/Komnas HAM/IX/2011 tentang Prosedur Pelaksanaan Penyelidikan Proyustisia Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat. Hal ini sebagai upaya untuk kelancaran dan dalam pelaksanaan kewenangan penyelidikan proyustisia pelanggaran HAM yang berat.

Kewenangan subpoena Komnas HAM diatur pula dalam peraturan tersebut. Pasal 1 ayat (24) menjelaskan,

“pemanggilan paksa (subpoena) adalah pemanggilan terhadap seseorang yang dilakukan secara paksa dengan bantuan Ketua Pengadilan, dikarenakan seseorang tersebut tidak memenuhi pemanggilan Komnas HAM setelah dilakukan pemanggilan secara layak menurut ketentuan perundang-undangan”.

Namun, catatanuntuk UU HAM dan UU Pengadilan HAM terkait pemanggilan saksi, pihak pengadu, korban, maupun pihak yang diadukan,tidak ada ketentuan sanksi yang diberikan kepada pihak-pihak tersebutapabilatidak memenuhi panggilan.

(17)

2. Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat di Indonesia oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)

Peristiwa pelanggaran HAM yang berat merupakan salah satu problematika di negara Indonesia bahkan dunia yang harus segera diselesaikan.Indonesia sendiri telah mengatur mekanisme penyelesaiannya dalam peraturan perundang-undangan. Proses penyelesaiannya melibatkan beberapa lembaga negara yang diberi kewenangan oleh undang-undang.

Salah satu lembaga tersebut adalah Komnas HAM sebagai lembaga independen dengan fungsi pengkajian dan penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi HAM. Selain fungsi tersebut, Komnas HAM diberi amanah untuk melakukan penyelidikan atas pelanggaran HAM yang berat sebagaimana disebutkan dalam UU Pengadilan HAM.

Sejak diundangkannya UU Pengadilan HAM, berbagai peristiwa di Indonesia kemudian diklasifikasikan ke dalam jenis pelanggaran HAM yang berat untuk dilakukan penyelesaian melalui Pengadilan HAM. Sedangkan mekanisme untuk pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya UU Pengadilan HAM akan diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc yang dibentuk atas usul (rekomendasi) DPR RI berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden (Keppres).

Pelanggaran HAM yang berat bersifat tidak mengenal kadaluarsa, sehingga pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya UU Pengadilan HAM, dapat diproses penyelesaiannya oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (selanjutnya disebut KKR). Namun undang-undang yang mengatur mengenai KKR yaitu Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (selanjutnya disebut UU KKR) dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat yang diselidiki oleh Komnas HAM, baik sebelum maupun pasca diundangkannya UU Pengadilan HAM, sebagai berikut (Komnas HAM, 2019: 79-84):

(18)

Kasus-Kasus Pelanggaran HAM yang Berat Tabel 2

No. Kasus Tahun Keterangan

1 Tragedi 1965-1966 1965-1966 Belum Penyidikan 2 Penembakan Misterius 1982-1985 Belum Penyidikan

3 Tanjung Priok 1984 Sudah diputus Pengadilan HAM ad hoc

4 Talangsari 1989 Belum Penyidikan

5

Peristiwa Rumah Geudong dan Pos Sattis Lainnya

1989-1998 Belum Penyidikan

6 Penghilangan Orang

Secara Paksa 1997-1998 Belum Penyidikan 7 Trisakti, Semanggi I dan

Semanggi II 1998 Belum penyidikan

8 Kerusuhan Mei 1998 1998 Belum Penyidikan

9

Dukun Santet, Ninja, Orang Gila di Jawa Timur

1998-1999 Belum Penyidikan

10 Timor-Timur 1999 Sudah diputus Pengadilan HAM ad hoc

11 Irian/ Papua (Abepura) 2000 Sudah diputus Pengadilan HAM

12 Wasior-Wamena

Wasior:

2001- 2002 Wamena:

2003

Belum Penyidikan

13 Kasus Paniai 7 dan 8 Laporan kegiatan, belum

(19)

Desember 2014

substansi penyelidikan

Sumber: Laporan Tahunan Komnas HAM Tahun 2018

Berdasarkan tabel di atas, penyelidikan telah dilakukan Komnas HAM, tiga dari 12 (dua belas) kasus dilakukan penyidikan oleh Kejaksaan Agung dan diperiksa serta diputus di pengadilan HAM ad hoc dan Pengadilan HAM. Pertama, pada kasus Timor-Timur 1999 satu terdakwa dinyatakan bersalah. Kedua, kasus Tanjung Priok 1984, semua terdakwa dinyatakan bebas. Ketiga, kasus peristiwa Irian/ Papua 2000 (Abepura 2000), dua terdakwa yaitu Drs. Daud Sihombing dan Brigjen. Johny Wainal Usman dinyatakan bebas (Firdiansyah, 2016: 4). Kasus lainnya yang belum disidik Kejaksaan Agung oleh Komnas HAM berkas penyelidikan dikirim kembali kepada Kejaksaan Agung. Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara Anam meminta Kejaksaan Agung (Kejagung) menindaklanjuti 9 berkas kasus kejahatan HAM di masa lalu yang dikirimkan pada 27 Desember 2018 (https://nasional.kompas.com/read/2019/01/10/21130291/penyelidikan-di- komnas-ham-selesai-kejagung-harus-lanjutkan-penyidikan-9., diakses pada 22 Juli 2019 pukul 04.03 WIB).

Komnas HAM melakukan penyelidikan proyustisia Aceh terdiri dari peristiwa Rumah Geudong dan Pos Sattis Lainnya serta peristiwa Timang Gajah-Bener Meriah; penyelidikan proyustisia kasus Dukun Santet, Ninja, Orang Gila di Jawa Timur 1998-1999. Selanjutnya penyelidikan kasus pelanggaran HAM masa lalu yang terdiri dari Kerusuhan Mei 1998; Trisakti, Semanggi I dan II; Penghilangan Orang secara Paksa; Talangsari;

Penembakan Misterius; dan Tragedi 1965-1966. Penyelidikan lainnya adalah penyelidikan pelanggaran HAM yang berat di Papua yang terdiri dari peristiwa Wamena 2002, Peristiwa Wasior 2003 dan Peristiwa Paniai 2014 (Komnas HAM, 2019: 79-84).

Komnas HAM sedang dalam proses penyelidikan dan telah membentuk Tim ad hoc Paniai,diduga kemungkinan adanya pelanggaran

(20)

HAM yang berat pada Peristiwa Kekerasan di Paniai tanggal 7 dan 8 Desember 2014 (Komnas HAM, 2019: 84). Terkait kasus ini, sementara Tim ad hoc Paniai masih dalam laporan awal berupa laporan kegiatan, belum masuk pada substansi penyelidikan.

Praktik atas kewenangan penyelidikan oleh Komnas HAM menghadapai berbagai kendala, salah satu penyebabnya adalah UU Pengadilan HAM masih memiliki kelemahan dan kerancuan, sehingga pada penyelidikan tersebut dan praktik lembaga lainnya yang diberi kewenangan oleh UU Pengadilan HAM tidak berjalan efektif. Kendala dalam praktik penyelidikan yang dihadapi Komnas HAM dijabarkan sebagai berikut:

a. Peristiwa Wasior (2001-2002) dan Wamena (2003)

Komnas HAM diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan atas terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat dan ruang lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran HAM yang berat. Peristiwa Wasior dan Wamena ini merupakan peristiwa yang terjadi pasca diundangkannya UU Pengadilan HAM.

Secara singkat, peristiwa Wasior diawali dengan terbunuhnya 5 (lima) anggota Brimob dan seorang warga sipil di Desa Wondoboi, Distrik Wasior pada 13 Juni 2001. Menanggapi peristiwa tersebut Polres Manokwari melakukan pencarian pelaku dan pengejaran. Dalam pengejaran tersebut terjadi tindak kekerasan terhadap penduduk sipil yang dicurigai sebagai pelaku. Para penduduk sipil yang dicurigai tersebut ditahan dan mengalami penyiksaan. Selain itu, dalam proses pengejaran terjadi pembunuhan, penyiksaan, penghilangan secara paksa, dan perkosaan yang dilakukan oleh anggota Polri (Komnas HAM, : 345-346).

Peristiwa Wamena, bermula terjadi pembobolan gudang senjata di Markas Kodim I 1702, Wamena pada 4 April 2003. Saat itu terjadi kontak senjata dan menyebabkan 2 (dua) anggota TNI (Kodim) dan satu orang pembobol meninggal. Atas peristiwa tersebut, dilakukan pengejaran yang menyebabkan penyiksaan, penganiayaan, penembakan, pembunuhan terhadap penduduk sipil serta pembakaran honai (rumah tradisional),

(21)

gereja, poliklinik, dan sekolah yang mengakibatkan terjadinya pengungsian kepindahan penduduk secara terpaksa. Selain itu terjadi perampasan uang, surat-surat berharga, mesin giling kopi, anak panah, mesin ketik, dongkrak, serta kunci-kunci mobil (Komnas HAM, 2014:

347).

Kendala dalam proses penyelidikan kasus Wasior sebagai berikut (Komnas HAM, 2019: 84):

a. Dokumen VeR asli atau rekam medis atau dokumen lain yang terkait dengan korban dalam Peristiwa Wasior yang pernah dirawat di RSUD Manokwari sudah tidak ada di Rumah Sakit (RS), karena sudah dimusnahkan (retensi) atau karena terbakarnya RS tersebut beberapa tahun lalu, atau hilang karena berpindah- pindahnya RS tersebut.

b. Petugas RS yang bertugas sudah ada yang meninggal dan pensiun.

c. Adanya beberapa saksi petunjuk yang masih trauma terhadap peristiwa pelanggaran HAM yang berat di Wasior sehingga belum/tidak bersedia untuk dimintai keterangan.

d. Tempat Kejadian Perkara (TKP) pembunuhan 5 anggota Brimob dan 1 warga sipil telah berubah.

e. Adanya pemekaran wilayah, sehingga menyulitkan penelusuran dokumen yang dibutuhkan.

Kendala sebagaimana disebutkan di atas, berkaitan dengan kewenangan pemanggilan saksi, pasal 18 ayat (1) huruf d. Pasal ini tidak berlaku secara efektif, karena tidak diatur ketentuan sanksi apabila pemanggilan tersebut tidak dipenuhi, dan menyebabkan terhambatya proses penyelesaian pelanggaran HAM yang berat. Hal ini akan berdampak juga pada peristiwa yang lain.

Alasan saksi dalam pemanggilan juga dipertimbangkan, pasal 22 Peraturan Komnas HAM tentang Prosedur Pelaksanaan Penyelidikan Proyustisia Pelanggaran HAM Yang Berat mengatur,

“Apabila saksi yang dipanggil memberikan alasan yang patut dan wajarbahwa yang bersangkutan tidak dapat datang ke tempat pemeriksaan,maka penyelidik dapat melakukan penjadwalan ulang,

(22)

atau datang ketempat kediamannya, atau tempat lain yang telah disepakati untuk melakukan pemeriksaan”.

Kendala pada Peristiwa Wamena, tidak tersedianya informasi terkait peristiwa dan dokumen seperti surat perintah, radiogram/ telegram, laporan periodik pelaksanaan operasi, laporan akhir tahun pelaksanaan, laporan intelijen, dokumen putusan di MA, baik tersangka militer dan sipil, dokumen kematian di kelurahan/ kecamatan, register penahanan korban di Kodim Wamena maupun Polres Wamena serta salinan surat penangkapan dan penahanan yang harus seizin Panglima TNI (Komnas HAM, 2019: 84).

Tim menyurati Kapolri melalui surat No 057/TUA/III/2017 tanggal 31 Maret 2017 perihal permintaan dokumen terkait Peristiwa Wasior, namun belum ada tanggapan. Hambatan dan keterbatasan kewenangan penyelidik dalam UU Pengadilan HAM tersebut telah disampaikan kepada Penyidik dengan harapan bahwa Penyidik yang akan memenuhi kekurangan materiil dan formil berkas Laporan (Komnas HAM, 2019: 84).

b. Peristiwa Trisakti, Semanggi I dan II

Peristiwa ini terjadi menjelang kejatuhan Soeharto, terjadi aksi mahasiswa besar-besaran hampir di seluruh wilayah Indonesia dengan tuntutan perubahan akan pemerintahan yang demokratis serta reformasi total. Demonstrasi mahasiswa itu ditangani dengan pola-pola represif, melalui pembubaran aksi-aksi demonstrasi mahasiswa, penembakan di luar proses hukum, maupun tindakan penganiayaan lainnya. Tragedi terbesar terjadi pada 12 Mei 1998, dimana aparat melakukan penembakan terhadap 4 orang mahasiswa Trisakti, yaitu Elang Mulia Lesmana, Hafidin Royan, Heri Hartanto dan Hendriawan Sie. Sementara korban luka mencapai 681 orang dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Esoknya terjadi kerusuhan massal yang meluluhlantakkan sendi kehidupan rakyat Indonesia, khususnya Jakarta. Berujung pada Soeharto mengundurkan diri sebagai presiden pada 21 Mei 1998.

(23)

Tanggal 8–14 November 1998, kembali terjadi kekerasan terhadap mahasiswa. Mahasiswa berdemonstrasi untuk menolak sidang istimewa yang dinilai inkonstitusional serta meminta presiden untuk mengatasi krisis ekonomi kembali direspon aparat lewat penembakan dengan peluru tajam. Akibatnya 18 orang mahasiswa meninggal, 4 orang diantaranya adalah yaitu Teddy Mardani, Sigit Prasetya, Engkus Kusnadi dan BR Norma Irmawan. Sementara korban yang luka-luka mencapai 109 orang, baik masyarakat maupun mahasiswa.

Rencana pemberlakuan UU Penanggulangan Keadaan Bahaya pada September 1999 kembali mengundang sikap kritis mahasiswa. Aturan yang sedianya akan menggantikan UU Subversif, karena dianggap bersifat otoriter itu dinilai tak jauh berbeda dengan UU Subversif itu sendiri.

Aparat keamanan kembali melakukan penembakan kepada mahasiswa, relawan kemanusiaan, tim medis dan masyarakat yang menimbulkan 11 orang meninggal di seluruh Jakarta, salah satunya adalah Yap Yun Hap di bilangan Semanggi Jakarta. Sementara korban luka-luka mencapai 217 orang

Kendala dalam proses penyelidikan peristiwa ini yaitu tidak dipenuhinya panggilan sejumlah saksi yang berasal dari TNI atau Polri, oleh karenanya KPP menggunakan kewenangan subpoena sebagaimana dijamin dalam Pasal 95 UU HAM dan diperkuat dengan Keputusan Pengadilan Negeri sebagaimana tertuang dalam Surat Pengadilan Negeri/

Hak Asasi Manusia Jakarta Pusat No.W7. Dc.Hn. 628.II.2002.02 tanggal 21 Februari 2002.

Rapat Paripurna DPR RI pada tanggal 9 Juli 2001 menyimpulkan bahwa Peristiwa Trisakti, Peristiwa Semanggi I, Peristiwa Semanggi II merupakan Pelanggaran HAM biasa, dan bukan pelanggaran HAM yang berat. Hal ini berdasarkan Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM dan penjelasannya. Penafsiran yang berbeda antara Komnas HAM dan DPR yang menimbulkan hal ini. Sehingga DPR tidak memberikan rekomendasi pembentukan Pengadilan HAM ad hoc.

(24)

Kendala yang sering terjadi dan dihadapi oleh Komnas HAM adalah bolak balik berkas antara Komans HAM dengan Jaksa Agung. Bolak-balik berkas tersebut terjadi sebanyak 1 (satu) hingga 6 (enam) kali dan telah berlangsung selama 13 (tiga belas) tahun (Nurrahman Aji Utomo, 2019: 2).

Jawaban yang diberikan Jaksa Agung pada setiap pengembalian berkas hampir sama, pola jawaban yang diberikan sebagai berikut:

Pola Jawaban Jaksa Agung dalam Bolak-Balik Berkas Tabel 3

Perbedaan tafsir lingkup kewenangan antara

Penyelidik dengan Penyidik

Kurang lengkap dalam segi teknis administratif (formil)

Di luar belum memenuhi unsur Pelanggaran HAM

yang Berat Sumpah penyelidik ad hoc Sumpah penyelidik ad

hoc

Meminta Komnas HAM melayangkan surat kepada DPR RI untuk

merekomendasikan pembentukan

Pengadilan HAM ad hoc oleh Presiden.

Agar melakukan pemeriksaan terhadap pelaku

Pencantuman frasa

“dibuat atas kekuatan sumpah jabatan” dan

“projustisia” dalam BAP

Melakukan penyitaan terhadap dokumen yang dilegalisir sesuai aslinya

Perbaikan penomoran dalam berita acara;

Perbaikan terhadap BAP.

Petunjuk Jaksa Agung, mengingatkan

rekomendasi DPR RI, bahwa kasus TSS direkomendasikan untuk ditangani oleh Pengadilan

Umum/Militer Penambahan barang bukti

Pemeriksaan ulang terhadap saksi dan ahli

Sumber: Laporan Bagian Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM

(25)

Perbedaan tafsir dan pemahaman akan peran dan kewenangan, melahirkan permasalahan yang justru menjauhkan langkah-langkah penyelesaian pelanggaran HAM yang berat. Seperti permintaan agar penyelidik/penyelidik ad hoc diambil sumpah, dengan tujuan agar setiap berita acara dapat dicantumkan frasa “dibuat atas kekuatan sumpah jabatan”.

Ketentuan dalam UU 26/2000, penyelidik tidak diambil sumpah, pengambilan sumpah diberlakukan untuk penyidik ad hoc, penuntut umum ad hoc dan hakim ad hoc. Termasuk kewenangan untuk melakukan pemeriksaan terhadap pelaku, tidak berada di penyelidik. Wewenang tersebut terpisah dari proses penyelidikan. Bahkan penyelidikan tambahan atas perintah penyidik terbatas pada pemeriksaan surat, penggeledahan dan penyitaan, pemeriksaan setempat, dan mendatangkan ahli. Pemeriksaan pelaku merupakan wewenang Jaksa Agung sebagai penyidik maupun penuntut (Nurrahman Aji Utomo, 2019: 8).

Fenomena bolak balik berkasmenunjukkan kebuntuan mekanisme pelaksanaan praktik Pengadilan HAM. Salah satu penyebab adalah perbedaan tafsir kewenangan antara penyelidik dan penyidik, ditambah dengan kurang lengkap formil administrasi. Padahal kelengkapan unsur merupakan substansi dasar sebuah perkara menjadi yuridiksi pengadilan HAM (Komnas HAM, 2019: 44). Fenomena tersebut, oleh Hakim Konstitusi ketika memutuskan permohonan perihal pengujian UU Pengadilan HAM Pasal 20 ayat (3) beserta penjelasan, memberikan pertimbangan pengembalian berkas dilakukan jika berkenaan dengan ketidakjelasan tindak pidana, cara dilakukannya tindak pidana atau berkaitan dengan bukti-bukti, maksudnya pengembalian berkas dengan alasan yang berkaitan dengan hal substantif yakni unsur pelanggaran HAM yang berat, meskipun permohonan tersebut ditolak sepenuhnya oleh hakim.

Praktik penyelidikan sebagai kewenangan yang dimiliki Komnas HAM menghadapi kendala-kendala sebagaimana dipaparkan di atas dan mengakibatkan kasus-kasus tersebut tidak masuk ke tahap selanjutnya. Secara

(26)

garis besar, kendala-kendala tersebut oleh penulis terbagi menjadi 3 (tiga) sebagai berikut:

a. Yuridis

Kewenangan penyelidikan yang menjadi amanah Komnas HAM dalam UU Pengadilan HAM memiliki kelemahan. Padahal mestinya regulasi HAM ini difungsikan untuk menjamin keadilan pada korban dan ketertiban masyarakat dan dapat didayagunakan sebagai panduan arah

penuntasan pelanggaran HAM di tanah air

(https://gagasanhukum.wordpress.com/?s=membangun+kesadaran+HAM, diakses pada 26 Agustus 2019, pukul 20.06 WIB).

Kelemahan regulasi UU Pengadilan HAM berdampak pada praktik penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM. Berikut analisis kelemahan ketentuan penyelidikan yang diatur UU Pengadilan HAM:

Kelemahan-Kelamahan Undang-Undang Pengadilan HAM Tabel 4

Pasal Bunyi Kelemahan

1 ayat (5)

Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan ada tidaknya suatu peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat guna ditindaklanjuti dengan penyidikan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini.

Sasaran dalam penyelidikan adalah “peristiwa”. Hal ini juga disebutkan dalam Pasal 19 ayat (1) huruf a. Sasaran penyelidikan ini juga ditegaskan dalam ketentuan Pasal 20 ayat (1).

19 ayat (1) huruf a

Melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap

Sasaran dari penyelidikan dalam pasal ini sebagaimana dalam

(27)

peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran hak asasi manusia yang berat.

ketentuan Pasal 1 ayat (5) dan Pasal 20 ayat (1). Namun, sasaran penyelidikan dalam pasal ini dirancukan oleh penjelasan dalam Pasal 20 ayat (1) yakni berkaitan dengan makna “bukti permulaan yang cukup”.

19 ayat (1) huruf c

Memanggil pihak pengadu, korban, atau pihak yang diadukan untuk diminta dan didengar keterangannya

Tidak ada ketentuan sanksi apabila para pihak tidak memenuhi panggilan dari Komnas HAM.

Hal ini akan berdampak pada proses penyelidikan yaitu pengumpulan keterangan dan kesaksian, terlebih tidak terdapat ketentuan pemanggilan paksa bagi penyelidik. Ketentuan pemanggilan paksa tercantum dalam Pasal 95 UU HAM

19 ayat (1) huruf d

Memanggil saksi untuk diminta dan didengar kesaksiannya

19 ayat (1) huruf f

Memanggil pihak terkait

untuk memberikan

keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya

19 ayat (1) huruf g

Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa:

1) Pemeriksaan surat;

2) Penggeledahan dan penyitaan;

3) Pemeriksaan setempat terhadap rumah, perkarangan, bangunan, dan tempat-tempat lainnya

Penjelasan Pasal ini menjelaskan, yang dimaksud dengan “perintah penyidik”

adalah perintah tertulis yang dikeluarkan penyidik atas permintaan penyelidik dan penyidik segera mengeluarkan surat perintah setelah menerima permintaan penyelidik.

(28)

yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu;

4) Mendatangkan ahli dalam hubungan dengan penyelidikan.

Penjelasan ini terdapat kata

“segera” yang tidak memberikan kepastian terkait waktunya.

Ukuran segera tidak ditentukan dalam ketentuan ini, sehingga bisa menjadi kelemahan ketika penyelidik meminta surat perintah tersebut, karena waktunya tidak ditentukan.

Pasal 20 ayat (1)

Dalam hal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berpendapat bahwa terdapat bukti permulaan yang cukup telah terjadi peristiwa pelanggaran hak asasi manusai yang berat, maka

kesimpulan hasil

penyelidikan disampaikan kepada penyidik.

Pasal ini cukup jelas bahwa hal yang harus diperoleh penyelidik adalah bukti permulaan yang cukup tentang terjadinya

“peristiwa” pelanggaran HAM yang berat.

Namun, definisi dan sasaran

“penyelidikan” sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 1 ayat (5), Pasal 19 ayat (1) huruf a, dan Pasal 20 ayat (1) dirancukan oleh enjelasan pada Pasal 20 ayat (1). Kerancuan tersebut pada penjelasan dari

“bukti permulaan yang cukup”

yang bermaksud bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana bahwa seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku

(29)

pelanggaran HAM yang berat.

Penjelasan tersebut menjelaskan bahwaa tujuan penyelidikan adalah menemukan orang yang patut diduga sebagai pelaku pelanggaran HAM yang berat.

Kerancuan ini berlanjut pada penjelasan dalam Pasal 20 ayat (1) ini yang menyatakan bahwa

“Dalam penyelidikan tetap dihormati asas praduga tak bersalah sehingga hasil penyelidikan bersifat tertutup (tidak disebarluaskan) sepanjang menyangkut nama-nama yang diduga melanggar HAM yang berat sesuai dengan ketentuan Pasal 92 UU HAM”.

Kerancuan ini yang menyebabkan adanya perbedaan penafsiran “bukti permulaan yang cukup” antara penyelidik dan penyidik terhadap hasil penyelidikan dari penyelidik.

Penyelidik mengacu pada batang tubuh, yang memiliki kewenangan terbatas pada menemukan ada atau tidaknya suatu peristiwa yang diduga meupakan pelanggaran HAM yang berat, tidak termasuk

(30)

menemukan orang yang diduga sebagai pelaku/ tersangka.

Sedangkan penyidik mengacu pada penjelasan Pasal 20 ayat (1) daripada aturan yang tercantum dalam batang tubuh.

Pasal 20 ayat (3)

Dalam hal penyidik berpendapat bahwa hasil penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) masih kurang lengkap,

penyidik segera

mengembalikan hasil penyelidikan tersebut kepada penyelidik disertai petunjuk untuk dilengkapi dan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterimanya hasil penyelidikan, penyelidik wajib melengkapi kekurangan tersebut.

Maksud frasa “kurang lengkap”

yang dijelaskan dalam penjelasan Pasal, bahwa belum cukup memenuhi unsur pelanggaran HAM yang berat untuk dilanjutkan ke tahap penyidikan. Ketentuan tersebut menimbulkan multitafsir.

Namun, dalam keberjalanannya antara norma dengan praktik tidak sama.

Tidak ada penetapan batas waktu yang jelas atas pengembalian hasil penyelidikan yang kurang lengkap, ketentuan waktunya hanya “segera”, hal ini menandakan Jaksa Agung dapat mengembalikan hasil penyelidikan kapan pun, dan ini berdampak pada proses penyelesaian pelanggaran HAM yang berat.

Pasal 43 ayat (2)

Pengadilan HAM ad hocsebagaimana dimaksud

Tidak adanya ketentuan yang rinci terkait kebijakan DPR

(31)

dalam ayat (1) dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden.

dalam mengusulkan/

memberikan rekomendasi pembentukan Pengadilan HAM ad hoc.

b. Struktur Kelembagaan

Komnas HAM sebagai lembaga negara bersifat constitutional importance, karena setiap negara dalam konstitusi menjamin adanya penegakan dan perlindungan HAM, di mana Komnas HAM mendapat amanah dalam mengawal penegakan dan perlindungan HAM di Indonesia, meskipun keberadaan Komnas HAM tidak tercantum secara eksplisit dalam UUD 1945. Dengan tidak dicantumkannya Komnas HAM dalam konstitusi berdampak pada kekuatan lembaga (Komnas HAM) dalam menjalankan kewenangannya, dalam hal ini praktik penyelidikan pelanggaran HAM yang berat.

Proses penyelesaian pelanggaran HAM yang berat melibatkan beberapa lembaga negara. UU Pengadilan HAM memberikan kewenangan kepada lembaga-lembaga negara yaitu Komnas HAM, Kejaksaan Agung, DPR, dan Presiden. Berdasarkan cara memperoleh kewenangan, lembaga- lembaga tersebut memperoleh kewenangan secara atribusi dari UU Pengadilan HAM.

1) Kejaksaan Agung

Kejaksaan Agung, sebagai penyidik melakukan penyidikan setelah Komnas HAM selesai melakukan penyelidikan terhadap dugaan pelanggaran HAM yang berat dan menyimpulkan bahwa terdapat pelanggaran HAM yang berat, serta menyerahkan laporan penyelidikan tersebut. Permasalahan yang sering timbul antara kedua lembaga ini seperti yang dijelaskan sebelumnya, yaitu bolak-balik berkas.

Hasil penyelidikan yang disampaikan Komnas HAM beberapa masih tertahan di Kejaksaan Agung disebabkan relasi institusional yang

(32)

dikonstruksikan oleh UU Pengadilan HAM antara Komnas HAM sebagai penyelidik dan Kejaksaan Agung sebagai penyidik. Menurut Enny Soeprapto, pemisahan lembaga pelaksana kewenangan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap pelanggaran HAM yang berat sebagaimana dalam UU Pengadilan HAM mengakibatkan ketidaklancaran hubungan antara kedua lembaga yang menjalankan kewenangan tersebut yaitu Komnas HAM dan Kejaksaan Agung.

Ketidaklancaran hubungan ini tidak semata karena pemisahan fisik antara lembaga penyelidik dan penyidik serta penuntutan, melainkan perbedaan persepsi masing-masing lembaga terhadap pelanggaran HAM yang berat (Rommy Putra, 2012: 212).

Penyelidik dan penyidik berada di kelembagaan yangterpisah berpengaruh pada proses penyelesaian pelanggaran HAM yang berat.

Berbeda dengan sistem peradilan pidana, di mana posisi penyelidik dan penyidik pada satu instansi yaitu Kepolisian, sehingga terjadinya permasalahan dalam berkas dapat dipahami sebagai miskomunikasi, tidak sampai perbedaan pemahaman. Sedangkan dalam hal ini, Komnas HAM memiliki wewenang yang mendasar untuk melakukan penyelidikan dan pemeriksaan peristiwa maupun laporan atau pengaduan terjadinya pelanggaran HAM yang berat (Nurrahman Aji Utomo, 2019: 8).

Salah satu contoh perbedaan penafsiran yang terjadi yaitu pada peristiwa Trisakti, Semanggi I dan II. Kejaksaan Agung atas berkas penyelidikan peristiwa tersebut yang diserahkan Komite Penyelidik Pelanggaran HAM (KPP HAM) Komnas HAM mengembalikan berkas penyelidikan tersebut, karena Kejaksaan Agung menganggap berkas penyelidikan dibuat berdasarkan peristiwa masing-masing. Namun Komnas HAM beranggapan bahwa tiga peristiwa tersebut merupakan satu konstruksi kebijakan yang harus dipertanggungjawabkan.

Pemisahan kasus yang diusulkan oleh Kejaksaan akan menghilangkan esensi pelanggaran HAM yang berat dan implikasi pemisahan tersebut

(33)

hanya akan menghukum para pelaku di lapangan saja, tetapi orang yang menjadi penanggung jawab kebijakan akan terbebaskan (RB Sularto, 2018: 4).

Kelemahan dalam relasi ini adalah apabila bolak-balik berkas terus berlanjut, maka akan kesulitan untuk memperoleh barang bukti dan klarifikasi. Kondisi korban dan saksi akan semakin tua.Semakin lama penyelesaian dilakukan, maka peristiwa tersebut semakin menjadi sulit diselesaikan dan terabaikannya hak-hak dan pemulihan korban terutama perempuan dan anak-anak.

2) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI

Proses penyelesaian pelanggaran HAM yang berat sebelum diundangkannya UU Pengadilan HAM diperiksa dan diputus pada Pengadilan HAM ad hoc. Pembentukan Pengadilan HAM ad hoc melalui rekomendasi yang diberikan oleh DPR berdasarkan dugaan terjadinya pelanggaran HAM yang berat yang dibatasi pada locus dan tempos delicti yang terjadi sebelum diundangkannya UU Pengadilan HAM.

Berdasarkan penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM, DPR memiliki kewenangan untuk menduga dan menilai suatu peristiwa sebagai pelanggaran HAM yang berat atau tidak. Atas dugaan tersebut, DPR membentuk tim investigasi dan selanjutnya mengusulkan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc. Adanya peran DPR dalam pembentukan Pengadilan ad hoc dianggap mengintervensi criminal justice system (sistem peradilan pidana).

Kewenangan untuk menduga dan menilai ini dilakukan oleh DPR pada peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II. DPR membentuk tim sendiri untuk menilai peristiwa tersebut. Rapat Paripurna DPR RI pada tanggal 9 Juli 2001 menyimpulkan bahwa Peristiwa Trisakti, Peristiwa Semanggi I, Peristiwa Semanggi II merupakan Pelanggaran HAM biasa, dan bukan pelanggaran HAM yang berat. Dari Rapat Pleno Panitia Khusus (Pansus) DPR RI yang

(34)

didatangi 26 orang anggota dewan senayan mengahasilkan voting yang diikuti oleh 19 orang dengan rincian 14 memilih sebagai pelanggaran HAM biasa dan 5 orang memilih sebagai pelanggaran HAM yang berat (RB Sularto, 2018: 3).

Implikasi Putusan MK Nomor 18/PUU-V/2007, mengenai uji materiil Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM yang diajukan oleh Eurico Guterres, memutus kewenangan DPR dalam menduga, menilai, dan menyatakan suatu peristiwa sebagai pelanggaran HAM yang berat.

Sejak putusan MK tersebut disahkan, kewenangan DPR hanya sebatas memberikan usulan/ rekomendasi pembentukan Pengadilan HAM ad hoc berdasarkan hasil penyelidikan Komnas HAM dan hasil penyidikan Kejaksaan Agung.

3) Presiden

Menurut UU Pengadilan HAM, Presiden membuat Keppres pembentukan Pengadilan HAM ad hoc setelah memperoleh rekomendasi dari DPR. Hal ini sebagaimana tercantum dalam Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM. Sejak diundangkannya UU Pengadilan HAM, Presiden baru mengeluarkan Keppres pembentukan Pengadilan HAM ad hoc untuk kasus Timor-Timur dan Tanjung Priok.

Pergantian Presiden telah terjadi selama 19 (sembilan belas) tahun pasca diundangkannya UU Pengadilan HAM, selama itu pula penantian pemenuhan hak atas keadilan bagi keluarga korban. Bolak- balik berkas antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung merupakan sebuah permasalahan yang tidak berujung. Hal ini menunjukkan tidak adanya komitmen politik melalui Presiden untuk mewujudkan hak atas keadilan bagi keluarga korban atas permasalahan yang tidak kunjung selesai antara Komnas HAM dengan Kejaksaan Agung. Sebagaimana disampaikan oleh Majelis Hakim pada proses peradilan yang menguji Pasal 20 ayat (3) UU Pengadilan HAM, persoalan pelanggaran HAM yang berat sesungguhnya tidak lagi berada di wilayah yuridis melainkan

(35)

pada kemauan politik (https://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/16/08/25/ocg1we3 30-kontras-meski-ditolak-tapi-mk-pertimbangkan-penyelesaian-kasus- ham, diakses pada 9 September 2019 pukul 16.33 WIB).

Alih-alih membentuk Pengadilan HAM ad hoc, negara berinisiatif membentuk Tim Gabungan Terpadu untuk penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu, di bawah wewenang Menkopolhukam (https://kontras.org/2018/12/11/mendesak-presiden- joko-widodo-menyelesaikan-kasus-pelanggaran-ham-berat-masa-lalu/, diakses pada 8 September 2019 pukul 16.36 WIB). Hal ini menjadi sebuah pertanyaan karena mengingat penyelesaian pelanggaran HAM yang berat melalui mekanisme Pengadilan HAM ad hoc, sebagaimana diatur dalam UU Pengadilan HAM.

Presiden sebagai kepala pemerintahan yang mempunyai kewajiban yaitu menghormati, memenuhi, dan melindungi harus memiliki kemauan untuk menyelesaikan pelanggaran HAM yang berat ini, bukan dengan melakukan pembiaran atas polemik yang sudah 19 (sembilan belas) tahun jalan di tempat.

Melihat praktik dalam penyelesaian pelanggaran HAM yang berat, jauh dari kata memuaskan. Peraturan yang berlaku kurang memadai dan pihak yang diberi kewenangan tidak semua mempunyai kemauan atau itikad untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Meskipun secara regulasi kurang memadai, namun apabila pihak yang diberi kewenangan memiliki kemauan untuk menuntaskan permasalahan ini, maka proses kasus pelanggaran HAM yang berat akan mengalami kemajuan.

Melihat permasalahan ini, Jimly menawarkan agar Komnas HAM diberi dua kewenangan baru, salah satunya adalah Komnas HAM dilengkapi kewenangan untuk melakukan penyidikan di setiap kasus pelanggaran HAM sekaligus membebastugaskan kepolisian dari tugas penyidikan kasus dugaan pelanggaran HAM karena aparat keamanan

(36)

khususnya kepolisian rawan sebagai pelaku pelanggaran HAM (https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f7d11402f7ae/komnas-ham- butuhpenguatan-kewenangan , diakses pada 17 April 2019 pukul 01.23).

Penambahan kewenangan penyidikan kepada Komnas HAM akan memberikan jalan untuk perkembangan pada proses penyelesaian pelanggaran HAM yang berat serta terwujudnya keadilan bagi keluarga korban.

c. Budaya Hukum

Peran masyarakat dalam penegakan hukum sangat penting. Hal ini menunjukkan kesadaran hukum masyarakat sebagai bagian dari budaya hukum dalam menanggapi permasalahan hukum. Peran masyarakat yang dapat dilakukan dalam membangun budaya hukum seperti partisipasi dan kualitas laporan yang diadukan, pemahaman akan hukum, inisiatif dan respon dalam mengurangi pelanggaran hukum (HAM), serta partisipasi dalam proses pengawasan penegakan hukum (Komnas HAM, 2015: 31).

Kesadaran masyarakat terhadap hak asasi menjadi penting, dikarenakan ketika terdapat hak asasi yang dilanggar masyarakat dapat melakukan pengaduan atau melaporkannya kepada pihak yang berwenang.

Dalam hal ini adalah Komnas HAM sebagai lembaga independen yang bergerak untuk memajukan dan melindungi HAM. Namun belum banyak masyarakat yang memahami mekanisme HAM, terlebih tugas dan fungsi Komnas HAM.

Untuk mengetahui tingkat pemahaman budaya atau kultur HAM dalam masyarakat, hakasasi.id bersama Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D) melakukan survei terkait kultur HAM di Indonesia yang dilaksanakan pada bulan Oktober tahun 2018. Responden sejumlah 2.040 tersebar di 34 provinsi di Indonesia. Beberapa hasil survei tersebut sebagai berikut:

Hasil Survei Kepuasan Publik dalam HAM Tabel 5

(37)

No. Isi Survei Hasil

1 Masyarakat memahami maksud HAM

Ya (79%) Tidak (21%) 2 Konstitusi sudah mengakomodasi

HAM

Sudah (72%) Belum (28%) 3 Tugas Pemerintah dalam menjamin

pemenuhan HAM bagi warga

Ya (91%) Tidak (9%)

4 HAM sesuai dengan budaya di Indonesia

Sesuai (47%) Agak Sesuai (43%) Tidak Sesuai (10%) 5 Mekanisme yang tersedia untuk

menjamin HAM

Ya (37%) Tidak (63%)

6 Tahu tentang Komnas HAM Ya (62%)

Tidak (38%) 7 Pengetahuan tentang tugas, Fungsi

Pokok Komnas HAM

Ya (15%) Tidak (85%)

8

Negara memberikan kompensasi bagi korban pelanggaran HAM di

masa Orde Baru

Setuju (24%) Agak Setuju (34%) Tidak Setuju (42%)

9

Tertarik untuk terlibat aktif dalam organisasi yang memperjuangkan

HAM

Kecil Kemungkinan (43%) Mungkin (37%) Besar Kemungkinan (9%)

Tidak Melakukan (11%)

10

Peran LSM/ Ornop sebagai pengawas pemerintahan dalam

menjalankan kebijakan

Perlu (77%) Tidak Perlu (23%)

Sumber: hakasasi.id

Berdasarkan hasil survei di atas, menunjukkan bahwa sebagian masyarakat memahami maksud dari HAM, tanggung jawab negara atas HAM, pentingnya pemenuhan HAM, meskipun masih sebatas pengertian

(38)

yang sempit. Menjadi catatan, bahwa masyarakat belum tahu mengenai mekanisme yang tersedia untuk melaporkan pelanggaran-pelanggaran atau sekedar mencari informasi terkait HAM. Kurangnya pengetahuan publik terhadap mekanisme HAM, terlihat pula kurang pengetahuan publik tentang tugas dan fungsi Komnas HAM sebagai lembaga nasional HAM.

Masyarakat juga menanggapi isu pelanggaran HAM yang berat terutama yang terjadi pada masa Orde Baru, yaitu untuk pemberian kompensasi kepada korban atas dampak dampak negatif yang ditimbulkan pada masa itu. Sisi lain, masyarakat kurang tertarik untuk terlibat aktif dalam kerja advokasi HAM.

Publik melihat adanya perbedaan antara yang dikehendaki dalam undang-undang dengan praktik yang dijalankan. Pembentukan Komnas HAM, adanya UU HAM dan UU Pengadilan HAM pada praktiknya tidak sepenuhnya menjamin penegakan, perlindungan, dan penyelesaian pelanggaran HAM yang ada. Sebagaimana ulasan yang dipaparkan sebelum sub bab ini, kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat hingga kini belum menemukan titik terang dan hal ini merupakan problematika negara Indonesia sebagai negara hukum yang salah satu syaratnya adalah menegakkan HAM.

Masyarakat dalam hal ini keluarga korban, pegiat HAM, masyarakat umum merespon problematika tersebut dengan melakukan berbagai upaya, salah satunya adalah melakukan Aksi Kamisan yang diselenggarakan oleh Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK).

Aksi Kamisan yang dilakukan setiap hari Kamis sore merupakan aksi damai yang menuntut negara untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM yang berat di Indonesia. Sejak 18 Januari 2007 aksi ini diselenggarakan,cita keadilan atas pelanggaran HAM yang berat tidak kunjung terlihat.

Pelanggaran HAM menjadi isu yang serius dan terus bergulir hingga sekarang. Terlebih pada kasus pelanggaran HAM yang berat yang kini masih mangkrak di Kejaksaan Agung. Fenomena bolak balik berkas

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian penunjukkan bahwa pengencer andromed menghasilkan spermatozoa yang memiliki integritas membran baik, spermatozoa yang belum terkapasitasi, terkapasitasi,

Analisa kewajiban diestimasi atas imbalan kerja karyawan pada tanggal 31 Oktober 2009 dan 31 Oktober 2008 dan beban imbalan kerja karyawan yang dicatat dalam laporan laba rugi

Penilitian penggunaan APK pada distilasi air energi surya absorber kain memperoleh hasil sebesar 0,47 liter/m2.jam dengan debit aliran air absorber kain 0,6 liter/jam dan debit

Tetapi waktu laten yang dihasilkan dari berbagai peningkat penetrasi pada penelitian ini tetap lebih besar dibandingkan dengan formula pembanding yaitu gel natrium diklofenak

lulusan merupakan esensi kompetensi yang harus dikuasai dan terukur melalui unjuk kerja selama pembelajaran. Pembelajaran soft skills dipandang

Inilah lembaga peradilan etik pertama di Indonesia dan bahkan di dunia, dan kehadirannya diharapkan dapat menjadi model, menjadi contoh, agar semua lembaga-

Identitas umumnya dimengerti sebagai suatu kesadaran akan kesatuan dan kesinambungan pribadi, suatu kesatuan unik yang memelihara kesinambungan arti masa lampaunya