• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAGASAN PENGENDALIAN KONVERSI LAHAN SAWAH DALAM RANGKA PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "GAGASAN PENGENDALIAN KONVERSI LAHAN SAWAH DALAM RANGKA PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

GAGASAN PENGENDALIAN KONVERSI LAHAN SAWAH DALAM RANGKA PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL Advocacy for Controlling Sawah Conversion for Improvement of The

National Food Security

Abdurachman Adimihardja, Wahyunto, dan Rizatus Shofiyati Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat

Jln. Ir. H. Juanda 98, Bogor 16123

ABSTRAK

Perluasan lahan sawah baku dewasa ini sulit direalisasikan, terutama disebabkan oleh berbagai hambatan ekonomi dan sosial, seperti status lahan, lokasi yang terpencil dan kekurangan tenaga kerja. Oleh karena itu, peningkatan produksi padi dengan cara intensifikasi dan pengendalian konversi lahan sawah, terutama di Pulau Jawa, menjadi sangat penting dalam mempertahankan ketahanan pangan.

Lahan sawah di Pulau Jawa mempunyai produktivitas yang tinggi dan memasok 60%

produksi padi nasional. Namun pada kenyataannya, dalam kurun waktu 1981-1999 terjadi alih fungsi lahan sawah ke penggunaan lain seluas 1,6 juta ha dan sekitar 1 juta ha diantaranya terjadi di Jawa. Menurut perhitungan kasar, untuk mensubstitusi hilangnya produksi padi dari satu ha lahan sawah beririgasi di Jawa diperlukan sekitar 4-5 ha lahan sawah baru di luar Jawa. Oleh karena itu, agar ketahanan pangan nasional tetap terjamin perlu ditetapkan kawasan yang terus dipertahankan sebagai ‘lahan sawah abadi’ atau ’lahan sawah utama’, berdasarkan parameter status irigasi, intensitas tanam dan tingkat produktivitas. Lahan sawah yang layak diarahkan sebagai kawasan lahan sawah utama adalah lahan sawah beririgasi teknis, dapat ditanami padi dua kali atau lebih dalam setahun, dan mempunyai produktivitas 4,5 t/ha atau lebih. Lahan sawah utama di Pulau Jawa mencapai luas 3.134.588 ha atau 88,5% dari luas lahan sawah di Jawa. Kebijakan pengendalian konversi lahan sawah abadi atau utama harus terintegrasi dengan rencana pengembangan tata ruang kota dan rencana tata ruang wilayah. Selain itu perlu adanya subsidi atau insentif kepada petani agar benar-benar dapat melaksanakan usaha tani dengan produksi tinggi dan memberikan kesejahteraan bagi keluarga tani.

(2)

ABSTRACT

The expansion of lowland rice areas in Indonesia is limited especially by socio- economic constraints, such as land tenure, remote condition, and lack of labor.

Therefore, agricultural intensification and control of rice fields conversion are very important efforts in maintaining the national food security. Rice fields in Java Island have a high productivity and they contribute to around 60% of the national rice production. However, the fact shows us that the conversion of productive rice fields from 1981-1999 amounted to 1,6 million ha in Indonesia, and 1 million ha of them occured in Java island. Theoretically, to substitute the loss of rice production of 1 ha rice field in Java, it needs 4-5 ha of newly established rice field in the outer islands.

Hence, in the framework of maintaining the food security, it is very important to declare the productive rice areas in Java as ’lahan sawah abadi’, the areas which are protected from land use conversion, based on irrigation type, cropping intensity, and productivity. It is proposed that the rice fields to be considered as ’lahan sawah abadi’ should have a regulated irrigation system, productivity of > 4,5 t/ha, and cropping intensity of > 2 per year. Such kind of ’lahan sawah abadi’ in Java island is about 3,134,588 ha or 88,5% of the total rice areas. The policy of controlling the protected rice-land or ’lahan sawah abadi’ should be integrated with the overall land use planning. Furthermore, it is recommended to provide subsidies or incentives to the farmers, to allow them to produce high yield and increase their welfare.

PENDAHULUAN

Undang-undang No 7 tahun 1996 tentang pangan mengartikan Ketahanan Pangan sebagai ‘Kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan setiap rumah-tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau’. Untuk mencapai kondisi kecukupan pangan yang ideal tersebut, menurut Suryana (2003) strategi yang perlu dikembangkan adalah: (1) pengembangan kapasitas produksi pangan nasional; (2) pengembangan pasar domestik; (3) peningkatan keberdayaan dan partisipasi masyarakat; (4) pengembangan dan peningkatan intensitas jaringan kerjasama lintas pelaku, lintas wilayah, dan lintas waktu; (5) peningkatan efektifitas dan kualitas kinerja pemerintah; dan (6) pengembangan agribisnis pangan yang berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan, dan terdesentralisasi.

Strategi yang disebut pertama, yaitu pengembangan kapasitas produksi pangan nasional menyangkut pengelolaan optimal terhadap faktor-faktor produksi pangan,

(3)

termasuk pendayagunaan sumber daya lahan nasional secara berkesinambungan, dan sumber daya manusia serta sarana produksi pertaniannya. Luas daratan Indonesia berjumlah sekitar 188,2 juta ha, yang sebagian diantaranya, yaitu 100,8 juta ha tergolong sesuai untuk pertanian (Puslitbangtanak, 2002), sementara yang sudah digunakan untuk budi daya pertanian baru seluas 68,5 juta ha (BPS, 2002). Dengan demikian masih ada sekitar 32 juta ha lahan yang sesuai untuk pertanian yang saat ini tidak digunakan untuk budi daya pertanian, termasuk untuk budi daya padi sawah.

Kenyataan menunjukkan bahwa dewasa ini perluasan lahan sawah tidak berjalan lancar, sehingga kecil kemungkinan mendapat tambahan produksi pangan dari ekstensifikasi pertanian. Dengan demikian, pemeliharaan dan peningkatan produktivitas lahan sawah yang ada saat ini mempunyai arti yang sangat penting.

Termasuk ke dalamnya adalah mempertahankan areal sawah baku dari ancaman konversi lahan, terutama lahan sawah produktif di Pulau Jawa yang setiap tahunnya menyumbang sekitar 60% produksi padi nasional.

TREND KONSUMSI DAN PRODUKSI BERAS

Pertambahan jumlah penduduk Indonesia sebesar 3 juta jiwa/tahun, yang diikuti dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat, menyebabkan permintaan kebutuhan pangan nasional terus meningkat. Data trend permintaan pangan utama di Indonesia selama 5 Pelita, yaitu beras, jagung, dan kedelai, sejak Pelita I sampai Pelita V rata- rata tingkat penggunaannya meningkat secara konsisten (PSE, 1997). Diperkirakan, jika tidak ada terobosan teknologi (technology breakthrough) dan kebijaksanaan strategis di sektor pertanian yang mampu mendorong peningkatan produksi secara signifikan, maka pada tahun 2010 impor beras, kedelai, dan jagung masing-masing akan mencapai 13; 1,8; dan 1,5 juta ton (Swastika et al., 2000). Dengan menggunakan asumsi yang berbeda, Simatupang et al. (2003) menghitung proyeksi kebutuhan dan produksi bahan pangan, dan hasilnya menunjukkan bahwa pada tahun 2010 beras dan jagung sudah swasembada, sedangkan kedelai defisit sebesar 2,13 juta ton. Namun, dinyatakan juga bahwa dalam beberapa tahun ke depan, Indonesia masih akan tetap sebagai negara pengimpor beras, jagung, dan kedelai. Diperkirakan pada tahun 2004, kekurangan beras, jagung, dan kedelai masing-masing sebesar 1,86 juta ton, 0,58 juta ton, dan 1,67 juta ton. Khusus untuk beras (Tabel 1), pada tahun 2008 diperkirakan sudah swasembada, bahkan pada tahun 2010 akan mengalami kelebihan sebanyak 1,7 juta ton.

(4)

Tabel 1. Proyeksi produksi dan konsumsi beras Indonesia

Tahun Produksi Konsumsi Senjang

ton

2003 28.881.273 31.287.227 -2.405.954

2004 29.656.932 31.515.231 -1.858.299

2005 30.444.394 31.740.850 -1.296.455

2006 31.243.498 31.964.146 -720.647

2007 32.054.067 32.185.182 -131.116

2008 32.875.906 32.404.020 471.886

2009 33.708.809 32.620.722 1.088.088

2010 34.552.553 32.835.347 1.717.205

Mungkin masih ada hasil-hasil perhitungan lain, tetapi dengan memperhatikan kedua hasil tersebut yaitu Swastika et al. (2000) dan Simatupang et al. (2003), kiranya masih perlu kewaspadaan tinggi untuk memantapkan ketahanan pangan. Selain itu, hasil proyeksi juga tidak mengindikasikan bahwa konversi lahan sawah tidak perlu diupayakan, karena hasil proyeksi bersifat teoritis, tergantung faktor-faktor apa yang diperhitungkan dan asumsi seperti apa yang diambil sebagai dasar perhitungan.

Khusus Pulau Jawa, menurut Las et al. (2000), pada tahun 2000 masih memiliki surplus padi sekitar 4 juta ton, namun berdasarkan proyeksi ke depan, pada tahun 2010 diperkirakan Jawa hanya akan mampu menyediakan kelebihan produksi dibanding permintaannya sebesar 0,26 juta ton saja. Artinya produksi beras Jawa hanya akan cukup untuk memenuhi kebutuhan di Jawa saja. Bahkan, dalam jangka panjang diperkirakan kebutuhan beras di Jawa tidak dapat dipenuhi sendiri, tetapi harus dipasok dari pulau lain, atau negara lain. Beberapa penyebab utama kondisi ketersediaan pangan yang mengkhawatirkan tersebut adalah: (1) alih fungsi lahan sawah produktif; (2) peningkatan kebutuhan pangan di Jawa sendiri; dan (3) menurunnya ketersediaan air sektor pertanian akibat kompetisi antar-sektor sebagai dampak pertumbuhan penduduk.

PERKEMBANGAN LAHAN SAWAH Pergeseran kondisi lahan

Lahan sawah sebagai penghasil utama bahan pangan rakyat Indonesia bertambah luas dari 7,77 juta ha pada tahun 1986 menjadi 8,52 juta ha pada tahun 1996, namun selanjutnya cenderung menyusut menjadi 7,78 juta ha pada tahun 2002.

(5)

Begitu juga luas pertanian lahan kering (tegalan/kebun/ladang/huma), secara keseluruhan tidak banyak berkembang yaitu dari 11,28 juta ha pada tahun 1986 menjadi 13,18 juta ha pada tahun 2002. Perkembangan positif ditunjukkan oleh lahan perkebunan yang berkembang dari 8,77 juta ha pada tahun 1986 meningkat pesat menjadi 19,91 juta ha pada tahun 2001 (BPS, 2002).

Di Pulau Jawa terjadi pertambahan luas di beberapa lokasi, sedangkan di lokasi lain berkurang. Namun, secara keseluruhan terjadi pengurangan dari total 3,482 juta ha pada tahun Pelita III (tahun 1978-1983) menjadi 3,375 juta ha pada tahun 1999 (Tabel 2), yang terjadi di semua propinsi. Pengurangan terbesar terjadi di Jawa Barat dan Banten, yaitu seluas 65 ribu ha. Di DKI hanya terjadi pengurangan lahan sawah sebanyak 7 ribu ha, namun bila dibandingkan dengan luas asal pada Pelita III, luas yang hilang tersebut mencapai 70%. Hal ini terjadi karena pada umumnya konversi lahan sawah ke non-pertanian terjadi di lokasi yang dekat kota besar, termasuk Jakarta.

Dalam hal produktivitas rata-rata lahan sawah di Pulau Jawa, terjadi peningkatan dari sekitar 3-4,6 t/ha pada Pelita III menjadi antara 4,4-5,17 t/ha pada tahun 1999 (Tabel 3). Di antara faktor-faktor penyebabnya adalah penggunaan teknologi yang lebih maju, seperti varietas unggul, pemupukan, perlindungan tanaman, dan sebagainya. Untuk keperluan penggolongan lahan sawah dalam rangka pengaturan konversi lahan diambil tingkat produktivitas sebesar 4,5 t/ha, yaitu sekitar produktivitas rata-rata nasional.

Tabel 2. Kondisi lahan sawah di Pulau Jawa dan Madura

Luas baku lahan sawah per propinsi Periode/tahun Jawa Barat dan

Banten

Jawa Tengah

DIY Jawa Timur DKI Jumlah

ha Pelita III

1978-1983

1.208.546 1.017.445 65.068 1.181.598 9.757 3.482.414

Pelita IV 1983-1988

1.048.603 1.018.849 63.276 1.154.523 7.809 3.293.060

Pelita V 1988-1993

1.181.293 1.008.267 61.965 1.171.043 5.419 3.427.987

Tahun 1994 1.174.861 1.004.413 61.150 1.151.912 3.963 3.396.299 1995 1.152.753 998.263 60.622 1.147.539 3.630 3.362.807 1996 1.135.275 997.163 60.515 1.146.692 2.454 3.342.099 1997 1.125.597 992.042 60.096 1.148.842 2.667 3.329.244 1998 1.125.597 992.042 60.096 1.148.842 2.667 3.329.244 1999 1.143.376 1.007.502 60.267 1.161.425 2.811 3.375.381 SuSummbbeerr :: BBPPSS 11996699--22000000 ((ddiioollaahh))..

(6)

Tabel 3. Produktivitas padi sawah menurut propinsi di Jawa

Propinsi Periode/ tahun

Jabar&Banten Jateng DIY Jatim DKI t /GKP/ha

Pelita III 1978-1983

3,915 4,104 4,475 4,561 3,169

Pelita IV 1983-1988

4,609 4,856 5,067 5,033 4,070

Pelita V 1988-1993

5,147 5,216 5,443 5,367 4,750

1994 5,236 5,270 5,552 5,431 4,781

1995 5,238 5,377 5,559 5,433 4,820

1996 5,283 5,323 5,613 5,478 4,851

1997 5,299 5,327 5,619 5,483 4,924

1998, 1999 4,676 5,069 5,074 5,170 4,411 Sumber : BPS 1969 – 2000 (diolah).

Konversi lahan sawah

Konversi lahan pertanian produktif (terutama sawah) di Jawa dan sekitar kota- kota besar di seluruh Indonesia sulit dihindari, seiring dengan tingginya laju pertumbuhan penduduk dan berkembang pesatnya industri, infrastruktur, dan permukiman. Pada periode tahun 1981-1999 terjadi konversi lahan sawah ke penggunaan non-pertanian seluas 1,6 juta ha, sekitar 1 juta ha diantaranya terjadi di Jawa (Tabel 4). Walaupun selama kurun waktu tersebut pencetakan sawah baru di Jawa mencapai 518 ribu ha dan di luar Jawa 2,7 juta ha, namun kenyataan menunjukkan bahwa impor beras tetap tinggi, yaitu sekitar 1,8 juta ton beras pada tahun 2002 (BPS, 2002).

Lahan sawah beserta perangkat irigasinya dibangun dengan biaya tinggi dan waktu yang lama, oleh karena itu harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan masyarakat. Namun ternyata konversi lahan sawah terutama di Jawa tidak terkendali, sehingga mengancam stabilitas ketahanan pangan nasional. Data terakhir menunjukkan bahwa konversi lahan sawah dari tahun 1981-1999 mencapai 1.627.514 ha, yaitu rata-rata 85.659 ha/tahun, di Jawa mencapai 1.002.055 ha atau sekitar 61,6%, dan sisanya di luar Jawa 625.459 ha atau sekitar 38,4% (Sudaryanto, 2002). Di Jawa Barat, konversi lahan sawah rata-rata 7.046 ha/tahun selama 1987- 1991, di Jawa Tengah rata-rata 6.721 ha/tahun antara 1981-1986, dan di Jawa Timur rata-rata 8.285 ha/tahun selama 1987-1993 (Rusastra dan Budhi, 1997). Konversi lahan sawah di Jawa rata-rata 22.200 ha/tahun. Sebagian besar lahan sawah yang

(7)

terkonversi tersebut pada mulanya beririgasi teknis atau setengah teknis dengan produktivitas tinggi (Sumaryanto et al., 2001). Jelas sekali bahwa konversi lahan yang terjadi dua dekade terakhir ini mengakibatkan penurunan produksi padi nasional.

Tabel 4. Neraca lahan sawah di Indonesia periode 1981-1999

Wilayah Pengurangan Penambahan Neraca

ha % ha % ha

Jawa 1.002.055 62 518.224 16 - 483.831 Luar Jawa 625.459 38 2.702.939 84 + 2.077.480

Indonesia 1.627.514 100 3.221.163 100 + 1.593.649

Sumber : Irawan et al. (2001) diolah dari data yang diterbitkan BPS. Luas lahan sawah seluruh Indonesia pada tahun 1999 adalah 8.1 juta ha.

Di sisi lain, meskipun terjadi juga pencetakan sawah baru di luar Jawa, peningkatan produksi tidak segera terjadi dalam jumlah besar. Hal ini terjadi karena tingkat produktivitas sawah baru pada umumnya rendah, sekitar 1,5-3 t/ha. Sehingga untuk mensubsitusi hilangnya satu ha lahan beririgasi di Jawa diperlukan sekitar 4-5 ha lahan irigasi baru di luar Jawa (Pasandaran, 1988 dalam Rusastra dan Budhi, 1997).

Selain itu, kebutuhan investasi untuk pencetakan sawah baru beserta infrastrukturnya cukup tinggi, diperkirakan dengan harga yang berlaku tahun 2000 mencapai Rp 25 juta (Sumaryanto et al., 2001). Hal-hal tersebut menyebabkan kurangnya daya tarik bisnis ini bagi para penanam modal.

Secara umum, dalam masalah penggunaan lahan berlaku kaidah pemanfaatan terbaik dengan hasil tertinggi (the best and the highest use of land). Hal ini menyebabkan penggeseran aktivitas yang intensitas ekonomi penggunaan lahannya lebih rendah ke arah aktivitas lain yang lebih tinggi keuntungan ekonominya (BPN, 2001), antara lain dari lahan pertanian ke pariwisata, industri, dan perdagangan. Hal ini menyebabkan penggunaan lahan untuk pertanian menjadi prioritas terakhir bagi berbagai kalangan. Tanpa kesungguhan pemerintah dalam memahami dan melindungi kepentingan mempertahankan lahan sawah bagi ketahanan pangan dan menjaga kualitas lingkungan (Agus et al., 2003), maka konversi lahan akan terus berlangsung, bahkan akan semakin pesat. Oleh karena itu pemerintah perlu merumuskan kebijakan dan langkah-langkah operasional untuk mengurangi terjadinya konversi lahan sawah irigasi produktif. Dalam kaitan ini, gagasan pembentukan ‘lahan pertanian abadi’ atau

‘lahan sawah utama’ menjadi sangat penting.

(8)

GAGASAN PENGENDALIAN KONVERSI LAHAN SAWAH Bahan pertimbangan

Sudah disadari bahwa konversi lahan sawah dipengaruhi oleh proses ekonomi, dan tidak dapat dihentikan atau dilarang sepenuhnya. Namun demikian, harus ada upaya pengendalian yang sungguh-sungguh, mengingat:

1. Konversi lahan sawah terutama di Jawa sudah tidak terkendali, sehingga mengancam keberlangsungan produksi pangan dan ketahanan pangan nasional;

2. Lahan sawah dan perangkat irigasinya dibangun dengan investasi sangat tinggi, oleh karena itu perlu dilindungi dan dimanfaatkan secara optimal untuk kesejahteraan masyarakat;

3. Ekosistem sawah bukan saja memiliki fungsi produksi, tetapi juga memiliki fungsi sosial, budaya dan lingkungan, yang harus dipertahankan; dan

4. Peraturan Perundang-undangan yang saat ini sudah diberlakukan belum berhasil diimplementasikan dengan efektif dalam pengendalian konversi lahan sawah irigasi.

Oleh karena itu perlu adanya suatu Peraturan Pemerintah (PP) atau Keputusan Presiden (Keppres) yang tegas, didukung dengan data lapangan yang memadai. PP atau Keppres tersebut selanjutnya harus dapat digunakan sebagai acuan hukum bagi penyusunan Peraturan Menteri, Peraturan Daerah dan peraturan lainnya yang berkaitan dengan upaya pengendalian konversi lahan sawah.

Namun demikian, dalam implementasi PP atau Keppres tersebut di lapangan kalau benar-benar akan dilaksanakan masih perlu dukungan kebijakan-kebijakan lain.

Diantaranya adalah peraturan-peraturan yang menyangkut luas minimum lahan milik agar petani dapat menghidupi keluarganya dari lahan milik mereka dan tidak perlu menjualnya. Sebagai contoh, rata-rata luas sawah milik petani di daerah persawahan irigasi teknis DAS Brantas adalah 0,35 ha (Sumaryanto et al., 2003) yang menyulitkan petani untuk mampu mensejahterakan keluarganya. Selain itu diperlukan pula suatu peraturan/hukum waris yang saat ini masih memungkinkan fragmentasi lahan terus- menerus. Misalnya: lahan warisan tidak dibagi rata, tetapi dikelola oleh anak lelaki tertua, kemudian hasilnya dibagi ke semua saudara-sudaranya berdasarkan kesepakatan bersama.

(9)

Penyusunan kriteria lahan sawah utama/sekunder

Kondisi lahan sawah berlainan dari segi biofisik dan juga ekonomi. Oleh karena itu, diperlukan penggolongan untuk menetapkan perlakuan terhadap masing-masing golongan atau kelasnya. Parameter-parameter yang perlu diperhatikan dalam menyusun kriteria tersebut adalah: status irigasi, indeks pertanaman (IP) padi, kualitas sumber daya tanah atau produktivitasnya, dan luas minimum.

Status irigasi dibedakan berdasarkan sistem pengelolaan jaringan irigasinya.

Irigasi teknis jaringannya sepenuhnya dikelola dan dipelihara oleh pemerintah, sedangkan pada irigasi setengah teknis pemerintah hanya mengelola bangunan penyadap untuk dapat mengatur dan mengukur pemasukan air. Pada sawah irigasi sederhana sistem irigasinya belum teratur. Sedangkan pada sawah tadah hujan sumber airnya tergantung dari curah hujan setempat tanpa adanya bangunan permanen. Dalam penyusunan kriteria lahan sawah, status irigasi dibedakan dalam tiga kelas, yakni lahan sawah beririgasi (teknis dan setengah teknis), sederhana, dan tadah hujan.

Indeks pertanaman (IP) padi pada lahan sawah bergantung pada suplai air dari sumber pengairannya. Lahan sawah irigasi umumnya mempunyai suplai air cukup baik, sehingga dapat ditanami dua kali atau lebih dalam setahun. Sedangkan sawah sederhana yang jaringan irigasinya belum sempurna dan sawah tadah hujan umumnya hanya dapat ditanami satu kali dalam setahun. Berdasarkan data yang tersedia, terutama data spasialnya, IP-padi biasanya dinyatakan dalam 1x, 2x, dan 3x setahun.

Untuk itu dalam menentukan lahan sawah utama yaitu lahan sawah yang dapat diarahkan sebagai lahan sawah abadi, IP dibedakan atas dua kelas, yakni IP > 2 dan IP

<2 tanam/tahun.

Parameter produktivitas yang merupakan cerminan dari kualitas sumber daya tanah dan pengelolaannya ditentukan berdasarkan data produksi selama 5 tahun terakhir. Data tersebut diperoleh dari data statistik dari Kantor Statistik (BPS) pada setiap kabupaten, sehingga satuan wilayah produktivitas yang digunakan adalah pada tingkat kecamatan. Dari data pada tingkat kecamatan tersebut, ternyata produktivitas di Pulau Jawa, Bali, dan Lombok umumnya lebih dari 4,5 t/ha atau lebih tinggi dari rata-rata produktivitas nasional 4,5 t/ha. Sehingga dalam penyusunan lahan sawah utama ini digunakan dua kelas, yakni produktivitas padi > 4,5 t/ha dan <4,5 t/ha.

Luas minimum untuk satu hamparan lahan sawah utama ditentukan berdasarkan penyebaran dan nilai agribisnisnya atau kontribusi secara ekonomis bila kawasan sawah utama tersebut digunakan untuk pertanian. Lahan sawah utama seyogianya mempunyai penyebaran atau hamparan yang cukup luas dan tidak terfragmentasi.

Demikian pula dengan nilai agribisnisnya masih menguntungkan jika dikaitkan

(10)

dengan penyediaan sarana dan prasarananya. Pada peta berskala 1:250.000 luas minimum yang dapat digambarkan adalah sekitar 250 ha.

Secara ringkas, penggolongan (kualitas) lahan sawah berdasarkan parameter irigasi, IP, dan produktivitas disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Kriteria kualitas lahan sawah sebagai dasar pengendalian konversi Model Status irigasi Indeks pertanaman

Padi (IP-padi) Produktivitas Usulan/arahan

t/ha

1. Teknis/semiteknis ≥ 2x tanam ≥ 4,5 Sawah utama I 2. Teknis/semiteknis ≥ 2x tanam < 4,5 Sawah utama II 3. Teknis/semiteknis < 2x tanam ≥ 4,5 Sawah utama II 4. Teknis/semiteknis < 2x tanam < 4,5 Sawah utama II 5. Sederhana/td.hujan < 2x tanam ≥ 4,5 Sawah utama II 6. Sederhana/td.hujan ≥ 2x tanam < 4,5 Sawah sekunder 7. Sederhana/td.hujan < 2x tanam ≥ 4,5 Sawah sekunder 8. Sederhana/td.hujan < 2x tanam ≤ 4,5 Sawah sekunder

Penyusunan peta arahan pengendalian konversi lahan sawah

Dalam kegiatan penyusunan peta ini digunakan berbagai bahan/materi, antara lain:

• Peta lahan sawah skala 1: 250.000 (Puslitbangtanak, 1998 dan 2002)

• Peta dasar digital skala 1: 250.000, peta Rupabumi dari berbagai skala

• Peta status irigasi lahan sawah (Kimpraswil, BPN Jasa Tirta I dan II)

• Seri data/informasi produksi dan produktivitas lahan sawah (BPS)

• Data/informasi kondisi biofisik dan lingkungan lahan sawah (antara lain: sifat- sifat tanah, lereng, curah hujan, sumber air), dan rencana tata ruang wilayah/

propinsi.

• Data/informasi tentang pengaturan/pengendalian konversi lahan pertanian ke non-pertanian yang telah diterbitkan.

Penyusunan peta arahan lahan sawah utama dilakukan secara desk study (pengumpulan data, analisis dan pengolahan data, penyusunan draft peta, diskusi, pembahasan) dan pengecekan di lapangan secara terbatas di beberapa wilayah sebagai pewakil di Jawa, Bali dan Lombok, tidak mencakup seluruh Indonesia. Pengolahan dan penyajian data spasial dilaksanakan dengan memanfaatkan sistem informasi geografi (SIG).

(11)

Tabel 6. Lahan sawah di Propinsi Banten

Luas sawah No. Kabupaten

LS -I LS-II LU-I LU-II Jumlah total

ha

1 Tanggerang 4.418 - 39.024 3.560 47.003 2 Lebak 24.579 - 1.376 5.753 31.708 3 Serang 21.426 - 48.324 - 69.750 4 Pandeglang 11.384 - 9.948 23.122 44.454 Jumlah 61.807 - 98.672 32.436 192.915 Keterangan : LS = lahan sawah sekunder LU = lahan sawah utama

Kondisi lahan sawah

Untuk menunjang gagasan ’lahan sawah abadi’ telah dipelajari kondisi lahan sawah di Pulau Jawa dengan menerapkan kriteria tersebut di atas, yaitu berdasarkan tipe irigasi, indeks pertanaman, produktivitas, dan luas hamparan. Data hasil studi disajikan per propinsi pada Tabel 6 – 10. Pada Tabel 6 disajikan kondisi lahan sawah di Propinsi Banten yang meliputi luas total sekitar 193 ribu ha, dan lahan sawah yang dapat diarahkan sebagai lahan sawah utama meliputi areal 131.108 ha (67,9%). Areal sawah selebihnya termasuk lahan sawah sekunder karena irigasinya masih sederhana atau tadah hujan dan produktivitasnya <4,5 t/ha. Sementara di DI Yogyakarta, total lahan sawah seluas 55.168 ha (Tabel 7) dengan lahan sawah utamanya seluas 50.552 ha (91,6%).

Tabel 7. Lahan sawah di Propinsi DI Yogyakarta Luas sawah No. Kabupaten

LS -I LS-II LU-I LU-II

Jumlah total

ha

1. Bantul 216 - 7.880 497 8.593

2. Gunungkidul 3.309 176 77 1.898 5.461 3. Kulonprogo 554 - 8.662 2.668 11.884

4. Kodya Yogyakarta - - 170 - 170

5. Sleman 361 - 16.361 12.339 29.061 Jumlah 4.441 176 33.150 17.402 55.168 Keterangan : LS = lahan sawah sekunder LU = lahan sawah utama

(12)

Pada Tabel 8 tertera data lahan sawah di Jawa Barat seluas 971.437 ha dan lahan sawah yang dapat diarahkan sebagai lahan sawah utama seluas 966.368 ha (99,4%). Data pada Tabel 9 menunjukkan bahwa luas total lahan sawah di Propinsi Jawa Tengah sekitar 1.051.861 ha dengan lahan sawah utamanya seluas 774.121 ha (73,1%).

Tabel 8. Lahan sawah di Propinsi Jawa Barat

Luas sawah No. Kabupaten

LS -I LS-II LU-I LU-II

Jumlah total ha

1. Bandung - - 54.497 1.903 56.400

2. Bekasi - - 56.678 4.370 61.048

3. Bogor 2.562 - 34.721 22.670 59.953

4. Ciamis - - 30.918 17.359 48.276

5. Cianjur - - 38.077 6.033 44.110

6. Cirebon - - 68.298 139 68.437

.7. Garut - 147 38.875 7.612 46.634

8. Indramayu - - 130.326 644 130.970

9. Karawang - - 102.174 4.481 106.655

10. Kuningan - - 39.554 9.435 48.989

11. Majalengka - - 68.929 1.610 70.539

12. Purwakarta - - 9.057 1.446 10.503

13. Sukabumi 2.361 - 28.115 8.966 39.442

14. Sumedang - - 25.226 3.138 28.364

15. Subang - - 100.948 3.105 104.054

16. Tasikmalaya - - 35.506 11.560 47.065

Jumlah 4.923 147 861.897 104.471 971.437

Keterangan : LS = lahan sawah sekunder LU = lahan sawah utama

Pada Tabel 10 terlihat bahwa lahan sawah di Propinsi Jawa Timur seluas 1.268.709 ha, dan berdasarkan kriteria pada Tabel 5 lahan sawah yang dapat diarahkan sebagai lahan sawah utama berjumlah sekitar 1.212.439 ha (95,5%).

Penyusunan peraturan dan pedoman pengendalian alih fungsi lahan sawah Selama ini berbagai peraturan dan perundangan yang berkaitan dengan masalah pengendalian konversi lahan sawah sudah banyak dibuat. Namun, implementasinya tidak efektif karena tidak atau belum didukung oleh data dan sikap proaktif

(13)

pemerintah yang memadai. Upaya pengamanan lahan sawah produktif perlu diselenggarakan dalam dimensi yang lebih luas, secara koordinatif antar-sektor.

Artinya, pengamanan lahan pertanian tidak lagi dapat ditangani secara parsial, melainkan harus terintegrasi dalam program pembangunan sektor pertanian secara menyeluruh.

Tabel 9. Lahan sawah di daerah Propinsi Jawa Tengah Luas sawah No. Kabupaten

LS -I LS-II LU-I LU-II Jumlah total

ha

1. Banjarnegara 4.332 5.112 13.075 774 23.293 2. Banyumas 7.818 4.842 18.608 7.603 38.871 3. Batang 6.503 4.903 8.077 2.806 22.289 4. Blora 711 45 12.652 9.898 23.305 5. Brebes 3.063 4.614 9.927 44.298 61.903 6. Boyolali 7.520 5.055 6.918 5.356 24.848 .7. Cilacap 15.259 6.657 33.801 14.313 70.029 8. Demak 2.279 223 34.556 9.057 46.114 9. Grobogan 5.666 2.582 53.236 1.879 63.363 10. Jepara 4.412 6.100 8.142 10.683 29.337 11. Kebumen 7.469 7.147 35.919 2.675 53.210 12. Kendal 3.240 3960 20.273 3.792 31.264 13. Klaten 3.288 - 31.674 2.560 37.522 14. Karanganyar 3.936 1.012 19.220 4.943 29.112 15. Kudus 7.839 2.734 11.936 280 22.788 16. Magelang 9.067 2.239 22.718 5.234 39.258 17. Pati 17.899 2.163 28.779 8.304 57.146 18. Purbalingga 4.139 1.149 15.892 2.287 23.467 19. Pemalang 6.767 1.696 29.846 1.469 39.778 20. Pekalongan 1.322 5.432 21.822 5.886 34.463 21. Purworejo 2.882 2.582 21.838 5.233 32.534 22. Rembang 6.532 15.282 4 1.636 23.454 23. Sukoharjo 2.336 5 21.516 3.670 27.526 24. Semarang 7.840 11.503 7.207 8.445 34.995 25. Sragen 747 1.139 33.298 8.368 43.552 26. Tegal 3.068 2.051 27.433 10.619 43.171 27. Temanggung 4.700 3.914 11.684 2.719 23.016 28. Wonogiri 3.182 8.610 8.235 10.072 30.099 29. Wonosobo 5.305 5.870 6.090 4.889 22.154

Jumlah 159.122 118.618 574.374 199.747 1.051.861 Keterangan : LS = lahan sawah sekunder LU = lahan sawah utama

(14)

Tabel 10. Lahan sawah di Propinsi Jawa Timur

Luas sawah No. Kabupaten

LS -I LS-II LU-I LU-II

Jumlah total

ha

1. Bangkalan 7.616 10.268 137 6.178 24.200 2. Banyuwangi - - 81.340 14.389 95.729

3. Blitar - - 45.108 5.021 50.129

4. Bojonegoro 572 - 36.459 47.149 84.180 5. Bondowoso - - 33.541 616 34.157 6. Gresik 6.680 - 2.157 25.545 34.382 .7. Jember - - 106.271 8.448 114.719 8. Jombang 1.124 - 32.122 16.804 50.050

9. Kediri - - 53.353 2.228 55.581

10. Kota Surabaya - - 2.393 1.799 4.193 11. Lamongan 6.995 - 12.021 62.722 81.739 12. Lumajang 3.384 - 23.149 15.566 42.099 13. Madiun - - 35.318 2.552 37.870

14. Magetan - - 32.498 - 32.498

15. Malang - - 43.850 2.464 46.314 16. Mojokerto 361 - 17.057 28.923 46.341 17. Nganjuk 1.664 - 36.326 9.748 47.738

18. Ngawi - - 52.724 311 53.035

19. Pacitan 845 - 4.327 1.311 6.484 20. Pamekasan 5.015 - - 7.175 12.190 21. Pasuruan - - 52.491 449 52.940 22. Ponorogo - - 35.569 1.076 36.645 23. Probolinggo - - 36.485 10.997 47.483 24. Sampang - - 18.947 2.067 21.014 25. Sidoarjo - - 30.405 371 30.776 26. Situbondo 718 - 24.834 570 26.121

27. Sumenep 149 - - 11.886 12.035

28. Trenggalek - - 12.232 3.840 16.072 29. Tuban 10.878 - 8.679 27.020 46.577 30. Tulungagung - - 25.129 289 25.418 Jumlah 46.001 10.268 894.924 317.515 1.268.709 Keterangan : LS = Lahan sawah sekunder LU = lahan sawah utama

Dalam skala makro, kebijakan mempertahankan sawah-sawah irigasi teknis di Pulau Jawa ini harus diarahkan kepada pertumbuhan sektor pertanian secara menyeluruh dan kepada peningkatan ketahanan pangan sedemikian rupa, sehingga bukan sekedar untuk menjaga stabilitas politik nasional dan hanya memenuhi kebutuhan sektor industri dan jasa, melainkan benar-benar untuk kemajuan sektor pertanian tersebut agar selaras dengan sektor industri dan jasa. Selanjutnya diperlukan kebijakan berskala operasional ke arah pemberdayaan ekonomi masyarakat petani khususnya dan masyarakat kecil

(15)

pada umumnya. Langkah ini sangat strategis guna memperkecil kesenjangan pembangunan desa-kota, pertanian-industri, sektor formal-informal.

Sebagai panduan, perlu ditetapkan pengaturan disinsentif konversi lahan, antara lain mengatur kompensasi lahan sawah yang terkonversi di Jawa dengan pencetakan sawah baru di luar Jawa. Sawah baru tersebut harus mampu berproduksi secara berkelanjutan dan luasnya 3-5 kali luas lahan yang terkonversi. Selain itu, perlu ditetapkan bantuan pemerintah bagi pemilik sawah yang tetap berproduksi tinggi di Jawa, misalnya dengan kemudahan mendapat air irigasi, pemberian subsidi pupuk atau pengaturan harga dasar gabah, dan sebagainya. Peraturan tersebut akan lebih kuat apabila ditetapkan dengan Keppres RI.

Perlu dicatat bahwa peta ’lahan sawah abadi’ dalam studi ini didasarkan atas peta lapangan skala 1:250.000, sehingga belum cukup detail untuk implementasi tingkat kabupaten. Akan lebih baik apabila selanjutnya dapat dibuat Peraturan Daerah (Perda) yang didukung dengan peta kadastral berdasarkan data Badan Pertanahan Nasional.

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Konversi lahan sawah tidak dapat dihentikan secara keseluruhan, namun perlu upaya-upaya pengendalian agar tidak mengancam ketahanan pangan nasional, antara lain dengan penetapan sawah abadi atau lahan sawah utama yang tidak boleh dikonversi, kecuali dengan kompensasi yang berat sesuai ketetapan pemerintah. Kriteria yang diajukan adalah: Lahan sawah irigasi (teknis atau semiteknis) dengan intensitas dua kali tanam atau lebih dalam setahun, mempunyai produktivitas lebih besar atau sama dengan 4,5 t/ha, dan berada dalam satu hamparan dengan luas minimal 100 ha (tidak terfragmentasi).

2. Kawasan lahan sawah di Pulau Jawa yang layak diarahkan untuk dipertahankan sebagai lahan sawah utama sekitar 88,5% dari luas sawah di Pulau Jawa, yaitu berturut-turut dari propinsi yang terluas adalah Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten, dan DI Yogyakarta dengan luasan lahan sawah utama masing- masing 1.212.439 ha, 966.368 ha, 774.121 ha, 131.108 ha, dan 50.552 ha.

3. Kebijakan pengendalian konversi lahan sawah beririgasi dan merupakan kawasan lahan sawah utama harus benar-benar terintegrasi dengan rencana pengembangan tata ruang kota pada khususnya dan rencana tata ruang wilayah pada umumnya.

Selain itu perlu adanya insentif yang sangat menarik bagi petani agar mampu melaksanakan usaha tani dengan produksi tinggi dan memberikan kesejahteraan kepada keluarga tani.

(16)

4. Peraturan pengendalian konversi lahan sawah akan lebih kuat dan berbobot apabila ditetapkan dengan Keputusan Presiden atau Peraturan Pemerintah. Dalam implementasinya perlu didukung dengan kebijakan-kebijakan lain, diantaranya yang mengatur luas lahan milik/garapan dan pengendalian fragmentasi lahan yang terkait dengan hukum waris.

5. Berdasarkan PP atau Keppres tersebut, selanjutnya di tingkat kabupaten perlu disusun Peraturan Daerah tentang konversi lahan sawah yang didukung dengan peta skala detail atau peta kadastral.

DAFTAR PUSTAKA

Agus, F., R.L. Watung, H. Suganda, S.H. Tala’ohu, Wahyunto, S. Sutono, A.

Setiyanto, H. Magnowani, A.R. Nurmanaf, dan M. Kundarto. 2003. Assesment of environmental multifunctions of faddy farming in Citarum river basin, West Java, Indonesia. hlm. 1-28 dalam Prosiding Seminar Nasional Multifungsi dan Konversi Lahan Pertanian. Bogor, 2 Oktober dan Jakarta, 25 Oktober 2002.

Puslitbangtanak, Bogor.

BPN. 2001. Pengolahan, komputerisasi dan digitasi peta, penyajian peta dan penyusunan analisis aspek pertanahan lokasi sawah irigasi teknis Propinsi Bali.

Proyek Inventarisasi dan Evaluasi Sumber Daya Lahan di Daerah Prioritas.

BPS. 1993. Statistik Indonesia. Biro Pusat Statistik, Jakarta BPS. 1999. Statistik Indonesia. Biro Pusat Statistik, Jakarta.

BPS. 2001. Statistik Indonesia. Biro Pusat Statistik, Jakarta.

BPS. 2002. Statistik Indonesia. Biro Pusat Statistik, Jakarta.

Irawan, B., S. Friyatno, A. Supriyatna, I.S. Anugrah, N.A. Kitom, B. Rachman, and B.

Wiryono. 2001. Perumusan Modal Kelembagaan Konversi Lahan Pertanian.

Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Las, I., S. Purba, B. Sugiharto, dan A. Hamdani. 2000. Proyeksi Kebutuhan dan Pasokan Pangan tahun 2000-2020. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor (Tidak dipublikasikan).

Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 1998. Penelitian Penggunaan Lahan dengan Citra Satelit di Jawa. Proyek Pembinaan Kelembagaan Penelitian dan Pengembangan Pertanian/ARMP-II, Badan Litbang Pertanian, Bogor (Tidak dipublikasikan).

(17)

Puslitbangtanak. 2002. Atlas Arahan Tata Ruang Pertanian Nasional. Skala 1:1.000.000. Bogor.

PSE. 1997. Analisis Permintaan dan Penawaran Komoditas Pertanian Utama dalam Pelita VII. ARMP. Departemen Pertanian. 111 hlm.

Rusastra, I. W., dan G. S. Budhi. 1997. Konversi lahan pertanian dan strategi antisipatif dalam penanggulangannya. Jurnal Litbang Pertanian 16 (4):107-113.

Simatupang, P., B. Sayaka, KD Saktyanu, S. Mariamto, M. Ariani, dan M. Syafaat.

2003. Analisis kebijakan ketahanan pangan dalam era globalisasi dan otonomi daerah. Makalah disampaikan pada Pra-Widiakarya Pangan dan Gizi Nasional.

Jakarta, 14-15 Oktober 2003 (Tidak dipublikasikan).

Sudaryanto, T. 2002. Konversi lahan dan produksi pangan nasional. hlm. 57-65 dalam Prosiding Seminar Nasional Multifungsi dan Konversi Lahan Pertanian. Bogor, 2 Oktober dan Jakarta, 25 Oktober 2002. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.

Sumaryanto, S. Friyanto, dan B. Irawan. 2001. Konversi lahan sawah ke penggunaan non-pertanian dan dampak negatifnya. hlm. 1-18. dalam F. Agus (Eds.).

Prosiding Seminar Nasional Multifungsi Lahan Sawah. Bogor, 1 Mei 2001.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.

Sumaryanto, Wahida, dan M. Siregar. 2003. Determinan efisiensi teknis usahatani padi di lahan sawah irigasi. Jurnal Agro-ekonomi. hlm. 72-96.

Suryana, A. 2003. Strategi Percepatan Pencapaian Ketahanan Pangan Mandiri.

Makalah Utama pada Seminar Nasional Inovasi Teknologi Sumber daya Tanah dan Iklim. Bogor, 14-16 Oktober 2003 (Belum dipublikasikan).

Swastika, D.K.S., P.U. Hadi, dan N. Ilham. 2000. Proyeksi Penawaran dan Permintaan Komoditas Tanaman Pangan: 2000-2010. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. 24 hlm.

Gambar

Tabel 1. Proyeksi produksi dan konsumsi beras Indonesia
Tabel 2. Kondisi lahan sawah di Pulau Jawa dan Madura
Tabel 3. Produktivitas padi sawah menurut propinsi di Jawa
Tabel 4. Neraca lahan sawah di Indonesia periode 1981-1999
+6

Referensi

Dokumen terkait

Setelah penelitian dilakukan, ditemukan: 1 Pasal 7 Ayat 3 dan Pasal 14 Perda Kabupaten Bondowoso Nomor 3 Tahun 2012 berisi peraturan zonasi—jarak antara toko modern dan

aplikasi weka. Fitur - fitur tersebut merupakan fitur yang memiliki peluang besar dalam membedakan jenis nyamuk pada proses klasifikasi. Hasil rata - rata pada siklus

Biaya perjalanan dari pegawai golongan CC/III ke bawah termaksud, yang berhubung dengan sifat pekerjaannya harus sering menjalankan tugas pekerjaan di luar tempat

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkah, rahmat, dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah saya yang berjudul’

Dari uraian singkat di atas, dapat dilihat bahwa dasar utama proses pelaksanaan likuidasi bank adalah PP Nomor 25 Tahun 1999 dan SK Direksi BI Nomor

#anker Pankreas merupakan tumor ganas yang berasal dari sel$sel yang melapisi #anker Pankreas merupakan tumor ganas yang berasal dari sel$sel yang melapisi

(1) Evaluasi Pengembangan Koleksi sebagai Dasar Memahami Problematika dalam Perpustakaan (Studi Kasus Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Provinsi Gorontalo) (Ade Yul Pascasari Katili);

Jika suatu perusahaan hanya memiliki saham biasa, atau saham biasa dan saham preferen tidak dapat dikonversi yang beredar, dan tidak memiliki sekuritas lain yang dapat