• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Rahman (2013), perilaku prososial adalah segala tindakan yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Rahman (2013), perilaku prososial adalah segala tindakan yang"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Perilaku Prososial

1. Definisi Perilaku Prososial

Menurut Rahman (2013), perilaku prososial adalah segala tindakan yang ditujukan untuk memberikan keuntungan pada satu atau banyak orang. Eisenberg dan Mussen (Dayakisni & Hudaniah, 2009) berpendapat bahwa perilaku prososial merujuk kepada tindakan sukarela yang bertujuan untuk menolong ataupun memberi kepada individu lainnya.

Schoroeder dkk (Rahman, 2013) menyatakan bahwa perilaku prososial terbagi atas tiga sub kategori yaitu helping, altruism, dan cooperation. Helping dimaknai sebagai suatu tindakan yang memiliki konsekuensi memberikan keuntungan atau meningkatkan kualitas hidup orang lain. Altruism dimaknai sebagai jenis perilaku menolong dalam hal si penolong memberikan bantuan pada orang lain tanpa mengharapkan keuntungan. Cooperation dimaknai sebagai suatu hubungan antara dua orang atau lebih yang saling menguntungkan secara positif karena tujuan tertentu.

Baron dan Byrne (2003) berpendapat bahwa perilaku prososial adalah suatu tindakan menolong yang menguntungkan orang lain tanpa harus menyediakan suatu keuntungan langsung pada orang yang melakukan tindakan tersebut.

Sedangkan menurut Sears dkk (2004), perilaku prososial meliputi segala bentuk

▸ Baca selengkapnya: perilaku estetis adalah

(2)

tindakan yang dilakukan atau direncanakan untuk menolong orang lain, tanpa memperdulikan motif-motif si penolong.

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku prososial adalah perilaku yang merujuk kepada tindakan sukarela yang bertujuan untuk menolong ataupun memberi kepada individu lainnya.

2. Aspek-Aspek Perilaku Prososial

Menurut Eisenberg dan Mussen (Dayakisni & Hudaniah, 2009), aspek-aspek perilaku prososial yaitu:

a. Berbagi (sharing)

Memberikan kesempatan kepada orang lain untuk dapat merasakan sesuatu yang dimilikinya, termasuk perhatian kepada orang lain untuk mencurahkan isi hatinya.

b. Kerjasama (cooperative)

Melakukan kegiatan bersama dengan orang lain untuk mencapai tujuan bersama, termasuk mempertimbangkan dan menghargai pendapat orang lain dalam berdiskusi.

c. Meyumbang (donating)

Perbuatan yang memberikan secara materil kepada seseorang atau kelompok.

d. Menolong (helping)

Membantu meringkan beban orang lain dengan melakukan kegiatan fisik bagi orang yang ditolong.

e. Kejujuran (honesty)

Tindakan dan ucapan yang sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.

(3)

f. Mempertimbangkan Kesejahteraan Orang Lain

Tindakan untuk melakukan suatu hal untuk kepentingan pribadi yang berhubungan dengan orang lain, serta mempunyai kepedulian terhadap orang lain dengan mengindahkan dan menghiraukan masalah orang lain.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek perilaku prososial adalah berbagi (sharing), kerjasama (cooperative), menyumbang (donating), menolong (helping), kejujuran (honesty) dan mempertimbangkan kesejahteraan orang lain.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Prososial

Berikut ini adalah faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku prososial:

a. Faktor Situasional

1) Bystander

Menurut Darley dan Latane (Sarwono & Meinarno, 2009), bystander atau orang-orang yang berada di sekitar tempat kejadian mempunyai peran besar dalam mempengaruhi seseorang saat memutuskan antara menolong atau tidak ketika dihadapkan pada keadaan darurat.

2) Daya Tarik

Sejauh mana seseorang mengevaluasi korban secara positif memiliki daya tarik akan mempengaruhi kesediaan orang untuk memberikan bantuan. Carlk dkk (Sarwono & Meinarno, 2009) berpendapat bahwa apa pun faktor yang dapat meningkatkan ketertarikan bystander kepada korban, akan meningkatkan kemungkinan terjadinya respons untuk menolong. Sedangkan

(4)

menurut Krebs (Sarwono & Meinarno, 2009), seseorang cenderung akan menolong orang yang dalam beberapa hal serupa dengan dirinya. Oleh karena itu, pada umumnya orang akan menolong anggota kelompoknya terlebih dahulu (in-group), kemudian menolong orang lain (out-group). Hal itu dikarenakan sebagai suatu kelompok tentunya ada beberapa kesamaan dalam diri mereka yang mengikat.

3) Atribusi terhadap Korban

Menurut Weiner (Sarwono & Meinarno, 2009), seseorang akan termotivasi untuk memberikan bantuan pada orang lain bila ia mengasumsikan bahwa ketidakberuntungan korban adalah di luar kendali korban. Dengan demikian, pertolongan tidak akan diberikan bila bystander mengasumsikan kejadian yang kurang menguntungkan pada korban adalah akibat kesalahan korban sendiri (atribusi internal).

4) Model

Menurut Sarwono (Sarwono & Meinarno, 2009), adanya model yang melakukan tingkah laku menolong dapat mendorong seseorang untuk memberikan pertolongan pada orang lain.

5) Desakan Waktu

Sarwono (Sarwono & Meinarno, 2009) berpendapat bahwa orang yang sibuk dan tergesa-gesa cenderung tidak menolong, sedangkan orang yang punya waktu luang lebih besar kemungkinannya untuk memberikan pertolongan kepada yang memerlukannya.

(5)

6) Sifat Kebutuhan Korban

Menurut Deaux dkk (Sarwono & Meinarno, 2009), kesediaan untuk menolong dipengaruhi oleh kejelasan bahwa korban benar-benar membutuhkan pertolongan (clarity of need), korban memang layak mendapatkan bantuan yang dibutuhkan (legitimate of need) dan bukan tanggung jawab korban sehingga ia memerlukan bantuan dari orang lain (atribusi eksternal).

b. Faktor dari dalam Diri

1) Suasana Hati

Menurut Baron dkk (Sarwono & Meinarno, 2009), emosi seseorang dapat mempengaruhi kecenderungannya untuk menolong. Emosi positif secara umum meningkatkan tingkah laku positif. Namun jika situasinya tidak jelas (ambigu), maka orang yang sedang bahagia cenderung untuk mengasumsikan bahwa tidak ada keadaan darurat sehingga tidak menolong. Pada emosi negatif, seseorang yang sedih mempunyai kemungkinan menolong yang lebih kecil.

Namun jika dengan menolong dapat membuat suasana hati lebih baik, maka dia akan memberikan pertolongan.

2) Sifat

Menurut Karremans dkk (Sarwono & Meinarno, 2009), orang yang mempunyai sifat pemaaf (forgiveness), ia akan mempunyai kecenderungan mudah menolong. Sedangkan menurut White dan Gerstein (Sarwono &

Meinarno, 2009), orang yang mempunyai pemantauan diri (self monitoring)

(6)

yang tinggi juga cenderung lebih menolong karena dengan menjadi penolong, ia akan memperoleh penghargaan sosial yang lebih tinggi. Beberapa karakteristik lainnya yang mendukung tingkah laku menolong adalah kebutuhan akan persetujuan (need for approval).

3) Jenis Kelamin

Deaux dkk (Sarwono & Meinarno, 2009) berpendapat bahwa peran gender terhadap kecenderungan seseorang untuk menolong sangat bergantung pada situasi dan bentuk pertolongan yang dibutuhkan. Laki-laki cenderung lebih mau terlibat dalam aktivitas menolong pada situasi darurat yang membahayakan. Hal ini terkait dengan peran tradisional laki-laki, yaitu laki- laki dipandang lebih kuat dan lebih mempunyai keterampilan untuk melindungi diri. Sementara perempuan lebih memberikan pertolongan pada situasi yang bersifat memberi dukungan emosi, merawat dan mengasuh.

4) Tempat Tinggal

Menurut Deaux dkk (Sarwono & Meinarno, 2009), orang yang tinggal di daerah pedesaan cenderung lebih prososial dari pada orang yang tinggal di daerah perkotaan. Hal ini dapat dijelaskan melalui urban-overload hypotesis, yaitu orang-orang yang tinggal diperkotaan terlalu banyak mendapatkan stimulasi dari lingkungan. Oleh karena itu, orang yang tinggal di daerah perkotaan harus selektif dalam menerima paparan informasi agar dapat tetap menjalankan peran-perannya dengan baik. Di perkotaan, orang-orang yang sibuk sering tidak peduli dengan kesulitan orang lain karena ia sudah overload dengan beban tugasnya sehari-hari.

(7)

5) Pola Asuh

Menurut Bern (Sarwono & Meinarno, 2009), tingkah laku sosial sebagai bentuk tingkah laku yang menguntungkan orang lain tidak terlepas dari peranan pola asuh di dalam keluarga. Pola asuh yang bersifat demokratis secara signifikan memfasilitasi adanya kecenderungan anak untuk tumbuh menjadi seorang yang mau menolong. Selain itu, Mashoedi (Sarwono &

Meinarno, 2009) berpendapat bahwa pola asuh orang tua yang demokratis juga turut mendukung terbentuknya internal locus of control yang merupakan salah satu sifat dari kepribadian altruistik. Baron dkk (Sarwono & Meinarno, 2009) mengemukakan bahwa orang yang suka menolong memiliki locus of control internal lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang tidak suka menolong.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat dua faktor yang mempengaruhi perilaku prososial, yaitu faktor situasional dan faktor dari dalam diri. Faktor situasional meliputi bystander, daya tarik, atribusi terhadap korban, model, desakan waktu dan sifat kebutuhan korban. Sedangkan faktor dari dalam diri meliputi suasana hati, sifat, jenis kelamin, tempat tinggal dan pola asuh.

B. Regulasi Emosi

1. Definisi Regulasi Emosi

Regulasi emosi merupakan cara individu mempengaruhi emosinya, kapan dan bagaimana emosi tersebut dialami serta diekspresikan. Regulasi emosi dapat terjadi secara otomatis atau terkontrol dan disadari atau tidak disadari. Dengan

(8)

demikian, regulasi emosi menyebabkan emosi seseorang meningkat atau menurun yang melibatkan emosi positif (bahagia) dan negatif (marah dan sedih) (Gross, 2007).

Frijda (1986) berpendapat bahwa regulasi emosi adalah cara individu untuk menentukan emosi apa yang dirasakan, kapan emosi tersebut dirasakan, dan bagaimana mengekspresikannya.

Garnefski dan Kraaij (2007) mengatakan bahwa regulasi emosi secara kognitif adalah suatu cara kognitif untuk mengelola informasi yang dapat menimbulkan suatu kondisi emosi tertentu, dan merupakan bagian kognitif dari coping yang dikarakteristikkan dengan self blame, acceptance, rumination atau focus on thought, positive recofusing, recofus on planning, positive reappraisal, putting into perspective, catasrophizing dan blamming others.

Menurut Thompson (Eisenberg, Fabes, Reiser & Guthrie 2000), regulasi emosi terdiri atas proses intrinsik dan ekstrinsik yang bertanggung jawab untuk mengenal, memonitor, mengevaluasi dan membatasi respon emosi khususnya intensitas dan bentuk reaksinya untuk mencapai suatu tujuan. Regulasi emosi yang efektif meliputi kemampuan secara fleksibel mengelola emosi sesuai dengan tuntutan lingkungan.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa regulasi emosi adalah suatu cara kognitif untuk mengelola informasi yang dapat menimbulkan suatu kondisi emosi tertentu, dan merupakan bagian kognitif dari coping yang dikarakteristikkan dengan self blame, acceptance, rumination atau focus on

(9)

thought, positive recofusing, recofus on planning, positive reappraisal, putting into perspective, catasrophizing dan blamming others.

2. Aspek-Aspek Regulasi Emosi

Menurut Garnefski dan Kraaij (2007), terdapat sembilan aspek regulasi emosi, yaitu :

a. Self blame, yaitu pola pikir menyalahkan diri sendiri atas peristiwa negatif yang dialaminya.

b. Acceptance, yaitu pola pikir menerima atau pasrah terhadap keadaan yang menimpanya.

c. Rumination atau focus on thought, yaitu pola pikir yang berpusat pada pemikiran atau perasaan terhadap peristiwa negatif yang dialaminya.

d. Positive recofusing, yaitu pola pikir untuk memilih memikirkan hal-hal yang menyenangkan.

e. Recofus on planning, yaitu pola pikir tentang apa yang akan dilakukan dan bagaimana mengatasi peristiwa negatif yang menimpanya.

f. Positive reappraisal, yaitu pemikiran mengenai manfaat yang dapat diambil atau hikmah dari peristiwa negatif yang dialaminya.

g. Putting into perspective, yaitu pola pikir untuk tidak menganggap serius peristiwa negatif yang dialaminya, atau menekankan relativitas makna dari peristiwa negatif yang telah dialaminya dibandingkan dengan kejadian yang lainnya.

h. Catastrophizing, yaitu pemikiran bahwa hal yang negatif yang menimpanya merupakan sesuatu yang sangat buruk.

(10)

i. Blaming others, yaitu pola pikir menyalahkan orang lain atas peristiwa negatif yang dialaminya.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek regulasi emosi adalah self blame, acceptance, rumination atau focus on thought, positive recofusing, recofus on planning, positive reappraisal, putting into perspective, catastrophizing dan blaming others.

C. Caregiver

1. Definisi Caregiver

Caregiver adalah seseorang yang memberikan bantuan kepada orang yang mengalami ketidakmampuan dan memerlukan bantuan karena penyakit dan keterbatasannya (Sukmarini, 2009). Seorang caregiver dapat berasal dari anggota keluarga, teman, ataupun tenaga profesional yang mendapatkan bayaran (Nadya, 2009). Oyebode (2003) mendefinisikan cargiver adalah seseorang yang menyediakan perawatan untuk individu lain baik laki-laki atau perempuan yang memerlukan bantuan.

Berdasarkan uraian di atas caregiver lansia adalah seseorang yang memberikan bantuan kepada individu yang mengalami ketidakmampuan dan memerlukan bantuan karena penyakit dan keterbatasannya yang berasal dari anggota keluarga, teman ataupun tenaga profesional yang mendapatkan bayaran dengan memberikan bantuan.

(11)

2. Karakteristik Caregiver

Combs, Avila, dan Purkey (Sarwendah, 2013) mengatakan bahwa seorang caregiver percaya bahwa dirinya memiliki kemampuan, bersahabat, berharga, termotivasi secara internal, dapat menjadi tempat bergantung dan suka menolong orang lain. Sedangkan Compton dan Galaway (Sarrwendah, 2013) berpendapat bahwa seorang caregiver memiliki kapasitas untuk kreatif, mampu mengobservasi diri sendiri ketika berinteraksi dengan orang lain, memiliki keinginan untuk menolong, serta memiliki keberanian dan kepekaan untuk menilai dan memutuskan sesuatu atas dasar kepentingan klien.

Menurut Johnson (1998), karakteristik caregiver antara lain:

a. Individu yang berpandangan positif pada diri dan lingkungannya.

b. Individu yang memiliki kepedulian pada orang lain.

c. Individu yang terbuka, dapat dipercaya, hangat, bersahabat dan jujur.

d. Individu yang bekerja bersama dengan klien, bukan bekerja untuk klien.

e. Individu yang bereaksi pada kebutuhan klien, bukan berdasarkan prosedur tertentu.

f. Individu yang memiliki kemampuan menilai yang baik dan bersedia mengambil risiko dalam membantu orang lain.

g. Individu yang berpandangan realistis pada situasi kemanusiaan, kemungkinan derajat perubahan dan waktu yang dibutuhkan untuk berubah.

(12)

3. Jenis-Jenis Caregiver

Menurut Barrow (1996), caregiver terdiri atas dua jenis yaitu:

a. Caregiver formal yaitu seseorang yang memberikan perawatan dengan melakukan pembayaran yang disediakan oleh rumah sakit, psikiater, pusat perawatan ataupun tenaga profesional lainnya.

b. Caregiver informal yaitu seseorang yang memberikan perawatan dengan tidak melakukan pembayaran dan tidak secara tenaga profesional. Perawatan ini dapat dilakukan di rumah dan biasa diberikan oleh pasangan penderita, anak dari penderita atau anggota keluarga lainnya.

D. Lansia

Seseorang dikatakan lanjut usia (lansia) apabila usianya 65 tahun ke atas.

Lansia bukan suatu penyakit, namun merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres lingkungan. Lansia adalah keadaan yang ditandai oleh kegagalan seseorang untuk mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stres fisiologi.

Kegagalan ini berkaitan dengan penurunan daya kemampuan untuk hidup serta peningkatan kepekaan secara individual (Efendi & Makhfudli, 2009).

Berdasarkan Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Maryam dkk, 2008), klasifikasi lansia terdiri atas:

a. Pralansia (prasenilis) yaitu seseorang yang berusia antara 45-59 tahun.

b. Lansia ialah seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih.

(13)

c. Lansia risiko tinggi ialah seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih dan seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan.

d. Lansia potensial ialah lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang dan jasa.

e. Lansia tidak potensial ialah lansia yang tidak berdaya mencari nafkah sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain.

E. Kerangka Pemikiran

Setiap manusia akan mengalami masa penuaan, yang merupakan bagian dari proses biologis. Setiap lansia akan mengalami proses penuaan yang diikuti dengan menurunnya kemampuan fisik dan pikiran. Semakin meningkatnya angka usia harapan hidup penduduk Indonesia maka semakin cepat laju pertumbuhan penduduk lanjut usia di Indonesia (Kemsos, 2012).

Seseorang dikatakan lanjut usia (lansia) apabila usianya 65 tahun ke atas.

Lansia bukan suatu penyakit, namun merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres lingkungan. Lansia adalah keadaan yang ditandai oleh kegagalan seseorang untuk mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stres fisiologi.

Kegagalan ini berkaitan dengan penurunan daya kemampuan untuk hidup serta peningkatan kepekaan secara individual (Efendi & Makhfudli, 2009).

Para lansia yang terlantar membutuhkan pelayanan sosial, yaitu panti sosial.

Para lansia yang tinggal di panti sosial akan dirawat oleh caregiver. Combs, Avila, dan Purkey (Sarwendah, 2013) mengatakan bahwa seorang caregiver

(14)

percaya bahwa dirinya memiliki kemampuan, bersahabat, berharga, termotivasi secara internal, dapat menjadi tempat bergantung dan suka menolong orang lain.

Menurut Eisenberg dan Mussen (Dayakisni & Hudaniah, 2009) perilaku prososial merujuk kepada tindakan sukarela yang bertujuan untuk menolong ataupun memberi kepada individu lainnya. Sedangkan menurut Rahman (2013), perilaku prososial adalah segala tindakan yang ditunjukan untuk memberikan keuntungan pada satu atau banyak orang. Perilaku prososial adalah salah satu perilaku yang harus dimiliki oleh caregiver karena tugas sebagai caregiver adalah merawat dan membantu para lansia. Sedangkan lansia yang mereka rawat adalah lansia yang tidak memiliki keluarga. Para lansia tersebut membutuhkan dukungan sosial yang dapat diberikan oleh caregiver dan lansia pun akan merasa dirinya ada yang memperhatikan.

Seseorang yang mempunyai pengalaman-pengalaman baik atau menyenangkan dalam memberikan pertolongan akan membuat orang kembali melakukan perilaku prososial. Sedangkan, pengalaman yang tidak menyenangkan akan membuat orang cenderung menghindari perilaku prososial. Orang yang dalam suasana hati menggembirakan akan lebih suka menolong dan sebaliknya orang dalam suasana hati sedih, orang akan cenderung menghindarkan diri dalam memberi pertolongan. Proses ini biasanya sering terjadi dalam pengambilan keputusan seseorang untuk melakukan perilaku prososial atau tidak (Sears, 2004).

Perilaku prososial dipengaruhi oleh dua faktor yaitu, faktor situasional dan faktor dari dalam diri. Faktor situasional meliputi bystander, daya tarik, atribusi

(15)

terhadap korban, model, desakan waktu dan sifat kebutuhan korban, sedangkan faktor dari dalam diri meliputi suasana hati, sifat, jenis kelamin, tempat tinggal dan pola asuh. Suasana hati adalah salah satu faktor dalam diri dari perilaku prososial yang termasuk ke dalam regulasi emosi.

Menurut Abraham dan Shanley (1997), pada dasarnya perilaku prososial dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya adalah suasana hati. Hal itu dikarenakan seseorang yang memiliki suasana hati yang baik akan cenderung membantu dan mengatasi situasi darurat dengan tepat, sehingga untuk mendapatkannya dibutuhkan regulasi emosi untuk menstabilkan atau mengendalikan emosi. Walgito (2004) berpendapat bahwa emosi yang terkendali menyebabkan orang dapat berfikir secara lebih baik sehingga mampu melihat persoalan secara objektif.

Garnefski dan Kraaij (2007) mengatakan bahwa regulasi emosi secara kognitif adalah suatu cara kognitif untuk mengelola informasi yang dapat menimbulkan suatu kondisi emosi tertentu dan merupakan bagian kognitif dari coping. Caregiver yang tidak dapat meregulasi emosinya akan mengganggu kerja mereka dalam merawat para lansia. Menurut Gross dan Thompson (2007), seseorang dengan regulasi emosi yang tinggi akan mampu mempengaruhi emosinya dengan cara mengatur bagaimana individu merasakan dan mengekspresikan emosinya agar dapat berpikir tenang dan jernih.

Goleman (1994) mengemukakan bahwa kecakapan dalam mengelola emosi akan membuat individu terhindar dari hal-hal yang dapat merugikan dirinya.

(16)

Dengan kata lain, seseorang dengan regulasi emosi yang tinggi akan mampu berperilaku dengan benar dan menguntungkan dirinya sendiri serta orang lain seperti bekerjasama, menolong, bersahabat, berbagi dan sebagainya. Akan tetapi, lain halnya dengan seseorang yang memiliki regulasi emosi rendah. Orang tersebut akan memunculkan dampak negatif dari ketidakmampuannya dalam mengendalikan emosi. Hal itu dikarenakan seseorang kurang memahami emosi yang dirasakan dan kejadian yang dialami sehingga menyebabkannya sulit untuk melakukan modifikasi emosi dalam penyelesaian masalah. Oleh karena itu, regulasi emosi dalam perilaku prososial adalah penting.

Menurut Suharnan (2005), seseorang yang kurang memahami masalah yang sedang dihadapi dan emosi yang dirasakan akan mengalami kesulitan dalam melakukan modifikasi situasi maupun menafsirkan ulang masalahnya. Dengan kata lain, ketika seseorang tidak mampu mengenali emosinya maka ia tidak mampu untuk mengekspresikan emosinya. Thompson (1994) mengungkapkan bahwa kemampuan mengevaluasi emosi merupakan kemampuan individu untuk menilai dan menyeimbangkan emosi-emosi yang dialami. Kemampuan seseorang dalam mengevaluasi emosi khususnya emosi negatif seperti marah dan sedih dapat membuat seseorang tidak terpengaruh secara mendalam terhadap hal tersebut. Dengan demikian, individu dapat berpikir rasional dan optimis untuk memberikan pelayanan serta pertolongan.

(17)

Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa perilaku prososial harus dimiliki oleh seorang caregiver lansia dan mampu meregulasi emosi mereka untuk merawat lansia. Apabila caregiver tidak dapat meregulasi emosinya, maka ia akan merasa terganggu dalam pekerjaannya.

Berkorelasi Gambar 1.

Kerangka Berpikir

F. Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian ini adalah terdapat hubungan antara regulasi emosi dengan perilaku prososial pada caregiver lansia di Panti Sosial Tresna Werdha DKI Jakarta.

Regulasi Emosi (X)

Perilaku Prososial (Y)

Referensi

Dokumen terkait

Khususnya yang berkaitan dengan manajemen pengetahuan (knowledge management) juga bukan hal baru; berbagai pemikiran tentang peran pengetahuan dalam organisasi dan

Hasil uji hipotesis dengan menggunakan ANOVA, chi-square, dan uji-t sebagai metode analisis data menunjukkan bahwa variabel kualitas proses perencanaan dari karakteristik

Hal ini sesuai dengan karakter UNISSULA yaitu Budaya Akademik Islam (BudAI) yang berinti pada penguatan ruhiyah dan iptek. Adapun penguatan ruhiyah adalah penguatan

Hasil penelitian ekstrak etanol daun cincau hijau (Cyclea barbata Miers) efektif menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus dan diperoleh rata-rata

Oleh karena itu, pada penelitian ini bertujuan untuk menggali informasi tentang penilaian kinerja dengan teknik self assessment dalam evaluasi kinerja mahasiswa

Sebelumnya, Direktur Program USAID PRIORITAS, Stuart Weston, menyampaikan kepada Mendikbud bahwa praktik- praktik yang baik dalam pembelajaran, manajemen sekolah, dan budaya baca

Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa pemetaan profil kecamatan di Kabupaten Sragen dilakukan dengan menggunakan algoritma

Penggunaan media VCD dalam pembelajaran merupakan salah satu bentuk pembelajaran yang menggunakan media berupa VCD sebagai sarana untuk menyampaikan bahan ajar,