• Tidak ada hasil yang ditemukan

SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DAN HUKUM PIDANA ISLAM SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DAN HUKUM PIDANA ISLAM SKRIPSI"

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Disusun Untuk Melengkapi Tugas-tugas Memenuhi Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

Ahmad Suhaimi 140200298

Departemen Hukum Pidana

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(2)
(3)

ABSTRAK Ahmad Suhaimi1

Prof. Dr. Madiasa Ablisar, SH., MS**

Syafruddin, S.H., MH., DFM***

Sebagai kejahatan yang paling rentan terjadi di masyarakat, tindak pidana penganiayaan memerlukan pengaturan yang lebih komperhensif dan relevan dengan kepentingan masyarakat serta dapat menjamin rasa aman sesuai dengan yang diamanatkan Pasal 28G ayat 1 UUD 1945. Upaya untuk menciptakan aturan yang komperhensif serta relevan tersebut dapat dilakukan dengan mempertimbangkan dimasukkannya materi-materi hukum yang hidup di dalam masyarakat sebagai sumber hukum materil, salah satunya adalah hukum pidana Islam. Hal ini mendorong penulis untuk melakukan studi komparatif dengan mengangkat permasalahan bagaimana pengaturan tindak pidana penganiayaan serta bagaimana sanksinya dalam KUHP dan hukum Pidana Islam.

Penulisan skripsi ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doctrinal dengan mengumpulkan data skunder berupa bahan- bahan yang berkaitan dengan masalah tindak pidana penganiayaan menurut KUHP maupun Hukum Pidana Islam.

Hasil yang diperoleh setelah melakukan analisis terhadap data-data yang ada yaitu di dalam ketentuan KUHP yang mengatur tentang tindak pidana penganiayaan tidak akan dijumpai pengertian dari penganiayaan itu sendiri karena sangat sulit untuk merangkumnya ke dalam satu rumusan yang pasti. Di sini hakim memiliki kekuasaan yang luas dalam melakukan interpretasi, akan tetapi hal itu harus dilakukan secara bebas dan bertanggungjawab serta dengan mempertimbangkan kemungkinan perubahan nilai-nilai sosial dan budaya maupun perkembangan teknologi di dalam masyarakat. Di dalam ruang lingkup hukum pidana Islam juga demikian, akan tetapi di balik keberagaman istilah tindak pidana penganiayaan bermuara pada suatu perbuatan menyakiti tubuh manusia yang dapat berbentuk pelukaan terhadap anggota badan, penghilangan fungsi anggota badan, atau penghilangan (pemisahan) dari tempat asalnya.

Sementara untuk sanksi yang dikenakan bagi pelaku penganiayaan, KUHP menggunakan pidana penjara, sedangkan dalam hukum pidana Islam dapat berupa hukuman qishash, diyat, maupun ta‟zir. Hukuman diyat kiranya dapat dijadikan sebagai acuan untuk menerapkan pendekatan restorative justice.

Kata Kunci : Hukum Pidana Islam, Tindak Pidana Penganiayaan.

* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

** Dosen Pembimbing I Skripsi Penulis, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

*** Dosen Pembimbing II Skripsi Penulis, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(4)
(5)

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Mahas Esa atas setiap rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam penulis ucapkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, yang telah menuntun kita semua hingga saat ini dan semoga kita mendapatkan pertolongan di hari kiamat nanti.

Skripsi ini berjudul “Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penganiayaan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Hukum Pidana Islam” yang disusun guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari proses penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan dan doa dari berbagai pihak, dalam kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Univeristas Sumatera Utara.;

2. Bapak Dr. OK. Saidin, S.H., M.Hum. selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.;

3. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum. selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.;

4. Bapak Dr. Jelly Leviza, selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.;

5. Bapak Dr. M. Hamdan, SH., MH. selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

(6)

7. Bapak Syafruddin, SH., MH. DFM. selaku Dosen Pembimbing II penulis yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pemikiran dalam memberikan bimbingan selama proses penyusunan skripsi ini.;

8. Bapak Drs. Nazaruddin, S.H., M.A. selaku Dosen Departemen Hukum Tata Negara dan sekaligus selaku Dosen Penasehat Akademik penulis yang telah memberikan ilmu dan nasehat selama penulis menjalani perkuliahan.;

9. Seluruh Dosen dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan banyak Ilmu Pengetahuan Hukum dan mendidik penulis selama di bangku perkuliahan.;

10. Seluruh staf pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.;

11. Terkhusus Kedua Orang Tua, Jamaluddin dan Nurhani Lubis penulis menghaturkan terimakasih dan rasa syukur karena telah membesarkan, merawat, dan memberikan kasih sayang serta mendoakan penulis dalam menjalani kehidupan ini.;

12. Zulfikar, Ashar Winardi, Muhammad Yasid, dan Majidah, selaku adinda- adinda penulis yang telah memberikan semangat dan doa selama ini;

13. Almarhum Opg. Hj. Suaibatul Islamiah yang semasa hidupnya selalu memberikan semangat, motifasi, dan pengajaran kepada penulis dari penulis masih kanak-kanak hingga penulis duduk di bangku perkuliahan sekarang ini.

(7)
(8)

ABSTRAK ... i

LEMBAR PERNYATAAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ………... vi

DAFTAR ISTILAH ... viii

DAFTAR TABEL ...xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan ... 9

D. Keaslian Penulisan ... 10

E. Tinjauan Pustaka ... 10

1. Hukum Pidana menurut KUHP dan Hukum Islam ... 10

2. Tindak Pidana (Strafbaar Feit) menurut KUHP dan Hukum Islam .. 23

3. Sanksi Pidana menurut KUHP dan Hukum Islam ... 37

F. Metode Penelitian ... 50

G. Sistematika Penulisan ... 58

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA.... 60

A. Pengertian Tindak Pidana Penganiayaan ... 61

B. Unsur-unsur Tindak Pidana Penganiayaan ... 62

(9)

A. Pengertian Tindak Pidana Penganiayaan ... 73

B. Unsur-unsur Tindak Pidana Penganiayaan ... 74

C. Dasar Hukum Tindak Pidana Penganiayaan ... 75

D. Pembagian Tindak Pidana Penganiayaan ... 77

BAB IV SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU PENGANIAYAAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DAN HUKUM PIDANA ISLAM ... 82

A. Sanksi Pidana Pelaku Penganiayaan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ... 82

B. Sanksi Pidana Pelaku Penganiayaan menurut Hukum Pidana Islam ... 88

BAB V PENUTUP ... 101

A. Kesimpulan ... 101

B. Saran ... 103

DAFTAR PUSTAKA……….104

(10)

„Uqubah badaliah Hukuman pengganti

„Uqubah taba‟iah Hukuman tambahan

„Uqubah takmillah Hukuman pelengkap Al-Rukn al-Adabya Unsur moril

Al-Rukn al-Madi Unsur materiil Al-Rukn al-Sya‟iy Unsur hukum

Ar-ra‟yu Pendapat orang atau pendapat orang-orang yang memenuhi syarat untuk menentukan nilai dan norma (kaidah) pengukur tingkah laku manusia dalam segala bidang hidup dan kehidupan.

Daruriyat Kebutuhan primer

Diyat Harta yang wajib dibayarkan kepada korban atau walinya karena disebabkan oleh jinayat (tindak pidana) terhadap jiwa atau selain jiwa.

Fiqh Jinayah Hukum Pidana Islam

Had / Hudud Menurut istilah had atau hudud adalah hukuman- hukuman kejahatan yang telah ditetapkan oleh syara‟ untuk mencegah terjerumusnya seseorang kepada kejahatan yang sama dan menghapus dosa pelakunya.

Hadits /Sunnah Merupakan perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan dan persetujuan dari nabi Muhammad SAW yang dijadikan sebagai salah satu landasan syariat Islam.

Hajiyat Keperluan skunder

Hirabah Merupakan istilah yang merujuk pada tindakan sekelompok bersenjata di dalam Daulah Islamiyah yang melakukan kekacauan, pertumpahan darah, merampas harta, merusak kehormatan, merusak tanaman, merusak ternak, keharmonian agama,

(11)

adalah mengarahkan segala kemampuan yang terdapat pada seorang ahli hukum Islam dalam menggali hukum Islam yang bersifat praktis dari dalil yang terperinci.

Ja‟iz / Mubah / Ibahah Dalam KBBI ja‟iz merupakan suatu perbuatan yang diizinkan menurut agama (boleh dilakukan, tetapi boleh juga tidak.

Jarimah Istilah dalam hukum pidana Islam untuk menyebutkan atau merupakan padanan dari kata tindak pidana, peristiwa pidana atau delik.

Kifarat Merupakan suatu perbuatan yang dapat menghapus dosa dari perbuatan yang melanggar syariat Islam, misalnya seseorang berbuat sesatu yang dapat membatalkan puasanya di bulan Ramadhan, maka baginya wajiblah untuk membayar kifarat atas perbuatannya tersebut.

Nash Merupakan teks atau dalil Al-Qur‟an dan As- Sunnah yang maknanya jelas dan tidak mengandung kemungkinan maknanya yang lain.

Offense Merupakan istilah dalam negara-negara Anglo Saxon untuk menyebutkan delik atau tindak pidana Qadzab Yakni suatu jarimah atau tindak pidana dalam

Hukum Pidana Islam berupa perbuatan menuduh orang lain telah berbuat zina.

Qisash Merupakan salah satu bentuk sanksi dalam hukum pidana Islam dimana seseorang yang melakukan tindak pidana pembunuhan maupun penganiayaan mendapatkan balasan yang sesuai dengan perbuatan yang dilakukannya.

Riddah / Murtad Keluar dari agama Islam

Syajjaj Pelukaan pada bagian muka dan kepala

(12)

Syurb Al-Khamar Suatu tindak pidana dalam hukum pidana Islam yang termasuk ke dalam jarimah hudud yakni perbuatan berupa meminum minuman keras yang jelas-jelas sangat diharamkan dalam Islam.

Ta‟zir Merupakan hukuman pendidikan atas dosa (tindak pidana) yang belum ditentukan hukumannya oleh syara‟.

Tahsinat Kebutuhan skunder

Toerekeningswatbaarheit Kemampuan bertanggung jawab

Ulil Amri Yakni orang yang mempunyai kekuasaan atau

“penguasa”

Voorbedache raad Merencanakan terlebih dahulu Wederrechtelijkheid Sifat melanggar hukum

(13)
(14)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum ada pada setiap masyarakat dimanapun dimuka bumi ini (Ubi societas Ibi ius). Primitif dan modernnya suatu masyarakat pasti mempunyai hukum. Oleh karena itu keberadaan (eksistensi) hukum sifatnya universal. Hukum tidak bisa dipisahkan dengan masyarakat, keduanya mempunyai hubungan timbal balik. Aristoteles menyatakan bahwa manusia adalah zoon Politicon yang artinya bahwa manusia itu pada dasarnya selalu ingin bergaul, berkumpul dan membaur dengan sesama manusia. Oleh karena sifat manusia itu disebut “mahkluk sosial”.

Manusia sebagai mahkluk individu bisa saja mempunyai sifat untuk hidup menyendiri, tetapi manusia sebagai mahkluk sosial tidak akan mungkin dapat hidup menyendiri. Manusia harus hidup bermasyarakat, sebab ia lahir, hidup, berkembang, dan meninggal dunia di dalam masyarakat.

Setiap anggota masyarakat tersebut pasti memiliki kebutuhan dan kepentingan. Dengan adanya kebutuhan dan kepentingan yang berbeda-beda di dalam masyarakat tersebut maka sering teriadi pertentangan-pertentangan antara satu kepentingan dengan kepentingan lainnya. Agar kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan tersebut tidak menimbulkan kekacauan di dalam masyarakat dan agar kedamaian serta ketentraman dapat dipelihara maka perlu adanya suatu kekuasaan berupa petunjuk-petunjuk hidup atau peraturan-peraturan sebagai tata tertib yang harus ditaati oleh masyarakat.

(15)

Indonesia sebagai Negara Hukum memiliki aturan-aturan yang wajib dipatuhi oleh masyarakatnya agar kepentingan-kepentingan yang berbeda-beda di dalam masyarakat tersebut terhindar dari pertentangan-pertentangan antara satu kepentingan dengan kepentingan lainnya, agar kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan tersebut tidak menimbulkan kekacauan di dalam masyarakat dan agar kedamaian serta ketentraman dapat dipelihara.

Tolak ukur praktis mengenai filsafat hukum nasional Indonesia tidak lain adalah Pancasila yang terdiri dari lima sila dan merupakan abstraksi dari nilai- nilai luhur kehidupan manusia Indonesia, yang di dalamnya terkandung cita-cita hukum bangsa. Diantara kelima sila tersebut menurut Muhammad Hatta yang merupakan salah seorang dari the founding fathers Negara Indonesia yang juga merupakan proklamator kemerdekaan Indonesia bersama Soekarno, sila ke- Tuhanan Yang Maha Esa, merupakan sila pertama dan sekaligus merupakan sila yang utama sila pertama ini menyinari, mengayomi, memimpin dan mempersatukan keempat sila lainnya.

Sistem hukum Indonesia itu haruslah didasarkan kepada prinsip ke- Tuhanan Yang Maha Esa. Ini pula sebabnya mengapa sistem peradilan di Indonesia yang merupakan bagian dari sistem hukum, harus didasarkan kepada prinsip ke-Tuhanan yang Maha Esa. Setiap putusan hakim, harus dijatuhkan demi keadilan berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Demikian pula dalam pembukaan UUD 1945, Tuhan diakui sebagai pemberi Rahmat bagi upaya terwujudnya cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia dalam kata-kata “….Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa.., maka rakyat Indonesia, menyatakan

(16)

dengan ini kemerdekaannya…”. Bahkan mengenai sumpah Presiden dan Wakil Presiden juga diatur berdasarkan pasal 9 UUD 1945, harus diucapkan dimulai dengan kata-kata "Demi Allah”.2 Sejalan dengan hal tersebut di dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa Negara (Republik Indonesia) berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.

Berdasarkan kenyataan tersebut, Indonesia merupakan Negara Hukum yang hukum-hukumnya berpedoman kepada nilai-nilai Ketuhanan dan bukan negara sekuler atau liberal yang memisahkan antara kehidupan bernegara dengan kehidupan beragama yang kemudian hanya menggunakan rasionalisasi manusia.

Dengan demikian, praktek kehidupan berbangsa dan bernegara harusnya selalu dilandasi oleh nilai-nilai keagamaan, dan budaya luhur bangsa Indonesia.

Nilai-nilai keagamaan serta budaya luhur bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud di atas, meresap ke dalam substansi aturan-aturan hukum yang dibuat oleh bangsa Indonesia, baik itu dalam ranah publik maupun privat. Agar aturan hukum tersebut dapat ditegakkan maka ia akan disertai dengan sanksi.

Apabila sanksi hukum lain selain hukum pidana tersebut gagal, hukum pidana haruslah maju kedepan. Hal ini pernah dikemukakan Modderman dengan mengatakan, Negara seyogyanya memidana hal-hal yang bertentangan dengan hukum, yang tidak dapat dihambat dengan oleh upaya-upaya lain dengan baik, sehingga pidana tetap merupakan ultimum remedium (merupakan upaya terakhir).3Menurut Soedarto hukum pidana secara umum ditanggapi sebagai

2 Jimly Asshiddiqie. Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Angkasa 1996), hal. 194

3 Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah, Politik Hukum Pidana Kajian

Kebijakan-kebijakan Kriminalisasi dan Deskriminalisasi, (Jakarta: Pustaka Pelajar 2005), hal. 10

(17)

semua peraturan yang dibuat oleh yang berwenang dengan tujuan mengatur tata kehidupan bermasyarakat yang berupa larangan dan bersifat memaksa, dimana penjatuhan pidana diberikan kepada seseorang yang melanggarnya. Menurutnya bahwa hukum pidana memuat aturan-aturan hukum yang mengikatkan kepada perbuatan-perbuatan yang memenuhi syarat tertentu akibat yang berupa pidana.4 Adapun tujuan pidana menurut Roeslan Saleh yaitu:5

1. Dari segi prevensi, yaitu bahwa hukum pidana adalah hukum sanksi, suatu upaya untuk dapat mempertahankan kelestarian hidup bersama dengan melakukan pencegahan kejahatan; dan

2. Dari segi pembalasan yaitu bahwa hukum pidana sekaligus merupakan pula penentuan hukum, merupakan koreksi dan reaksi atas sesuatu yang bersifat melawan hukum sehingga dapat dikatakan bahwa pidana adalah merupakan perlindungan terhadap masyarakat dan pembalasan atas perbuatan melawan hukum. Disamping mengandung hal-hal lain yaitu bahwa pidana diharapkan sebagai sesuatu yang akan membawa kerukunan dan pidana adalah suatu proses pendidikan untuk menjadikan orang dapat diterima kembali dalam masyarakat.

Realitanya di lapangan apabila kita melihat tujuan dari pidana yang diungkapkan Roeslan Saleh tersebut di atas dan dikaitkan dengan Tindak Pidana Penganiayaan yang telah diatur di dalam Hukum Pidana Indonesia (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) ternyata masih jauh dari harapan dan tujuan dari

4 Roni wijayanto, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, Mandar maju , Bandung, 2012, hal. 9

5 Marlina, Hukum Penitensier, (Bandung: Refika Aditam, 2011), hal. 24 - 25

(18)

hukum pidana tersebut. Hal ini dapat dilihat dari media massa maupun elektronik yang hampir setiap hari terisi oleh kejadian-kejadian tersebut.

Data registrasi Polri mengungkapkan bahwa kejadian kejahatan di Indonesia selama periode tahun 2014-2016 cenderung mengalami peningkatan.6 Jumlah kejadian kejahatan (crime total) pada tahun 2014 sebanyak 325.317 kasus, meningkat menjadi sebanyak 352.936 kasus pada tahun 2015. Dan puncaknya pada tahun 2016 semakin meningkat dari tahun-tahun sebelumnya yakni menjadi 357.197 kasus. Hal ini sejalan dengan tingkat kejahatan (crime rate) selama periode yang sama. Jumlah orang yang terkena tindak kejahatan setiap 100.000 penduduk diperkirakan sebanyak 131 orang pada tahun 2014, sedangkan pada tahun 2015 dan 2016 sebanyak 140 orang.7 Sementara itu untuk tahun 2017 sendiri, sesuai dengan penuturan Kapolri Jenderal Tito Karnavian kepada Detik News bahwa ada 322.556 kasus kejahatan konvensional yang ditangani kepolisian sepanjang 2017. Kejahatan konvensional ini meliputi enam jenis kejahatan yang paling utama, meliputi tindak pidana pencurian disertai pemberatan, pencurian kendaraan bermotor, penipuan, penggelapan, penganiayaan berat, dan pencurian dengan kekerasan atau perampokan.8

Data registrasi polri sebagaimana yang telah diuraikan di atas merupakan gambaran situasi keamanan berdasarkan pencatatan kejadian kejahatan yang dilaporkan masyarakat atau kejadian yang pelakunya tertangkap tangan oleh

6 Badan Pusat Statistik, Statistik Kriminal 2017, (Jakarta-Indonesia: Badan Pusat Statistik, 2017) hal. iii

7 Ibid. hal 19.

8 Detik.com, Selama 2017, Ada 13.358 Kasus Penganiayaan Berat Ditangani Polri, diakses dari http://m.detik.com/news/berita/d-3790517/selama-2017-ada-13358-kasus- penganiayaan-berat-ditangani-polri, (akses pada 26 Maret 2018, 15.30 WIB)

(19)

polisi.9 Dengan demikian data tersebut merupakan gambaran umum dari seluruh jenis tindak pidana yang ada di Indonesia. Lalu bagaimana dengan Tindak Pidana Penganiayaan? Secara lebih khusus, sebagaimana hasil publikasi Badan Pusat Statistik berdasarkan data yang dihimpun oleh kepolisian untuk kejadian kejahatan terhadap fisik/badan (violence) selama periode 2012-2016 berfluktuasi dengan kecenderungan meningkat. Untuk tahun 2012 jumlah kejadian kejahatan terhadap fisik berada pada angka 40.343 kasus, sedangkan tahun 2013-2015 jumlah kasus tersebut semakin meningkat walaupun dalam kadar yang tidak terlalu signifikan, yaitu masing-masing berada pada angka 44.990, 46.366, 47.128 kasus. Sementara itu, pada tahun 2016 terdapat 46.767 kasus, artinya, terjadi penurunan yang tidak terlalu berarti karena hanya berselisih 361 kasus dari jumlah kejadian pada tahun 2015 dan tidak lebih kecil dari jumlah kejadian kejahatan terhadap fisik yang terjadi pada periode 2012-2014.10 Untuk tahun 2017, sesuai dengan penuturan Kapolri Jenderal Tito Karnavian kepada Detik News beberapa waktu yang lalu bahwa khusus untuk penganiayaan berat berdasarkan data Polri jumlah kasus tersebut naik 12 persen dari angka 11.941 tahun lalu menjadi 13.358 tahun ini.11

Dengan demikian, sederet fakta di atas menunjukkan bahwa kejahatan terhadap fisik/badan merupakan kejahatan yang paling rentan terjadi di masyarakat yang dari tahun ke tahun berfluktuasi dengan kecenderungan meningkat seakan mengoyak ketentraman dan rasa aman masyarakat itu sendiri.

Rasa aman sebagai salah satu kebutuhan fundamental setiap manusia merupakan

9 Badan Pusat Statistik, Op.cit, hal v

10Ibid, hal 24

11 Detik.com, Loc.cit.

(20)

hak asasi yang harus diperoleh atau dinikmati setiap orang. Hal ini tertuang dalam UUD Republik Indonesia 1945 Pasal 28G ayat 1 yang menyatakan: “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”

Seiring dengan itu, terkoyaknya rasa aman di dalam kehidupan masyarakat secara bersamaan telah mengebiri kewajiban pemerintah dan negara Indonesia dalam memberikan rasa aman pada seluruh rakyatnya, sebagaimana yang diamanantkan dalam pembukaan UUD 1945 yang berbunyi: “Pemerintah dan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.” Gagalnya suatu pemerintah dalam memenuhi rasa aman bagi masyarakatnya akan berdampak pada tidak terciptanya suasana yang kondusif bagi masyarakat untuk melakukan berbagai aktivitas termasuk aktivitas ekonomi.

Padahal, dengan terciptanya suasana yang kondusif bagi masyarakat, pada skala makro akan menciptakan stabilitas nasional yang merupakan salah satu prasyarat bagi tercapainya pembangunan dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.12

Khusus untuk tindak pidana penganiayaan, sebagai kejahatan yang paling rentan terjadi di dalam masyarakat maka sangat diharapkan regulasi kedepannya haruslah lebih komperhensif, serta relevan dengan kepentingan masyarakat. Dan tentunya dapat menjaga dan melindungi seluruh kepentingan, baik itu kepentingan

12 Badan Pusat Statistik, Op.cit, hal 3-4

(21)

yang bersifat horizontal (manusia dengan manusia) maupun yang bersifat vertikal (manusia dengan Tuhan) hingga terwujud apa yang disebutkan di atas.

Hal itu sesuai dengan tujuan hukum menurut Jeremy Bentham bahwa hukum harus menuju ke arah barang apa yang berguna (anggapan yang mengutamakan utilitet utiliteits theorie). Menurut anggapan itu hukum mewujudkan semata-mata apa yang berfaedah bagi orang lain.13

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, maka penulis tertarik untuk menyusun skripsi yang berjudul “SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DAN HUKUM PIDANA ISLAM.”

13 Chainur Arrasjid, Dasar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika 2001). Hal. 41

(22)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang skripsi ini, maka ada permasalahan yang akan menjadi bahasan dalam skripsi ini. Perumusan masalah yang akan diangkat dalam tulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana Pengaturan Tindak Pidana Penganiayaan menurut Kitab Undang- Undang Hukum Pidana?

2. Bagaimana Pengaturan Tindak Pidana Penganiayaan menurut Hukum Islam?

3. Bagaimana Sanksi Pidana Terhadap Tindak Pidana Penganiayaan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Hukum Pidana Islam?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Karya tulis ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan serta sanksi terhadap pelaku Tindak Pidana Penganiayaan yang berlaku saat ini dan pengaturan dan sanksi yang diberikan oleh Hukum Pidana Islam kemudian mengambil kesimpulan, manakah yang lebih bermanfaat (berfaedah) bagi masyarakat Indonesia. Dan dari penelitian ini semoga dapat bermanfaat dan memperkaya literatur-literatur yang telah ada sebelumnya, khususnya mengenai Tindak Pidana Penganiayaan dan dapat menjadi acuan untuk penelitian yang lebih mendalam yang kemudian dapat menjadi sumber pertimbangan bagi hukum positif yang menyangkut tentang penganiayaan di masa mendatang. Sehingga dapat mencegah atau setidaknya meminimalisir terjadinya Tindak Pidana Penganiayaan di masyarakat.

(23)

D. Keaslian Penulisan

Adapun karya tulis dengan judul “SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DAN HUKUM PIDANA ISLAM”

dibuat dengan sebenar-benarnya oleh penulis dengan dibantu oleh buku-buku dari kepustakaan yang ada. Keaslian penulisan ini juga bisa dibuktikan dengan adanya surat Keterangan Lulus Perpustakaan yang ditetapkan oleh Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

E. Tinjauan Pustaka

1. Hukum Pidana menurut KUHP dan Hukum Islam a. Hukum Pidana menurut KUHP

1) Pengertian Hukum Pidana

Stelsel pidana merupakan bagian dari hukum panitensier yang di dalamnya berisikan tentang jenis pidana, cara dan dimana menjalankannya, begitu juga mengenai pengurangan, penambahan, dan pengecualian penjatuhan pidana.

Hukum panitensier juga di samping itu berisi tentang system tindakan (maatregel stelsel). Dalam usaha negara mempertahankan dan menyelenggarakan ketertiban, melindunginya dari penyimpangan terhadap berbagai kepentingan hukum, secara refresif disamping diberi hak dan kekuasaan untuk menjatuhkan pidana, negara juga diberi hak untuk menjatuhkan tindakan (maatregelen).14 Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang adakalanya disebut dengan istilah hukuman. Istilah

14 Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana (Jakarta: RajaGrafindo,2010) hal.23

(24)

pidana lebih tepat dari istilah hukuman, karena sudah lazim merupakan terjemahan dari recht.15

Pidana lebih tepat didefinisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan/diberikan oleh negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) baginya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum pidana yang secara khusus larangan dalam hukum pidana ini disebut sebagai tindak pidana (strafbaar feit).16 Pergaulan manusia di dalam kehidupan bermasyarakat tidak selamanya berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Manusia selalu dihadapkan pada masalah-masalah atau pertentangan dan konflik kepentingan antar sesamanya. Keadaan yang demikian ini hukum diperlukan untuk menjaga keseimbangan dan ketertiban dalam masyarakat. Istilah hukum pidana dalam bahasa Belanda disebut dengan Strafrecht sedangkan dalam bahasa Inggris istilah pidana disebut dengan Criminal Law. Pidana merupakan istilah yang lebih khusus, maka perlu ada pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat menunjukkan ciri-ciri atau sifat-sifatnya yang khas. Beberapa pendapat dari para Sarjana tentang pidana yaitu sebagai berikut:

Menurut Sudarto, Pidana adalah nestapa yang diberikan oleh negara kepada seseorang yang melakukan pelangaran terhadap ketentuan undang-undang (hukum pidana), sengaja agar dirasakan sebagai nestapa.17 Pemberian nestapa atau penderitaan yang sengaja dikenakan kepada seorang pelanggar ketentuan undang- undang tidak lain dimaksudkan agar orang itu menjadi jera. Hukum pidana sengaja mengenakan penderitaan dalam mempertahankan norma-norma yang

15 Ibid., hal.24.

16 Ibid.

17 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana (Bandung: Alumni, 1981) hal.109-110.

(25)

diakui dalam hukum. Sanksi yang tajam dalam hukum pidana inilah yang membedakan dengan bidang-bidang hukum yang lain. Inilah sebabnya mengapa hukum pidana harus dianggap sebagai sarana terakhir apabila sanksi atau upaya- upaya pada bidang hukum yang lain tidak memadai.

Menurut Roeslan Saleh dalam buku Stelsel Pidana Indonesia mengatakan bahwa pidana adalah reaksi-reaksi atas delik, yang berwujud suatu nestafa yang sengaja ditimpakan negara kepada pembuat delik.18 Pengertian pidana menurut Roeslan Saleh ini pada dasarnya hampir sama dengan pengertian pidana dari Sudarto, yaitu bahwa pidana berwujud suatu nestapa, diberikan oleh negara kepada pelanggar undang-undang hukum pidana. Reaksi-reaksi atas delik yang dikemukakan oleh Roeslan Saleh ini menunjukkan bahwa suatu delik dapat memberikan reaksinya atau imbalannya apabila dilanggar, yaitu berupa ancaman hukuman atau pidana.

Menurut Sudarto, perkataan pemidanaan adalah sinonim dari perkataan penghukuman. Tentang hal tersebut beliau berpendapat bahwa “penghukuman itu berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum suatu peristiwa itu tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja, akan tetapi juga hukum perdata, oleh karena tulisan ini berkisar pada hukum pidana, maka istilah tersebut harus disempitkan artinya, yakni penghukuman dalam arti pidana, yaitu kerap kali dengan pemidanaan atau pemberian atau

18 Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia (Jakarta: Bina Aksara, 1987) hal.5.

(26)

penjatuhan pidana oleh hakim. Penghukuman dalam hal ini mempunyai makna yang sama dengan sentence atau veroordeling.”19

2) Tujuan Hukum Pidana menurut KUHP

Sebagian besar para ahli hukum berpendapat bahwa hukum pidana adalah

“Kumpulan aturan yang mengandung larangan dan akan mendapatkan sanksi pidana atau hukuman bila dilanggar.” Sanksi di dalam hukum pidana jauh lebih keras dibandingkan dengan akibat sanksi hukum yang lainnya, “akan tetapi ada juga para ahli yang berpendapat sanksi belaka sebagai ancaman pidana sehingga hukum pidana adalah hukum sanksi belaka.20

Menurut Sudarto hukum pidana secara umum ditanggapi sebagai semua peraturan yang dibuat oleh yang berwenang dengan tujuan mengatur tata kehidupan bermasyarakat yang berupa larangan dan bersifat memaksa, dimana penjatuhan pidana diberikan kepada seseorang yang melanggarnya. Menurutnya bahwa hukum pidana memuat aturan-aturan hukum yang mengingatkan kepada perbuatan-perbuatan yang memenuhi syarat tertentu akibat yang berupa pidana.21

Adapun tujuan pidana menurut Roeslan Saleh yaitu:22

3. Dari segi prevensi, yaitu bahwa hukum pidana adalah hukum sanksi, suatu upaya untuk dapat mempertahankan kelestarian hidup bersama dengan melakukan pencegahan kejahatan; dan

4. Dari segi pembalasan yaitu bahwa hukum pidana sekaligus merupakan pula penentuan hukum, merupakan koreksi dan reaksi atas sesuatu yang

19 Sudarto, Op.Cit, hal.71.

20 Marlina, Op.Cit,, hal. 15.

21 Roni wijayanto, Op.Cit, hal. 9

22 Marlina, Loc.cit

(27)

bersifat melawan hukum sehingga dapat dikatakan bahwa pidana adalah merupakan perlindungan terhadap masyarakat dan pembalasan atas perbuatan melawan hukum. Disamping mengandung hal-hal lain yaitu bahwa pidana diharapkan sebagai sesuatu yang akan membawa kerukunan dan pidana adalah suatu proses pendidikan untuk menjadikan orang dapat diterima kembali dalam masyarakat.

b. Hukum Pidana menurut Hukum Islam (Hukum Pidana Islam)

1) Pengertian Hukum Pidana menurut Hukum Islam (Hukum Pidana islam)

Pengertian Islam secara terminologis diungkapkan Ahmad Abdullah Almasdoos (1962) bahwa Islam adalah kaidah hidup yang diturunkan kepada manusia sejak manusia digelarkan ke muka bumi. Dan terbina dalam bentuknya yang terakhir dan sempurna dalam Al-Qur‟an yang suci yang diwahyukan Tuhan kepada Nabi-Nya yang terakhir, yakni nabi Muhammad bin Abdullah, satu kaidah hidup yang memuat tuntutan yang jelas dan lengkap mengenai aspek hidup manusia, baik spiritual maupun material.23

Dari definisi itu dapat disimpulkan bahwa Islam adalah agama yang diturunkan Allah kepada manusia melalui Rasul-Nya, berisi hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam semesta. Agama yang diturunkan Allah kemuka bumi sejak Nabi Adam sampai Nabi Muhammad SAW adalah agama Islam sebagaimana diungkapkan oleh Al-Qur‟an:24

23 Ramlan Yusuf Rangkuti dan Sahmiar Pulungan., Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum, (Medan; Bartong Jaya 2008), Hal. 105

24 Ibid.

(28)

“Sesungguhnya agama disisi Allah adalah agama Islam.” (Ali Imran:19) Setelah memaknai Islam seperti penjelasan di atas, barulah kita membicarakan apa itu Hukum Islam. Jika kita berbicara tentang hukum, secara sederhana terlintas dalam pikiran kita peraturan-peraturan atau seperangkat norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, baik peraturan atau norma itu berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat maupun peraturan atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa. Bentuknya mungkin berupa hukum yang tidak tertulis seperti Hukum Adat, mungkin juga berupa hukum tertulis dalam peraturan perundang- undangan seperti Hukum Barat. Hukum Barat melalui asas konkordansi, sejak pertengahan abad ke-19 (1855) berlaku di Indonesia. Hukum dalam konsepsi sepeti Hukum Barat adalah hukum yang sengaja dibuat oleh manusia untuk mengatur kepentingan manusia sendiri dalam masyarakat tertentu. Dalam konsepsi hukum perundang-undangan, yang diatur oleh hukum hanyalah hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat.25

Dibandingkan dengan konsep Hukum Islam, dasar dan kerangka hukumannya ditetapkan oleh Allah, tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat, tetapi juga hubungan- hubungan lainnya, karena manusia yang hidup dalam masyarakat itu mempunyai berbagai hubungan. Hubungan-hubungan itu, seperti telah berulang disinggung di muka, adalah hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan

25 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada Cetakan ke-18 2012), hal. 43

(29)

dirinya sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain dan hubungan manusia dengan benda dalam masyarakat serta alam sekitarnya.26

Dalam system Hukum Islam ada lima hukm atau kaidah yang dipergunakan sebagai patokan mengukur perbuatan manusia baik dibidang ibadah maupun dilapangan muamalah. Kelima jenis kaidah tersebut, disebut al-ahkam al- khamsah, atau penggolongan hukum yang lima (Sajuti Thalib, 1985: 16) yaitu (1) Ja‟iz atau mubah atau ibahah, (2) sunnat, (3) makruh, (4) wajib dan (5) haram.27

Kemudian sumber Hukum Islam, Allah telah menentukan sendiri sumber hukum (agama dan ajaran) Islam yang wajib diikuti oleh setiap muslim. Menurut Al-Qur‟an surat An-Nisa ayat 59, setiap muslim wajib mentaati (mengikuti) kemauan atau kehendak Allah, kehendak Rasul dan kehendak Ulil Amri yakni orang yang mempunyai kekuasaan atau “penguasa”. Kehendak Allah berupa ketetapan kini tertulis di dalam Al-Qur‟an, kehendak Rasul berupa Sunnah terhimpun sekarang di dalam kitab-kitab Hadits, kehendak “penguasa” kini dimuat di dalam peraturan perundang-undangan (dulu dan sekarang) atau dalam hasil karya orang yang memenuhi syarat untuk berijtihad karena mempunyai

“kekuasaan” berupa ilmu pengetahuan untuk mengalirkan (ajaran) Hukum Islam dari dua sumber utamanya yakni dari Al-Qur‟an dan dari kitab-kitab Hadits yang memuat Sunnah Nabi Muhammad. Yang ditetapkan Allah dalam Al-Qur‟an itu dirumuskan dengan jelas dalam percakapan Nabi Muhammad SAW dengan sahabat Beliau Mu‟az bin Jabal, yang di dalam kepustakaan terkenal dengan hadist Mu‟az. Demikianlah menurut riwayat, pada suatu ketika Nabi Muhammad

26 Ibid.

27 Ibid.

(30)

mengirim seorang sahabatnya ke Yaman (dari Madinah) untuk menjadi gubernur di sana. Sebelum berangkat, Nabi Muhammad SAW menguji sahabatnya yang bernama Mu‟az bin Jabal itu, dengan menanyakan sumber hukum yang akan dipergunakan kelak untuk memecahkan berbagai masalah dan atau sengketa yang dijumpainya di daerah baru itu. Pertanyaan itu dijawab oleh Mu‟az dengan mengatakan bahwa ia akan mempergunakan Al-Qur‟an. Jawaban tersebut disusul oleh Nabi dengan pertanyaan: “Jika tidak terdapat petunjuk khusus (mengenai suatu masalah) dalam Al-Qur‟an bagaimana? “Mu‟az menjawab: “saya akan mencarinya dalam Sunnah Nabi. Nabi bertanya lagi: “kalau engkau tidak menemukan petunjuk dalam sunnah Nabi, bagaimana?” Mu‟az menjawab: “Jika demikian, saya akan berusaha sendiri mencari sumber pemecahannya dengan ra‟yu atau akal saya dan akan mengikuti pendapat saya itu. “Nabi sangat senang dengan jawaban dari Mu‟az tersebut dan berkata: Aku bersyukur kepada Allah yang telah menuntun utusan rasul-Nya.28

Dari hadits Mu‟az bin jabal di atas, dapatlah disimpulkan bahwa sumber Hukum islam ada tiga, yaitu (1) Al-Qur‟an, (2) As-Sunnah, dan (3) akal pikiran manusia yang memenuhi syarat untuk berijtihad. Akal pikiran ini, dalam kepustakaan Hukum Islam, disebut juga dengan istilah ar-ra‟yu atau pendapat orang atau pendapat orang-orang yang memenuhi syarat untuk menentukan nilai dan norma (kaidah) pengukur tingkah laku manusia dalam segala bidang hidup dan kehidupan.

28 Ibid. hal 73

(31)

Selanjutnya perbuatan manusia yang dinilai sebagai pelanggaran atau kejahatan kepada sesamanya, baik pelanggaran atau kejahatan tersebut secara fisik atau non fisik, seperti membunuh, menuduh, atau menfitnah maupun kejahatan terhadap harta benda dan lainnya, dibahas di dalam Hukum Pidana Islam. Ulama- ulama muta‟akhirin menghimpunnya dalam bagian khusus yang dinamai Fiqh Jinayah, yang dikenal dengan Hukum Pidana Islam. Di dalamnya terhimpun pembahasan semua jenis pelanggaran atau kejahatan manusia dengan berbagai sasaran, badan, jiwa, harta benda, kehormatan, nama baik, negara, tatanan hidup, dan lingkungan hidup.29

Adapun asas-asas di dalam Hukum Pidana Islam yang terkandung di dalam Al-Qur‟an dan hadits Rasulullah SAW, baik secara eksplisit maupun secara implisit. Beberapa asas hukum pidana yang umum oleh para pakar Hukum Islam, diantaranya Ahmad Hanafi, Mohammad Daud Ali, yaitu asas legalitas, asas larangan memindahkan kesalahan kepada orang lain, asas praduga tak bersalah.30

1) Asas Legalitas

Asas ini di dalam bahasa latin disebut Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali (seseorang tidak dapat dihukum apabila tidak ada hukum yang mengatur perbuatan yang telah dilakukannya). Asas ini merupakan jaminan dasar bagi kebebasan indvidu dengan memberi batas aktifitas apa yang dilarang secara jelas dan tepat. Asas ini melindungi dari penyalahgunaan kekuasaan atau

29 Rahmat. Hakim, Hukum Pidana Islam Fiqih Jinayah, (Bandung : CV Pustaka Setia 2000), hal. 11

30 Neng Djubaedah, Perzinaan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia ditinjau dari hukum Islam, (Jakarta: Kencana 2010), hal. 15

(32)

kesewenang-wenangan hakim, menjamin keamanan individu dengan informasi apa yang boleh dan apa yang dilarang.

Asas legalitas di dalam Hukum Islam bukan berdasarkan akal manusia, tetapi dari ketentuan Allah. Dalam Kitab Suci Al-Qur‟an Allah SWT berfirman:

“….. Dan Kami tidak akan mengazab sebelum kami mengutus seorang rasul.” (Q.S. Al-Israa‟: 15)

Jadi, jauh sebelum Declaration of the Right Human and Citizen (yang dianggap sebagai tonggak sejarah dalam membasmi kesewenang-wenangan).

Asas legalitas ini sudah ada di dalam Hukum Islam. Karena hukum ini merupakan hukum yang berasal dari Allah, maka Allah lah yang paling mengerti apa yang paling baik bagi hamba-hambaNya.

2) Asas larangan memindahkan kesalahan kepada orang lain Dasar dari asas ini adalah surat Al-Isra ayat 15, bahwa:

“… Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan kami tidak akan mengazab sebelum kami mengutus seorang rasul.”

Kemudian Surat An-Najm ayat 38-39, Fatir Ayat 18, dan Luqman ayat 33.

Maka perbuatan pidana yang dilakukan oleh seseorang tidak dapat ia pindahkan kepada orang lain. Termasuk tindak pidana yang dilakukan oleh seorang bapak tidak dapat dipindahkan kepada anaknya dan begitu juga sebaliknya.

(33)

3) Asas praduga tidak bersalah (The Presumption of Innocence)

Suatu konsekuensi yang tidak bisa dihindarkan dari asas legalitas adalah asas praduga tidak bersalah. “Principle of Lawfulness”, menurut asas ini semua perbuatan (kecuali ibadah khusus) dianggap boleh kecuali dinyatakan sebaliknya oleh suatu nash. Selanjutnya setiap orang dianggap tidak bersalah untuk suatu perbuatan jahat kecuali dibuktikan kesalahannya pada suatu kejahatan tanpa ada keraguan, jika suatu keraguan yang beralasan muncul, seorang tertuduh harus dibebaskan (Sanad, 1991:72).31

Konsep ini juga sebenarnya sudah ada empat belas abad yang lalu, Nabi Muhammad SAW bersabda:

“Hindarkan bagi muslim hukuman hudud kapan saja kamu dapat dan bila kamu dapat menemukan jalan untuk membebaskannya. Jika imam salah, lebih baik salah dalam membebaskan dari pada dalam menghukum.”32

2) Tujuan Hukum Pidana Islam

Pembuat hukum tidak menyusun ketentuan-ketentuan hukum dari syariat tanpa tujuan apa-apa, melainkan di sana ada tujuan tertentu yang luas. Dengan demikian untuk memahami pentingnya suatu ketentuan, mutlak perlu diketahui apa tujuan dari ketentuan itu. Disamping itu karena kata-kata dan teks dari suatu ketentuan mungkin mengandung beberapa arti dari sekian arti lain. Kecuali kita mengetahui tujuan nyata dari pembuat hukum dalam menyusunnya. Lebih jauh

31 Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, (Bandung: Asy-Syaamil Press Grafika 2000), hal. 123

32 Ibid

(34)

lagi kita tidak dapat menghilangkan ketidak sesuaian antara ketentuan yang bertentangan, kecuali kita mengetahui apa tujuan dari pembuat hukum.

Singkatnya adalah mutlak bagi yang mempelajari Hukum Islam untuk mempelajari maksud dan tujuan dari pembuat hukum dan keadaan atau kejadian yang memerlukan turunnya wahyu suatu Al-Qur'an dan Hadits Nabi SAW.33

Para ahli Hukum Islam mengklasifikasi tujuan-tujuan yang luas dari syari'ah sebagai berikut tujuan hukum pidana menurut Audah (1987: 246-249),34 Tujuan pertama

Menjamin keamanan dari kebutuhan-kebutuhan hidup merupakan tujuan pertama dan utama dari syariah. Ini merupakan hal-hal dimana kehidupan manusia sangat tergantung sehingga tidak bisa dipisahkan. Apabila ada kebutuhan-kebutuhan ini tidak terjamin, akan terjadi kekacauan dan ketidak tertiban dimana-mana. Kelima kebutuhan hidup yang primer ini (daruriyat) dalam kepustakaan Hukum Islam disebut dengan istilah al-magasid al-syari‟ah al-khamsah (tujuan-tujuan syariah), yaitu:

1) Memelihara agama (hifzh al-din) 2) Memelihara Jiwa (hifzh al-nafsi) 3) Memelihara akal pikiran (hifzh al-'aqli) 4) Memelihara Keturunan (hifzh al-nashli) 5) Memelihara harta (hifzh al-mal)

33 Topo Santoso, Membumikah Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Gema Insani Press 2003), hal. 18-19

34 Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, Op.cit, hal 134-135

(35)

Syari‟ah telah menetapkan pemenuhan, kemajuan dan perlindungan tiap kebutuhan-kebutuhan itu dan menegaskan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengannya sebagai ketentuan-ketentuan yang esensial.

Tujuan Kedua

Tujuan berikutnya adalah menjamin keperluan-keperluan hidup (keperluan sekunder) atau disebut hajiyat. Ini mencakup hal-hal yang penting bagi ketentuan itu dari berbagai fasilitas untuk penduduk dan memudahkan kerja keras dan beban tanggung jawab mereka. Ketiadaan fasilitas-fasilitas tersebut mungkin tidak menyebabkan kekacauan dan ketidak tertiban, akan tetapi dapat menambah kesulitan-kesulitan bagi masyarakat. Dengan kata lain, keperluan-keperluan ini terdiri dari hal-hal yang menyingkirkan kesulitan-kesulitan dari masyarakat dan membuat hidup mudah bagi mereka.

Tujuan Ketiga

Tujuan ketiga dari Perundang-undangan Islam adalah membuat perbaikan- perbaikan, yaitu menjadikan hal-hal yang dapat menghiasi kehidupan sosial dan menjadikan manusia mampu berbuat dan urusan-urusan hidup secara lebih baik (keperluan sekunder) atau tahsinat. Ketiadaan perbaikan-perbaikan ini tidak membawa kekacauan dan anarki sebagaimana dalam ketiadaan kebutuhan- kebutuhan hidup, juga tidak mencakup apa-apa yang perlu untuk menghilangkan kesulitan-kesulitan dan membuat hidup mudah. Perbaikan adalah hal-hal yang apabila tidak dimiliki akan membuat hidup tidak menyenangkan bagi para intelektual. Dalam arti ini perbaikan mencakup kebijakan (virtues), cara-cara yang baik (good manner) dan setiap hal yang melengkapi bagi peningkatan cara hidup.

(36)

2. Tindak Pidana (Strafbaar Feit) menurut KUHP dan Hukum Islam a. Tindak Pidana menurut KUHP

1) Pengertian Tindak Pidana

Hukum Pidana Belanda memakai istilah Strafbaar Feit, kadang-kadang juga delict yang berasal dari bahasa latin delictum. Hukum Pidana negara-negara Anglo Saxon memakai istilah Offense atau Criminal act untuk maksud yang sama.

Oleh karena Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia bersumber pada WvS Belanda, maka istilah aslinya pun sama yaitu Strafbaar Feit.35

Perkataan "Feit" itu sendiri di dalam bahasa Belanda berarti "sebagian dari suatu kenyataan" atau “een geedelte van de werkwlijkheid”. Sedang "Strafbaar"

berarti "dapat dihukum", hingga secara harfiah perkataan "Strafbaar Feit" dapat diterjemahkan sebagai "sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum", yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan kita ketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan atau tindakan.36

Strafbaar Feit yang merupakan istilah asli bahasa Belanda yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia tersebut mempunyai berbagai arti diantaranya, yaitu: tindak pidana, delik, perbuatan pidana, peristiwa pidana maupun perbuatan yang dapat dipidana.37

Kemudian oleh Pembentuk undang-undang kita menggunakan perkataan strafbaar feit untuk menyebutkan apa yang kemudian kita kenal sebagai “Tindak

35 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta Cetakan ke III 2008), hal 86

36 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti 1997), hal 181

37 Roni Wijayanto, Op.Cit, hal. 160

(37)

Pidana” di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan "Strafbaar Feit" tersebut.38 Di dalam prakteknya para ahli memberikan berbagai definisi Strafbaar Feit atau tindak pidana berbeda-beda, sehingga perkataan tindak pidana mempunyai banyak arti.39

Menurut Profesor POMPE, perkataan "Strafbaar Feit" itu secara teoritis dapat dirumuskan sebagai "suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku. Dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum".40

Kemudian apa yang dimaksud dengan tindak pidana, menurut Simons didefinisikan sebagai suatu perbuatan (handeling) yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum (Onrechtmatig) dilakukan dengan kesalahan (Schuld) oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab.

Rumusan tindak pidana yang diberikan Simons tersebut dipandang oleh Jonker dan Utrecht sebagai rumusan yang lengkap, karena akan meliputi:41

1. Diancam dengan pidana oleh hukum;

2. Bertentangan dengan hukum;

3. Dilakukan oleh seseorang dengan kesalahan (Schuld); dan

4. Seseorang tersebut dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya.

38 P.A.F. Lamintang, Loc. Cit.

39 Roni Wijayanto Loc. Cit.

40 P.A.F. Lamintang, Op.Cit, hal. 162

41 Roni Wijayanto, Loc. Cit.

(38)

Van Hammel juga sependapat dengan rumusan tindak pidana dari Simons, tetapi ia menambahkan adanya “sifat perbuatan yang mempunyai sifat dapat dihukum". Jadi pengertian tindak pidana menurut van hamel meliputi lima unsur, yakni:42

1. Diancam dengan pidana oleh hukum;

2. Bertentangan oleh hukum;

3. Dilakukan oleh seseorang dengan kesalahan (Schuld);

4. Seseorang tersebut dianggap bertanggung jawab atas perbuatannya;

5. Sifat perbuatan yang mempunyai sifat dapat dihukum;

Sedangkan Vos merupakan salah satu diantara para ahli yang merumuskan tindak pidana secara singkat, yaitu hanya mencakup kelakuan manusia yang oleh peraturan perundang-undangan diberi pidana. Kemudian pengertian tindak pidana yang diberikan Vos tersebut, dikomentari oleh Satochid Kartanegara, ia mengatakan rumusan Vos tersebut sama saja memberikan keterangan “een vierkante tafel is vier kant” (meja segi itu adalah segi empat), karena definisinya tidak menjepit isinya, sedangkan pengertian "orang" dan "kesalahan" juga tidak disinggung, karena apa yang dimaksud Strafbaar Feit, sebagai berikut:43

1. Pelanggaran atau pemerkosaan kepentingan hukum (schanding of kreenking van een rechtsbelang);

2. Sesuatu yang membahayakan kepentingan hukum (het in gevearbrengen van een rechtsbelang);

42 Ibid.

43 Ibid. hal. 161

(39)

Kepentingan hukum yang dimaksud Satochid Kartanegara ialah tiap-tiap kepentingan yang harus dijaga agar tidak dilanggar, yang terdiri atas tiga jenis, yaitu:44

1. Kepentingan perseorangan, yang meliputi jiwa (leven), badan (lijk), kehormatan (eer) dan harta benda (vermogen);

2. Kepentingan masyarakat, yang meliputi: kepentingan dan keamanan (rusten orde);

3. Kepentingan negara adalah keamanan negara;

Melihat berbagai pendapat para ahli tersebut di atas mengenai pengertian Strafbaar Feit, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana atau strafbaar Feit yaitu merupakan rumusan yang memuat unsur-unsur tertentu yang menimbulkan dapat dipidananya seseorang atas perbuatannya yang dianggap telah melanggar kepentingan hukum yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan pidana. Unsur-unsur tindak pidana tersebut dapat berupa perbuatan yang sifatnya aktif maupun pasif atau tidak berbuat sebagaimana diharuskan oleh undang-undang, yang dilakukan oleh seseorang dengan kesalahan, dan bertentangan dengan hukum pidana, dan orang tersebut dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya.

2) Unsur-unsur Tindak Pidana

Menjadi tuntutan normatif yang harus dipenuhi bila mana seseorang dapat dipersalahkan karena melakukan sesuatu tindak pidana, yaitu perbuatan itu harus dibuktikan mencakup semua unsur Tindak Pidana. Apabila salah satu unsur

44 Ibid.

(40)

Tindak Pidana tidak terpenuhi atau tidak dapat dibuktikan, maka konsekuensinya Tindak Pidana yang dituduhkan kepada si pelaku tidak terbukti dan tuntutan dapat batal demi hukum.

Ditinjau dari sifat unsurnya, pada umumnya unsur-unsur Tindak Pidana dapat dibagi menjadi dua macam, yakni: unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur objektif.

a. Unsur Subjektif

Menurut Lamintang bahwa yang dimaksud dengan unsur-unsur subjektif itu adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku. Dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Adapun unsur-unsur subjektif menurut Lamintang yakni sebagai berikut:

a. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus dan culpa);

b. Maksud (voornemen) pada suatu percobaan (poging) seperti yang dimaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum pidana;

c. Macam-macam maksud (oogmerk) seperti yang terdapat misalnya, di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain;

d. Merencanakan terlebih dahulu (voorbedache raad) misalnya seperti yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana;

e. Perasaan takut (vress) seperti yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;45

45 P.A.F. Lamintang, Op.Cit, hal 194

(41)

Sedangkan Menurut Satochid Kartanegara, ia membedakan unsur subjektif hanya menjadi dua macam saja, yakni:

a. Toerekeningswatbaarheit (kemampuan bertanggung jawab);

b. Schuld (Kesalahan);46

Leden Marpaung mengemukakan asas hukum pidana menyatakan bahwa

“tidak ada hukuman kalau tidak ada kesalahan”. Kesalahan yang dimaksud adalah kesalahan yang diakibatkan oleh kesengajaan (iintention/opzet/dolus) dan kealpaan (culpa) ini merupakan bentuk kesalahan yang lebih ringan dari kesengajaan, dimana kealpaan meliputi dua bentuk, yaitu: tidak berhati-hati dan dapat menduga akibat perbuatan tersebut.47

Di dalam doktrin dan ilmu pengetahuan hukum pidana unsur kesengajaan atau opzet tersebut kemudian pada umumnya dibedakan menjadi tiga jenis, yakni:

1. Kesengajaan dengan maksud (opzet als oogmerk);

2. Kesengajaan dengan keinsyafan (Opzet bij zekerheidsbewustzijn);

3. Kesengajaan dengan keinsyafan atau kemungkinan (opzet bij mogelijkheidsbewustzijn);

Maka dapat diambil kesimpulan dari uraian di atas, bahwa unsur-unsur subjektaf meliputi:

1. Kemampuan bertanggung jawab (toerekeningswatbaarheit);

2. Kesalahan (Schuld);

3. Kesengajaan (dolus) yang terdiri dari:

a. Kesengajaan dengan maksud (Opzet als oogmerk);

46 Roni Wijayanto Op.Cit. hal. 166

47 Leden Marpaung, Asas Teori Praktik hukum pidana, (Jakarta: Sinar Grafika 2005), hal.

9

(42)

b. Kesengajaan dengan keinsyafan (opzet bij zekerheidsbewustzijn);

c.Kesengajaan dengan keinsyafan atau kemungkinan (opzet bij mogelijkheidsbewustzijn);

d. Kealpaan (culpa) b. Unsur Objektif

Menurut Lamintang bahwa yang dimaksud dengan unsur-unsur objektif itu adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan dimana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan. Kemudian ia membagi menjadi tiga bentuk unsur objektif dari tindak pidana, yakni:

a. Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid;

b. Kualitas dari si pelaku, misalnya "keadaan sebagai seorang pegawai negeri"

di dalam kejahatan jabatan menurat Pasal 415 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau “keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas di dalam kejahatan menurut Pasal 398 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

c. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.48

48 P.A.F. Lamintanng, Loc.cit

(43)

Sedangkan Menurut Satochid Kartanegara, ia mengemukakan bahwa unsur objektif merupakan unsur yang dilarang dan diancam pidana oleh undang- undang, yang berupa:

a. Suatu tindakan;

b. Suatu akibat; dan

c. Keadaan (omstandigheid);

Kemudian Leden Marpaung lebih mencakup kepada dua pendapat ahli di atas, ia kemudian membagi unsur objektif menjadi empat bentuk, yakni:

a. Perbuatan manusia, berupa:

1) Act, yakni perbuatan aktif atau perbuatan positif;

2) Omission, yakni perbuatan pasif atau perbuatan negative

b. Akibat (result) perbuatan manusia, yaitu akibat tersebut membahayakan atau merusak, bahkan menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum, misalnya: nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik, kehormatan, dan sebagainya.

c. Keadaan-keadaan (circumstances), yang umumnya berupa:

1) Keadaan-keadaan pada saat perbuatan dilakukan 2) Keadaan-keadaan setelah perbuatan dilakukan.

d. Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum. Sifat dapat dihukum berkenaan dengan alasan-alasan yang membebaskan si pelaku dari hukuman.

Sedangkan sifat melawan hukum adalah apabila perbuatan itu bertentangan dengan hukum, yakni berkenaan dengan larangan atau perintah.49

49 Leden Marpaung, Op. Cit. hal 10

(44)

Kemudian mengingat tujuan diadakan hukum pidana adalah untuk melindungi dan menghindari gangguan atau ancaman bahaya terhadap kepentingan hukum, baik kepentingan perseorangan, kepentingan masyarakat dan kepentingan negara. Setiap perbuatan yang memenuhi unsur Tindak Pidana atau delik seperti yang dinyatakan secara tegas dalam peraturan perundang-undangan dapat memberikan gambaran kepentingan hukum apa yang dilanggar. Oleh karena itu, perbuatan-perbuatan yang memenuhi unsur-unsur delik dapat digolongkan menjadi berbagai jenis delik. Dan salah satunya adalah tindak pidana dalam perlu tidaknya aduan dalam penuntutan (Delik Biasa dan Delik Aduan).

1. Delik biasa (gewone delichten) adalah suatu delik yang dapat dituntuk tanpa membutuhkan adanya pengaduan.50

2. Delik aduan (klachtdelict) adalah Tindak Pidana yang penuntutannya hanya dilakukan atas dasar adanya pengaduan dari pihak yang berkepentingan atau terkena. Misalnya penghinaan, perzinahan, pemerasan. Jumlah delik aduan ini tidak banyak terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Siapa yang dianggap berkepentingan, tergantung dari jenis deliknya dan ketentuan yang ada. Untuk perzinahan misalnya, yang berkepentingan adalah suami atau isteri yang bersangkutan. Terdapat dua jenis delik aduan, yaitu delik aduan absolute yang penuntutannya hanya berdasarkan pengaduan dan delik aduan relatif disini karena adanya hubungan istimewa antara pelaku dengan korban, misalnya pencurian dalam keluarga (Pasal 367 ayat (2) dan (3)) Kitab Undang-undang Hukum Pidana).

50 Rony Wijayanto, Op.Cit, hal 173

(45)

b. Tindak Pidana dalam Hukum Islam

Suatu perbuatan dinamai jarimah (tindak pidana, peristiwa pidana atau delik) apabila perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian bagi orang lain atau masyarakat baik jasad (anggota badan atau jiwa), harta benda, keamanan, tata aturan masyarakat, nama baik, perasaan ataupun hal-hal lain yang harus dipelihara dan dijunjung tinggi keberadaannya. Jadi, yang menyebabkan suatu perbuatan dianggap sebagai suatu jarimah adalah dampak dari perilaku tersebut yang menyebabkan kerugian kepada pihak lain, baik dalam bentuk material (jasad, nyawa atau harta benda) maupun nonmateri atau gangguan nonfisik, seperti ketenangan, ketentraman, harga diri, adat istiadat dan sebagainya. Penyebab perbuatan yang merugikan tersebut diantaranya adalah tabiat manusia yang cenderung pada sesuatu yang mengutuungkan bagi dirinya walaupun hasil pilihan atau perbuatan tersebut merugikan orang lain. Kenyataan itu memerlukan kehadiran peraturan atau undang-undang. Akan tetapi, kehadiran peraturan tersebut menjadi tak berarti tanpa adanya dukungan yang dapat memaksa seseorang untuk mematuhi peraturan tersebut. Dukungan yang dimaksud adalah penyertaan ancaman hukuman atau sanksi yang menyertai kehadiran peraturan tersebut. Sanksi sangat diperlukan untuk mendukung peraturan yang dikenakan pada perbuatan tindak pidana, dengan harapan yang bersangkutan tidak mengulangi perbuatan tersebut. Disamping itu, agar perbuatan yang sama tidak ditiru orang lain. Dengan demikian, terpeliharalah kepentingan umum.51

51 Rahmat. Hakim, Op.Cit, hal. 17

(46)

a. Jarimah dan Uqubah

Fikih jinayah adalah ilmu tentang hukum syara' yang berkaitan dengan masalah perbuatan yang dilarang (jarimah) dan hukumannya (uqubah), yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci. Definisi tersebut merupakan gabungan antara pengertian "fikih" dan "jinayah". Dari pengertian tersebut dapat diketahui objek pembahasan Fikih Jinayah itu secara garis besar ada dua, yaitu jarimah atau tidak pidana dan uqubah atau hukumannya.

Pengertian jarimah sebagaimana dikemukakan oleh Imam Al-Mawardi adalah sebagai berikut:

“Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara‟

yanng diancam oleh Allah dengan hukuman had atau ta'zir”

Dalam istilah lain jarimah disebut juga dengan jinayah. Menurut Abdul Qadir Audah pengertian jinayah adalah sebagai berikut:

“Jinayah adalah suatu istilah untuk perbuatan yang dilarang oleh syara', baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta atau lainnya”

Adapun pengertian hukuman sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Qodir Audah adalah “hukuman adalah pembalasan yang ditpkan untuk kemaslahatan masyarakat, karena adanya pelanggaran atas ketentuan-ketentuan syara".52

52 Ahmad Wardi Muslisch, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika 2005), hal ix

(47)

b. Unsur-unsur Tindak Pidana Islam (Jarimah)

Unsur-unsur Tindak Pidana Islam secara umum ada tiga, yaitu adanya unsur formal, unsur materil dan unsur moral, adapun yang dimaksud dengan ketiganya yakni sebagai berikut:53

1. Unsur Formal atau Rukun Syar'i

Yang dimaksud dengan unsur formal atau rukun syar'i adalah adanya ketentuan syara‟ atau nash yang menyatakan bahwa perbuatan yang dilakukan merupakan perbuatan yang oleh hukum dinyatakan sebagai sesuatu yang dapat dihukum atau adanya nash (ayat) yang mengancam hukuman terhadap perbuatan yang dimaksud.

3. Unsur Material atau Rukun Maddi

Yang dimaksud dengan unsur material adalah adanya perilaku yang membentuk jarimah, baik berupa perbuatan ataupun tidak berbuat atau adanya perbuatan yang bersifat melawan hukum.

4. Unsur Moril atau Rukun Adaby

Unsur ini juga disebut dengan al-mas „uliyyah al-jinayah atau pertanggung jawaban pidana. Maksudnya adalah pembuat Jarimah (pembuat tindak pidana atau delik) haruslah orang yang dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya. Oleh karena itu pembuat Jarimah haruslah orang yang dapat memahami hukum, mengerti isi beban, dan sanggup menerima beban tersebut. Orang-orang yang diasumsikan memiliki kriteria tersebut adalah orang-orang yang mukallaf sebab hanya merekalah yang terkena khitbah (panggilan) pembebanan (taklif).

53 Rahmat. Hakim, Op.Cit hal 52-53

(48)

c. Macam-macam Jarimah

Diantara pembagian jarimah yang paling penting adalah pembagian yang ditinjau dari segi hukumannya. Jarimah ditinjau dari segi hukumannya terbagi kepada tiga bagian, yaitu jarimah hudud, jarimah qishas dan diat, serta jarimah ta‟zir.

1. Jarimah Hudud

Jarimah hudud adalah jarimah yang diancam dengan hukuman had.

Pengertian hukuman had, sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah

"Hukuman had adalah hukuman yang telah ditentukan oleh syara' dan merupakan hak Allah.” Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa ciri khas jarimah hudud adalah sebagai berikut:

a. Hukumannya tertentu dan terbatas, dalam arti bahwa hukuman tersebut telah ditentukan oleh syara' dan tidak ada batas minimal dan maksimal.

b. Hukuman tersebut merupakan hak Allah semata-mata, atau kalau ada hak manusia disamping hak Allah maka hak Allah yang lebih dominan.

Oleh karena hukuman had itu merupakan hak Allah maka hukuman tersebut tidak bisa digugurkan oleh perseorangan (orang yang menjadi korban atau keluarganya) atau oleh masyarakat yang diwakili oleh negara. Jarimah hudud ini ada tujuh macam, yaitu:54

1) Jarimah Zina 2) Jarimah qadzaf

3) Jarimah syurb al-khamar

54 Ahmad wardi Muslisch, Op. Cit. hal x

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mengetahui pengaruh penggunaan hijauan leguminosa terhadap bobot lahir pedet dan birahi pertama setelah beranak pada induk dilakukan analisis sidik ragam yang

Dari pernyataan di atas dapat diartikan bahwa penerapan reward dan punishment itu sangat penting untuk membentuk karakter siswa, karena dengan adanya reward dan

Data produksi karkas ayam broiler yang meliputi bobot potong dan bobot karkas umur lima minggu dengan perlakuan 0,0; 0,5; 1,0; dan 1,5% tepung kulit manggis tertera

Peran penting loyalitas pelanggan bagi perusahaan pada kondisi persaingan yang ketat juga didukung oleh pernyataan dari Yasin (2001) yang menyatakan bahwa

Gambar V.4 Diagram Boxplot untuk variabel Attitude Tahap Intention pada Consumer Decision Model Jika dilihat melalui diagram boxplot dibawah ini, perancangan pesan

Pengaplikasian standar peneapan hygene dan sanitasi di kitchen sundara Four Season Resort at Jimbaran Bay ternayata belum secara sempurna diteapkan oleh para karyawan

Sistem Ekonomi Islam adalah peraturan atau hukum yang diwahyukan oleh Allah kepada Nabi Muhammad sedangkan Sistem Ekonomi Kapitalis dan Ekonomi Sosialis adalah

(sambil menunjuk lubang hidungnya) Jawaban Syifa “ warna apa?” setelah mendengar pertanyaan “ Syifa suka warna apa?” melanggar maksim relevansi, karena jawaban tidak