• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makna kesurupan bagi penari jathilan dalam kelompok Jathilan Turonggo Jati Manunggal di Dusun Kepuh.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Makna kesurupan bagi penari jathilan dalam kelompok Jathilan Turonggo Jati Manunggal di Dusun Kepuh."

Copied!
195
0
0

Teks penuh

(1)

MAKNA KESURUPAN BAGI PENARI JATHILAN

DALAM KELOMPOK JATHILAN TURONGGO JATI

MANUNGGAL DI DUSUN KEPUH

S k r i p s i

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh :

Caecilia Intan Anggraheni

NIM : 089114100

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)

MAKNA KESURUPAN BAGI PENARI JATHILAN

DALAM KELOMPOK JATHILAN TURONGGO JATI

MANUNGGAL DI DUSUN KEPUH

S k r i p s i

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh :

Caecilia Intan Anggraheni

NIM : 089114100

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2013

(3)
(4)
(5)

MOTTO

“Aku memang hanya satu, tetapi aku adalah satu.

Aku tidak bisa melakukan segala-galanya, tetapi aku bisa melakukan sesuatu. Dan apa yang dapat kulakukan, aku akan melakukannya. Dan apa yang akan

kulakukan, dengan berkat Tuhan, maka akan kulakukan.” (Edward Everett Hale, 1822-1909)

“Jadilah kuat dan berani; jangan takut, atau kuatir; karena Tuhanmu selalu bersamamu ke mana pun engkau pergi.”

(Joshua 1:9)

(6)

“Sukses tidak diukur dengan apa yang berhasil dicapai seseorang, tetapi rintangan yang telah dijumpainya, dan keberanian yang membuatnya mampu menjalani perjuangan melawan rintangan-rintangan yang sangat banyak.”.

(Orison Swett Marden, 1850-1924)

“Aku selalu percaya bahwa siapapun yang memiliki sedikit keberanian dan keinginan untuk mencoba maka dia akan berhasil, dan dapat melakukan

hal-hal yang ingin dilakukannya.” (William Lee, 1931-2003)

“Cintailah perjuangan, karena perjuangan mendekatkan kita kepada tercapainya cita-cita.”

(Soedirman)

(7)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Dengan Rasa Syukur yang Mendalam Skripsi ini Penulis Persembahkan kepada:

1. Tuhan Yesus Kristus atas segala karunia dan keajaiban-Mu dalam setiap langkahku.

2. Kedua orang tuaku Bp. Heribertus Robert Sarno dan Ibu Christina Sri Winarni yang telah memberiku kasih sayang, dukungan serta doa yang begitu berlimpah kepadaku.

3. Kedua adikku Bonifasius Dian Dwi Kurniawan dan Maria Jevia Tri

Handayani yang telah memberiku motivasi dan semangat tiada henti. 4. Malaikat penjagaku Damascus Aquarista Desy Kusumarwanto, yang

selalu ada disampingku, memberi penguatan dan inspirasi kepadaku. 5. Teman-teman angkatan 2008 Fakultas Psikologi yang kusayangi.

(8)
(9)

MAKNA KESURUPAN BAGI PENARI JATHILAN

DALAM KELOMPOK JATHILAN TURONGGO JATI MANUNGGAL

DI DUSUN KEPUH

Caecilia Intan Anggraheni

ABSTRAK

Jathilan merupakan salah satu warisan budaya Jawa. Jathilan pada jaman dahulu melibatkan unsur kesurupan sebagai kesatuan yang tidak terpisahkan. Seiring perkembangan jaman, pemaknaan tersebut mulai bergeser. Penelitian ini akan mengungkap makna kesurupan yang dihayati para penari jathilan sehingga mereka tetap mau njathil hingga kesurupan. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif fenomenologi. Subjek dalam penelitian ini sebanyak tiga orang penari jathilan dalam kelompok jathilan Turonggo Jati Manunggal di Dusun Kepuh. Subjek penelitian diperoleh dengan teknik purposive sampling. Pengumpulan data diperoleh melalui wawancara mendalam. Verifikasi data dilakukan dengan mengkonfirmasikan kembali data dan analisisnya kepada subjek penelitian. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa ketiga subjek memiliki pemaknaan positif terhadap fenomena kesurupan dalam kesenian jathilan. Pemaknaan positif terhadap fenomena kesurupan tersebut meliputi tiga hal, yaitu: 1) Kesurupan sebagai sesuatu yang penting dan berharga, 2) Kesurupan merupakan sebuah nilai yang dapat menambah kualitas hidup; 3) Kesurupan dilakukan dengan tulus dan dari keinginan sendiri. Ketiga makna yang dihayati para penari jathilan tersebut membuat mereka tulus dan senang hati tetap njathil hingga kesurupan.

Kata kunci: kesurupan, jathilan, penari jathilan, budaya Jawa.

(10)

THE MEANING OF TRANCE FOR JATHILAN DANCERS

IN THE GROUP OF TURONGGO JATI MANUNGGAL

AT KEPUH VILLAGE

Caecilia Intan Anggraheni

ABSTRACT

Jathilan is one of Javanese cultural heritages. Jathilan was formerly involving a trance as an inseparable unity. Over the times, its meaning has begun to shift. This research would reveal the meaning of trance that has been internalized by the dancers so that they still want to do the jathilan dance until they get trance. This research was done using a phenomenological qualitative approach. The research subjects were three jathilan dancers from the jathilan group of Turonggo Jati Manunggal in Kepuh Village. The research subjects were gathered by purposive sampling technique. The data gathering was obtained by a deep interview. The data verification was done by reconfirming the data and its analysis toward the research subjects. The research result showed that the three subjects have positive meaning to the trance phenomenon in jathilan. There were three positive meanings of the trance phenomenon: 1) Trance as something important and precious, 2) Trance is a value that can increase the quality of life; 3) Trance is done sincerely and as their wish. Those three meanings that were internalized by the dancers have made they remain sincere and happy to do the jathilan dance until the get trance.

Keywords: trance, jathilan, jathilan dancers, Javanese culture

(11)
(12)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Pengasih atas berkat dan bimbinganNya sehingga penulis dapat menyelesaikan naskah Skripsi yang berjudul “MAKNA KESURUPAN BAGI PENARI JATHILAN DALAM KELOMPOK JATHILAN TURONGGO JATI MANUNGGAL DI DUSUN

KEPUH” dengan baik.

Hal yang begitu menggerakkan penulis untuk melakukan penelitian ini karena adanya rasa kagum dan rasa keingintahuan akan pemaknaan para penari pada fenomena kesurupan serta sebuah harapan akan manfaat hasil penelitian terutama bagi disiplin ilmu Psikologi dan secara khusus bagi pemerhati kebudayaan tradisional Jawa, disamping itu skripsi ini merupakan matakuliah wajib yang harus ditempuh bagi mahasiswa sebagai prasyarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi pada program studi Psikologi di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Penyusunan naskah skripsi ini tentunya tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Dengan segenap ketulusan hati, penulis secara pribadi mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada :

1. Bp. C. Wijoyo Adinugroho, M.Psi., selaku dosen pembimbing skripsi

yang telah banyak meluangkan waktu, memberikan banyak bimbingan berupa saran, ide, dan kritik, serta membagi pengalamannya yang berharga dengan setulus hati untuk penulis dalam menyelesaikan penelitian ini.

(13)

2. Ibu Dr. Tjipto Susana dan Bp. C. Siswa Widyatmoko, M.Psi., selaku dosen

penguji yang telah memberikan arahan dan kritik serta saran yang berharga kepada penulis dalam mempertanggungjawabkan naskah skripsi ini.

3. Ibu Dr. Christina Siwi Handayani selaku Dekan Fakultas Psikologi atas teladan dan bimbingan yang berharga.

4. Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si., selaku Ketua Program Studi yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan dengan sabar.

5. Ibu Agnes Indar Etikawati, S.Psi., M.Si., selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah banyak memberikan saran, bimbingan, dan motivasi selama masa studi.

6. Seluruh Dosen di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang

dengan tulus hati dan penuh kesabaran membagikan ilmu dan pengalaman-pengalaman berharganya.

7. Seluruh Staf Sekretariat Fakultas Psikologi, Mas Gandung, Mas Muji, Mas Doni, Pak Giek, dan Bu Nanik yang selama ini telah banyak membantu kelancaran proses belajar selama saya menuntut ilmu di Fakultas Psikologi Sanata Dharma tercinta ini.

8. Kedua orang tuaku Bp. Heribertus Robert Sarno dan Ibu Christina Sri Winarni yang selalu mendampingi dan memberikan cinta kasih, semangat, dan doanya sehingga penulisan naskah skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

(14)

9. Kedua adikku Bonifasius Dian Dwi Kurniawan dan Maria Jevia Tri

Handayani yang selalu memberi semangat untuk menjadi lebih baik. 10. Malaikat penjagaku Damascus Aquarista Desy Kusumarwanto yang selalu

ada disampingku, memberi penguatan dan inspirasi kepadaku. Terimakasih untuk semua waktu dan arahan dalam penyelesaian naskah skripsiku dengan penuh kesabaran, tanpa semua itu penelitianku tidak akan berjalan selancar ini. Lv u.

11. Teman-teman bimbingan skripsi Nindi, Meili, Ica, Nana, Rio, Kak Jina, dan Kak Komeng serta sahabatku Vina, terimakasih untuk rasa “senasib sepenaggungan” dan segala perjuangan kita yang indah ini.

12. Teman-temanku tersayang khususnya angkatan 2008 dan teman-teman

KKN “5Lontrot 060711-050811” terimakasih atas kebersamaan kita, suka duka dan segala pengalaman-pengalaman berharga, serta proses pendewasaan yang luar biasa bersama kalian semua. Lv u all.

13. Kelompok Jathilan Turonggo Jati Manunggal atas pengalaman berharganya. Mas Fandy, Mas Pete, Mas Agus, Mas Antok, Mas Erwin, Mas Fendry, Anjar, Pepy, Mbah Sarno, Pak Kentung, Mas Manto dan masih banyak lagi yang tak mampu disebutkan satu persatu. Terimakasih boleh menjadi bagian dari kalian, merasakan “dag-dig-dug nya” menjadi penari jathilan dan belajar mencintai jathilan sebagai kebudayaan asli Jawa. Salam hakeee…hokyaaa...asololeyyy!!.

14. Warga Kepuh atas sapaan hangatnya. Pak Dukuh, Bu Dukuh, Mbak Reni,

Mbak Parjiyem, Bu Sirup, Bu Surani, Mbak Atip, Dik Wahyu, Dik Wulan,

(15)

dan masih banyak lagi yang tak mampu disebutkan satu persatu. Terimakasih boleh menjadi bagian dari kalian selama satu bulan. Dari kalian saya banyak belajar tentang makna hidup yang sesungguhnya. Kesederhanaan dan hal bersyukur dalam segala hal. Lv u all.

15. Makhluk-makhluk tak kasat mata dan para leluhur yang bersemayam di Gunung Merapi dan Kali Gendol atas sapaan selama penulis mengikuti kegiatan jathilan di Dusun Kepuh. Maaf bila ada perkataan dan perbuatan yang kurang berkenan, semoga mendapat tempat terindah dan ketentraman di Surga sana. Amin.

16. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan naskah

skripsi ini. Terimakasih untuk segala dukungan, doa, dan partisipasinya sehingga penelitian ini bisa terselesaikan dengan baik.

Akhir kata sebagaimana karya manusia, penulis menyadari bahwa naskah skripsi ini jauh dari sempurna, oleh sebab itu penulis mengharapkan adanya saran dan kritik yang membangun untuk kesempurnaan naskah skripsi ini. Semoga naskah skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Yogyakarta, 27 Februari 2013 Penulis

Caecilia Intan Anggraheni

(16)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ……….. ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ………. iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ……….. vi

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ……….. vii

ABSTRAK ……….. viii

ABSTRACT ……….. ix

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH …….. x

KATA PENGANTAR ……….. xi

DAFTAR ISI ……….. xv

DAFTAR TABEL ……….. xviii

BAB I. PENDAHULUAN ……….. 1

A. Latar Belakang Masalah ………. 1

B. Rumusan Masalah ……….. 6

C. Tujuan Penelitian ……….. 7

D. Manfaat Penelitian ……….. 7

1. Manfaat Teoritis ………. 7

2. Manfaat Praktis ………. 7

(17)

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ………. 9

A. Makna ……….. 9

B. Jathilan ……….. 11

1. Definisi Jathilan ……….. 11

2. Sejarah Jathilan ……….. 11

3. Lakon-lakon dalam Tarian Jathilan ……….. 14

4. Kelompok Jathilan Turonggo Jati Manunggal di Dusun Kepuh ..……… 16

C. Kesurupan ……….. 19

1. Kesurupan Secara Umum ……….. 19

2. Kesurupan Menurut Perspektif Psikologi …….. 20

3. Gejala-gejala Kesurupan ……….. 22

D. Dinamika Penelitian ………. 24

1. Batasan-batasan Penelitian ………. 24

2. Alur Berpikir ………. 25

BAB III. METODE PENELITIAN ………. 27

A. Jenis Penelitian ……….… 27

B. Fokus Penelitian ………. 28

C. Subjek Penelitian ………. 34

D. Metode Pengambilan Data ………. 35

E. Analisis Data ………. 37

1. Organisasi Data ……… 37

2. Pengkodean Data ……… 37

(18)

3. Interpretasi ……… 38

F. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data ………. 39

1. Kredibilitas ……… 39

2. Konfirmabilitas ……… 40

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………. 41

A. Prosedur Pengambilan Data ………. 41

B. Subjek Penelitian ………. 44

C. Hasil Analisis Data Penelitian ………. 45

D. Pembahasan ………. 72

BAB V. PENUTUP ………. 79

A. Kesimpulan ………. 79

B. Saran ………. 79

DAFTAR PUSTAKA ………. 81

LAMPIRAN ………. 83

(19)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Aspek-aspek Penelitian ……….. 29

Tabel 2. Pedoman Wawancara ……….. 30

Tabel 3. Analisis Subjek 1 ……….. 45

Tabel 4. Analisis Subjek 2 ……….. 52

Tabel 5. Analisis Subjek 3 ……….. 58

(20)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku dan tiap-tiap suku memiliki kebudayaan dan tradisi yang beraneka ragam. Kebudayaan dan tradisi dalam suatu masyarakat diwariskan secara turun temurun dalam lingkup keluarga dan dalam lingkungan masyarakat. Tiap-tiap anggota yang mewarisi kebudayaan tersebut memiliki pandangan dan penilaian tersendiri dalam memaknai warisan budaya. Salah satu kebudayaan yang telah diwariskan secara turun temurun dimasyarakat Jawa adalah pertunjukan kesenian jathilan.

Jathilan adalah salah satu dari banyak tari tradisional, yang

dipertunjukkan di banyak tempat di Indonesia (khususnya di Pulau Jawa).

Jathilan sering dikenal juga dengan sebutan kuda lumping, kuda kepang atau

jaran kepang. Kesenian ini dapat dimainkan oleh laki-laki maupun

perempuan dan didampingi oleh beberapa pawang yang di dalam pertunjukannya ada unsur seni dan religi yang ditandai dengan adanya peristiwa kesurupan pada para penari jathilan. Kesenian ini juga menggunakan peralatan kuda-kudaan dari anyaman bambu sebagai media utama penari dalam mengekspresikan makna simbolik tari dan salah satu unsur dari munculnya fenomena kesurupan (Masyarakat seni pertunjukan Indonesia, 1999, 37).

(21)

Jathilan pada jaman dahulu melibatkan unsur kesurupan sebagai kesatuan yang tidak terpisahkan. Seiring berkembangnya jaman, pemaknaan tersebut mulai bergeser. Kesurupan dalam kesenian jathilan tak jarang hanya sebagai tontonan dan hiburan semata, dengan kata lain kesurupan pura-pura atau kesurupan tidak sesungguhnya sudah biasa terjadi. Munculnya pergeseran makna kesurupan dari masa ke masa sudah lazim terjadi, walau sedikit tapi tentunya masih dijumpai beberapa kelompok jathilan yang tetap mempertahankan unsur religi dalam kesenian jathilan yang ditandai dengan masih adanya peristiwa kusurupan sesungguhnya (kemasukan roh halus) pada para penari jathilan (Soedarsono, 1983). Pelly (1994) menjelaskan bahwa kebudayaan itu bersifat dinamis, bagaimanapun juga cepat atau lambat kebudayaan akan berubah. Perubahan-perubahan terjadi karena manusia-manusia pendukung kebudayaan di berbagai daerah telah berubah karena perubahan pola hidup dan pergantian generasi.

Dewasa ini mulai susah untuk mencari penari jathilan. Minat terhadap kesenian jathilan mulai berkurang karena tergeser oleh teknologi, informasi, dan hiburan yang lebih modern, seperti pertunjukan organ tunggal atau band

(22)

“Ya kalau menurut saya, udah jadi rahasia umum mbak kalau njathil itu gak perlu kesurupan. Sebatas bisa menghibur masyarakat itu dah cukup. Namanya jaman juga udah berubah, setau saya dulunya njathil emang seharusnya kudu kesurupan ya berhubung sekarang banyak penari yang gak kesurupan ya saya rasa kalau saya njathil dan gak kesurupan yah hal yang wajar. Banyak juga kok selain saya yang kesurupannya pas njathil cuma direkayasa” (Ar, wawancara, 21 Maret, 2012).

“Kalau saya sendiri sebenarnya takut untuk kesurupan, jadi ya saya pura-pura kesurupan aja biar jathilannya keliatan asyik kaya jathilan jaman dulu. Menurut saya ya biasa aja, gak ada hal istimewa yang saya dapat dari kesurupan, biasane ya malah jadi capek dan badan lebam-lebam. Sebenere kesurupan itu sakral tapi saya sendiri kadang takut berefek dikesehatan saya kalau makan yang aneh-aneh” (Bj, wawancara, 21 Maret, 2012).

“Emmm saya njathil itu memang gak mengharuskan diri untuk kesurupan mbak, ya pernah kesurupan tapi biasanya sewaktu pentas saya kesurupannya pura-pura. Jujur saja cari kerjaan sekarang susah mbak, saya bergabung dikelompok jathilan untuk menambah pendapatan saya. Ya walau hasilnya gak seberapa tapi ya lumayan lah jadi setiap pentas njathil saya berusaha totalitas biar terlihat seperti kesurupan beneran. Kalau banyak yang tau saya kesurupannya fenomenal kan nanti banyak yang nanggap saya untuk njathil diberbagai acara” (Tm, wawancara, 24 Maret, 2012).

“Saya njathil cukup lama, sekitar delapan tahunan. Kelompok jathilannya ya gonta-ganti gitu. Kadang kesurupan beneran, kadang kesurupan bohongan tapi biasanya saya pesen kepawang biar gak kesurupan. Jadinya pas njathil ya akting kesurupan mbak. Tujuan saya kesurupan ya biar gak malu-maluin dan biar jathilane jadi tambah seru mbak, biar masyarakat terhibur dengan pertunjukan yang saya lakukan kan mereka juga gak tau kalau kesurupan saya cuma pura-pura. Jujur aja mungkin saya tidak selalu bisa mempertahankan budaya jathilan di jaman dulu yang seharusnya kesurupan beneran” (Rd, wawancara, 25 Maret, 2012).

Penuturan dari beberapa penari jathilan dari berbagai kelompok jathilan

di atas cukup menjelaskan bahwa pemaknaan kesurupan dalam kesenian

jathilan di jaman sekarang memang sudah mulai bergeser dibandingkan

dengan pemaknaan kesurupan di jaman dahulu. Pergeseran makna tersebut terlihat dari adanya asumsi bahwa kesurupan dalam kesenian jathian

(23)

lazim terjadi, adanya ketakutan mengalami gangguan kesehatan jika mengalami kesurupan, dan tidak ada hal istimewa yang didapat dari kegiatan

njathil hingga kesurupan. Berbeda dengan para penari jathilan dalam

kelompok jathilan Turonggo Jati Manunggal di Dusun Kepuh, mereka tetap

mau njathil hingga kesurupan sekalipun tak luput dari dampak negatif seperti

cidera fisik dan sering tidak mendapatkan bayaran dari pentas njathil.

Berdasarkan pengalaman yang diperoleh peneliti, peneliti mengenal penari jathilan dalam kelompok jathilan Turonggo Jati Manunggal sewaktu peneliti menjalani kegiatan KKN (Kuliah Kerja Nyata). Selama kegiatan KKN berlangsung, peneliti mempunyai kesempatan untuk pentas njathil dan pernah mengalami kesurupan. Dalam kegiatan KKN, peneliti memanfaatkan waktu untuk mengenal lebih jauh mengenai kesenian jathilan bersama warga Dusun Kepuh. Peneliti bersama para penari jathilan di Dusun Kepuh berlatih

jathilan bersama selama dua kali dalam seminggu. Berawal dari pengalaman

(24)

kesurupan menjadi hilang dan peneliti menjadi semakin bangga terhadap para penari jathilan Turonggo Jati Manunggal, dan hal tersebut dimanfaatkan peneliti untuk menerima tawaran njathil untuk kedua kalinya bersama kelompok jathilan Turonggo Jati Manunggal dalam kegiatan pembukaan Dies Natalis ke-56 Universitas Sanata Dharma.

Dari ulasan sebelumnya, peneliti mengetahui bahwa dewasa ini esensi kesurupan dalam kesenian jathilan mulai bergeser, namun peneliti memiliki ketertarikan tersendiri dengan fenomena kesurupan yang dialami peneliti sendiri bersama para penari jathilan, khususnya para penari jathilan di Dusun Kepuh. Dari keterangan yang didapat peneliti dari penari jathilan di Dusun Kepuh, kesurupan dalam kesenian jathilan tetap mereka pertahankan sesuai dengan warisan budaya Jawa yang memang sudah melekat kuat pada diri mereka. Mereka tidak merasa keberatan untuk tetap menari dalam pentas kesenian jathilan dan merasa bangga ketika mengalami fenomena kesurupan dalam setiap pementasan kesenian jathilan. Bagi para penari jathilan di Dusun Kepuh, jathilan dipandang sebagai suatu kesenian tradisional yang sakral dan patut untuk dilestarikan. Selain bertujuan sebagai pertunjukan yang menghibur, kesenian jathilan yang melibatkan kesurupan justru tetap mereka jalani dengan keyakinan agar dapat terhindar dari gangguan-gangguan makhluk halus.

(25)

untuk tetap mau terlibat dalam fenomena kesurupan tentunya para penari

jathilan menghayati suatu makna tertentu sehingga tidak merasa terbebani

untuk melakukan suatu hal yang seiring perkembangan jaman oleh beberapa orang dan penari jathilan lainnya dipandang sebagai hiburan semata dan kesurupan dalam kesenian jathilan tidak terlalu dianggap penting.

Peneliti bermaksud ingin menganalisa dan menggali informasi lebih mendalam mengenai fenomena kesurupan yang terjadi dalam kesenian

jathilan dengan tujuan untuk mengetahui makna apa yang dihayati penari

jathilan terhadap kesenian jathilan sehingga tetap mau mempertahankan

kesurupan yang sesungguhnya sesuai dengan warisan budaya Jawa, walau bagi sebagian penari jathilan kesurupan pura-pura sudah lazim terjadi. Ketika mengalami kesurupan para penari jathilan Turonggo Jati Manunggal sering bertingkah aneh seperti binatang dan dalam prosesi kesurupan juga terdapat adegan-adegan berbahaya seperti memakan beling, memakan dupa, memakan bunga, dan lain-lain. Apakah peristiwa kesurupan tersebut hanya sebatas bertujuan untuk menghibur penonton sesuai dengan yang terjadi dalam perkembangan jaman dewasa ini atau memang ada suatu hal yang dianggap penting dan bermakna bagi keseharian para penari jathilan?

B. Rumusan Masalah

(26)

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dan menganalisa makna kesurupan dalam pentas kesenian jathilan bagi penari jathilan Turonggo Jati Manunggal di Dusun Kepuh.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang dapat diambil dari hasil penelitian ini adalah:

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi dan memperkaya hasil penelitian yang telah ada dalam lingkup psikologi budaya mengenai gambaran makna kesurupan bagi penari jathilan dalam pentas kesenian jathilan.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi penari jathilan

(27)

b. Bagi masyarakat

(28)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Makna

Makna menurut Frankl (1984) adalah kesadaran akan adanya suatu kesempatan atau kemungkinan yang ada dalam realitas. Makna adalah hal-hal yang oleh seseorang dipandang penting dan dirasakan berharga. Makna juga memberikan nilai khusus bagi seseorang.

Makna menurut Malik (2012) dalam artikelnya adalah pemahaman yang membuat sesuatu berarti dalam hidup, yang serta merta merombak alam berfikir dan menemukan nilai baru, kita tak mungkin hidup tanpa nilai. Nilai ini menambah kualitas kita, sehingga dapat lebih mudah berkreasi dan menjalani hidup.

Dari pemahaman tersebut maka peneliti mencoba menjelaskan bahwa sebuah pemaknaan terhadap fenomena kesurupan meliputi aspek pikiran, perasaan, dan perilaku. Dalam memaknai sesuatu tentunya tidak lepas dari apa yang kita pikirkan, apa yang kita rasakan, dan bagaimana dampak bagi perilaku kita. Aspek pikiran, perasaan, dan perilaku akan menjadi satu kesatuan yang membentuk ketiga subjek dalam memaknai fenomena kesurupan yang mereka alami pada pentas kesenian jathilan dalam kelompok Turonggo Jati Manunggal di Dusun Kepuh. Bagi sebagian penari jathilan, kesurupan pura-pura sudah lazim terjadi, namun penari jathilan kelompok Turonggo Jati Manunggal di Dusun Kepuh tetap mau mempertahankan

(29)

kesurupan yang sesungguhnya sesuai dengan warisan budaya Jawa. Untuk tetap mau njathil hingga kesurupan pastilah para penari jathilan tersebut menghayati suatu makna tertentu mengenai fenomena kesurupan itu sendiri. Makna tak mungkin ada tanpa kehadiran tujuan dan keberadaan tujuan meniscayakan tindakan. Kita melakukan sesuatu tak lain untuk memperoleh makna dan limpahan makna ini pula yang membuat hidup kita bahagia (Malik, 2012).

(30)

B. Jathilan

1. Definisi Jathilan

Nama lain dari jathilan adalah jaran kepang, kuda kepang, kuda

lumping, dan ebeg. Jathilan adalah tarian tradisional Jawa yang

menampilkan kegagahan sekelompok prajurit yang tengah menunggang kuda. Tarian ini menggunakan kuda yang terbuat dari bambu yang dianyam dan dipotong menyerupai bentuk kuda. Anyaman kuda ini dihias dengan cat dan kain beraneka warna. Tarian jathilan biasanya hanya menampilkan adegan prajurit berkuda, akan tetapi beberapa penampilan jathilan juga menyuguhkan atraksi kesurupan, kekebalan, dan kekuatan magis, seperti atraksi memakan beling dan kekebalan tubuh terhadap deraan pecut. (“Kuda lumping”, 2012).

2. Sejarah Jathilan

Jathilan merupakan bentuk apresiasi dan dukungan rakyat jelata

terhadap pasukan berkuda Pangeran Diponegoro dalam menghadapi penjajah Belanda. Ada pula versi yang menyebutkan, bahwa jathilan

menggambarkan kisah perjuangan Raden Patah, yang dibantu oleh Sunan Kalijaga, melawan penjajah Belanda. Versi lain menyebutkan bahwa, tarian ini mengisahkan tentang latihan perang pasukan Mataram yang dipimpin Sultan Hamengku Buwono I, Raja Mataram, untuk menghadapi pasukan Belanda. Terlepas dari asal usul dan nilai historisnya, jathilan

(31)

berkuda atau kavaleri. Hal ini terlihat dari gerakan-gerakan ritmis, dinamis, dan agresif, melalui kibasan anyaman bambu, menirukan gerakan layaknya seekor kuda di tengah peperangan.

Seringkali dalam pertunjukan jathilan, juga menampilkan atraksi yang mempertontonkan kekuatan supranatural berbau magis, seperti atraksi mengunyah kaca, menyayat lengan dengan golok, membakar diri, berjalan di atas pecahan kaca, dan lain-lain. Atraksi ini merefleksikan kekuatan supranatural yang pada jaman dahulu berkembang di lingkungan Kerajaan Jawa, dan merupakan aspek non militer yang dipergunakan untuk melawan pasukan Belanda. (“Sejarah kuda lumping”, 2012).

Jathilan pada masa sekarang fungsinya hanya sebagai tontonan

atau hiburan, ini agak berbeda dengan fungsi jathilan pada jaman dahulu yang selain untuk tontonan juga berfungsi sebagai pengawal yang memeriahkan iring-iringan temanten atau anak yang dikhitan serta untuk kepentingan pelepas nadzar atau midhang (ungkapan syukur atas terwujudnya suatu hal yang diinginkan). Para pemain jathilan hanya mewarisi kesenian tersebut dari nenek moyang mereka. Tidak ada yang mengetahui dan mendefinisikan kapan mulanya tari ini ada. Orang-orang umumnya menyatakan bahwa jathilan sudah ada sejak dulu kala. Namun yang pasti, jathilan berkembang dibeberapa wilayah seperti, Jawa Timur,

(32)

menampilkan lakon yang sama, seperti Panji, Ario Penangsang maupun gambaran kehidupan prajurit pada masa kerajaan Majapahit. Tari ini sifatnya fleksibel, bisa ditampilkan di mana saja, saat pesta pernikahan, sunatan atau pada saat pesta maupun festival kesenian rakyat. (“Jathilan

sebuah tarian magis”, 2007).

Menurut opini dari seorang dosen Jurusan Tari Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Gandung Sudjatmiko, dalam sebuah artikel (“Jathilan sebuah tarian magis”, 2007), seni ini bersumber dari rakyat jelata. Hal ini bisa dilihat dari penampilan kesederhanaan pakaian yang digunakan para penari. Mereka mengenakan celana sebatas lutut, kain batik bawahan, kemeja atau kaus lengan panjang, setagen, ikat pinggang bergesper, selempang bahu (srempeng),

(33)

3. Lakon-lakon dalam Tarian Jathilan

Pertunjukan jathilan didukung oleh para anggota, terdiri dari pawang (sebagai pimpinan pertunjukan dan pengendali pertunjukan), pemain musik, penari, dan penonton. Pawang membawa perlengkapan yang berupa sesaji yang terdiri dari bunga, minuman, minyak wangi, dan kemenyan. Peralatan yang digunakan berupa seperangkat alat musik, terdiri dari: kendhang, saron, demung, gong, dan kethuk kenong. Untuk pertunjukan jathilan masa sekarang kadang ditemui keyboard dan drum

untuk penunjang iringan musik.

Bagi para penari jathilan, penari kuda mengambarkan para prajurit Mataram yang sedang melakukan latihan perang. Penari ini dibagi menjadi dua kelompok setiap kelompok mempunyai seorang pemimpin. Adapun penari kuda ini berjumlah delapan orang dan dilengkapi dengan kuda kepang dan sebuah pedang. Penari jathilan yang menari berpasangan lurus, kemudian membentuk lingkaran dan kembali lurus berpasangan selanjutnya perang-perangan. Perlengkapan penari, terdiri dari seperangkat pakaian, kuda kepang, cambuk, dan topeng. Topeng digunakan penari dalam pertunjukkan jathilan untuk melakonkan karakter tertentu, seperti lucu dan seram. (Ardhi, 2009).

(34)

yang masih muncul atau masih bisa dilihat di dalamnya. Rias muka realitis, serba tebal terutama merah pipi, ditambah kumis untuk semua pemain kuda. Kostum yang dipakai berupa blangkon/iket dengan

cundhuk bulu, sumping, kalung bunga ronce, memakai baju (hem), kelat

bahu, gelang, sabuk, timang, sampur, kain dan celana panji. Saat menari, posisi kaki dalam tarian ini adalah terbuka, untuk posisi lengan rata-rata sedang. Tangan kiri selalu nekem menggambarkan orang naik kuda memegang kendali pada pangkal leher kudanya. Sedangkan tangan kanan memegang pedang yang dibuat dari bambu. Gerak tari pokok yang selalu ada yaitu pacak gulu, siring dan ngiclik serta njondhil. Adapun bentuk- bentuk tarian yang di mainkan oleh penari kuda yaitu :

1. Sembahan 2. Langkahan

3. Jogetan Pincangan 4. Perang ProTelon

5. Lilingan

6. Perang Individu

7. Ndadi

Lakon Buto, Barongan dan Anoman merupakan tokoh

(35)

liar yang selalu menggangu para prajurit dan juga sering menganggu

Barongan.

4. Kelompok Jathilan Turonggo Jati Manunggal di Dusun Kepuh

Berawal pada tahun 2004 dari kegiatan di malam Suro, masyarakat Kepuh setiap tahunnya rutin mengadakan kegiatan tirakatan. Dalam acara tirakatan tersebut, masyarakat Kepuh gemar untuk memutar musik-musik jathilan. Ketertarikan masyarakat Kepuh dengan musik-musik jathilan beserta kesenian jathilan sangatlah besar. Melihat hal tersebut, bapak Tukiyar yang merupakan warga Kepuh berinisiatif membuat jaran kepang dari anyaman bambu. Jaran kepang yang dihasilkan oleh bapak Tukiyar cukup bagus dan mendapat perhatian dari warga Kepuh. Beberapa pemuda Kepuh yang melihat hal tersebut menjadi tertarik berlatih njathil dengan diiringi musik-musik jathilan dari kaset. Melihat ketertarikan para pemuda terhadap kesenian jathilan, para sesepuh warga Kepuh bermaksud untuk membentuk suatu kelompok kesenian jathilan di Dusun Kepuh. Untuk menanggapi kegemaran warga Kepuh terhadap kesenian jathilan, diadakanlah rapat yang dihadiri warga Kepuh. Dalam rapat tersebut membahas sehubungan dengan rencana dibentukknya kelompok jathilan di Dusun Kepuh, usulan tersebut disambut baik oleh warga Kepuh.

(36)

yang muncul, namun atas kesepakatan bersama dipilihlah nama Turonggo Jati Manunggal. Dalam peresmian kelompok jathilan

Turonggo Jati Manunggal, terpilih Mbah Sarno sebagai ketua dan Pak Oni sebagai wakil ketua.

Setelah peresmian Turonggo Jati Manunggal, para pemuda Kepuh aktif berlatih njathil. Semangat untuk berlatih njathil membuahkan hasil yang memuaskan, dalam acara pekan budaya, kelompok jathilan

Turonggo Jati Manunggal selalu mendapat kesempatan untuk pentas dalam acara tersebut. Kelompok jathilan Turonggo Jati Manunggal juga sering pentas njathil untuk acara-acara yang ada di Dusun Kepuh seperti sunatan, pernikahan, peringatan hari raya, dan lain-lain.

Dalam perkembangannya, memasuki tahun 2007 kelompok

jathilan Turonggo Jati Manunggal mengalami kemunduran. Hal tersebut

dikarenakan para pemuda mulai bosan dengan tarian yang monoton dan musik yang kurang beragam. Awal tahun 2008 mulai ada tarian dan musik jathilan kreasi baru. Semangat untuk njathil kembali muncul dan semakin banyak pemuda di Dusun Kepuh yang tertarik untuk bergabung dalam kelompok jathilan Turonggo Jati Manunggal. Melihat kelompok

jathilan Turonggo Jati Manunggal semakin berkembang pesat,

(37)

untuk mengeluarkan biaya untuk berbagai keperluan njathil. Namun diluar dugaan, kelompok jathilan Turonggo Jati Manunggal mengalami penipuan. Tawaran untuk dikomersilkan dalam suatu label tersebut tidak pernah ada kelanjutannya hingga saat ini.

Tahun 2010 terjadi erupsi merapi yang sangat hebat, lantas sejak saat itulah kelompok jathilan Turonggo Jati Manunggal menjadi vakum total. Peralatan njathil seperti jaran kepang, kostum, dan gamelan semua habis tak tersisa karena amukan wedhus gembel. Tahun 2011 peneliti mendapat tempat di Dusun Kepuh untuk melaksanakan kegiatan KKN. Kelompok jathilan Turonggo Jati Manunggal mendapat perhatian utama untuk kegiatan KKN peneliti karena hal tersebut menjadi program utama kegiatan KKN peneliti. Pengalaman kelompok jathilan Turonggo Jati Manunggal yang pernah tertipu dan hilangnya semua arsip jathilan

(38)

C. Kesurupan

1. Kesurupan Secara Umum

Kesurupan adalah sebuah fenomena tentang makhluk halus yang menguasai pikiran, perasaan, dan intelek (kesanggupan untuk membuat keputusan) pada diri seseorang dengan menyatu pada kesadarannya (Walker, 1973, 4). Dalam hal ini makhluk halus bisa menguasai tindakan seseorang. Orang dapat mengalami kesurupan ketika badannya dimasuki oleh makhluk halus yang menguasai jiwa raganya. Hampir pada setiap kasus kesurupan, seseorang yang kesurupan tidak tahu atau tidak ingat bahwa dia kesurupan karena jiwa raganya dikuasai oleh makhluk halus (Wallance, 2001, 14).

Fenomena kesurupan telah ada selama beribu-ribu tahun yang lalu, di seluruh penjuru dunia. Berbagai bentuk dan interpretasi kesurupan dari kebudayaan yang satu ke kebudayaan yang lain tidaklah sama dan mengalami berbagai perubahan seiring berjalannya waktu. Kesurupan adalah fenomena yang dapat ditemukan dalam banyak agama dan diberbagai masyarakat seluruh dunia. Dalam tradisi agama dan dongeng, seseorang yang dikuasai oleh makhluk halus kelakuannya akan menjadi tidak normal dan kepribadiannya akan berubah (Walker, 1973, 4).

(39)

berperilaku seperti binatang dan kehilangan kontrol atas segala yang mereka perbuat. Dalam kesurupan, para penari jathilan juga dapat melakukan adegan-adegan berbahaya seperti memakan beling, memakan dupa, memakan bunga, dan lain-lain.

2. Kesurupan Menurut Perspektif Psikologi

Kurniawan (2010) dalam artikelnya berpendapat, jika ditinjau dari sudut pandang psikologi, fenomena kesurupan sebenarnya bisa dijelaskan secara gamblang dan jelas tanpa membawa embel-embel makhluk gaib. Jika dikaitkan dengan aspek psikologis manusia peristiwa kesurupan sudah memasuki kawah alam bawah sadar. Itha (2007) dalam artikelnya mengungkapkan bahwa fenomena kesurupan dikenal dengan istilah trans

dissosiatif yaitu perubahan dalam kesadaran yang bersifat temporer atau

hilangnya perasaan identitas diri tanpa kemunculan identitas baru.

(40)

sehari-hari. Ketidaksadaran pribadi adalah daerah yang berdekatan dengan ego. Ketidaksadaran pribadi terdiri dari pengalaman-pengalaman yang telah kita jalani dan digeser ke alam bawah sadar baik sengaja maupun tidak sengaja. Sedangkan ketidaksadaran kolektif adalah segala macam pengalaman-pengalaman yang telah diwariskan oleh generasi sebelumnya sejak jaman nenek moyang dahulu. Jadi, pengalaman pengalaman nenek moyang sejak beribu tahun yang lalu tersebut diwariskan kepada diri kita melalui jalan genetik yaitu perkawinan, dan pengalaman tersebut tidak dapat kita ingat secara biasa karena berada dalam level ketidaksadaran yang terdalam.

(41)

bisa menjadi semacam stimulus yang sewaktu-waktu bisa membangkitkan pengalaman masa lalu tersebut.

Faktor yang dominan yang bisa memicu terjadinya kesurupan adalah faktor psikologis, stress, depresi atau semacamnya. Orang yang mengalami stress mudah sekali tersugesti dengan berbagai hal dikarenakan biasanya orang yang stress itu seringkali melamun yang menandakan kosongnya pikiran sadar. Jika pikiran sadar kosong sudah pasti pikiran bawah sadarlah yang mendominasi (Itha, 2007).

Jadi fenomena kesurupan menurut perspektif psikologi adalah suatu fenomena dimana manusia berada di alam bawah sadar dan juga berada dalam ketidaksadaran kolektif. Faktor yang dominan yang bisa memicu terjadinya kesurupan dalam perspektif psikologi adalah pikiran kosong, stress, depresi, atau semacamnya.

3. Gejala-gejala Kesurupan

(42)

luar. Keadaan saat kesurupan ada yang menyadari sepenuhnya, ada yang menyadari sebagian, dan ada pula yang tidak menyadari sama sekali. Dalam keadaan kesurupan korban melakukan gerakan-gerakan yang terjadi secara otomatis, tidak ada beban mental, dan tercetus dengan bebas. Saat itu merupakan kesempatan untuk mengekspresikan hal-hal yang terpendam melalui jeritan, teriakan, gerakan menari seperti keadaan hipnotis diri. Setelah itu, fisik mereka dirasa lelah tetapi, mental mereka mendapat kepuasan hebat (Itha, 2007). Frigerio (2007) menyatakan, ada tiga stadium yang dialami orang kesurupan, yaitu :

1. Pertama, irradiation, subjek tetap menyadari dirinya tetapi ada perubahan yang dirasakan pada tubuhnya.

2. Kedua being diside, subjek berada dalam dua keadaan yang berbeda, namun ada sebagian yang dialaminya disadarinya.

3. Ketiga disebut stadium incorporation, subjek sepenuhnya dikuasai oleh yang memasukinya dan semua keadaan yang dialami tidak diingatnya.

Dalam kesurupan yang dialami para penari jathilan dalam kelompok jathilan Turonggo Jati Manunggal, mencapai stadium

incorporation, yaitu subjek sepenuhnya dikuasai oleh yang memasukinya

(43)

D. Dinamika Penelitian

1. Batasan-batasan Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti membatasi penelitian mengenai fenomena kesurupan yang dialami oleh para penari jathilan yang tentunya pernah mengalami kesurupan, karena peneliti mendapatkan informasi dari para penari dan pawang bahwa tidak semua penari jathilan

mengalami kesurupan dalam setiap pentas kesenian jathilan.

Adapun penelitian ini hanya meneliti para penari jathilan yang berada di Dusun Kepuh yaitu kelompok jathilan Turonggo Jati Manunggal. Peneliti menganalisa makna apa yang dihayati para penari

jathilan sehingga mereka tetap mau njathil hingga kesurupan walau

(44)

Seiring perkembangan jaman, esensi kesurupan mulai

bergeser/berubah 2. Alur Berpikir

Skema 1. Skema alur penelitian

Dewasa ini kesurupan pura-pura sudah lazim dilakukan

oleh penari jathilan

Jaman dahulu melibatkan kesurupan

sesungguhnya

Jathilan merupakan warisan budaya Jawa

Berbeda dengan penari

jathilan Kepuh, mereka tetap mempertahankan kesurupan

sesungguhnya

Bagaimana para penari

(45)

Dari berbagai pandangan mengenai fenomena kesurupan, dalam penelitian ini peneliti membatasi kajian kesurupan yaitu hanya kesurupan dalam kesenian jathilan di Dusun Kepuh. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, fenomena kesurupan dalam kesenian jathilan merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam pentas kesenian

jathilan termasuk dengan tari-tarian yang dinamis. Para penari jathilan

yang mengalami kesurupan sewaktu pentas dalam kesenian jathilan

memang berada di alam bawah sadar dan juga berada dalam ketidaksadaran kolektif, yang membuat mereka hilang kesadaran dan dapat bertingkah aneh. Dari penggalian tiga aspek, yaitu pikiran, perasaan, dan perilaku sehubungan dengan fenomena kesurupan yang dialami penari jathilan diharapkan dapat menggali makna yang dihayati para penari jathilan di Dusun Kepuh sehingga tetap mau njathil hingga kesurupan walau dewasa ini esensi kesurupan dalam kesenian jathilan

(46)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara mendalam tentang pemaknaan para penari jathilan yang pernah mengalami kesurupan terhadap fenomena kesurupan. Jenis penelitian yang akan digunakan adalah kualitatif. Definisi penelitian kualitatif menurut (Anzwar, 1995) adalah penelitian yang menekankan pada analisis dinamika hubungan antar fenomena yang diamati dengan menggunakan logika ilmiah, cara-cara berpikir dan argumentatif.

Penelitian ini adalah penelitian dengan menggunakan paradigma

kualitatif fenomenologi. Metode fenomenologi merupakan suatu metode berpikir tanpa prasangka dan tidak bertitik tolak dari suatu teori atau gambaran tertentu dalam mengetahui isi dari suatu fenomena (Creswell, 1998). Menurut Bogdan dan Biklen (1982) peneliti dengan pendekatan fenomenologis berusaha memahami makna dari suatu peristiwa dan saling pengaruhnya dengan manusia dalam situasi tertentu. Tujuan dari penelitian fenomenologi adalah mengungkap pengalaman manusia dalam menghadapi peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitarnya dengan cara pemaknaannya (Husserl, dalam Hadiwijoyo, 1980).

Karakteristik pendekatan fenomenologis adalah: 1) Tidak berasumsi

mengetahui hal-hal apa yang berarti bagi manusia yang akan diteliti; 2) Memulai penelitian dengan keheningan untuk menangkap apa yang sedang

(47)

diteliti; 3) Menekankan pada aspek subjektif perilaku manusia, dengan berusaha masuk ke dalam dunia konseptual subjek agar dapat memahami bagaimana dan makna apa yang mereka konstruksi di sekitar peristiwa dalam kehidupannya sehari-hari; 4) Mempercayai bahwa dalam kehidupan manusia banyak cara yang dapat dipakai untuk menafsirkan pengalaman-pengalaman dari masing-masing kita melalui interaksi kita dengan orang lain, dan bahwa hal ini merupakan makna dari pengalaman kita yang merupakan sebuah realita; 5) Semua cabang penelitian kualitatif berpendirian bahwa untuk memahami subjek adalah dengan melihatnya dari sudut pandang subjek sendiri, artinya dalam melakukan penelitian kualitatif, peneliti menggunakan pendekatan dan mengkonstruksi penelitiannya berdasar pada pandangan subjek yang diteliti.

B. Fokus Penelitian

Fenomena yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah makna kesurupan dalam kesenian jathilan bagi penari jathilan dalam kelompok

jathilan Turonggo Jati Manunggal di Dusun Kepuh, Desa Kepuharjo,

Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, DIY. Fokus dalam penelitian ini untuk menggali suatu makna yang dihayati para penari jathilan sehingga tetap mau njathil hingga kesurupan. Makna kesurupan bagi penari jathilan

(48)

beserta pedoman umum wawancara terhadap penari jathilan dalam kelompok

jathilan Turonggo Jati Manunggal di Dusun Kepuh :

Aspek-aspek yang akan diungkap dalam penelitian ini :

Tabel 1

Aspek-aspek Penelitian

Aspek Hal-hal yang Diungkap

1. Pikiran (PK)  Aneka ingatan atau pengetahuan tentang

kesurupan dalam jathilan

2. Perasaan (PR)  Berbagai perasaan yang dirasakan penari

jathilan berkenaan dengan fenomena kesurupan, berbagai perasaan ketika mengalami kesurupan, serta berbagai pengaruh kesurupan terhadap perasaan dalam kehidupan sehari-hari

3. Perilaku (PL)  Sejauh mana kejadian kesurupan

(49)

Pedoman wawancara dalam penelitian ini: Tabel 2

Pedoman Wawancara

Tema Target jawaban Pertanyaan

I. Kesurupan

secara umum

Untuk mendapatkan informasi tentang pandangan subjek terhadap peristiwa kesurupan dalam kesenian jathilan di Kepuh

PK= Bagaimana anda memandang peristiwa kesurupan dalam kesenian jathilan di Kepuh?

Untuk mendapatkan informasi mengenai berbagai hal yang subjek rasakan sebelum, saat dan sesudah mengalami kesurupan

PR= Apa yang anda rasakan sebelum, saat dan sesudah mengalami kesurupan?

Untuk mendapatkan informasi mengenai dampak kesurupan yang dialami subjek dalam kehidupan sehari-hari (dalam lingkup diri sendiri, lingkup keluarga maupun lingkup kehidupan bermasyarakat)

(50)

II. Kesurupan

yang tidak sesungguhnya (kesurupan pura-pura)

Untuk mengkroscek apakah subjek benar mengalami kesurupan sesungguhnya

PK= Apakah anda pernah melakukan kesurupan pura-pura?

Untuk mendapatkan informasi tentang berbagai hal yang dirasakan subjek ketika melakukan kesurupan pura-pura.

PR= Bagaimana

perasaan anda ketika njathil dan melakukan kesurupan pura-pura?

Untuk mendapatkan informasi mengenai dampak kesurupan pura-pura dalam perilaku keseharian subjek (dalam lingkup diri sendiri, lingkup keluarga maupun lingkup kehidupan bermasyarakat)

PL= Berdampak apakah dalam perilaku keseharian anda ketika mengalami kesurupan informasi apakah kesurupan dimaknai sama seperti jaman dahulu yang melibatkan kesurupan sebagai suatu kesatuan

PK= Menurut anda, fenomena kesurupan dalam kesenian jathilan

(51)

Untuk mendapatkan informasi tentang berbagai perasaan yang dirasakan subjek ketika mengalami kesurupan dan tidak mengalami kesurupan sewaktu njathil.

PR= Bagaimana

perasaan anda sewaktu mengalami kesurupan dan tidak mengalami kesurupan sewaktu

njathil?

Untuk mendapatkan informasi tentang berbagai dampak dalam keseharian subjek ketika mengalami kesurupan dan tidak mengalami kesurupan sewaktu njathil. (dalam lingkup diri sendiri, lingkup keluarga maupun lingkup kehidupan bermasyarakat)

PL= Apa dampak dalam perilaku keseharian anda terkait dengan mengalami kesurupan dan tidak mengalami kesurupan sewaktu njathil?

IV. Motivasi yang mendorong

penari jathilan

Untuk mendapatkan informasi tentang berbagai hal yang membuat subjek

tetap mau njathil hingga kesurupan.

PK= Apa yang

membuat anda tetap mau njathil hingga

(52)

sehingga tetap mau

njathil hingga kesurupan

Untuk mendapatkan informasi tentang berbagai hal yang subjek rasakan terkait dengan profesi subjek yang tetap mau

njathil hingga kesurupan.

PR= Apa yang anda rasakan ketika anda tetap mau njathil

hingga kesurupan?

Untuk mendapatkan informasi tentang berbagai dampak dalam perilaku keseharian subjek terkait dengan kegiatan njathil

hingga kesurupan yang subjek alami. (dalam lingkup diri sendiri, lingkup keluarga maupun lingkup kehidupan bermasyarakat)

PL= Setelah anda kesurupan, apakah hal tersebut mempengaruhi perilaku dalam keseharian anda?

V. Dampak

kesehatan dari kesurupan

Untuk mendapatkan informasi tentang

bagaimana subjek

memaknai setiap dampak

kesehatan yang dialami saat kesurupan

PK= Apa dampak bagi kesehatan anda terkait dengan peristiwa kesurupan yang anda

(53)

Untuk mendapatkan informasi tentang berbagai hal yang subjek rasakan ketika mengetahui dampak bagi kesehatan subjek dari peristiwa kesurupan yang subjek alami.

PR= Apa yang anda rasakan ketika mengetahui dampak bagi kesehatan anda dari peristiwa kesurupan yang anda alami?

Untuk mendapatkan informasi tentang pengaruh bagi perilaku dalam keseharian subjek, terkait dengan dampak peristiwa kesurupan bagi kesehatan.

PL= Terkait dengan dampak peristiwa kesurupan bagi kesehatan, apa pengaruh hal tersebut bagi perilaku dalam keseharian anda?

C. Subjek Penelitian

Subjek penelitian adalah para penari jathilan dalam kelompok jathilan

(54)

dalam kelompok jathilan Turonggo Jati Manunggal di Dusun Kepuh dengan kriteria:

1) Tidak dibatasi usia dan jenis kelamin

2) Waktu njathil cukup lama (lebih dari 5 tahun)

3) Mengalami kesurupan ketika njathil, dengan kriteria:

- Penari mengalami hilang kesadaran saat kesurupan dan mencapai stadium incorporation yang tidak mengingat apa saja yang dialami saat kesurupan.

- Mengalami gejala sebelum kesurupan antara lain kepala terasa berat, badan dan kedua kaki lemas, penglihatan kabur, badan terasa ringan, dan ngantuk; saat kesurupan tidak bisa mengendalikan diri dan hilang kesadaran; dan setelah kesurupan penari kembali sadar dan dapat merasakan efek dari kesurupan yang dilakukan seperti badan lemas, kelelahan, dan cidera fisik (badan lebam, lecet), namun tidak bisa mengingat apa saja yang terjadi saat kesurupan.

- Melakukan adegan-adegan ekstrim saat kesurupan dan memakan makanan yang tidak lazim (bunga, dupa, beling, dll).

D. Metode Pengambilan Data

(55)

pertanyaan dan yang diwawancarai yang memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut. Wawancara yang mendalam bertujuan untuk mendapatkan informasi selengkap-lengkapnya dan mendalam dalam mengungkap pemaknaan para penari jathilan yang pernah mengalami kesurupan terhadap fenomena kesurupan tersebut yang direfleksikan dalam pengalaman-pengalaman mereka.

(56)

dibahas atau diajukan sebagai pertanyaan. Proses pengambilan data yang diperoleh peneliti berupa rekaman wawancara yang diubah dalam bentuk verbatim, untuk itu peneliti menggunakan media alat perekam dengan tujuan sebagi kroscek terhadap hasil wawancara kepada subjek.

E. Analisis Data

Langkah-langkah yang harus ditempuh untuk menganalisa data verbatim hasil wawancara adalah sebagai berikut:

1. Organisasi Data

Organisasi data merupakan tahap awal dari pengolahan dan analisis data. Data yang akan diorganisasi adalah data mentah berupa verbatim hasil wawancara yang pada awalnya berupa rekaman. Data-data yang diorganisir juga termasuk data yang telah diberi kode spesifik, bagan, dan catatan analisis. Data-data tersebut juga diorganisasikan sesuai dengan subjek masing-masing, dan juga disesuaikan dengan urutan pengambilan data di lapangan. Organisasi data tersebut dilakukan agar peneliti dapat memperoleh kualitas data yang baik, dapat mendokumentasikan analisis yang dilakuakan serta dapat menyimpan data dan analisis yang berkaitan dalam penyelesaian penelitian ini.

2. Pengkodean Data

(57)

dan mengkategorikan data secara sistematis, lengkap, dan mendetail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari, serta diharapkan akan ditemukan aspek-aspek yang berkaitan dengan pemaknaan subjek akan fenomena kesurupan dalam kelompok kesenian

jathilan Turonggo Jati Manunggal. Proses koding dan analisis ini diawali

dengan menyusun data verbatim kedalam kolom, dimana disamping kanan kolom data diberi kolom kosong yang nantinya akan digunakan untuk pengkodean dan untuk membubuhkan keterangan dari salinan verbatim. Dari keterangan tersebut, diharapkan pemaknaan mengenai fenomena kesurupan dalam kesenian jathilan dapat digambarkan dengan baik.

3. Interpretasi

(58)

F. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data

1. Kredibilitas

Kredibilitas dalam penelitian kualitatif digunakan untuk menggantikan konsep validitas. Dalam hal ini, objektifitas penelitian sangat diperlukan dimana peneliti harus menyadari, mengidentifikasi, dan mendeskripsikan adanya pengaruh nilai-nilai dalam penelitiannya (Danim, 2002). Kredibilitas dalam penelitian kualitatif terletak pada keberhasilannya mencapai maksud mengeksplorasi masalah atau mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial atau pola interaksi yang kompleks. (Poerwandari, 2005).

Menurut (Poerwandari, 2005), beberapa cara yang digunakan peneliti untuk mencapai kredibilitas penelitian, yaitu dengan cara:

a)Validitas komunikatif

Validitas komunikatif dilakukan dengan cara mengkonfirmasikan kembali data dan analisisnya kepada subjek penelitian. Hal tersebut dilakuakan agar data wawancara yang diperoleh peneliti yang sudah diubah kedalam bentuk transkrip verbatim merupakan data yang benar-benar mewakili jawaban subjek saat itu.

b)Validitas argumentatif

(59)

memeriksa deskripsi tersebut, sehingga subjek dapat memberikan masukan ataupun pembetulan.

2. Konfirmabilitas

(60)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Prosedur Pengambilan Data

Langkah-langkah yang dilakukan peneliti dalam pengambilan data penelitian antara lain:

1. Melakukan pendekatan dan membangun rapport jauh hari sebelum

penelitian dilaksanakan. Pendekatan awal dilakukan sewaktu peneliti melangsungkan kegiatan KKN di Dusun Kepuh. Pendekatan awal dilakukan melalui interaksi langsung saat ada latihan njathil dan ikut terlibat menjadi penari saat pentas kesenian

jathilan berlangsung. Pendekatan selanjutnya adalah berbaur

langsung dengan aktivitas keseharian subjek. Pendekatan ini bertujuan untuk mengakrabkan diri dengan subjek dan mencari informasi sebanyak mungkin dari fenomena kesurupan dalam kesenian jathilan di Dusun Kepuh serta sebagai sarana untuk menyampaikan maksud dan tujuan dalam penelitian ini. Dari hubungan positif yang terjalin, diharapkan dapat mempermudah peneliti untuk mendapatkan pemaparan informasi secara mendalam dan terbuka.

2. Melakukan pemilihan subjek dengan metode purposive sampling.

Peneliti meminta bantuan pawang jathilan untuk menentukan subjek penelitian yang sesuai dengan kriteria yang telah dijelaskan

(61)

sebelumnya dalam bahasan subjek penelitian, setelah terpilih beberapa nominasi penari jathilan, kemudian peneliti mengkroscek kriteria yang diinginkan peneliti terhadap beberapa nominasi penari

jathilan tersebut (apakah sesuai dengan kriteria yang peneliti

inginkan) dan terpilih tiga penari jathilan yang memenuhi kriteria penelitian untuk dijadiakan subjek penelitian.

3. Meminta izin untuk melakukan wawancara awal terhadap subjek. 4. Melakukan wawancara awal. Wawancara awal dilakukan pada

tanggal 1 Mei 2012. Kegiatan dilakukan dengan tujuan mendapatkan gambaran awal mengenai makna kesurupan bagi penari jathilan di Kepuh.

5. Melakukan tahap persiapan penelitian dengan membuat pedoman

umum wawancara. Pedoman wawancara tersebut disesuaikan dengan subjek dan hasil wawancara awal.

6. Melakukan uji coba wawancara terhadap subjek acak. Kegiatan dilakukan untuk memastikan pertanyaan yang disusun peneliti mampu ditangkap dan dipahami sama oleh subjek sesuai dengan tujuan pembuatan pertanyaan.

7. Merevisi beberapa pertanyaan yang kurang sesuai.

(62)

wawancara pertama. Pada tanggal 22 September 2012, peneliti melakukan wawancara terhadap subjek pertama. Kemudian, pada tanggal 23 September 2012, peneliti melakukan wawancara terhadap subjek kedua. Wawancara terhadap subjek ketiga dilakukan pada tanggal 24 September 2012. Pada tanggal 29 September 2012, peneliti melakukan wawancara tahap kedua terhadap subjek pertama. Kemudian, pada tanggal 30 September 2012, peneliti melakukan wawancara tahap kedua terhadap subjek kedua dan ketiga. Setelah melakukan wawancara, peneliti segera memindahkan hasil rekaman dalam bentuk verbatim atau transkrip wawancara. Kemudian, peneliti menentukan coding serta membuat kategori untuk keseluruhan verbatim subjek.

9. Setelah menentukan coding serta membuat kategori untuk keseluruhan verbatim subjek, kemudian peneliti melakukan konfirmasi data kepada subjek untuk memastikan data yang telah diperoleh oleh peneliti sudah sesuai dengan keadaan subjek. Peneliti mencapai validitas komunikatif dengan cara mengkonfirmasikan kembali data dan analisis penelitian kepada seluruh subjek penelitian.

(63)

B. Subjek Penelitian

Peneliti melakukan wawancara terhadap tiga subjek. Berikut data subjek:

a. Subjek 1

Nama : Fn

Jenis kelamin : Laki-laki

Usia : 24 tahun

Pekerjaan : Swasta Lama njathil : 8 tahun

b. Subjek 2

Nama : Pt

Jenis kelamin : Laki-laki

Usia : 35 tahun

Pekerjaan : Sopir/Penambang pasir Lama njathil : 9 tahun

c. Subjek 3

Nama : As

Jenis kelamin : Laki-laki

Usia : 30 tahun

(64)

C. Hasil Analisis Data Penelitian

Tabel 3

Tabel Analisa Subjek 1

I. Kesurupan secara umum

Aspek Pikiran Aspek Perasaan Aspek Perilaku

 (+)Kesurupan tujuan utama dalam jathilan

I.PK (8-9)

 (+)Kesurupan tujuan utama (jathilan

menjadi unik karena kesurupan) I.PK (13-16)

 (+)Masyarakat tidak memandang buruk karena saat kesurupan tidak sadar  I.PR (315-328)

 (+)Jika berbeban berat menjadi “plong” setelah kesurupan 

(65)

II.Kesurupan yang tidak sesungguhnya (kesurupan pura-pura)

Aspek Pikiran Aspek Perasaan Aspek Perilaku

 (+)Kesurupan pura-pura itu ada, kesurupan pura-pura itu hal yang tidak baik jadi seharusnya tidak dilakukan  II.PK kehidupan sosial 

II.PL (112-126)

III. Kesurupan dalam kesatuan dalam kesenian jathilan

Aspek Pikiran Aspek Perasaan Aspek Perilaku

 (+)Kesurupan dalam

 (+)Merasa minder dan

(66)

kesenian jathilan

njathil hingga kesurupan

Aspek Pikiran Aspek Perasaan Aspek Perilaku

 (+)Kesurupan sebagai kebiasaan dan memang suka njathil

dan sudah terbiasa

 (+)Merasa bangga jika kesurupan namun takut dikira sombong

jika terlalu

membanggakan kesurupan  IV.PR (412-417)

(67)

V.Dampak kesehatan dari kesurupan

Aspek Pikiran Aspek Perasaan Aspek Perilaku

 (+)Njathil dan

(68)

muntah-muntah  V.PK (254-264)

 (-)Merasa “lemes” dan “bleng” sebelum kesurupan  V.PK (21-23)

Catatan: (+) untuk penilaian positif; (-) untuk penilaian negatif; dan (N)

untuk penilaian netral.

Pada tabel 3 terkait dengan konsep kesurupan secara umum, Fn meyakini dalam pikirannya bahwa kesurupan dalam kesenian jathilan

merupakan hal yang penting dan dijadikan tujuan utama dari serangkaian tarian jathilan. Fn meyakini bahwa kesenian jathilan menjadi sesuatu yang unik karena adanya fenomena kesurupan. Pemikiran tersebut disertai dengan perasaan yang dominan dirasakan oleh Fn yaitu senang dan bangga bisa

njathil hingga kesurupan. Fenomena kesurupan yang dialami Fn sempat

dipandang masyarakat sebagai suatu hal yang menakutkan namun lambat laun kesurupan yang dialaminya menjadi hal yang tidak lagi menakutkan karena masyarakat mulai terbiasa menjumpai Fn yang sering mengalami kesurupan dalam pentas kesenian jathilan. Paradigma dari masyarakat tersebut, membuat Fn semakin bersemangat dan bertanggung jawab atas profesi yang digelutinya. Dari kesurupan yang dialaminya, Fn mengaku menjadi lebih bersemangat dalam melakukan berbagai hal dalam kesehariannya dan dari berbagai hal yang terjadi pada fenomena kesurupan dalam pentas kesenian

(69)

Terkait dengan konsep kesurupan yang tidak sesungguhnya, Fn meyakini dalam pikirannya bahwa kesurupan pura-pura itu memang diyakini ada dan ia mengaku pernah melakukan kesurupan pura-pura. Fn meyakini bahwa kesurupan pura-pura tidak seharusnya dilakukan karena ia menganggap bahwa kesurupan pura-pura merupakan hal yang tidak baik. Jika dikaitkan dengan segi perasaan, Fn merasa bingung saat tidak mengalami kesurupan sewaktu pentas njathil. Fn melakukan kesurupan pura-pura untuk menutupi rasa sungkan dan salah tingkah. Fn takut jika penonton mengetahui bahwa ia tidak mengalami kesurupan yang sesungguhnya. Terlepas dari hal tersebut, ia mengaku tidak ada dampak buruk atau negatif pada kehidupan sosialnya. Masyarakat menghargai profesi Fn sebagai penari jathilan yang sering terlibat kesurupan, hal tersebut membuat rasa kekeluargaan Fn dengan masyarakat menjadi semakin dekat karena nilai “lebih” dari kesurupan yang dialami Fn.

Terkait dengan konsep kesurupan sebagai kesatuan dalam kesenian

jathilan, Fn memandang kesurupan dalam kesenian jathilan sebagai suatu

kesatuan atau satu paket. Fn meyakini bahwa dalam rangkaian pertunjukan

jathilan yang terdiri dari tarian-tarian, didalamnya juga terdapat prosesi

(70)

semangat baru untuk diri pribadi dan dapat menambah keakraban untuk kehidupan bermasyarakat.

Terkait dengan motivasi yang mendorong Fn sehingga tetap mau

njathil hingga kesurupan, Fn mengaku bahwa hal yang memotivasinya

sehingga tetap njathil hingga kesurupan karena adanya suatu panggilan yang menggerakkan dirinya untuk njathil hingga kesurupan. Njathil hingga kesurupan merupakan sebuah kebiasaan dan menjadi kegemarannya. Dari segi perasaan, Fn merasakan perasaan yang biasa karena kesurupan dirasakan sangat familiar sehingga menjadi tidak ada perasaan khusus. Di sisi lain, ia merasa bangga jika mengalami kesurupan. Perasaan bangga tersebut tidak begitu ditunjukkan oleh Fn karena adanya perasaan takut dianggap sombong oleh masyarakat. Terkadang perasaan tidak enak muncul didalam diri Fn ketika tidak mengalami kesurupan. Satu hal yang juga dirasa cukup menarik adalah ketika sedang berbeban berat, Fn merasakan adanya perasaan “plong” (lega) setelah mengalami kesurupan. Dari berbagai perasaan yang unik tersebut, Fn mengaku dapat semakin bersemangat dalam bekerja dan dalam hal lain serta menjadi semakin dekat dengan masyarakat.

(71)

terkadang dari fenomena kesurupan yang dialami membuatnya menjadi muntah-muntah, “lemes”, dan “bleng” (tidak sadar). Dari aspek perasaan, Fn mengaku bahwa pada awalnya ia merasa takut untuk kesurupan. Namun, karena sudah menjadi kebiasaan maka lambat laun perasaan takut tersebut hilang. Dalam aspek perilaku, dampak kesehatan dari fenomena kesurupan yang dialami Fn yang sering memakan hal-hal yang ekstrim (tidak biasa), ternyata tidak berpengaruh buruk terhadap kesehariannya. Selain itu, masyarakat juga menghargai profesi Fn sebagai penari jathilan yang sering mengalami kesurupan, sehingga dapat menjadikan penyemangat hidup dan membuat Fn semakin akrab dengan masyarakat karena masyarakat menghargai kesurupan yang dialaminya sewaktu njathil.

Tabel 4

Tabel Analisa Subjek 2

I. Kesurupan secara umum

Aspek Pikiran Aspek Perasaan Aspek Perilaku

 (+)Kesurupan

melibatkan kinerja alam bawah sadar  I.PK (23-27)

 (+)Kesurupan di

Kepuh tidak

direkayasa dan beda dengan

jathilan-jathilan yang lain

(jathilan-jathilan

 (N)Sebelum

kesurupan merasa biasa-biasa saja  I.PR (70-73)

 (+)Sebelum

kesurupan merasa senang, tidak ada perasaan takut dan susah  I.PR (94-102)

 (+)Bisa menghibur masyarakat  I.PL (136-138)

 (+)Lingkungan sekitar mendukung profesi subjek 

I.PL (140-153)  (+)Menjadi semakin

Gambar

Tabel 1. Aspek-aspek Penelitian
Tabel 1 Aspek-aspek Penelitian
Tabel 2
Tabel 3 Tabel Analisa Subjek 1
+3

Referensi

Dokumen terkait

5. Bina Siaga Bencana atau Perubahan Iklim , yaitu kegiatan yang mencakup usaha- usaha pengurangan risiko bencana dan dampak perubahan iklim, rencana aksi desa dalam

Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi

Diantara ujian yang juga ada pada saat ini yaitu keburukan yang datang melalui media elektronik dan media cetak. Karya tulisan menyesatkan, foto dan gambar wanita dengan

Selanjutnya apabila ditinjau berdasarkan kategori KAM tinggi, sedang, dan rendah, tidak terdapat perbedaan peningkatan kemampuan penalaran matematis baik itu pada siswa

kondisi Ruang Terbuka Hijua yang baik maka suhu udara yang berada di. tempat tersebut akan lebih terasa

Tidak adanya penjelasan mengenai acuan penarikan garis kedalaman 200 meter atau lebih, sehingga Landas Kontinen negara yang satu dapat berbeda dengan negara yang lain,

Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan kejadian preeklampsia lebih banyak dialami oleh Ibu dengan primigravida (65,6%) daripada multigravida (34,4%) pada trimester

The next step was applying the theories to analyze the work to answer the first problem about how the Victorian era settings are depicted in Charles Dickens’ Oliver Twist and