• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ketidaksantunan linguistik dan pragmatik dalam ranah keluarga nelayan di kampung nelayan Pantai Trisik, Desa Banaran dan Pantai Congot, Desa Jangkaran, Kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Ketidaksantunan linguistik dan pragmatik dalam ranah keluarga nelayan di kampung nelayan Pantai Trisik, Desa Banaran dan Pantai Congot, Desa Jangkaran, Kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta."

Copied!
291
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

Fitranagara, Nuridang. 2014. Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik dalam

Ranah Keluarga Nelayan di Kampung Nelayan Pantai Trisik, Desa Banaran dan Pantai Congot, Desa Jangkaran, Kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta. Skripsi, Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD.

Penelitian ini membahas tentang bentuk-bentuk tuturan tidak santun dalam ranah keluarga nelayan. Penelitian ini ingin menjawab tiga masalah, yaitu: (a) wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa apa saja yang terdapat dalam ranah keluarga nelayan, (b) penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa apa saja yang digunakan oleh keluarga nelayan, dan (c) maksud apa sajakah yang mendasari orang menggunakan bentuk-bentuk kebahasaan yang tidak santun dalam ranah keluarga nelayan.

Dilihat berdasarkan metodenya, penelitian ini termasuk ke dalam jenis penelitian deskriptif kualitatif. Sumber data penelitian ini adalah anggota keluarga nelayan di kampung nelayan pantai Trisik, Desa Banaran dan pantai Congot, Desa Jangkaran, Kulonprogo, Yogyakarta. Data penelitian ini berupa tuturan tidak santun yang diucapkan oleh keluarga nelayan. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode simak dan metode cakap dengan teknik sadap dan teknik pancing. Instrumen dalam penelitian ini adalah pedoman atau panduan wawancara (daftar pertanyaan), pancingan, daftar kasus, dan peneliti sendiri. Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode kontekstual.

(2)

ABSTRACT

Fitranagara, Nuridang. 2014. Linguistic and Pragmatic Impoliteness in

Fisherman Family Domain The Fishing Village Trisik Beach, Banaran Village and Congot Beach, Jangkaran Village, Kulonprogo, Yogyakarta.

Thesis, Yogyakarta: PBSI, PBSI, FKIP, USD.

This research discuss about the types of impoliteness utterances which is used by fisherman family domain. This research try to find out three research problems; (a) forms of linguistic and pragmatic impoliteness in using language which happened is fisherman family domain, (b) linguistic and pragmatic impoliteness marker in language used by the fisherman family domain, and (c) what is the basic purpose for someone who is using impolite utterances in fisherman family domain.

According to the method, this research is including to the qualitative descriptive research. The source of the data for this research is family members of fisherman family at fisherman village of Trisik beach, Banaran village and Congot beach, Jangkaran village, Kulonprogo, Yogyakarta. The data of this research are the impolite utterances which are used by the fisherman family. The method of data gathering that is used by this research is listening method and speaking method with tapping technique and enticement technique. The instrument that is used in this research is guideline of questionnaire (list of questions), enticement, list of case, and the researcher himself. The data analysis technique in this research is using the method of contextual.

(3)

KETIDAKSANTUNAN LINGUISTIK DAN PRAGMATIK

DALAM RANAH KELUARGA NELAYAN

DI KAMPUNG NELAYAN PANTAI TRISIK, DESA BANARAN

DAN PANTAI CONGOT, DESA JANGKARAN,

KABUPATEN KULONPROGO, YOGYAKARTA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Disusun oleh: Nuridang Fitranagara

091224089

POGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(4)

i

KETIDAKSANTUNAN LINGUISTIK DAN PRAGMATIK

DALAM RANAH KELUARGA NELAYAN

DI KAMPUNG NELAYAN PANTAI TRISIK, DESA BANARAN

DAN PANTAI CONGOT, DESA JANGKARAN,

KABUPATEN KULONPROGO, YOGYAKARTA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Disusun oleh: Nuridang Fitranagara

091224089

POGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(5)

ii SKRIPSI

KETIDAKSANTUNAN LINGUISTIK DAN PRAGMATIK DALAM RANAH KELUARGA NELAYAN

DI KAMPUNG NELAYAN PANTAI TRISIK, DESA BANARAN DAN PANTAI CONGOT, DESA JANGKARAN,

KABUPATEN KULONPROGO, YOGYAKARTA

Disusun oleh: Nuridang Fitranagara

091224089

Telah disetujui oleh:

Dosen Pembimbing I

Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum. Tanggal 10 Desember 2013

Dosen Pembimbing II

(6)

iii SKRIPSI

KETIDAKSANTUNAN LINGUISTIK DAN PRAGMATIK DALAM RANAH KELUARGA NELAYAN

DI KAMPUNG NELAYAN PANTAI TRISIK, DESA BANARAN DAN PANTAI CONGOT, DESA JANGKARAN,

KABUPATEN KULONPROGO, YOGYAKARTA

Dipersiapkan dan disusun oleh: Nuridang Fitranagara

091224089

Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji pada tanggal 27 Januari 2014

dan dinyatakan telah memenuhi syarat Susunan Panitia Penguji

Nama Lengkap Tanda Tangan

Ketua : Dr. Yuliana Setiyaningsih ... Sekretaris : Rishe Purnama Dewi, S.Pd., M.Hum. ... Anggota 1 : Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum. ... Anggota 2 : Rishe Purnama Dewi, S.Pd., M.Hum. ... Anggota 3 : Prof. Dr. Pranowo, M.Pd. ...

Yogyakarta, 27 Januari 2014

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma

Dekan,

(7)

iv MOTTO

Berkacalah pada semut

Sikap gotong royongnya mampu membuat sesuatu yang besar menjadi seringan kapas dihadapan mereka.

Dan mereka takkan pernah menyerah sampai tercapainya tujuan mereka. (Nuridang Fitranagara)

Tiadanya keyakinanlah yang membuat orang takut menghadapi tantangan; dan saya percaya pada diri saya sendiri.

(8)

v

PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan kepada:

Tuhan Yang Maha Esa yang selalu mendampingi dan melindungi saya

Kedua orang tua saya yang tercinta Bapak Nurgito dan Ibu Ngadiyem yang selalu mendoakan, memberikan semangat, mendukung, membimbing,

dan menyayangi saya

Adikku tersayang Nuranggi Fanjari Pangestu

Teman-temanku seperjuangan Catarina Erni Riyanti, Clara Dika Ninda Natalia, Katarina Yulita Simanulang, dan Valentina Tris Marwati, kebersamaan dan

perjuangan kita tidak akan pernah terlupakan dan tergantikan

Seluruh sahabat PBSI 2009

Dwi Desember Tiana, Amd.Keb. yang senantiasa selalu memberikan dukungan, semangat, dan doa kepada saya

(9)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 27 Januari 2014 Penulis

(10)

vii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama : Nuridang Fitranagara

Nomor Mahasiswa : 091224089

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

KETIDAKSANTUNAN LINGUISTIK DAN PRAGMATIK DALAM RANAH KELUARGA NELAYAN DI KAMPUNG NELAYAN PANTAI TRISIK, DESA BANARAN DAN PANTAI CONGOT, DESA JANGKARAN, KABUPATEN KULONPROGO, YOGYAKARTA

Dengan demikian, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikannya secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk keperluan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal: 27 Januari 2014 Yang menyatakan

(11)

viii ABSTRAK

Fitranagara, Nuridang. 2014. Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik dalam

Ranah Keluarga Nelayan di Kampung Nelayan Pantai Trisik, Desa Banaran dan Pantai Congot, Desa Jangkaran, Kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta. Skripsi, Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD.

Penelitian ini membahas tentang bentuk-bentuk tuturan tidak santun dalam ranah keluarga nelayan. Penelitian ini ingin menjawab tiga masalah, yaitu: (a) wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa apa saja yang terdapat dalam ranah keluarga nelayan, (b) penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa apa saja yang digunakan oleh keluarga nelayan, dan (c) maksud apa sajakah yang mendasari orang menggunakan bentuk-bentuk kebahasaan yang tidak santun dalam ranah keluarga nelayan.

Dilihat berdasarkan metodenya, penelitian ini termasuk ke dalam jenis penelitian deskriptif kualitatif. Sumber data penelitian ini adalah anggota keluarga nelayan di kampung nelayan pantai Trisik, Desa Banaran dan pantai Congot, Desa Jangkaran, Kulonprogo, Yogyakarta. Data penelitian ini berupa tuturan tidak santun yang diucapkan oleh keluarga nelayan. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode simak dan metode cakap dengan teknik sadap dan teknik pancing. Instrumen dalam penelitian ini adalah pedoman atau panduan wawancara (daftar pertanyaan), pancingan, daftar kasus, dan peneliti sendiri. Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode kontekstual.

(12)

ix

ABSTRACT

Fitranagara, Nuridang. 2014. Linguistic and Pragmatic Impoliteness in

Fisherman Family Domain The Fishing Village Trisik Beach, Banaran Village and Congot Beach, Jangkaran Village, Kulonprogo, Yogyakarta.

Thesis, Yogyakarta: PBSI, PBSI, FKIP, USD.

This research discuss about the types of impoliteness utterances which is used by fisherman family domain. This research try to find out three research problems; (a) forms of linguistic and pragmatic impoliteness in using language which happened is fisherman family domain, (b) linguistic and pragmatic impoliteness marker in language used by the fisherman family domain, and (c) what is the basic purpose for someone who is using impolite utterances in fisherman family domain.

According to the method, this research is including to the qualitative descriptive research. The source of the data for this research is family members of fisherman family at fisherman village of Trisik beach, Banaran village and Congot beach, Jangkaran village, Kulonprogo, Yogyakarta. The data of this research are the impolite utterances which are used by the fisherman family. The method of data gathering that is used by this research is listening method and speaking method with tapping technique and enticement technique. The instrument that is used in this research is guideline of questionnaire (list of questions), enticement, list of case, and the researcher himself. The data analysis technique in this research is using the method of contextual.

(13)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan berkatNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik dalam Ranah

Keluarga Nelayan di Kampung Nelayan Pantai Trisik, Desa Banaran dan Pantai

Congot, Desa Jangkaran, Kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta. Skripsi ini disusun

sebagai syarat untuk menyelesaikan studi dalam kurikulum Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI), Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni (JPBS), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini berhasil diselesaikan karena bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Rohandi, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Caecilia Tutyandari, S.Pd., M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

3. Dr. Yuliana Setiyaningsih, selaku Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

4. Rishe Purnama Dewi, S.Pd., M.Hum., selaku Wakil Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

5. Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum., sebagai dosen pembimbing I yang dengan bijaksana, sabar, dan penuh ketelitian membimbing, mengarahkan, memotivasi, dan memberikan berbagai masukan yang sangat berharga bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

(14)

xi

7. Seluruh dosen prodi PBSI yang dengan karakteristik masing-masing telah membekali penulis dengan berbagai ilmu pengetahuan yang penulis butuhkan

8. Robertus Marsidiq, selaku karyawan sekretariat prodi PBSI yang dengan sabar memberikan pelayanan administratif kepada penulis dalam menyelesaikan berbagai urusan administrasi.

9. Seluruh keluarga nelayan di Desa Banaran dan Desa Jangkaran, kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta yang telah membantu penulis dalam melaksanakan penelitian.

10. Teman-teman seperjuangan Catarina Erni Riyanti, Clara Dika Ninda Natalia, Katarina Yulita Simanulang, dan Valentina Tris Marwati yang selalu penulis sayangi dan selalu bersama dalam tawa dan duka, jatuh dan bangkit, serta yang selalu berjuang bersama dengan penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

11. Konco-konco kenthel Mikael Jati Kurniawan, S.Pd., Theresia Banik

Putriana, S.Pd., Bambang Sumarwanto, S.Pd., Dedy Setyo Herutomo, Ade Henta Hermawan, Yudha Hening Pinanditho, Ignatius Satrio Nugroho, Reinardus Aldo Aggasi, Fabianus Angga Renato, Yustinus Kurniawan, Yohanes Marwan Setiawan, Danang Istianto, Prima Ibnu Wijaya, Petrus Temistokles, Agatha Wahyu Wigati, Rosalina Anik Setyorini, Cicilia Verlit Warasinta, Martha Ria Hanesti, Asteria Ekaristi, Yustina Cantika Advensia, Elizabeth Ratih Handayani dan semua kawan-kawan PBSI 2009 yang penulis cintai dan yang telah bersama-sama dalam suka, semangat, lelah, jatuh, duka, dan akhirnya bersama-sama meraih sukses dari PBSI.

12. Teman-teman kost Narendra Ignatius Satrio Nugroho, Reinardus Aldo Aggasi, Ulius Ferdian, Ardiansyah Fauzi, Claudius Hans Christian Salvatore, Faida Fitria Fatma yang selalu selo untuk memberikan semangat dalam hal apapun.

(15)

xii

14. Semua pihak yang belum disebutkan yang turut membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas kehadiran kalian yang telah memberikan pengalaman luar biasa untuk penulis.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak sekali kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan memberikan inspirasi bagi penelitian selanjutnya.

Yogyakarta, 27 Januari 2014 Penulis

(16)

xiii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR BAGAN ... xviii

DAFTAR TABEL ... xix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 7

1.5 Sistematika Penelitian ... 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 9

2.1 Penelitian yang Relevan ... 9

2.2 Pragmatik ... 15

2.3 Fenomena Pragmatik ... 16

2.3.1 Praanggapan ... 16

2.3.2 Tindak Tutur ... 17

2.3.3 Implikatur ... 19

2.3.4 Deiksis ... 21

2.3.5 Kesantunan ... 23

(17)

xiv

2.4 Teori Ketidaksantunan ... 27

2.4.1 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Locher ... 28

2.4.2 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Bousfield ... 29

2.4.3 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Culpeper ... 31

2.4.4 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Terkourafi ... 32

2.4.5 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Locher and Watts ... 34

2.5 Konteks ... 36

2.6 Unsur Segmental ... 44

2.6.1 Diksi ... 44

2.6.2 Kategori Fatis ... 50

2.7 Unsur Suprasegmental ... 52

2.7.1 Tekanan ... 53

2.7.2 Intonasi ... 53

2.7.3 Nada ... 54

2.8 Maksud dan Makna ... 55

2.9 Kerangka Pikir ... 57

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 61

3.1 Jenis Penelitian ... 61

3.2 Data dan Sumber Data ... 62

3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 64

3.4 Instrumen Penelitian ... 65

3.5 Metode dan Teknik Analisis Data ... 66

3.5.1 Metode dan Teknik Analisis Data secara Linguitik ... 67

3.5.2 Metode dan Teknik Analisis Data secara Pragmatik ... 67

3.6 Sajian Hasil Analisis Data ... 68

(18)

xv

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 70

4.1 Deskripsi Data ... 70

4.2 Analisis Data ... 74

4.2.1 Melanggar Norma ... 75

4.2.1.1 Subkategori Menegaskan ... 75

4.2.1.2 Subkategori Menunda ... 78

4.2.2 Mengancam Muka Sepihak ... 80

4.2.2.1 Subkategori Menegaskan ... 80

4.2.2.2 Subkategori Mengejek ... 82

4.2.2.3 Subkategori Menunda ... 84

4.2.2.4 Subkategori Menolak ... 85

4.2.3 Melecehkan Muka ... 86

4.2.3.1 Subkategori Menyindir ... 87

4.2.3.2 Subkategori Menegaskan ... 88

4.2.3.3 Subkategori Memerintah ... 89

4.2.3.4 Subkategori Menegur ... 90

4.2.3.5 Subkategori Menolak ... 92

4.2.3.6 Subkategori Memperingatkan ... 93

4.2.3.7 Subkategori Mengancam ... 94

4.2.3.8 Subkategori Mengusir ... 95

4.2.3.9 Subkategori Menagih ... 96

4.2.3.10 Subkategori Mengejek ... 97

4.2.3.11 Subkategori Menasihati ... 98

4.2.4 Menghilangkan Muka ... 99

4.2.4.1 Subkategori Menyindir ... 100

4.2.4.2 Subkategori Mengejek ... 101

4.2.4.3 Subkategori Menegur ... 104

4.2.4.4 Subkategori Menyinggung ... 105

4.2.5 Menimbulkan Konflik ... 107

4.2.5.1 Subkategori Menegaskan ... 107

(19)

xvi

4.2.5.3 Subkategori Menyinggung ... 111

4.2.5.4 Subkategori Mengumpat ... 112

4.2.5.5 Subkategori Menegur ... 113

4.2.5.6 Subkategori Mengancam ... 115

4.3 Pembahasan ... 116

4.3.1 Kategori Melanggar Norma ... 117

4.3.1.1 Subkategori Menegaskan ... 117

4.3.1.2 Subkategori Menunda ... 122

4.3.2 Kategori Mengancam Muka Sepihak ... 127

4.3.2.1 Subkategori Menegaskan ... 127

4.3.2.2 Subkategori Mengejek ... 131

4.3.2.3 Subkategori Menunda ... 136

4.3.2.4 Subkategori Menolak ... 139

4.3.3 Kategori Melecehkan Muka ... 143

4.3.3.1 Subkategori Menyindir ... 143

4.3.3.2 Subkategori Menegaskan ... 145

4.3.3.3 Subkategori Memerintah ... 148

4.3.3.4 Subkategori Menegur ... 150

4.3.3.5 Subkategori Menolak ... 153

4.3.3.6 Subkategori Memperingatkan ... 155

4.3.3.7 Subkategori Mengancam ... 157

4.3.3.8 Subkategori Mengusir ... 159

4.3.3.9 Subkategori Menagih ... 162

4.3.3.10 Subkategori Mengejek ... 164

4.3.3.11 Subkategori Menasihati ... 166

4.3.4 Kategori Menghilangkan Muka ... 169

4.3.4.1 Subkategori Menyindir ... 169

4.3.4.2 Subkategori Mengejek ... 174

4.3.4.3 Subkategori Menegur ... 178

4.3.4.4 Subkategori Menyinggung ... 182

(20)

xvii

4.3.5.1 Subkategori Menegaskan ... 185

4.3.5.2 Subkategori Menolak ... 188

4.3.5.3 Subkategori Menyinggung ... 191

4.3.5.4 Subkategori Mengumpat ... 194

4.3.5.5 Subkategori Menegur ... 196

4.3.5.6 Subkategori Mengancam ... 199

BAB V PENUTUP ... 202

5.1 Simpulan ... 202

5.1.1 Wujud Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik ... 202

5.1.2 Penanda Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik ... 202

5.1.2.1 Kategori Ketidaksantunan Melanggar Norma ... 203

5.1.2.2 Kategori Ketidaksantunan Mengancam Muka Sepihak .. 203

5.1.2.3 Kategori Ketidaksantunan Melecehkan Muka ... 204

5.1.2.4 Kategori Ketidaksantunan Menghilangkan Muka ... 204

5.1.2.5 Kategori Ketidaksantunan Menimbulkan Konflik ... 205

5.1.3 Maksud Ketidaksantunan Penutur ... 206

5.2 Saran ... 206

5.2.1 Bagi Peneliti Lanjutan ... 206

5.2.2 Bagi Keluarga Nelayan ... 207

5.2.3 Implikasi Penelitian ... 207

(21)

xviii

DAFTAR BAGAN

(22)

xix

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Data Tuturan Melanggar Norma ... 70 Tabel 2 Data Tuturan Mengancam Muka Sepihak ... 71 Tabel 3 Data Tuturan Melecehkan Muka ... 71 Tabel 4 Data Tuturan Menghilangkan Muka ... 73 Tabel 5 Data Tuturan Menimbulkan Konflik ... 73

(23)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Makhluk hidup tidak akan pernah terpisahkan oleh bahasa dan komunikasi, khususnya manusia. Manusia berkomunikasi melalui bahasa, Sumarsono (2004:53) memaparkan bahwa masyarakat manusia, apa pun bentuknya, selalu memerlukan alat atau cara untuk berkomunikasi di antara sesama warganya. Sedangkan, untuk mengukur apakah seseorang memiliki kepribadian baik atau buruk adalah dengan melalui ungkapan pikiran dan perasaan melalui tindak bahasa (baik verbal maupun nonverbal) (Pranowo, 2009:3). Bahasa verbal adalah bahasa yang diungkapkan secara lisan (bentuk ujaran) atau tertulis, sedangkan bahasa nonverbal adalah bahasa yang diungkapkan dalam bentuk mimik, gestur, sikap, atau perilaku. Bahasa sangat penting dalam kehidupan menusia walaupun sering secara tak sadar kita menganggap itu hanya hal yang sepele.

(24)

praanggapan, tindak tutur, implikatur, deiksis, dan kesantunan. Pragmatik merupakan ilmu yang mempelajari tentang penggunaan bahasa dan selalu terkait dengan konteks. Rahardi (2003:16) mengemukakan bahwa ilmu pragmatik sesungguhnya mengkaji maksud penutur di dalam konteks situasi dan lingkungan sosial-budaya tertentu. Pragmatik yang mengkaji maksud penutur di dalam konteks situasi dan lingkungan sosial tertentu berkaitan dengan kesantunan dan ketidaksantunan berbahasa.

Berbahasa secara baik dan benar, secara santun, bahkan berbahasa dengan menggunakan bahasa slengekan (bahasa slang) merupakan beberapa penyampaian informasi kepada mitra tutur oleh penutur. Pranowo (2009:4) mengemukakan bahwa struktur bahasa yang santun adalah struktur bahasa yang disusun oleh penutur atau penulis agar tidak menyinggung perasaan pendengar atau pembaca. Berbahasa secara santun biasanya digunakan kepada orang yang lebih tua, lebih tinggi tingkat sosialnya, atau dapat dikatakan dari yang lebih rendah ke yang lebih tinggi. Sebenarnya untuk berbicara secara santun tidak perlu melihat tingkat sosial, umur, atau apa pun. Kita sebagai manusia yang mempunyai jiwa sosial tinggi seharusnya sadar harus selalu berbicara dengan santun kepada siapa pun sesuai dengan situasi dan kondisinya.

Kenyataan tersebut menjadi tujuan bagi peneliti untuk mengetahui bagaimana tingkat ketidaksantunan di dalam keluarga nelayan. Miriam A. Locher (2008:3) mendefinisikan ketidaksantunan sebagai ‘behaviour that is face-aggravating in a particular context’. Jadi, menurut Miriam A. Locher

(25)

yang melecehkan muka (face-aggravating) di dalam keadaan yang sebenarnya. Dalam buku Impolineteness in Language (2008:3), Derek Bousfield juga memaparkan tentang ketidaksantunan yang dipahaminya sebagai, ‘I take

impoliteness as constituting the issuing of intentionally gratuitous and conflictive

face-threatening act (FTAs) that are purposeflly performed’. Maksud Bousfield mengenai ketidaksantunan adalah apabila perilaku berbahasa seseorang itu mengancam muka, dan ancaman terhadap muka itu dilakukan secara sembrono (gratuitous), hingga akhirnya tindakan sembrono tersebut mendatangkan konflik, atau bahkan pertengkaran, dan tindakan itu dilakukan dengan kesengajaan (purposeflly).

Ketidaksantunan akan dapat menyebabkan rasa curiga, kebencian, sikap berprasangka buruk oleh mitra tutur terhadap penutur. Contohnya, saat seorang nelayan pulang dari melaut dalam keadaan lapar dan di rumah tidak ada makanan. Nelayan yang emosi dengan spontan mengatakan demikian kepada istrinya, “sedino ki ngopo wae? Wong lanang sayah golek duwit, tekan omah kon mangan

piring!”. Hal ini yang seharusnya dihindari oleh penutur agar terjalin hubungan yang baik, penuh dengan pikiran positif, dan menjadikan hidup penuh dengan kebahagiaan dan kesejahteraan. Manusia hidup membutuhkan bantuan manusia lainnya, manusia hidup secara sosial, perilaku berbahasa sangatlah penting bagi manusia dalam berkomunikasi, jadi hindari ketidaksantunan dalam berbahasa.

(26)

berkomunikasi atau berbahasa, dan itu berkiatan dengan status sosial masing-masing keluarga. Secara umum, status sosial dibagi menjadi tiga kelas atau tingkatan, yaitu level masyarakat kelas atas, kelas menengah, dan kelas bawah. Kelas atas merupakan kelompok atau keluarga elite di masyarakat seperti keluarga pejabat dan kelompok elite lainnya. Kelas menengah mewakili kelompok profesional, kelompok pekerja, wiraswasta, pedagang, dan kelompok fungsional lainnya, sedangkan kelas bawah mewakili kelompok pekerja kasar, buruh harian, buruh lepas, dan kelompok bawah lainnya. Bungin (2006:49–50) mengemukakan bahwa kelas sosial ini terjadi pada lingkungan-lingkungan khusus pada bidang tertentu sehingga content varian strata sosial sangat spesifik berlaku pada lingkungan itu. Strata sosial tidaklah hanya berpengaruh terhadap cara berkomunikasi di lingkungan masyarakat, tetapi juga mempengaruhi bagaimana cara berkomunikasi di dalam keluarga.

(27)

mendidik anak-anaknya dengan keras dan dengan kata-kata yang kurang santun membuat anak akan menirukan apa yang dilakukan orang tuanya, sehingga bisa saja terjadi ketidaksantunan berbahasa dalam ranah keluarga.

Tuturan yang diambil sebagai sampel adalah tuturan-tuturan yang dihasilkan oleh keluarga nelayan di kampung nelayan Pantai Trisik dan Congot, Kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta. Peneliti memilih tuturan keluarga nelayan sebagai sumber data karena ingin mengetahui ketidaksantunan berbahasa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari keluarga nelayan di Kabupaten Kulonprogo. Pantai Trisik yang terletak di Desa Banaran, Galur, Kulonprogo dan Pantai Congot di Desa Jangkaran, Temon, Kulonprogo memiliki kekhasan tersendiri dibandingkan pantai-pantai yang lainnya di Kulonprogo, sebab nuansa nelayan dan perikanannya yang begitu kuat. Selain itu, kedua desa tersebut merupakan desa yang nelayannya paling aktif dan memiliki pelabuhan perikanan paling ramai di Kabupaten Kulonprogo. Pantai Trisik terletak di Desa Banaran, Kecamatan Galur, Kabupaten Kulonprogo, sedangkan Pantai Congot terletak di Desa Jangkaran, Kecamatan Temon, Kabupaten Kulonprogo.

(28)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1) Wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik apa sajakah yang terdapat dalam ranah keluarga nelayan di kampung nelayan Pantai Trisik, Desa Banaran dan Pantai Congot, Desa Jangkaran, Kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta?

2) Penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik apa saja yang digunakan oleh keluarga nelayan di kampung nelayan Pantai Trisik, Desa Banaran dan Pantai Congot, Desa Jangkaran, Kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta? 3) Maksud apa sajakah yang mendasari orang menggunakan bentuk-bentuk

kebahasaan yang tidak santun dalam ranah keluarga nelayan di kampung nelayan Pantai Trisik, Desa Banaran dan Pantai Congot, Desa Jangkaran, Kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

1) Mendeskripsikan wujud-wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik dalam ranah keluarga nelayan di kampung nelayan Pantai Trisik, Desa Banaran dan Pantai Congot, Desa Jangkaran, Kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta.

(29)

Desa Banaran dan Pantai Congot, Desa Jangkaran, Kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta.

3) Mendeskripsikan maksud yang mendasari orang menggunakan bentuk-bentuk kebahasaan yang tidak santun dalam ranah keluarga nelayan di kampung nelayan Pantai Trisik, Desa Banaran dan Pantai Congot, Desa Jangkaran, Kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan hasil bagi berbagai pihak. Manfaat-manfaat tersebut antara lain sebagai berikut.

1) Manfaat teoretis

a) Penelitian ini dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu bahasa, khususnya pragmatik di PBSI.

b) Memperluas kajian dan memperkaya khasanah teoretis tentang ketidaksantunan dalam berbahasa sebagai fenomena pragmatik baru. Fenomena pragmatik yang tidak dikaji secara mendalam, tidak akan bermanfaat banyak bagi perkembangan ilmu bahasa, khususnya pragmatik. Jadi, peneliti akan mengkaji secara mendalam mengenai fenomena ketidaksanunan dalam berbahasa agar dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu bahasa, khususnya pragmatik.

2) Manfaat praktis

(30)

b) Kajian ini akan dapat memperkuat pendidikan karakter dalam lingkup keluarga, yang merupakan faktor penting dan berpengaruh bagi pembentukan karakter bangsa.

1.5 Sistematika Penyajian

Penelitian ini terdiri dari lima bab. Bab I adalah bab pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penelitian.

Bab II berisi landasan teori yang akan digunakan untuk menganalisis masalah-masalah yang akan diteliti, yaitu tentang ketidaksantunan berbahasa. Teori-teori yang dikemukakan dalam bab II ini adalah teori tentang (1) penelitian-penelitian yang relevan, (2) fenomena pragmatik, (3) teori pragmatik, (4) teori ketidaksantunan, (5) teori mengenai konteks, (6) unsur segmental, (7) unsur suprasegmental, dan (8) maksud dan makna.

Bab III berisi metode penelitian yang memuat tentang cara dan prosedur yang akan digunakan oleh peneliti untuk memperoleh data. Dalam bab III akan diuraikan (1) jenis penelitian, (2) subjek penelitian, (3) metode dan teknik pengumpulan data, (4) instrumen penelitian, (5) metode dan teknik analisis data, (6) sajian hasil analisis data, dan (7) trianggulasi data.

(31)

9 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Bab ini menguraikan penelitian yang relevan, landasan teori, dan kerangka pikir. Penelitian yang relevan berisi tinjauan terhadap topik-topik sejenis yang dilakukan oleh peneliti-peneliti lain. Landasan teori berisi tentang teori-teori yang digunakan sebagai landasan analisis dari penelitian ini yang terdiri atas teori pragmatik, fenomena pragmatik, teori ketidaksantunan, konteks, unsur segmental, unsur suprasegmental, dan maksud dan makna. Kerangka pikir berisi tentang acuan teori yang digunakan dalam penelitian ini atas dasar penelitian terdahulu dan teori terdahulu yang relevan yang akan digunakan untuk menjawab rumusan masalah.

2.1 Penelitian yang Relevan

(32)

Penelitian tentang kesantunan berbahasa yang dilakukan oleh Galuh Eka Noviyanti (2013) berjudul Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik Berbahasa

Antarsiswa di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta Tahun Ajaran 2012/2013. Jenis

penilitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif komunikatif. Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode simak dan metode cakap dengan teknik sadap dan teknik pancing, dengan instrumen berupa pedoman atau panduan wawancara, pancingan, dan daftar kasus. Data dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan metode kontekstual. Pada penelitian ini, peneliti menemukan bahwa Pertama, wujud ketidaksantunan linguistik yang ditemukan berupa tuturan lisan yang telah ditranskripsi, sedangkan wujud ketidaksantunan pragmatik berupa uraian konteks yang melingkupi setiap tuturan.

Kedua, penanda ketidaksantunan linguistik yang ditemukan berupa (1) nada, (2)

(33)

menutup kemungkinan bahwa candaannya tersebut dapat menimbulkan konflik, (4) makna penanda ketidaksantunan menghilangkan muka adalah penutur membuat mitra tutur benar-benar malu di hadapan banyak orang, dan (5) makna penanda ketidaksantunan mengancam muka adalah penutur memberikan ancaman atau tekanan kepada mitra tutur yang menyebabkan mitra tutur terpojok dan tidak memberikan pilihan bagi mitra tutur.

Penelitian yang mengkaji tentang ketidaksantunan juga dilakukan oleh Caecilia Petra Gading May Widyawari (2013) dengan judul Ketidaksantunan

Linguistik dan Pragmatik Berbahasa Antarmahasiswa Program Studi PBSID

Angkatan 2009—2011 Universitas Sanata Dharma. Jenis penelitian dari

penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian ini mendeskripsikan wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa, penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa, serta makna ketidaksantunan berbahasa yang digunakan antarmahasiswa PBSID Angkatan 2009—2011 di Universitas Sanata Dharma. Peneliti menggunakan dua mtode dalam penelitan ini, pertama metode simak dengan teknik dasar berupa teknik sadap dan teknik lanjutan berupa teknik simak libat cakap dan teknik cakap,

kedua metode cakap dengan teknik dasar berupa teknik pancing dan dua teknik

(34)

ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan konteks (penutur, mitra tutur, situasi, suasana, tindak verbal, tindak perlokusi dan tujuan tutur). Kedua, penanda ketidaksantunan linguistik yang ditemukan berupa nada, tekanan, intonasi, dan diksi. Penanda ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan konteks tuturan yang berupa penutur dan mitra tutur, situasi dan suasana, tindak verbal, tindak perlokusi, dan tujuan tutur. Ketiga, makna ketidaksantunan berbahasa yaitu: (1) melecehkan muka, ejekan penutur kepada mitra tutur dan dapat melukai hati, (2) memain-mainkan muka, membingungkan mitra tutur dan itu menjengkelkan, (3) kesembronoan, bercanda yang menyebabkan konflik, (4) menghilangkan muka, mempermalukan mitra tutur di depan banyak orang, dan (5) mengancam muka, menyebabkan ancaman pada mitra tutur.

Penelitian tentang ketidaksantunan berbahasa lainnya dilakukan oleh Elizabeth Rita Yuliastuti (2013) berjudul Ketidaksantunan Linguistik dan

Pragmatik Berbahasa antara Guru dan Siswa di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta

Tahun Ajaran 2012/2013. Pengumpulan data pada penelitian ini serupa dengan

penelitian ketidaksantunan sebelumnya, yakni dengan menggunakan metode simak dan metode cakap. Pada penelitian ini, peneliti menemukan bahwa

pertama, wujud ketidaksantunan linguistik dapat dilihat berdasarkan tuturan lisan

(35)

ketidaksantunan linguistik dapat dilihat berdasarkan nada, tekanan, intonasi, dan diksi, serta penanda ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan konteks yang menyertai tuturan yakni penutur, mitra tutur, situasi, suasana, tujuan tutur, tindak verbal, dan tindak perlokusi. Ketiga, makna ketidaksantunan (1) melecehkan muka yakni hinaan dan ejekan dari penutur kepada mitra tutur hingga melukai hati mitra tutur, (2) memain-mainkan muka yakni tuturan yang membuat bingung mitra tutur sehingga mitra tutur menjadi jengkel karena sikap penutur yang tidak seperti biasanya, (3) kesembronoan yang disengaja yakni penutur bercanda kepada mitra tutur sehingga mitra tutur terhibur, tetapi candaan tersebut dapat menimbulkan konflik, (4) mengancam muka yakni penutur memberikan ancaman kepada mitra tutur sehingga mitra tutur merasa terpojokkan, dan (5) menghilangkan muka yakni penutur mempermalukan mitra tutur di depan banyak orang.

Penelitian tentang ketidaksantunan berbahasa selanjutnya dilakukan oleh Olivia Melissa Puspitarini (2013) yang mengangkat judul Ketidaksantunan

Linguistik dan Pragmatik Berbahasa antara Dosen dan Mahasiswa Program

Studi PBSID, FKIP, USD, Angkatan 2009—2011. Penelitian yang menjadikan

(36)

ketidaksantunan linguistik berdasarkan tuturan lisan dan wujud ketidaksantunan pragmatik berbahasa yaitu uraian konteks tuturan tersebut. Kedua, penanda ketidaksantunan linguistik yaitu nada, intonasi, tekanan, dan diksi, serta penanda pragmatik yaitu konteks yang menyertai tuturan yakni penutur, mitra tutur, situasi, dan suasana. Ketiga, makna ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa meliputi (1) melecehkan muka yakni penutur menyindir atau mengejek mitra tutur, (2) memainkan muka yakni penutur membuat jengkel dan bingung mitra tutur, (3) kesembronoan yang disengaja yakni penutur bercanda kepada mitra tutur dan mitra tutur terhibur namun candaan tersebut dapat menimbulkan konflik bila candaan tersebut ditanggapi secara berlebihan, (4) menghilangkan muka yakni penutur mempermalukan mitra tutur di depan banyak orang, dan (5) mengancam muka yakni penutur memberikan ancaman atau tekanan kepada mitra tutur yang menyebabkan mitra tutur terpojok.

(37)

2.2 Pragmatik

Bahasa merupakan alat utama dalam komunikasi. Bahasa sangat dibutuhkan oleh manusia, karena dengan bahasa manusia bisa menemukan kebutuhan mereka dengan cara berkomunikasi dengan manusia lainnya. Sebagai anggota masyarakat yang mempunyai jiwa sosial tinggi, masyarakat merupakan orang yang sangat bergantung pada penggunaan bahasa. Terjadinya komunikasi tidak pernah lepas dari suasana dan konteks. Salah satu cara untuk mengetahui tentang hal tersebut adalah melalui sudut pandang pragmatik.

Pragmatik merupakan ilmu yang mempelajari tentang penggunaan bahasa dan selalu terikat dengan konteks (siapa yang diajak berbicara, kapan, di mana, apa, dan dalam keadaan yang bagaimana). Dalam kehidupan bersosial atau bermasyarakat pasti terjadi komunikasi. Komunikasi yang terjadi di masyarakat memiliki maksud dan tujuan. Studi ini lebih banyak berhubungan dengan analisis mengenai apa yang dimaksudkan orang dengan tuturan-tuturannya (Yule, 2006:3).

Yule (2006:3) menyebutkan 4 definsi pragmatik, yaitu (1) bidang yang mengkaji makna pembicara, (2) bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya; (3) bidang yang mengkaji tentang bagaimana agar lebih banyak yang disampaikan daripada yang dituturkan, dan (4) bidang yang mengkaji tentang ungkapan dari jarak hubungan.

Huang (2007:2) memaparkan bahwa “pragmatics is the systematic study of

meaning by virtue of, or dependent on, the use of language”. Huang menjelaskan

(38)

(1983:9) via Nadar (2009:4) dalam bukunya yang berjudul Pragmatik &

Penelitian Pragmatik, yang mendefinisikan pragmatik sebagai berikut:

Pragmatics is the study of those relations between language and context that are

grammaticalized, or encoded in the structure of language”. Maksud dari definisi Levinson adalah pragmatik merupakan kajian hubungan antara bahasa dan konteks yang tergramatikalisasi atau terkodifikasi dalam struktur bahasa.

Dari definisi beberapa ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa pragmatik merupakan ilmu kebahasaan yang mengkaji mengenai maksud sebuah tuturan yang berdasar pada penggunaan bahasa dan selalu terikat dengan konteks situasi di mana tuturan itu terjadi. Dengan demikian, pragmatik adalah ilmu yang mengkaji antara hubungan bahasa dan konteks.

2.3 Fenomena Pragmatik

Pragmatik sebagai cabang ilmu bahasa yang berkembang telah mengkaji lima fenomena, yaitu praanggapan, tindak tutur, implikatur, deiksis, dan kesantunan. Kelima fenomena tersebut akan dijelasakan lebih lanjut sebagai berikut.

2.3.1 Praanggapan

(39)

Praanggapan atau presupposisi adalah sesuatu yang diasumsikan oleh penutur sebagai kejadian sebelum menghasilkan suatu tuturan (Yule, 2006:43). Yule (2006:46) membagi presupposisi menjadi enam jenis, yaitu presupposisi eksistensial, presupposisi faktif, presupposisi nonfaktif, presupposisi leksikal, presupposisi struktural, presupposisi faktual tandingan.

Levinson (1983:201-202) dalam Nadar (2009:66) menyimpulkan dari berbagai definisi-definisi pragmatik yang dikemukakan oleh para ahli bahasa, mengemukakan bahwa presupposisi pragmatik mengandung dua hal pokok yaitu kesesuaian ‘appropriateness’ atau kepuasan ‘felicity’ dan pemahaman bersama ‘mutual knowledge’, atau ‘common ground’ dan ‘joint assumption’. Dengan demikian pemahaman bersama ‘common ground’ dan kesesuaian ‘appropriateness’ merupakan hal-hal mendasar dalam berbagai definisi mengenai

presupposisi pragmatik. Jadi, praanggapan merupakan sesuatu yang dianggap (oleh penutur) sudah diketahui oelh lawan tutur.

2.3.2 Tindak tutur

(40)

(Yule, 2006:83–84). Jadi, tindak tutur merupakan suatu uajaran yang mengandung tindakan sebagai suatu fungsional dalam komunikasi yang mempertimbangkan aspek situasi tutur.

Yule (2006:92–94) mengklasifikasi tindak tutur menjadi 5 jenis fungsi umum, yaitu:

1) Deklarasi, adalah jenis tindak tutur yang mengubah dunia melalui tuturan (penutur harus mempunyai peran institutional). Contoh: Saya nikahkan

Anda. Penutur harus memiliki peran institusional khusus, dalam konteks

khusus, untuk menampilkan suatu deklarasi secara tepat. Pada waktu menggunakan deklarasi penutur mengubah dunia dengan kata-kata.

2) Representatif, adalah jenis tindak tutur yang menyatakan apa yang diyakini penutur kasus atau bukan. Berupa suatu fakta, penegasan, kesimpulan, dan pendeskripsian. Contoh: Bumi itu bundar. Pada waktu menggunakan sebuah representatif, penutur mencocokkan kata-kata dengan dunia (kepercayaannya).

3) Ekspresif, adalah jenis tindak tutur yang menyatakan sesuau yang dirasakan oleh penutur, berupa pernyataan kegembiraan, kesulitan, kesukaan, kebencian, kesenangan, dan kesengsaraan. Contoh: Sungguh, saya minta

maaf. Tindak tutur itu mungkin disebabkan oleh sesuatu yang dilakukan

oleh penutur atau pendengar, tetapi semuanya menyangkut pengalaman penutur.

(41)

saran, permohonan, dan lain-lain. Contoh: Tolong matikan lampu itu! Pada waktu menggunakan direktif, penutur berusaha menyesuaikan dunia dengan kata (lewat pendengar).

5) Komisif, adalah jenis tindak tutur yang dipahami oleh penutur untuk mengikatkan dirinya terhadap tindakan-tindakan di masa yang akan datang, berupa janji, ancaman, penolakan, ikrar. Contoh: Saya akan kembali. Pada waktu menggunakan komisif, penutur berusaha untuk menyesuaikan dunia dengan kata-kata (lewat penutur).

2.3.3 Implikatur

(42)

Pada banyak kesempatan, asumsi kerja sama itu begitu meresap sehingga asumsi kerja sama dapat dinyatakan sebagai prinsip kerja sama percakapan dan dapat dirinci ke dalam empat sub-prinsip, yang dimaksud dengan maksim (mengikuti prinsip kerja sama Grice) (Yule, 2006:63).

Yule (2006:69–80) membedakan implikatur menjadi lima macam: 1) Implikatur percakapan

Penutur yang menyampaikan makna lewat implikatur dan pendengarlah yang mengenali makna-makna yang disampaikan lewat inferensi. Kesimpulan yang sudah dipilih ialah kesimpulan yang mempertahankan asumsi kerja sama.

2) Implikatur percakapan umum

Jika pengetahuan khusus tidak dipersyaratkan untuk memperhitungkan makna tambahan yang disampaikan, hal ini disebut implikatur percakapan umum.

3) Implikatur berskala

(43)

4) Implikatur percakapan khusus

Percakapan sering terjadi dalam konteks yang sangat khusus di mana kita mengasumsikan informasi yang kita ketahui secara lokal. Inferensi-inferensi yang sedemikian dipersyaratkan untuk menentukan maksud yang disampaikan menghasilkan amplikatur percakapan khusus.

5) Implikatur konvensional

Kebalikan dari seluruh implikatur percakapan yang dibahas sejauh ini, implikatur konvensional tidak didasarkan pada prinsip kerja sama atau maksim-maksim. Implikatur konvensional tidak harus terjadi dalam percakapan, dan tidak bergantung pada konteks khusus untuk menginterpretasikannya. Seperti halnya presupposisi leksikal, implikatur konvensional diasosiasikan dengan kata-kata khusus dan menghasilkan maksud tambahan yang disampaikan apabila kata-kata tersebut digunakan. Kata yang memiliki implikatur konvensional adalah kata ‘bahkan’ dan ‘tetapi’.

2.3.4 Deiksis

Deiksis adalah istilah teknis (dari bahasa Yunani) untuk salah satu hal mendasar yang kita lakukan dengan tuturan. Deiksis berarti ‘penunjukan’ melalui bahasa. Bentuk linguistik yang dipakai untuk menyelesaikan ‘penunjukan’ disebut ungkapan deiksis. Ketika seseorang menunjuk suatu objek dan bertanya, “Apa

itu?”, maka ia telah menggunakan ungkapan deiksis (“itu”) untuk menunjuk

(44)

Deiksis mengacu pada bentuk yang terkait dengan konteks penutur, dan membedakan antara ungkapan-ungkapan deiksis ‘dekat penutur (proksimal)’ dan ‘jauh dari penutur (distal)’. Ungkapan yang termasuk dalam deiksis dekat penutur

(proksimal) adalah di sini, ini, sekarang, sedangkan deiksis jauh dari penutur (distal) menggunakan ungkapan itu, di sana, pada saat itu. Istilah-istilah proksimal biasanya ditafsirkan sebagai istilah ‘tempat pembicara’, atau ‘pusat deiksis’, sehingga ‘di sini’ umumnya dipahami sebagai acuan terhadap titik atau keadaan

pada saat tuturan penutur terjadi di tempatnya. Sementara itu, untuk istilah distal yang menunjukkan ‘jauh dari penutur’, tetapi dapat juga digunakan untuk membedakan antara ‘dekat dengan lawan tutur’ dan ‘jauh dari penutur maupun lawan tutur’ (Yule, 2006:14).

Deiksis terbagi menjadi 3 jenis, yakni:

1) Deiksis persona, yang artinya ungkapan-ungkapan untuk menunjuk orang. Misalnya: ku, mu, saya, kamu, dia.

2) Deiksis spasial, yang artinya ungkapan-ungkapan untuk menunjuk tempat. Misalnya: di sini, di sana, di situ.

(45)

dengan pemahaman mengenai peserta pertuturan dalam situasi pertuturan di mana tuturan tersebut dibuat. Deiksis tempat berhubungan dengan pemahaman lokasi atau tempat yang dipergunakan peserta pertuturan dalam situasi pertuturan. Deiksis waktu berhubungan dengan pemahaman titik ataupun rentang waktu saat tuturan dibuat.

2.3.5 Kesantunan

Bahasa Indonesia sudah memiliki kaidah tentang bahasa yang baik dan benar. Seseorang yang mampu berbahasa secara baik berarti ia mampu menggunakan bahasa sesuai dengan ragam dan situasi, sedangkan bagi seseorang yang mampu berbahasa secara benar berarti ia mampu menggunakan bahasa dengan kaidah-kaidah yang berlaku (Panowo, 2009:4–5). Namun, masih terdapat satu kaidah berbahasa lagi yang perlu mendapat perhatian yaitu kesantunan. Ketika seseorang sedang berkomunikasi sebaiknya tidak hanya memperhatikan penggunaan bahasa yang baik dan benar saja, melainkan penggunaan bahasa yang santun juga harus diperhatikan. Jika seseorang mampu bertutur kata secara halus dan santun tentu akan mudah diterima dalam masyarakat dan dapat belajar menghargai atau menghormati lawan tutur. Pranowo (2009:3) mengungkapkan bahwa, bahasa merupakan cermin kepribadian seseorang. Bahkan, bahasa merupakan cermin kepribadian bangsa. Melalui bahasa yang diungkapkan, baik verbal maupun nonverbal akan terlihat bagaimana kepribadian seseorang baik atau buruk.

(46)

bahasa nonverbal adalah bahasa yang diungkapkan dalam bentuk mimik, gerak gerik tubuh, sikap atau perilaku. Pemakaian bahasa verbal lebih mudah untuk dilihat atau diamati. Namun, di samping itu terdapat pula bahasa nonverbal yang mendukung pengungkapan kepribadian seseorang, yakni berupa mimik, gerak-gerik tubuh, sikap, atau perilaku.

Struktur bahasa yang santun adalah struktur bahasa yang disusun oleh penutur/penulis agar tidak menyinggung perasaan pendengar atau pembaca (Pranowo, 2009:4). Ketika berkomunikasi, penggunaan bahasa dengan baik dan benar saja belum cukup. Agar dapat membentuk perilaku seseorang menjadi lebih baik hendaknya juga menerapkan penggunaan bahasa yang santun.

(47)

masyarakat, (c) pimbinaan terus menerus melalui berbagai jalur (sekolah, kantor, lembaga-lembaga lain yang menjadi tempat berkimpulnya orang bnyak), (d) pengawasan yang sifatnya “sapa senyum” agar masyarakat semakin sadar untuk

menggunakan bahasa yang santun terus menerus (Pranowo, 2009:52).

Pemakaian bahasa, baik santun maupun tidak dapat dilihat dari dua hal, yaitu pilihan kata (diksi) dan gaya bahasa. Pilihan kata yang dimaksud adalah ketepatan pemakaian kata untuk mengefektifkan pesan dalam konteks tertentu sehingga menimbulkan efek tertentu pada mitra tutur. Sedangkan, gaya bahasa digunakan untuk memperindah tuturan dan kehalusan budi pekerti penutur. Beberapa gaya bahasa yang dapat digunakan untuk melihat santun tidaknya pemakaian bahasa dalam bertutur, antara lain: majas hiperbola, majas perumpamaan, majas metafora, dan majas eufemisme. Selain hal tersebut, Pranowo (2009:76–79) menjelaskan adanya dua aspek penentu kesantunan, yaitu aspek kebahasaan dan aspek nonkebahasaan. Aspek kebahasaan meliputi aspek intonasi (keras lembutnya intonasi ketika seseorang berbicara), aspek nada bicara (berkaitan dengan suasana emosi penutur: nada resmi, nada bercanda atau bergurau, nada mengejek, nada menyindir), faktor pilihan kata, dan faktor struktur kalimat. Sedangkan, aspek nonkebahasaan berupa pranata sosial budaya masyarakat (misalnya aturan anak kecil yang harus selalu hormat kepada orang yang lebih tua, dan sebagainya), pranata adat (seperti jarak bicara antara penutur dengan mitra tutur, gaya bicara, dan sebagainya).

(48)

adalah penanda yang dapat dijadikan penentu apakah pemakaian bahasa seseorang dapat dikatakan santun atau tidak. Dell Hymes (1978) dalam Pranowo (2009:100– 101) menyatakan bahwa ketika seseorang berkomunikasi hendaknya memerhatikan beberapa komponen tutur yang meliputi latar, peserta, tujuan komunikasi, pesan yang ingin disampaikan, bagaimana pesan itu disampaikan, segala ilustrasi yang ada di sekitar peristiwa penutur, pranata sosial kemasyarakatan, dan ragam bahasa yang digunakan. Sedangkan, Grice (2000) dalam Pranowo (2009:102) lebih menekankan tata cara ketika berkomunikasi. Kemudian Leech (1983) via Pranowo (2009:102–103), memaparkan prisnsip kesantunannya sebagai indikator kesantunan berbahasa, yakni: maksim kebijaksanaan, maksim kedermawanan, maksim kerendahan hati, maksim kesetujuan, maksim simpati, dan maksim pertimbangan. Selanjutnya, Pranowo (2009:103–105) mengemukakan indikator kesantunan berupa nilai-nilai luhur yang mendukung kesantunan, yaitu sikap rendah hati. Sikap rendah hati seseorang dapat tumbuh dan berkembang jika seseorang mampu memanifestasikan nilai-nilai lain, seperti tenggang rasa (angon rasa, adu rasa), angon wayah, mau berkorban, mawas diri, empan papan, dan sebagainya.

2.3.6 Ketidaksantunan

Ketidaksantunan berbahasa ini muncul dengan melihat realita di masyarakat dalam menggunakan bahasa atau berkomunikasi. Penggunaan bahasa yang santun dalam berkomunikasi masih jauh dari yang diharapkan.

(49)

kelima fenomena di atas, muncul fenomena baru yang belum banyak dikaji oleh para ahli linguistik dan pragmatik, fenomena tersebut merupakan ketidaksantunan berbahasa. Pranowo (2009:68-71) memaparkan gejala penutur yang bertutur secara tidak santun, yaitu penutur menyampaikan kritik secara langsung (menohok mitra tutur) dengan kata atau frasa kasar, penutur didorong rasa emosi yang berlebihan ketika bertutur sehingga terkesan marah kepada mitra tutur, penutur kadang-kadang protektif terhadap pendapatnya (hal demikian dimaksudkan agar tuturan mitra tutur tidak dipercaya oleh pihak lain), penutur sengaja ingin memojokkan mitra tutur dalam bertutur, penutur terkesan menyampaikan kecurigaan terhadap mitra tutur.

Atas dasar identifikasi di atas, Pranowo (2009:72-73) menyebutkan empat faktor yang menyebabkan ketidaksantunan pemakaian bahasa. Pertama, ada orang yang memang tidak tahu kaidah kesantunan yang harus dipakai ketika berbicara.

Kedua, faktor pemerolehan kesantunan. Ketiga, ada orang yang sulit

meninggalkan kebiasaan lama dalam budaya bahasa pertama sehingga masih terbawa dalam kebiasaan baru (interferensi bahasa Indonesia). Keempat, karena sifat bawaan “gawan bayi” ang memang suka berbicara tidak santun di hadapan mitra tutur.

2.4 Teori Ketidaksantunan

Dalam buku Impoliteness in Language: Studies on its Interplay with Power

in Teory and Practice yang disusun oleh Bousfield dan Locher (2008) dan telah

dibahasakan oleh Rahardi (2012) dalam presentasinya yang berjudul “Penelitian

(50)

Keluarga (Family Domain)”, tampak bahwa beberapa ahli telah menelaah fenomena baru ini. Berikut pemaparan beberapa ahli mengenai ketidaksantunan berbahasa.

2.4.1 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Locher

Miriam A Locher (2008) dalam Rahardi (2012) berpendapat bahwa ketidaksantunan dalam berbahasa dapat dipahami sebagai berikut, ‘…behaviour that is face-aggravating in a particular context.’ Maksud Locher adalah bahwa ketidaksantunan berbahasa itu menunjuk pada perilaku ‘melecehkan’ muka

(face-aggravate). Perilaku melecehkan muka itu sesungguhnya lebih dari sekadar

‘mengancam’ muka (face-threaten), seperti yang ditawarkan dalam banyak definisi kesantunan klasik Leech (1983), Brown and Levinson (1987), atau sebelumnya pada tahun 1978, yang cenderung dipengaruhi konsep muka Erving Goffman (cf. Rahardi, 2009).

Interpretasi lain yang berkaitan dengan definisi Locher terhadap ketidaksantunan berbahasa ini adalah bahwa tindakan tersebut sesungguhnya bukanlah sekadar perilaku ‘melecehkan muka’, melainkan perilaku yang ‘memain

-mainkan muka’. Jadi, ketidaksantunan berbahasa dalam pemahaman Miriam A.

Locher adalah sebagai tindak berbahasa yang melecehkan dan memain-mainkan muka, sebagaimana yang dilambangkan dengan kata ‘aggravate’ itu.

Berikut ini disampaikan contoh tuturan yang mengandung ketidaksantunan menurut Locher (2008).

(51)

Kakak :“Nulis kayak gitu aja lama!” (sambil melihat tulisan adiknya) “Pantesan lama, ngebatik gitu ko’ nulisnya.”

Adik : “Biarin.”

Berdasarkan contoh tersebut, dapat dilihat seorang kakak yang ‘melecehkan muka’ adiknya. Dari percakapan di atas, dapat diketahui bahwa sang kakak bermaksud untuk mengejek tulisan adiknya. Hal tersebut terlihat dari tuturan kakak “pantesan lama, ngebatik gitu ko’ nulisnya”, kalimat tersebut menandakan bahwa terdapat tuturan yang tidak santun, walaupun disampaikan kepada adiknya sendiri dan penyampaian tuturan tersebut disampaikan dengan nada guyonan, tetapi tuturan tersebut seharusnya tidak disampaikan karena akan menyinggung perasaan mitra tutur.

Berdasarkan ilustrasi yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Locher ini menfokuskan pada bentuk penggunaan ketidaksantunan tuturan oleh penutur yang memiliki maksud untuk melecehkan dan menghina mitra tuturnya.

2.4.2 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Bousfield

Dalam pandangan Bousfield (2008:3) dalam Rahardi (2012), ketidaksantunan dalam berbahasa dipahami sebagai, ‘The issuing of intentionally

gratuitous and conflictive face-threatening acts (FTAs) that are purposefully

perfomed.’ Bousfield memberikan penekanan pada dimensi ‘kesembronoan’

(gratuitous), dan konfliktif (conflictive) dalam praktik berbahasa yang tidak

(52)

hingga akhirnya tindakan berkategori sembrono demikian mendatangkan konflik, atau bahkan pertengkaran, dan tindakan tersebut dilakukan dengan kesengajaan

(purposeful). Berhubungan dengan dimensi-dimensi tersebut, tindakan berbahasa

itu merupakan realitas ketidaksantunan.

Berikut ini disampaikan contoh tuturan yang mengandung ketidaksantunan menurut Bousfield (2008).

Latar belakang situasi: Sore hari bapak dan ibu duduk santai di beranda rumah. Tiba-tiba janda kembang menyapa mereka.

Janda : “Permisi, Pak, Bu...”(Sambil melanjutkan perjalanan).

Bapak : (Menggrutu kepada sang istri) “Ayu-ayu ko’ janda yo, Bu. Eman-eman banget.”

Ibu : “Ya sana, kawin meneh karo jandane kae!”

Berdasarkan contoh tersebut, dapat dilihat bahwa bapak menyampaikan tuturan secara ‘sembrono’, hingga tindakan berkategori sembrono demikian mendatangkan ‘konflik’. Hal tersebut terlihat dari tuturan bapak “ayu-ayu ko’ janda yo, Bu. Eman-eman banget”. Kalimat tersebut menandakan bahwa terdapat tuturan yang tidak santun, walaupun disampaikan bukan dengan maksud yang negatif (suka atau mempunyai rasa terhadap janda tersebut). Tuturan tersebut seharusnya tidak disampaikan, karena jelas disampaikan secara sembrono dan mungkin akan menimbulkan konflik. Kemungkinan timbulnya konflik telihat dalam tuturan yang dilontarkan oleh ibu “ya sana, kawin meneh karo jandane

(53)

Berdasarkan ilustrasi yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Bousfield (2008) ini lebih menfokuskan pada bentuk penggunaan ketidaksantunan tuturan oleh penutur yang memiliki maksud mengancam muka yang dilakukan secara sembrono dan dapat memungkinkan terjadinya konflik antara penutur dan mitra tutur.

2.4.3 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Culpeper

Pemahaman Culpeper (2008) dalam Rahardi (2012) tentang ketidaksantunan berbahasa adalah, ‘Impoliteness, as I would define it, involves communicative

behavior intending to cause the “face loss” of a target or perceived by the target

to be so.’ Dia memberikan penekanan pada fakta ‘face loss’ atau ‘kehilangan muka’, kalau dalam bahasa Jawa mungkin konsep itu dekat dengan konsep ‘kelangan rai’ (kehilangan muka). Jadi, ketidaksantunan dalam berbahasa itu

merupakan perilaku komunikatif yang diperantikan secara intensional untuk membuat orang benar-benar kehilangan muka (face loss), atau setidaknya orang tersebut ‘merasa’ kehilangan muka.

Berikut ini disampaikan contoh tuturan yang mengandung ketidaksantunan menurut Culpeper.

Latar belakang situasi: Malam hari sekitar pukul 19.00 sedang ada perkumpulan keluarga besar.

Pakde : “Kamu ambil jurusan apa kuliahnya Jon?” Jono : “Ambil Pendidikan Bahasa Indonesia, Pakde.”

(54)

Jono : (Tersenyum berat)

Berdasarkan contoh di atas, dapat dilihat bahwa Jono merasa ‘kehilangan muka’ akibat tuturan yang dikeluarkan oleh Pakdenya. Tuturan yang disampaikan pakde yaitu “lho, anak STM ko’ ngambil pendidikan? Bisa po?” sebenarnya merupakan suatu candaan atau bisa juga berupa sindiran. Tetapi, candaan atau sindiran tersebut kurang pantas, karena tuturan itu disampaikan tanpa memperhatikan konteks situasinya. Konteks situasi di atas adalah dalam konteks situasi yang sedang ramai karena terdapat kumpul keluarga besar. Dalam hal ini tuturan tersebut dapat dikatakan sebagai tuturan yang tidak santun.

Berdasarkan ilustrasi yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa mitra tutur merasa dipermalukan oleh penutur. Ketidaksantunan berbahasa yang diterapkan dalam situasi di atas, termasuk dalam teori menurut pandangan Culpeper, yakni teori yang menfokuskan pada bentuk penggunaan ketidaksantunan tuturan oleh penutur yang memiliki maksud untuk mempermalukan mitra tuturnya.

2.4.4 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Terkourafi

Terkourafi (2008) dalam Rahardi (2012), memandang ketidaksantunan sebagai, ‘impoliteness occurs when the expression used is not conventionalized

relative to the context of occurrence; it threatens the addressee’s face but no

(55)

threaten), dan penutur (speaker) tidak mendapatkan maksud ancaman muka itu

dari mitra tuturnya.

Berikut ini disampaikan contoh tuturan yang mengandung ketidaksantunan menurut Terkourafi.

Latar belakang situasi: Sebuah keluarga yang beranggotakan Bapak, Ibu, Kakak, dan Adik sedang makan malam di ruang keluarga sambil menonton suatu acara di salah satu stasiun televisi swasta.

Kakak : “Minta baksonya, Dik.” (Sambil mengambil satu bakso dari mengkok adiknya)

Adik : “Waaaasss... Udah punya ko’ masih minta-minta! Kayak gembel aja.”

Kakak : (Memakan bakso yang diminta dari adiknya dengan asiknya tanpa menghiraukan apa yang dikatakan oleh adiknya).

(56)

Berdasarkan ilustrasi di atas, dapat disimpulkan bahwa teori ketidaksantunan berbahasa menurut pandangan Terkourafi (2008) lebih menfokuskan pada bentuk penggunaan ketidaksantunan tuturan penutur yang membuat mitra tutur merasa mendapat ancaman terhadap kehilangan muka, tetapi penutur tidak menyadari bahwa tuturannya telah memberikan ancaman muka mitra tuturnya.

2.4.5 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Locher and Watts

Locher and Watts (2008) dalam Rahardi (2012), berpandangan bahwa perilaku tidak santun adalah perilaku yang secara normatif dianggap negatif

(negatively marked behavior), lantaran melanggar norma-norma sosial yang

berlaku dalam masyarakat. Juga mereka menegaskan bahwa ketidaksantunan merupakan peranti untuk menegosiasikan hubungan antarsesama (a means to

negotiate meaning). Selengkapnya pandangan mereka tentang ketidaksantunan

tampak berikut ini, ‘…impolite behaviour and face-aggravating behaviour more generally is as much as this negation as polite versions of behavior.’ (cf. Lohcer and Watts, 2008:5).

Berikut ini disampaikan contoh tuturan yang mengandung ketidaksantunan menurut Locher and Watts.

Latar belakang situasi: Terdapat anak perempuan bernama Jenni yang sedang makan di ruang makan.

(57)

Ibu : “Nduk, turunin kakinya! Gak sopan cewek kok makan sambil

jegang gitu.”

Jenni : (Kaget) “Yahh lupa, Bu. Tapi kan gak ada orang lain, Bu, jadi yaa gak papa dikit-dikit. Heheheee.”

Ibu : “Gimana sihh kamu tuh, kelakuan jelek kayak gitu kok dipelihara.”

Bahasa tubuh yang dilakukan oleh Jenni merupakan tindakan yang tidak santun yakni melanggar norma-norma sosial dalam masyarakat sehingga membuat ibu marah. Dari percakapan di atas, dapat diketahui bahwa Jenni sebenarnya tahu bahwa apa yang dia lakukan adalah tindakan yang tidak santun dengan melanggar norma-norma sosial yang berada dalam masyarakat, terutama keluarga. Selain itu, Jenni menanggapi hal tersebut dengan tuturan yang bernada tanpa rasa bersalah. Hal ini terlihat dari tuturan yang dihasilkan oleh Jenni “Yahh lupa, Bu. Tapi kan

gak ada orang lain, Bu, jadi yaa gak papa dikit-dikit. Heheheee”. Tuturan tersebut merupakan tuturan yang tidak sopan karena telah mengacuhkan dan melanggar norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat.

Berdasarkan ilustrasi di atas, dapat disimpulkan bahwa teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Locher and Watts (2008) ini lebih menitikberatkan pada bentuk penggunaan ketidaksantunan tuturan oleh penutur yang secara normatif dianggap negatif, karena dianggap melanggar norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat (tertentu).

(58)

ketidaksantunan berbahasa adalah tindak berbahasa yang melecehkan dan memain-mainkan muka mitra tutur atau bisa dikatakan menyinggung perasaan mitra tutur. Kedua, ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Bousfield (2008) adalah perilaku berbahasa yang mengancam muka dilakukan secara sembrono, hingga mendatangkan konflik. Ketiga, ketidaksantunan menurut pandangan Culpeper (2008) adalah perilaku berbahasa untuk membuat orang benar-benar kehilangan muka, atau setidaknya orang tersebut ‘merasa’ kehilangan muka. Keempat, ketidaksantunan berbahasa menurut pandangan Terkourafi (2008) adalah perilaku berbahasa yang bilamana mitra tutur merasakan ancaman terhadap kehilangan muka, dan penutur tidak mendapat maksud ancaman muka tersebut dari mitra tutur. Kelima, ketidaksantunan menurut pandangan Locher and Watts (2008) adalah perilaku berbahasa yang secara normatif dianggap negatif, karena melanggar norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Kelima teori ketidaksantunan tersebut akan digunakan sebagai landasan untuk melihat kenyataan berbahasa yang tidak santun dalam ranah keluarga, khususnya keluarga nelayan di kampung nelayan Pantai Trisik dan Pantai Congot, Kulonprogo, Yogyakarta.

2.5 Konteks

(59)

non-kebahasaan lainnya yang menyertai, mewadahi, serta melatarbelakangi hadirnya sebuah tuturan.

Konteks telah dibicarakan oleh Malinowsky (1923) jauh sebelum para pakar linguistik dan pragmatik lainnya membicarakan tentang konteks. Malinowsky khususnya membahas mengenai konteks yang berdimensi situasi. Malinowsky (1923) dalam Verschueren (1998:75) via Rahardi (2012) mengatakan, ‘Exactly as

in the reality of spoken or written languages, a word without linguistics context is

a mere figment and stands for nothing by itself, so in the reality of a spoken living

tongue, the utterance has no meaning except in the context of situation’. Jadi, Malinowsky (1923) memandang kehadiran konteks situasi menjadi mutlak untuk menjadikan sebuah tuturan benar-benar bermakna.

Sejalan mengenai apa yang dipaparkan oleh Malinowsky (1923), Verschueren (1998) dalam Rahardi (2012) mengatakan bahwa ‘utterer’ (penutur) dan ‘interpreter’ (mitra tutur) menjadi titik utama dalam pragmatik. Verschueren (1998:76) via Rahardi (2012) menyebutkan empat dimensi konteks yang sangat mendasar dalam memahami makna sebuah tuturan.

Gambar

Tabel 1 Data Tuturan Melanggar Norma  .....................................................
Tabel 1: Data Tuturan Melanggar Norma
Tabel 2: Data Tuturan Mengancam Muka Sepihak
Tabel 5: Data Tuturan Menghilangkan Muka

Referensi

Dokumen terkait

iln cm7| nqhdr

[r]

Lihat Gambar 2.9 Bila sinyal digital diubah kembali ke bentuk analog, harmonisa yang tidak diinginkan harus disaring dengan filter rekonstruksi seperti ditunjukkan pada

Kreativitas sebagai proses diobservasi selama pelaksanaan pembuatan alat peraga dengan menggunakan data ceklis kemudian data yang diperoleh dipersentasikan dan

Sendi-sendi Pokok Ilmu Usahatani dan Penelitian Untuk Pengembangan Petani Kecil.. Soekartawi, A., Soeharjo,

Permasalahan awal (pra tindakan) yang dihadapi dalam pembelajaran Matematika konsep operasi hitung perkalian dan pembagian adalah: (1) Kriteria Ketuntasan

Dengan kata lain, hal ini berarti bahwa secara bersama-sama variabel-variabel bebas yang meliputi tingkat inflasi, dan pertumbuhan ekonomi mempunyai pengaruh yang

Penggunaan struktur penuturan tematis menempatkan sebab dan akibat di setiap cerita di ketiga episode program, penerapkan unsur dramatik berupa konflik di ketiga episode