Catarina Chandra Cinitya
ABSTRAK
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif korelasional yang bertujuan untuk melihat hubungan persepsi pengawasan orang tua bekerja dan perilaku seksual remaja di Batam. Hipotesis penelitian ini adalah terdapat hubungan negatif antara persepsi pengawasan orang tua bekerja dan perilaku seksual remaja di Batam. Subjek dalam penelitian ini adalah remaja berusia 11-21 tahun yang belum menikah di kota Batam dan memiliki kedua orang tua yang bekerja. Peneliti menggunakan teknik purposive samplingpada penelitian ini. Subjek terdiri dari 253 remaja yang bersekolah di beberapa SMP, SMA/SMK, dan salah satu kampus di Batam. Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan skala persepsi pengawasan orang tua dan skala perilaku seksual. Koefisien relibilitas skala persepsi pengawasan orang tua sebesar 0,901 dan skala perilaku seksual sebesar 0,972 yang dihitung menggunakan
Alpha Cronbach melalui SPSS for Windows 16.00. Teknik analisis data menggunakan pengujian korelasi
Spearman’s Rho.Hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara persepsi pengawasan orang tua bekerja dan perilaku seksual remaja (r -0,238, sig 0,000). Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis penelitian ini diterima, dimana semakin tinggi pengawasan orang tua maka semakin rendah perilaku seksual remaja.
Catarina Chandra Cinitya
ABSTRACT
This research was a correlational quantitative study that aims to examine the correlation between working parent's control perception and adolescent’s sexual behavior in Batam. The hypothesis proposed was that is a negative correlation between working parent’s control perception and adolescent’s sexual behavior in Batam. Subjects in this research were unmarried adolescents within 11-21 years old who have working parents. The researcher used purposive sampling in this research. Subjects were students who study in some Junior High School, Senior High School/Vocational High School, and one of the campuses in Batam. The instruments in this research were parental control perception scale and sexual behavior scale. The reability coefficient of parental control perception scale was 0,901 and sexual behavior scale was 0,972. These numbers were the result of calcullation using Alpha Cronbach through SPSS for Windows 16.00. The data analize technique used in this research was Spearman's Rho. The result shows that there was a significant negative correlation and between working parent's control perception and adolescent’s sexual behavior (r-0,238, sig 0,000). This shows that the hypothesis was accepted, in which the higher the parental control get thelower adolescent’s sexual behavior become.
HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI PENGAWASAN ORANG TUA BEKERJA DAN PERILAKU SEKSUAL REMAJA DI BATAM
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh :
Catarina Chandra Cinitya
109114083
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
iv
MOTTO
ACCEPTANCE.
A HARD VALUE TO ACCEPT.
---STOP COMPLAINING,
v
vii
HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI PENGAWASAN ORANG TUA BEKERJA DAN PERILAKU SEKSUAL REMAJA DI BATAM
Catarina Chandra Cinitya
ABSTRAK
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif korelasional yang bertujuan untuk melihat hubungan persepsi pengawasan orang tua bekerja dan perilaku seksual remaja di Batam. Hipotesis penelitian ini adalah terdapat hubungan negatif antara persepsi pengawasan orang tua bekerja dan perilaku seksual remaja di Batam. Subjek dalam penelitian ini adalah remaja berusia 11-21 tahun yang belum menikah di kota Batam dan memiliki kedua orang tua yang bekerja. Peneliti menggunakan teknikpurposive sampling pada penelitian ini. Subjek terdiri dari 253 remaja yang bersekolah di beberapa SMP, SMA/SMK, dan salah satu kampus di Batam. Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan skala persepsi pengawasan orang tua dan skala perilaku seksual. Koefisien relibilitas skala persepsi pengawasan orang tua sebesar 0,901 dan skala perilaku seksual sebesar 0,972 yang dihitung menggunakan Alpha Cronbach melalui SPSS for Windows 16.00.
Teknik analisis data menggunakan pengujian korelasiSpearman’s Rho.Hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara persepsi pengawasan orang tua bekerja dan perilaku seksual remaja (r -0,238, sig 0,000). Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis penelitian ini diterima, dimana semakin tinggi pengawasan orang tua maka semakin rendah perilaku seksual remaja.
viii
THE CORRELATION BETWEEN WORKING PARENT'S CONTROL
PERCEPTION AND ADOLESCENT’S SEXUAL BEHAVIOR IN BATAM
Catarina Chandra Cinitya
ABSTRACT
This research was a correlational quantitative study that aims to examine the correlation between working parent's control perception and adolescent’s sexual behavior in Batam. The hypothesis proposed was that is a negative correlation between working parent's control perception and adolescent’s sexual behavior in Batam. Subjects in this research were unmarried adolescents within 11-21 years old who have working parents. The researcher used purposive sampling in this research. Subjects were students who study in some Junior High School, Senior High School/Vocational High School, and one of the campuses in Batam. The instruments in this research were parental control perception scale and sexual behavior scale. The reability coefficient of parental control perception scale was 0,901 and sexual behavior scale was 0,972. These numbers were the result of calcullation using Alpha Cronbach through SPSS for Windows 16.00. The data analize technique used in this research was Spearman's Rho. The result shows that there was a significant negative correlation and between working parent's control perception and adolescent’s sexual behavior (r -0,238, sig 0,000). This shows that the hypothesis was accepted, in which the higher the parental control get the lower adolescent’s sexual behavior become.
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala rahmat dan
penyertaan-Nya yang luar biasa sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan baik. Penulis ingin menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya
kepada:
1. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M. Si selaku Dekan Fakultas Psikologi.
2. Bapak Paulus Eddy Suhartanto, M.Si selaku Kepala Program Studi Psikologi.
Terimakasih atas dukungan dan perhatian yang bapak berikan kepada kami
para mahasiswa tingkat akhir.
3. Ibu (Alm.) Dra. Lusia Pratidarmanastiti M.Si selaku dosen pembimbing
akademik yang telah membimbing, memberikan dukungan, nasihat serta
perhatian kepada penulis dari awal kuliah. Maafkan telah membuat ibu lelah
menunggu saya dan teman-teman untuk menyelesaikan tugas akhir ini.
4. Ibu Sylvia Carolina M. Y. M., M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang
bersedia membimbing dan memberikan perhatian kepada penulis.
Terimakasih ibu sudah mendukung dan mengingatkan saya untuk
mengerjakan.
5. Para dosen penguji skripsi saya, Bapak Siswa Widyatmoko, M.Psi. dan ibu
Dr. Tjipto Susana, M.Si. Terimakasih atas revisi dan bimbingan yang
diberikan kepada penulis.
6. Ibu Agnes Indar Etikawati, M.Si yang penulis kagumi, terimakasih atas ilmu
serta kesempatan untuk dapat belajar banyak hal dari ibu. Terimakasih juga
xi
7. Bapak dan ibu dosen beserta staff karyawan Fakultas Psikologi Universitas
Sanata Dharma. Bu Nanik, akhirnya saya selesai lho, hehehe.
8. Bapak/ibu kepala sekolah SMP Katolik Yos Sudarso, SMA Katolik Yos
Sudarso, SMP Kristen Immanuel, SMA Kristen Immanuel, SMA Kartini, dan
SMK Kartini. Terimakasih atas ijin dan waktu yang diberikan untuk
mengambil data di sekolah yang bapak/ibu pimpin.
9. Papa, mama, mas Adit dan mas Boni. Terimakasih atas dukungan papa mama
dari jauh dan kerelaan menanti Catrin selesai kuliah. Terimakasih juga mas
Adit dan mas Boni bersedia menjaga adik kecilmu ini, hehehe.
10. Om, tante, sepupu-sepupu penulis di Yogya, terutama tante Tien dan om
Koen. Makasih ya om dan tante sudah menjadi bapak dan ibu pengganti di
sini, makasih sudah bersedianilikidanngopeniponakan :p
11. Mas Yohanes Sanjaya yang bersedia menemani dan mendengarkan keluhan
peneliti dari awal peneliti kuliah sampai menyelesaikan skripsi ini. Makasih
ya nyo, masih banyak keluhan dan cerita-cerita yang akan kamu dengar, hehe.
12. Ninda, Dian, Helen, Sandi, Vica, Bibin, dan Agnes. Teman-teman peneliti
yang selalu memberikan semangat, dukungan, membantu dan bersedia
direpoti selama pembuatan skripsi ini.
13. Luna, Yutti, Vian dan Ellak. Teman-teman seperjuangan yang memberikan
dukungan moral serta mendengarkan curhatan peneliti. Sekarang giliranmu,
cah! Hahaha.
14. Gregorius Aji Maundri, Raymondus Tri Hardianto, dan Eko Sularsono.
xii
15. Teman-teman “Pejuang yang tertinggal” dan teman-teman angkatan 2010
lainnya, terimakasih sudah saling mengingatkan. Ayo, terus berjuang!
16. Terimakasih juga untuk bantuan yang diberikan kepada peneliti oleh tante
Kiki dan lainnya yang tidak dapat peneliti sebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan.
Mohon maaf apabila terdapat hal-hal yang kurang berkenan. Oleh karena itu,
penulis menerima segala kritik dan masukan yang membangun demi
perbaikan skripsi selanjutnya. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat
bagi banyak pihak. Terimakasih.
Yogyakarta, 22 Agustus 2016
Penulis,
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xiii
DAFTAR TABEL ... xvii
DAFTAR GAMBAR ... xix
DAFTAR LAMPIRAN ... xx
BAB I: PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Rumusan Masalah ... 14
C. Tujuan Penelitian ... 14
xiv
BAB II: LANDASAN TEORI ... 16
A. Persepsi Remaja Terhadap Pengawasan Orang Tua Bekerja...16
1. Pengawasan (Monitoring) Orang Tua...18
2. Komponen Pengawasan Orang Tua ... 20
3. Orang Tua Bekerja ... 22
4. Persepsi Remaja Terhadap Pengawasan (Monitoring) Orang Tua Bekerja...………...24
B. Perilaku Seksual ...25
1. Pengertian Perilaku Seksual... 25
2. Bentuk Perilaku Seksual ... 26
3. Faktor Penyebab Perilaku Seksual ... 28
4. Karakteristik Remaja yang Aktif Secara Seksual ... 30
C. Remaja... 31
1. Pengertian Remaja ... 31
2. Aspek Remaja ... 33
D. Dinamika Hubungan Pengawasan Orang Tua Bekerja dan Perilaku Seksual Remaja ... 39
E. Hipotesis Penelitian ... 45
BAB III: METODE PENELITIAN... 46
A. Jenis dan Pendekatan Penelitian ... 46
B. Variabel Penelitian ... 46
C. Definisi Operasional ... 47
xv
2. Perilaku Seksual ... 48
D. Subjek Penelitian ... 48
E. Metode Pengambilan Sampel ... 49
F. Metode Pengumpulan Data ... 49
1. Skala Persepsi Pengawasan Orang Tua Bekerja ... 50
2. Skala Perilaku Seksual ... 52
G. Validitas, Seleksi Aitem dan Reliabilitas ... 54
1. Seleksi Aitem ... 54
2. Validitas Alat Tes... 58
3. Realibilitas ... 59
H. Metode Analisis Data ... 60
I. Prosedur Pengambilan Data ... 61
BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 63
A. Pelaksanaan Penelitian ... 63
B. Deskripsi Subjek Penelitian ... 64
C. Deskripsi Data Penelitian ... 66
1. Analisis Data Penelitian ... 67
2. Analisis Tambahan Data Penelitian ... 70
D. Hasil Penelitian... 78
1. Uji Asumsi ... 78
2. Uji Hipotesis ... 80
E. Pembahasan ... 81
xvi
A. Kesimpulan ... 88
B. Keterbatasan Penelitian ... 88
C. Saran ... 89
DAFTAR PUSTAKA ... 92
xvii
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1. BlueprintSkala Persepsi Pengawasan Orang Tua Bekerja (Sebelum
Uji Coba)... 50
Tabel 3.2. Sistem Skoring untuk PernyataanFavorabledanUnfavorable... 51
Tabel 3.3. BlueprintSkala Perilaku Seksual (Sebelum Uji Coba)... 55
Tabel 3.4. Sistem Skoring untuk PernyataanFavorable... 53
Tabel 3.5. Pemberian Bobot untun Setiap Perilaku Seksual ... 54
Tabel 3.6. BlueprintSkala Persepsi Pengawasan Orang Tua Bekerja (Setelah Uji Coba)... 56
Tabel 3.7. BlueprintSkala Perilaku Seksual (Setelah Uji Coba) ... 57
Tabel 4.1. Data Usia Subjek Penelitian... 65
Tabel 4.2 Data Jenis Kelamin Subjek Penelitian ... 65
Tabel 4.3. Data Pendidikan Subjek Penelitian ... 65
Tabel 4.4. Data Tempat Tinggal Subjek Penelitian ... 66
Tabel 4.5. Data Status Berpacaran Subjek Penelitian ... 66
Tabel 4.6. Deskripsi Data Penelitian ... 67
Tabel 4.7. Deskripsi Data Penelitian Perilaku Seksual ... 68
Tabel 4.8. Data Pasangan Perilaku Seksual Subjek Penelitian ... 69
xviii
Tabel 4.10. Tabel Data Penelitian Menurut Tingkat Pendidikan ... 73
Tabel 4.11. Data Penelitian Menurut Status Berpacaran ... 76
Tabel 4.12. Hasil Uji Normalitas Data Penelitian ... 79
Tabel 4.13. Hasil Uji Linearitas Hubungan Antar Variabel... 80
xix
DAFTAR GAMBAR
Gambar 4.1. Diagram Data Penelitian Menurut Jenis Kelamin... 72
Gambar 4.2. Diagram Data Penelitian Perilaku Seksual Menurut Jenis
Kelamin ... 72
Gambar 4.3. Diagram Data Penelitian Menurut Tingkat Pendidikan ... 74
Gambar 4.4. Diagram Data Penelitian Perilaku Seksual Menurut Tingkat
Pendidikan... 75
Gambar 4.5. Diagram Data Penelitian Menurut Status Berpacaran ... 77
Gambar 4.6. Diagram Data Penelitian Perilaku Seksual Menurut Status
xx
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Skala Uji Coba... 97
Lampiran 2. Skala Penelitian ... 108
Lampiran 3. Reliabilitas Skala Persepsi Pengawasan Orang Tua... 118
Lampiran 4. Relibilitas Skala Perilaku Seksual ... 123
Lampiran 5. Uji Asumsi: Uji Normalitas dan Uji Linearitas ... 126
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara berkembang yang memiliki penduduk
kurang lebih 213 juta jiwa. Survey Antar Sensus Badan Pusat Statistik tahun
2005 menyebutkan bahwa ada sekitar 80 juta jiwa penduduk Indonesia
merupakan remaja dan anak (BPS, 2005). Anak dan remaja sebagai generasi
penerus bangsa merupakan aset yang sangat penting untuk memajukan sebuah
negara. Remaja diharapkan nantinya mampu membangun bangsa dan
negaranya menjadi lebih baik.
Mead (dalam Santrock, 2011) mengatakan bahwa remaja merupakan
masa transisi dari anak menuju dewasa. Otto Rank menyebutkan bahwa pada
masa remaja terdapat perubahan kehendak yang cukup drastis dari masa
kanak-kanak menuju dewasa (Sarwono, 2012). Remaja mengalami perubahan
kehendak yang tadinya masih bergantung pada orang lain saat masa
kanak-kanak menuju kemandirian di masa dewasa. Pada tahap ini remaja sedang
mencari pedoman atau nilai-nilai baru yang dapat dianutnya menuju
kehidupan dewasa. Remaja cenderung ingin meninggalkan pedoman atau nilai
yang dianutnya pada masa kanak-kanak, akan tetapi mereka belum memiliki
pedoman yang baru untuk kehidupan dewasanya (Sarwono, 2012).
Seorang remaja akan mencari pedoman baru untuk hidupnya dari
lingkungan keluarga. Secara jelas Reiss (dalam Lestari, 2012) mengatakan
bahwa keluarga merupakan kelompok kecil yang termasuk dalam pertalian
keluarga dan memiliki fungsi sosialisasi pemeliharaan terhadap generasi
berikutnya.
Orang tua sebagai sosok orang yang lebih dewasa di dalam keluarga
turut mengambil andil menemani remaja dalam mencari pedoman hidupnya
yang baru. Ellis, Thomas, dan Rollins (dalam Lestari, 2012) menyebutkan
bahwa dukungan orang tua adalah interaksi orang tua yang dapat ditunjukkan
melalui perawatan, kehangatan, persetujuan, dan perasaan positif yang
diberikan orang tua ke anak. Dukungan orang tua dapat dikelompokkan
menjadi dua, yaitu dukungan instrumental dan dukungan emosi. Dukungan
instrumental merupakan dukungan orang tua berupa sarana dan prasarana
yang diberikan orang tua untuk mendukung proses belajar dan tumbuh
kembang anak. Dukungan emosi adalah perilaku fisik maupun non-fisik yang
ditunjukkan orang tua. Dukungan emosi dapat ditunjukkan dengan
menunjukkan afeksi atau komunikasi yang positif dan terbuka kepada anak.
Kehadiran orang tua dapat membuat anak merasa nyaman, diterima dan diakui
sebagai individu (Lestari, 2012). Kehadiran dan dukungan orang tua ini dapat
juga memenuhi kebutuhan remaja akan kasih sayang dan rasa kekeluargaan.
Setiap orang khususnya remaja berkeinginan mendapatkan kasih sayang
dari setiap orang yang dikenalnya, terutama orang tua. Kebutuhan akan kasih
sayang ini sangat dibutuhkan oleh remaja karena remaja merasa mendapatkan
remaja dapat meningkatkan kepercayaan diri remaja. Apabila remaja memiliki
rasa percaya diri, remaja juga akan mampu menerima dan menyayangi dirinya
sendiri. Kemampuan remaja untuk menyayangi dirinya sendiri ini dapat
membantu remaja membangun hubungan sosial yang baik dengan orang lain.
Remaja yang merasa kurang mendapatkan kasih sayang dari orang tua akan
merasa gagal dan tidak berdaya. Kegagalan yang dialami remaja ini dapat
menyebabkan remaja berperilaku menyimpang agar mendapatkan
penghargaan (Panuju dan Umami, 1999).
Perilaku menyimpang yang dilakukan remaja ini disebut juga sebagai
Juvenile Delinquency. Kartono (2011) mengatakan bahwa juvenile delinquency adalah kejahatan atau kenakalan yang dilakukan oleh anak-anak muda. Kartono (2011) menyebutkan kenakalan remaja ini merupakan gejala
patologis secara sosial yang disebabkan pengabaian oleh lingkungan
sosialnya. Simanjuntak (dalam Sudarsono, 2012) menyatakan suatu perbuatan
dikatakan delinkuen jika perbuatan tersebut bertentangan dengan norma yang
berlaku di masyarakat dimana seseorang tinggal. Kenakalan remaja yang
bertentangan ini menyebabkan keresahan di lingkungan masyarakat. Remaja
yang melakukan kenakalan dianggap tidak mampu memahami dan mentaati
norma yang berlaku di masyarakat. Padahal salah satu tugas perkembangan
remaja adalah mampu memperlihatkan tingkah laku yang dapat
dipertanggungjawabkan secara sosial, dimana remaja dapat menghormati dan
juga diharapkan mampu mengadopsi norma masyarakat yang berlaku untuk
menjadi pedoman hidupnya yang baru dalam bertingkah laku.
Angka kenakalan remaja di Indonesia akhir-akhir ini meningkat cukup
drastis. Berdasarkan data yang diperoleh dari BKKBN online tanggal 11 Desember 2006 yang dikutip oleh Nugroho (2010), hasil survei Pusat
Kesehatan Masyarakat UI mengatakan dari 170 SMA yang diteliti, 25%
responden menyatakan hubungan seks boleh saja dilakukan dengan pasangan
asal disertai perasaan suka sama suka, 3% responden mengaku pernah
melakukan hubungan seks dengan kekasihnya, 35% remaja pria menyatakan
tidak perlu lagi mempertahankan keperjakaannya, dan 10% remaja wanita
juga menyatakan tidak perlu lagi mempertahankan keperawanannya. BKKBN
online tahun 2008 (dalam Nugroho, 2010) juga mengatakan bahwa 63% remaja Indonesia di kota-kota besar telah melakukan hubungan seks pra nikah.
Nugroho juga mengutip penelitian yang dilakukan Annisa Foundation (2006)
bahwa 42,3% remaja melakukan hubungan seks pertama kali saat duduk di
bangku SMP-SMA (BKKBNonlinedalam Nugroho 2010).
Tingginya angka remaja yang melakukan seks bebas ini diperkuat juga
oleh data yang dimiliki oleh Dr. Boy Abidin, SpOG (dalam Nugroho, 2010)
yang berpraktik di Rumah Sakit Mitra Kelapa Gading Jakarta. Data
menunjukkan bahwa 3,2% siswi hamil di luar nikah karena diperkosa, 12,9%
siswi hamil di luar nikah karena hubungan seks atas dasar suka sama suka,
45,2% siswi hamil di luar nikah karena tidak menduga akan hamil, dan 22,6%
bahwa remaja belum memahami akibat dari perilaku seks bebas yang
dilakukan, yaitu salah satunya kehamilan yang tidak diinginkan. Hal ini juga
menunjukkan bahwa remaja Indonesia belum mampu menjalankan salah satu
tugas perkembangan remajanya dengan baik. Remaja belum mampu
menghormati dan mentaati nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat,
dimana perilaku seks bebas bukanlah perilaku yang mencerminkan budaya
timur.
Kenakalan remaja banyak ditemukan khususnya di kota-kota besar di
Indonesia. Hal ini dikarenakan banyaknya media yang memudahkan budaya
asing masuk ke Indonesia dan juga fasilitas yang diberikan oleh orang tua
maupun pemerintah setempat (Panuju dan Umami, 1999). Budaya asing
masuk dengan mudahnya ke Indonesia melalui berbagai media, seperti
misalnya film, buku, maupun internet. Sebagian besar remaja yang hidup di
perkotaan besar menghabiskan banyak waktunya untuk berselancar di internet,
mulai dari mencari berita mengenai dalam maupun luar negeri, mengunduh
lagu barat terbaru, sampai mengobrol dengan teman dalam maupun luar negeri
melalui aplikasi chatting di kehidupan sehari-harinya (Budhyati, 2012).
Budhyati (2012) menyebutkan macam-macam perilaku kenakalan remaja
yang dipengaruhi media internet antara lain perkelahian akibat dari kecanduan
game online bertema kekerasan, membolos sekolah karena bergadang kecanduan game online, perkataan kasar dan tidak senonoh di media sosial, pemalsuan identitas di media sosial, penculikan yang berkedok pertemuan
jual beli barang, berbohong kepada orang tua untuk mendapatkan biaya
membeli pulsa modem atau ke warnet, dan perbuatan asusila sebagai akibat
dari melihat gambar atau video porno di internet.
Budhyati (2012) menyebutkan beberapa upaya untuk mengatasi
kenakalan remaja, diantaranya upaya preventif, tindakan kuratif, dan
pembinaan agama bagi remaja. Upaya preventif dapat dilakukan oleh
keluarga, sekolah, maupun masyarakat dan pemerintah. Keluarga sebagai
lingkungan yang terdekat dengan remaja dapat memberitahu dampak positif
dan negatif dari penggunaan internet, mengusahakan untuk menyediakan
internet di rumah dengan meletakkan komputer di tempat yang mudah diawasi
dan memblokir situs yang dianggap tidak layak, memberitahu situs-situs yang
menarik untuk usianya, mengawasi perubahan perilaku remaja dan
membangun komunikasi yang tepat, serta membatasi durasi penggunaan
internet dan mengarahkan untuk menggunakan internet dengan positif.
Sekolah sebagai lingkungan pendidikan dapat memberitahu juga
mengenai dampak positif dan negatif penggunaan internet, menyediakan
fasilitas internet di sekolah dengan memblokir situs-situs yang tidak layak
untuk anak didiknya, mengarahkan pembelajaran melalui e-learning, e-mail,
dan thinkquest, serta guru juga dapat turut aktif di jejaring sosial untuk mengawasi anak didiknya dalam bergaul di internet. Pemerintah dan
masyarakat juga memegang peranan penting untuk mengatasi kenakalan
remaja, misalnya dengan memberlakukan dengan tegas peraturan
situs porno di dalam maupun luar negeri, izin operasional warnet dibatasi,
setiap warnet diharuskan memilikisoftwareanti pornografi, serta razia berkala dan pengawasan langsung dari masyarakat terhadap keberadaan warnet.
Penggunaan internet yang tidak disaring ini dapat menggeser nilai-nilai
atau norma yang berlaku di masyarakat. Salah seorang Guru Bimbingan
Konseling di SMA Bopkri Dua Yogyakarta (wawancara pribadi, Maret 2014)
mengatakan sekarang ini ada pergeseran norma masyarakat di mata remaja.
Beliau mengatakan banyaknya warung kopi di Yogyakarta menjadi salah satu
contoh pergeseran norma masyarakat. Remaja yang berada di warung kopi
untuk menongkrong bersama teman-temannya pada malam hari seharusnya
berada di dalam rumah untuk belajar. Beliau juga mengatakan bahwa kontrol
orang tua yang lemah dapat menjadi salah satu penyebab remaja berada di
warung kopi pada malam hari.
Arus modernisasi dan teknologi yang semakin berkembang membuat
remaja mulai mengenal rokok, narkoba, terlibat banyak tindakan kriminal
bahkan berujung pada kenakalan remaja prostitusi. Hal-hal tersebut bisa
terjadi karena kurangnya dasar-dasar agama, kurangnya kasih sayang orang
tua, kurangnya pengawasan orang tua, pergaulan dengan teman yang tidak
sebaya, peran dari perkembangan ilmu pengetahuan teknologi yang
berdampak negatif serta kebebasan yang berlebihan. Remaja secara tidak
langsung mendapat imbas dari globalisasi yang negatif terutama bila tidak
diimbangi dengan perhatian dan bimbingan orang tua. Teknologi yang
internet. Informasi-informasi yang masuk melalui internet ini dapat juga
berupa eksploitasi seksual. Eksploitasi seksual yang didapatkan melalui media
ini dapat mendorong remaja untuk melakukan aktivitas seksual secara
sembarangan seperti misalnya menyimpan dan menyebarkan foto maupun
video yang membuat remaja lebih cepat matang secara seksual dan mencari
penyaluran seksual yang salah. Remaja dengan rasa ingin tahu yang tinggi
serta dorongan seks yang tinggi akibat terpapar media bebas menjadikan
remaja mencari penyaluran hasrat seksualnya, terlibat pergaulan bebas dan
gaya pacaran yang melampaui batas (Nasution, 2016).
40% remaja telah melakukan hubungan seks pra nikah bahkan sekitar
25% anak-anak berusia 15-24 tahun di Batam berpotensi mengidap HIV/AIDS
(Nursali, 2015). Fenomena seks bebas di kalangan remaja Batam ini
memunculkan beberapa istilah bagi remaja khususnya remaja putri, yaitu Bisa
Pakai (BP atau lebih terkenal dengan singkatan BisPak) dan Barang Batam
(BB) (“Cewek BP dan BB”, 2011). BP dan BB adalah julukan untuk remaja
putri Batam yang menyediakan jasa berhubungan seksual. Remaja putri yang
diberi julukan BP atau BisPak menjajakan seks kepada teman seumurannya
dan tarif mereka tidaklah mahal, asalkan mereka senang dibawa jalan-jalan ke
lokasi-lokasi yang menyenangkan, misalnya mall atau pantai. Julukan Barang
Batam atau BB diberikan kepada remaja putri yang menjajakan seks untuk
para pejabat, oknum aparat, pengusaha maupun om-om yang mencari
kepuasan seksual. Remaja putri yang dijuluki BB ini terorganisir melalui
lebih mahal dibanding yang menjadi BP atau BisPak, mereka dapat meminta
brang-barang berharga yang mereka inginkan, seperti handphone terbaru ataupun parfum mahal. Alasan kebanyakan remaja putri yang menjadi BB dan
BP dikarenakan mereka tergiur dengan iming-iming hadiah atau
barang-barang yang akan mereka dapatkan (“Cewek BP dan BB”, 2011).
Remaja-remaja putri tersebut mengatakan bahwa uang jajan yang diberikan oleh orang
tua mereka dirasa tidak mampu memenuhi keinginan-keinginan mereka,
sehingga mereka tergiur untuk menjadi BP maupun BB untuk mendapatkan
keinginan mereka.
Kapolresta Batam, Kombes Asep Safrudin mengatakan bahwa
ditemukannya beberapa orang anak di bawah umur yang ikut dalam jaringan
PSK online di Batam (Purniawan, 2015). Tarif yang mereka dapatkan juga cukup menggiurkan, yaitu sekita 1 juta untuk sekali booking, dimana sang mucikari mengambil 400 ribu untuk kantongnya sendiri dan sisanya untuk si
pekerja seks komersial tersebut. Banyaknya PSK di Batam menjadikan Batam
termasuk dalam salah satu dari empat kota wisata seksual di Indonesia yang
diminati oleh turis asing, selain Bogor, Singkawang dan Cikarang (“Empat
Kota di Indonesia”, 2014).
Tingginya angka PSK di Batam juga memicu tingginya angka pengidap
HIV/AIDS. Dinas Kesehatan Kota Batam mencatat sejak tahun 1992 hingga
Oktober 2014 tercatat 3.477 penderita HIV dan 1.510 diantaranya sudah
berkembang menjadi AIDS di Batam (Riezky, 2014). Komisi Penanggulangan
2014 tercatat 581 orang terjangkit HIV, 252 orang diantaranya positif AIDS
dan sudah ada 110 orang yang meninggal dunia akibat AIDS di Batam
(Mesakh, 2014).
Selain tingginya angka seksualitas di Batam, masyarakat yang tinggal
di kota Batam juga memiliki tingkat biaya hidup yang besar. Tingginya
kebutuhan atau biaya hidup di kota industri ini menuntut kedua orang tua
untuk bekerja demi menghidupi keluarganya. Pada zaman sekarang ini, tidak
hanya ayah saja yang bekerja, melainkan ibu juga bekerja demi terpenuhinya
kebutuhan hidup keluarganya yang semakin besar. Kesibukan dan
ketidakhadiran kedua orang tua di rumah ini dapat mendorong anak menjadi
delinkuen. Sudarsono (2012) mengatakan bahwa kenakalan remaja dapat
disebabkan oleh keluarga yang berantakan atau broken home. Broken home
menurut Sudarsono adalah struktur keluarga yang sudah tidak lengkap lagi
yang dikarenakan salah satu atau kedua orang tua meninggal, perceraian orang
tua, maupun ketidakhadiran orang tua dalam waktu yang cukup lama.
Sudarsono (2012) juga menyebutkan mengenaibroken home semuyang sering terjadi di mayarakat sekarang ini. Broken home semu terjadi di struktur keluarga yang masih lengkap, hanya saja karena kesibukan masing-masing
anggota keluarga terutama orang tua membuat orang tua tidak memberikan
perhatian ke anak-anaknya.
Ketidakhadiran atau tidak adanya pengawasan dari orang tua ini dapat
menjadi salah satu penyebab munculnya kenakalan remaja. Shanty, Suyahmo,
kurangnya waktu orang tua yang dikarenakan kesibukan orang tua bekerja
sehingga orang tua tidak memiliki waktu untuk memperhatikan perkembangan
remajanya, orang tua juga tidak memberikan pengawasan terkait pergaulan
remajanya. Orang tua cenderung tidak membatasi dan tidak memberikan
aturan khusus mengenai pergaulan anaknya sehingga remaja cenderung bebas
melakukan kegiatan apapun bersama dengan teman-temannya. Kesibukan
orang tua dan tidak adanya pengawasan dari orang tua maupun saudara ini
membuat peran orang tua dalam mencegah kenakalan remaja menjadi kurang
efektif. Faktor-faktor lain yang menjadi penyebab kenakalan remaja pada
keluarga buruh pabrik di Kudus adalah pengaruh lingkungan tempat tinggal,
pengaruh teman sepermainan, dan kesenangan, kepuasan, rasa penasaran, serta
rasa bangga yang dimiliki remaja ketika melakukan kenakalan.
Kesibukan dan ketidakhadiran orang tua ini juga menjadi salah satu
faktor kesenjangan nilai antar generasi. Hal ini dapat dilihat dari penelitian
yang dilakukan oleh Alfarista, Wantiyah, dan Rahmawati (2013) dimana
62,7% remaja mengatakan bahwa internet merupakan sumber informasi
mengenai perilaku seksual yang paling sering digunakan oleh remaja.
Sebanyak 69,1% remaja mengatakan alasan mereka memilih internet karena
informasi dapat dengan mudah didapatkan melalui media tersebut. Internet
sebagai media sumber informasi remaja mengenai seksualitas ini menjadi
salah satu contoh keadaan yang kurang ideal. Internet sebagai sumber
informasi yang banyak diakses ini juga menunjukkan kurangnya pengaruh
Responden dari Zuhri dan Herlina (2008) mengatakan bahwa remaja merasa
kurang nyaman jika bertanya mengenai seksualitas kepada orang tua mereka.
Orang tua sebagai orang dewasa dalam lingkungan keluarga seharusnya
menjadi sumber informasi bagi anak-anaknya. Akibatnya nilai-nilai yang
seharusnya diturunkan oleh orang tua menjadi tidak tersampaikan. Pergeseran
nilai ini membuat remaja tidak lagi menganut nilai-nilai baik yang dianut oleh
orang tuanya.
Kesibukan orang tua bekerja serta tidak adanya pengawasan dari orang
tua ini membuat remaja mengurus dirinya sendiri. Penelitian yang dilakukan
oleh Dwyer, Richardson, Hansen, Sussman, Brannon, Dent, dan Flay di San
Diego dan Los Angeles (1990) menemukan bahwa ada sekitar 67,8 % pelajar
kelas 8 yang mengurus dirinya sendiri tanpa pengawasan dari orang tua
selama beberapa waktu dalam satu minggu, 23,5 % yang mengurus diri
selama 1 sampai 4 jam per minggu, 15,7 % yang mengurus diri selama 5
sampai 10 jam per minggu, dan 28,6 % yang mengurus diri selama lebih dari
11 jam per minggu. Hasil dari penelitian ini mengatakan bahwa pelajar yang
mengurus dirinya sendiri tanpa pengawasan orang tua lebih dari 11 jam per
minggu memiliki kecenderungan untuk merasa marah, memiliki masalah
keluarga, mengalami stres, menganggap teman sebagai sumber utama yang
mempengaruhinya dan menghadiri pesta 1,5 sampai 2 kali lebih tinggi.
Richardson, Radziszewska, Dent, dan Flay (1993) yang melakukan
penelitian di Los Angeles dan San Diego memiliki hasil penelitian yang
bahwa remaja yang tidak diawasi oleh orang dewasa di rumah lebih memiliki
kemungkinan masalah perilaku dibandingkan yang mendapat pengawasan dari
orang dewasa. Akan tetapi, tidak adanya pengawasan dari orang tua tidak
begitu saja menaikkan risiko perilaku bermasalah pada remaja jika orang tua
secara konsisten mengamati kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh remaja.
Risiko masalah perilaku pada remaja akan semakin meningkat jika remaja
tidak mendapatkan pengawasan dari orang tua dan orang tua tidak secara
konsisten mengamati kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh remaja.
Berdasarkan penelitian-penelitan sebelumnya yang dilakukan di Los
Angeles dan San Diego tersebut peneliti tertarik untuk melihat apakah ada
hubungan pengawasan yang dilakukan oleh kedua orang tua bekerja di kota
besar dengan perilaku seksual remajanya. Peneliti ingin melakukan penelitian
ini di Indonesia karena peneliti melihat di budaya barat yang mementingkan
kemandirian anak saja pengawasan orang tua masih menjadi sebuah masalah
pemicu kenakalan remaja, bagaimana dengan Indonesia yang mengganggap
bahwa penting bagi orang tua untuk membangun hubungan dengan anak.
Peneliti ingin melakukan penelitian ini khususnya di kota Batam. Hal
ini dikarenakan Batam merupakan kota dengan biaya hidup tertinggi di
Indonesia berdasarkan survey BPS tahun 2007 (Aufa, Masbar, dan Nasir,
2013). Batam dengan biaya hidupnya yang tinggi menuntut kedua orang tua
untuk bekerja demi mencukupi biaya hidup keluarga. Tuntutan orang tua
waktu untuk mengawasi anak remajanya sehingga peneliti di sini ingin
meneliti persepsi remaja mengenai pengawasan dari orang tuanya.
Batam yang terkenal dengan biaya hidup yang tinggi dan angka
seksualitas serta HIV/AIDS yang juga tinggi membuat peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian di Batam. Peneliti juga melihat belum banyak penelitian
mengenai persepsi pengawasan dan seksualitas di Batam, selama ini peneliti
hanya menemukan informasi mengenai persepsi pengawasan dan seksualitas
melalui opini atau tulisan di blog maupun berita.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan yang sudah dijabarkan di atas, maka
peneliti merumuskannya sebagai: “Apakah ada hubungan persepsi
pengawasan orang tua bekerja danperilaku seksual remaja di Batam?”
C. Tujuan Penelitian
Peneliti ingin mengetahui apakah ada hubungan persepsi pengawasan
orang tua bekerja dan perilaku seksual remaja di kota Batam.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini dapat dijadikan acuan untuk penelitian selanjutnya di
bidang Psikologi Perkembangan, khususnya yang berkaitan dengan
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi kepada orang
tua bekerja dan menjadi bahan pertimbangan mengenai pengawasan orang
tua terhadap anaknya agar dapat mencegah tingginya perilaku seksual
remaja Indonesia saat ini. Penelitian ini juga dapat menjadi acuan
informasi bagi keluarga, sekolah atau lembaga terkait lainnya untuk saran
16
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Persepsi Remaja Terhadap Pengawasan Orang Tua Bekerja
Pengasuhan merupakan tanggung jawab utama orang tua. Kamus Bahasa
Indonesia (dalam Lestari, 2012) menyebutkan pengasuhan merupakan
berbagai hal mengenai mengasuh. Lestari (2012) mengatakan bahwa
mengasuh memiliki makna menjaga / merawat / mendidik, membimbing /
membantu / melatih, memimpin / mengepalai / menyelenggarakan. Kata asuh
sendiri sering dimaknai bersama kata asah dan asih (asah-asih-asuh). Asah
atau mengasah diartikan sebagai melatih agar kemampuan seseorang yang
dilatih dapat meningkat. Asih atau mengasihi diartikan sebagai menyayangi.
Rangkaian kata asah-asih-asuh ini diartikan Lestari (2012) bahwa pengasuhan
yang sebenarnya bertujuan untuk mengembangkan kemampuan anak yang
dilakukan dengan dilandasi rasa kasih sayang dari orang tua.
Pengasuhan yang dilakukan orang tua ini juga memiliki stres pengasuhan.
Stres pengasuhan ini sendiri terjadi saat pelaksanaan tugas pengasuhan anak.
Penyebab stres pengasuhan ini dapat dilihat melalui pendekatan PCR ( parent-child-relationship). Pendekatan PCR ini membantu kita melihat stres pengasuhan yang muncul dari tiga komponen yaituparent / orang tua, child / anak, dan relationship / hubungan orang tua dan anak. Gejala stres pengasuhan yang muncul jika dilihat dari pendekatan ini adalah menurunnya
konsistennya perilaku pengasuhan, dan menarik diri sepenuhnya dari peran
pengasuhan (Lestari, 2012).
Ada dua dimensi dalam pengasuhan, yaitu demandingness dan
responsiveness. Demandingness berkaitan dengan tuntutan serta harapan orang tua ke anak, disiplin, supervisi dari orang tua dan upaya orang tua
menghadapi masalah perilaku anak. Responsiveness berkaitan dengan tanggapan orang tua ketika membimbinga anak, ketegasan sikap orang tua,
pengaturan diri, dan pemenuhan kebutuhan khusus anak. Kombinasi dari
demandingnessdan responsivenessini memunculkan empat gaya pengasuhan yang dicetuskan oleh Baumrind (dalam Lestari, 2012). Baumrind
menyebutkan gaya pengasuhan tersebut antara lain permissive, rejecting-neglecting, authoritarian, dan authoritative. Orang tua dengan gaya pengasuhan permisif cenderung memberi banyak kebebasan pada anak dan
memaklumi segala perilaku anak serta kurang menuntut tanggung jawab dan
keteraturan perilaku anak. Orang tua yang tidak peduli (rejecting-neglecting) cenderung memberikan kebebasan yang berlebihan ke anak dan tidak ada
sama sekali tanggapan dari orang tua terhadap perilaku-perilaku anak. Gaya
pengasuhan otoriter (authoritarian) dilakukan orang tua yang ingin membentuk, mengontrol, mengevaluasi perilaku anak agar sesuai dengan
aturan standar yang diterapkan orang tua. Gaya pengasuhan yang dianggap
paling baik adalah gaya pengasuhan otoritatif (authoritative), dimana orang tua mengarahkan perilaku anak secara rasional dan memberikan penjelasan
otoritatif ini mendorong anak untuk mematuhi aturan dengan kesadaran
sendiri.
Beberapa peneliti membedakan antara praktik pengasuhan dan gaya
pengasuhan. Darling dan Steinberg (dalam Lestari, 2012) menyebutkan bahwa
gaya pengasuhan merupakan konteks yang mempengaruhi kesediaan anak
untuk melakukan sosialisasi, sedangkan praktik pengasuhan berkaitan dengan
akibatan pada perilaku anak. Dishion dan McMahon (dalam Lestari, 2012)
mengkonsepkan praktik pengasuhan sebagai relasi yang dinamis yang
mencakup pemantauan, pengelolaan perilaku, dan kognisi sosial, dengan
kualitas relasi orang tua dan anak. Lestari (2012) sendiri merangkum
bentuk-bentuk perilaku pengasuhan orang tua anak adalah kontrol dan pemantauan;
dukungan dan keterlibatan; komunikasi; kedekatan; dan pendisiplinan.
1. Pengawasan (Monitoring) Orang Tua
Montemayor (2001) mendefinisikan pengawasan sebagai aktifitas yang
memungkinkan orang tua mengetahui keberadaan remaja, aktivitas yang
dilakukan, dan teman-temannya (Lestari, 2012). Lestari (2012) sendiri
menganggap pengawasan merupakan salah satu cara orang tua untuk
mengembangkan kontrol pada anak. Diclemente, Wingwood, Crosby,
Sionean, Cobb, Harrington, dan Oh (2001) mengatakan bahwa hal penting
dari pengawasan orang tua adalah persepsi remaja terhadap pengetahuan
orang tua mereka mengenai dengan siapa dan dimana remaja
menghabiskan waktu ketika remaja tidak berada di rumah ataupun di
orang tua merupakan sebuah proses yang menggambarkan keaktifan orang
tua untuk memantau remajanya, seperti mengumpulkan informasi
mengenai remaja dan supervisi orang tua. Kerr juga menambahkan bahwa
remaja juga merupakan hal penting dalam proses pengawasan orang tua,
dimana remaja dapat memutuskan informasi apa saja yang akan mereka
beritahukan kepada orang tuanya.
Dishion dan McMahon (dalam Bacchini, 2011) mendefinisikan
pengawasan orang tua sebagai perilaku-perilaku orang tua yang
melibatkan perhatian ke remajanya dan mencari tahu dimana remajanya
berada, aktivitas remaja dan adaptasi remaja. Stattin dan Kerr (dalam
Bacchini, 2011) menambahkan pengawasan yang efektif adalah
pengawasan yang dihubungkan dengan kualitas komunikasi orang tua dan
anak serta melibatkan lebih dari sekedar kontrol yang bersifat memaksa
pada perilaku remaja. Pengawasan yang dilakukan orang tua ini juga
membantu menciptakan keseimbangan di dalam hubungan keluarga dan
dukungan dalam hubungan orang tua dan anak (Ceballo dalam Bacchini,
2011).
Berdasarkan teori di atas, peneliti menyimpulkan pengawasan
orang tua bekerja merupakan tindakan kontrol yang dilakukan orang tua
bekerja dengan melibatkan dukungan, perhatian dan kualitas komunikasi
orang tua dan anak yang baik untuk mengetahui keberadaan dan kegiatan
2. Komponen Pengawasan Orang Tua
Crouter dan Head (dalam Lippold, 2013) mengatakan bahwa ada
empat komponen penting dalam pengawasan orang tua.
Komponen-komponen pengawasan orang tua tersebut, yaitu usaha aktif orang tua
untuk mengawasi, supervisi orang tua, keterbukaan remaja dalam
memberikan informasi, dan pengetahuan orang tua. Lippold (2013) dalam
penelitiannya merumuskan komponen pengawasan orang tua hanya dua,
yaitu:
a. Pengetahuan Orang Tua
Lippold (2013) mengatakan bahwa usaha aktif orang tua, supervisi
orang tua, keterbukaan remaja dalam memberikan informasi berguna
mengatasi masalah perilaku remaja jika ketiga hal tersebut mengarah
pada pengetahuan orang tua. Pengetahuan orang tua yang dimaksud di
sini adalah pengetahuan orang tua mengenai kegiatan-kegiatan yang
dilakukan anak remajanya. Crouter dan Head (dalam Lippold, 2013)
mengatakan bahwa orang tua yang memiliki pengetahuan mengenai
kegiatan yang dilakukan remajanya lebih memiliki struktur untuk
mencegah remaja dari pengaruh perilaku menyimpang sebaya.
Usaha aktif orang tua untuk mengawasi remaja ini menjadi tidak
berguna ketika orang tua hanya bertanya tetapi tidak mendengarkan
jawaban yang diberikan remaja atau juga ketika remaja menghindari
pengawasan dari orang tuanya. Usaha aktif orang tua yang tidak
remajanya sehingga membuat remaja merasa terkekang atau diawasi.
Pengetahuan orang tua yang sebenarnya tidak selalu bertujuan sebagai
pengawasan yang bersifat melindungi atau mengekang remaja.
b. Kualitas Hubungan Orang Tua dan Remaja
Darling dan Steinberg (dalam Lippold, 2013) mengatakan bahwa
kualitas hubungan orang tua dan anak juga mendukung pengaruh
tindakan orang tua pada perilaku remaja. Hubungan yang hangat dan
mendukung akan membuat orang tua lebih mendengarkan remaja
ketika remaja menceritakan atau memberikan informasi mengenai
kegiatannya. Hubungan yang hangat dan mendukung ini juga
meningkatkan pengetahuan orang tua mengenai kegiatan remajanya
dalam suasana lingkungan yang positif dalam keluarga. Stattin dan
Kerr (dalam Bacchini, 2011) juga menyetujui bahwa pengawasan yang
efektif berkaitan dengan kualitas komunikasi orang tua anak dan
melibatkan lebih dari sekedar pengawasan yang bersifat memaksa
terhadap anak.
Pengawasan orang tua tidak hanya berkaitan dengan kualitas
komunikasi orang tua anak, melainkan juga dukungan dari keluarga
yang menciptakan keseimbangan dalam hubungan keluarga (Ceballo
dalam Bacchini, 2011). Menurut Garbarino (dalam Bacchini, 2011)
kualitas komunikasi yang baik akan memunculkan kehangatan dan
dukungan keluarga yang membantu remaja untuk mengatasi
Lippold, 2013) menemukan bahwa hubungan antara keterbukaan dan
pengetahuan menjadi lebih kuat di dalam keluarga yang memiliki
hubungan yang hangat dibanding dalam hubungan yang tegang.
Kehangatan dan dukungan keluarga ini juga memberikan kenyamanan
untuk bercerita dan persepsi kepada remaja bahwa ada orang-orang
yang perhatian dan memperhatikan mereka. Hal ini akan membuat
remaja berpikir kembali sebelum melakukan perilaku yang tidak
diinginkan.
3. Orang Tua Bekerja
Bureau of Labor Statistics (dalam Papalia, 2008) menyebutkan bahwa hampir dua dari tiga keluarga di Amerika Serikat yang memiliki anak usia
di bawah 18 tahun merupakan keluarga dengan dua sumber pemasukan.
Santrock (2014) juga mengatakan bahwa saat ini tidak hanya ayah saja
yang bekerja di dalam keluarga, tetapi banyak juga para ibu yang ikut
bekerja. Fenomena ibu bekerja ini menimbulkan pertanyaan alasan ibu
bekerja yang akhirnya dibahas oleh Jones, McGrattan, dan Manuelli
(dalam Papalia, 2008). Jones, McGrattan, dan Manuelli (dalam Papalia,
2008) menemukan bahwa alasan wanita juga ikut bekerja adalah
meningkatnya biaya hidup; adanya perubahan dalam perceraian, keamanan
sosial, peraturan perpajakan; adanya perubahan sikap terhadap peran
mengurangi jurang pendapatan antara laki-laki dan wanita; serta keinginan
untuk mendapatkan penghasilan tambahan.
a. Pengaruh Orang Tua Bekerja
Kedua orang tua yang sama-sama bekerja memiliki tantangan yang
memunculkan keuntungan dan kerugian tersendiri (Papalia, 2008).
Dampak positif yang dapat diperoleh jika kedua orang tua bekerja
antara lain:
1) Pemasukan dari kedua pihak meningkatkan status ekonomi
keluarga.
2) Relasi yang lebih setara antara suami (ayah) dan istri (ibu)
3) Kesehatan yang lebih baik untuk kedua pasangan.
4) Harga diri yang lebih besar bagi keduanya.
5) Relasi yang lebih rapat antara ayah dan anak-anaknya.
Dampak negatif yang mungkin muncul atau terjadi adalah:
1) Munculnya konflik antara pekerjaan dan keluarga.
2) Kemungkinan adanya rivalitas antar pasangan.
3) Konflik orang tua dan anak yang meningkat akibat tekanan fisik
dan psikologis yang didapatkan orang tua bekerja. Ibu yang merasa
memiliki beban berlebihan cenderung kurang memperhatikan dan
menerima anaknya sehingga seringkali anak menunjukkan masalah
perilakunya. Ketika ibu merasa tertekan, akan ada kecenderungan
4) Orang tua bekerja harus mempertimbangkan mengenai jadwal dan
stres kerja sebagai efek dari bekerja (Santrock, 2014). Situasi kerja
yang buruk, stres kerja serta jam kerja yang panjang dan
melelahkan dapat membuat orang tua menjadi cepat marah ketika
berada di rumah. Selain itu, situasi ini juga dapat membuat
pengasuhan ataupun pengawasan orang tua terhadap anak menjadi
kurang efektif.
4. Persepsi Remaja Terhadap Pengawasan (Monitoring) Orang Tua Bekerja
Persepsi menurut Huffman, Verno, dan Vernoy (2000) merupakan
sebuah proses dimana individu memilih, mengorganisasikan,
menginterpretasikan sebuah data atau stimulus yang diterima menjadi
sebuah representasi mental yang berguna bagi dunia. Walgito (2010)
mengatakan bahwa persepsi merupakan sebuah proses yang terintegrasi di
dalam individu dimana individu mengorganisasikan, menginterpretasikan
stimulus yang diterima melalui indera. Persepsi ini membantu individu
menyadari keadaan sekitar maupun keadaan dirinya sendiri. Persepsi ini
bersifat individual. Hal ini dikarenakan perasaan, kemampuan berpikir dan
pengalaman individu yang berbeda dengan individu lainnya.
Berdasarkan penjelasan mengenai persepsi di atas, peneliti
menyimpulkan bahwa yang dimaksud persepsi remaja terhadap
pengawasan orang tua bekerja adalah proses seorang remaja untuk
yang dilakukan orang tua bekerja dengan melibatkan dukungan, perhatian
dan kualitas komunikasi orang tua dan anak yang baik untuk mengetahui
keberadaan dan kegiatan anak remajanya. Tidak hanya orang tua yang
memegang peranan penting dalam pengawasan orang tua, melainkan
remaja juga memiliki peran penting dalam memilah informasi mana yang
akan mereka beritahukan kepada orang tua.
B. Perilaku Seksual
1. Pengertian Perilaku Seksual
Perilaku seksual merupakan segala tingkah laku yang didorong
oleh hasrat seks, baik dengan lawan jenis ataupun sesama jenis (Sarwono,
2012). Rathus, Nevid, dan Rathus (2007) mengatakan bahwa perilaku
seksual merupakan aktivitas yang melibatkan tubuh dalam ekspresi erotis
atau perasaan kasih sayang, perilaku seksual ini dapat melibatkan
repoduksi atau hanya stimulasi sensual. Sarwono (2012) menyebutkan
bahwa objek seksual ini tidak hanya orang lain, melainkan dapat juga
berupa khayalan atau diri sendiri. Peneliti sendiri menarik kesimpulan
bahwa perilaku seksual merupakan kegiatan fisik yang bersifat erotis yang
didorong oleh hasrat seksual. Perilaku seksual ini dapat dilakukan dengan
pasangan ataupun hanya diri sendiri dengan tujuan memuaskan hasrat
2. Bentuk Perilaku Seksual
Rathus, Nevid, dan Rathus (2007) membagi bentuk perilaku
seksual menjadi 2 bagian, yaitu perilaku seksual yang dilakukan oleh diri
sendiri dan perilaku seksual yang dilakukan dengan pasangan.
a. Diri Sendiri
1) Masturbasi
Masturbasi merupakan salah satu ekspresi seksual seseorang yang
tidak melibatkan orang lain. Masturbasi ini disebut juga sebagai
merangsang seksual diri sendiri (Sexual Self-Stimulation).
Seseorang yang melakukan masturbasi mendapatkan kepuasan
seksual dengan menyentuh alat genitalnya, misalnya dengan
guling, ataupun dildo.
b. Orang Lain
1) Foreplay
Foreplay merupakan kegiatan-kegiatan seksual yang bertujuan untuk membangkitkan gairah seksual sebelum bersenggama.
Foreplay dapat berupa berciuman sampai saling menyentuh alat kelamin. Dalam beberapa budaya, berciuman dan menyentuh alat
kelamin ini tidak hanya ditujukan sebagaiforeplay, melainkan juga sebagai sebuah pengalaman atau kegiatan itu sendiri.
2) Kissing
identik dengan dua bibir yang saling bersentuhan. Ciuman dibagi
menjadi dua, yaitu:
a) Simple Kissing
Simple kissingdilakukan dengan mulut tertutup dan menyentuh bibir pasangan menggunakan bibir atau lidah. Simple kissing
ini dapat juga dilakukan dengan menggigit bibir bawah
pasangan.
b) Deep Kissing
Deep kissing atau yang sering juga disebut French kiss. Deep kissing / French kiss ini dilakukan dengan mulut terbuka dan lidah masuk ke dalam mulut.
3) Touching
Menyentuh pasangan menggunakan tangan atau anggota tubuh
lainnya dapat menaikkan gairah seksual seseorang, misalnya
merangsang gairah seksual dengan memegang penis, vagina, atau
area lainnya.
4) Stimulation of the Breasts
Merangsang payudara dapat meningkatkan gairah seksual untuk
kedua jenis kelamin, laki-laki maupun perempuan. Akan tetapi,
kebanyakan laki-laki heteroseksual lebih memilih merangsang
payudara wanita daripada payudaranya. Merangsang payudara ini
dapat dilakukan menggunakan tangan ataupun mulut dan areanya
5) Oral-Genital Stimulation
Merangsang gairah seksual menggunakan mulut pada laki-laki
disebut juga fellatio sedangkan pada perempuan disebut
cunnilingus. Fellatiodilakukan dengan cara memasukkan penis ke dalam mulut lalu melakukan gerakan naik turun, atau pun dengan
menjilat penis dan buah zakar.Cunnilingus dilakukan dengan cara mencium atau menjilat vagina.
6) Sexual Intercourse
Sexual Intercourse atau bersenggama adalah kegiatan seksual dimana penis masuk ke dalam vagina.
3. Faktor Penyebab Perilaku Seksual
Sarwono (2012) mengatakan bahwa ada beberapa faktor remaja
melakukan hubungan seks, yaitu:
a. Meningkatnya Libido Seksualitas
Remaja mengalami perubahan-perubahan hormonal yang
meningkatkan libido seksualitas remaja. Dimana hasrat remaja ini
perlu disalurkan dalam bentuk perilaku seksual tertentu.
b. Penundaan Usia Perkawinan
Seiring meningkatnya tingkat pendidikan masyarakat Indonesia,
usia perkawinan menjadi tertunda karena adanya norma dan hukum
yang berlaku. Semakin tinggi tingkat pendidikan masyarakat Indonesia
membuat tuntutan dari orang tua semakin tinggi juga. Orang tua
yang baik, serta persiapan mental sebelum memasuki perkawinan. Ada
juga undang-undang di Indonesia yang mengatur mengenai batasan
usia perkawinan adalah yaitu Undang-Undang No. 1/1974 Pasal 7 ayat
1 yang berbunyi “Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah
mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16
tahun”.
J.T. Fawcett (1973) mengatakan beban (cost) dan hambatan (barriers) juga menjadi faktor tertundanya usia perkawinan dari sisi individunya. Perkawinan menjadi beban bagi individu karena
hilangnya kebebasan dan mobilitas pribadi, bertambahnya kewajiban
dan usaha, serta bertambahnya bebas ekonomi. Sedangkan yang
dianggap hambatan adalah kebiasaan dan norma yang menyulitkan
perkawinan, adanya piilihan lain selain menikah, hukum yang
dianggap mempersulit perkawinan maupun perceraian, adanya
keserbabolehan seksual, serta undang-undang yang membatasi usia
minimum perkawinan.
c. Tabu atau Larangan
Seksualitas masih menjadi hal yang tabu di Indonesia, dimana
norma agama masih melarang seseorang melakukan hubungan seks pra
nikah. Psikoanalisis melihat seksualitas dianggap tabu karena seks
merupakan dorongan yang bersumber dari “id”. Dorongan-dorongan
sehingga dorongan ini harus ditekan dan tidak boleh dimunculkan ke
orang lain dengan tingkah laku terbuka.
d. Kurangnya Informasi tentang Seks
Seksualitas yang masih dianggap tabu ini juga berpengaruh pada
sulitnya remaja atau bahkan orang tua untuk berdiskusi mengenai
seksualitas. Remaja yang tidak mendapatkan penjelasan mengenai
seksualitas dari orang tua maupun tenaga pendidik membuat remaja
mencari informasi melalui media massa lain. Media massa ini dipilih
karena mudahnya akses untuk mencari informasi, walaupun belum
tentu informasi tersebut benar.
e. Pergaulan Semakin Bebas
Pada tahun 1987 pergaulan remaja antar jenis kelamin di Jakarta
menunjukkan bahwa remaja dalam berpacaran selain berpegangan
tangan dengan pacarnya, mereka juga berciuman, meraba payudara,
memegang alat kelamin, serta berhubungan seks. Rex Forehand (dalam
Sarwono, 2012) mengatakan bahwa pengawasan dari orang tua
dibutuhkan agar dapat memantau pergaulan anak.
4. Karakteristik Remaja yang Aktif Secara Seksual
Berk (2012) mengatakan aktivitas seksual remaja seringkali dikaitkan
dengan beberapa hal di bawah ini, yaitu:
a. Pengaruh perkembangan diri
Pengaruh perkembangan dari diri ini meliputi kontrol pribadi yang
b. Pengaruh keluarga
Kondisi keluarga yang mempengaruhi aktivitas seksual remaja
meliputi perceraian keluarga, keluarga dengan orang tua tunggal,
tinggal dengan keluarga besar, keterlibatan dalam aktivitas keagamaan,
pengawasan lemah dari orang tua, hubungan komunikasi anak– orang
tua yang buruk dan saudara yang aktif secara seksual.
c. Teman sebaya
Teman sebaya yang juga aktif secara seksual dapat memicu remaja
untuk semakin melakukan aktivitas seksualnya.
d. Pendidikan
Prestasi buruk di sekolah dan kecenderungan untuk melakukan
tindakan yang melanggar norma.
C. Remaja
1. Pengertian Remaja
Remaja merupakan periode transisi masa perkembangan antara
masa kanak-kanak dengan masa dewasa yang melibatkan
perubahan-perubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional. Perubahan-perubahan-perubahan
yang dialami ini mulai dari perkembangan fungsi seksual hingga proses
berpikir abstrak dan kemandirian (Santrock, 2007).
a. Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan
tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan
seksual
b. Individu mengalami perkembangan psikologis dan pola indentifikasi
dari kanak-kanak menjadi dewasa
c. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh
kepada keadaan yang relatif lebih mandiri (Muangman, 1980: 9)
WHO menetapkan batas usia remaja adalah 10–20 tahun, dimana usia
10-14 tahun merupakan remaja awal dan usia 15-20 tahun remaja akhir.
Perserikatan Bangsa-Bangsa menetapkan usia 15-24 tahun sebagai usia
pemuda (Sarwono, 2012). Sarwono sendiri mengatakan bahwa batasan
usia remaja Indonesia adalah usia 11-24 tahun dan belum menikah.
Hurlock (1955) menuliskan bahwa usia remaja dimulai dari usia 13 atau
14 tahun hingga 18 tahun. Papalia (2008) rentang usia yang lebih luas dari
Hurlock, yaitu dimulai dari 11 atau 12 tahun hingga sekitar 20 tahun.
Steinberg (2002) dan Santrock (2007) juga memiliki batasan usia yang
hampir serupa dengan Papalia. Santrock (2007) menuliskan bahwa batasan
usia remaja dimulai dari usia 10 tahun hingga 21 tahun, dimana
pembagiannya adalah 10 –13 tahun termasuk remaja awal; 14 - 17 tahun
adalah remaja pertengahan; dan 18 - 21 tahun termasuk remaja akhir.
Steinberg (2002) juga memiliki pembagian usia remaja yang hampir sama
dengan Santrock yaitu remaja awal 10 –13 tahun; remaja pertengahan 14
Berdasarkan teori-teori di atas, peneliti merumuskan remaja sebagai
sebuah proses peralihan dan berkembangnya individu yang terkait dengan
kondisi biologis, kognitif, psikologis, serta sosio ekonomi menjadi lebih
mandiri. Peneliti juga mengambil batasan usia remaja rata-rata yang
dikemukakan para ahli yaitu usia 11 tahun hingga 21 tahun dan belum
menikah.
2. Aspek Remaja
Berk (2012) mengatakan bahwa ada beberapa aspek dalam perkembangan
remaja yang perlu diperhatikan, yaitu:
a. Perkembangan Fisik
Meningkatnya hormon pertumbuhan dan hormon seks pada remaja
membuat pertumbuhan badan remaja menjadi cukup pesat.
Pertumbuhan fisik remaja ini berkaitan dengan pertumbuhan tubuh
secara keseluruhan dan kematangan ciri seksual remaja. Pada remaja
laki-laki, pertumbuhan tubuhnya meliputi pertumbuhan otot, ukuran
tubuh, serta pembesaran dada sementara, sedangkan ciri seksualnya
meliputi penis dan testis yang membesar, perubahan suara,
pertumbuhan bulu ketiak, rambut wajah dan tubuh, serta mengalami
keluarnya sperma untuk pertama kalinya yang disebutspermacheatau mimpi basah. Pada remaja perempuan, pertumbuhan fisik ini terlihat
dengan menumpuknya lemak pada tubuh remaja dan mulai
terbentuknya bentuk tubuh yang feminin. Ciri seksual pada remaja
kelamin, bulu ketiak, berkembangnya payudara, rahim dan vagina
menjadi matang, serta mengalami menstruasi (menarche) untuk pertama kalinya. Perubahan fisik pada remaja ini dapat menjadi
pemicu ketertarikan antar lawan jenis.
Perkembangan fisik pada remaja ini dipengaruhi oleh status
ekonomi sosial remaja, dimana remaja yang tinggal di lingkungan
berkecukupan akan mengalami pubertas lebih awal. Perkembangan
fisik remaja juga dipengaruhi oleh asupan gizi yang didapatkan remaja,
keadaan konflik di keluarga, maupun berat badan yang dimiliki
remaja, apakah remaja tersebut mengalami obesitas atau rajin
berolahraga.
b. Perkembangan Kognitif
Piaget (dalam Berk, 2012) mengatakan bahwa remaja mulai
memasuki tahap operasional formal, dimana remaja mulai berpikir
abstrak, sistematis dan ilmiah. Perkembangan kognitif dimasa remaja
menjadikan remaja mampu melakukan penalaran hipotetis deduktif,
dimana remaja mencari kemungkinan-kemungkinan atau hipotesis dan
mampu menarik kesimpulan dari masalah-masalah yang ditemuinya.
Remaja juga memiliki kemampuan pemikiran proposisional, dimana
remaja mampu mengevaluasi logika proposisi atau pernyataan verbal
tanpa mengacu pada kenyataan.
Kemampuan remaja untuk merefleksikan pemikiran mereka
Piaget menjadikan remaja lebih memikirkan diri mereka sendiri.
Egosentrisme remaja ini memunculkan citra yang keliru dari remaja
tentang hubungan antara diri dan orang lain. Elkind dan Bowen (dalam
Berk, 2012) menyatakan distorsi kognitif yang pertama adalah
Imaginary Audience dimana remaja meyakini bahwa dirinya menjadi fokus perhatian orang lain dan semua orang memantaunya. Hal ini
membuat remaja memperhatikan secara detail mengenai penampilan
dirinya dan menjadi sensitif terhadap kritik publik. Distorsi kognitif
yang kedua adalah Personal Fabel dimana remaja merasa dirinya penting dan istimewa karena remaja merasa diperhatikan oleh orang
lain. Merasa dirinya menjadi orang yang penting dan istimewa ini
membuat remaja menganggap dirinya berkuasa.
Perasaan berkuasa ini memprediksikan penghargaan diri dan
penyesuaian diri yang positif pada remaja. Merasa mampu dan merasa
dirinya penting ini dapat membantu remaja menghadapi tantangan
yang dihadapinya. Akan tetapi, perasaan remaja akan keunikan dirinya
dapat berhubungan dengan perasaan depresi dan pikiran untuk bunuh
diri, serta dapat menghambat terbentuknya hubungan akrab dan
dukungan sosial. Merasa diri unik ini jika bertemu dengan kepribadian
yang senang mencari sensasi akan membuat remaja semakin merasa
dirinya istimewa dan kebal terhadap perilaku berisiko pada remaja.
Remaja yang merasa diri unik dan senang mencari sensasi, menjadikan
lebih sering mengkonsumsi obat-obatan dan alkohol, serta melakukan
tindakan yang lebih nakal dari teman-temannya (Grenee, dalam Berk,
2012).
c. Perkembangan Sosial
Erikson (dalam Berk, 2012) menyatakan bahwa identitas
merupakan salah satu langkah penting remaja menuju sosok dewasa
yang produktif dan berguna. Identitas ini merupakan pendefinisian
mengenai dirinya sendiri. Remaja mengalami krisis identitas dalam
proses pencarian identitasnya yaitu remaja mencoba banyak alternatif
sebelum menetapkan nilai dan tujuan hidupnya. Setelah remaja
menetapkan nilai dan tujuan hidupnya, identitasnya ini akan terus
disempurnakan di masa dewasa saat orang menilai komitmen dan
pilihannya dahulu. Erikson mengatakan konflik psikologis di masa
remaja sebagai konflik identitas versus kegamangan peran. Konflik ini
terjadi bila masyarakat membatasi remaja pada pilihan yang tidak
sejalan dengan kemampuan dan kemauan remaja.
Remaja mengalami perubahan konsep diri dalam memahami
dirinya sendiri. Perubahan kognitif remaja membuat remaja mampu
menggabungkan watak-watak yang mereka bangun ke dalam satu
sistem yang rapi. Remaja kebanyakan lebih menekankan pada
kebajikan sosial karena sifat-sifat ini mencerminkan kepedulian remaja
remaja tidak hanya terjadi pada perubahan konsep diri melainkan juga
perubahan dalam penghargaan diri remaja.
Harga diri pada remaja akan meningkat jika remaja mampu
menyesuaikan dirinya dengan baik. Remaja yang memiliki harga diri
yang positif atau meningkat membuat remaja menjadi seorang yang
optimis, memiliki kendali atas masa depan, percaya diri dan mampu
mengatasi masalah hidup. Remaja yang memiliki harga diri positif
juga menjadi lebih matang, merasa mampu, rupawan, dan lebih
menarik dibanding dulu. Hal-hal ini yang membuat remaja mudah
bergaul dan senang menjalin hubungan dengan teman sebaya. Remaja
yang memiliki penghargaan diri rendah di bidang akademik akan
cenderung cemas dan tidak fokus, serta hubungan remaja dengan
teman sebaya yang negatif menjadikan remaja berpeluang memiliki
kecemasan dan depresif. Sikap antisosial dan agresif pada remaja ini
juga dapat disebabkan oleh ketidakpuasan remaja pada hubungannya
dengan orang tua.
Identitas remaja ini dipengaruhi oleh teman sebaya, aktivitas
sekolah dan komunitas, budaya dan sosial, serta rasa aman dari
keluarga. Remaja yang merasa terikat pada orang tua tetapi juga bebas
menyuarakan pendapat membuat mereka mampu mencapai identitas.
Remaja yang tertutup memiliki ikatan erat dengan orang tua tetapi
kurang memiliki kesempatan untuk berpisah baik-baik dengan orang