• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara persepsi pengawasan orang tua bekerja dan perilaku seksual remaja di Batam.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan antara persepsi pengawasan orang tua bekerja dan perilaku seksual remaja di Batam."

Copied!
151
0
0

Teks penuh

(1)

Catarina Chandra Cinitya

ABSTRAK

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif korelasional yang bertujuan untuk melihat hubungan persepsi pengawasan orang tua bekerja dan perilaku seksual remaja di Batam. Hipotesis penelitian ini adalah terdapat hubungan negatif antara persepsi pengawasan orang tua bekerja dan perilaku seksual remaja di Batam. Subjek dalam penelitian ini adalah remaja berusia 11-21 tahun yang belum menikah di kota Batam dan memiliki kedua orang tua yang bekerja. Peneliti menggunakan teknik purposive samplingpada penelitian ini. Subjek terdiri dari 253 remaja yang bersekolah di beberapa SMP, SMA/SMK, dan salah satu kampus di Batam. Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan skala persepsi pengawasan orang tua dan skala perilaku seksual. Koefisien relibilitas skala persepsi pengawasan orang tua sebesar 0,901 dan skala perilaku seksual sebesar 0,972 yang dihitung menggunakan

Alpha Cronbach melalui SPSS for Windows 16.00. Teknik analisis data menggunakan pengujian korelasi

Spearman’s Rho.Hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara persepsi pengawasan orang tua bekerja dan perilaku seksual remaja (r -0,238, sig 0,000). Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis penelitian ini diterima, dimana semakin tinggi pengawasan orang tua maka semakin rendah perilaku seksual remaja.

(2)

Catarina Chandra Cinitya

ABSTRACT

This research was a correlational quantitative study that aims to examine the correlation between working parent's control perception and adolescent’s sexual behavior in Batam. The hypothesis proposed was that is a negative correlation between working parent’s control perception and adolescent’s sexual behavior in Batam. Subjects in this research were unmarried adolescents within 11-21 years old who have working parents. The researcher used purposive sampling in this research. Subjects were students who study in some Junior High School, Senior High School/Vocational High School, and one of the campuses in Batam. The instruments in this research were parental control perception scale and sexual behavior scale. The reability coefficient of parental control perception scale was 0,901 and sexual behavior scale was 0,972. These numbers were the result of calcullation using Alpha Cronbach through SPSS for Windows 16.00. The data analize technique used in this research was Spearman's Rho. The result shows that there was a significant negative correlation and between working parent's control perception and adolescent’s sexual behavior (r-0,238, sig 0,000). This shows that the hypothesis was accepted, in which the higher the parental control get thelower adolescent’s sexual behavior become.

(3)

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI PENGAWASAN ORANG TUA BEKERJA DAN PERILAKU SEKSUAL REMAJA DI BATAM

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh :

Catarina Chandra Cinitya

109114083

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(4)
(5)
(6)

iv

MOTTO

ACCEPTANCE.

A HARD VALUE TO ACCEPT.

---STOP COMPLAINING,

(7)

v

(8)
(9)

vii

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI PENGAWASAN ORANG TUA BEKERJA DAN PERILAKU SEKSUAL REMAJA DI BATAM

Catarina Chandra Cinitya

ABSTRAK

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif korelasional yang bertujuan untuk melihat hubungan persepsi pengawasan orang tua bekerja dan perilaku seksual remaja di Batam. Hipotesis penelitian ini adalah terdapat hubungan negatif antara persepsi pengawasan orang tua bekerja dan perilaku seksual remaja di Batam. Subjek dalam penelitian ini adalah remaja berusia 11-21 tahun yang belum menikah di kota Batam dan memiliki kedua orang tua yang bekerja. Peneliti menggunakan teknikpurposive sampling pada penelitian ini. Subjek terdiri dari 253 remaja yang bersekolah di beberapa SMP, SMA/SMK, dan salah satu kampus di Batam. Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan skala persepsi pengawasan orang tua dan skala perilaku seksual. Koefisien relibilitas skala persepsi pengawasan orang tua sebesar 0,901 dan skala perilaku seksual sebesar 0,972 yang dihitung menggunakan Alpha Cronbach melalui SPSS for Windows 16.00.

Teknik analisis data menggunakan pengujian korelasiSpearman’s Rho.Hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara persepsi pengawasan orang tua bekerja dan perilaku seksual remaja (r -0,238, sig 0,000). Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis penelitian ini diterima, dimana semakin tinggi pengawasan orang tua maka semakin rendah perilaku seksual remaja.

(10)

viii

THE CORRELATION BETWEEN WORKING PARENT'S CONTROL

PERCEPTION AND ADOLESCENT’S SEXUAL BEHAVIOR IN BATAM

Catarina Chandra Cinitya

ABSTRACT

This research was a correlational quantitative study that aims to examine the correlation between working parent's control perception and adolescent’s sexual behavior in Batam. The hypothesis proposed was that is a negative correlation between working parent's control perception and adolescent’s sexual behavior in Batam. Subjects in this research were unmarried adolescents within 11-21 years old who have working parents. The researcher used purposive sampling in this research. Subjects were students who study in some Junior High School, Senior High School/Vocational High School, and one of the campuses in Batam. The instruments in this research were parental control perception scale and sexual behavior scale. The reability coefficient of parental control perception scale was 0,901 and sexual behavior scale was 0,972. These numbers were the result of calcullation using Alpha Cronbach through SPSS for Windows 16.00. The data analize technique used in this research was Spearman's Rho. The result shows that there was a significant negative correlation and between working parent's control perception and adolescent’s sexual behavior (r -0,238, sig 0,000). This shows that the hypothesis was accepted, in which the higher the parental control get the lower adolescent’s sexual behavior become.

(11)
(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala rahmat dan

penyertaan-Nya yang luar biasa sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini

dengan baik. Penulis ingin menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya

kepada:

1. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M. Si selaku Dekan Fakultas Psikologi.

2. Bapak Paulus Eddy Suhartanto, M.Si selaku Kepala Program Studi Psikologi.

Terimakasih atas dukungan dan perhatian yang bapak berikan kepada kami

para mahasiswa tingkat akhir.

3. Ibu (Alm.) Dra. Lusia Pratidarmanastiti M.Si selaku dosen pembimbing

akademik yang telah membimbing, memberikan dukungan, nasihat serta

perhatian kepada penulis dari awal kuliah. Maafkan telah membuat ibu lelah

menunggu saya dan teman-teman untuk menyelesaikan tugas akhir ini.

4. Ibu Sylvia Carolina M. Y. M., M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang

bersedia membimbing dan memberikan perhatian kepada penulis.

Terimakasih ibu sudah mendukung dan mengingatkan saya untuk

mengerjakan.

5. Para dosen penguji skripsi saya, Bapak Siswa Widyatmoko, M.Psi. dan ibu

Dr. Tjipto Susana, M.Si. Terimakasih atas revisi dan bimbingan yang

diberikan kepada penulis.

6. Ibu Agnes Indar Etikawati, M.Si yang penulis kagumi, terimakasih atas ilmu

serta kesempatan untuk dapat belajar banyak hal dari ibu. Terimakasih juga

(13)

xi

7. Bapak dan ibu dosen beserta staff karyawan Fakultas Psikologi Universitas

Sanata Dharma. Bu Nanik, akhirnya saya selesai lho, hehehe.

8. Bapak/ibu kepala sekolah SMP Katolik Yos Sudarso, SMA Katolik Yos

Sudarso, SMP Kristen Immanuel, SMA Kristen Immanuel, SMA Kartini, dan

SMK Kartini. Terimakasih atas ijin dan waktu yang diberikan untuk

mengambil data di sekolah yang bapak/ibu pimpin.

9. Papa, mama, mas Adit dan mas Boni. Terimakasih atas dukungan papa mama

dari jauh dan kerelaan menanti Catrin selesai kuliah. Terimakasih juga mas

Adit dan mas Boni bersedia menjaga adik kecilmu ini, hehehe.

10. Om, tante, sepupu-sepupu penulis di Yogya, terutama tante Tien dan om

Koen. Makasih ya om dan tante sudah menjadi bapak dan ibu pengganti di

sini, makasih sudah bersedianilikidanngopeniponakan :p

11. Mas Yohanes Sanjaya yang bersedia menemani dan mendengarkan keluhan

peneliti dari awal peneliti kuliah sampai menyelesaikan skripsi ini. Makasih

ya nyo, masih banyak keluhan dan cerita-cerita yang akan kamu dengar, hehe.

12. Ninda, Dian, Helen, Sandi, Vica, Bibin, dan Agnes. Teman-teman peneliti

yang selalu memberikan semangat, dukungan, membantu dan bersedia

direpoti selama pembuatan skripsi ini.

13. Luna, Yutti, Vian dan Ellak. Teman-teman seperjuangan yang memberikan

dukungan moral serta mendengarkan curhatan peneliti. Sekarang giliranmu,

cah! Hahaha.

14. Gregorius Aji Maundri, Raymondus Tri Hardianto, dan Eko Sularsono.

(14)

xii

15. Teman-teman “Pejuang yang tertinggal” dan teman-teman angkatan 2010

lainnya, terimakasih sudah saling mengingatkan. Ayo, terus berjuang!

16. Terimakasih juga untuk bantuan yang diberikan kepada peneliti oleh tante

Kiki dan lainnya yang tidak dapat peneliti sebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan.

Mohon maaf apabila terdapat hal-hal yang kurang berkenan. Oleh karena itu,

penulis menerima segala kritik dan masukan yang membangun demi

perbaikan skripsi selanjutnya. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat

bagi banyak pihak. Terimakasih.

Yogyakarta, 22 Agustus 2016

Penulis,

(15)

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR GAMBAR ... xix

DAFTAR LAMPIRAN ... xx

BAB I: PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah ... 14

C. Tujuan Penelitian ... 14

(16)

xiv

BAB II: LANDASAN TEORI ... 16

A. Persepsi Remaja Terhadap Pengawasan Orang Tua Bekerja...16

1. Pengawasan (Monitoring) Orang Tua...18

2. Komponen Pengawasan Orang Tua ... 20

3. Orang Tua Bekerja ... 22

4. Persepsi Remaja Terhadap Pengawasan (Monitoring) Orang Tua Bekerja...………...24

B. Perilaku Seksual ...25

1. Pengertian Perilaku Seksual... 25

2. Bentuk Perilaku Seksual ... 26

3. Faktor Penyebab Perilaku Seksual ... 28

4. Karakteristik Remaja yang Aktif Secara Seksual ... 30

C. Remaja... 31

1. Pengertian Remaja ... 31

2. Aspek Remaja ... 33

D. Dinamika Hubungan Pengawasan Orang Tua Bekerja dan Perilaku Seksual Remaja ... 39

E. Hipotesis Penelitian ... 45

BAB III: METODE PENELITIAN... 46

A. Jenis dan Pendekatan Penelitian ... 46

B. Variabel Penelitian ... 46

C. Definisi Operasional ... 47

(17)

xv

2. Perilaku Seksual ... 48

D. Subjek Penelitian ... 48

E. Metode Pengambilan Sampel ... 49

F. Metode Pengumpulan Data ... 49

1. Skala Persepsi Pengawasan Orang Tua Bekerja ... 50

2. Skala Perilaku Seksual ... 52

G. Validitas, Seleksi Aitem dan Reliabilitas ... 54

1. Seleksi Aitem ... 54

2. Validitas Alat Tes... 58

3. Realibilitas ... 59

H. Metode Analisis Data ... 60

I. Prosedur Pengambilan Data ... 61

BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 63

A. Pelaksanaan Penelitian ... 63

B. Deskripsi Subjek Penelitian ... 64

C. Deskripsi Data Penelitian ... 66

1. Analisis Data Penelitian ... 67

2. Analisis Tambahan Data Penelitian ... 70

D. Hasil Penelitian... 78

1. Uji Asumsi ... 78

2. Uji Hipotesis ... 80

E. Pembahasan ... 81

(18)

xvi

A. Kesimpulan ... 88

B. Keterbatasan Penelitian ... 88

C. Saran ... 89

DAFTAR PUSTAKA ... 92

(19)

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. BlueprintSkala Persepsi Pengawasan Orang Tua Bekerja (Sebelum

Uji Coba)... 50

Tabel 3.2. Sistem Skoring untuk PernyataanFavorabledanUnfavorable... 51

Tabel 3.3. BlueprintSkala Perilaku Seksual (Sebelum Uji Coba)... 55

Tabel 3.4. Sistem Skoring untuk PernyataanFavorable... 53

Tabel 3.5. Pemberian Bobot untun Setiap Perilaku Seksual ... 54

Tabel 3.6. BlueprintSkala Persepsi Pengawasan Orang Tua Bekerja (Setelah Uji Coba)... 56

Tabel 3.7. BlueprintSkala Perilaku Seksual (Setelah Uji Coba) ... 57

Tabel 4.1. Data Usia Subjek Penelitian... 65

Tabel 4.2 Data Jenis Kelamin Subjek Penelitian ... 65

Tabel 4.3. Data Pendidikan Subjek Penelitian ... 65

Tabel 4.4. Data Tempat Tinggal Subjek Penelitian ... 66

Tabel 4.5. Data Status Berpacaran Subjek Penelitian ... 66

Tabel 4.6. Deskripsi Data Penelitian ... 67

Tabel 4.7. Deskripsi Data Penelitian Perilaku Seksual ... 68

Tabel 4.8. Data Pasangan Perilaku Seksual Subjek Penelitian ... 69

(20)

xviii

Tabel 4.10. Tabel Data Penelitian Menurut Tingkat Pendidikan ... 73

Tabel 4.11. Data Penelitian Menurut Status Berpacaran ... 76

Tabel 4.12. Hasil Uji Normalitas Data Penelitian ... 79

Tabel 4.13. Hasil Uji Linearitas Hubungan Antar Variabel... 80

(21)

xix

DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.1. Diagram Data Penelitian Menurut Jenis Kelamin... 72

Gambar 4.2. Diagram Data Penelitian Perilaku Seksual Menurut Jenis

Kelamin ... 72

Gambar 4.3. Diagram Data Penelitian Menurut Tingkat Pendidikan ... 74

Gambar 4.4. Diagram Data Penelitian Perilaku Seksual Menurut Tingkat

Pendidikan... 75

Gambar 4.5. Diagram Data Penelitian Menurut Status Berpacaran ... 77

Gambar 4.6. Diagram Data Penelitian Perilaku Seksual Menurut Status

(22)

xx

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Skala Uji Coba... 97

Lampiran 2. Skala Penelitian ... 108

Lampiran 3. Reliabilitas Skala Persepsi Pengawasan Orang Tua... 118

Lampiran 4. Relibilitas Skala Perilaku Seksual ... 123

Lampiran 5. Uji Asumsi: Uji Normalitas dan Uji Linearitas ... 126

(23)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara berkembang yang memiliki penduduk

kurang lebih 213 juta jiwa. Survey Antar Sensus Badan Pusat Statistik tahun

2005 menyebutkan bahwa ada sekitar 80 juta jiwa penduduk Indonesia

merupakan remaja dan anak (BPS, 2005). Anak dan remaja sebagai generasi

penerus bangsa merupakan aset yang sangat penting untuk memajukan sebuah

negara. Remaja diharapkan nantinya mampu membangun bangsa dan

negaranya menjadi lebih baik.

Mead (dalam Santrock, 2011) mengatakan bahwa remaja merupakan

masa transisi dari anak menuju dewasa. Otto Rank menyebutkan bahwa pada

masa remaja terdapat perubahan kehendak yang cukup drastis dari masa

kanak-kanak menuju dewasa (Sarwono, 2012). Remaja mengalami perubahan

kehendak yang tadinya masih bergantung pada orang lain saat masa

kanak-kanak menuju kemandirian di masa dewasa. Pada tahap ini remaja sedang

mencari pedoman atau nilai-nilai baru yang dapat dianutnya menuju

kehidupan dewasa. Remaja cenderung ingin meninggalkan pedoman atau nilai

yang dianutnya pada masa kanak-kanak, akan tetapi mereka belum memiliki

pedoman yang baru untuk kehidupan dewasanya (Sarwono, 2012).

Seorang remaja akan mencari pedoman baru untuk hidupnya dari

(24)

lingkungan keluarga. Secara jelas Reiss (dalam Lestari, 2012) mengatakan

bahwa keluarga merupakan kelompok kecil yang termasuk dalam pertalian

keluarga dan memiliki fungsi sosialisasi pemeliharaan terhadap generasi

berikutnya.

Orang tua sebagai sosok orang yang lebih dewasa di dalam keluarga

turut mengambil andil menemani remaja dalam mencari pedoman hidupnya

yang baru. Ellis, Thomas, dan Rollins (dalam Lestari, 2012) menyebutkan

bahwa dukungan orang tua adalah interaksi orang tua yang dapat ditunjukkan

melalui perawatan, kehangatan, persetujuan, dan perasaan positif yang

diberikan orang tua ke anak. Dukungan orang tua dapat dikelompokkan

menjadi dua, yaitu dukungan instrumental dan dukungan emosi. Dukungan

instrumental merupakan dukungan orang tua berupa sarana dan prasarana

yang diberikan orang tua untuk mendukung proses belajar dan tumbuh

kembang anak. Dukungan emosi adalah perilaku fisik maupun non-fisik yang

ditunjukkan orang tua. Dukungan emosi dapat ditunjukkan dengan

menunjukkan afeksi atau komunikasi yang positif dan terbuka kepada anak.

Kehadiran orang tua dapat membuat anak merasa nyaman, diterima dan diakui

sebagai individu (Lestari, 2012). Kehadiran dan dukungan orang tua ini dapat

juga memenuhi kebutuhan remaja akan kasih sayang dan rasa kekeluargaan.

Setiap orang khususnya remaja berkeinginan mendapatkan kasih sayang

dari setiap orang yang dikenalnya, terutama orang tua. Kebutuhan akan kasih

sayang ini sangat dibutuhkan oleh remaja karena remaja merasa mendapatkan

(25)

remaja dapat meningkatkan kepercayaan diri remaja. Apabila remaja memiliki

rasa percaya diri, remaja juga akan mampu menerima dan menyayangi dirinya

sendiri. Kemampuan remaja untuk menyayangi dirinya sendiri ini dapat

membantu remaja membangun hubungan sosial yang baik dengan orang lain.

Remaja yang merasa kurang mendapatkan kasih sayang dari orang tua akan

merasa gagal dan tidak berdaya. Kegagalan yang dialami remaja ini dapat

menyebabkan remaja berperilaku menyimpang agar mendapatkan

penghargaan (Panuju dan Umami, 1999).

Perilaku menyimpang yang dilakukan remaja ini disebut juga sebagai

Juvenile Delinquency. Kartono (2011) mengatakan bahwa juvenile delinquency adalah kejahatan atau kenakalan yang dilakukan oleh anak-anak muda. Kartono (2011) menyebutkan kenakalan remaja ini merupakan gejala

patologis secara sosial yang disebabkan pengabaian oleh lingkungan

sosialnya. Simanjuntak (dalam Sudarsono, 2012) menyatakan suatu perbuatan

dikatakan delinkuen jika perbuatan tersebut bertentangan dengan norma yang

berlaku di masyarakat dimana seseorang tinggal. Kenakalan remaja yang

bertentangan ini menyebabkan keresahan di lingkungan masyarakat. Remaja

yang melakukan kenakalan dianggap tidak mampu memahami dan mentaati

norma yang berlaku di masyarakat. Padahal salah satu tugas perkembangan

remaja adalah mampu memperlihatkan tingkah laku yang dapat

dipertanggungjawabkan secara sosial, dimana remaja dapat menghormati dan

(26)

juga diharapkan mampu mengadopsi norma masyarakat yang berlaku untuk

menjadi pedoman hidupnya yang baru dalam bertingkah laku.

Angka kenakalan remaja di Indonesia akhir-akhir ini meningkat cukup

drastis. Berdasarkan data yang diperoleh dari BKKBN online tanggal 11 Desember 2006 yang dikutip oleh Nugroho (2010), hasil survei Pusat

Kesehatan Masyarakat UI mengatakan dari 170 SMA yang diteliti, 25%

responden menyatakan hubungan seks boleh saja dilakukan dengan pasangan

asal disertai perasaan suka sama suka, 3% responden mengaku pernah

melakukan hubungan seks dengan kekasihnya, 35% remaja pria menyatakan

tidak perlu lagi mempertahankan keperjakaannya, dan 10% remaja wanita

juga menyatakan tidak perlu lagi mempertahankan keperawanannya. BKKBN

online tahun 2008 (dalam Nugroho, 2010) juga mengatakan bahwa 63% remaja Indonesia di kota-kota besar telah melakukan hubungan seks pra nikah.

Nugroho juga mengutip penelitian yang dilakukan Annisa Foundation (2006)

bahwa 42,3% remaja melakukan hubungan seks pertama kali saat duduk di

bangku SMP-SMA (BKKBNonlinedalam Nugroho 2010).

Tingginya angka remaja yang melakukan seks bebas ini diperkuat juga

oleh data yang dimiliki oleh Dr. Boy Abidin, SpOG (dalam Nugroho, 2010)

yang berpraktik di Rumah Sakit Mitra Kelapa Gading Jakarta. Data

menunjukkan bahwa 3,2% siswi hamil di luar nikah karena diperkosa, 12,9%

siswi hamil di luar nikah karena hubungan seks atas dasar suka sama suka,

45,2% siswi hamil di luar nikah karena tidak menduga akan hamil, dan 22,6%

(27)

bahwa remaja belum memahami akibat dari perilaku seks bebas yang

dilakukan, yaitu salah satunya kehamilan yang tidak diinginkan. Hal ini juga

menunjukkan bahwa remaja Indonesia belum mampu menjalankan salah satu

tugas perkembangan remajanya dengan baik. Remaja belum mampu

menghormati dan mentaati nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat,

dimana perilaku seks bebas bukanlah perilaku yang mencerminkan budaya

timur.

Kenakalan remaja banyak ditemukan khususnya di kota-kota besar di

Indonesia. Hal ini dikarenakan banyaknya media yang memudahkan budaya

asing masuk ke Indonesia dan juga fasilitas yang diberikan oleh orang tua

maupun pemerintah setempat (Panuju dan Umami, 1999). Budaya asing

masuk dengan mudahnya ke Indonesia melalui berbagai media, seperti

misalnya film, buku, maupun internet. Sebagian besar remaja yang hidup di

perkotaan besar menghabiskan banyak waktunya untuk berselancar di internet,

mulai dari mencari berita mengenai dalam maupun luar negeri, mengunduh

lagu barat terbaru, sampai mengobrol dengan teman dalam maupun luar negeri

melalui aplikasi chatting di kehidupan sehari-harinya (Budhyati, 2012).

Budhyati (2012) menyebutkan macam-macam perilaku kenakalan remaja

yang dipengaruhi media internet antara lain perkelahian akibat dari kecanduan

game online bertema kekerasan, membolos sekolah karena bergadang kecanduan game online, perkataan kasar dan tidak senonoh di media sosial, pemalsuan identitas di media sosial, penculikan yang berkedok pertemuan

(28)

jual beli barang, berbohong kepada orang tua untuk mendapatkan biaya

membeli pulsa modem atau ke warnet, dan perbuatan asusila sebagai akibat

dari melihat gambar atau video porno di internet.

Budhyati (2012) menyebutkan beberapa upaya untuk mengatasi

kenakalan remaja, diantaranya upaya preventif, tindakan kuratif, dan

pembinaan agama bagi remaja. Upaya preventif dapat dilakukan oleh

keluarga, sekolah, maupun masyarakat dan pemerintah. Keluarga sebagai

lingkungan yang terdekat dengan remaja dapat memberitahu dampak positif

dan negatif dari penggunaan internet, mengusahakan untuk menyediakan

internet di rumah dengan meletakkan komputer di tempat yang mudah diawasi

dan memblokir situs yang dianggap tidak layak, memberitahu situs-situs yang

menarik untuk usianya, mengawasi perubahan perilaku remaja dan

membangun komunikasi yang tepat, serta membatasi durasi penggunaan

internet dan mengarahkan untuk menggunakan internet dengan positif.

Sekolah sebagai lingkungan pendidikan dapat memberitahu juga

mengenai dampak positif dan negatif penggunaan internet, menyediakan

fasilitas internet di sekolah dengan memblokir situs-situs yang tidak layak

untuk anak didiknya, mengarahkan pembelajaran melalui e-learning, e-mail,

dan thinkquest, serta guru juga dapat turut aktif di jejaring sosial untuk mengawasi anak didiknya dalam bergaul di internet. Pemerintah dan

masyarakat juga memegang peranan penting untuk mengatasi kenakalan

remaja, misalnya dengan memberlakukan dengan tegas peraturan

(29)

situs porno di dalam maupun luar negeri, izin operasional warnet dibatasi,

setiap warnet diharuskan memilikisoftwareanti pornografi, serta razia berkala dan pengawasan langsung dari masyarakat terhadap keberadaan warnet.

Penggunaan internet yang tidak disaring ini dapat menggeser nilai-nilai

atau norma yang berlaku di masyarakat. Salah seorang Guru Bimbingan

Konseling di SMA Bopkri Dua Yogyakarta (wawancara pribadi, Maret 2014)

mengatakan sekarang ini ada pergeseran norma masyarakat di mata remaja.

Beliau mengatakan banyaknya warung kopi di Yogyakarta menjadi salah satu

contoh pergeseran norma masyarakat. Remaja yang berada di warung kopi

untuk menongkrong bersama teman-temannya pada malam hari seharusnya

berada di dalam rumah untuk belajar. Beliau juga mengatakan bahwa kontrol

orang tua yang lemah dapat menjadi salah satu penyebab remaja berada di

warung kopi pada malam hari.

Arus modernisasi dan teknologi yang semakin berkembang membuat

remaja mulai mengenal rokok, narkoba, terlibat banyak tindakan kriminal

bahkan berujung pada kenakalan remaja prostitusi. Hal-hal tersebut bisa

terjadi karena kurangnya dasar-dasar agama, kurangnya kasih sayang orang

tua, kurangnya pengawasan orang tua, pergaulan dengan teman yang tidak

sebaya, peran dari perkembangan ilmu pengetahuan teknologi yang

berdampak negatif serta kebebasan yang berlebihan. Remaja secara tidak

langsung mendapat imbas dari globalisasi yang negatif terutama bila tidak

diimbangi dengan perhatian dan bimbingan orang tua. Teknologi yang

(30)

internet. Informasi-informasi yang masuk melalui internet ini dapat juga

berupa eksploitasi seksual. Eksploitasi seksual yang didapatkan melalui media

ini dapat mendorong remaja untuk melakukan aktivitas seksual secara

sembarangan seperti misalnya menyimpan dan menyebarkan foto maupun

video yang membuat remaja lebih cepat matang secara seksual dan mencari

penyaluran seksual yang salah. Remaja dengan rasa ingin tahu yang tinggi

serta dorongan seks yang tinggi akibat terpapar media bebas menjadikan

remaja mencari penyaluran hasrat seksualnya, terlibat pergaulan bebas dan

gaya pacaran yang melampaui batas (Nasution, 2016).

40% remaja telah melakukan hubungan seks pra nikah bahkan sekitar

25% anak-anak berusia 15-24 tahun di Batam berpotensi mengidap HIV/AIDS

(Nursali, 2015). Fenomena seks bebas di kalangan remaja Batam ini

memunculkan beberapa istilah bagi remaja khususnya remaja putri, yaitu Bisa

Pakai (BP atau lebih terkenal dengan singkatan BisPak) dan Barang Batam

(BB) (“Cewek BP dan BB”, 2011). BP dan BB adalah julukan untuk remaja

putri Batam yang menyediakan jasa berhubungan seksual. Remaja putri yang

diberi julukan BP atau BisPak menjajakan seks kepada teman seumurannya

dan tarif mereka tidaklah mahal, asalkan mereka senang dibawa jalan-jalan ke

lokasi-lokasi yang menyenangkan, misalnya mall atau pantai. Julukan Barang

Batam atau BB diberikan kepada remaja putri yang menjajakan seks untuk

para pejabat, oknum aparat, pengusaha maupun om-om yang mencari

kepuasan seksual. Remaja putri yang dijuluki BB ini terorganisir melalui

(31)

lebih mahal dibanding yang menjadi BP atau BisPak, mereka dapat meminta

brang-barang berharga yang mereka inginkan, seperti handphone terbaru ataupun parfum mahal. Alasan kebanyakan remaja putri yang menjadi BB dan

BP dikarenakan mereka tergiur dengan iming-iming hadiah atau

barang-barang yang akan mereka dapatkan (“Cewek BP dan BB”, 2011).

Remaja-remaja putri tersebut mengatakan bahwa uang jajan yang diberikan oleh orang

tua mereka dirasa tidak mampu memenuhi keinginan-keinginan mereka,

sehingga mereka tergiur untuk menjadi BP maupun BB untuk mendapatkan

keinginan mereka.

Kapolresta Batam, Kombes Asep Safrudin mengatakan bahwa

ditemukannya beberapa orang anak di bawah umur yang ikut dalam jaringan

PSK online di Batam (Purniawan, 2015). Tarif yang mereka dapatkan juga cukup menggiurkan, yaitu sekita 1 juta untuk sekali booking, dimana sang mucikari mengambil 400 ribu untuk kantongnya sendiri dan sisanya untuk si

pekerja seks komersial tersebut. Banyaknya PSK di Batam menjadikan Batam

termasuk dalam salah satu dari empat kota wisata seksual di Indonesia yang

diminati oleh turis asing, selain Bogor, Singkawang dan Cikarang (“Empat

Kota di Indonesia”, 2014).

Tingginya angka PSK di Batam juga memicu tingginya angka pengidap

HIV/AIDS. Dinas Kesehatan Kota Batam mencatat sejak tahun 1992 hingga

Oktober 2014 tercatat 3.477 penderita HIV dan 1.510 diantaranya sudah

berkembang menjadi AIDS di Batam (Riezky, 2014). Komisi Penanggulangan

(32)

2014 tercatat 581 orang terjangkit HIV, 252 orang diantaranya positif AIDS

dan sudah ada 110 orang yang meninggal dunia akibat AIDS di Batam

(Mesakh, 2014).

Selain tingginya angka seksualitas di Batam, masyarakat yang tinggal

di kota Batam juga memiliki tingkat biaya hidup yang besar. Tingginya

kebutuhan atau biaya hidup di kota industri ini menuntut kedua orang tua

untuk bekerja demi menghidupi keluarganya. Pada zaman sekarang ini, tidak

hanya ayah saja yang bekerja, melainkan ibu juga bekerja demi terpenuhinya

kebutuhan hidup keluarganya yang semakin besar. Kesibukan dan

ketidakhadiran kedua orang tua di rumah ini dapat mendorong anak menjadi

delinkuen. Sudarsono (2012) mengatakan bahwa kenakalan remaja dapat

disebabkan oleh keluarga yang berantakan atau broken home. Broken home

menurut Sudarsono adalah struktur keluarga yang sudah tidak lengkap lagi

yang dikarenakan salah satu atau kedua orang tua meninggal, perceraian orang

tua, maupun ketidakhadiran orang tua dalam waktu yang cukup lama.

Sudarsono (2012) juga menyebutkan mengenaibroken home semuyang sering terjadi di mayarakat sekarang ini. Broken home semu terjadi di struktur keluarga yang masih lengkap, hanya saja karena kesibukan masing-masing

anggota keluarga terutama orang tua membuat orang tua tidak memberikan

perhatian ke anak-anaknya.

Ketidakhadiran atau tidak adanya pengawasan dari orang tua ini dapat

menjadi salah satu penyebab munculnya kenakalan remaja. Shanty, Suyahmo,

(33)

kurangnya waktu orang tua yang dikarenakan kesibukan orang tua bekerja

sehingga orang tua tidak memiliki waktu untuk memperhatikan perkembangan

remajanya, orang tua juga tidak memberikan pengawasan terkait pergaulan

remajanya. Orang tua cenderung tidak membatasi dan tidak memberikan

aturan khusus mengenai pergaulan anaknya sehingga remaja cenderung bebas

melakukan kegiatan apapun bersama dengan teman-temannya. Kesibukan

orang tua dan tidak adanya pengawasan dari orang tua maupun saudara ini

membuat peran orang tua dalam mencegah kenakalan remaja menjadi kurang

efektif. Faktor-faktor lain yang menjadi penyebab kenakalan remaja pada

keluarga buruh pabrik di Kudus adalah pengaruh lingkungan tempat tinggal,

pengaruh teman sepermainan, dan kesenangan, kepuasan, rasa penasaran, serta

rasa bangga yang dimiliki remaja ketika melakukan kenakalan.

Kesibukan dan ketidakhadiran orang tua ini juga menjadi salah satu

faktor kesenjangan nilai antar generasi. Hal ini dapat dilihat dari penelitian

yang dilakukan oleh Alfarista, Wantiyah, dan Rahmawati (2013) dimana

62,7% remaja mengatakan bahwa internet merupakan sumber informasi

mengenai perilaku seksual yang paling sering digunakan oleh remaja.

Sebanyak 69,1% remaja mengatakan alasan mereka memilih internet karena

informasi dapat dengan mudah didapatkan melalui media tersebut. Internet

sebagai media sumber informasi remaja mengenai seksualitas ini menjadi

salah satu contoh keadaan yang kurang ideal. Internet sebagai sumber

informasi yang banyak diakses ini juga menunjukkan kurangnya pengaruh

(34)

Responden dari Zuhri dan Herlina (2008) mengatakan bahwa remaja merasa

kurang nyaman jika bertanya mengenai seksualitas kepada orang tua mereka.

Orang tua sebagai orang dewasa dalam lingkungan keluarga seharusnya

menjadi sumber informasi bagi anak-anaknya. Akibatnya nilai-nilai yang

seharusnya diturunkan oleh orang tua menjadi tidak tersampaikan. Pergeseran

nilai ini membuat remaja tidak lagi menganut nilai-nilai baik yang dianut oleh

orang tuanya.

Kesibukan orang tua bekerja serta tidak adanya pengawasan dari orang

tua ini membuat remaja mengurus dirinya sendiri. Penelitian yang dilakukan

oleh Dwyer, Richardson, Hansen, Sussman, Brannon, Dent, dan Flay di San

Diego dan Los Angeles (1990) menemukan bahwa ada sekitar 67,8 % pelajar

kelas 8 yang mengurus dirinya sendiri tanpa pengawasan dari orang tua

selama beberapa waktu dalam satu minggu, 23,5 % yang mengurus diri

selama 1 sampai 4 jam per minggu, 15,7 % yang mengurus diri selama 5

sampai 10 jam per minggu, dan 28,6 % yang mengurus diri selama lebih dari

11 jam per minggu. Hasil dari penelitian ini mengatakan bahwa pelajar yang

mengurus dirinya sendiri tanpa pengawasan orang tua lebih dari 11 jam per

minggu memiliki kecenderungan untuk merasa marah, memiliki masalah

keluarga, mengalami stres, menganggap teman sebagai sumber utama yang

mempengaruhinya dan menghadiri pesta 1,5 sampai 2 kali lebih tinggi.

Richardson, Radziszewska, Dent, dan Flay (1993) yang melakukan

penelitian di Los Angeles dan San Diego memiliki hasil penelitian yang

(35)

bahwa remaja yang tidak diawasi oleh orang dewasa di rumah lebih memiliki

kemungkinan masalah perilaku dibandingkan yang mendapat pengawasan dari

orang dewasa. Akan tetapi, tidak adanya pengawasan dari orang tua tidak

begitu saja menaikkan risiko perilaku bermasalah pada remaja jika orang tua

secara konsisten mengamati kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh remaja.

Risiko masalah perilaku pada remaja akan semakin meningkat jika remaja

tidak mendapatkan pengawasan dari orang tua dan orang tua tidak secara

konsisten mengamati kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh remaja.

Berdasarkan penelitian-penelitan sebelumnya yang dilakukan di Los

Angeles dan San Diego tersebut peneliti tertarik untuk melihat apakah ada

hubungan pengawasan yang dilakukan oleh kedua orang tua bekerja di kota

besar dengan perilaku seksual remajanya. Peneliti ingin melakukan penelitian

ini di Indonesia karena peneliti melihat di budaya barat yang mementingkan

kemandirian anak saja pengawasan orang tua masih menjadi sebuah masalah

pemicu kenakalan remaja, bagaimana dengan Indonesia yang mengganggap

bahwa penting bagi orang tua untuk membangun hubungan dengan anak.

Peneliti ingin melakukan penelitian ini khususnya di kota Batam. Hal

ini dikarenakan Batam merupakan kota dengan biaya hidup tertinggi di

Indonesia berdasarkan survey BPS tahun 2007 (Aufa, Masbar, dan Nasir,

2013). Batam dengan biaya hidupnya yang tinggi menuntut kedua orang tua

untuk bekerja demi mencukupi biaya hidup keluarga. Tuntutan orang tua

(36)

waktu untuk mengawasi anak remajanya sehingga peneliti di sini ingin

meneliti persepsi remaja mengenai pengawasan dari orang tuanya.

Batam yang terkenal dengan biaya hidup yang tinggi dan angka

seksualitas serta HIV/AIDS yang juga tinggi membuat peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian di Batam. Peneliti juga melihat belum banyak penelitian

mengenai persepsi pengawasan dan seksualitas di Batam, selama ini peneliti

hanya menemukan informasi mengenai persepsi pengawasan dan seksualitas

melalui opini atau tulisan di blog maupun berita.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan permasalahan yang sudah dijabarkan di atas, maka

peneliti merumuskannya sebagai: “Apakah ada hubungan persepsi

pengawasan orang tua bekerja danperilaku seksual remaja di Batam?”

C. Tujuan Penelitian

Peneliti ingin mengetahui apakah ada hubungan persepsi pengawasan

orang tua bekerja dan perilaku seksual remaja di kota Batam.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini dapat dijadikan acuan untuk penelitian selanjutnya di

bidang Psikologi Perkembangan, khususnya yang berkaitan dengan

(37)

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi kepada orang

tua bekerja dan menjadi bahan pertimbangan mengenai pengawasan orang

tua terhadap anaknya agar dapat mencegah tingginya perilaku seksual

remaja Indonesia saat ini. Penelitian ini juga dapat menjadi acuan

informasi bagi keluarga, sekolah atau lembaga terkait lainnya untuk saran

(38)

16

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Persepsi Remaja Terhadap Pengawasan Orang Tua Bekerja

Pengasuhan merupakan tanggung jawab utama orang tua. Kamus Bahasa

Indonesia (dalam Lestari, 2012) menyebutkan pengasuhan merupakan

berbagai hal mengenai mengasuh. Lestari (2012) mengatakan bahwa

mengasuh memiliki makna menjaga / merawat / mendidik, membimbing /

membantu / melatih, memimpin / mengepalai / menyelenggarakan. Kata asuh

sendiri sering dimaknai bersama kata asah dan asih (asah-asih-asuh). Asah

atau mengasah diartikan sebagai melatih agar kemampuan seseorang yang

dilatih dapat meningkat. Asih atau mengasihi diartikan sebagai menyayangi.

Rangkaian kata asah-asih-asuh ini diartikan Lestari (2012) bahwa pengasuhan

yang sebenarnya bertujuan untuk mengembangkan kemampuan anak yang

dilakukan dengan dilandasi rasa kasih sayang dari orang tua.

Pengasuhan yang dilakukan orang tua ini juga memiliki stres pengasuhan.

Stres pengasuhan ini sendiri terjadi saat pelaksanaan tugas pengasuhan anak.

Penyebab stres pengasuhan ini dapat dilihat melalui pendekatan PCR ( parent-child-relationship). Pendekatan PCR ini membantu kita melihat stres pengasuhan yang muncul dari tiga komponen yaituparent / orang tua, child / anak, dan relationship / hubungan orang tua dan anak. Gejala stres pengasuhan yang muncul jika dilihat dari pendekatan ini adalah menurunnya

(39)

konsistennya perilaku pengasuhan, dan menarik diri sepenuhnya dari peran

pengasuhan (Lestari, 2012).

Ada dua dimensi dalam pengasuhan, yaitu demandingness dan

responsiveness. Demandingness berkaitan dengan tuntutan serta harapan orang tua ke anak, disiplin, supervisi dari orang tua dan upaya orang tua

menghadapi masalah perilaku anak. Responsiveness berkaitan dengan tanggapan orang tua ketika membimbinga anak, ketegasan sikap orang tua,

pengaturan diri, dan pemenuhan kebutuhan khusus anak. Kombinasi dari

demandingnessdan responsivenessini memunculkan empat gaya pengasuhan yang dicetuskan oleh Baumrind (dalam Lestari, 2012). Baumrind

menyebutkan gaya pengasuhan tersebut antara lain permissive, rejecting-neglecting, authoritarian, dan authoritative. Orang tua dengan gaya pengasuhan permisif cenderung memberi banyak kebebasan pada anak dan

memaklumi segala perilaku anak serta kurang menuntut tanggung jawab dan

keteraturan perilaku anak. Orang tua yang tidak peduli (rejecting-neglecting) cenderung memberikan kebebasan yang berlebihan ke anak dan tidak ada

sama sekali tanggapan dari orang tua terhadap perilaku-perilaku anak. Gaya

pengasuhan otoriter (authoritarian) dilakukan orang tua yang ingin membentuk, mengontrol, mengevaluasi perilaku anak agar sesuai dengan

aturan standar yang diterapkan orang tua. Gaya pengasuhan yang dianggap

paling baik adalah gaya pengasuhan otoritatif (authoritative), dimana orang tua mengarahkan perilaku anak secara rasional dan memberikan penjelasan

(40)

otoritatif ini mendorong anak untuk mematuhi aturan dengan kesadaran

sendiri.

Beberapa peneliti membedakan antara praktik pengasuhan dan gaya

pengasuhan. Darling dan Steinberg (dalam Lestari, 2012) menyebutkan bahwa

gaya pengasuhan merupakan konteks yang mempengaruhi kesediaan anak

untuk melakukan sosialisasi, sedangkan praktik pengasuhan berkaitan dengan

akibatan pada perilaku anak. Dishion dan McMahon (dalam Lestari, 2012)

mengkonsepkan praktik pengasuhan sebagai relasi yang dinamis yang

mencakup pemantauan, pengelolaan perilaku, dan kognisi sosial, dengan

kualitas relasi orang tua dan anak. Lestari (2012) sendiri merangkum

bentuk-bentuk perilaku pengasuhan orang tua anak adalah kontrol dan pemantauan;

dukungan dan keterlibatan; komunikasi; kedekatan; dan pendisiplinan.

1. Pengawasan (Monitoring) Orang Tua

Montemayor (2001) mendefinisikan pengawasan sebagai aktifitas yang

memungkinkan orang tua mengetahui keberadaan remaja, aktivitas yang

dilakukan, dan teman-temannya (Lestari, 2012). Lestari (2012) sendiri

menganggap pengawasan merupakan salah satu cara orang tua untuk

mengembangkan kontrol pada anak. Diclemente, Wingwood, Crosby,

Sionean, Cobb, Harrington, dan Oh (2001) mengatakan bahwa hal penting

dari pengawasan orang tua adalah persepsi remaja terhadap pengetahuan

orang tua mereka mengenai dengan siapa dan dimana remaja

menghabiskan waktu ketika remaja tidak berada di rumah ataupun di

(41)

orang tua merupakan sebuah proses yang menggambarkan keaktifan orang

tua untuk memantau remajanya, seperti mengumpulkan informasi

mengenai remaja dan supervisi orang tua. Kerr juga menambahkan bahwa

remaja juga merupakan hal penting dalam proses pengawasan orang tua,

dimana remaja dapat memutuskan informasi apa saja yang akan mereka

beritahukan kepada orang tuanya.

Dishion dan McMahon (dalam Bacchini, 2011) mendefinisikan

pengawasan orang tua sebagai perilaku-perilaku orang tua yang

melibatkan perhatian ke remajanya dan mencari tahu dimana remajanya

berada, aktivitas remaja dan adaptasi remaja. Stattin dan Kerr (dalam

Bacchini, 2011) menambahkan pengawasan yang efektif adalah

pengawasan yang dihubungkan dengan kualitas komunikasi orang tua dan

anak serta melibatkan lebih dari sekedar kontrol yang bersifat memaksa

pada perilaku remaja. Pengawasan yang dilakukan orang tua ini juga

membantu menciptakan keseimbangan di dalam hubungan keluarga dan

dukungan dalam hubungan orang tua dan anak (Ceballo dalam Bacchini,

2011).

Berdasarkan teori di atas, peneliti menyimpulkan pengawasan

orang tua bekerja merupakan tindakan kontrol yang dilakukan orang tua

bekerja dengan melibatkan dukungan, perhatian dan kualitas komunikasi

orang tua dan anak yang baik untuk mengetahui keberadaan dan kegiatan

(42)

2. Komponen Pengawasan Orang Tua

Crouter dan Head (dalam Lippold, 2013) mengatakan bahwa ada

empat komponen penting dalam pengawasan orang tua.

Komponen-komponen pengawasan orang tua tersebut, yaitu usaha aktif orang tua

untuk mengawasi, supervisi orang tua, keterbukaan remaja dalam

memberikan informasi, dan pengetahuan orang tua. Lippold (2013) dalam

penelitiannya merumuskan komponen pengawasan orang tua hanya dua,

yaitu:

a. Pengetahuan Orang Tua

Lippold (2013) mengatakan bahwa usaha aktif orang tua, supervisi

orang tua, keterbukaan remaja dalam memberikan informasi berguna

mengatasi masalah perilaku remaja jika ketiga hal tersebut mengarah

pada pengetahuan orang tua. Pengetahuan orang tua yang dimaksud di

sini adalah pengetahuan orang tua mengenai kegiatan-kegiatan yang

dilakukan anak remajanya. Crouter dan Head (dalam Lippold, 2013)

mengatakan bahwa orang tua yang memiliki pengetahuan mengenai

kegiatan yang dilakukan remajanya lebih memiliki struktur untuk

mencegah remaja dari pengaruh perilaku menyimpang sebaya.

Usaha aktif orang tua untuk mengawasi remaja ini menjadi tidak

berguna ketika orang tua hanya bertanya tetapi tidak mendengarkan

jawaban yang diberikan remaja atau juga ketika remaja menghindari

pengawasan dari orang tuanya. Usaha aktif orang tua yang tidak

(43)

remajanya sehingga membuat remaja merasa terkekang atau diawasi.

Pengetahuan orang tua yang sebenarnya tidak selalu bertujuan sebagai

pengawasan yang bersifat melindungi atau mengekang remaja.

b. Kualitas Hubungan Orang Tua dan Remaja

Darling dan Steinberg (dalam Lippold, 2013) mengatakan bahwa

kualitas hubungan orang tua dan anak juga mendukung pengaruh

tindakan orang tua pada perilaku remaja. Hubungan yang hangat dan

mendukung akan membuat orang tua lebih mendengarkan remaja

ketika remaja menceritakan atau memberikan informasi mengenai

kegiatannya. Hubungan yang hangat dan mendukung ini juga

meningkatkan pengetahuan orang tua mengenai kegiatan remajanya

dalam suasana lingkungan yang positif dalam keluarga. Stattin dan

Kerr (dalam Bacchini, 2011) juga menyetujui bahwa pengawasan yang

efektif berkaitan dengan kualitas komunikasi orang tua anak dan

melibatkan lebih dari sekedar pengawasan yang bersifat memaksa

terhadap anak.

Pengawasan orang tua tidak hanya berkaitan dengan kualitas

komunikasi orang tua anak, melainkan juga dukungan dari keluarga

yang menciptakan keseimbangan dalam hubungan keluarga (Ceballo

dalam Bacchini, 2011). Menurut Garbarino (dalam Bacchini, 2011)

kualitas komunikasi yang baik akan memunculkan kehangatan dan

dukungan keluarga yang membantu remaja untuk mengatasi

(44)

Lippold, 2013) menemukan bahwa hubungan antara keterbukaan dan

pengetahuan menjadi lebih kuat di dalam keluarga yang memiliki

hubungan yang hangat dibanding dalam hubungan yang tegang.

Kehangatan dan dukungan keluarga ini juga memberikan kenyamanan

untuk bercerita dan persepsi kepada remaja bahwa ada orang-orang

yang perhatian dan memperhatikan mereka. Hal ini akan membuat

remaja berpikir kembali sebelum melakukan perilaku yang tidak

diinginkan.

3. Orang Tua Bekerja

Bureau of Labor Statistics (dalam Papalia, 2008) menyebutkan bahwa hampir dua dari tiga keluarga di Amerika Serikat yang memiliki anak usia

di bawah 18 tahun merupakan keluarga dengan dua sumber pemasukan.

Santrock (2014) juga mengatakan bahwa saat ini tidak hanya ayah saja

yang bekerja di dalam keluarga, tetapi banyak juga para ibu yang ikut

bekerja. Fenomena ibu bekerja ini menimbulkan pertanyaan alasan ibu

bekerja yang akhirnya dibahas oleh Jones, McGrattan, dan Manuelli

(dalam Papalia, 2008). Jones, McGrattan, dan Manuelli (dalam Papalia,

2008) menemukan bahwa alasan wanita juga ikut bekerja adalah

meningkatnya biaya hidup; adanya perubahan dalam perceraian, keamanan

sosial, peraturan perpajakan; adanya perubahan sikap terhadap peran

(45)

mengurangi jurang pendapatan antara laki-laki dan wanita; serta keinginan

untuk mendapatkan penghasilan tambahan.

a. Pengaruh Orang Tua Bekerja

Kedua orang tua yang sama-sama bekerja memiliki tantangan yang

memunculkan keuntungan dan kerugian tersendiri (Papalia, 2008).

Dampak positif yang dapat diperoleh jika kedua orang tua bekerja

antara lain:

1) Pemasukan dari kedua pihak meningkatkan status ekonomi

keluarga.

2) Relasi yang lebih setara antara suami (ayah) dan istri (ibu)

3) Kesehatan yang lebih baik untuk kedua pasangan.

4) Harga diri yang lebih besar bagi keduanya.

5) Relasi yang lebih rapat antara ayah dan anak-anaknya.

Dampak negatif yang mungkin muncul atau terjadi adalah:

1) Munculnya konflik antara pekerjaan dan keluarga.

2) Kemungkinan adanya rivalitas antar pasangan.

3) Konflik orang tua dan anak yang meningkat akibat tekanan fisik

dan psikologis yang didapatkan orang tua bekerja. Ibu yang merasa

memiliki beban berlebihan cenderung kurang memperhatikan dan

menerima anaknya sehingga seringkali anak menunjukkan masalah

perilakunya. Ketika ibu merasa tertekan, akan ada kecenderungan

(46)

4) Orang tua bekerja harus mempertimbangkan mengenai jadwal dan

stres kerja sebagai efek dari bekerja (Santrock, 2014). Situasi kerja

yang buruk, stres kerja serta jam kerja yang panjang dan

melelahkan dapat membuat orang tua menjadi cepat marah ketika

berada di rumah. Selain itu, situasi ini juga dapat membuat

pengasuhan ataupun pengawasan orang tua terhadap anak menjadi

kurang efektif.

4. Persepsi Remaja Terhadap Pengawasan (Monitoring) Orang Tua Bekerja

Persepsi menurut Huffman, Verno, dan Vernoy (2000) merupakan

sebuah proses dimana individu memilih, mengorganisasikan,

menginterpretasikan sebuah data atau stimulus yang diterima menjadi

sebuah representasi mental yang berguna bagi dunia. Walgito (2010)

mengatakan bahwa persepsi merupakan sebuah proses yang terintegrasi di

dalam individu dimana individu mengorganisasikan, menginterpretasikan

stimulus yang diterima melalui indera. Persepsi ini membantu individu

menyadari keadaan sekitar maupun keadaan dirinya sendiri. Persepsi ini

bersifat individual. Hal ini dikarenakan perasaan, kemampuan berpikir dan

pengalaman individu yang berbeda dengan individu lainnya.

Berdasarkan penjelasan mengenai persepsi di atas, peneliti

menyimpulkan bahwa yang dimaksud persepsi remaja terhadap

pengawasan orang tua bekerja adalah proses seorang remaja untuk

(47)

yang dilakukan orang tua bekerja dengan melibatkan dukungan, perhatian

dan kualitas komunikasi orang tua dan anak yang baik untuk mengetahui

keberadaan dan kegiatan anak remajanya. Tidak hanya orang tua yang

memegang peranan penting dalam pengawasan orang tua, melainkan

remaja juga memiliki peran penting dalam memilah informasi mana yang

akan mereka beritahukan kepada orang tua.

B. Perilaku Seksual

1. Pengertian Perilaku Seksual

Perilaku seksual merupakan segala tingkah laku yang didorong

oleh hasrat seks, baik dengan lawan jenis ataupun sesama jenis (Sarwono,

2012). Rathus, Nevid, dan Rathus (2007) mengatakan bahwa perilaku

seksual merupakan aktivitas yang melibatkan tubuh dalam ekspresi erotis

atau perasaan kasih sayang, perilaku seksual ini dapat melibatkan

repoduksi atau hanya stimulasi sensual. Sarwono (2012) menyebutkan

bahwa objek seksual ini tidak hanya orang lain, melainkan dapat juga

berupa khayalan atau diri sendiri. Peneliti sendiri menarik kesimpulan

bahwa perilaku seksual merupakan kegiatan fisik yang bersifat erotis yang

didorong oleh hasrat seksual. Perilaku seksual ini dapat dilakukan dengan

pasangan ataupun hanya diri sendiri dengan tujuan memuaskan hasrat

(48)

2. Bentuk Perilaku Seksual

Rathus, Nevid, dan Rathus (2007) membagi bentuk perilaku

seksual menjadi 2 bagian, yaitu perilaku seksual yang dilakukan oleh diri

sendiri dan perilaku seksual yang dilakukan dengan pasangan.

a. Diri Sendiri

1) Masturbasi

Masturbasi merupakan salah satu ekspresi seksual seseorang yang

tidak melibatkan orang lain. Masturbasi ini disebut juga sebagai

merangsang seksual diri sendiri (Sexual Self-Stimulation).

Seseorang yang melakukan masturbasi mendapatkan kepuasan

seksual dengan menyentuh alat genitalnya, misalnya dengan

guling, ataupun dildo.

b. Orang Lain

1) Foreplay

Foreplay merupakan kegiatan-kegiatan seksual yang bertujuan untuk membangkitkan gairah seksual sebelum bersenggama.

Foreplay dapat berupa berciuman sampai saling menyentuh alat kelamin. Dalam beberapa budaya, berciuman dan menyentuh alat

kelamin ini tidak hanya ditujukan sebagaiforeplay, melainkan juga sebagai sebuah pengalaman atau kegiatan itu sendiri.

2) Kissing

(49)

identik dengan dua bibir yang saling bersentuhan. Ciuman dibagi

menjadi dua, yaitu:

a) Simple Kissing

Simple kissingdilakukan dengan mulut tertutup dan menyentuh bibir pasangan menggunakan bibir atau lidah. Simple kissing

ini dapat juga dilakukan dengan menggigit bibir bawah

pasangan.

b) Deep Kissing

Deep kissing atau yang sering juga disebut French kiss. Deep kissing / French kiss ini dilakukan dengan mulut terbuka dan lidah masuk ke dalam mulut.

3) Touching

Menyentuh pasangan menggunakan tangan atau anggota tubuh

lainnya dapat menaikkan gairah seksual seseorang, misalnya

merangsang gairah seksual dengan memegang penis, vagina, atau

area lainnya.

4) Stimulation of the Breasts

Merangsang payudara dapat meningkatkan gairah seksual untuk

kedua jenis kelamin, laki-laki maupun perempuan. Akan tetapi,

kebanyakan laki-laki heteroseksual lebih memilih merangsang

payudara wanita daripada payudaranya. Merangsang payudara ini

dapat dilakukan menggunakan tangan ataupun mulut dan areanya

(50)

5) Oral-Genital Stimulation

Merangsang gairah seksual menggunakan mulut pada laki-laki

disebut juga fellatio sedangkan pada perempuan disebut

cunnilingus. Fellatiodilakukan dengan cara memasukkan penis ke dalam mulut lalu melakukan gerakan naik turun, atau pun dengan

menjilat penis dan buah zakar.Cunnilingus dilakukan dengan cara mencium atau menjilat vagina.

6) Sexual Intercourse

Sexual Intercourse atau bersenggama adalah kegiatan seksual dimana penis masuk ke dalam vagina.

3. Faktor Penyebab Perilaku Seksual

Sarwono (2012) mengatakan bahwa ada beberapa faktor remaja

melakukan hubungan seks, yaitu:

a. Meningkatnya Libido Seksualitas

Remaja mengalami perubahan-perubahan hormonal yang

meningkatkan libido seksualitas remaja. Dimana hasrat remaja ini

perlu disalurkan dalam bentuk perilaku seksual tertentu.

b. Penundaan Usia Perkawinan

Seiring meningkatnya tingkat pendidikan masyarakat Indonesia,

usia perkawinan menjadi tertunda karena adanya norma dan hukum

yang berlaku. Semakin tinggi tingkat pendidikan masyarakat Indonesia

membuat tuntutan dari orang tua semakin tinggi juga. Orang tua

(51)

yang baik, serta persiapan mental sebelum memasuki perkawinan. Ada

juga undang-undang di Indonesia yang mengatur mengenai batasan

usia perkawinan adalah yaitu Undang-Undang No. 1/1974 Pasal 7 ayat

1 yang berbunyi “Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah

mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16

tahun”.

J.T. Fawcett (1973) mengatakan beban (cost) dan hambatan (barriers) juga menjadi faktor tertundanya usia perkawinan dari sisi individunya. Perkawinan menjadi beban bagi individu karena

hilangnya kebebasan dan mobilitas pribadi, bertambahnya kewajiban

dan usaha, serta bertambahnya bebas ekonomi. Sedangkan yang

dianggap hambatan adalah kebiasaan dan norma yang menyulitkan

perkawinan, adanya piilihan lain selain menikah, hukum yang

dianggap mempersulit perkawinan maupun perceraian, adanya

keserbabolehan seksual, serta undang-undang yang membatasi usia

minimum perkawinan.

c. Tabu atau Larangan

Seksualitas masih menjadi hal yang tabu di Indonesia, dimana

norma agama masih melarang seseorang melakukan hubungan seks pra

nikah. Psikoanalisis melihat seksualitas dianggap tabu karena seks

merupakan dorongan yang bersumber dari “id”. Dorongan-dorongan

(52)

sehingga dorongan ini harus ditekan dan tidak boleh dimunculkan ke

orang lain dengan tingkah laku terbuka.

d. Kurangnya Informasi tentang Seks

Seksualitas yang masih dianggap tabu ini juga berpengaruh pada

sulitnya remaja atau bahkan orang tua untuk berdiskusi mengenai

seksualitas. Remaja yang tidak mendapatkan penjelasan mengenai

seksualitas dari orang tua maupun tenaga pendidik membuat remaja

mencari informasi melalui media massa lain. Media massa ini dipilih

karena mudahnya akses untuk mencari informasi, walaupun belum

tentu informasi tersebut benar.

e. Pergaulan Semakin Bebas

Pada tahun 1987 pergaulan remaja antar jenis kelamin di Jakarta

menunjukkan bahwa remaja dalam berpacaran selain berpegangan

tangan dengan pacarnya, mereka juga berciuman, meraba payudara,

memegang alat kelamin, serta berhubungan seks. Rex Forehand (dalam

Sarwono, 2012) mengatakan bahwa pengawasan dari orang tua

dibutuhkan agar dapat memantau pergaulan anak.

4. Karakteristik Remaja yang Aktif Secara Seksual

Berk (2012) mengatakan aktivitas seksual remaja seringkali dikaitkan

dengan beberapa hal di bawah ini, yaitu:

a. Pengaruh perkembangan diri

Pengaruh perkembangan dari diri ini meliputi kontrol pribadi yang

(53)

b. Pengaruh keluarga

Kondisi keluarga yang mempengaruhi aktivitas seksual remaja

meliputi perceraian keluarga, keluarga dengan orang tua tunggal,

tinggal dengan keluarga besar, keterlibatan dalam aktivitas keagamaan,

pengawasan lemah dari orang tua, hubungan komunikasi anak– orang

tua yang buruk dan saudara yang aktif secara seksual.

c. Teman sebaya

Teman sebaya yang juga aktif secara seksual dapat memicu remaja

untuk semakin melakukan aktivitas seksualnya.

d. Pendidikan

Prestasi buruk di sekolah dan kecenderungan untuk melakukan

tindakan yang melanggar norma.

C. Remaja

1. Pengertian Remaja

Remaja merupakan periode transisi masa perkembangan antara

masa kanak-kanak dengan masa dewasa yang melibatkan

perubahan-perubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional. Perubahan-perubahan-perubahan

yang dialami ini mulai dari perkembangan fungsi seksual hingga proses

berpikir abstrak dan kemandirian (Santrock, 2007).

(54)

a. Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan

tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan

seksual

b. Individu mengalami perkembangan psikologis dan pola indentifikasi

dari kanak-kanak menjadi dewasa

c. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh

kepada keadaan yang relatif lebih mandiri (Muangman, 1980: 9)

WHO menetapkan batas usia remaja adalah 10–20 tahun, dimana usia

10-14 tahun merupakan remaja awal dan usia 15-20 tahun remaja akhir.

Perserikatan Bangsa-Bangsa menetapkan usia 15-24 tahun sebagai usia

pemuda (Sarwono, 2012). Sarwono sendiri mengatakan bahwa batasan

usia remaja Indonesia adalah usia 11-24 tahun dan belum menikah.

Hurlock (1955) menuliskan bahwa usia remaja dimulai dari usia 13 atau

14 tahun hingga 18 tahun. Papalia (2008) rentang usia yang lebih luas dari

Hurlock, yaitu dimulai dari 11 atau 12 tahun hingga sekitar 20 tahun.

Steinberg (2002) dan Santrock (2007) juga memiliki batasan usia yang

hampir serupa dengan Papalia. Santrock (2007) menuliskan bahwa batasan

usia remaja dimulai dari usia 10 tahun hingga 21 tahun, dimana

pembagiannya adalah 10 –13 tahun termasuk remaja awal; 14 - 17 tahun

adalah remaja pertengahan; dan 18 - 21 tahun termasuk remaja akhir.

Steinberg (2002) juga memiliki pembagian usia remaja yang hampir sama

dengan Santrock yaitu remaja awal 10 –13 tahun; remaja pertengahan 14

(55)

Berdasarkan teori-teori di atas, peneliti merumuskan remaja sebagai

sebuah proses peralihan dan berkembangnya individu yang terkait dengan

kondisi biologis, kognitif, psikologis, serta sosio ekonomi menjadi lebih

mandiri. Peneliti juga mengambil batasan usia remaja rata-rata yang

dikemukakan para ahli yaitu usia 11 tahun hingga 21 tahun dan belum

menikah.

2. Aspek Remaja

Berk (2012) mengatakan bahwa ada beberapa aspek dalam perkembangan

remaja yang perlu diperhatikan, yaitu:

a. Perkembangan Fisik

Meningkatnya hormon pertumbuhan dan hormon seks pada remaja

membuat pertumbuhan badan remaja menjadi cukup pesat.

Pertumbuhan fisik remaja ini berkaitan dengan pertumbuhan tubuh

secara keseluruhan dan kematangan ciri seksual remaja. Pada remaja

laki-laki, pertumbuhan tubuhnya meliputi pertumbuhan otot, ukuran

tubuh, serta pembesaran dada sementara, sedangkan ciri seksualnya

meliputi penis dan testis yang membesar, perubahan suara,

pertumbuhan bulu ketiak, rambut wajah dan tubuh, serta mengalami

keluarnya sperma untuk pertama kalinya yang disebutspermacheatau mimpi basah. Pada remaja perempuan, pertumbuhan fisik ini terlihat

dengan menumpuknya lemak pada tubuh remaja dan mulai

terbentuknya bentuk tubuh yang feminin. Ciri seksual pada remaja

(56)

kelamin, bulu ketiak, berkembangnya payudara, rahim dan vagina

menjadi matang, serta mengalami menstruasi (menarche) untuk pertama kalinya. Perubahan fisik pada remaja ini dapat menjadi

pemicu ketertarikan antar lawan jenis.

Perkembangan fisik pada remaja ini dipengaruhi oleh status

ekonomi sosial remaja, dimana remaja yang tinggal di lingkungan

berkecukupan akan mengalami pubertas lebih awal. Perkembangan

fisik remaja juga dipengaruhi oleh asupan gizi yang didapatkan remaja,

keadaan konflik di keluarga, maupun berat badan yang dimiliki

remaja, apakah remaja tersebut mengalami obesitas atau rajin

berolahraga.

b. Perkembangan Kognitif

Piaget (dalam Berk, 2012) mengatakan bahwa remaja mulai

memasuki tahap operasional formal, dimana remaja mulai berpikir

abstrak, sistematis dan ilmiah. Perkembangan kognitif dimasa remaja

menjadikan remaja mampu melakukan penalaran hipotetis deduktif,

dimana remaja mencari kemungkinan-kemungkinan atau hipotesis dan

mampu menarik kesimpulan dari masalah-masalah yang ditemuinya.

Remaja juga memiliki kemampuan pemikiran proposisional, dimana

remaja mampu mengevaluasi logika proposisi atau pernyataan verbal

tanpa mengacu pada kenyataan.

Kemampuan remaja untuk merefleksikan pemikiran mereka

(57)

Piaget menjadikan remaja lebih memikirkan diri mereka sendiri.

Egosentrisme remaja ini memunculkan citra yang keliru dari remaja

tentang hubungan antara diri dan orang lain. Elkind dan Bowen (dalam

Berk, 2012) menyatakan distorsi kognitif yang pertama adalah

Imaginary Audience dimana remaja meyakini bahwa dirinya menjadi fokus perhatian orang lain dan semua orang memantaunya. Hal ini

membuat remaja memperhatikan secara detail mengenai penampilan

dirinya dan menjadi sensitif terhadap kritik publik. Distorsi kognitif

yang kedua adalah Personal Fabel dimana remaja merasa dirinya penting dan istimewa karena remaja merasa diperhatikan oleh orang

lain. Merasa dirinya menjadi orang yang penting dan istimewa ini

membuat remaja menganggap dirinya berkuasa.

Perasaan berkuasa ini memprediksikan penghargaan diri dan

penyesuaian diri yang positif pada remaja. Merasa mampu dan merasa

dirinya penting ini dapat membantu remaja menghadapi tantangan

yang dihadapinya. Akan tetapi, perasaan remaja akan keunikan dirinya

dapat berhubungan dengan perasaan depresi dan pikiran untuk bunuh

diri, serta dapat menghambat terbentuknya hubungan akrab dan

dukungan sosial. Merasa diri unik ini jika bertemu dengan kepribadian

yang senang mencari sensasi akan membuat remaja semakin merasa

dirinya istimewa dan kebal terhadap perilaku berisiko pada remaja.

Remaja yang merasa diri unik dan senang mencari sensasi, menjadikan

(58)

lebih sering mengkonsumsi obat-obatan dan alkohol, serta melakukan

tindakan yang lebih nakal dari teman-temannya (Grenee, dalam Berk,

2012).

c. Perkembangan Sosial

Erikson (dalam Berk, 2012) menyatakan bahwa identitas

merupakan salah satu langkah penting remaja menuju sosok dewasa

yang produktif dan berguna. Identitas ini merupakan pendefinisian

mengenai dirinya sendiri. Remaja mengalami krisis identitas dalam

proses pencarian identitasnya yaitu remaja mencoba banyak alternatif

sebelum menetapkan nilai dan tujuan hidupnya. Setelah remaja

menetapkan nilai dan tujuan hidupnya, identitasnya ini akan terus

disempurnakan di masa dewasa saat orang menilai komitmen dan

pilihannya dahulu. Erikson mengatakan konflik psikologis di masa

remaja sebagai konflik identitas versus kegamangan peran. Konflik ini

terjadi bila masyarakat membatasi remaja pada pilihan yang tidak

sejalan dengan kemampuan dan kemauan remaja.

Remaja mengalami perubahan konsep diri dalam memahami

dirinya sendiri. Perubahan kognitif remaja membuat remaja mampu

menggabungkan watak-watak yang mereka bangun ke dalam satu

sistem yang rapi. Remaja kebanyakan lebih menekankan pada

kebajikan sosial karena sifat-sifat ini mencerminkan kepedulian remaja

(59)

remaja tidak hanya terjadi pada perubahan konsep diri melainkan juga

perubahan dalam penghargaan diri remaja.

Harga diri pada remaja akan meningkat jika remaja mampu

menyesuaikan dirinya dengan baik. Remaja yang memiliki harga diri

yang positif atau meningkat membuat remaja menjadi seorang yang

optimis, memiliki kendali atas masa depan, percaya diri dan mampu

mengatasi masalah hidup. Remaja yang memiliki harga diri positif

juga menjadi lebih matang, merasa mampu, rupawan, dan lebih

menarik dibanding dulu. Hal-hal ini yang membuat remaja mudah

bergaul dan senang menjalin hubungan dengan teman sebaya. Remaja

yang memiliki penghargaan diri rendah di bidang akademik akan

cenderung cemas dan tidak fokus, serta hubungan remaja dengan

teman sebaya yang negatif menjadikan remaja berpeluang memiliki

kecemasan dan depresif. Sikap antisosial dan agresif pada remaja ini

juga dapat disebabkan oleh ketidakpuasan remaja pada hubungannya

dengan orang tua.

Identitas remaja ini dipengaruhi oleh teman sebaya, aktivitas

sekolah dan komunitas, budaya dan sosial, serta rasa aman dari

keluarga. Remaja yang merasa terikat pada orang tua tetapi juga bebas

menyuarakan pendapat membuat mereka mampu mencapai identitas.

Remaja yang tertutup memiliki ikatan erat dengan orang tua tetapi

kurang memiliki kesempatan untuk berpisah baik-baik dengan orang

Gambar

Tabel 4.13. Hasil Uji Linearitas Hubungan Antar Variabel..............................80
Gambar 4.1.Diagram Data Penelitian Menurut Jenis Kelamin.......................72
Tabel 3.1.Blueprint Skala Persepsi Pengawasan Orang Tua Bekerja (Sebelum Uji
Tabel 3.2.Sistem Skoring untuk Pernyataan Favorable dan Unfavorable
+7

Referensi

Dokumen terkait

Mikrofilaria hidup di dalam aliran darah dan saluran pembuluh limfe, dan sampai saat ini belum jelas sumber nutrisi cacing mikrofilaria, apakah cacing mikrofilria

FAKULTAS PERTANIAN PROGRAM STUDI AGRIBISNIS. Mata Kuliah :

Dari pengujian VSM dapat dilihat peningkatan substitusi Ni dan Al yang membuat sifat magnet yang awalnya memiliki pengaruh sifat magnet yang tinggi (hard magnetic) berhasil dibuat

Peningkatan tersebut diperoleh karena pada tindakan siklus II seluruh siswa dapat mengikuti seluruh kegiatan pembelajaran menulis pantun dengan teknik Think Pair Share melalui kartu

The proportion of parental expenditure on education consumed by schools fees, defined as any contribution paid directly to the schools or school committees,

Aturan tenang pengadaan ini harus difahami oleh semua pihak yang tekait dengan proses pengadaan tersebut, tidak terkecuali pihak penyedia jasa. Penyedia jasa semestinya

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuji pada Tabel 1 dapat dijelaskan bahwa sistem dapat berfungsi dengan baik, dapat mendeteksi nyala api pada lilin sejauh

Untuk hasil uji reliabilitas instrumen dapat dilihat pada tabel berikut ini:..