SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana pada FISIP UPN “Veteran” Jawa Timur
Disusun Oleh :
Fariz Ihsan N. NPM. 0541010008
YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL”VETERAN”
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA
dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan penelitian
skripsi dengan judul “Strategi Satuan Lalu Lintas Polisi Wilayah Kota Besar
Surabaya Dalam Menciptakan Masyarakat Santun Berlalu Lintas Di Jalan”.
Penelitian skripsi ini dibuat dalam rangka memenuhi persyaratan kurikulum
pada Program Studi Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
Dalam tersusunnya penelitian skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih
sebesar-besarnya kepada Bapak Drs. Ananta Pratama, MSi sebagai dosen pembimbing
yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan kepada penulis.
Disamping itu penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Dra.Ec.Hj.Suparwati,M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik.
2. Bapak Dr. Lukman Arif, MSi selaku Ketua Program Studi Administrasi Negara.
3. Ibu Dra. Diana Hertati, MSi selaku sekertaris Program Studi Administrasi
Negara.
4. Bapak dan Ibu dosen Program Studi Administrasi Negara yang telah memberikan
bekal dalam proses perkuliahan di Program Studi Administrasi Negara
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
v
6. Dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang telah
banyak membantu penulis dalam penyusunan proposal penelitian ini.
Dalam penyusunan penelitian skripsi ini penulis sangat menyadari masih ada
kekurangan-kekurangan, baik dari segi teknis maupun materiil penyusunannya. Oleh
karena itu, penulis senantiasa bersedia dan terbuka dalam menerima saran dan kritik
dari semua pihak yang dapat menambah kesempurnaan penelitian ini.
Akhir kata penulis mengharapkan semoga hasil penelitian skripsi ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak.
Surabaya, Juni 2010
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI ii HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN SKRIPSI ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR GAMBAR ... x
ABSTRAK ... ... xi
BAB I. Pendahuluan ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 11
1.3 Tujuan Penelitian ... 12
1.4 Kegunaan Praktek Magang ... 12
BAB II. Kajian Pustaka ... 14
2.1 Penelitian Terdahulu ... 14
2.2Landasan Teori ... 16
2.2.1 Strategi Kebijakan... 16
2.2.1.1 Pengertian Strategi... 16
2.2.1.2 Manajemen Strategik... 18
2.2.1.3 Strategi Lawan Taktik ... 19
2.2.2.3 Tujuan Kebijakan... 23
2.2.3 Implementasi Kebijakan ... 24
2.2.3.1 Pengertian Implementasi Kebijakan ... 24
2.2.3.2 Sukses dan Gagalnya Pelaksanaan Kebijakan ... 26
2.2.3.3 Model - Model Implementasi Kebijakan ... 28
2.2.4 Evaluasi Kebijakan ... 31
2.2.5 Pengawasan Kebijakan ... 33
2.2.5.1 Pengertian Pengawasan... 33
2.2.5.2 Tujuan dan Fungsi Pengawasan... 34
2.2.5.3 Macam Pengawasan... 37
2.2.5.4 Proses Pengawasan ... 39
2.2.6 Reward ... 42
2.2.7 Punishment... 45
2.2.8 Lalu Lintas ... 48
2.2.8.1 Dasar Hukum Mengenai Program Keamanan Dan Keselamatan Lalu Lintas ... 48
2.2.8.2 Strategi Satuan Lalu Lintas Polwiltabes Surabaya.. 50
2.3 Kerangka Berpikir... 51
BAB III Metode Penelitian ... 52
3.1 Jenis Penelitian... 52
3.5 Pengumpulan Data ... 56
3.6 Analisis Data ... 59
3.7 Keabsahan Data ... 61
BAB IV Hasil dan Pembahasan ... 65
4.1 Gambaran Objek Penelitian dan Penyajian Data ... 65
4.1.1 Sejarah Satuan Polisi Lalu Lintas... 65
4.1.2 Lokasi Satlantas Polwiltabes Kota Surabaya ... 73
4.1.3 Visi dan Misi Satlantas Polwiltabes Kota Surabaya ... 73
4.1.4 Struktur Organisasi, Deskripsi Jabatan dan Tugas Satlantas Polwiltabes Kota Surabaya ... 75
4.1.5 Komposisi Petugas Satlantas Polwiltabes Kota Surabaya ... 84
4.2 Hasil Penelitian ... 86
4.2.1 Strategi Satlantas Polwiltabes Kota Surabaya... 87
4.2.1.1 Pengaturan Arus Lalu Lintas ... 91
4.2.1.2 Reward (Penghargaan)... 96
4.2.1.3 Punishment (Sanksi) ... 101
4.3 Pembahasan ... 104
4.3.1 Strategi Satlantas Polwiltabes Kota Surabaya... 104
4.3.1.1 Pengaturan Arus Lalu Lintas ... 105
5.1 Kesimpulan ... 120
5.2 Saran ... 121
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
Tabel 1.1
Pertumbuhan Kendaraan Di Kota Surabaya ... 8
Table 1.2
Jumlah Kecelakaan Lalu Lintas Di Kota Surabaya ... 9
Tabel 1.3
Faktor Penyebab Terjadinya Kecelakaan ... 9
Tabel 4.1
Kuat Personil Polri Satlantas Polwiltabes Surabaya ... 84
Tabel 4.2
Data Personil Organisasi Satlantas Polwiltabes Surabaya... 85
Tabel 4.3
Data Kecelakaan di Kota Surabaya Tahun 2007-2009 ... 89
x
Model Proses Implementasi Kebijaksanaan ... 30
Gambar 2
Kerangka Berpikir ... 51
Gambar 3
Analisis Interaktif Menurut Miles dan Hubermen ... 61
Gambar 4
Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif dengan menggunakan metode kualitatif. Penelitian ini didasarkan pada adanya fenomena tentang jumlah kecelakaan pengendara roda dua (2) di kota Surabaya yang relatif tinggi dan faktor-faktor penyebab terjadinya kecelakaan disebabkan oleh faktor manusia karena kurangnya pengetahuan dari masyarakat pengguna jalan khususnya pengendara roda dua. Dan fokus dari penelitian ini ada 3 yaitu pengaturan arus lalub lintas, reward dan punishment.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk strategi yang diterapkan oleh Satlantas Polwiltabes Kota Surabaya di dalam menciptakan masyarakat santun berlalu lintas di jalan dan untuk mengetahui keberhasilan strategi Satlantas Polwiltabes Kota Surabaya di dalam menciptakan masyarakat santun di jalan.
Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder, dimana sumber datanya berasal dari key person dan informan yang ditentukan dengan teknik snow ball selain itu data juga diperoleh dari sumber tertulis. Adapun teknik pengumpulan datanya adalah dengan metode wawancara, observasi dan dokumentasi. Dimana analisis datanya menggunakan analisis kualitatif yakni meliputi reduksi data, penyajian data dan menarik kesimpulan. Dengan teknik keabsahan datanya meliputi derajat kepercayaan, keteralihan, kebergantungan dan kepastian.
Hasil dari penelitian ini antara lain adalah dalam pelaksanaan pengaturan arus lalu lintas, Satlantas Polwiltabes kota Surabaya sudah cukup baik namun kendala yang terjadi di lapangan pada saat ini adalah kurangnya jumlah personil dan alat komunikasi yang ada, sehingga di dalam pengaturan arus lalu lintas kurang adanya koordinasi yang jelas antara personil satu dengan lainnya, namun dengan komitmen yang ada pihak polisi lalu lintas tetap konsisten dan bekomitmen untuk menjaga kualitas yang ada guna menuju cita-cita yang diinginkan yaitu menciptakan masyarakat santun berlalu lintas di jalan. Dan untuk pelaksanaan reward berdasarkan pengamatan dapat disimpulkan bahwa kegiatan reward berjalan cukup efektif, namun dampak yang diberikan hanya sebagian kecil guna menciptakan masyarakat santun berlalu lintas di jalan. Dan untuk pelaksanaan punishment seharusnya cukup efektif namun kekurangannya berada ditangan petugas Satlantas Polwiltabes kota Surabaya yang kurang tegas di dalam menegakkan aturan yang ada.
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan strategi oleh Satlantas Polwiltabes Kota Surabaya harus lebih dievaluasi kembali dan hasilnya jika ditinjau sudah cukup baik walaupun masih ada kekurangan-kekurangan.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Masalah
Undang-undang Nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang 2005-2025 menggariskan delapan sasaran pokok sebagai
ukuran tercapainya Indonesia yang maju, mandiri, dan adil. Salah satu sasaran
pokok tersebut adalah terwujudnya Indonesia sebagai negara kepulauan yang
mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional yang ditandai
antara lain oleh terbangunnya jaringan sarana dan prasarana transportasi
sebagai perekat semua pulau dan kepulauan Indonesia. Sementara itu salah
satu dari delapan arah pembangunan jangka panjang tahun 2005-2025 adalah
terwujudnya bangsa Indonesia yang berdaya saing tinggi antara lain hanya
dapat direalisasikan melalui pembangunan transportasi yang mampu
mendukung kegiatan ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan. Transportasi
seperti itu hanya dapat diwujudkan melalui pembangunan jaringan
infrastruktur dan pelayanan multimoda dan antar moda dengan pendekatan
pengembangan wilayah sehingga tercapai pemerataan pembangunan dan
pertumbuhan ekonomi nasional.
Transportasi jalan raya sebagai salah satu moda transportasi merupakan
sarana yang sangat penting dan strategis dalam kehidupan masyarakat, sejalan
dengan meningkatnya kebutuhan akan jasa angkutan bagi mobilitas orang,
dikembangkan lalu lintas dan angkutan jalan yang ditata dalam satu kesatuan
sistem, dilakukan dengan mengintegrasikan dan mendinamisasikan
unsur-unsurnya yang terdiri jaringan transportasi jalan, kendaraan beserta
pengemudinya, serta peraturan-peraturan, prosedur dan metode sedemikian
rupa sehingga terwujud suatu totalitas yang utuh, berdayaguna dan
berhasilguna.
Pembangunan menuju kesejahteraan untuk seluruh rakyat
keberhasilannya ditentukan berbagai faktor dan bukan semata-mata karena
tersedianya dana. Lingkup permasalahan kesejahteraan ini semakin kompleks
baik karena adanya faktor-faktor struktur penduduk, maupun faktor-faktor
yang ditumbuhkan oleh intervensi dan inovasi pembangunan. Salah satu
faktor dominannya adalah pembenahan di dalam sektor lalu lintas.
Lalu Lintas mempunyai peran strategis dalam mendukung
pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan
kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagai bagian dari sistem
transportasi nasional. Lalu Lintas harus dikembangkan potensi dan perannya
untuk mewujudkan keamanan, kesejahteraan, ketertiban berlalu lintas dalam
rangka mendukung pembangunan ekonomi dan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, otonomi daerah, serta akuntabilitas
Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 pembinaan bidang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan dilaksanakan secara bersama-sama oleh semua
instansi terkait (stakeholders) sebagai berikut:
1) Urusan pemerintahan di bidang prasarana Jalan, oleh kementerian yang
bertanggung jawab di bidang Jalan;
2) Urusan pemerintahan di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan, oleh kementerian yang bertanggung jawab di bidang
sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
3) Urusan pemerintahan di bidang pengembangan industri Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan, oleh kementerian yang bertanggung jawab di bidang
industri;
4) Urusan pemerintahan di bidang pengembangan teknologi Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan, oleh kementerian yang bertanggung jawab di bidang
teknologi; dan
5) Urusan pemerintahan di bidang registrasi dan identifikasi Kendaraan
Bermotor dan Pengemudi, Penegakan Hukum, Operasional Manajemen
dan Rekayasa Lalu Lintas, serta pendidikan berlalu lintas oleh Kepolisian
Negara Republik Indonesia.
Pembagian kewenangan pembinaan tersebut dimaksudkan agar tugas
dan tanggung jawab setiap pembina bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
terlihat transparan dan kondusif sehingga penyelenggaraan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan dapat terlaksana dengan efektif dan efisien, serta dapat
Salah satu misi yang diperjuangkan oleh pemerintah melalui salah satu
aparatur negara yaitu Kepolisian Republik Indonesia yang tertuang di dalam
Undang - Undang No. 22 Tahun 2009 Pasal 3 adalah
a. Terwujudnya pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman,
selamat, tertib, lancar, dan terpadu dengan moda angkutan lain untuk
mendorong perekonomian nasional, memajukan kesejahteraan umum,
memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, serta mampu menjunjung
tinggi martabat bangsa;
b. Terwujudnya etika berlalu lintas dan budaya bangsa; dan
c. Terwujudnya penegakan hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat.
Kepolisian Negara Republik Indonesia juga bertanggung jawab atas
pengembangan potensi dan peran untuk mewujudkan keamanan, keselamatan,
ketertiban, dan kelancaran berlalu lintas dan Angkutan Jalan dalam rangka
mendukung pembangunan ekonomi dan pengembangan wilayah sebagaimana
diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 pasal 200 tentang
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Umum.
Untuk menjamin terpenuhinya standart nilai indikator-indikator diatas,
maka Kepolisian Republik Indonesia mempunyai kewajiban untuk
mewujudkan keamanan, kesejahteraan, dan ketertiban berlalu lintas agar tetap
memenuhi ketentuan yang berlaku.
Berdasarkan data yang diperoleh dan dari berbagai publikasi resmi
secara umum diungkapkan bahwa jumlah pelanggaran lalu lintas di Indonesia
dilakukan oleh Kepala Subdirektorat Penegakan Hukum, Direktorat Lalu
Lintas Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya, Ajun Komisaris Besar
Polisi (AKBP) Naufal Yahya pada tahun 2003 menemukan bahwa
pelanggaran lalu lintas yang dilakukan (khususnya perilaku) pengendara
sepeda motor dan kendaraan roda empat saat berada di garis depan lampu lalu
lintas (behavior the lead vehicle at stoplines) pada sepuluh perempatan jalan
di ibu kota Jakarta, di mana 30 persen pengendara mobil berhenti melewati
stopline atau berada di luar garis jalan, sedangkan pengendara roda dua yang
melanggar mencapai 57 persen. Ironisnya, kondisi penelitian dilakukan ketika
ada polisi, di mana seharusnya mereka bisa lebih menaati peraturan (Kompas,
28-03-2005).
Di Kota Surabaya menurut Kepala Satuan Lalu Lintas Kepolisian
Wilayah Kota Besar Surabaya Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) R
Nurhadi Yuwono (Kompas, 21-07-2005), sejak Januari sampai Juni 2005
tercatat 172.197 kasus pelanggaran lalu lintas, atau rata-rata sekitar 28.699
kasus setiap bulannya. Dari total jumlah kasus pelanggaran tersebut, 132.739
kasus pelanggaran atau sekitar 77,08 persen dilakukan oleh pengendara
sepeda motor. Dari sekitar 22,92 persen sisanya, tercatat sekitar 11,65 persen
kasus pelanggaran dilakukan oleh pengendara mobil pribadi dan sekitar 11,27
persen selebihnya terdiri dari pengendara bus (720 kasus); truk (6.511 kasus);
angkutan kota (6.698 kasus); taksi (1.797 kasus); dan pikap (3.673 kasus).
Meski demikian, menurut Nurhadi jumlah tersebut bukanlah angka riil dari
yang terjadi kerap lepas dari pantauan polisi karena keterbatasan jumlah
personel.
Hasil penelitian Naufal Yahya di atas juga mengindikasikan hal ini.
Naufal menunjukkan data tentang kecelakaan lalu lintas di Jakarta selama
enam tahun terakhir (1999-2004). Dari data itu terungkap kenyataan yang
mengejutkan. Misalnya, pada tahun 1999-2003, jumlah kasus kecelakaan
tidak pernah lebih dari 1.300 kasus. Kisarannya 1.023-1.300 kasus. Baru pada
tahun 2004 (ketika Naufal mulai menjabat sebagai Kepala Subditgakum
Ditlantas Polda) data jumlah kecelakaan mencapai 4.695 kasus. Sebanyak
1.138 orang meninggal dunia, 2.672 luka berat, dan 2.024 luka ringan.
Begitu juga dengan jumlah pelanggaran lalu lintas pada tahun-tahun
ketika Naufal menjabat mengalami peningkatan menjadi 318.462 kasus
(2003) dan 534.247 kasus (2004). Tahun-tahun sebelumnya kisaran jumlah
pelanggaran hanya 11.000-12.000 kasus. Sementara dari sisi angka
kecelakaan lalu lintas di wilayah Provinsi Jawa Timur, PT Jasa Raharja
(Persero) Cabang Jawa Timur melaporkan bahwa sampai dengan bulan
September tahun 2004 korban kecelakaan lalu lintas di Jawa Timur mencapai
13.320 orang, dan sebanyak 3.703 orang di antaranya meninggal dunia.
Menurut publikasi resmi Kepolisian Daerah Jawa Timur, pada umumnya
kecelakaan itu disebabkan oleh kesalahan manusia dalam hal ini pemakai atau
pengguna jalan. Masyarakat para pemakai atau pengguna jalan ditengarai
masih kurang menghormati sesama pemakai jalan, kurang sabar, berdisiplin
Berdasarkan data DITLANTAS MABES POLRI, pada masa angkutan
lebaran tahun 2009, jumlah kejadian kecelakaan mencapai 1.567 kejadian
atau meningkat 9% dari tahun lalu dengan korban meninggal dunia sebanyak
675 orang, luka berat 801 orang, dan luka ringan sebanyak 1.595 orang
sehingga total korban meningkat 30% dari tahun lalu. Hal ini berarti bahwa
masa angkutan lebaran tahun 2009 rata-rata 112 orang meninggal dunia per
hari karena kecelakaan lalu lintas. (sumber: http://www.bisnis.com)
Sedangkan menurut data yang dihimpun oleh PT. Jasa Raharja masalah
keselamatan berlalu lintas dan angkutan jalan banyak berkaitan dengan
perilaku manusia. Data menunjukkan lebih dari 85% penyebab kecelakaan
lalu lintas di jalan adalah faktor manusia. Jumlah kejadian kecelakaan lalu
lintas di Indonesia 5 (lima) tahun terakhir dari tahun 2005 - 2009 mencapai
rata-rata 14.604 kejadian pertahun dengan korban dengan rata-rata pertahun
meninggal dunia mencapai rata-rata 10.696 jiwa/tahun, luka berat 1.242
jiwa/tahun dan luka ringan 2666 jiwa/tahun, yang berarti jumlah orang yang
meninggal dunia akibat kecelakaan selama 5 tahun terakhir rata-rata 29
jiwa/hari. (sumber: http://www.jasaraharja.co.id)
Salah satu kota metropolitan kedua di Indonesia setelah Jakarta yaitu
kota Surabaya, dengan jumlah penduduk metropolisnya yang mencapai 3 juta
jiwa. Dengan jumlah penduduk kota Surabaya yang semakin padat dan
pertambahan jumlah kendaraan yang semakin pesat yang tidak diimbangi
dengan sarana dan prasarana lalu lintas jalan yang memadai, maka akan
yang dihimpun oleh Lantas Polwiltabes Kota Surabaya bahwa pertumbuhan
kendaraan di kota Surabaya pada tahun 2008-2009 sebagai berikut :
Tabel 1.1 Pertumbuhan Kendaraan Di Kota Surabaya Tahun 2008-2009
Sumber : Satlantas Polwiltabes Surabaya.
Periode Mo pen Bus Truck Spd mtr Alat
berat Jumlah Tahun 2008 506.173 6.463 200.223 2.813,222 361 3.526.471
S/d Jan 2009 507.380 6.533 201.724 2.866.900 361 3.586.552
S/d Feb. 2009 508.588 6.498 200.974 2.840.061 361 3.556.512
S/d Mar 2009 509.795 6.516 201.349 2.853.480 361 3.571.532
S/d Apr 2009 511.003 6.533 201.724 2.866.900 361 3.586.552
S/d Mei 2009 512.172 6.542 202.050 2.876.388 361 3.597.544
S/d Juni 2009 513.466 6.557 202.494 2.887.360 361 3.610.269
S/d Juli 2009 515.244 6.569 203.070 2.909.106 361 3.634.350
S/d Agust 2009 517.836 6.593 203.842 2.928.501 361 3.657.133
S/d Sept 2009 521.317 6.623 204.902 2.958.769 361 3.691.972
Dilihat dari tabel diatas maka dapat disimpulkan bahwa pertambahan
rata-rata jumlah kendaraan bermotor di kota Surabaya sebesar 18.389 unit per
bulan. Sedangkan untuk jumlah kecelakaan yang terjadi adalah sebagai
Tabel 1.2 Jumlah Kecelakaan Lalu Lintas Di Kota Surabaya Tahun 2007-2009
Tahun dan Bulan Jumlah Keadian
Sumber : Satlantas Polwiltabes Surabaya Bagian Unit Kecelakaan.
Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa jumlah kejadian kecelakaan
lalu lintas di Surabaya 3 (tiga) tahun terakhir dari tahun 2007 - 2009
mencapai rata-rata 2169 kejadian pertahun dengan korban dengan rata-rata
pertahun meninggal dunia mencapai rata-rata 250 jiwa/tahun, luka berat 149
jiwa/tahun dan luka ringan 668 jiwa/tahun.
Jika dilihat dari faktor lainnya yaitu faktor penyebab terjadinya
kecelakaan lalu lintas, di Surabaya pada tahun 2008 tercatat adalah faktor
manusia 91% (dimana diantaranya 89% akibat pengemudi dan 2% akibat
pejalan kaki), faktor kendaraan 6%, faktor jalan 2%, dan faktor lingkungan
sebesar 1%.
Tabel 1.3 Faktor Penyebab Terjadinya Kecelakaan Tahun 2008
Berdasarkan Tingkat Severitas Korban Kecelakaan Yang Terberat Faktor Penyebab
Data menunjukkan lebih dari 90% faktor utama penyebab kecelakaan
lalu lintas di jalan adalah manusia, yang sangat berkaitan erat dengan perilaku
manusia dalam tertib dan disiplin berlalu lintas di jalan. Berdasarkan hal
tersebut, perlu adanya suatu alternatif pemecahan masalah keselamatan dan
keamanan berlalu lintas dan angkutan jalan. Salah satu alternatif adalah
peningkatan kesadaran masyarakat dalam berlalu lintas melalui penerapan
undang – undang lalu lintas. Melalui penerapan peraturan perundangan lalu
lintas secara efektif, ketertiban lalu lintas sebagai suatu sistem hubungan atau
komunikasi antar pemakai atau pengguna jalan dapat berlangsung secara
efektif pula. Sebaliknya, pelanggaran terhadap peraturan perundangan lalu
lintas selain menimbulkan ketidaktertiban dalam berlalu lintas, pada tingkat
tertentu dapat menimbulkan kemacetan bahkan kecelakaan yang berdampak
terhadap keselamatan dan kepentingan para pemakai atau pengguna jalan itu
sendiri.
Dengan melihat uraian latar belakang di atas mengindikasikan bahwa
jumlah kecelakaan pengendara roda dua (2) di kota Surabaya relatif tinggi
dan faktor-faktor penyebab terjadinya kecelakaan disebabkan oleh faktor
manusia karena kurangnya pengetahuan dari pengendara tersebut. Oleh
karena itu Lantas Polwiltabes Surabaya beserta jajarannya harus melakukan
upaya konkrit berkesinambungan disertai dengan kebijakan-kebijakan yang
tepat.
Di dalam suatu upaya yang akan dilaksanakan perlu perencanaan
yang telah ditentukan. Strategi – strategi yang dilaksanakan harus sejalan dan
berkesinambungan sehingga tidak ada ketimpangan antara satu kebijakan
dengan kebijakan lainnya.
Ada tiga strategi yang telah dilaksanakan oleh Satlantas Polwiltabes
Kota Surabaya yang bertujuan menekan angka kecelakaan di kota surabaya
dan meningkatkan kesadaran masyarakat di dalam berlalu lintas. Pertama,
pengaturan lalu lintas dimana didalam kegiatan ini perlu adanya ketanggapan
dari personil yang ada di lapangan. Kedua, pemberian reward kepada
pemakai jalan yang santun berlalu lintas. Ketiga, pemberian sanksi kepada
pemakai jalan yang melanggar aturan yang berlaku.
Dengan melihat ketiga strategi diatas maka penulis tertarik untuk
meneliti sampai sejauh mana keberhasilan strategi tersebut. Oleh Karena itu
penulis tertarik untuk mengambil judul ”Strategi Satlantas Polwiltabes
Kota Surabaya Di Dalam Menciptakan Masyarakat Santun Berlalu
Lintas Di jalan”
1.2.Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka permasalahan yang akan dikaji
dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana bentuk Strategi yang dilakukan oleh Lantas Polwiltabes Kota
2. Sejauh mana keberhasilan Strategi yang dilakukan oleh Lantas Polwiltabes
Kota Surabaya di dalam menciptakan masyarakat santun berlalu lintas di
jalan?.
1.3.Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui bentuk strategi yang diterapkan oleh Satlantas
Polwiltabes Kota Surabaya di dalam menciptakan masyarakat santun
berlalu lintas di jalan.
2. Untuk mengetahui keberhasilan strategi Satlantas Polwiltabes Kota
Surabaya di dalam menciptakan masyarakat santun di jalan.
1.4. Kegunaan Penelitian
1. Bagi Penulis
Dapat menambah pengetahuan dalam menganalisa suatu masalah dengan
menerapkan teori yang diperoleh dari literatur serta membandingkannya
dengan keadaan yang nyata dilapangan.
2. Bagi Universitas
Untuk menambah perbendaharaan perpustakaan guna kepentingan ilmiah
serta menambah wawasan baru bagi mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan
3. Bagi Instansi
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan dan
pertimbangan dalam mengatasi masalah yang terjadi serta menambah
pemahaman lebih kepada Polwiltabes Surabaya terhadap kredibilitas yang
dilakukan dan memberikan dukungan dalam pembangunan manusia
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1.Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh pihak lain dapat di pakai
dalam pengkajian yang berkaitan dengan program – program untuk tertib lalu
lintas yang dilakukan oleh Satlantas Polwiltabes Surabaya antara lain:
1. Penelitian yang dilakukan oleh Nani Pudji Sundari (2009), Jurusan
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga, dengan judul
“Perilaku Pengendara Sepeda Motor Pada Remaja Terhadap Risiko
Kecelakaan Lalu Lintas”
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran perilaku
berkendara sepeda motor pada pelajar yang berisiko menyebabkan
terjadinya kecelakaan lalu lintas.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan
metode kualitatif. Wawancara mendalam dilakukan pada 15 pelajar yang
terdiri dari 5 pelajar yang belum pernah mengalami kecelakaan lau lintas,
6 pelajar yang pernah mengalami kecelakaan lalu lintas dan 4 pelajar yang
sedang mengalami kecelakaan lau lintas. Penentuan pelajar dalam
penelitian ini dilakukan dengan teknik purposive sampling
.Variabel-variabel yang diteliti adalah karakteristik pelajar, pengetahuan, sikap,
personal reference, dan upaya pencegahan. Hasil penelitian menunjukkan
yaitu pada kelompok umur 15 sampai dengan 16 tahun, ada yang bisa
berkendara dengan sepeda motor sejak umur 12 tahun. Kebanyakan pelajar
tidak memiliki SIM (Surat Izin Mengemudi) saat berkendara. Pelanggaran
yang pernah dilakukan oleh pelajar adalah memotong marka berupa garis
putih utuh, tidak memakai helm dan menerobos lampu merah.
Pengetahuan pelajar tentang aturan lalu lintas kurang, meskipun sering
melihat jenis marka berupa garis putih utuh dan putus namun sebagian
pelajar tidak paham arti dari jenis marka tersebut. Tidak adanya petugas
kepolisian yang mengawasi menjadi penyebab umum pelajar berani
menerobos lampu merah dan melanggar rambu larangan membelok.
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa minimnya
informasi yang mereka dapatkan mengenai tata cara berlalu lintas
menyebabkan mereka berisiko lebih tinggi mengalami kecelakaan lalu
lintas. Di harapakan kesadaran pelajar untuk berperilaku santun dalam
berlalu-lintas sehingga dapat meminimalkan jumlah kasus terjadinya
kecelakaan lalu lintas.
Berdasarkan penelitian terdahulu yang pernah di lakukan seperti yang
di jelaskan di atas, terdapat perbedaan dan persamaan antara penelitian yang
dilakukan sekarang dengan yang terdahulu, persamaannya adalah sama –
sama meneliti tentang program yang di keluarkan oleh sat lantas polwil tabes
dalam mengurangi terjadinya kecelakaan saat berkendara di jalan dan
meningkatkan kesadaran masyarakat dalam bertata tertib lalulintas di jalan,
2.2.Landasan Teori
2.2.1.Strategi Kebijakan
2.2.1.1. Pengertian Strategi (Strategies)
Menurut Hofer dan Schendel (1978) dalam Steiner (1982 : 18)
Strategi berasal dari kata yunani Strategos, yang berarti jenderal. Oleh
karena itu, kata strategi secara harfiah berarti seni para jenderal. Kata ini
mengacu pada apa yang merupakan perhatian dari sebuah manajemen
puncak organisasi. Secara khusus, strategi adalah penempaan misi
organisasi, penetapan sasaran organisasi dengan mengingat kekuatan
internal dan eksternal, perumusan kebijakan dan strategi tertentu untuk
mencapai sasaran dan memastikan implementasinya secara tepat,
sehingga tujuan dan sasaran utama organisasi akan tercapai.
Menurut Mahsun (2006 : 3) Strategi adalah teknik atau cara-cara
yang digunakan organisasi untuk mencapai visi yang tela dirumuskan.
Suatu strategi memuat serangkaian petunjuk yang menjelaskan
bagaimana organisasi akan mencapai misi dan mengarahkannya pada
visi.
Ibarat seseorang yang mempunyai yang mempunyai cita-cita luhur
menjadi dokter professional dan berjiwa mulia, maka dia akan
melakukan berbagai cara untuk mencapainya, misalnya dengan belajar
serius, bertindak disiplin, taat beribadah dan sebagainya.
Uraian tentang cara-cara untuk mencapai cita-cita inilah yang
membantu organisasi meluruskan dan memfokuskan arah pencapaian visi
dengan panduan dan petunjuk yang jelas dan dipahami bersama.
Di dalam strategi diperlukan sebuah visi dan misi yang akan
dicapai dan disita-citkan oleh suatu organisasi. Menurut Mahsun (2006 :
2) pengertian visi adalah pernyataan cita-cita yang menggambarkan suatu
keadaan tertentu dan harus diperjuangkan organisasi untuk dicapai di
masa depan. Keadaan yang dideskripsikan dalam visi ini bersifat umum,
namun dapat memberikan pemahaman logis mengenai apa yang akan
dilakukan organisasi dan bagaimana melakukannya untuk mencapai
suatu kondisi yang sempurna dan ideal.
Jadi, visi merupakan gambaran umum tentang masa depan yang
diyakini oleh semua anggota organisasi. Penetapan visi bagi organisasi,
memberikan arah dan fokus strategi yang jelas, menjadi perekat dan
menyatukan berbagai gagasan strategis, serta memiliki orientasi terhadap
masa depan, menumbuhkan komitmen seluruh jajaran dalam lingkungan
organisasi, menjain kesinambungan kepemimpinan organisasi.
Sedangkan misi menurut Mahsun (2006 : 2) adalah pernyataan
yang sangat umum dari organisasi untuk mendeskripsikan apa yang
dilakukan organisasi, bagaimana melakukannya dan untuk siapa
dilakukannya. Pernyataan umum ini dimaksudkan untuk mengarahkan
organisasi dalam pencapaian nilai tertentu yang dihaapkan dapat dicapai
organisasi. Misi ini membawa suatu organisasi bias memusatkan diri dan
Pada umumnya dalam pernyataan visi juga memaparkan tujuan dan
sasaran yang hendak dicapai organisasi sehingga anggota organisasi
menjadi jelas apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukannya.
Jadi, misi secara tegas memuat pernyataan tentang cita-cita yang
merupakan landasan kerja bersama sehingga misi harus ditetapkan dan
tidak terlalu luas tetapi juga tidak terlalu sempit.
2.2.1.2. Manajemen Strategik
Menurut Steiner (1982 : 30) manajemen strategik terutama
berkenaan dengan menghubungkan organisasi dengan lingkungannya,
merumuskan strategi untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan
tersebut, dan memastikan bahwa implementasi strategi berjalan dengan
baik. Inilah suatu proses yang diantara hal-hal lain, meliputi:
1. Perumusan misi dan sasaran
2. Identifikasi strategi untuk mencapai tujuan organisasi
3. Evaluasi strategi dan pilihan strategi yang diimplementasikan
4. Penetapan dan pemantauan proses untuk meyakinkan bahwa strategi
diimplementasikan dengan tepat.
Oleh karena itu, manajemen strategik tentu saja meliputi penetapan
kerangka kerja untuk mewujudkan / menambahkan semua prinsip dan
praktek manajemen umum yang dicurahkan pada upaya perumusan
2.2.1.3. Strategi Lawan Taktik
Menurut Steiner (1982 : 18) Keputusan organisasi bergerak
sepanjang spectrum yang mempunyai suatu strategi induk yang luas pada
ujung yang satu dan taktik yang terinci pada ujung yang lain. Adalah
berfaedah untuk membedakan kedua jenis keputusan ini, karena cara
merumuskan dan menerapkannya sangat berbeda. Dan dibawah ini dalah
beberapa perbedaan yang dilihat didalam strategi meliputi :
1. Tingkat Perilaku (level conduct)
2. Keteraturan (regularity)
3. Nilai-nilai subyaktif (subjective value)
4. Jajaran pilihan (range of alternatives)
5. Ketidakpastian (uncertainly)
6. Sifat permasalahan (nature of problems)
7. Kebutuhan informasi (Information needs)
8. Horizon waktu (time horizons)
9. Referensi
10. Rincian
11. Jenis Personil yang terlibat
12. Mudahnya penilaian (easy of evaluation)
13. Sudut pandang (point of view)
2.2.2.Kebijakan Publik
2.2.2.1. Pengertian Kebijakan Publik
Pengertian Kebijakan Publik menurut Chandler & Plano (1988)
dalam Hessel (2003 : 1) adalah pemanfaatan yang strategis terhadap
sumberdaya-sumberdaya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah
public atau pemerintah.
Dye dalam Islamy (1997 : 18) mendefinisikan kebijakan publik
adalah apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak
dilakukan.
Menurut Anderson dalam Agustino (2006 : 7) memberikan
pengertian tentang kebijakan publik yaitu serangkaian kegiatan yang
mempunyai maksud atau tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan
oleh seorang aktor atau sekelompok aktor yang berhubungan dengan
suatu permasalahan atau sesuatu hal yang diperhatikan.
Sedangkan menurut Woll (1996) dalam Hessel (2003 : 2) kebijakan
publik adalah sejumlah aktifitas pemerintah untuk memecahkan masalah
di masyarakat, baik secara langsung maupun melalui berbagai lembaga
yang mempengaruhi kehidupan masyarakat.
Nugroho (2003 : 54) mendefinisikan kebijakan publik adalah
hal-hal yang diputuskan pemerintah untuk dikerjakan dan hal-hal-hal-hal yang
Pengertian kebijakan public menurut Easton dalam Islamy (1997 :
19) adalah pengalokasian nilai-nilai secara paksa (syah) kepada seluruh
anggota masyarakat.
Kemudian definisi kebijakan public menurut Frederich dalam
Soenarko (2000 : 42) adalah suatu arah tindakan yang diusulkan pada
seseorang, golongan atau pemerintah dalam suatu lingkungan dengan
halangan-halangan dan kesempatan-kesempatan,yang diharapkan dapat
memenuhi dan mengatasi halangan tersebut didalam rangka mencapai
suatu cita-cita atau mewujudkan suatu kehendak serta tujuan tertentu.
Atas dasar pengertian di atas, maka dapat ditemukan elemen
yang terkandung dalam kebijakan publik sebagaimana apa yang
dikemukakan oleh Anderson dalam islamy yang antara lain
mencakup:
1. Kebijakan selalu mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan
tertentu .
2. Kebijakan berisikan tindakan atau pola tindakan pejabat-pejabat
pemerintah.
3. Kebijakan adalah apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah,
dan bukan apa yang bermaksud akan dilakukan.
4. Kebijakan Publik bersifat positif (merupakan tindakan pemerintah
mengenai suatu masalah tertentu) dan bersifat negatif ( keputusan
5. kebijakan Publik (positif), selalu berdasarkan pada peraturan
perundangan tertentu yang bersifat memaksa (otoritatif )
Dari beberapa pengertian di atas dan mengikuti paham bahwa
kebijakan publik itu harus mengabdi kepada masyarakat, maka dengan
demikian dapat disimpulkan kebijakan publik adalah serangkaian
tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan
oleh pemerintah yang mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan
tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat.
2.2.2.2. Tahap-tahap Kebijakan Publik
Menurut Agustino (2006 : 22) proses pembuatan kebijakan
merupakan serangkaian tahap yang saling bergantung yang diatur
menurut urutan waktu. Oleh karena itu kebijakan publik dilakukan ke
dalam beberapa tahap proses pembuatan kebijakan sebagai berikut :
1. Tahap penyusunan agenda
Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada
agenda publik. Banyak masalah tidak disentuh sama sekali,
sementara lainnya ditunda untuk waktu lama.
2. Tahap formulasi kebijakan
Para pejabat merumuskan alternatif kebijakan untuk mengatasi
masalah. Alternatif kebijakan melihat perlunya membuat perintah
eksekutif, keputusan peradilan dan tindakan legislatif.
Alternatif kebijakan yang diadopsi dengan dukungan dari mayoritas
legislatif, konsesus di antara direktur lembaga, atau keputusan
peradilan.
4. Tahap implementasi kebijakan
Kebijakan yang telah diambil dilaksanakan oleh unit-unit
administrasi yang memobilisasikan sumberdaya finansial dan
manusia.
5. Tahap penilaian kebijakan
Unit-unit pemeriksaan dan akutansi dalam pemerintahan
menentukan apakah badan-badan eksekutif, legislatif, dan peradilan
memenuhi persyaratan undang-undang dalam pembuatan kebijakan
dan pencapaian tujuan.
2.2.2.3. Tujuan Kebijakan
Ada beberapa tujuan kebijakan menurut Hoogerwerf dalam
Soenarko (2000 : 82 ), yaitu :
a. Memelihara ketertiban umum (negara sebagai stabilisator)
b. Melancarkan perkembangan masyarakat dalam berbagai hal (negara
sebagai perangsang, stimulator)
c. Menyesuaikan berbagai aktivitas (negara sebagi koordinator)
d. Memperuntukkan dan membagi berbagai materi (negara sebagai
Tujuan-tujuan yang demikian itu, tentu saja merupakan
tujuan-antara guna untuk mencapai tujuan akhir. Untuk bangsa dan negara
Indonesia, tujuan kebijaksanaan itu adalah :
a. Memajukan kesejahteraan umum
b. Mencerdaskan kehidupan bangsa
c. Ikut melaksanakan ketertiban dunia
Sedangkan untuk tujuan akhirnya (goal) adalah : masyarakat
yang adil dan makmur berdasarkan pancasila dan UUD 1945.
2.2.3.Impementasi Kebijakan
2.2.3.1. Pengertian Implementasi Kebijakan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ( 2003) istilah implementasi
atau pelaksanaan berasal dari kata laksana yang berarti (i) sifat, laku,
tanda yang baik, (ii) seperti, sebagai. Sedangkan pelaksanaan
didefinisikan sebagai proses, cara, perbuatan melaksanakan (rancangan,
dan sebagainya).
Sedangkan menurut Pressman dan Wildavsky dalam Hessel (2003 :
17) mendefinisikan implementasi adalah sebagai interaksi antara
penyusunan tujuan dengan sarana-sarana tindakan dalam mencapai
tujuan tersebut, atau kemampuan untuk menghubungkan dalam kausal
antara yang diinginkan dengan cara untuk mencapainya.
Implementasi kebijakan yang dikemukakan oleh Mazmanian dan
kebijaksanaan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun
dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan
eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan. Lazimnya,
keputusan tersebut mengidentifikasi masalah yang ingin diatasi,
menyebutkan secara tegas tujuan atau sasaran yang ingin dicapai, dan
berbagai cara untuk menstrukturkan atau mengatur proses
implementasi.
Sedangkan Meter dan Horn dalam Agustino (2006 : 139)
Implementasi kebijakan adalah tindakan-tindakan yang dilakukan baik
individu- individu atau pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok
pemerintah atau swasta yang diarahkan pada pencapaian tujuan-tujuan
yang telah digariskan dalam keputusan kebijaksanaan.
Nakamura dan Smallwood dalam Hessel (2003:17)
mengemukakan hal-hal yang berhubungan dengan implementasi
kebijakan adalah keberhasilan dalam mengevaluasi masalah dan
kemudian menterjemehkan kedalam keputusan yang bersifat khusus.
Menurut Nugroho (2003 : 158) mengatakan bahwa implementasi
kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat
mencapai tujuan.
Dari tiga definisi diatas dapat diketahui bahwa implementasi
kebijakan menyangkut tiga hal, yaitu ; (1) adanya tujuan atau sasaran
kebijakan ; (2) adanya aktivitas dan pencapaian tujuan ; (3) adanya
Berdasakan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa implementasi
merupakan sebuah proses yang dinamis, dimana pelaksana kebijakan
melakukan suatu aktivitas atau kegiatan, sehingga pada akhirnya akan
mendapatkan suatu hasil sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan
itu sendiri.
2.2.3.2. Sukses dan Gagalnya Pelaksanaan Kebijakan
Semua kebijakan yang telah ditetapkan diharapkan sukses
dilaksanakan. Tetapi dalam kenyataannya banyak kebijakan yang gagal
dilaksanakan. Untuk itu, menurut Nurcholis (2002 : 7.11) agar
kebijakan dapat dilaksanakan dengan baik maka kebijakan hendaknya:
a. Dirancang sesuai dengan kerangka acuan dan teori yang kuat.
b. Disusun korelasi yang jelas antara kebijakan dan implementasinya.
c. Ditetapkan adanya organisasi yang mengkoordinir pelaksanaan
kebijakan sehingga proses implementasi kebijakan dapat berjalan
dengan baik.
d. Dilakukan sosialisasi kebijakan yang dapat diterapkan sampai
organisasi pelaksana tingkat terbawah (street level bureaucracy).
e. Dilakukan pemantauan secara terus menerus (Monitoring).
f. Diberi bobot yang sama penting antara kebijakan dan
Disamping itu, sukses tidaknya implementasi kebijakan menurut
Nurcholis (2002 : 7.11) juga dipengaruhi oleh kondisi-kondisi sebagai
berikut :
a. Dukungan dan penolakan dari lembaga eksternal. Jika lembaga
eksternal mendukung maka pelaksanaan kebijakan akan berhasil.
Sebaliknya jika menolak maka pelaksanaan kebijakan akan gagal.
b. Ketersediaan waktu dan sumberdaya yang cukup.
c. Dukungan dari berbagai macam sumberdaya yang ada.
d. Kemampuan pelaksana kebijakan menganalisis kausalitas terhadap
persoalan yang timbul dari pelaksanaan kebijakan.
e. Kepatuhan para pelaksana kebijakan terhadap kesepakatan dan
tujuan yang telah ditetapkan dalam koordinasi.
Meskipun kebijakan pemerintah sudah dirancang sedemikian
rupa tapi masih juga terdapat kemungkinan gagal dalam
pelaksanaannya. Adapun hal-hal yang membuat suatu kebijakan
pelaksanaan kebijakan gagal menurut Nurcholis (2002 : 7.11) adalah
sebagai berikut :
a. Kebijakan yang dibuat spesifikasinya tidak lengkap.
Maksudnya, kebijakan yang dibuat tidak dirinci spesifikasinya
secara lengkap. Akibatnya para pelaksananya bingung dan membuat
penafsiran sendiri-sendiri.
Misalnya, kebijakan tentang pemberantsan buta huruf diserahkan
kepada pemerintah desa.
c. Adanya tujuan yang saling berlawanan.
d. Insentif yang tidak memadai.
Maksudnya, para pelaksana kebijakan merasa bahwa upah tambahan
atau insentif untuk melaksanakan kebijakan tidak seimbang dengan
jerih payahnya. Oleh karena itu mereka tidak sungguh-sungguh
melaksanakan tugasnya.
e. Ketidakjelasan arah antara kebijakan dasar dengan kebijakan
implementasinya.
f. Keterbatasan keahlian.
Para pelakana kebijakan harus mempunyai keahlian tertentu. tanpa
memiliki keahlian pelaksanaan kebijakan akan gagal.
g. Sumber administrasi yang terbatas.
Misal, kebijakan tentang wajib belajar tanpa didukung oleh
sumberdaya yang memadai : tenaga, waktu, biaya, sarana dan
prasarana, dan organisasi pendukung.
h. Kegagalan komunikasi.
2.2.3.3. Model-model Implementasi Kebijakan
Dalam implementasi kebijakan ada beberapa bentuk model
implementasi yang dikenal. Model ini berguna untuk menyederhanakan
Hogwood dan Gunn dalam Wahab (2005 : 71) mengemukakan
model ” Top Down Approach”. Menurut Hogwood dan Gunn, untuk
dapat mengimplementasikan kebijakan secara sempurna (perfect
impelementation) ada 10 (sepuluh) persyaratan :
a. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh badan/instansi pelaksana tidak
akan menimbulkan gangguan/kendala yang serius.
b. Untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumber-sumber
yang cukup memadai.
c. Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar tersedia.
d. Kebijaksanaan yang akan diimplementasikan didasari oleh suatu
hubungan kausalitas yang andal.
e. Hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit rantai
penghubungnya.
f. Hubungan saling ketergantungan harus kecil.
g. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan.
h. Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat.
i. Komunikasi dan koordinasi yang sempurna.
j. Pihak-pihak yang memiliki kekuasaan dapat menuntut dan
mendapatkan yang sempurna.
Van Meter dan Van Horn dalam Wahab (2005 : 78) yang
mengemukakan “a model of the policy implementation process” (
model proses implementasi kebijakan). Dimana ada enam variable yng
a. Ukuran dan tujuan kebijaksanaan.
b. Sumber-sumber kebijaksanaan.
c. Ciri-ciri atau sifat badan/instansi pelaksana.
d. Komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan
pelaksanaan.
e. Sikap para pelaksana, dan
f. Lingkungan ekonomi, sosial dan politik.
Van Meter dan Van Horn dalam terorinya ini beranjak dari suatu
argumen bahwa perbedaan-perbedaan dalam proses implementasi akan
dipengaruhi oleh sifat kebijaksanaan yang akan dilaksanakan.
Gambar 1.
Model Proses implementasi Kebijaksanaan
Komunikasi antar organisasi
Variabel-variabel kebijaksanaan bersangkut paut dengan
tujuan-tujuan yang telah digariskan dan sumber-sumber yang tersedia. Pusat
perhatian pada badan-badan pelaksana meliputi organisasi formal
maupun informal sedangkan komunikasi antar organisasi terkait
beserta kegiatan-kegiatan pelaksananya mencakup antar hubungan di
dalam lingkungan sistem politik dan dengan kelompok-kelompok
sasaran. Akhirnya pusat perhatian pada sikap para pelaksana mengantar
kita pada telaah mengenai orientasi dari mereka yang mengoperasional
program di lapangan.
2.2.4.Evaluasi Kebijakan
Bagian akhir dari sebuah proses kebijakan yang dipandang sebagai
pola aktivitas yang berurutan adalah evaluasi kebijakan . Sebuah
kebijakan publik tidak bisa dilepas begitu saja kebijakan harus diawasi,
dan salah satu mekanisme kebijakan tersebut adalah evaluasi. Evaluasi
biasanya ditujukan untuk menilai sejauh mana keefektifan kebijakan
publik guna dipertanggungjawabkan kepada konstituennya. Oleh karena
itu beberapa pakar mendefinisikan mengenai evaluasi kebijakan, sebagai
berikut :
Jones dalam Islamy (1997 : 112) mengartikan evaluasi kebijakan
adalah suatu aktivitas yang dirancang untuk menilai hasil-hasil program
dalam spesifikasi obyeknya ; teknik-teknik pengukurannya dan metode
analisanya.
Menurut Dunn dalam Agustino (2006 : 187) mengemukakan secara
sederhana bahwa evaluasi kebijakan adalah berkenaan dengan produksi
informasi mengenai nilai-nilai atau manfaat-manfaat hasil kebijakan.
Sedangkan menurut Lester dan Stewart dalam Agustino (2006 :
185) evaluasi kebijakan ditujukan untuk mengetahui apakah kebijakan
yang telah dirumuskan dan dilaksanakan dapat menghasilkan dampak
yang diinginkan.
Kemudian Jones dalam Hessel (2003 : 25) mendefinisikan evaluasi
kebijakan adalah peninjauan ulang untuk mendapatkan perbaikan dari
dampak yang tidak diinginkan.
Firman dan Sirait dalam Hessel (2003 : 26 ) mengemukakan
evaluasi kebijakan merupakan usaha untuk mengukur dan memberikan
nilai secara obyektif mengenai pencapaian hasil yang telah direncanakan
dan ditetapkan sebelumnya.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa evaluasi
kebijakan adalah pemberian nilai atau pengukuran terhadap apa yang
telah dilaksanakan yang senyatanya sesuai dengan yang diinginkan dan
2.2.5.Pengawasan Kebijakan
2.2.5.1. Pengertian Pengawasan
Menurut Sujamto (1995 : 18) Mengemukakan bahwa pengertian
pengawasan adalah segala usaha-usaha atau kegiatan untuk mengetahui
dan menilai kenyataan yang sebenarnya mengenai sasaran yang
diperiksa.
Pendapat lain, yaitu Siagian (1994 : 135) menyatakan pengawasan
sebagai proses pengamatan dari pelaksanan seluruh kegiatan organisasi
untuk menjamin agar semua pekerjaa yang sedang dilakukan berjalan
sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan sebelumnya. Sejalan dengan
pendapat di atas Handoko (1992 : 359) juga berpendapat bahwa
pengawasan juga diartikan sebagai proses untuk menjamin bahwa
tujuan-tujuan organisasi dan manajemen dapat tercapai.
Sarwoto (1994 : 145) berpendapat, bahwa pengawasan adalah tugas
untuk mencocokkan sampai dimana program atau rencana yang telah
digariskan itu dilaksanakan.
Pendapat terakhir adalah dari Tjitrosidojo (1996 : 8), yang
mengartikan pengawasan sebagai suatu bentuk pengamatan yang pada
umumnya dilakukan secara menyeluruh dengan jalan mengadakan
pemeriksaan yang ketat secara teratur.
Berdasarkan berbagai pengertian pengawasan diatas dapat
disimpulkan, bahwa pengawasan adalah sebagai suatu tindakan untuk
agar pelaksanaan tugas dapat berjalan sesuai dengan rencana yang telah
ditetapkan.
2.2.5.2. Tujuan dan Fungsi Pengawasan
Menurut Wursanto (1993 : 158), Pengawasan pada umumnya
bertujuan, untuk :
1. Menemukan dan menghilangkan sebab-sebab yang menimbulkan
kemacetan.
2. Mengadakan pencegahan dan perbaikan terhadap kesalahan-kesalahan
yang timbul.
3. Mencegah penyimpangan-penyimpangan.
4. Mendidik pegawai agar mempertebal rasa tanggung jawab.
5. Memperbaiki efisiensi dan efektifitas.
Sedangkan Manullang (1992:173) Mengatakan tujuan pengawasan
untuk mengetahui apakah segala sesuatu berjalan sesuai dengan rencana
yang telah ditetapkan, sudah berjalan sesuai instruksi serta
prinsip-prinsip yang telah ditetapkan , apakah ada kelemahan, kesulitan dan
kegagalannya sehingga dapat diadakan perubahan untuk memperbaiki
serta mencegah pengulangan kegiatan yang salah, apakah segala sesuatu
berjalan efisien dan apakah mungkin mengadakan perbaikan.
Di dalam Instruksi Presiden nomot 15 tahun 1983 tentang Pedoman
Pelaksanaan Pengawasan, yang dikutip oleh Sujamto (1995:337),
mencegah terjadinya pemborosan, kebocoran, dan penyimpangan dalam
penggunaan wewenang, tenaga, uang, dan perlengkapan milik negara,
sehingga dapat terbina aparatur yang tertib, bersih, berwibawa, berhasil
guna dan berdaya guna.
Tujuan utama dari pengawasan (Saleh, 1991:3) adalah untuk
memperlancar pola pembangunan serta mengamankan hasil-hasil
pembangunan, pengawasan pembangunan berupaya agar tidak terjadi
penyelewengan dalam melaksanakan suatu rencana dan segera
mengambil jalan keluar dari kemelut yang mungkin muncul serta
akhirnya mengamankan hasil-hasil yang telah dicapai.
Berdasarkan dari berbagai pendapat diatas dapat disimpulkan
bahwa pada dasarnya tujuan dari semua kegiatan pengawasan yang
dilakukan adalah guna menjamin dan merealisasikan apa yang
direncanakan menjadi sebuah kenyataan. Dalam hal ini dapat diketahui
bahwa kedudukan peran pengawasan dalam manajemen adalah sebagai
alat untuk mengontrol setiap kegiatan yang dilakukan oleh organisasi
dalam setiap kegiatan manajemennya, mulai dari merencanakan
mengorganisasikan sampai dengan mengkoordinasikannya dalam rangka
mencari tujuan sesuai dengan rencana.
Pengawasan ditujukan terutama untuk mencegah jangan sampai
terjadi kesalahan-kesalahan yang merugikan dan kalau terjadi
memberikan koreksi dan pembinaan agar pelaksanaan tugas dapat
terselenggara secara efektif.
Untuk mewujudkan tujuan pengawasan dalam melaksanakan tugas,
pimpinan unit kerja melakukan tidakan atau kegiatan untuk mengatasi
bawahannya sesuai dengan fungsinya.
Menurut pendapat Abdurachman (1989:99) fungsi pengawasan
pada umumnya adalah, untuk :
1. Mencegah penyimpangan-penyimpangan.
2. Memperbaiki kesalahan-kesalahan.
3. Mendinamisir organisasi serta segenap kegiatan manajemen yang
lainnya.
4. Mempertebal rasa tanggung jawab.
5. Mendidik tenaga kerja.
Sedangkan menurut pendapat Nawawi (1994:4) fungsi pengawasan
dapat dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu :
1. Fungsi pengawasan yang dilaksanakan oleh aparatu pemerintah di
bidang pengawasan dalam membantu Presiden sebagai Administrator
Pemerintahan yang tertinggi dalam mengendalikan Sistem
Administrasi Negara. Dengan kata lain, fungsi-fungsi pengawasan
dilaksanakan oleh badan / unit kerja / organisasi yang volume dan
beban kerja atau tugas pokoknya dibidang pengawasan. Pengawasan
melaksanakan tugas umum Pemerintah dan pembangunan, disebut
juga sebagai pengawasan dari luar.
2. Fungsi pengawasan yang dilakukan oleh setiap atasan langsung
terhadap bawahannya dalam mewujudkan manajemen yang sehat
dilingkungan organisasi / unit kerja masing-masing. Pengawasan ini
disebut juga pengawasan atasan langsung sebagai wujud pelaksanaan
fungsi pengawsan melekat. Untuk melaksanakan tugas pengawasan
ini, setiap atasan langsung dapat melakukannya sendiri dan dapat pula
menunjuk sejumlah pembantu, misalnya berupa tim tetap atau berkala.
2.2.5.3. Macam Pengawasan
Untuk mengantisipasi setiap permasalahan dalam melaksanakan
tugas pegawai pada unit kerja, diperlukan pengawasan yang tepat yakni
berbagai macam pengawasan. Irmansyah (1996:99) membedakan
macam-macam pengawasan sebagai berikut :
1. Pengawasan Intern
Pengawasan ini kalau dalam instansi atau lembaga biasanya
ditakutkan oleh kepala bagian / seksi terhadap kolega-kolega yang ada
dibawah pimpinannya.
2. Pengawasan Ekstern
Pengawasan yang dilakukan oleh pihak luar, misalnya kepala urusan
kepegawaian melakukan pengawasan terhadap seseorang pegawai
3. Pengawasan formal
Pengawasan yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang dan dapat
dilakukan dengan cara mendadak / inspeksi mendadak.
4. Pengawasan informal
Pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat, baik secara langsung
maupun tidak langsung, misalnya melalui surat kabar, majalah, dan
media massa lainnya.
Dan berdasarkan instruksi Presiden No. 1 Tahun 1989 ditegaskan
mengenai macam-macam pengawasan yaitu :
1. Pengawasan Melekat
Merupakan serangkaian kegiatan yang bersifat sebagai pengendali
terus menerus secara preventif atau represif agar pelaksanaan tugas
berjalan secara berdaya guna sesuai dengan rencana yang ditetapkan
oleh atasan langsung masing-masing.
2. Pengawasan Fungsional
Merupakan pengawasan yang dilakukan oleh aparat pengawasan
secara fungsional baik intern maupun ekstern pemerintah yang
dilaksanakan terhadap pelaksanaan tugas umum pemerintah dan
pembangunan agar sesuai dengan rencana dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Merupakan pengawasan yang dilakukan oleh perwakilan rakyat
terhadap kebijaksanaan dan pelaksanaan tugas-tugas umum
pemerintah dan pembangunan.
Menurut pendapat Handoko (1992 : 362), ada tiga tipe dasar
pengawasan yaitu :
1. Pengawasan Pendahuluan
Merupakan pengawasan yang dirancang untuk mengantisipasi
masalah-masalah atau penyimpangan-penyimpangan dari standart atau
tujuan yang memungkinkan koreksi dibuat sebelum suatu tahap
kegiatan diselesaikan.
2. Pengawasan yang dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan kegiatan
Merupakan pengawasan dimana aspek tertentu dari suatu prosedur
harus lebih disetujui terlebih dahulu atau syarat tertentu harus
dipenuhi dulu sebelum kegiatan bisa dilanjutkan.
3. Pengawasan Umpan balik
Merupakan pengawasan untuk mengatur hasil-hasil dari suatu
kegiatan yang telah direncanakan.
2.2.5.4. Proses Pengawasan
Proses pengawasan merupakan suatu tindakan tertentu dan bersifat.
Fundamental hal ini sesuai dengan pendapat Sarwoto (1994:100), bahwa
tertentu yang bersifat fundamental bagi semua pengawasan,
langkah-langkah tersebut adalah :
a. Penentuan ukuran, pedoman baku atau standart
b. Perbandingan antara tugas atau pekerjaan dengan ukuran (pedoman)
yang telah ditentukan untuk mengetahui penyimpangan
-penyimpangan yang terjadi.
c. Perbaikan atau pembetulan terhadap penyimpangan-penyimpangan
yang terjadi sehingga pekerjaan tugas tadi sesuai dengan apa yang
telah direncanakan.
d. Penilaian atau pengukuran terhadap pekerjaan yang sudah dikerjakan.
Secara ringkas, Manullang (1992:183) mengatakan bahwa proses
pengawasan tersiri dari fase-fase atau tahap-tahap sebagai berikut:
a. Penetapan alat pengukur atau standart.
b. Mengadakan penilaian atau evaluasi.
c. Mengadakan tindakan atau perbaikan.
Pada fase pertama, kata menetapkan bukan diidentikkan dengan
menyusun atau menciptakan, namun pengawas tinggal mengambil atau
menemukan diantara materi yang sudah ada, karena standart tersebut
memang tidak dibuat oleh pengawas. Yang dimaksud menetapkan
standart adalah tindakan pengawasan dalam menentukan suatu alat
pengukur yang dipergunakan sebagi ukuran atau patokan bagi pengawas
mengetahui apakah objek yang diawasi dapat berjalan sesuai dengan
semestinya atau tidak.
Kemudian dalam menetapkan alat pengukur atau standart ini, dapat
terwujud dalam tiga aspek, yaitu rencana yang telah ditetapkan,
ketentuan serta kebijaksanaan yang berlaku, berikutnya juga penting
untuk diperhatikan adalah adanya prinsip daya guna dan hasil guna.
Pada fase kedua, setiap organisasi ingin mencapai tujuan sesuai
dengan rencananya. Dalam proses mencapai tujuan tersebut, seringkali
dijumpai hambatan-hambatan, maka dari itu perlu diadakan penilaian
(evaluasi).
Pada fase ketiga, tindakan koreksi diperlukan apabila terjadi
adanya penyimpangan atau kesalahan, maka tindakan koreksi dilakukan
untuk menyelaraskan penyimpangan atau kesalahan tersebut agar sesuai
dengan rencana atau tujuan yang telah ditetapkan.
Upaya tindakan koreksi perlu memperhatikan adanya
keseimbangan, kejelasan serta bersifat edukatif dan konstruktif. Hal ini
untuk menghindari ketidak obyektifan.
Berdasarkan dari beberapa pendapat diatas, maka proses
pengawasan dapat dikatakan sebagai langkah-langkah, fase-fase,
urutan-urutan kegiatan dalam, melakukan pengawasan, yaitu pelaksanaan secara
2.2.6.Reward (Penghargaan)
Menurut Mahsun (2006 : 112) Penilaian kinerja seseorang harus
disertai reward (penghargaan) yang bisa memotivasi dan memicu
peningkatan kinerja. Reward ini tidak mesti diwujudkan dalam bentuk
finansial, misalnya gaji atau bonus. Reward bisa berbentuk pujian atau
sanjungan sebagai ungkapan penghargaan dan pengakuan atas prestasi yang
dicapai.
Pada dasarnya ada dua tipe reward yaitu social reward dan psychic
reward. Yang termasuk social reward adalah pujian dan pengakuan dari
dalam dan luar organisasi. Sedangkan psychic reward datang dari self
satisfaction (kepuasan diri) dan kebanggaan atas hasil yang tercapai. Social
reward merupakan extrinsic reward yang diperoleh dari lingkungannya,
seperti finansial, material, dan piagam penghargaan.
Sedangkan psychic reward instrinsic reward yang datang dari dalam
diri seseorang, seperti pujian, sanjungan dan ucapan selamat yang dirasakan
pegawai sebagai bentuk pengakuan terhadap dirinya dan mendatangkan
kepuasan bagi dirinya sendiri.
Reward dapat mengubah perilaku seseorang dan memicu peningkatan
kinerja. Terdapat empat alternatif norma pemberian reward agar dapat
digunakan untuk pemicu kinerja pegawai, yaitu :
1. Goal congruence (kesesuaian tujuan). Setiap organisasi publik pasti
mempunyai tujuan yang hendak dicapai. Sedangkan setiap individu
dengan tujuan organisasi. Dengan demikian reward harus diciptakan
sebagai jalan tengah agar tujuan organisasi dapat dicapai tanpa
mengorbankan tujuan individual, dan sebaliknya tujuan individual dapat
tercapai tanpa harus mengorbankan tujuan organisasi.
2. Equity (keadilan). Reward harus dialokasikan secara proporsional dengan
memperhatikan besarnya kontribusi setiap individu atau kelompok.
Dengan demikian, siapa yang memberi kontribusi tinggi maka rewardnya
jaga akan tinggi, sebaliknya siapa yang memberi kontribusi rendah maka
rewardnya juga akan rendah.
3. Equality (kemerataan). Reward juga harus didistribusikan secara merata
bagi semua puhak individu atau kelompok yang telah menyumbangkan
sumberdayanya untuk ketercapaian kinerja.
4. Kebutuhan. Alokasi reward kepada pegawai seharusnya
mempertimbangkan tingkat kebutuhan utama dari pegawai.
Pemberian reward yang berhasil dapat meningkatkan tangible
outcomes seperti individual, kelompok, kinerja organisasi, kuantitas dan
kualitas kinerja. Selain itu, reward juga dapat mengarahkan tindakan dan
perilaku. Sistem reward yang baik dapat memotivasi orang serta organisasi.
Namun, sistem reward yang kurang baik justru sering gagal dalam
memotivasi dan menumbuhkan semangat peningkatan kinerja. Meskipun
motivasi uang dan waktu yang sangat besar untuk sistem reward organisasi,
delapan alasan, mengapa reward justru menurunkan motivasi dan kinerja,
antara lain :
1. Terlalu banyak menekankan pada reward moneter. Hal ini sesuai dengan
apa yang dibutuhkan individu bahwa mereka tidak semuanya merasa
puas dengan imbalan berwujud finansial.
2. Rasa menghargai pada penerima reward sangat kurang. Reward sering
diberikan dalam bentuk berwujud tetapi tidak disertai penghargaan /
pengakuan yang layak.
3. Banyak yang menerima reward. Semakin banyak yang menerima reward
dengan nilai yang tidak proporsional akan mengurangi motivasi
seseorang.
4. Memberikan reward dengan kriteria yang salah. Misalnya hanya diukur
dari waktu kerja sehingga pegawai termotivas hanya untuk mempercepat
pekerjaan tanpa mempertimbangkan hasil.
5. Lamanya penangguhan (delay) antara kinerja dan reward. Reward yang
tidak segera diberikan membuat seseorang merasa kurang dihargai.
6. Kriteria reward sangat fleksibel. Tidak pernah ada ukuran yang baku
dalam pemberian reward membuat kesenjangan antara apa yang
diharapkan seseorang dengan apa yang sebenarnya diterima.
7. Sasaran reward hanya untuk motivasi jangka pendek. Reward sering
8. Pemberian kompensasi jajaran top manajer yang berlebihan. Hal ini
dapat mengurangi motivasi pegawai operasional karena ada pembedaan
penghargaan yang sangat mencolok dan tidak adil.
2.2.7.Punishment (Sanksi)
Menurut Mahsun (2006 : 118) pengertian punishment adalah proses
melemahkan perilaku melalui hadirnya sesuatu yang tidak menyenangkan
secara bersyarat. Di dalam pemberian hukuman harus sesuai dengan aturan
yang berlaku dan bersyarat kepada setiap individu / kelompok sesuai aturan
yang telah ditetapkan sebelumnya.
Sesuai dengan aturan yang berlaku untuk mengurangi terjadinya
pelanggaran – pelanggaran dan terjadinya kecelakaan maka pihak Satlantas
Polwiltabes Surabaya menetapkan ketentuan pidana bagi pengguna jalan
yang melakukan pelanggaran saat mengemudikan kendaraannya di jalan
sesuai dengan undang – undang no 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan
angkutan jalan pasal 280 yang berbunyi: setiap orang yang mengemudikan
kendaraan bermotor di jalan yang tidak di pasangi tanda nomor kendaraan
bermotor yang sudah di tetapkan oleh Kepolisian Negara Republik
Indonesia sebagaimana ditetapkan pada pasal 68 ayat (1) di pidana dengan
pidana kurungan paling lama 2 bulan atau denda paling banyak Rp
500.000,00.
Pasal 281 berbunyi: setiap orang yang mengemudikan kendaraan
maksud pada pasal 77 ayat (1) di pidana dengan kurungan paling lama 4
bulan atau denda paling banyak Rp 1000.000,00.
Pasal 283 berbunyi: setiap orang yang mengemudikan kendaraan
bermotor di jalan secara tidak wajar dan melakukan kegiatan lainatau di
pengaruhi suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi dalam
mengemudi di jalan sebagaimana di maksud pada pasal 106 ayat (1) di
pidana dengan pidana kurungan paling lama 3 bulan atau denda paling
banyak Rp 750.000,00.
Pasal 285 ayat (1) berbunyi: setiap orang yang mengemudikan sepeda
motor di jalan yang tidak memenuhi persyaratan teknis dan layak jalan yang
meliputi kaca spion, klakson, lampu utama, lampu rem, lampu penunjuk
arah, alat pemantul cahaya, alat pengukur kecepatan, knalpot dan kedalaman
alur ban sebagaimana di maksud dalam pasal 106 ayat (3) juncto pasal 48
ayat (2 dan ayat (3) di pidana dengan pidana kurungan paling lama 1 bulan
atau denda paling banyak Rp 250.000,00.
Pasal 287 ayat (1) berbunyi: setiap orang yang mengemudikan
kendaraan bermotor di jalan yang melanggar aturan perintah atau larangan
yang di nyatakan dengan rambu – rambu lalu lintas sebagaimana dimaksud
dalam pasal 106 ayat (4) huruf a atau marka jalan sebagaimana di maksud
dalam pasal 106 ayat (4) huruf b di pidana dengan pidana kurungan paling
lama 2 bulan atau denda paling banyak Rp 500.000,00.
Pasal 288 ayat 1 berbunyi: Setiap orang yang mengemudikan
nomor kendaraan bermotor atau surat tanda coba kendaraan bermotor yang
di tetapkan oleh kepolisian Negara republic Indonesia sebagaimana di
maksud dalam pasal 106 ayat (5) huruf a di pidana dengan pidana kurungan
paling lama 2 bulan atau denda paling banyak Rp 500.000,00. Dan ayat 2
berbunyi :Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan
yang tidak dapat menunjukkan surat ijin mengemudi yang sah sebagaimana
di maksud dalam pasal 106 ayat (5) huruf b di pidana dengan pidana
kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp 250.000,00.
Pasal 291 ayat 1 berbunyi : Setiap orang yang mengemudikan sepeda
motor tidak mengenakan helm standart nasional Indonesia sebagaimana di
maksud dalam pasal 106 ayat (8) di pidana dengan pidana kurungan paling
lama 1 bulan atau dendapaling banyak Rp 250.000,00. Dan ayat 2 berbunyi
Setiap orang yang mengemudikan sepeda motor yang membiarkan
penumpangnya tidak mengenakan helm sebagaimana dimaksud dalam pasal
106 ayat (8) di pidana dengan pidana kurungan paling lama 1 bulan atau
denda paling banyak Rp 250.000,00.
Pasal 293 ayat 1 berbunyi : Setiap orang yang mengemudikan
kendaraan bermotor di jalan tanpa menyalakan lampu utama pada malam
hari dan kondisi tertentu sebagaimana di maksud dalam pasal 107 ayat (1) di
pidana dengan pidana kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling
banyak Rp 250.000,00. Dan ayat 2 berbunyi Setiap orang yang
mengemudikan sepeda motor di jalan tanpa menyalakan lampu utama pada