• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. tentulah sangat dipengaruhi oleh penghasilan yang diperoleh dalam kurun waktu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. tentulah sangat dipengaruhi oleh penghasilan yang diperoleh dalam kurun waktu"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia selalu berusaha untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Kebutuhan hidup sangat bervariasi, sedikit atau banyaknya adalah relatif, tergantung pada kemampuan atau daya beli seseorang. Daya beli seseorang tentulah sangat dipengaruhi oleh penghasilan yang diperoleh dalam kurun waktu tertentu setelah bekerja.1

Upah menjadi tujuan pekerja dalam melakukan pekerjaan. Setiap pekerja selalu mengharapkan upah yang adil sesuai dengan beban pekerjaan yang dilakukannya dan selalu mengalami peningkatan. Upah adalah salah satu sarana yang digunakan oleh pekerja untuk mendapatkan kehidupan yang layak bagi kemanusiaannya dan untuk meningkatkan kesejahteraannya.

Sejarah ketenagakerjaan dari waktu ke waktu selalu diliputi dengan suasana yang selalu kelam. Banyak masalah yang menghampiri pekerja/buruh terutama pada pemenuhan hak-hak dasarnya. Pekerja/buruh harus berjuang sendiri maupun secara terorganisir melalui serikat pekerja/buruh yang independen dan memiliki komitmen yang kuat untuk memperbaiki nasibnya dan memperjuangkan hak-haknya. Hal demikian terjadi karena menunggu dan menggantungkan

1 Asri Wijayanti, 2010, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Sinar Grafika, Jakarta, Hlm. 10.

(2)

perubahan pada kebijakan pemerintah sama saja artinya dengan memperpanjang masa eksploitasi.2

Keberadaan dan permasalahan ketenagakerjaan bersifat egalistik dimana permasalahannya tidak mengenal batas wilayah suatu negara serta bersifat universal, permasalahan yang dihadapi, kapanpun dan dimanapun di semua negara hampir sama.3

Kondisi politik hukum ketenagakerjaan di Indonesia sampai saat ini masih sangat memprihatinkan, artinya seluruh kebijakan hukum bahkan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan tidak berpihak pada pekerja/buruh.4 Kondisi pekerja/buruh di Indonesia masih menghadapi berbagai masalah baik politik, ekonomis, budaya maupun hukum. Potret buram carut marutnya kondisi ketenagakerjaan ini, perlu dicermati dan dikritisi serta diadakan perubahan-perubahan berarti dalam segi arah kebijakan peraturan dan penguatan implementasinya agar kondisi pekerja/buruh di Indonesia dapat keluar dari belenggu kemiskinan struktural yang melingkar di lehernya.

Perangkat dan sistem yang paling tepat untuk mengatur kesejahteraan pekerja/buruh adalah hukum dan pemerintahan. Atas dasar dua hal itu maka hal yang dicita-citakan untuk memenuhi hak pekerja/buruh dapat dijamin oleh undang-undang untuk mencapai suatu sistem sosial yang lebih baik. Bertolak dari pemikiran di atas, jika tindakan manusia tidak dikendalikan oleh suatu otoritas di

2 Rahmad Syafa‟at, 2008, Gerakan buruh dan pemenuhan hak dasarnya, Ctk. Pertama, In- TRANS Publishing, Malang, hlm. 42.

3 Djumadi, 2005, Sejarah Keberadaan Organisasi Buruh di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 6.

(3)

luar diri manusia, maka akan terjadi ketidakteraturan atau ketidaktertiban, dimana pihak yang kuat akan menindas yang lemah. Kewajiban dan hak tidak berjalan dengan seimbang, oleh karena itu, pembatasan mutlak dilakukan.5 Dengan demikian, perlu dibentuk aturan hukum yang akan menghasilkan keadilan untuk memberi kepada orang apa yang menjadi haknya. 6

Berdasarkan Pasal 5 ketentuan Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, disebutkan bahwa dalam membentuk peraturan perundang-undangan harus berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, meliputi:

a. Kejelasan tujuan;

b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan; d. Dapat dilaksanakan;

e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan; f. Kejelasan rumusan;

g. Keterbukaan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 6 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011, disebutkan bahwa materi muatan Peraturan Perundang-undangan mengandung asas: a. Pengayoman; b. Kemanusiaan; c. Kebangsaan; d. Kekeluargaan; e. Kenusantaraan; f. Bhineka tunggal Ika; g. Keadilan;

h. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; i. Ketertiban dan kepastian hukum;

5 Bahder Johan Nasution, 2004, Hukum Ketenagakerjaan Kebebasan Berserikat Bagi

Pekerja) Mandar Maju, Bandung, hlm. 22-23. 6Ibid, hlm. 81.

(4)

j. Keseimbangan. Keserasian, dan keselarasan.

Hukum ketenagakerjaan telah mengatur ketentuan upah ketika terjadi kepailitan dalam Pasal 95 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003 yaitu sebagai utang yang didahulukan pembayarannya, tetapi cara pembayarannya dan ketentuan mengenai kedudukan pekerja atau buruh sebagai kreditur dalam hal terjadi kepailitan perusahaan tidak diatur secara jelas.

Ketidakmampuan negara memperbaiki kondisi ketenagakerjaan, khususnya dalam memenuhi hak-hak dasarnya (upah) dalam pemutusan hubungan kerja akibat pailit, terindikasikan dengan adanya aksi unjuk rasa dan mogok kerja buruh/pekerja yang dari tahun ke tahun jumlahnya semakin meningkat tajam, karena rendahnya perlindungan terhadap pekerja/buruh yang menjamin terpenuhinya hak-hak dasarnya yang sah.

Kendati ada kemajuan “sedikit” dalam merealisasi dan memenuhi hak-hak fundamental (minimal di tingkat pengakuan formal “de-yure”) tersebut, namun

tidak dapat dijalankan secara efektif. Hukum ketenagakerjaan tidak dapat dipandang sebagai suatu instrumen nilai yang otonom dan independen. Melainkan hukum ternyata tampil dalam sosoknya sebagai bagian dari upaya rekayasa sosial

(law is a tool of social engineering) yang dilakukan oleh negara.7

Eksistensi hukum ketenagakerjaan pada awal perkembangannya merupakan hukum perdata biasa yang berangkat dari perjanjian antara pihak yang membuat pekerjaan (majikan/pengusaha) tetapi tidak dapat mengerjakan sendiri

(5)

pekerjaannya, melainkan memerlukan tenaga lain yaitu tenaga dari pihak pekerja untuk melakukan pekerjaannya.8

Dalam perkembangannya, terdapat fakta bahwa pihak yang melakukan pekerjaan (pekerja/buruh) adalah orang yang lemah ekonominya. Lemahnya perekonomian ini mengakibatkan lemahnya posisi tawar menawar dalam menentukan isi perjanjian ketika berhadapan dengan majikan/pemberi kerja9, misalnya dalam penentuan upah, jenis pekerjaan, jaminan sosial, ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja, hak-hak pekerja/buruh yang akan diterima akibat pemutusan hubungan kerja, dan lain-lainnya.

Realita sosial menunjukkan bahwa sebagian kondisi pekerja/buruh di Indonesia masih sangat lemah, miskin, dan temarginalisasikan. Upah sering tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri dan keluarga, upah yang tidak dibayarkan tepat waktu, rentan diPHK, sulit mencari pekerjaan baru, tidak mempunyai keterampilan yang cukup demi keadilan, kondisi tempat kerja yang buruk, standar keselamatan kerja dan kesehatan kerja yang rendah serta jaminan sosial yang rendah.10 Melihat kondisi tersebut, pemerintah kemudian ikut campur tangan dan mengintervensi hubungan kerja pekerja dan majikan (pengusaha) yang diwujudkan lewat kebijakan dan hukum ketenagakerjaan yang tertuang dalam berbagai peraturan perundang-undangan.

Persoalan PHK merupakan persoalan yang sensitif dan kompleks. PHK berhubungan dengan jaminan kelangsungan penghasilan/pendapatan seseorang,

8Ibid, hlm. 10-11. 9Ibid, hlm. 11. 10Ibid, hlm. 26.

(6)

kompleksitas dimaksud kerena landasan pengujiannya selain ketentuan KUHPerdata khususnya menyangkut perjanjian, juga ketentuan-ketentuan hukum publik (UU Ketenagakerjaan).11

Penuntutan hak dasar bagi pekerja akibat terjadinya PHK adalah suatu yang mutlak harus dilakukan dalam rangka pemenuhan hak-haknya. Namun dalam kenyataannya banyak menemui berbagai masalah yang kemudian menjadi hambatan, baik itu hambatan struktural, kultural, substansi peraturan perundang-undangan atau kebijakan, maupun hambatan finansial.12

Pemenuhan hak dasar pekerja/buruh yang tidak dipenuhi oleh pengusaha inilah yang seringkali menimbulkan kasus ketenagakerjaan dewasa ini. Terutama yang terjadi pada saat perusahaan mengalami persoalan finansial baik pra (sebelum) atau pasca (setelah) putusan pailit dijatuhkan oleh pengadilan niaga, yang menyebabkan debitur (pengusaha) menjadi kesulitan memenuhi hak-hak dasar (upah) pekerja/buruh karena tidak berhak dan berwenang lagi untuk mengurus harta kekayaannya yang telah berada di bawah sitaan umum untuk selanjutnya harta kekayaan debitur tersebut akan diurus oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas.

Berdasarkan ketentuan UU ketenagakerjaan Pasal 95 ayat (4) UU No 13 tahun 2003 dinyatakan bahwa:

“Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang harus didahulukan pembayarannya.”

11 Agusmidah, 2010, Dinamika dan Kajian Teori Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Ghalia Idonesia, Bogor, hlm. 185.

(7)

KUHPerdata telah secara jelas mendeskripsikan mengenai pengertian utang, bahwa utang pada hakikatnya merupakan kewajiban yang timbul dari perikatan dimana ada satu pihak yang berhak atas prestasi (kreditur) dan di sisi lain ada pihak yang berkewajiban memenuhi prestasi (debitur) atas suatu prestasi tertentu. Dengan kerangka demikian, maka utang yang menjadi dasar permohonan pailit termasuk utang yang timbul di luar kerangka perjanjian pinjam meminjam uang, misalnya perjanjian jual beli, perjanjian pemborongan, perjanjian sewa menyewa, dan termasuk juga perjanjian kerja.13

Pasal 39 ayat (2) UU No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang juga dengan tegas menyatakan bahwa sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan, upah yang terutang sebelum maupun sesudah putusan pernyataan pailit diucapkan merupakan utang harta pailit. Hal ini memperkuat kedudukan upah pekerja/buruh dalam hal terjadi kepailitan merupakan utang harta pailit yang harus dibayarkan.

Dalam realitasnya, upah pekerja/buruh tidak dapat begitu saja didahulukan pembayarannya karena Undang–Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak secara khusus mengatur kedudukan pekerja/buruh sebagai tingkatan kreditur. Dengan demikian hak-hak pekerja/buruh sering kali kurang terlindungi dalam proses kepailitan.

Posisi didahulukan yang dimiliki oleh pekerja/buruh dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003 tidak dapat begitu saja didahulukan ketika perusahaan dinyatakan pailit. Pada daftar antrian kreditor, pekerja/buruh

(8)

tidak berada di urutan pertama. Undang-Undang Ketenagakerjaan memang sudah menyebut pembayaran upah pekerja/buruh didahulukan, tetapi di dalam kepailitan kurator lazim mengesampingkan kepentingan pekerja/buruh. Faktanya, meski berada dalam posisi “superior” berdasarkan Undang-Undang 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pekerja/buruh sering kali ditempatkan paling belakang di dalam antrian kreditor saat harta pailit dibagikan oleh kurator.

Hal itu terjadi karena Undang-Undang Kepailitan, Undang-Undang Pajak, Undang-Undang Hak Tanggungan, KUHPerdata memang lebih menempatkan kreditor lain, seperti utang negara dan pemegang hak tanggungan, lebih tinggi kedudukannya dibanding pekerja/buruh. Tidak heran jika berdasarkan UU Ketenagakerjaan, seorang pekerja/buruh yang putus hubungan kerjanya karena perusahaannya dinyatakan pailit, seharusnya bisa mendapatkan kompensasi PHK sekian juta rupiah, namun setelah kurator membagi-bagi harta pailit, pekerja/buruh bersangkutan hanya mendapatkan uang sekian puluh ribu rupiah saja. Parahnya lagi, pekerja/buruh tersebut tidak mendapatkan apapun.14

Sementara itu, pada hubungan kurator dengan kreditur, yang kerap terjadi adalah dugaan dari para kreditur bahwa telah terjadi kolusi antara kurator dan debitur. Hal ini tentunya dirasakan kreditur (pekerja/buruh) sangat merugikan posisinya. Dari fakta di atas dapat dilihat bahwa segenap perangkat perundang-undangan maupun putusan pengadilan kadang tidak berarti pada saat menghadapi permasalahan karena bobroknya penegakan hukum di negara ini.15

14 http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol19869/bagi-buruh-kejamnya-ibukota-tak-sekejam-putusan-pailit- diakses4 november 2013, pukul 16.00 WIB.

(9)

Konflik kepentingan berkaitan dengan pembuatan kebijakan publik berupa peraturan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 juga sangat kompleks. Proses dan dinamika politik yang menyertai keberadaan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 merupakan kajian yang sangat menarik untuk dikaji secara politik, karena pihak yang menang adalah pihak yang kepentingannya diakomodir atau lebih banyak diakomodir melalui kebijakan publik.16

Dalam realitanya, pekerja/buruh yang seharusnya menjadi kekuatan politik terbesar di Indonesia tidak dapat menjadi kekuatan politik yang terbesar di parlemen. Hanya perwakilan buruh yang komit membela kepentingan pekerja/buruh yang dapat memperjuangkan perbaikan mutu hidup pekerja/buruh dalam pembuatan Undang-Undang dan kebijakan lainnya yang bersentuhan dengan kehidupan buruh.17 Hal ini dapat dilihat dari Undang-Undang yang disahkan dan di claim sebagai hasil persetujuan antara pemerintah, serikat buruh dan pengusaha justru memiliki banyak celah yang terdapat pada Undang-Undang 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang tidak secara tegas mengatur perlindungan hak normatif pekerja/buruh dalam kepailitan sehingga hal tersebut dimanfaatkan oleh pengusaha yang lagi-lagi membuat pekerja/buruh menjadi semakin menderita.

Berangkat dari adanya latar belakang fenomena yang terjadi mengenai polemik pemenuhan hak-hak normatif (upah) pekerja/buruh yang kurang mendapatkan perhatian oleh kurator saat terjadi kepailitan perusahaan dan saat

16

Muchtar Pakpahan, Ruth Damaihati Pakpahan, 2010, Konflik Kepentingan outsourcing dan kontrak dalam UU. No. 13 Tahun 2003, Bumi Intimaja Sejahtera, Jakarta, Hlm. 7.

(10)

perusahaan mengalami keadaan insolven, serta kelemahan UU ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 dalam mempertahankan eksistensinya saat terjadi kepailitan, maka sangat menarik untuk diteliti lebih mendalam. Oleh karena itu, penulis menguraikan permasalahan ini sebagai pokok bahasan penulisan tugas akhir dengan judul: “Jaminan Dan Perlindungan Upah Pekerja/Buruh Dalam Kepailitan Menurut Undang-Undang nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang penulis sampaikan dalam latar belakang masalah di atas, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana Undang-Undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mengakomodasi dan menjamin upah pekerja/buruh dalam kepailitan?

2. Bagaimana hubungan dan tanggung jawab kurator terhadap hak-hak pekerja/buruh yang tidak terakomodasi?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini sehingga dapat memberikan manfaat dan penyelesaian serta penilaian yang dilakukan adalah:

1. Untuk mengetahui Undang-Undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dalam mengakomodasi dan menjamin upah pekerja/buruh dalam kepailitan.

(11)

2. Untuk mengetahui hubungan dan tanggung jawab kurator terhadap hak-hak pekerja/buruh yang tidak terakomodasi.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian yang penulis lakukan adalah: 1. Manfaat Teoritis

Penulisan tesis ini memiliki manfaat teoritis, yakni dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu hukum pada umumnya dan ilmu hukum ketenagakerjaan dan hukum kepailitan khususnya. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan kepustakaan bagi penelitian yang berkaitan dengan konsep dan implementasi pengaturan mengenai ketenagakerjaan dan kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang dalam hal pemenuhan upah pekerja/buruh pada saat keadaan pailit perusahaan.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan bagi pembuat kebijakan, praktisi hukum bisnis, penegak hukum dan masyarakat luas baik yang bersentuhan langsung dengan perkara kepailitan perusahaan maupun sebagai informasi yang bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya mengenai kedudukan pekerja/buruh, pemenuhan haknya, dan jaminan kepastian hukum terhadap pemenuhan hak-hak (upah) pekerja/buruh tersebut.

(12)

E. Keaslian Penelitian

Sepengetahuan penulis, dengan melakukan penelusuran di perpustakaan Fakultas Hukum UGM, “Implementasi Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Dalam Menjamin Dan Memberikan Perlindungan Upah Pekerja/Buruh Pada Perkara Kepailitan” belum pernah dilakukan, namun berdasarkan penelusuran kepustakaan tersebut terdapat beberapa hasil penelitian yang terkait dengan judul penelitian ini yang antara lain sebagai berikut :

1. Judul : Perlindungan hukum bagi pekerja-buruh dalam kepailitan perseroan terbatas (PT)

Oleh : Henny Poespowati Rumusan Masalah :

a. Bagaimanakah kedudukan upah buruh dalam kepailitan perusahaan terbatas?

b. Bagaimana posisi tawar buruh dalam kepailitan perseroan terbatas?

2. Judul : Tinjauan Tentang Pemenuhan Hak Pekerja Akibat Putusan Kepailitan Pada PT. Rajabrana (Dalam Pailit)

Oleh : Irena Hertin Kurniasih

Rumusan Masalah :

a. Bagaimana pelaksanaan pemenuhan hak pekerja akibat putusan kepailitan pada PT. Rajabrana (dalam pailit)?

(13)

b. Apakah upaya hukum yang dapat dilakukan pekerja untuk memperoleh haknya akibat putusan pailit pada PT. Rajabrana (dalam pailit)?

Adapun perbedaan dari penelitian di atas dengan penelitian yang disusun oleh penulis adalah bahwa penulisan yang penulis susun mengkaji mengenai implementasi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dalam menjamin dan memberikan perlindungan upah pekerja/buruh pada perkara kepailitan dengan membandingkannya dengan Undang-undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dalam mengakomodasi dan menjamin upah pekerja/buruh dalam hal terjadi insolvensi harta pailit, juga menelaah dasar pengambilan kebijakan legislator dalam merumuskan aturan-aturan tersebut dan pertanggungjawaban kurator sebagai pengganti posisi perusahaan terhadap hak-hak pekerja/buruh yang tidak terakomodasi.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan pengujian ini adalah untuk mengetahui apakah aplikasi yang telah dibuat pada android smartphone dapat menerima data yang dikirim oleh mikrokontroler arduino,

Adapun perbedaan dari penelitian diatas dengan penelitian yang disusun oleh penulis adalah bahwa penulisan yang penulis susun mengkaji dasar pertimbangan hakim memutus

Adapun alasan penulis menggunakan model pendekatan penelitian deskriptif adalah untuk menggambarkan pembakuan nama rupabumi secara tertib administrasi di Kota

6 Tanda resep diawal penulisan resep (R/) Prescriptio/Ordonatio 7 Nama Obat 8 Kekuatan obat 9 Jumlah obat Signatura 10 Nama pasien 11 Jenis kelamin 12 Umur pasien 13 Barat badan

Sistem Pertanian-Bioindustri Terpadu merupakan totalitas atau kesatuan kinerja pertanian terpadu yang terdiri dari: (1) Subsistem sumberdaya insani dan IPTEK; (2) Subsistem

Menimbang, bahwa pihak Tergugat/Pembanding melalui kuasanya telah mengajukan Memori Banding tertanggal 30 Agustus 2012 yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Tata

Karyawan yang percaya bahwa kebutuhan mereka sesuai dengan tuntutan pekerjaan mereka cenderung untuk menyarankan cara- cara baru dalam melakukan sesuatu dan membantu

Menurut mowen dan minor menjelaskan bahwa kepercayaan konsumen adalah “semua pengetahuan yang dimiliki oleh konsumen dan semua kesimpulan yang dibuat konsumen tentang objek, atribut