• Tidak ada hasil yang ditemukan

Seminar Optimalisasi Hasil Samping Perkebunan Kelapa Sawit dan Industri Olahannya sebagai Pakan Ternak Di lain sisi, kondisi ketersediaan komponen bak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Seminar Optimalisasi Hasil Samping Perkebunan Kelapa Sawit dan Industri Olahannya sebagai Pakan Ternak Di lain sisi, kondisi ketersediaan komponen bak"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

INOVASI TEKNOLOGI PAKAN BERBASIS

PRODUK SAMPING INDUSTRI KELAPA SAWIT

I-W . MATHIUS

Balai Penelitian Ternak PO. Box 22/ Bogor- 16002 e -mail : iwmathiuswolroo.com

ABSTRAK

Ketergantungan akan komponen impor bahan penyusun ransum yang semakin mahal, menyebabkan keterpurukan industri petemakan dewasa ini . Di sisi lain, dampak negatif sebagai akibat pergeseran fungsi lahan pertanian menjadi non-pertanian yang terns meningkat sangat dirasakan usaha petemakan . Hal tersebut menyebabkan ketersediaan bahan baku pakan yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan menjadi terbatas . Konsekuensinya adalah tingkat produktivitas temak menjadi rendah . Upaya mempertahankan kehadiran dan meningkatkan produktivitas temak perlu dilakukan upaya mencari sumber pakan ban .Jaltematif. Salah satu sumber bahan baku pakan alternatif adalah dengan memanfaatkan produk samping perkebunan, khususnya yang berasal dari industri kelapa sawit . Sebagaimana produk samping tanaman pangan, pada umumnya biomassa industri kelapa sawit berkualitas rendah dan untuk dapat dijadikan bahan baku pakan diperlukan sentuhan teknologi . Pemanfaatannya sebagai bahan pakan telah banyak dila ~ukan dengan hasil yang menjanjikan . Dalam tulisan ini akan diuraikan ketersediaan teknologi untuk dapat diaplikasikan agar kualitas bahan baku alternatif tersebut dapat dimanfaatkan, baik dalam bentuk pakan tunggal maupun dalam bentuk pakan jadi yang tersusun dari produk samping industri kelapa sawit . Pemanfaatan biomassa industri kelapa sawit baik dalam bentuk segar maupun produk olahannya dalam pakan ruminansia (sapi dan domba) dan non-ruminansia (ayam ras, ayam buras dan itik) disajikan dalam makalah ini .

Kata kunci ; Inovasi teknologi, industri pakan, produk samping, kelapa sawit, ternak

PENDAHULUAN

Ternak memainkan peran yang cukup penting dalam rantai penyediaan pangan berkualitas, karena kemampuannya mengubah bahan pakan yang kurang dan atau tidak dapat dimanfaatkan oleh manusia . Hal tersebut disebabkan ternak memiliki kemampuan merubah hijauan dan produk samping industri pertanian menjadi pangan berkualitas (daging dan susu) . Pola usaha dengan sistem kerakyatan kurang memberikan hasil yang sesuai dengan harapan . Hal ini disebabkan usaha yang selama ini ditekuni dilakukan secara tradisional dengan penyediaan dan

pemberian pakan seadanya .

Upaya perbaikan potensi genetik ternak lokal sedang dan terus dilakukan, antara lain dengan melakukan kawin silang dengan bangsa ternak impor (khususnya ternak ruminansia) . Hasil yang diperoleh belum optimal sebagaimana yang diharapkan . Boleh jadi perbaikan/peningkatan mutu genetik tersebut, belum/tidak ditunjang dengan perbaikan faktor pendukung/lingkungan, khususnya ketersedia-an pakketersedia-an yketersedia-ang belum memadai . Makin balk

penyediaan dan pemberian pakan, maka makin tinggi tingkat produktivitas yang diperoleh . Oleh karena itu, selain kuantitas yang cukup dan berkelanjutan serta kualitas yang balk, penyediaan dan pemberian pakan harus disesuaikan dengan kebutuhan dan tingkat produktivitas ternak yang diharapkan .

Pakan merupakan salah satu komponen penting dengan biaya terbesar dalam suatu usaha peternakan . Secara umum, kisaran 60 -80% biaya yang dikeluarkan dari suatu usaha peternakan dipergunakan untuk komponen pakan . Variasi besarnya biaya tersebut sangat bergantung pada jenis ternak yang diusahakan, pola dan skala usaha yang ditekuni . Biaya komponen pakan, usaha peternakan unggas lebih besar dari pada ternak ruminansia, Demikian pula, pola usaha yang dilakukan secara intensif membutuhkan biaya pakan yang Iebih besar jika dibandingkan dengan pola ekstensif. Tingggi-rendahnya biaya yang harus dikeluarkan tersebut berpengaruh terhadap nilai jual produk usaha dan sekaligus berpengaruh terhadap pendapatan petani/ pengusaha .

(2)

Di lain sisi, kondisi ketersediaan komponen baku bahan penyusun pakan (terutama bahan baku pakan konsentrat) yang terbatas dibandingkan dengan jumlah yang dibutuhkan, menyebabkan Indonesia harus mengimpor komponen bahan ransum dari negara lain . Menurut TANGENDJAYA (2007) pada tahun

2004, Indonesia mengimpor bahan pakan seperti jagung 432 .000 ton, bungkil kedelai

1 .801 .000 ton, tepung ikan 40 .000 ton serta tepung daging dan tulang 196 .000 ton, disamping bahan pakan lainnya seperti vitamin-premix, rapeseed meal, corn gluten meal. Sementara perhatian pelaku produksi terhadap penggunaan bahan baku pakan spesifik lokasi kurang mendapat perhatian . Harga komponen pakan import tersebut cukup fluktuatif. Hal tersebut menyebabkan para peternak dan pengusaha mengurangi pasokan dari negara tersebut, karena tidak menguntungkan lagi . Merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dollar, makin memperburuk keadaan dan mengakibatkan impor bahan pakan terasa sangat mahal . Konsekuensinya, jumlah impor komponen pakan pada masa kini sudah sangat berkurang dan tentu akan berpengaruh terhadap tingkat produktivitas ternak . Untuk itu perlu dilakukan upaya terobosan baru dalam peningkatan penyediaan pakan spesifik lokasi . Salah satu upaya dimaksud adalah mencari sumber baru biomassa asal industri pertanian yang dapat dipergunakan sebagai bahan baku pakan alternatif dan memanfaatkannya agar lebih berdaya guna .

Sebagai negara agraris, Indonesia, yang terletak di hamparan geografis tropis memiliki sumber daya alam yang berlimpah dalam bentuk produk samping industri pertanian yang dapat dijadikan sumber bahan baku pakan alternatif. Terobosan-terobosan spesifik lokasi dengan mengoptimalkan potensi sumber daya alam yang ada perlu dilakukan (RIADY, 2006) .

Salah satunya adalah dengan memadukan sub sektor peternakan dengan sub sektor pertanian/ perkebunan dalam bentuk usahatani yang terintegrasi . Sebagai produk samping industri pertanian/perkebunan, biomassa tersebut pada umumnya berkualitas rendah sehingga diperlukan sentuhan teknologi agar biomassa tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal .

Dalam makalah ini diuraikan beberapa teknologi yang dapat diaplikasikan agar produk

Seminar Optimalisasi Hasil Samping Perkebunan Kelapa Sawit dan Industri Olahannya sebagai Pakan Ternak

samping pertanian/perkebunan, khususnya yang bersumber dari industri kelapa sawit dapat dipergunakan secara optimal . Diharapkan, efisiensi pemanfaatan biomassa industri kelapa sawit dapat pula meningkatkan efisiensi penggunaan lahan per satuan luas, sekaligus dapat memberi nilai tambah baik untuk petani-pekebun maupun pengusaha perkebunan .

POTENSI BIOMASSA INDUSTRI KELAPA SAWIT DAN PELUANG

PEMANFAATANNYA

Pergeseran fungsi lahan pertanian menjadi non-pertanian memperparah ketersediaan pakan hijauan alam/vegetasi alam yang dapat dimanfaatkan oleh ternak . JALALUDIN (1978)

melaporkan bahwa untuk mencapai hasil yang diharapkan,'yaitu tingkat produksi ternak yang optimal, maka ketersediaan pakan harus diimbangi dengan pola pemberian dan perbaikan kualitas pakan . Ditambahkan bahwa keberhasilan perbaikan mutu genetik ruminansia membutuhkan kondisi yang stabil dalam artian tatalaksana yang memadai dan berkelanjutan sepanjang tahun (SASAKI, 1992)

serta kesehatan lingkungan . Pola dan pemberian pakan yang belum sesuai dengan kebutuhan sapi potong, dilaporkan merupakan faktor utama rendahnya tingkat produktivitas ternak di daerah tropis (CHEN, 1990),

sebagaimana yang terjadi di Indonesia. Upaya mencari sumber pakan alternatif, perbaikan dan penyempurnaan penyediaan dan pemberian pakan perlu diupayakan . Perbaikan sistem pemeliharaan dengan pemberian pakan yang cukup dalam artian jumlah yang memadai dan kualitas yang baik serta berkelanjutan, merupakan pendekatan yang perlu mendapat perhatian . Pendekatan tersebut diharapkan tidak merupakan pendekatan sesaat untuk penampilan ternak pada periode tertentu saja, tetapi merupakan salah satu upaya penting yang berpengaruh terhadap kondisi lingkungan /iklim usaha yang harus tetap dipertahankan (kondisi stabil) agar perbaikan serta peningkatan mutu genetik dapat terlaksana

(ZARATE, 1996) .

Pola integrasi ataupun diversifikasi tanaman dan ternak (khususnya ternak ruminansia) sebagai usahatani seutuhnya

(3)

Seminar Optimalisasi Hasil Samping Perkebunan Kelapa Sawit dan industri 0lahannya sebagai Pakan Ternak

diharapkan dapat merupakan bagian integral dari usaha perkebunan, sebagai yang disarankan oleh MOHAMED, et al ., (1986), HASSAN, et a!., (1991), JALALUDIN, et al ., (1991 b), OSMANN (1998) dan NOEL (2003) . Pemanfaatan produk samping industri pertanian/perkebunan sebagai basis pengadaan bahan baku pakan alternatif diharapkan dapat memberikan nilai tambah, baik secara langsung maupun tidak langsung (STUR, 1990 ; ZAINUDIN dan ZAHARI, 1992) . Salah satu sumber biomassa industri perkebunan yang belum dimanfaatkan sebagai bahan pakan alternatif adalah produk samping industri kelapa sawit.

INDUSTRI KELAPA SAWIT DI INDONESIA

Indonesia memiliki beragam tanaman pertanian (padi, jagung, kedelai) dan per-kebunan (kelapa sawit, tebu, karet, kakao, teh dan lain-lain) dengan luas tanam yang terus meningkat (label 1) . Salah satu produk samping industri pertanian/perkebunan yang dapat menyediakan bahan baku pakan yang berkesinambungan dan dapat dimanfaatkan sebagai basis pengembangan ternak adalah perkebunan kelapa sawit . Dengan meng-optimalkan produk samping kebun/tanaman dan basil ikutan olahan produk utamanya sebagai pakan yang tersedia sepanjang tahun, maka produktivitas ternak dapat ditingkatkan, khususnya sapi potong .

Sampai akhir tahun 2004 luas tanam kelapa sawit di Indonesia telah mencapai 5,24 juta Ha (DEPARTEMEN PERTANIAN, 2004) dan men-duduki urutan pertama dunia dalam luasan tanam (Tabel 1) (ANON, 2006) . Sebagai konsekuensi makin meningkatnya luas tanam kelapa sawit, adalah makin meningkatnya pula produk samping tanaman dan basil ikutan pengolahan buah kelapa sawit yang sedikit banyak akan menimbulkan problem baru (isue lingkungan dan pemanasan global) . Salah satu cara pemecahannya adalah dengan

memanfaat-kan ternak (CORLEY, 2003), khususnya ternak ruminansia . Sebagai pabrik hidup yang dapat memanfaatkan produk samping industri, ternak dapat dijadikan media penyedia bahan baku pupuk organik. Kehadiran ternak dengan pengelolaan yang benar diyakini memberikan nilai tambah, baik secara langsung maupun tidak langsung (STUR, 1990) dan memberikan dampak yang sangat besar artinya dalam mempertahankan tekstur dan struktur tanah serta sekaligus menjaga kelestarian lingkungan (ZA[NUDIN dan ZAHARI, 1992) .

POTENSI DAN KANDUNGAN NUTRIEN BIOMASSA INDUSTRI KELAPA SAWIT Secara garis besar produk samping yang dihasilkan dari industri kelapa sawit dapat dipisahkan atas dasar sumber/asal produk samping kd dalam dua kelompok, yakni yang berasal dari kebun/kawasan tanaman dan pabrik pengolahan buah kelapa sawit . Bahan pakan yang dapat diperoleh dari kawasan perkebunan kelapa sawit adalah yang bersumber dari vegetasi alam yang tumbuh di kawasan kebun dan yang berasal dari tanaman inti/kelapa sawit . Ragam dan jumlah vegetasi alam yang dapat tumbuh di areal perkebunan kelapa sawit sangat ditentukan oleh umur dan tingkat produktivitas tanaman utamanya . Pada umumnya pada kawasan dengan tanaman muda/belum berproduksi (TBM) masih dijumpai ragam vegetasi alam yang bervariasi, baik jenis maupun jumlahnya . Sejalan dengan umur tanaman yang terus bertambah, ragam dan jumlah vegetasi alam makin berkurang hingga pada suatu saat tidak lagi dijumpai vegetasi alam yang dapat diandalkan untuk dapat dipergunakan sebagai bahan pakan hijauan . Oleh karena itu, ketersediaan pakan hijauan, berupa vegetasi alam yang dapat tumbuh di areal perkebunan kelapa sawit sangat terbatas dan tidak cukup untuk mendukung ketersediaan pakan hijauan yang berkelanjutan .

(4)

Seminar Optimalisasi Hasil Samping Perkebunan Kelapa Sawit dan Industri Olahannya sebagai Pakan Ternak

Tabel 1 . Luas areal perkebunan komoditas utama Indonesia (000 Ha)

Sumber:DEPARTEMEN PERTANIAN (2004); *WET (2004)

Keterangan : * *Laju pertumbuhan2004/2003

Produk samping yang berasal dari tanaman dan berpotensi untuk dapat dioptimalkan sebagai bahan pakan pengganti hijauan adalah pelepah, daun dan batang (ISHIDA dan HASSAN, 1997 ; KAWAMOTO, el a! ., 2001) .

Sedangkan, produk samping yang dihasilkan dari pengolahan buah kelapa sawit (ZAHARI, et a! ., 2003) yang berpotensi untuk dipergunakan sebagai bahan baku pakan tambahan adalah solid dan bungkil inti sawit, sementara serat

Tabel 2 . Produk samping tanaman dan olahan buah kelapa sawit untuk setiap Ha

perasan dan tandan kosong masih dipergunakan sebagai bahan bakar pabrik dan/atau dikembalikan ke kebun sebagai mulsa . Mengacu pada hasil penelitian terdahulu (DIWYANTO,el a!., 2004 ;SITOMPUL,

2004 ; MATHIUS, et a! ., 2005), nilai produk samping yang dihasilkan dari industri kelapa sawit untuk setiap satu satuan luas (per Ha) dalam setahun adalah 13 .585 kg bahan kering (Tabel 2) .

Asumsi :

I Ha,130pokok pohon,

I pohon dapat menyediakan sejumlah 22pelepah per tahun,

I pelepah, bobot 7 kg, Bobot daun per pelepah,0,5kg,

Tandan kosong23%dari TBS,

Produksi minyak sawit4ton per Ha per tahun(LIWANG, 2003),

1000 kg TBS menghasilkan :250kg minyak sawit,294lumpur sawit, 180 kg serat perasan dan35 kg bungkil kelapa

sawit(JALALUDIN, et al., 1991a)

Komoditas 1968 2000 2001 2002 2003 Laju (%) 2003/2002 Posisi dunia

Kip . sawit 120 4 .158 4 .713 5 .067 5 .239 3,4 1 Karet 2 .209 3 .372 3 .345 3 .318 3 .290 0,9 2 Kelapa* 1 .959 tt tt 3 .697 tt 2 Teh 120 154 151 151 152 0,0 Kopi 339 1 .126 1 .313 1 .372 1 .381 0,7 3 Kakao 13 750 821 914 917 0,39 3 Lada 43 151 186 204 204 0,02 1 J . mente* 0 tt tt 553 it - -Tebu 341 344 351 336 -4,12 Jarak tt tt tt tt tt Padi 11 .793 11 .500 11 .521 11 .488 4,20** Jagung, 3 .500 3 .286 3 .127 3 .359 1,34** K.kedelai, 824 679 545 527 8,12** K.tanah, 684 655 547 684 5,32**

Biomassa Segar(kg) Bahan kering (%) Bahan keying (kg)

Daun tanpa lidi 1 .430 46,18 658

Pelepah 20 .000 26,07 5 .214

Tandan kosong 3 .680 92,10 3 .386

Serat perasan 2 .880 93,11 2 .681

Lumpur sawit, solid 4.704 24,07 1 .132

Bungkil kelapa sawit 560 91,83 514

(5)

Seminar Optimalisasi Hasil Samping Perkebunan Kelapa Sawit dan Industri Olahannya sebagai Pakan Ternak

Jika diasumsikan 70% dari nilai tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal oleh ternak ruminansia, khususnya sapi potong, maka jumlah ternak sapi yang dapat ditampung 2-3 UT (1 unit ternak/UT setara dengan sapi seberat 250 kg dan konsumsi setiap I UT ± 3, 5% dari bobot hidup) .

Nilai tersebut dapat disetarakan dengan sejumlah 4 ekor sapi dewasa (I ekor sapi dewasa setara dengan 0,7 UT) . Bila diasumsikan 60% dari luas tanam kelapa sawit yang ada saat ini (5,24 juta Ha) dalam kondisi TM atau setara dengan 3,09 juta Ha, maka jumlah biomassa yang tersedia adalah 41 .977 .650 ton . Jumlah tersebut dapat menyediakan bahan pakan untuk sejumlah 9 .200 .668 ST, atau setara dengan sejumlah 13 .143 .812 ekor sapi dewasa . Dengan perkataan lain daya tampung industri kelapa sawit yang ada saat ini di Indonesia melebihi populasi sapi potong (11 .396 .000 ekor) yang ada .

Kandungan nutrien yang terdapat dalam produk samping industri kelapa sawit telah dilaporkan para peneliti di Malaysia

(JALALUDIN, et al., 1991 a ) dan Indonesia

(ARITONANG, 1984 ; MATHIUS, et al., 2004 b) .

Terlihat bahwa kandungan nutrien produk samping tanaman (pelepah dan daun) kelapa sawit cukup rendah (Tabel 3) . Keadaan tersebut dapat digambarkan dengan tingginya kandungan serat kasar, namun mengandung

karbohidrat dalam bentuk gula mudah larut

(soluble sugars) yang cukup (22%) (ISHIDA

dan HASSAN, 1997) . Secara umum, kandungan nutrien yang terdapat dalam produk samping tanaman kelapa sawit setara dengan produk samping tanaman pangan dan pakan hijauan yang terdapat di daerah tropika . Hasil ikutan pengolahan buah kelapa sawit seperti lumpur/solid dan bungkil inti sawit mengandung protein kasar (label 3) yang berpotensi untuk dapat dijadikan bahan ransum berkualitas . Bungkil inti sawit merupakan produk samping yang mengandung nutrien dan nilai biologis yang tinggi . Oleh karena itu, pemanfaatannya tidak menimbulkan masalah . Tandan kosong dan serat perasan merupakan produk samping yang berpotensi, meskipun belum banyak dimanfaatkan . Hal ini disebabkan kedua produk samping tanaman kelapa sawit mengandung serat kasar yang cukup tinggi . Upaya peningkatan nilai nutrien produk samping tersebut belum banyak dilakukan, khususnya sebagai pakan ruminansia . Hingga saat ini kedua produk tersebut masih dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan kompos maupun sebagai bahan bakar pabrik . Tingginya kandungan serat kasar produk samping tanaman dan hasil ikutan pengolahan buah kelapa sawit perlu diberi perlakuan secara khusus agar dapat dimanfaatkan secara optimal .

Tabel 3 . Komposisi nutrien produk samping industri kelapa sawit dan beberapa bahan pakan komersial

Keterangan : tt, tidak tersedia Bahan/produk samping BK % Abu PK SK L Ca P GE (kalig) % BK

Daun tanpa lidi 46,18 13,40 14,12 21,52 4,37 0,84 0,17 4461

Pelepah 26,07 5,10 3,07 50,94 1,07 0,96 0,08 4841 Solid 24,08 14,40 14,58 35,88 14,78 1,08 0,25 4082 Bungkil 91,83 4,14 16,33 36,68 6,49 0,56 0,84 5178 Serat perasan 93,11 5,90 6,20 48,10 3,22 tt tt 4684 Tandan kosong 92,10 7,89 3,70 47,93 4,70 0,24 0,04 3367 Bungkil kedelai 88,61 8,20 32,27 8,62 14,98 Jagung giling 87,27 4,09 9,91 2,45 4,64 Dedak padi 85,65 10,88 12,99 13,82 9,00 0,21 1,51 Vegetasi alam 17,2 11,99 7,13 33,91 2,42 Jerami padi 63,52 26,60 5,68 33,00 0,73 0,22 0,12 3470 Jerami kedelai 89,17 10,70 7,51 31,11 0,22 Pucuk tebu 39,23 9,52 4,14 37,26 0,25

(6)

Seminar Optimalisasi Hasil Samping Perkebunan Kelapa Sawit dan Industri 0lahannya sebagai Pakan Ternak

TEKNOLOGIPENGOLAHAN Sebagaimana produk samping tanaman pertanian lainnya, produk samping industri kelapa sawit mengandung serat kasar yang tinggi, kandungan protein kasar yang rendah dan disertai dengan tingkat kesukaan ternak yang rendah pula . Upaya meningkatkan pemanfaatan produk samping tersebut, merupakan pilihan yang harus ditempuh dalam upaya meningkatkan produktivitas ternak . Berbagai pendekatan telah dan terus dikembangkan dalam upaya penyempurnaan teknologi agar kualitas dan nilai biologis produk samping industri tersebut dapat ditingkatkan serta dapat dipergunakan secara optimal sebagai bahan baku penyusun ransum .

Beberapa metode yang telah dikembangkan untuk meningkatkan nilai nutrisi produk samping industri pertanian/perkebunan dapat dikelompokkan dalam (i) perlakuan fisik (cacah, giling, temperatur dan tekanan), (ii) secara kimia (asam dan basa (NaOH, HCI, urea)), (iii) secara biologis dan enzimatis dengan mempergunakan mikroorganisme dan (iv) kombinasi diantara ketiga metode di atas .

Secara umum pendekatan fisik dilaporkan kurang memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kandungan nutrisi produk olahan . Sementara pendekatan dengan kimia mulai ditinggalkan karena pada umumnya berdampak negatif balk terhadap ternak yang meng-konsumsinya maupun terhadap lingkungan meskipun dalam skala terbatas/laboratorium masih dimungkinkan . Pendekatan yang cukup dapat diterima pengguna dan memberikan hasil yang berdaya guna serta cukup memuaskan adalah pendekatan secara biologis (bio-proses) . Pendekatan biologis dimaksud antara lain melalui proses fermentasi dan enzimatis (tergantung substrat dan target yang diinginkan) .

Perlakuan fisik

Perlakuan secara fisik terhadap pelepah, antara lain dengan pencacahan dalam bentuk kubus sebesar 1-2 cm 2 dan/ataupun peng-gilingan, dan dilanjutkan dengan pembuatan pelet. Disamping meningkatkan nilai nutrisi bahan, tujuan lainnya adalah memudahkan ternak untuk mengkonsumsinya . Upaya

pembuatan silase dengan penambahan urea atau molases belum memberikan hasil yang signifikan, walaupun ada kecenderungan peningkatan nilai nutrien (ZAHARI, et al.,

2003) . Perlakuan dengan peletisasi tidak meningkatkan nilai kecernaan pelepah, meskipun tingkat palatabilitasnya meningkat

(KAWAMOTO, et a! ., 2001) . Oleh karena itu proses pembuatan pelet berbahan pelepah hanya disarankan untuk meningkatkan konsumsi bahan kering .

Lumpur sawit diketahui merupakan hasil ikutan proses ekstraksi buah sawit yang mengandung air cukup tinggi . Produk samping ini diketahui menimbulkan masalah ling-kungan, sehingga upaya untuk mengatasinya adalah dengan mengurangi kandungan air lumpur sawit untuk selanjutnya dapat dipergunakan sebagai bahan pakan, khususnya ternak rumii ansia(WEBB,et al., 1976) . Produk hasil pemisahan lumpur sawit dari sebagian besar kandungan airnya dikenal dengan solid dan dapat dipergunakan langsung sebagai

komponen ransum .

Bungkil inti sawit (BIS) merupakan salah satu produk samping proses ekstrasi inti sawit .

Proses yang kurang balk menyebabkan BIS tercemar oleh pecahan cangkang inti, yang dalam penggunaannya perlu mendapat perhatian, khususnya jika diberikan sebagai komponen ransum unggas . Keberadaan pecahan cangkang inti sawit dengan tekstur yang keras dan tajam akan mengganggu sistem pencernaan unggas yang mengkonsumsinya sehingga secara umum mengganggu proses pencernaan . Untuk mengurangi gangguan tersebut maka perlu dilakukan penyaringan/ ayakan BIS sebelum dipergunakan sebagai komponen ransum ternak monogastrik . Studi yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa cemaran cangkang inti sawit dalam bungkil inti sawit mencapai 15-17% dan dengan penyaringan dapat menekan tingkat cemaran hingga 7%(CHIN, 2002) .

Penggunaan BIS untuk ternak ruminansia tidak mengganggu sistem pencernaan karena dapat dikeluarkan kembali melalui feses . Agar penggunaan bungkil inti sawit sebagai sumber protein dapat lebih efisien dimanfaatkan oleh ternak ruminansia maka nilai biologis bahan tersebut harus ditingkatkan dengan perlakuan khusus . Perlakuan yang dapat diberikan adalah dengan fermentasi dan coating ataupun

(7)

Seminar Optimalisasi Hasil Samping Perkebunan Kelapa Sawit dan Industri O/ahannya sebagai Pakan Ternak

kombinasi dari perlakuan tersebut (KAUFMAN, 1979) . Hal ini dilakukan agar sebagian atau keseluruahn protein kasar yang terdapat dalam bungkil inti sawit tidak didegradasi dalam rumen namun dapat dimanfaatkan langsung melalui proses enzimatis pada saluran pencernaan pasca rumen (by-pass protein) (SARICICEK, 2000 ; MUSTAFA, et a! ., 2000) . Teknologi yang sederhana dan mudah dilakukan adalah dengan teknik coating menggunakan senyawa sekunder tannin (ZIMMER dan CORDESSE 1996) . Senyawa sekunder tersebut banyak terdapat di lapang, seperti cairan getah pisang dan imbangan penggunaannya adalah 1/1 (v/w) hingga 1/3 (v/w) (MATHIUS, et al., 2002a ; 2002 b). Penggunaan formaldehide kurang disarankan karena dikuatirkan ada residu yang tertinggal pada produk perternakan dan isu lingkungan serta dalam skala lapang tidak mudah untuk diaplikasikan .

Perlakuan kimia

Substrat target yang pada umumnya diberi perlakuan kimia adalah bahan dengan kandungan serat kasar yang tinggi seperti pelepah, tandan kosong dan serat perasan . Perlakuan secara kimia dengan menggunakan 8% sodium hidroksida (NaOH), dilaporkan dapat meningkatkan kecernaan bahan kering pelepah (KAWAMOTO, et a! ., 2001) dan bahan kering serat perasan dari 43,2 menjadi 58% (JALALUDIN, et al., 1991 b) . Sementara penggunaan sodium hidroksida hingga 12% (12 g NaOH/100g bahan), perlakuan fisik (tekanan uap), ataupun kombinasi perlakuan NaOH dengan tekanan uap menurunkan tingkat kecernaan bahan kering serat perasan dan batang kelapa sawit . Tidak diperoleh alasan yang cukup, mengapa perlakuan tersebut dapat menurunkan tingkat kecernaan bahan kering serat perasan .

Peningkatan nilai nutrien pakan berserat dapat juga dilakukan dengan amoniasi . Dibandingkan dengan perlakuan kimia lainnya dan dampak samping yang ditimbulkan maka penggunaan urea lebih murah, kurang berbahaya dan mudah dilakukan . Efektivitas perlakuan amonia dipengaruhi oleh tingkat pemberian amonia, suhu lingkungan, lama perlakuan dan kadar air, serta tipe dan kualitas

substratlbahan yang diproses . Selain mening-katkan kecernaan serat, juga meningmening-katkan kadar nitrogen yang diperoleh dari nitrogen urea. Perlakuan amoniasi pada pelepah kelapa sawit belum memberikan hasil yang signifikan (ZAHARI, et a! ., 2003), namun ISHIDA dan HASSAN (1997) melaporkan penambahan 1-2% urea dapat mencegah kerusakan yang dapat terjadi pada silase pelepah yang telah dikeluarkan dari silo . Selanjutnya dilaporkan pemberian urea pada pelepah yang telah diberi perlakuan uap panas menurunkan tingkat kecernaan bahan kering pelepah . Secara umum upaya meningkatkan nilai nutrien dan biologis pelepah belum memberikan hasil yang memuaskan . Konsekuensi proses pemanenan buah sawit yang dilakukan setiap hari menyebabkan ketersediaan pelepah dan daun dalam bentuk segar tersedia setiap saat . Kondisi y4ng demikian memungkinkan kita untuk sementara waktu menggunakan produk tersebut dalam keadaan segar .

Teknologi penyabunan dapat juga di terapkan untuk mendapatkan produk dengan tingkat kandungan energi terproteksi/lolos cerna yang tinggi . Teknologi ini menggunakan subsrat minyak sawit (CPO) . Produk teknologi ini pada umumnya diperuntukan bagi ternak laktasi, khususnya sapi perah yang membutuh-kan ekstra energi sebagai bahan baku air susu . Aplikasi di lapang tidak mudah dan pada umumnya dilakukan secara komersial .

Perlakuan biologis

Solid diketahui mengandung protein kasar sejumlah 14% (dasar bahan kering) . Usaha untuk meningkatkan kandungan nutrien solid telah dilakukan dengan pendekatan fermentasi secara aerobik dan hasilnya dilaporkan meningkatkan kandungan protein kasar menjadi 43,4% dan energi menjadi 2,34 kkal EM/g (YEONG, et a!., 1983) . Diantara produk olahan yang telah dihasilkan tersebut dikenal sebagai Prolima, Centriplus dan Censor (HASSAN, 1995).

Salah satu usaha yang dilakukan Balai Penelitian Ternak untuk meningkatkan penggunaan solid sawit adalah dengan teknologi fermentasi menggunakan Aspergillus niger. Fermentasi bungkil inti sawit maupun lumpur sawit ternyata dapat meningkatkan

(8)

Seminar Optimalisasi Hasil Samping Perkebunan Kelapa Sawit dan industri Olahannya sebagai Pakan Ternak

kadar protein dan menurunkan kadar serat kasar (SINURAT, et al., 1998) . Protein kasar BIS meningkat dari 14,19% menjadi 25,06%, sedangkan kandungan serat kasar menurun dari 21,70% menjadi 19,75% . Hal ini menyebabkan energi metabolis (TME) bungkil inti sawit meningkat dari 1844 Kkal/kg menjadi 2103 Kkal/kg (SUPRIYATI, et al., 1998) . Demikian juga halnya dengan lumpur sawit, protein kasarnya meningkat dari 11,94% menjadi 22,6% dan kadar serat (NDF) menurun dari 62,8% menjadi 52,1%, serta energi metabo-lisnya meningkat dari 1237 Kkal/kg menjadi 1273 Kkal/kg (SINURAT, et a! ., 1998 ; PASARIBU, et al., 1998 ; PURWADARIA, et al.,

1999) . Namun demikian uji lapang menunjukkan teknologi fermentasi perlu dimodifikasi . Hal ini disebabkan kandungan air solid cukup tinggi dan untuk menurunkan kadar air substrat maka dilakukan penambahan bungkil inti sawit. Produk fermentasi yang dilakukan dalam skala lapang menunjukkan bahwa kandungan protein kasar meningkat dari 12,21% menjadi 24,5% (dasar bahan kering) (SINURAT, et al., 2005) . Teknologi fermentasi tersebut masih membutuhkan penyempurnaan agar nilai nutrien produk hasil fermentasi menjadi lebih baik .

PEMANFAATAN PRODUK SAMPING INDUSTRI KELAPA SAWIT DAN

OLAHANNYA SEBAGAI PAKAN Sebagian besar, kalau tidak dapatdikatakan seluruh produk samping tanaman dan hasil ikutan pengolahan kelapa sawit berkualitas rendah hingga sedang. Hal ini ditampilkan dengan tingginya kadar serat kasar dan rendahnya kadar protein kasar yang terkandung . Keadaan yang demikian meng-indikasikan bahwa dalam penggunaaannya menjadi terbatas, balk untuk ternak non-ruminansia maupun non-ruminansia .

Ternak non-ruminansia

Sebagai komponen dalam ransum, hanya produk samping industri kelapa sawit tertentu yang dapat dimanfaatkan oleh ternak non ruminansia, seperti bungkil inti sawit dan lumpur sawit/solid . Bungkil inti sawit sudah umum digunakan sebagai komponen ransum

dan dilaporkan penggunaannya dalam ransum dapat mencapai 30% untuk broiler (HUTAGALUNG, 1981) dan 40% untuk petelur (YEONG, et al., 1983) . Namun demikian untuk menghindari pengaruhi negatif, disarankan agar penggunaannya hanya 20% (MPOPC, 2002). Untuk ternak babi, penggunaan bungkil inti sawit dapat mencapai 25% (MPOPC, 2002) tanpa menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan .

Tingginnya kadar serat kasar dan abu serta ketersediaan asam amino merupakan pembatas utama rendahnya tingkat pemanfaatan solid untuk ternak monogastrik. YEONG dan AZIZAH (1987) melaporkan bahwa pemberian lumpur sawit kering dalam ransum ayam ras petelur hingga 20% tidak menyebabkan gangguan terhadap efisiensi penggunaan pakan, produksi telur, bobot telur, dan kualitas telur. Level ini dianggap c ikup aman untuk diberikan pada ayam ras petelur, tetapi lumpur sawit yang digunakan mengandung serat kasar (16,8%) yang cukup rendah dan protein (13,0%) yang cukup tinggi dibandingkan dengan kadar serat kasar dan protein lumpur sawit yang umum dilaporkan (SINURAT, 2003) . Hasil penelitian yang dilakukan di Balai Penelitian Ternak menunjukkan bahwa lumpur sawit kering hanya dapat diberikan 5% di dalam ransum ayam pedaging (Tabel 4) (SINURAT, et al.,

2000) . Pemberian pada taraf yang lebih tinggi dapat menyebabkan penurunan performans ayam (penurunan konsumsi ransum dan pertumbuhan yang lebih lambat), meskipun efisiensi pakan dan persentase karkas, lemak abdomen dan bobot relatif hati yang dihasilkan tidak mengalami perubahan dibandingkan kontrol (tanpa lumpur sawit) . Penurunan konsumsi ransum ini diduga karena semakin meningkatnya kandungan serat kasar dengan meningkatnya kandungan lumpur sawit dalam ransum . Sebagai akibatnya, konsumsi zat gizi juga berkurang sehingga memperlambat

pertumbuhan ternak .

SONAIYA (1995) melaporkan bahwa lumpur sawit juga digunakan untuk pakan ayam lokal dengan saran penggunaan 10-30% dalam ransum . Sementara KARO-KARO, et al.

(1994) melaporkan bahwa pemberian lumpur sawit kering di atas 10% dalam ransum ayam lokal periode pertumbuhan menyebabkan penurunan bobot hidup dan konsumsi ransum . Disamping itu, pemberian lumpur sawit 20%

(9)

Seminar Optimalisasi Hasil Samping Perkebunan Kelapa Sawit dan lndustri Olahannya sebagai Pakan Ternak

dalam ransum dapat menyebabkan diare .

Lumpur sawit kering dapat diberikan dalam

ransum itik hingga 15% tanpa mengganggu

pertumbuhan, konsumsi ransum maupun

persentase karkas (SINURAT, et al., 200Is) .

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk

mengetahui pemanfaatan produk lumpur sawit

terfermentasi sebagai pakan unggas . YEONG

dan AZIZAH (1987), melaporkan bahwa lumpur

sawit yang sudah difermentasi secara

anaerobic thermo-acidophilic dapat digunakan

di dalam ransum ayam pedaging hingga 15% .

Produk fermentasi tersebut mengandung

protein kasar 16,8% dan serat kasar 21,5% .

Menurut SONAIYA (1995), produk fermentasi

lumpur sawit dapat digunakan dalam ransum

unggas sebanyak 20% hingga 40% . Berbeda

halnya dengan ayam, pemberian produk

Tabel 4. Pengaruh pemberian lumpur sawit kering terhadap penampilan ayam broiler 1-42 hari

Sumber : SrNU T, et al., (2000)

PEREZ (1997) mengemukakan bahwa

lumpur sawit segar dapat diberikan didalam

ransum ternak babi hingga 14% . Dikemukakan

juga bahwa lumpur sawit kering dapat

diberikan hingga 20% dalam ransum ternak

babi periode pertumbuhan/penggemukan . Akan

tetapi semakin tinggi pemberian lumpur sawit

kering dalam ransum, menyebabkan penurunan

performans ternak babi dan meningkatkan

penimbunan lemak . FARREL (1986),

menyarankan batas pemberian lumpur sawit

dalam ransum ternak babi hanya 15% .

Ternak ruminansia

Meskipun semua produk samping yang

dihasilkan industri kelapa sawit dapat

dimanfaatkan sebagai bahan pakan ruminansia,

penggunaannya tidak disarankan untuk

fermentasi lumpur sawit dalam ransum itik

sedang tumbuh hingga 15% tidak

menyebab-kan gangguan terhadap pertumbuhan maupun

persentase karkas yang dihasilkan (SINURAT, el

al., 2001b) . Pemberian pada level yang lebih

tinggi (> 15%) belum diketahui akibatnya .

Cara pemberian produk fermentasi lumpur

sawit di dalam ransum unggas perlu

diperhatikan . Pemberian produk fermentasi

dalam bentuk kering menghasilkan performans

ayam broiler (SINURAT, et al., 2001a) maupun

ayam kampung (SINURAT, et al ., 2001b) lebih

baik dibandingkan dengan bila diberikan dalam

bentuk segar . Kelemahan penggunaan produk

fermentasi dalam bentuk segar menyebabkan

campuran ransum tidak homogen dan akan

terjadi gumpalan-gumpalan .

diberikan secara tunggal . Tingginya kadar serat

kasar produk samping industri kelapa sawit

pada umumnya menyebabkan produk-produk

tersebut dipergunakan sebagai bahan pakan

substitusi ataupun tambahan dalam ransum

(JALALUDIN, el al., 1991b ; NOEL, 2003) .

HASSAN dan ISHIDA (1991) melaporkan bahwa

pelepah kelapa sawit dapat dipergunakan

sebagai bahan pakan pengganti hijauan, baik

dalam bentuk segar maupun dalam bentuk

silase . Studi awal yang dilakukan oleh HASSAN

dan ISHIDA (1992) pada sapi Kedah Kalantan

menunjukkan bahwa pelepah dapat

dipergunakan hingga mencapai 30 - 45% dan

dapat menggantikan 100% pakan hijauan .

MATHIUS, et al . (2004') menyarankan pelepah

dapat diberikan dalam keadaan segar hingga

30% dari konsumsi bahan kering ransum .

Untuk meningkatkan konsumsi dan kecernaan

pelepah dapat dilakukan dengan penambahan

Parameter

Kadar lumpur sawit kering dalam ransum (%)

0

5

10

15

Konsumsi pakan (g)

3252

3141

2963

2898

Bobot hidup (g)

1509

1557

1425

1409

Konversi pakan (g/g)

2,22

2,08

2,14

2,13

Mortalitas (%)

6,7

6,7

0

0

Karkas (%)

66,9

65,9

64,7

63,9

Lemak abdomen (%)

1,79

1,71

1,69

1,48

Bobot hati (%)

2,16

1,97

2,03

2,04

(10)

produk ikutan lainnya dari kelapa sawit

(ZAHARI, et al., 2003) . Selanjutnya dari hasil penelitian ZAHARI, et al., (2003) yang menggunakan tingkat cacahan pelepah segar yang berbeda pada sapi potong hasil persilangan Brahman-Australia, menunjukkan bahwa pemberian cacahan pelepah segar sejumlah 40% dan pakan tambahan yang tersusun dari sebagian besar bungkil inti sawit memberikan hasil yang terbaik ditinjau dari tingkat efisiensi penggunaan ransum . Demikian pula pemberian pakan tersebut menghasilkan persentase dan berat karkas yang terbaik. Meskipun pemberian sejumlah 20% cacahan pelepah segar dan 80% pakan tambahan dari campuran yang tersusun dari bungkil inti sawit memberikan pertambahan bobot hidup harian yang tertinggi (0,85 vs 0,67 g) . Disamping tidak ekonomis, pemberian 20% cacahan segar dan 80% pakan tambahan menyebabkan kandungan lemak karkas dapat mencapai 16,7%, suatu kondisi dimana pasar kurang dapat menerima . Pemberian pelepah sebagai bahan ransum dalam jangka waktu yang panjang menghasilkan kualitas karkas yang lebih balk . Hasil penelitian terdahulu

(MATHIUS, et al ., 2004a) menunjukkan bahwa bagian dalam (daging) pelepah kelapa sawit segar yang telah dicacah dapat dipergunakan sebagai pengganti pakan hijauan . Masa adaptasi ternak sapi untuk dapat mengkonsumsi daging pelepah sawit dapat mencapai 3-4 bulan . Lamanya fase adaptasi tersebut sangat tergantung pada beberapa faktor, antara lain, asal usul ternak yang bersangkutan, ukuran dan bentuk cacahan, adanya pakan imbuhan yang dapat merangsang nafsu makan dan ketrampilan pemilik . Penambahan molases dan urea secara bersama-sama dengan cacahan pelepah mampu meciptakan kondisi rumen yang balk untuk perkembangan mikroorganisme rumen . Hal ini ditunjukkan dengan kandungan N-amonia rumen sejumlah 141,5 - 142,9 mg/liter . Hal yang sama juga berlaku untuk daun kelapa sawit yang secara teknis dapat dipergunakan sebagai sumber atau pengganti pakan hijauan . Namun demikian, pemanfaatan daun kelapa sawit sebagai pakan hijauan memiliki kekurangan dalam penyediaannya . Hal tersebut disebabkan adanya lidi daun yang dapat menyulitkan ternak untuk mengkonsumsinya .

Seminar Optimalisasi Hasil Samping Perkebunan Kelapa Sawit dan lndustri Olahannya sebagai Pakan Ternak

Pencacahan yang dilanjutkan dengan pengeringan dan penggilingan, dapat diberikan dalam bentuk pellet (ZAHARI, et al., 2003). Pemberian tepung pelepah dalam bentukpellet

(pakan tunggal) kurang disarankan dengan alasan (i) ukuran yang terlalu kecil menyebabkan waktu ruminansi berkurang, sehingga kondisi rumen (pH) akan berubah dan mempengaruhi proses fermentasi substratl pakan, (ii) waktu tinggal partikel menjadi singkat sehingga proses pencernaan terganggu dan ternak tidak cukup waktu untuk dapat memanfaatkan nutrisi yang ada, dan (iii) membutuhkan biaya yang lebih banyak untuk proses pembuatan pelet . Untuk mengoptimal-kan penggunaan pelepah kelapa sawit, maka bentuk kubus (1-2 cm) lebih disarankan, balk dalam bentuk segar maupun kering . Preparasi pelepah sebagai pakan pengganti hijauan dapat pula dilakujcan dalam bentuk silase. Sebelum melewati proses ensilase, cacahan pelepah segar (2-3 cm) sebaiknya ditambahkan urea sejumlah I - 2% untuk mencegah tumbuhnya jamur dan mencegah timbulnya proses pemanasan yang lebih awal dalam kurun waktu 28 jam (ZAHARI, et a!., 2003) . Hasil ujicoba penggunaan silase cacahan pelepah tidak menimbulkan efek negatif terhadap penampilan ternak yang mengkonsumsinya . Pemberian 30% silase perlakuan pelepah-urea dengan tambahan pakan tambahan berbasis bungkil inti sawit mampu memberikan pertambahan bobot hidup harian sebesar 0,620 g(HASSANdan ISHIDA, 1991) .

Serat perasan(palm press fiber) merupakan hasil ekstrasi buah sawit dan hasil ikutan pengolahan buah kelapa sawit ini masih dipergunakan sebagai bahan bakar . Namun demikian bila dilihat dari potensi dan kandungan nutrien yang dimiliki maka tidak tertutup kemungkinannya untuk dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pengganti pakan hijauan . HASSAN, et al., (1995) melaporkan bahwa kemampuan ternak untuk mengkonsumsi serat perasan cukup rendah sebagai akibat rendahnya nilai kecernaan serat kasar bahan tersebut, yakni hanya mencapai 24 - 30% . Upaya untuk meningkatkan nilai nutrien dan biologis serat perasan, berbagai upaya seperti perlakuan kimia (alkali) dan fisik (tekanan tinggi) tidak banyak memberikan manfaat yang berarti . Keadaan yang demikian menyebabkan upaya untuk mengoptimalkan

(11)

Seminar Optimalisasi Hasil Samping Perkebunan Kelapa Sawit dan Industri Olahannya sebagai Pakan Ternak

pemanfaatan serat perasan belum dapat disarankan . Hasil penelitian terdahulu menunjukkan optimum tingkat penggunaan serat perasan hanya disarankan hingga 20% dalam ransum (DEVENDRA, 1981) .

Kandungan air yang tinggi dalam lumpur sawit menyebabkan produk samping ini kurang disenangi ternak, sementara hasil penyaringan menjadi produk solid cukup palatable, khususnya untuk sapi . Penggunaan solid sebagai pakan tunggal belum pernah dilaporkan, namun sebagai pakan tambahan

Tabel 5 . Penampilan sapi perah jantan dan sapi laktasi yang diberi pakan lumpur sawit sebagai pengganti dedak

Sumber : SuTARDI (1991)

Hasil penelitian DEVENDRA (1978) dan

HANDAYANI, et al., (1987) menunjukkan bahwa domba yang diberi pakan rumput lapangan secara ad libitum, yang diberi suplemen lumpur sawit sebanyak 0,9% dari bobot hidup menghasilkan pertumbuhan yang terbaik . RAHMAN, el al., (1987) melaporkan bahwa pemberian 47% lumpur sawit dan 50%

bungkil inti sawit dalam ransum kambing dan domba yang dipelihara secara intensif (feedlot), menghasilkan performans yang sama dengan kambing dan domba yang diberi ransum komersil .

Uji biologis produk fermentasi secara tunggal belum pernah dilakukan, namun diyakini dengan meningkatnya kandungan nutrien setelah mengalami proses fermentasi berdampak positif terhadap ternak yang mengkonsumsinya . Pemberian yang dilakukan dengan kombinasi solid-bungkil . inti sawit dapat memberikan respon yang positif terhadap penampilan ternak sapi (JALALUDIN, et al.,

1991 b ) . Menurut CHIN (2002), pemberian lumpur sawit yang dicampur dengan bungkil

ataupun substitusi menunjukkan bahawa solid mampu menggantikan sebagian atau seluruh dedak padi dalam ransum sapi (Tabel 5) (SUTARDI, 1991) . Penelitian penggunaan

lumpur sawit sebagai pakan domba juga sudah dilakukan . Kecernaan gizi lumpur sawit pada ternak domba cukup tinggi, yaitu 70-87%, 72-90% dan 63-84%, masing-masing untuk kecernaan bahan keying, bahan organik dan protein kasar

inti sawit dengan perbandingan 50 :50 adalah

yang terbaik untuk pertumbuhan sapi . Sapi Droughtmaster yang digembalakan di padang penggembalaan rumput Brachiaria decumbens hanya mencapai pertumbuhan 0,25 kg/ekor/ hari, tetapi dengan penambahan lumpur sawit yang dicampur dengan bungkil inti sawit, mampu mencapai0,81 kg/ekor/hari .

Bungkil inti sawit (BIS), merupakan produk samping yang berkualitas karena mengandung protein kasar cukup tinggi . Pemanfaatannya yang disertai dengan produk samping lainnya perlu dilakukan untuk dapat mengoptimalkan penggunaan bungkil inti sawit untuk ternak. Pemberian bungkil inti sawit secara tunggal (6 - 7 kg/ekor/hari) mampu memberikan pertambahan bobot hidup harian sapi dengan kisaran 0,7 - 1,3 kg (SUE dan

AWALUDIN, 2005) . Bungkil inti sawit

merupakan sumber energi dan protein yang cukup balk untuk ternak ruminansia . Penelitian pemanfaatan BIS dalam ransum sapi perah, sapi potong dan domba sudah banyak dilaporkan . BABJEE,et al., (1986) memberikan

Uraian Taraf substitusi dedak dengan lumpur sawit

0% 33% 50% 67% 100%

Sapi perah jantan :

Konsumsi bahan keying (kg/h) 6,001 5,$16 6,187

Pertumbuhan (kg/h) 1,24 1,44 1,33 Lemak tubuh (%) 31,71 31,90 31,45 Sapi Iaktasi : Produksi susu (kg/h) 10,56 11,01 11,04 11,21 Lemak susu (%) 4,08 4,25 3,98 4,62 Protein susu (%) 2,86 2,62 3,01 2,95

(12)

BIS sebagai bahan pakan tunggal (BIS + mineral dan vitamin) dalam penggemukan sapi dan menghasilkan pertumbuhan yang cukup baik (749 g/ekor/hari) . Akan tetapi, dilaporkan bahwa pemberian BIS sebagai bahan pakan tunggal dapat menimbulkan resiko kembung .

GINTING, et a! ., (1987) melaporkan bahwa domba yang diberi makan suplementasi BIS hingga 1,35% dari bobot hidup memberi pertumbuhan yang lebih tinggi dibanding dengan yang hanya diberi rumput (Tabel 6) .

Dari uraian diatas, terlihat bahwa hampir seluruh produk samping industri kelapa sawit dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pakan alternatif, khususnya untuk ternak ruminansia . Nampaknya pemanfaatan produk samping industri kelapa sawit tidak dapat dipergunakan secara tunggal . Hasil penelitian beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa agar dapat mengkonsumsi produk samping, ternak harus dibiasakan selama beberapa bulan . Ternak sapi yang baru pertama memperoleh pakan tersebut menunjukkan penampilan yang kurang memuaskan . Namun demikian, setelah melewati fase adaptasi, ternak sapi dapat memanfaatkan pelepah, solid dan bungkil inti sawit, sebagai bahan pakan utama . Penampilan ternak yang diberi pakan produk samping indusri kelapa sawit pada 2-3 bulan pertama menurun namun secara bertahap/berangsur-angsur membaik pada bulan berikutnya .

Mengacu pada data awal tersebut, diyakini bahwa ternak sapi dapat dikembangkan dengan mengandalkan produk samping industri kelapa sawit . Dengan perkataan lain pemberian pakan yang berbasis produk samping industri kelapa sawit dapat diandalkan sebagai sumber utama pakan sapi . Uji biologis pakan yang tersusun

Tabel 6. Penampilan domba yang diberi suplemen bungkil inti sawit

Sumber:GIN ING,et al., (1987)

Seminar Optimalisasi Hasil Samping Perkebunan Kelapa Sawit dan Industri 0lahannya sebagai Pakan Ternak

dari imbangan campuran produk samping industri kelapa sawit pada ternak sapi, telah dilakukan MATHIUS, et a! ., (2004") . Diperoleh bahwa ransum dengan imbangan 1/3 bagian cacahan daging pelepah, 1/3 bagian solid dan 1/3 bagian bungkil kelapa sawit, memberikan hasil yang terbaik, meskipun belum optimal sebagaimana yang diharapkan (pertambahan bobot hidup harian sebesar 0,34 kg) . Pemberian pelepah sebagai pakan dasar dan dengan penambahan produk fermentasi (solid dan bungkil inti sawit) pada sapi Bali memberikan hasil yang lebih memuaskan dengan pertambahan bobot hidup harian yang cukup tinggi yakni 0,6 kg (MATHIUS, et al.,

2005) . Nilai tersebut mengindikasikan bahwa ransum sapi dapat diformulasi dengan sumber utama bahan baku produk samping industri kelapa sawit (kecuali vitamin dan mineral) .

Uji kaji, formulasi pakan komplit untuk ternak sapi potong pada berbagai status fisiologis sedang dan akan terus dilakukan dan diharapkan ke depan seluruh pakan ruminansia dapat diformulasikan dari produk samping industri kelapa sawit . Demikian pula uji kaji bentuk (pecahan, pellet dan balok) pakan komplit telah pula dilakukan dan hasilnya menunjukkan bahwa pemberian pakan komplit dalam bentuk pelet dan pecahan tidak menunjukkan perbedaan, sedangkan pemberian dalam bentuk balok memberikan tingkat konsumsi bahan kering yang lebih rendah . Dari data-data yang diperoleh dan hasil kajian yang telah dilakukan perlu dipikirkan teknologi penyediaan pakan komplit slap saji untuk ternak ruminansia, khususnya dalam skala komersial .

Parameter Penambahan bungkil inti sawit (% bobot hidup)

0% 0,45% 0,90% 1,35% 1,8%

Konsumsi rumput (g/h) 514 472 493 461 432

Konsumsi bungkil inti sawit (g bahan kering/hari) 0 47 101 189 213 Pertambahan bobot hidup harian (g/hari) 27,5 51,0 53,0 69,0 68,0

(13)

Seminar Oplimalisasi Hasil Samping Perkebunan Kelapa Sawit dan Induslri Olahannya sebagai Pakan Ternak

PENUTUP

Produk samping industri kelapa sawit berpotensi untuk dapat dijadikan bahan baku pakan . Bungkil inti sawit dan solid terfermentasi dapat menggantikan sebagian bahan baku pakan komersial untuk ternak non-ruminansia, sementara penyusun ransum komplit/siap saji, khususnya untuk ruminansia dapat sepenuhnya tersusun dari produk samping industri kelapa sawit . Penerapan teknologi dalam upaya pengayaan kandungan nutrien dan meningkatkan nilai biologi pelepah dan serat perasan, telah banyak dilakukan . Namun belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga pemanfaatannya dalam bentuk segar lebih disarankan, khususnya sebagai pengganti pakan hijauan . Upaya mengoptimalkan pemanfaatan produk samping pabrik pengolahan buah kelapa sawit melalui pendekatan teknologi yang ada (fermentasi) agar kualitas bahan baku dapat ditingkatkan, perlu disempurnakan sehingga lebih memberi peluang bagi para praktisi untuk lebih meningkatkan daya guna pemanfaatan produk samping tersebut . Di masa yang akan datang, teknologi penyediaan pakan komplit berbasis produk samping industri kelapa sawit, baik dalam bentuk pelet maupun pecahan/crumble, perlu dipertimbangkan agar upaya pengembangan usaha peternakan, khususnya ternak potong ruminansia dalam skala industri dapat terwujud .

DAFTAR PUSTAKA

ABU HASSAN, O. OSHIO, S . ISMAEL, A .R . MOHD JAAFAR, D. NAKANISHI, N . DAHLAN and S .H . ONG . 1991 . Experience and challenges in processing, treatments, storage and feeding of oil palm trunks based diets for beef production . Proc . Sem. on Oil Palm Trunks and Others Palm Wood Utilization, Kuala Lumpur, Malaysia, 231-245 .

HASSAN O .A . and M . ISHIDA . 1991 . Effect of water, mallases and urea addition on oil palm frond silage quality. Fermentation, Characteristics and Palatability to Kedah-Kelantan Bulls . In .Proc . 3`d Int . Symp. On The Nutrition of Herbivores . WAN ZAHARI M ., Z. A .TAJUDDIN, N . ABULLAH and H .K . WONG . (Eds) . Penang, Malaysia . p . 94 .

ABu HASSAN, O. and M . IsHIDA . 1992 . Status of utilization of selected fibrous crop residues and animal performance with special emphasis on processing of oil palm frond (OPF) for ruminant feed in Malaysia . Trop . Agri Res Series., P . 24 :135-143 .

ANON . 2006 . Kelapa sawit: Kebutuhan benih unggul nasional terus melonjak. Kompas II Februari 2006 .

ABU HASSAN, O . 1995 . Processing and utilization of oil palm biomass (by-products) for animal feed . Nat . Oil Palm Conf. Technol . In Plantation-The Way Forward . Kuala Lumpur, Malaysia .

ARrFONANG, D. 1984. Pengaruh penggunaan bungkil inti sawit dalam ransum babi yang sedang tumbuh . Disertasi Doktor . Fakultas Pasca Sarjana . lnstitut Pertanian Bogor .

BABJEE, A.M., H . HAWARI and M .R . ROSLI . 1986 . Palm kernel beef: A value added product of palm kernel cake. Proc . 8d' Ann . Conf. MSAP . pp . 92-93 . University Pertanian Malaysia, Selangor.

CHEN, C .P. 1990 . Management of forage for animal production under tree crops . In . Proc . Integrated Tree Cropping and Small Ruminant Production System . SR-CRSP . Univ . California Davis . USA pp 10-23 .

CHEN, C .P ., H .K . WONG and I . DAHLAN . 1991 . Herbivores and plantation . In Recent Advances on the Nutrition of Herbivores . Selangor-Malaysia . MSAP . pp .71-81 . CHIN, F .Y . 2002 . Utilization of palm kernel cake as

feed in Malaysia. Asian Livestock 26 (4) : 19-26.

CORLEY R.H .U . 2003 . Oil palm : A major tropical crop . Burotrop 19 : 5-7 .

DEPARTEMEN PERTANIAN, 2004 . Statistik Pertanian 2004 . Departemen Pertanian Republik Indonesia .

DEVENDRA, C . 1981 . Rouhage resources for feeding ruminants in the Asean region . In . Proc. The First Asean Workshop on the Technology of Animal Feed Production Utilising Food Waste materials . Bandung, Indonesia . Pp . 78-113 . DIWYANTO K ., D . SITOMPUL, I . MAN -r], I-W .

MATHIUS dan SOENTORO . 2004. Pengkajian pengembangan usaha sistem integrasi kelapa sawit-sapi . Pros. Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi . Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi . SETIADI et a!., (Eds) . Badan Litbang Pertanian, Pemprov Bengkulu dan PT . Agricinal . Hlm . 11-22 .

(14)

Seminar Optimalisasi Hasil Samping Perkebunan Kelapa Sawit dan lndustri Olahannya sebagai Pakan Ternak

FARREL, D .J . 1986 . Some observations on the utilization of agricultural by-produts in non-ruminant feeding systems in South East Asia . Proc . 8 t6 Ann. Conf. MSAP . pp . 18-24 . University Pertanian Malaysia, Selangor . GINTING, S.P ., S .W . HANDAYANI and P .P . KETAREN .

1987 . Utilization of palm kernel cake for sheep production . Proc . 10 th Ann . Conf. MSAP . Univesity Pertanian Malaysia, Selangor. pp . 235-239 .

HANDAYANI, S .W ., S .P . GINTING and P .P . KETAREN . 1987 . Effect of palm oil mill effluent to sheep fed a basal diet of native grass . Proc. 10 th nn . Conf. MSAP . University Pertanian Malaysia, Selangor . pp . 292-294.

HUATAGALUNG R.I . 1981 . The use of tree crops and their by-products for intensive animal production . In. Occ . Publ . Soc . Anim . Prod. No . 4 : 151-184 .

IsHUDA M . and O .A . HASSAN . 1997 . Utilization of oil palm frond as cattle feed . JARQ. 31 : 41-47 . JALALUDIN, S ., Y .W . Ho, N . ABDULLAH and H .

KuDo . 1991'. Strategies for animal improvement in Southeast Asia . In . Utilization of Feed Resources in Relation to Utilization and Physiology of Ruminants in the Tropics . Trop. Agric. Res . Series . # 25 pp . 67-76 . JALALUDIN, S ., Z .A . JELAN, N . ABDULLAH and Y .W .

Ho . 1991b . Recent developments in the oil palm by-product based ruminant feeding system. MSAP, Penang, Malaysia . pp . 35-44 . KAWAMOTO H ., M . WAN ZAHARI, N .I . MOHD

SHUKUR, M .S . MoHD ALI, Y. ISMAIL and S . OsHIO . 2001 . Palatability, digestibility and voluntary intake of processed oil palm fronds in cattle . JARQ. 35(3) 195-200 .

KARO-KARO, S ., S . ELIESER, A . MISNIWATY dan J . SIANIPAR . 1994 . Penelitian sistem usaha tam ternak ayam buras di lahan pekarangan petani tanaman pangan . Laporan Akhir Penelitian . Sub Balai Penelitian Ternak Sei Putih dan Proyek Pengembangan Penelitian Pertanian Nasional . Badan Litbang Pertanian, Jakarta . LIWANG T. 2003 . Palm oil mill effluent management .

Burotrop . 19 : 38.

MATHIUS, l-W.,D . YULISTIANI dan W . PUASTUTI. 2002' . Pengaruh substitusi protein kasai dalam bentuk bungkil kedelai terproteksi terhadap penampilan domba bunting dan laktasi . J/TV.

7 (1) :22-29.

MATHIUS, 1-W ., E . WINA, SUPRIYATI K., D . YULISTIANI dan W . PUASTUTI . 2002 6. Pakan imbuhan batang pisang untuk ternak

ruminansia : Kandungan nutrien dan prospek pemanfaatannya . Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Teknologi Pertanian di Mataram Oktober 2001 . Him .275-281 . MATHIUS, I-W ., D . SITOMPUL, B .P . MANURUNG dan

AZMI . 2004'. Produk samping tanaman dan pengolahan kelapa sawit sebagai bahan pakan temak sapi potong : Suatu tinjauan . In Pros. Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi . Badan Litbang Pertanian, Pemprov Bengkulu dan PT . Agricinal. Him . 120-128 .

MATHIUS, I-W ., AZMI, B .P . MANURUNG, D .M . SITOMPUL dan E . PRIYATOMO. 2004 b. Integrasi sapi-sawit: Imbangan pemanfaatan produk samping sebagai bahan dasar pakan . In Pros . Sistem Integrasi Tanaman-Ternak . Puslitbang Petemakan, BPTP Bali dan CASREN . Him . . 439-446 .

MATHIUS, I-W., A .P. SINURAT, B.P . MANURUNG, D.M. SrroMPtn.dan AZMI. 2005 . Pemanfaatan produk fermentasi lumpur-bungkil sebagai bahan pakan sapi potong . In Pros . Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. September 2005.

MOHAMED, H ., H .A . HALIM and T .M . AHMAD. 1986 . Availability and potential of oil palm trunks and fronds up to the year 2000 . Palm Oil Research Institute of Malaysia (PORIM) 20 :1-17 .

MUSTAFA, A .F ., J .J . MCKINNON and D .A . CHRISTENSEN . 2000 . Protection of canola (Low glucosinolate rapeseed) meal and seed protein from ruminal degradation . Review. Asian-Aust. J. Anim . Sci. 1 3(4) : 535-542 . NOEL, J .M . 2003 . Processing and by-products .

Burotrop Bull. 19 :8 .

ONG, H .K . 1982 . The use of palm oil sludge solids in pig feeding . In. JAINUDEEN M .R . and A .R . OMAR (Eds) . Animal Production and Health in the Tropics . Universiti Pertanian Malaysia . Serdang, Selangor . Pp 307-311 .

PASARIBU, T ., A .P . SINURAT, T. PURWADARIA, SUPRIYATI dan H . HAMID. 1998. Peningkatan nilai gizi lumpur sawit melalui proses fermentasi : Pengaruh jenis kapang, suhu dan lama proses enzimatis. J/TV. 3 (4) : 237-242 . PEREz, R . 1997 . Feeding pigs in the tropics . FAO

animal production and health . Paper 132 . Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome.

PURWADARIA, T ., A .P. SINURAT, SUPRIYATI, H . HAMID dan LAX . BINTANG . 1999 . Evaluasi

(15)

Seminar Opumalisasi Hasil Samping Perkebunan Kelapa Sawii dan Indusrri Olahannya sebagai Pakan Ternak

nilai gizi lumpur sawit fermentasi dengan Aspergillus niger setelah proses pengeringan

dengan pemanasan . J/TV. 4(4) :257-263 . RIADY, M . 2006 . Pengembangan industri peternakan

dan peluang investasi di Indonesia . Disampaikan pada : Seminar lntegrasi Lembu-Kelapa Sawit dengan Kerjasama Malaysia dan Indonesia . Pekan Baru-Riau . 18-20 September 2006 .

SARICICEK, B .Z. 2000 . Protected (by-pass) protein and feed value of hazelnut kernel oil meal . Asian-Aust. J Anim . Sci . 1 :317-322 .

SASAKI, M . 1992 . The advancement of livestock production with special reference to feed resources development in the tropics-current situation and future prospects . In. Utilization of Feed Resources in Relation to Utilization and Physiology of Ruminants in theTropics . Tropical Agric . Research Series. # 25 . pp. 67-76 .

SHIBATA, M . and A . H . OSMAN . 1988$ . Feeding value of oil palm by-products . 1 . Nutrient intake and physiological responses of Kedah-Kelantan cattle . JARQ . 22 (1):77-84 .

SHIBATA, M . and A .H . OSMAN . 19886. Feeding value of oil palm by-products . 2 . Degradation properties in the rumen of Kedah-Kelaantan cattle . JARQ 22 (8) : 235-24.

SINURAT, A .P ., T . PURWADARIA, A . HABIBIE, T . PASARIBU, H . HAMID, J . RosIDA, T . HARYATI dan 1 . SUTIKNO. 1998 . Nilai gizi bungkil kelapa terfermentasi dalam ransum itik petelur dengan kadar fosfor yang berbeda . JITV. 3 :15-21 .

SINURAT, A .P ., T . PURWADARIA, P . KETAREN, D . ZAINUDDIN dan I .P . KOMPIANG . 2000 . Pemanfatan lumpur sawit untuk ransum unggas : 1 . Lumpur sawit kering dan produk fermentasinya sebagai bahan pakan ayam broiler . J/TV. 5 (2) : 107-112 .

SINURAT, A .P ., I .A .K . BINTANG, T . PURWADARIA dan T . PASARIBU. 2001 a . Pemanfatan lumpur sawit untuk ransum unggas : 2 . Lumpur sawit kering dan produk fermentasinya sebagai bahan pakan itikjantan yang sedang tumbuh . J/TV. 5 (2) : 28-33 .

SINURAT, A .P ., T. PURWADARIA, T. PASARIBU, J . DARMA, I .A .K . BINTANG dan M .H . TOGATOROP . 200l b. Pemanfatan lumpur sawit untuk ransum unggas : 3 . Penggunaan produk fermentasi lumpur sawit sebelum dan setelah dikeringkan dalam ransum ayam pedaging . J/TV 6 (2) : 107-112 .

SINURAT, A .P., T . PURWADARIA, T . PASARIBU, J . DARMA, I .A .K . BINTANG dan M .H . TOGATOROP . 2001` . Pemanfatan lumpur sawit untuk ransum unggas : 4 . Penggunaan produk fermentasi lumpur sawit sebelum dan setelah dikeringkan dalam ransum ayam kampung sedang tumbuh . J/TV 6 (4) : 213-219 . SINURAT A .P . 2003 . Pemanfaatan lumpur sawit

untuk bahan pakan unggas . Wartazoa . 13 (2) : 39-47 .

SrroMPUL. D . 2004 . Desain pengembangan kebun dengan sistem usaha terpadu temak sapi Bali . Pros. Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi . SETIADI el al, (Eds). Badan Litbang Pertanian, Pemprov Bengkulu dan PT . Agricinal . Pp . 11-22 .

SONAIYA, E .B . 1995 . Feed resources for smallholder poultry in Nigeria. World Anim. Rev . 82 : 25-33 .

STUR, W .W . 1990 . Methodology for establishing selection criteria for forage species valuation . In Proc. Integrated Tree Cropping and Small Ruminant Production System . SR-CRSP . Univ . California Davis, USA . pp . 10 - 23 . SUE, T .T and R. AWALUDIN . 2005 . Palm kernel cake

and pellet. In . Palm Kernel Products : Characteristic and Applications . Y . BASIR , A . DARUs, M .A . NGAN and C .K. WENG (Eds) . MPOB . Malaysia . Pp .119-134 .

SUPRIYATI, T . PASARIBU, H . HAMID dan A . SINURAT. 1998 . Fermentasi bungkil inti sawit secara substrat padat dengan menggunakan Aspergillus niger. J/TV. 3 :165-170 .

SUTARDI, T . 1991 . Aspek nutrisi sapi Bali . Proc . Sem . Nas . Sapi Bali . Fakultas Peternakan UNHAS, Ujung Pandang . Him. 85-109 . TANGENDJAJA, B . 2007 . Inovasi teknologi pakan

menuju kemandirian usaha temak unggas . Wartazoa (in-press) .

WAN ZAHARI M ., O .B . HASSAN, H.K . WONG and J .B . LIANG . 2003 . Utilization of oil palm frond-based diets for beef cattle production in Malaysia. Asian-Aust. J Anim . Sci., 16(4) :625-634 .

WEI, L .C . 2004 . Mencari RUU Perkebunan yang ideal . Kompas . 2 Februari Him 15 .

WEBB, B .H, R .I . HUTAGALUNG and S .T . CREAM 1976 . Palm oil mill waste as animal feed-processing and utilization . Int. Symp. Palm Oil Processing and Marketing . Kuala Lumpur . pp .

(16)

Seminar Optimalisasi Hasil Samping Perkebunan Kelapa Sawit dan Industri Olahannya sebagai Pakan Ternak

YEONG S .W ., T .K . MUKHERJEE, M . FAIZAH and M .D . AzizAH . 1983 . Effect of palm oil by-product-based diets on reproductive performance of layers including residual effect on off spring . Phil. J Vet. Anim . Sci ., IX (I-4) : 93-100 .

YEONG, S .W . and A . AzizAH. 1987 . Effect of processing on feeding values of palm oil mill effluent (POME) in non-ruminants . Proc . 10`h Ann . Conf. MSAP . University Pertanian Malaysia, Selangor . pp . 302-306.

ZARATE, A .V . 1996 . Breeding strategies for marginal regions in the tropics and subtropics . Anim. Res. and Dev. Vol . 43/44 : 99 - 118 .

ZAINUDIN, A .T . and M .W . ZAHARI . 1992 . Research on nutrition and feed resources to enhance livestock production in Malaysia . Proc . Utilization of Feed Resources in Relation to Nutrition and Physiology of Ruminants in the Tropics . Trop. Agric. Res . Series . 4 25 : 9-25 . ZIMMER, N . and R. CORDESSE . 1996 . Digestibility

and ruminal digestion of non nitrogenous compounds in adult sheep and goats : Effects of chesnut tannins . Anim. Feed Sci. Tech ., 61 :259-273

Referensi

Dokumen terkait

Pengukuran dilakukan dengan dua cara: (1). Penguburan dalam tanah sampah, dengan interval waktu pengamatan setiap 4 hari untuk melihat perubahan yang terjadi pada sampel film

a) Aspek kualitas, sumber potensial di Kabupaten Malang adalah embung dan mata air dengan kondisi sangat terbatas. PDAM Malang dapat dimanfaatkan sumber air tersebut dengan cara

Sebagian besar lainnya (68,78 persen) belum pernah mengikuti pelatihan/kursus/magang. Secara keseluruhan, sifat kewirausahaan pengusaha industri kreatif UMKM di Kota

Jadi jumlah keseluruhan sampel yang diambil peneliti dalam penelitian hubungan peran orang tua terhadap prestasi belajar siswa Kelas V SDN Legokulon 2 Kecamatan

Triyantono. Studi Deskriptif Tentang Program Pemerintah Nawa Cita Melalui Kegiatan Pembangunan Tingkat Padukuhan Di Desa Karangasem Kecamatan Paliyan

Telah dilakukan preparasi RS dari pati kacang hijau varietas Walet dengan perlakuan kombinasi

Unsur Objektif dalam perkara ini yaitu unsur dengan sengaja “Melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud Pasal 69 Ayat (1) huruf h yakni melakukan pembukaan

Penghitungan trombosit secara tidak langsung yang menggunakan sediaan apus dilakukan dalam 10 lpmi x 2000 atau 20 lpmi x 1000 memiliki sensitifitas dan spesifisitas