• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. mencari keuntungan ekonomis di wilayah-wilayah Nusantara. Beberapa negara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. mencari keuntungan ekonomis di wilayah-wilayah Nusantara. Beberapa negara"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

1 1.1 Latar Belakang

Dalam sejarah bangsa Indonesia, kolonialisme telah terjadi sejak abad ke-16 Masehi. Ia digerakkan oleh para penjajah Eropa yang awalnya datang untuk mencari keuntungan ekonomis di wilayah-wilayah Nusantara. Beberapa negara yang sempat menjajah negeri ini antara lain Belanda, Inggris, Spanyol, dan Portugis.

Belanda diyakini sebagai negara yang paling lama menduduki negeri ini. Pada tahun 1825-1830, di Jawa, Hindia Belanda (sekarang Indonesia), pasukan Belanda di bawah pimpinan Jendral De Kock melawan penduduk bumiputra di bawah pimpinan Pangeran Dipenogoro. Dalam catatan sejarah, perang ini telah menewaskan 200.000 warga bumiputra dan 8.000 orang dari pihak Belanda. Perang ini merupakan salah satu perang terbesar dalam sejarah pendudukan Belanda di pulau Jawa, hingga ia pun disebut sebagai Perang Jawa (Belanda: De Java Oorlog) (Carey, 2012:64; Wikipedia, 2013).

Dari sudut kemiliteran, ini adalah perang pertama yang melibatkan semua metode yang dikenal dalam sebuah perang modern, baik metode perang terbuka (open warfare) maupun perang gerilya (geurilia warfare) yang dilaksanakan melalui taktik hit and run. Perang ini juga dilengkapi dengan taktik perang urat syaraf (psy-war) terhadap mereka yang terlibat langsung dalam pertempuran.

(2)

Pada pertengahan bulan Mei 1825, pemerintah Belanda yang awalnya memerintahkan pembangunan jalan dari Yogyakarta ke Magelang lewat Muntilan, mengubah rencananya dan membelokan jalan itu melewati Tegalrejo. Rupanya di salah satu sektor, Belanda tepat melintasi makam dari leluhur Pangeran Diponegoro. Hal inilah yang membuat Pangeran Diponegoro tersinggung dan memutuskan untuk mengangkat senjata melawan Belanda. Ia kemudian memerintahkan bawahannya untuk mencabut patok-patok yang melewati makam tersebut. Namun Belanda tetap memasang patok-patok tersebut bahkan yang sudah jatuh sekalipun. Karena kesal, Pangeran Diponegoro mengganti patok-patok tersebut dengan tombak.

Belanda yang mempunyai alasan untuk menangkap Pangeran Diponegoro karena dinilai telah memberontak, pada 20 Juli 1825 mengepung kediaman beliau. Terdesak, Pangeran beserta keluarga dan pasukannya menyelamatkan diri menuju barat hingga Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo, dan meneruskan ke arah selatan hingga tiba di Goa Selarong yang terletak lima kilometer arah barat dari Kota Bantul. Sementara itu, Belanda —yang tidak berhasil menangkap Pangeran Diponegoro— membakar habis kediaman Pangeran.

Pangeran Diponegoro kemudian menjadikan Goa Selarong, sebuah goa yang terletak di Dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul, sebagai basisnya. Pangeran menempati goa sebelah Barat yang disebut Goa Kakung, yang juga menjadi tempat pertapaan beliau. Sedangkan Raden Ayu Retnaningsih (selir yang paling setia menemani Pangeran setelah dua istrinya wafat) dan pengiringnya menempati Goa Putri di sebelah Timur.

(3)

Setelah penyerangan itu, dimulailah sebuah perang besar yang akan berlangsung 5 tahun lamanya. Di bawah kepemimpinan Diponegoro, rakyat pribumi bersatu dalam semangat Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati (sejari kepala, sejengkal tanah dibela sampai mati). Selama perang, sebanyak 15 dari 19 pangeran bergabung dengan Diponegoro. Perjuangan Diponegoro dibantu Kyai Maja yang juga menjadi pemimpin spiritual pemberontakan. Dalam perang jawa ini Pangeran Diponegoro juga berkoordinasi dengan I.S.K.S. Pakubowono VI serta Raden Tumenggung Prawirodigdoyo Bupati Gagatan. (Wikipedia, 2013)

Salah satu karya sastra yang merekam sejarah Perang Jawa adalah novel Glonggong (2007) karya Junaedi Setiyono. Namun, ini bukanlah novel yang secara eksplisit bercerita tentang Pangeran Diponegoro atau tokoh-tokoh Perang Jawa lainnya. Novel ini mengisahkan seorang pemuda yang namanya tidak akan pernah kita temui dalam buku-buku sejarah. Tokoh utama novel ini bernama Danukusuma yang lebih dikenal dengan nama Glonggong.

Nama Glonggong diperoleh Danukusuma karena kemahirannya bermain perang-perangan dengan menggunakan pedang glonggong. Glonggong adalah tangkai daun pepaya berwarna kuning pucat kehijauan. Oleh anak-anak Jawa pelepah pohon pepaya ini dijadikan pedang untuk bermain perang-perangan.

Glonggong bukanlah tokoh yang serba bisa dalam menghadapi segala rintangan hidup. Dimulai dari masa kecilnya, ia tidak pernah bertemu dengan ayah kandungnya yang dikabarkan gugur di tangan serdadu Belanda. Ia hidup dalam keluarga yang tidak harmonis dengan ayah tiri yang terlampau asing dan ibu yang lebih suka menyendiri. Sementara itu, ia memiliki dua saudara yang

(4)

terpisah sejak kecil. Saudara laki-laki Glonggong tidak diketahui keberadaannya dan saudara perempuannya yang kemudian hari diketahui menjadi seorang gundik bangsawan.

Meskipun masih keturunan ningrat dari Keraton Ngayogyakarta, dia lebih dekat dengan suka duka rakyat jelata dibandingkan kebiasaan hidup kaum bangsawan yang penuh intrik dan gelimang duniawi. Glonggong tumbuh bersama anak-anak desa di tengah keriuhan permainan perang-perangan dengan pelepah daun pepaya yang mereka sebut glonggong. Dengan bekal keahliannya bermain pedang glonggong, dikemudian hari dia bergabung dalam barisan prajurit Pangeran Diponegoro sebagai pengawal senjata. Dengan penuh perjuangan menghadapi gempuran Belanda dan pengkhianatan teman seperjuangan yang bergabung dengan penjajah, Glonggong tetap setia menjadi pengikut Pangeran Diponegoro dalam De Java Oorlog. Hingga pada 1830 Pangeran Diponegoro sebagai pemimpin laskar perlawanan ditangkap dalam sebuah perundingan alot di Magelang.

Selain Glonggong (2007), Junaedi Setiyono juga menulis novel berjudul Arumdalu, masih berhubungan dengan novel pertamanya yang menceritakan kisah seputar Perang Jawa (1825-1830). Novel Glonggong merupakan novel pertamanya dan langsung didapuk sebagai pemenang ke-empat (harapan I) sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2006. Sebelumnya cerpen dan puisinya pernah memenangi sayembara penulisan cerpen dan puisi. Cerpen dan Puisi-puisinya telah dimuat di media masa lokal (Purworejo), juga dapat ditemui dalam

(5)

beberapa antologi puisi yang terbit sejak tahun 1988, yang terakhir, kumpulan puisi dan cerpennya dibukukan dalam antologi Kemuning (2005).

Meskipun novel ini berlatar belakang Perang Jawa kita tidak akan disuguhkan oleh serunya peperangan antara Laskar Dipanegaran dengan Belanda atau kisah-kisah heroik Sang Pangeran dan laskar-laskarnya dalam membela haknya. Sang Pangeran dalam novel ini hanya muncul sekilas saja, selebihnya novel ini lebih mendeskripsikan kisah kehidupan Glonggong dan tokoh-tokoh lain yang merupakan lapisan pertama dan kedua dari hirarki pasukan Diponegoro. Selain itu novel ini juga mengupas intrik politik dan perilaku kaum bangsawan keraton dalam melawan belanda.

Tak ada deskripsi mendetail baik mengenai peristiwa sejarah, setting lokasi dan waktunya. Melalui kisah hidup glonggong, penulis lebih memilih untuk mengungkap bagaimana kebobrokan kehidupan para priyayi keraton yang memilih hidup nyaman dan mencari aman dengan berpihak pada Belanda. Bahkan yang lebih ironis adalah bagaimana akhirnya pasukan Dipanegaran sendiri yang akhirnya frustasi karena kekalahan-kekalahan yang dideritanya sehingga akhirnya membelot dan mencari jalan sendiri-sendiri.

Berangkat dari fenomena di atas, analisis ini akan berfokus pada bagaimana dominasi yang dipraktikkan oleh penjajah Belanda dan resistensi yang dilakukan oleh bumiputra digambarkan dalam Glonggong. Penggambaran ini akan dibahas secara kritis melalui pembacaan pascakolonial. Ada beberapa alasan mengapa Glonggong dipilih sebagai objek penelitian.

(6)

Pertama, dibanding novel-novel sejarah lain yang sejenis, seperti Pangeran Diponegoro: Menggagas Ratu Adil (2007) oleh Remy Sylado, serial Gajah Mada (2006-2007) karya Langit Kresna Hariadi, atau Roro Mendut (1983) karangan Y.B. Mangunwijaya, Glonggong menjadi unik karena ia menampilkan peristiwa “sampingan” yang melatari peristiwa besar Perang Jawa. Meskipun Ahmad Tohari menyebutnya sebagai novel historiografi Perang Dipenogoro, novel ini sebenarnya lebih tepat berisi perjuangan seorang “narator” bernama Glonggong yang mengabdi pada Kanjeng Pangeran Ngabdulkamid (Pangeran Diponegoro), namun gagal memenuhi janjinya untuk mengemban tugas sebagai pengawal senjata Laskar Dipanegaran. Jadi, Perang Jawa hanya menjadi setting novel ini, selebihnya ia lebih sering bercerita tentang lika-liku kehidupan Glonggong. Jadi, bisa dikatakan novel ini sedang memadukan dua unsur yang berbeda: setting makro-struktur historiografis yang “real” (Perang Jawa) dan karakter mikrostruktur yang “non-real” (Glonggong alias Danukusuma).

Kedua, dalam konteks pascakolonial, novel ini merepresentasikan dua hal sekaligus, yakni kebobrokan politis para priyagung keraton dan perlawanan bumiputra terhadap pemerintah Belanda. Jadi, bisa dikatakan bahwa kecenderungan pascakolonial yang berlaku dalam novel ini bukanlah “pasca” dalam pengertian temporal, melainkan “pasca” dalam pengertian “kritik/resistensi” karena perlawanan yang dilakukan terjadi justru pada masa pendudukan Belanda. Karakter pascakolonial juga sangat terlihat pada gejala mimikri yang diperlihatkan oleh beberapa pejabat keraton yang mendesain ruangannya layaknya Belanda (lihat Setiyono, 2007:96).

(7)

Ketiga, karakter inferioritas bumiputra sangat tampak dalam novel ini. Hal tersebut bisa dilihat dari bagaimana Belanda diposisikan lebih tinggi derajatnya dibanding kaum pribumi. Dengan menyebut Belanda sebagai ndara tuan kompeni, dan penduduk pribumi sebagai—misalnya—yang “mulutunya berbau jengkol”, novel ini tidak hanya menunjukkan bagaimana inferioritas itu terjadi, tetapi juga bagaimana peliyanan terhadap bumiputra juga dilakukan oleh kompeni Belanda. Peliyanan ini misalnya bisa dilihat dari bagaimana dalam beberapa kesempatan “narator” atau Glonggong menyebut penjajahan Belanda sebagai ndara tuan kompeni, yang memperjelas inferioritasnya di hadapan superioritas penjajah.

Fakta bahwa wacana pascakolonial sering menjadi topik pembahasan dalam konteks kesusastraan juga menjadi alasan mengapa teori pascakolonial dianggap sebagai salah satu metode yang tepat untuk “membaca” secara kritis novel Glonggong. Secara garis besar ada beberapa alasan mengapa teori pascakolonial digunakan untuk membaca Glonggong.

Pertama, teori ini berguna untuk membaca ulang praktik binarian yang dilakukan oleh Barat. Karakter oposisi biner dalam sebutan-sebutan seperti Barat versus Timur, atau Raksasa versus Kurcaci (Setiyono, 2007:117 - 118) telah memperlihatkan bagaimana penjajah berusaha menguasai bumiputra, tidak hanya secara fisik, tetapi juga intelektual. Begitu pula, kekuasaan kultural yang diperlihatkan dalam novel ini antara Belanda dan masyarakat bumiputra sangat tidak seimbang. Praktik-praktik semacam ini hanya mungkin dikritik secara diskursif melalui pembacaan pascakolonial. Kritik pascakolonial berguna untuk

(8)

mendekonstruksi wacana binerian, penjajah-terjajah, dominasi-subordinasi, yang bersifat hegemonik itu.

Kedua, Perang Jawa yang menjadi latar historis novel Glonggong pada hakikatnya bukanlah bentuk peperangan fisik semata, melainkan juga peperangan kultural. Ada banyak ketidak adilan dalam bidang sosial, budaya, dan intelekual yang diakibatkan oleh hegemoni, kolonialisme, dan kekerasan epistemologis penjajah Belanda yang sudah berkembang sejak awal kedatangannya ke Hindia Belanda (Indonesia). Pembacaan pascakolonial berfungsi bukan semata-mata untuk memperlihatkan hegemoni fisik yang dilakukan oleh penjajah, melainkan— lebih dari itu—untuk menunjukkan bahwa di balik hegemoni fisik itu, terdapat hegemoni lain yang lebih akut dan berbahaya: hegemoni kultural. Pembacaan semacam ini akan membantu peneliti untuk melihat bagaimana konstruk Barat terhadap wacana kultural dan idenditas orang-orang bumiputra tidak terlepas dari kepentingan, ideologi, dan etnosentrisme.

Ketiga, pembacaan pascakolonial sebenarnya tidak hanya berfungsi untuk melakukan kritik terhadap konstruk kultural, intelektual, dan politis para penjajah, tetapi juga menawarkan praktik subversif terhadap kekuasaan kolonial, atau apa yang sering dikenal dengan istilah resistensi. Resistensi merupakan sebentuk perlawanan subversif dari yang-terjajah terhadap penjajah agar yang-terjajah mendapatkan kebebasan dan perubahan dalam diri mereka. Wacana-wacana dominan yang terdapat dalam praktik keseharian masyarakat Belanda, sebagaimana yang tergambar dalam novel Glonggong, akan dicari counter-discourses-nya sehingga memungkinkan kita untuk melihat bahwa novel ini tidak

(9)

hanya menampilkan dominasi penjajah (Belanda), tetapi juga memperlihatkan resistensi dari yang-terjajah (bumiputra).

Tentu saja, pembacaan pascakolonial bukanlah satu-satunya enskripsi yang memungkinkan terbukanya kemungkinan-kemungkinan diskursif yang bekerja di balik novel Glonggong. Ia hanyalah salah satu upaya untuk melihat novel Glonggong sebagai buah karya dari seseorang yang hidup di negara pascakolonial, negara yang pernah dijajah dengan segenap kekuasaan politik, militer, kultural, dan intelektual dari Belanda. Sebagaimana novel-novel historiografis lain, Glonggong—yang dibaca secara pascakolonial—diharapkan juga akan memperlihatkan gerakan perlawanan militer dan suberversif bumiputra terhadap penjajah Belanda dalam konteks Perang Jawa.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan sebelumnya, maka rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Kedudukan bumiputra di Indonesia pada masa kolonialisme dalam novel Glonggong.

2. Sistem dominasi kolonial terhadap bumiputra dalam novel Glonggong. 3. Resistensi bumiputra terhadap kolonialisme Belanda dalam novel

(10)

1.3 Tujuan Penelitian

Ketiga rumusan masalah di atas menggiring peneliti untuk menentukan tujuan penelitian ini, yang terbagi ke dalam dua hal: tujuan teoretis dan tujuan praktis.

1.3.1 Tujuan Teoretis

1.3.1.1 Memaparkan wacana dominasi kolonial dan resistensi bumiputra dalam novel Glonggong karya Junaedi Setiyono.

1.3.1.2 Mencari karakteristik-karakteristik yang lebih spesifik dalam resistensi bumiputra terhadap kolonialisme sebagaimana yang tergambar dalam novel Glonggong karya Junaedi Setiyono

1.3.2 Tujuan Praktis

1.3.2.1 Memberikan sumbangsih praktis bagi ilmu pengetahuan tentang dunia pascakolonial dalam karya sastra, utamanya karya-karya yang lahir di negara bekas jajahan seperti Indonesia.

1.3.2.2 Menawarkan analisis kritis tentang bagaimana novel Glonggong berbicara tentang kedudukan bumiputra, dominasi kolonial, dan resistensi terhadap dominasi tersebut.

1.4 Tinjauan Pustaka

Berdasarkan tinjauan kepustakaan yang dilakukan penulis, novel Glonggong karya Junaedi Setiyono ini belum pernah diteliti sebagai penelitian skripsi. Akan tetapi, secara tematik, beberapa ahli menilai novel ini menarik dan mengesankan. Menurut Ahmad Tohari, Glonggong adalah sebuah novel historiografi perang

(11)

Diponegoro yang dengan jelas dapat melacak genetika kebobrokan politikus sekarang. Menurut Bambang Sugiharto (guru besar filsafat Unpar, Bandung), Glonggong adalah novel dengan penataan alur dan bahasa indah dan menawan; intrik politisnya pelik dan cerdas; karakter tokoh-tokohnya matang dan mendalam; novel sejarah paling mengesankan yang pernah saya baca. Apsanti Djokosujatno (guru besar sastra UI, Depok) menjelaskan bahwa Glonggong adalah sebuah novel sejarah yang meramu permainan daerah yang khas— berkaitan dengan kehidupan tokoh utamanya—dengan peristiwa-peristiwa tragis di masa Perang Diponegoro dalam suatu keutuhan naratif dan simbolis yang mengesankan. Novel ini juga menjadi salah satu Pemenang Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta tahun 2006.

Meski demikian, secara teoretis dan metodologis, pembahasan mengenai pascakolonialisme dalam karya sastra sudah banyak dilakukan namun ada beberapa hal yang membedakannya dengan penelitian ini. Beberapa penelitian yang menggunakan teori pascakolonial dalam karya sastra adalah sebagai berikut. Pertama, skripsi Emilia W Aulia, Kuli Kontrak dalam Novel “Berjuta-Juta Kuli dari Deli: Satoe Hikayat Koeli Kontrak”: Kajian Pascakolonial (2010). Skripsi ini membahas ketimpangan hubungan yang dialami oleh para kuli kontrak dengan para pekebun dalam kehidupan di perkebunan tembakau Deli pada masa kolonialisme Belanda. Akan tetapi, Aulia tidak menjelaskan bagaimana relasi itu melahirkan beragam bentuk resistensi subversif, oposisional, atau transformatif, sebagaimana yang dilakukan dalam penelitian ini.

(12)

Kedua, skripsi Arief Kurnia Rahman, Wacana Inferioritas Pribumi dalam Novel “Kembang Jepun” karya Remy Sylado: Kajian Pasca-kolonial (2010). Skripsi ini membahas kenyataan praktik inferiorisasi terhadap bumiputra yang dilakukan oleh kolonial. Praktik inferiorisasi yang dilakukan penguasa kolonial meliputi bidang politik-hukum, ekonomi, sosial-budaya, dan perilaku seksual yang menyimpang. Meski demikian, penelitian tidak secara tegas menyebutkan bagaimana inferiorisasi ini akan melahirkan sebentuk resistensi yang beragam, seperti yang ditunjukkan oleh penelitian ini.

Ketiga, laporan penelitian Cahyaningrum Dewojati, Wacana Rasialisme dalam Novel “Salah Asuhan” Karya Abdul Moeis: Sebuah Tinjauan Poskolonial (2001). Dalam penelitian ini dapat diketahui novel Salah Asuhan menggunakan wacana rasial secara dominan sebagai aspek untuk membangun konflik cerita. Dengan demikian, novel ini tidak hanya mengemukakan persoalan kawin campur, tetapi juga membahas perbedaan kultur bumiputra dan Eropa serta ketidakadilan strata berdasarkan ras yang diciptakan oleh kolonial Belanda. Akan tetapi, penelitian ini tidak menjelaskan relasi antara rasialisme dan ruang-ruang diskursif di dalamnya yang bisa dijadikan awal resistensi bumiputra terhadap Eropa.

Berdasarkan atas penjelasan beberapa penelitian di atas dapat diungkap adanya perbedaan mendasar penelitian-penelitian tersebut dengan penelitian ini. Perbedaan tersebut utamanya tampak pada objek penelitian dan permasalahan yang diungkap. Penelitian ini akan mengulas resistensi bumiputra terhadap praktik dominasi yang dilakukan oleh kolonial Belanda dan keraton dalam novel Glonggong (2007) karya Junaedi Setiyono. Akan tetapi, berbeda dengan

(13)

penelitian-penelitian lain yang umumnya tidak secara tegas mengkategorisasi bentuk-bentuk resistensi dalam pascakolonialisme, penelitian ini justru berusaha memperlihatkan tiga kerangka-kerja yang bisa digunakan untuk membaca resistensi dalam novel Glonggong. Ketiga framework itu adalah resistensi sebagai oposisi, resistensi sebagai subversi, dan resistensi sebagai transformasi. Ketiga bentuk resistensi ini diharapkan bisa memberikan kontribusi yang lebih kaya bagi perkembangan wacana resistensi pascakolonial saat ini.

1.5 Landasan Teori

1.5.1 Kolonialisme dan Pascakolonialisme

Kata kolonialisme, menurut Oxford English Dictionary (OED) via Loomba (2003) berasal dari kata Latin/Romawi colonia yang berarti „tanah pertanian‟ atau „pemukiman‟, dan mengacu kepada orang-orang Romawi yang bermukim di negeri-negeri lain tetapi masih mempertahankan kewarganegaraan mereka. Sebagaimana deskripsi OED via Loomba (2003:1) sebagai berikut.

Sebuah pemukiman dalam sebuah negeri baru... sekumpulan orang yang bermukim dalam sebuah lokalitas baru, membentuk sebuah komunitas yang tunduk atau terhubung dengan negara asal mereka; komunitas yang dibentuk seperti itu, terdiri dari para pemukim asli dan para keturunan mereka dan pengganti-penggantinya, selama hubungan dengan negara asal masih dipertahankan.

(14)

Menurut Ratna (2008:20) kolonialisme yang secara etimologis tidak mengandung arti penjajahan, melainkan hanya semacam wilayah atau perkampungan, mempunyai konotasi negatif sesudah terjadinya interaksi yang tidak seimbang antara pendatang baru dengan penduduk lama. Loomba (2003:2) menjelaskan bahwa dalam pembentukan pemukiman baru terjadi hubungan yang kompleks dan traumatik dalam sejarah antara penduduk lama dengan pendatang baru yang terkadang ditandai dengan usaha membubarkan dan membentuk kembali komunitas-komunitas yang sudah ada di sana dengan melibatkan praktik praktik perdagangan, penjarahan, pembunuhan massal, perbudakan, dan pemberontakan-pemberontakan. Proses pembentukan pemukiman baru sebagaimana dijabarkan oleh Loomba tersebut menjadikan kolonialisme bisa didefinisikan sebagai penaklukan dan penguasaan atas tanah dan harta benda rakyat lain.

Dalam bahasa Indonesia, postcolonial umumnya disebut dengan pascakolonial atau poskolonial. Ratna (2008:77-78) secara khusus membedakan antara pascakolonial dengan poskolonial. Dalam pendapatnya tersebut, Ratna menjelaskan bahwa pascakolonial berkaitan dengan era, zaman, dan periode yang memiliki batasan pasti yakni masa pascakolonial. Sedangkan poskolonial merupakan sebuah teori, sebuah tradisi intelektual dengan batasan-batasan yang bersifat relatif.

Secara lebih jelas lagi, Ashcroft (2003: xxii) menjabarkan penggunaan istilah poskolonial adalah untuk mencakup seluruh kebudayaan yang pernah

(15)

mengalami kekuasaan imperial dari sejarah awal kolonisasi hingga kurun waktu sekarang. Hal ini disebabkan oleh adanya kontinuitas „penjajahan‟ yang terus berlangsung sejak dimulainya agresi imperial bangsa Eropa hingga sekarang ini. Berdasarkan pandangan tersebut dapat dikatakan bahwa poskolonial tidak hanya dibatasi pada fenomena yang terjadi pada masa pascakolonial saja, tetapi juga meliputi masa kolonial.

Konsep dasar poskolonialisme tidak bisa dilepaskan dari pemahaman ulang tentang orientalisme yang didedah oleh Edward Said dalam karyanya Orientalisme yang pertama kali terbit pada tahun 1978. Said (1985:3) mengungkapkan orientalisme adalah suatu gaya berpikir yang didasarkan pada pembedaan ontologis dan epistimologis yang dibuat antara „Timur‟ (the Orient) dan (hampir selalu) „Barat‟ (the Occident). Orientalisme dianalisis sebagai lembaga hukum untuk berurusan dengan dunia Timur, berhubungan dengannya dengan membuat pertanyaan-pertanyaan tentangnya, memberwenangkan pandangan-pandangan tentangnya, mendeskripsikannya, dengan mengajarinya, menjadikannya sebagai tempat pemukiman dan memerintahnya. Pendeknya, orientalisme sebagai gaya Barat untuk mendominasi, menata kembali dan menguasai Timur (Said, 1985: 4).

Tesis utama Said dalam Orientalisme menurut Ratna (2008: 84) adalah hubungan antara pengetahuan dengan kekuasaan sebagaimana diintroduksi oleh Foucault melalui The Archeology of Knowledge dan Discipline and Punish. Dalam hal ini Ratna (2008:84) menganggap bahwa Timur diproduksi sebagai pengetahuan yang bukan semata-mata ilmu, melainkan kolonialisme itu sendiri,

(16)

yang di dalamnya terdapat misi politis, landasan ideologis, dan kepentingan-kepentingan kolonial.

Dari pemikiran Said di atas, terdapat dua hal penting yang mendasari poskolonial. Pertama, oposisi biner Barat-Timur, penjajah-terjajah sebagai pusat perhatian. Kedua, sifat anggitan (constructedness) dari dikotomi antara Barat dan Timur, di mana konsep identitas dibangun oleh imajinasi, teks, narasi, didukung oleh lembaga, tradisi, dan praksis atas kepentingan-kepentingan tertentu. Pembalikan oposisi biner oleh Said tersebut pada akhirnya mengandung idealisasi terhadap wacana poskolonial yakni, bahwa sifat wacana poskolonial adalah resistensi, penggugatan, atau penolakan terhadap penindasan (Budianta, 2008:17 & 23).

Sebagai sebuah teori, Makaryk (via Faruk, 2007:14) mendefinisikan poskolonial sebagai kumpulan strategi teoretis dan kritis yang digunakan untuk meneliti kebudayaan seperti sastra, politik, dan sejarah dari negara-negara bekas koloni-koloni Eropa dan hubungan negara-negara itu dengan belah dunia sisanya. Hampir sama dengan Makaryk, Ratna (2008:90) menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan poskolonialisme adalah cara-cara yang digunakan untuk menganalisis berbagai gejala kultural, seperti: sejarah, politik, ekonomi, sastra, dan berbagai dokumen lainnya, yang terjadi di negara-negara bekas koloni Eropa modern.

Dalam kajian sastra, poskolonial merupakan pendekatan kritis dalam memahami efek kolonialisme yang ada dalam teks-teks maupun sastra (Day & Foulcher, 2008:2). Di dalam pendekatan tersebut dibicarakan bagaimana teks-teks

(17)

sastra mengungkapkan jejak-jejak perjumpaan kolonial, yaitu konfrontasi antar ras, antar bangsa, dan antar budaya dalam kondisi hubungan kekuasaan tidak setara, yang telah membentuk sebagian yang signifikan dari pengalaman manusia sejak awal zaman imperialisme Eropa (Day & Foulcher, 2008:3). Kajian poskolonial, khususnya dalam kritik sastra poskolonial, seringkali terfokus pada cara-cara bagaimana sastra meneliti masalah identitas dengan menggunakan pengertian „hibriditas‟ sebagai cara untuk mengacu pada interaksi antara bentuk-bentuk budaya berbeda, yang kemudian akan menghasilkan pembentuk-bentukan budaya-budaya dan identitas-identitas baru dengan sejarah dan perwujudan tekstual sendiri (Day & Foultcher, 2008:12).

1.5.2 Resistensi: Antara Oposisi, Subversi, dan Transformasi

Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya bahwa karakter dasar pascakolonial adalah resistensi, yakni sejenis penggugatan dan kritik terhadap penindasan dalam apapun bentuknya. Dengan demikian, konsep resistensi menjadi gagasan penting yang akan dibahas secara khusus dan digunakan sebagai topik utama dalam penelitian kali ini.

Resistensi merupakan salah satu dasar pemikiran dalam studi-studi pascakolonial. Salah satu buku yang dijadikan rujukan utama peneliti dalam membahas resistensi adalah Postcolonial Resistence: Culture, Liberation, and Transformation (2008) karya David Jefferess. Jefferess melihat ada dua framework dalam kritik pascakolonial yang umumnya digunakan untuk

(18)

memahami resistensi: resistensi sebagai oposisi terhadap kekuasaan kolonial dan resistensi sebagai subversi terhadap kekuasaan kolonial.

Resistensi sebagai subversi berkaitan dengan teori wacana, khususnya gagasan Homi K. Bhabha tentang hibriditas dan ambivalensi, yang berusaha menggerogoti dan medestabilisasi kekuasaan kolonial. Resistensi diskursif semacam ini diharapkan mampu berkontribusi pada pembebasan psikologis dan spiritual—dekolonisasi pikiran—bukan sekadar pada pembebasan fisik dan material.

Sementara itu, resistensi sebagai oposisi berusaha mencari dekolonisasi yang lebih konkret, namun tetap berpijak pada kerangka antagonistik dalam membayangkan pembebasan bagi yang-tertindas. Ketika beberapa kritikus pascakolonial seperti Fanon dan Said mengakui bahwa liberasi (pembebasan) merupakan lebih dari sekadar kemerdekaan dari kekuasaan kolonial dan mengharuskan adanya transformasi realitas material dan diskursif, namun paradigma oposisional mereka sebenarnya gagal membayangkan transisi dari kolonialisme menuju dekolonisasi, melalui tatanan politik yang baru. Liberasi atau pembebasan bukanlah sekadar ketiadaan penindas; lebih dari itu, ia merupakan sebentuk penghargaan terhadap “konstruksi yang berbeda atas identias, subjektivitas, dan relasi kemanusiaan” (different construction of identity, subjectivity, and human relationships) (Jefferess, 2008:167)

Untuk itulah, menurut Jefferess, dua framework di atas (subversi dan oposisi) tidak secara langsung berkaitan dengan realitas kekuasaan dan ketidakadilan global kontemporer. Ia pun mengajukan jalan ketiga, transformasi,

(19)

yang melampaui bentuk-bentuk resistensi yang berusaha mengatasi ketertindasan (melalui cara-cara kekerasaan atau non-kekerasan), atau yang bertujuan untuk menampilkan sifat kekuasaan kolonial yang tak utuh melalui wacana-wacana tandingan (counter-discourse). Resistensi sebagai transformasi bertujuan tidak hanya membebaskan yang-tertindas dari struktur-struktur yang mendominasi dan merongrong otoritas struktur tersebut, tetapi juga membaskan struktur-struktur dalam (deep structures) yang ada dalam kehidupan masyarakat. Jefferess membayangkan, bersama dengan Fanon, sejenis “restrukturasi radikal atas relasi-relasi global” (radical restructuring of global relationships) (Jefferess, 2008:4).

Dalam penelitian ini, ketiga framework di atas akan dicari kemungkinan aplikabilitasnya dalam novel Glonggong. Karakter pascakolonial yang terdapat dalam novel ini akan ditelusuri berdasarkan relasinya dengan upaya resistensi dari bumiputra terhadap penjajah Belanda.

1.6 Metode Penelitian

Metode penelitian adalah tata cara bagaimana suatu penelitian dilaksanakan. Secara lebih luas, metode penelitian dapat dipahami sebagai cara-cara ilmiah untuk mendapatkan data yang valid, dengan tujuan dapat ditemukan, dikembangkan dan dibuktikan, suatu pengetahuan tertentu sehingga pada gilirannya dapat digunakan untuk memahami, memecahkan, dan mengantisipasi masalah. Metode penelitian digunakan untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu dalam penelitian. Dengan menggunakan metode penelitian

(20)

dapat mempermudah pengklasifikasian data sehingga dapat dirumuskan permasalahan dalam sebuah penelitian.

Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif yang berbasis analisis deskriptif. Metode kualitatif memberikan perhatian terhadap data alamiah, yaitu karya sastra yang berhubungan dengan konteks keberadaannya, seperti lingkungan pengarang dan unsur-unsur kebudayaan di dalamnya (Ratna, 2008:47). Sejalan dengan itu, Sumanto (1995:75) mengatakan bahwa penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang diupayakan untuk mengamati permasalahan secara sistematik dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat objek tertentu. Metode ini berusaha menggambarkan dan menginterpretasikan apa yang ada, bisa mengenai kondisi atau hubungan yang ada, pendapat yang tumbuh, proses yang sedang berlangsung, akibat atau efek yang terjadi, atau kecenderungan yang tengah berkembang.

Dalam studi pascakolonial terhadap novel Glonggong ini, data dikumpulkan melalui studi pustaka. Proses ini dilakukan melalui pembacaan berbagai macam literatur yang relevan dengan novel Glonggong dan pascakolonialisme. Agar aspek-aspek yang diteliti bisa digambarkan secara konkret, pembacaan terhadap novel tersebut dilakukan secara kontrapuntal, yaitu pembacaan suatu teks disertai pemahaman sesuai dengan konteks yang ditunjukkan oleh pengarang. Pembacaan kontrapuntal dilakukan dengan mempertimbangkan proses perlawanan terhadap budaya patriarki dan kolonialisme (Sudibyo dkk., 2010:20).

(21)

Adapun langkah-langkah yang ditempuh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1.6.1 Menentukan sumber data sebagai objek yang akan diteliti.

1.6.2 Melakukan pembacaan berulang-ulang terhadap novel, kemudian menemukan rumusan masalah.

1.6.3 Merumuskan dan menetapkan pokok permasalahan yang menentukan arah penelitian.

1.6.4 Menggambarkan kedudukan bumiputra di Indonesia pada masa kolonialisme dalam novel Glonggong.

1.6.5 Mendeskripsikan hegemoni yang dilakukan Belanda terhadap bumiputra dalam novel Glonggong.

1.6.6 Menjelaskan resistensi bumiputra terhadap kolonialisme Belanda dalam novel Glonggong.

1.6.7 Menarik kesimpulan hasil penelitian. 1.6.8 Menyusun laporan hasil penelitian.

1.7 Sistematika Laporan Penelitian

Penelitian ini disajikan dalam lima bab, yang rincian pembagiannya adalah sebagai berikut.

Bab I berupa pendahuluan yang berisi latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika laporan penelitian.

(22)

Bab II berisi gambaran kedudukan bumiputra di Indonesia pada masa kolonialisme.

Bab III berisi deskripsi dominasi yang dilakukan Belanda terhadap bumiputra dalam novel Glonggong.

Bab IV berisi tentang penjelasan resistensi bumiputra terhadap kolonialisme Belanda dalam novel Glonggong.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil perhitungan dari kuesioner menunjukkan bahwa Gaya Kepemimpinan Transformasional merupakan gaya kepemimpinan yang paling dominan diterapkan oleh Kepala Badan Pengawasan

Reduksi data merupakan langkah awal dalam menganalisis data, kegiatan yang bertujuan untuk mempermudah pemahaman terhadap data yang telah terkumpul. Kumpulan data hasil kerja

Sebagaimana kita tau pasar adalah sebuah tempat bertemunya pembeli dengan penjual guna melakukan transaksi ekonomi yaitu untuk menjual atau membeli suatu barang

Berdasarkan Fenomena gap dan riset gap yang terjadi maka penelitian ini bertujuan untuk menguji sejauh mana pengaruh antara variabel customer delight dan brand trust terhadap

(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Menteri dan khusus untuk satuan pendidikan dasar di lingkungan Departemen Agama diatur

Nang mabalitaang tutubusin ni Basilio ang kasint ahan ay nagsabing si Basilio ay isang demonyong nag-aanyong estudyante na ibig m agpahamak sa kaluluwa ng dalaga.Nakauwi si

Model spasial habitat suitability dapat diaplikasikan pada semua jenis satwa, khususnya 25 jenis satwa prioritas konservasi nasional yang perlu ditingkatkan populasinya sebanyak

(1) Kepala Desa yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan Pasal 10 ayat (1), apabila setelah melalui proses peradilan