• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. Proses Adopsi dan Difusi Inovasi. Mardikanto (1993) mengemukakan, adopsi adalah proses perubahan perilaku

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. Proses Adopsi dan Difusi Inovasi. Mardikanto (1993) mengemukakan, adopsi adalah proses perubahan perilaku"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Proses Adopsi dan Difusi Inovasi

Mardikanto (1993) mengemukakan, adopsi adalah proses perubahan perilaku baik berupa pengetahuan, sikap maupun ketrampilan pada seseorang setelah menerima inovasi yang disampaikan oleh penyuluh. Rogers d m Sheomaker (197 1) meinbagi proses adopsi kedalam lima tahap, yaitu : (1) tahap kesadaran, yaitu seseorang mengetahui adanya ideide baru; (2) tahap minat, yaitu seseorang mulai berminat terhadap inovasi dan mencari informasi lebih banyak mengenai inovasi tersebut; (3) tahap penilaian, yaitu seseorang mengadakan penilaian terhadap ide baru tersebut dan menghubungkannya dengan situasi sendiri saat itu dan masa yang akan datang, serta menentukan akan mencobanya atau tidak; (4) tahap percobaan, yaitu seseorang menerapkan ide baru dalam skala kecil untuk menentukan kegunaannya, sesuai atau tidak dengan situasi dirinya; dan (5) tahap penerimaan (adopsi), yaitu seseorang menggunakan ide baru secara tetap dalam skala yang lebih luas.

Proses adopsi tidak selalu berakhir dengan mengad~psi, mungkin terjadi proses penolakan atau meacari informsi lebih lanjut untuk memperkuat keputusanilya. Selanjutnya Rogers dan Shoemaker (1 97 1 ) membagi tahap adopsi (penerimaan) menjadi empat, yaitu pengenalan, persuasi, keputusan dan kodirmasi.

Van den ban dan Hawkins (1999) menyatakan bahwa inovasi merupakan suatu ide, metode atau objek yang dianggap sebagai sesuatu yang baru oleh seseorang, meskipun objek tersebut tidak selalu berupa hasil-hasil penelitian terbaru.

(2)

D&si merupakan proses menyebarnya inovasi melalui saluran tertentu diantara anggota sistem sosial atau dari satu sistem sosial ke sistem soial yang lain ' (Rogers dan Shoemaker, 197 1 ).

Soekartawi (1988) menyatakan bahwa d f i s i adalah proses sehingga ide baru disebarluaskan pada individu atau kelompok dalam sistem sosial tertentu. Proses adopsi adalah proses mental yang terjadi pada

dii

seseorang sejak pertama kali mengenal inovasi sampai mengadopsinya.

Slamet (1978) menyatakan bahwa proses d a s i adalah proses menyebarnya inovasi dari seseorang yang telah mengadopsi kepada orang-orang lain dalam masyarakat. Lionberger dan Gwin (1991) menyatakan bahwa penyebaran inovasi pada prinsipnya merupakan suatu transfer teknologi dari hasil-hasil penelitian kepada para pengguna. Hasil-hasil penelitian, percobaan dan penemuan lain yang disampaikan kepada petani (pengguna akhir) tentu tidak semudah yang diharapkan, banyak kendala atau halangan yang harus dilalui. Selanjutnya agar proses tersebut dapat berjalan dengan baik maka : (1) informasi, ide atau teknologi yang dikembangkan harus mudah diterapkan; (2) inovasi hams dicobakan disetiap daerah; (3) penyebarluasan diarahkan dengan langkah terpadu dari keseluruhan sistem produksi; (4) adanya penguatan terhadap proses dan kondisi yang diperlukan agar mereka mau menggunakan inovasi yang disampaikan; dan (5) f h g s i pemerintah sebagai pelaksana dan pengatur dalam pengambilan keputusan administratif dalam pelaksanaan program penyuluhan (Lionberger dan Gwin, 199 1 ).

(3)

Proses

dfisi

teknologi PHT akan berlangsung sejak ada petani yang sudah mengadopsi kepada petani lain. Proses ini dapat dimulai dari sesama anggota kelompok tani. Khususnya pola SLPHT yang pada dasarnya telah memhgsikan kelompok tani dalam sistem bimbingan dan penyuluhannya. Jangka panjang, kelompok tani tidak hanya berpeluang sebagai tempat belajar-mengajar dan mengembangkan kerja sama saja, namun dapat juga b e h g s i untuk mengembangkan dan melembagakan suatu tatanan PHT pada lingkup kelompok maupun pada lingkup yang lebih luas.

Hal ini sesuai dengan ciri-ciri petani yang ingin diwujudkan dalam program PHI', yaitu:

(1) Petani hams mandiri dan tidak tergantung pada orang lain termasuk petugas pemerintah dalam memutuskan dan melaksanakan program pengendalian hama sesuai dengan prinsip PHT.

(2) Petani hams dapat menghayati, menguasai, dan menerapkan berbagai prinsip dan teknik

PHT

secara kratif sesuai dengan keadaan ekosistem lahannya dan kemampuan ekonominya.

( 3 ) Petani hams responsif dan perspektif dalam menanggapi perkembangan teknologi pengelolaan hama menuju ke efisiensi dan e f e k t ~ t a s penggunaan sumberda ya.

(4) Petani hams mampu menjadi pengelola lahan pertanian yang profesional sehingga dapat dicapai p r o d u k t ~ t a s dan efisiensi yang tinggi dan pemasaran hasil yang menguntungkan.

(4)

(5) Petani hams mampu bekerjasama dengan petani-petani lain didalam dan diiuar kelompoknya untuk menerapkan dan mengembangkan PHT.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Adopsi dan Difusi Inovasi

Mardianto (1993:69) mengemukakan bahwa kecepatan adopsi suatu inovasi dipengaruhi oleh enam faktor yaitu : (1) Sifat adopsinya, diiana ha1 ini terbagi menjadi: (a) Sifat i n t ~ s i k yang mencakup : informasi ilmiah yang melekat atau ."

-

diietakkan pada inovasinya, nilai-nilai atau keunggulan-unggulan (teknis, ekonomis, sosial dan politik); (b) Sifat ekstrinsik, yang mencakup: tingkat kesesuaian (compatibility) inovasi dengan lingkungan setempat, tingkat keuntungan relatif dari inovasi yang ditawarkan (teknis, ekonomis, sosial dan politis); (2) Sifat sasaran, (3) Cara Pengambilan keputusan; (4) Saluran komunikasi yang digunakan; (5) Keadaan Penyuluh atau komunikan; (6) Ragam sumber informasi.

Slamet (1978) dan Soekartawi (1988) mengatakan bahwa beberapa faktor yang dapat mempengar~hi kecepatan adopsi adalah: sifat-sifat inovasi, jenis-jmis keputusan inovasi, saluran komunikasi, ciri-ciri sistem sosiai, kegiatan promosi oleh penyuluh, interaksi individual dan kelompok, sumber informasi dan faktor diri adopter.

Menurut Van den ban dan Hawkins (1999) peubah-peubah yang berhubungan positif dengan tingkat adopsi antara lain : (a) peubah sosial ekonomi seperti tingkat pendidikan, tingkat melek huruf, status sosial dan luas usahatani; (b) peubah rasionalitas, sikap terhadap perubahan, dan sikap terhadap ilmu pengetahuan, dan (c) peubah komunikasi seperti partisipasi sosial, kekosmopolitan, hubungan dengan

(5)

agen pembaharuan, keterdadahan terhadap media massa, keterdadahan media interpersonal aktivitas mencari informasi dan tingkat kepemimpinan.

Soekartawi (1988) mengatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi proses dfisi adalah faktor sosial kebudayaan, personal, kelompok referensi, kelompok formal yang diikuti dan status sosialnya. Faktor-faktor kebudayaan mencakup adat budaya masyarakat setempat, seperti keterbukaan terhadap orang luar, kepercayaan dan yang terkait dengan sikap masyarakat terhadap teknologi baru dan sebagainya. Faktor personal mencakup, (1) umur, orang yang lebih tua cendrung kurang responsif terhadap ide-ide baru; dan (2) pendidikan, dapat menciptakan dorongan mental untuk menerima inovasi yang menguntungkan, dan (3) ciri-ciri psikologis, sifat orang yang kaku akan lebih sulit menerima inovasi. Faktor situasional mencakup : ( 1 ) pendapatan usahatani, pendapatan yang tinggi ada hubungannya dengan tingkat adopsi dan &si inovasi pertanian, (2) ukuran usahatani, berhubungan positif dengan &si inovasi, (3) status pemilikan lahan lebih leluasa membuat keputusan untuk mengadopsi sesuatu, (4) pretise masyarakat, kedudukan seseorang dalam masyarakat berhubungan positif dengan adopsi dan dfisi inovasi, dan (5) sumber-sumber informasi, jumlah sumber informasi yang digunakan berhubungan positifdengan tingkat adopsi dan d i i s i inovasi.

Penggunaan teknologi baru dalam usahatani biasanya akan memerlukan tambahan biaya dibandingkan dengan penggunaan teknologi terdahulu. Tambahan biaya tersebut terutama untuk membeli input baru sehubungan dengan digunakannya inovasi tersebut. Menurut Soewardi (Hartoyo, 1982: 1 I), bagi petani kecil, tambahan biaya untuk menggunakan inovasi dirasakan cukup berat. Hal ini karena pada

(6)

umumnya para petani kecil kekurangan dana untuk membiayai usahataninya. Hal ini

-

didukung oleh hasil penelitian Rahardjo (1984:92) yang menemukan bahwa, hanya kira-kira 33 persen saja petani responsif terhadap modernisasi, terutama di kalangan petani kaya dan menengah. Petani golongan tersebut memiliki kemampuan dan kesempatan yang lebih besar dalam menerima dan memanfaatkan teknologi baru. Hal ini karena petani tersebut lebih mudah dalam mendapatkan informasi, cadangan kredit dan kas, akses pada pelayanan administrasi serta pengaruh politik yang mungkin dimilikinya. PHT menawarkan teknologi yang dapat mengurangi biaya untuk pengeluaran input pertanian terutama melalui pengurangan biaya pestisida. Oleh karena itu, diharapkan petani dengan lahan yang relatif sempit dapat responsif terhadap inovasi tersebut.

Soekartawi (1988) menyatakan bahwa beberapa studi menunjukkan d i i s i inovasi yang paling tinggi adalah pada petani yang berumur setengah tua. Petani yang berumur lebih muda biasanya akan lebih bersemangat dibandingkan dengan petani yang lebih tua.

Bakir dan Manning (1984:24) mengemukakan bahwa umur produktif untuk bekerja di negara-negara berkembang umumnya adalah 15-55 tahun. Kemampuan kerja petani juga sangat dipengaruhi oleh tingkat umur petani tersebut, karena kemampuan ke j a produktif akan terus menurun dengan semakin lanjutnya usia petani. Dengan demikian, ada kecendrungan bahwa umur petani akan mempengaruhi tingkat penerapan

PHT

yang dilakukan petani..

Banoewidjojo ( 1979:2) mengemukakan bahwa tingkat pendidikan yang dipunyai seorang tenaga kerja bukan saja dapat meningkatkan produktivitas dan mutu

(7)

kerja yang dilakukan, tetapi sekaligus mempercepat proses penyelesaian kerja yang diusahakan.

Soehajo dan Patong (1973:52) menyatakan bahwa pendidikan umumnya akan mempengaruhi cara dan pola pikir pet& Pendidikan yang relatif tinggi dan umur yang muda menyebabkan petani lebih dinamis. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin efisien dia bekeja dan semakin banyak juga dia menghti serta mengetahui cara-cara berusahatani yang lebih produktif dan lebih menguntungkan. Berdasarkan dua pendapat yang telah disebutksn, terdapat kecendrungan bahwa ada hubungan antara tingkat pendidikan yang dimiliki oleh petani dengan tingkat penerapan PHT.

Petani dalam melakukan suatu usahatani mempunyai motif untuk memaksimurnkan keuntungan. Kindangan et al. ( 1990: 70), keuntungan yang diterima petani merupakan selisih antara total penerimaan dengan jumlah biaya yang dikeluarkan dalam suatu proses produksi. Total penerimaan yang diperoleh petani merupakan hasil perkalian antara total produksi dengan harga yang berlaku di pasar. Untuk meningkatkan total penerimaan, hsrus ditingkatkan kedua faktor ini, produksi dan harga produksi, atau sekurang-kurangnya harga produksi stabil di pasaran. Oleh sebab itu, tidak ada artinya seandainya petani mampu menaiickan produksi jika tidak mendapat harga yang layak. Disamping itu, pengelolaan terhadap biaya yang akan dikeluarkan dalam usahatani juga akan menentukan tingkat keuntungan yang diterima petani.

Gohong (1975) menyatakan bahwa tingkat harga akan mempengaruhi keputusan-keputusan yang diambil petani tentang cara mereka mengalokasikan

(8)

sumberdaya yang dimilikinya. Pendapat ini menunjukkan bahwa petani dalam melakukan/memilih suatu usahatani telah memperhitungkan terlebih dahulu peluang memperoleh keuntungan. Semakin tinggi keuntungan yang dapat diarapkan dari hasil usahataninya semakin termotivasi petani tersebut dalam mengusahakan usahataninya.

Suharyono (1692) menyatakan bahwa penyuluhan pertanian adalah sistem pendidikan luar sekolah untuk para petani dan keluarganya dengan tujuan agar mampu, sanggup dan berswadaya memperbaikilmeningkatkan kesejahteraannya sendii, serta masyarakatnya. Inti dari kegiatan penyuluhan pertanian adalah merubah perilaku petani agar mau berusaha untuk memperbaiki sistem usahataninya.

Raudabaugh (1967) menyatakan bahwa peranan penyuluhan adalah untuk mengajarkan orang-orang tentang cara-cara mengukur atau menilai kebutuhannya sendiri. Sebab, dengan mengetahui kebutuhannya s e n d i orang akan mampu

melakukan atau memilih berbagai alternatif pekerjaan yang lebih baik dan menguntungkan.

Pengendalian Hama Terpadu

Menurut Kasumbogo (1984), konsep PHT yang saat ini merupakan dasar kebijaksanaan Pemerintah dalam program perlindungan tanaman berusaha untuk lebih memberikan kepercayaan dan kesempatan bagi para musuh alami untuk bekerja dan berfimgsi dalam mengendalikan berbagai jenis hama yang menyerang padi. Caranya adalah dengan membuat ekosistem pesawahan yang tidak mendorong perkembangan dan kehidupan hama dan memberikan kesempatan musuh-musuh

(9)

alami hama untuk bekerja. Pergiliran tanam, tanam serempak, penanaman varietas padi tahan wereng coklat, dan sanitasi tanaman adalah merupakan perpaduan teknik pengendalian hama yang mampu mempertahankan keadaan hama dalam keadaan tidak membahayakan.

Menurut Wiaatmadja (1984) PHT adalah suatu sistem pengelolaan hama (dalam arti luas) dengan menggabungkan berbagai teknik pengendalian yang disesuaikan dengan sasaran menjadi satu program. Program tersebut selalu berada pada tingkat yang tidak menimbulkan kerugian ekonomis, teknologi dan sosial, bahkan dapat menghasilkan keuntungan ekonomis yang maksimal bagi produsen, konsumen dan melestarikan lingkungan sehingga sumber daya dapat dimanfaatkan selama mungkin oleh generasi-generasi yang akan datang.

Menurut hasil 'FA0 Symposium On Integrated Pest Control" pengendalian hama terpadu diartikan sebagai sistem pengendalian populasi (hama) yang memanfaatkan semua teknologi yang dapat digunakan bersama untuk menurunkan dan mempertahankan populasi di bawah batas yang menyebabkan kerusakan ekonomis (Anonim, 1985). Semua cara pengendalian, baik pengendalian secara biologis, maupun dengan menggunakan pestisida atau dengan cara bercocok tanam, diitregasikan menjadi suatu pola yang terkoordinasi dan ditujukan pada produksi yang menguntungkan dan berkualitas.

Terdapat empat prinsip manajemen yang mendasari PHT, yakni budidaya tanaman sehat, melestarikan musuh alami, pengamatan mingguan dan penguasaan teknologi PHT oleh petani (Ayi Kusmayadi, 1996).

(10)

Konsep PHT muncul clan berkembang sebelum konsep pembangunan berkelanjutan. Konsep tersebut dicetuskan oleh Stem dalam Anonim (1985) yang sangat memperhatikan penggunaan pestisida berspektnun luas juga membunuh musuh alami yang dalam keadaan normal dapat mengendalikan hama secara efektif Pada konsep PHT ini keberadaan dan mekanisme pengendalian ahmi dan keanekaragaman hayati dihargai

dm

dimanfiaatkan semaksimal mungkin. Supaya tujuan PHT dapat tercapai, ada empat ha1 penting yang perlu dikembangkan yaitu: (1) Pengenalan ekosistem; (2) Metoda pengamatan dan peramalan hama.; (3) Pencagaran dan penguatan peranan musuh alami; (4) Penggunaan pestisida secara selektif; bila diperlukan.

Salah satu pengadopsian dan pemasyarakatan konsep dan teknologi PHT adalah dengan diselenggarakannya Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) yang merupakan sekolah yang berada di lapang. Pelaksanaan kegiatan SLPHT tersebut berada di lapang, tempat para peserta mengerjakan tugas sehari-hari (bertani). Hal ini dimaksudkan agar peserta dapat mempelajari secara langsung teori dan praktek secara terpadu, sehingga peserti; dapat sungguh-sungguh menghayati materi ajaran yang diberikan.

Asumsi dasar yang secara prinsip diterapkan dalam SLPHI' adalah sifat dasar manusia sebagai mahkluk hidup yang selalu aktif dan kreatif. Dalam ha1 ini petani dianggap mampu untuk memahami dinamika dan pola-pola kehidupan yang dialaminya. Dengan demikian, pendekatan matode SLPHT mendudukan arti sekolah sebagai tempat bagi peserta untuk secara aktif menguasai dan mempraktekan proses penciptaan ilmu pengetahuan. Dengan melakukan pengamatan dan analisis

(11)

terhadap temuan-temuannya, SLPHT mengantarkan peserta untuk memahami masalah yang mereka hadapi dan melihat kaitan unsur-unsur didalamnya, sehingga mampu merumuskan satu keputusan sebagai landasan mengelola lahannya.

Titik berat proses tersebut adalah menempatkan peserta didik untuk menemukan sendiri pengetahuan melalui interaksi langsung dengan falcta di lapang. Oleh karenanya, pola SLPHT dirancang sedemikian rupa sehingga terbuka kesempatan belajar yang sangat luas, agar petani berinteraksi dengan realitas mereka

-

secara langsung. Dengan demikian, pendidikan SLPHT bukan semata-mata 'learning by doing", melainkan suatu proses "discovery learning", yang dinamis dan dapat diterapkan dalam manajemen lahan peaanian

sendiri

(Dilt, 1994).

Pola SLPHT secara spes5k dicirikan sebagai berikut (Dilt, 1994) :

(1) Sarana belajar ciptaan sendiri : dalam peneyelenggaraannya, sarana belajar adalah sawah dan ekologi lahan pertanian setempat yang hidup dan dinamis. (2) Peran pemandu : tugas pemandu lapangan bukan untuk mengajar dan

menggurui peserta, melainkan mengajak mereka agar melibatkan diri dalam suatu proses pendidikan. Dalam w a h seterusnya, yang alctif adalah peserta, bukan pemandu, artinya, proses belajar terjadi dan berpusat pada peserta itu sendiri.

(3) Analisis dan pengambilan keputusan : kegiatan yang paling penting pada setiap sesi S L P W adalah kegiatan analisis agro-ekosistem, sehingga para petani dapat secara tajam menangkap dinamika ekologi lokal.

(4) Latihan semusim : SLPHT dirancang untuk mengikuti siklus lapangan secara utuh, dari proses tanam sampai panen.

(12)

(5) Dinamika Kelompok dan pengembangan wahan petani : tujuan SLPHT adalah juga untuk menciptakan suatu organisasi belajar yang lestari. Tujuan jangka panjang adalah menunjang tercapainya PHT oleh pet& sehingga petani dapat mengambil insiatif di dalam pengembangan, penyebariuasan, dan pelembagaan PHT.

(6) Arti partisipasi dalam Sekolah lapangan : partisipasi dipahami dalam tiga jenjang. Pertama, partisipasi

untuk

menguasai ilmu PHT, artinya peserta berpartisipasi aktif dalam mengumpdkan data aktual, pengkajian data, dan pengambilan keputusan manajemen lahan. Kedua, partisipasi untuk interaksi dan pengembangan kelompok; partisipasi ini ditujukan pada kecakapan berorganisasi dan manajemen manusia. Ketiga, partisipasi untuk pembaharuan dan kemandirian sosial, yang tujuannya adalah untuk pelembagaan PHT di tingkat petani.

Kegiatan yang dilakukan peserta SLPHT berlangsung selama satu musim, yaitu selama dua belas minggu. Kegiatan diiakukan satu kali dalam seminggu. Kegiatan mingguan tersebut adalah: (1) melakukan pengsmatan agro-ekosistem, (2) menggambar dan mendiskusikan keadaan ekosistem, (3) presentasi hasil analisis agro-ekosistem dan pengambilan keputusan, (4) dinamika kelompok, (5) topik khusus, yakni sesuai dengan materi atau masalah yang dihadapi petani dilahannya.

Pendidian pada SLPHT diarahkan kepada tiga bidang penting yaitu kerja, hubungan antar manusia, dan kekuasaan. Bidang kerja menekankan kepada aspek pengetahuan dan keterampilan, bidang hubungan antar sesama manusia mencakup

(13)

mteraksi dan komunikasi, sedangkan bidang kekuasaan mengamhkan petani untuk menjadi manajer pada usahatsninya sendhi Ketiganya diperhatikan sejak tahap persiapan, pemilihan lokasi, serta pemilihan kelompok dan peserta, sampai ketahap pelaksanaan dan evaluasi.

Melalui

SLPHT

dapat ditingkatkan pengetahuan petani mengenai

PHT

sehingga petani lebih mandiri, taktis dan hati-hati serta mampu memilih dan mengambil keputusan yang sesuai. Kesadaran akan kebersamaan, saling ketergantungan akan keselamatan usahatani makin tmggi timbul sebagai konsekuensi adanya tuntutan penerapan

PHT

secara benar (Djauhari dan Supriyatna, 1996).

Kelompok Tani

Pengelompokkan petani telah dimulai sejak zaman penjajahan Belanda dengan nama saat itu Rukun (Jawa Barat) dan Kring Tani (Jawa Timur) (Abbas, 1995). Salah satu syarat pelancar pembangunan pertanian adalah adanya kegiatan kerjasama kelompok tani. Oleh sebab itu sejak pelaksanaan Repelitz I di Indonesia mulai dikembangkan pembentukan kelompok tani, yang diawali dengan kelompok- kelompok kegiatan (kelompok pemberantasan hama, dan kelompok pendengar siaran pedesaan) dan akhirnya sejak tahun 1976 dengan dilaksanakannya yroyek penyuluhan tanaman pangantnational food crop extension proyek (NFCEP) dikembangkan pula kelompok tani berdasarkan hamparan lahan pertaniannya (Mosher,1967 dalarn Mardikanto, 1993).

Berdasarkan surat keputusan Menteri Pertanian No.88lIKptdOT. 2 1 01 121 1988, yang dimaksud dengan kelompok tani nelayan adalah kumpulan petani

(14)

nelayan yang terikat secara non formal atas dasar keserasian, kondisi lingkungan (sosial, ekonomi, sumber daya), keakraban, kepentingan bersama dan saling percaya mempercayai, serta mempunyai pimpinan

untuk

mencapai tujuan bersama.

Berdasarkan pengertian diatas dapat disebutkan beberapa ciri dari kelompok tani nelayan, yaitu : (a) saling mengenal dengan baik antara sesama anggotanya, akrab dan saling percaya mempercayai; (b) mempunyai pandangan dan kepentingan yang sama dalam berusaha tani; (c) memiliki kesamaan tradisilkebiasaan, pemukiman, hamparan usaha tani, jenis usaha, status ekonomi maupun sosial; (d) bersifat non formal, tidak berbadan hukum tetapi mempunyai pembagian dan tanggung jawab atas dasar kesepakatan bersama baik tertulis maupun tidak.

Penumbuhan kelompok tani nelayan didasarkan atas faktor-faktor pengikat sebagai berikut : (a) adanya kepentingan bersama antara anggotanya; (b) adanya kesamaan kondisi sumber daya alam dalam berusaha tani-nelayan; (c) adanya kondisi masyarakat dan kehidupan sosial yang sama; (d) adanya saling percaya mempercayai antara sesama anggota. Dengan pendekatan kelompok ini maka akan tejalin kejasama antara individu anggota kelompok dalam proses belajar, proses berproduksi, pengolahan hasil dan pemasaran hasil untuk peningkatan pendapatan dan penghidupan yang layak. Pembentukan kelompok tani-nelayan fleksibel, anggota kelompok dapat sehamparan (terutama supra insus), dapat sesuai domisili dan dapat pula berdasar komoditi. Jumlah anggota tiap kelompok berkisar antara 10 - 20 orang (Abbas, 1995).

Beberapa keuntungan dari pembentukan kelompok tani itu, antara lain diungkapkan oleh Torres Mardikanto (1993) sebagai berikut : (a) semakin eratnya

(15)

interaksi dalam kelompok dan semakin terbmanya kepemimpinan kelompok; (b) semakin terarahnya peningkatan secara cepat tentang jiwa kerjasama antar petani; (c) semakia cepatnya proses perembesan (difUsi) penerapan movasi (teknologi) b a n ; (d) semakin naiknya kernampun rata-rata pengembalian hutang (pmjaman) petani; (e) semakin meningkatnya orientasi pasar, baik yang berkaitan dengan masukan (input) maupun produk yang dihasilkannya; dan (f) semakin dapat membantu efisiensi pembagian air irigasi serta pengawasannya oleh petani sendiri.

Sajogyo (1978) dalam Mardikanto (-1993) memberikan tiga alasan utama dibentuknya kelompok taayaitu : (a) Untuk memanfaatkan secara lebih baik (optimal) semua sumber daya yang tersedia, (b) Dikembanglcan oleh pemerintah sebagai alat pembangunan, (c) Adanya alasan ideologis yang "mewajibkan" para petani untuk terikat oleh suatu amanat suci yang hams mereka amalkan melalui kelompok taninya.

Hasil survey yang telah dilakukan oleh tim UNPAD (1990) menunjukkan bahwa: motivasi utama keikutsertaan anggota dalam kelompok tani terutama didorong oleh hasrat meningkatkan kemampuan berusaha tani dan pemenuhan kebutuhan primer, dan perbaikan kesejahteraaannya. Karenanya kelompoktani lebih bersifat sebagai organisasi "pamrih". Lebih lanjut, karena pembentukan Wilayah Kelompok dikaitkan dengan upaya pemerintah untuk mensukseskan pelaksanaan NFCEPfNAEP, maka kelompoktani yang ada sekarang ini dapat pula dikatakan sebagai "organisasi paksaan", yang dipakai oleh penguasa sebagai alat untuk mencapai tujuan pembagunan. Dari telaahan tersebut, maka kelompoktani dapat

(16)

dikategorikan sebagai organisasi formal (bukan kelompok informal) dengan struktur rangkap "pamrih paksaan" (Mardikanto, 1994).

Sesuai S

K

Menteri Pertanian No.881/Kpts/OT.210/12/l988, kelompok tani nelayan berperan dan berfimgsi sebagai kelas belajar, unit produksi usaha tani nelayan dan wahana kerjasama antara anggota kelompok dengan pihak lam. Kelompok tani nelayan adalah organisasi non formal.

Kelompok tani sebagai kelas belajar dan mengajar bagi petani nelayan merupakan wadah bagi setiap anggotanya untuk berinteraksi guna meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap dalam berusaha tani nelayan yang lebih baik dan menguntungkan, serta berperilaku lebih mandiri untuk mencapai kehidupan yang lebih sejahtera. Oleh karena itu pembmaannya diarahkan agar anggota kelompok secara merata memiliki kemampuan kemampuan, antara lain dalam : menggali dan merumuskan keperluan belajar; berhubungan dan bekerja sama dengan sumber informasi dan teknologi yang diperlukan dalam proses belajar mengajar baik yang berasal dari sesama petani nelayan, instansi pembina maupun pihak pihak lam; menciptakan iklim/lingkungan belajar yang serasi; mempersiapkan sarana belajar; berperan aktif dalam proses belajar mengajar dan merumuskan kesepakatan bersama baik dalam memecahkan masalah maupun melaksanakan berbagai kegiatan kelompok (Abbas, 1995).

Berdasarkan unit usaha produksi usahatani nelayan, kelompok tani merupakan satu kesatuan unit usaha tani untuk mewujudkan kerjasama dalam mencapai skala ekonomi yang lebih menguntungkan. Oleh karena itu pembinaan diarahkan agar anggota kelompok secara bersama memiliki kemampuan kemampuan, antara lain

(17)

dalam : mengambil keputusan dalam menentukan pola usahatani yang menguntungkan berdasarkan teknologi terapan berorientasi pasar tanpa melupakan kepentingan nasional; menyusun rencana usahatanilrencana d e w i f kelompok serta rencana permodalan; menerapkam teknologi maju dalam usahatani sesuai rekomendasi; berhubungan clan bekerjasama dengan pihak pihak penyedia sarana produksi dan pemasaran hasil; menganalisa dan menilai usahatani yang dilaksanakan dan mengelola administrasi kelompok (Abbas, 1995).

Berdasarkan wahana kerjasama kelompok tani nelayan merupakan tempat untuk memperkuat kerja sama diantara sesama petani nelayan dalam kelompok dan antara kelompok dengan pihak lain untuk menghadapi berbagai ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan. Upaya pembinaan Kelompoktani-nelayan agar anggota memiliki kemampuan kemampuan, antara lain dalam : menciptakan suasana saling kenal, saling percaya dan selalu berkeinginan untuk bekerjasama; menciptakan suasana keterbukaan dalam menyatakan pendapat dan pandangan pandangan diantara anggota; mengatur dan melaksanakan pembagian tugas; bekerjasama dengan pihak pihak penyedia kemudahan sarana produksi, pengolahan dan pemasaran has4 dan melaksanakan hubungan melembaga dengan KUD dalam pelaksanaan RDK, RDKK, pengolahan, pemasaran hasil dan permodalan (antara lain kelompoktani sebagai temp at pelayanan koperasi1TPK).

Referensi

Dokumen terkait

PEMBAGIAN URUSAN & KEWENANGAN PERIZINAN TERKAIT PERIKANAN TANGKAP PEMERINTAH PUSAT DAERAH PROVINSI DAERAH

Penggunaan teori Talcott Parson dinilai penulis menjadi teori yang pas untuk menggabungkan beberapa aspek untuk mendukung keberlangsungan program- program yang akan

Dari hasil analisis Matriks IE, diketahui bahwa UD Payung Agung ada pada Cell I yang menunjukkan bahwa UD Payung Agung memiliki kekuatan untuk mengatasi kelemahan dan dapat

Sehingga hasil penelitian ini menyatakan tidak ada pengaruh yang signifikan antara profitabilitas, ukuran perusahaan, debt to equity terhadap ketepatan waktu penyampaian

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Bagaimana tinjauan ekonomi Islam terhadap motif santri dalam menggunakan jasa laundry di tata usaha laundry pondok

mengkoordinir: (1) tugas-tugas yang berkaitan dengan peraturan sistem dan mekanisme tata kerja lembaga dalam arti yang luas, (2) tugas-tugas yang ada hubungannya

Untuk mengetahui pengaruh nilai religius yang diintegrasikan dalam pembelajaran biologi melalui pendekatan SETS terhadap hasil belajar siswa pada pokok bahasan

Melalui rekontruksi nilai-nilai aswaja yang kemudian disosialisasikan secara massif-di antaranya melalui jalur pendidikan-diharapkan dapat memberikan pemahaman masyarakat