• Tidak ada hasil yang ditemukan

Politik luar negeri Indonesia Bebas Aktif dalam upaya penyelesaian konflik Rohingya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Politik luar negeri Indonesia Bebas Aktif dalam upaya penyelesaian konflik Rohingya"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA “BEBAS AKTIF” DALAM UPAYA PENYELESAIAN KONFLIK ROHINGYA

SKRIPSI

Untuk memenuhi tugas akhir guna memperoleh gelar sarjana strata satu (S1) dalam Program Studi Filsafat Politik Islam

Oleh: Hozin Zainullah NIM: E04213034

PROGRAM STUDI FILSAFAT POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2019

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Judul : Politik Luar Negeri Indonesia “Bebas Aktif” dalam Upaya Penyelesaian Konflik Rohingya Penulis : Hozin Zainullah

Pembimbing : Moh. Fathoni Hakim, M.Si.

Keyword : Konflik Rohingya, Kebijakan Luar Negeri, Presiden Jokowi, Prinsip Bebas-Aktif

Penelitian ini dilatar belakangi oleh krisis kemanusiaan di Myanmar serta keterlibatan secara aktif pemerintah Indonesia di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo di dalam upaya penyelesaian krisis tersebut. Untuk memfokuskan pembahasan, peneliti mengkhusus kajian pada bagaimana kebijakan luar negeri Indonesia era pemerintahan Presiden Joko Widodo terhadap isu Rohingya dan bagaimana Indonesia era pemerintahan Presiden Joko Widodo menerjemahkan prinsip bebas-aktif di dalam kebijakan luar negeri dalam merespon isu Rohingya. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif dengan pendekatana kualitatif, kemudian diperkuat dengan penelusuran data melalui sumber primer, dalam hal ini Direktur dan Wakil Direktur Asia Tenggara Direktorat Jenderal Asia Pasifikdan Afrika Kementerian Luar Negeri RI melalui wawancara, dan diperkuat dengan sumber sekunder berupa buku, laporan penelitian-penelitian terkait, maupun informasi media massa. Selain itu, penelitian ini juga menjadikan konsep kebijakan luar negeri perspektif K.J. Holsti sebagai instrumen analisis untuk mengungkap dan menjawab dua pertanyaan penelitian yang telah ditentukan sebelumnya. Dari proses riset yang dilakukan, ditemukan beberapa fakta, bahwa:

Pertama, kebijakan luar negeri Indonesia dalam merespon isu Rohingya tidak lepas dari berbagai faktor yang mempengaruhinya, baik internal maupun eksternal, meliputi: 1) national interest, tercermin dari dorongan masyarakat muslim Indonesia agar pemerintah Indonesia menyelesaian konflik dan melindungi etnis muslim Rohingya; 2) kepentingan nasional, yang menjadikan konflik Rohingya sebagai kesempatan bagi Indonesia untuk membangun kepercayaan internasional; 3) proteksi negara, untuk mengantisipasi ancaman dan implikasi yang dihasilkan oleh konflik, baik dalam aspek teritorial security

maupun ekonomi; 4) ujian kredibiltas ASEAN, yang selama ini dianggap lemah, sehingga memaksa Indonesia sebagai salah satu negara berpengaruh di ASEAN turun tangan; 5) tekanan internasional terhadap negara-negara kawasan atas apa yang terjadi di Myanmar, menjadi faktor yang juga mempengaruhi kebijakan luar negeri Indonesia; 6) faktor pengambil keputusan, yaitu pertimbangan rasional seorang Presiden Jokowi sebagai pemimpin yang berkarakter populis dan berlatar belakang pengusaha. Kedua, kebijakan luar negeri Indonesia dalam merespon isu Rohingya menggambarkan bagaimana pemerintah Jokowi menerjemahkan prinsip bebas-aktif, yaitu dengan tidak bergantung kepada kepentingan negara-negara the big power dalam dinamika konflik di Myanmar. Upaya dan langkah pemerintah Indonesia adalah dengan bersikap moderat dan tidak setengah hati dalam merealisasikan kebijakan luar negeri melalui komitmen tinggi dan konsisten memperjuangkan penyelesaian konflik di Myanmar secara menyeluruh.

(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i

PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ii

PENGESAHAN TIM PENGUJI iii

PERNYATAAN KEASLIAN iv

ABSTRAK v

MOTTO vi

LEMBAR PERSEMBAHAN vii

KATA PENGANTAR viii

DAFTAR ISI ix

BAB I: PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Rumusan Masalah 7 C. Tujuan Penelitian 8 D. Manfaat Penelitian 8 E. Tinjauan Pustaka 9 F. Metode Penelitian 14 G. Sistematika Pembahasan 17

BAB II: TINJAUAN TEORITIK 19

A. Konsep Kebijakan Luar Negeri 20

B. Politik Luar Negeri Bebas-Aktif 28

BAB III: KEMENTERIAN LUAR NEGERI REPUBLIK INDONESIA DAN

(8)

A. Struktur, Tugas, dan Fungsi Kementerian Luar Negeri RI 40 B. Riwayat Kebijakan Luar Negeri Indonesia Era Jokowi terkait Isu

Kemanusiaan dan HAM 44

C. Sejarah Konflik Rohingya 48

D. Kepentingan Nasional Indonesia dan ASEAN 50

BAB IV: ANALISIS KEBIJAKAN LUAR NEGERI INDONESIA

BEBAS-AKTIF DALAM MERESPON ISU ROHINGYA 60

A. Kebijakan Luar Negeri Indonesia terhadap Isu Rohingya 61 B. Indonesia dan Prinsip Politik Luar Negeri Bebas-Aktif 71

BAB V: PENUTUP 77

A. Kesimpulan 77

B. Saran 78

DAFTAR PUSTAKA 80

(9)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada dasarnya, secara implisit, prinsip dasar politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif telah termaktub di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat yang berbunyi, “... ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.”1

Kemudian secara eksplisit, baru tersampaikan dua tahun setelah Indonesia merdeka oleh Sutan Sjahrir ketika ditugaskan Presiden Soekarno untuk menyuarakan kemerdekaan Indonesia di kancah internasional2 pada saat Inter Asia Relations Conference di New Delhi:

Dunia tampaknya memaksa kita untuk membuat pilihan antara kekuatan yang saling bermusuhan sekarang: antara blok Anglo Saxon dan Soviet Rusia. Tetapi kita secara benar menolak untuk dipaksa. Kita mencari wujud internasional, yang sesuai dengan kehidupan interen kita dan kita tidak ingin terperangkap dalam sistem-sistem yang tidak cocok dengan kita dan tentu saja tidak ke dalam sistem-sistem yang bermusuhan dengan tujuan kita.3

Pandangan demikian diperkuat oleh Moh. Hatta melalui pidatonya yang berjudul Mendayung Di Antara Dua Karang di depan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) pada 2 September 1948.4

1

Lihat, Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

2

Kementerian Luar Negeri RI, Biju Patnaik: Pahlawan Bersama India, Indonesia, 11 Desember 2017, diakses pada 4 Juni 2018, https://www.kemlu.go.id/newdelhi/id/berita-agenda/berita-perwakilan/Pages/Biju-Patnaik,-Pahlawan-Bersama-India,-Indonesia.aspx.

3 Agus Haryanto, “Prinsip Bebas Aktif dalam Kebijakan Luar Negeri Indonesia: Perspektif Teori

Peran”, Jurnal Ilmu Politik dan Komunikasi, Desember 2014, Vol. IV, No. II, 23.

4 Agus Budi Yulianto, “Konsep Politik Luar Negeri Bebas Aktif Dalam Konfrontasi Indonesia

Malaysia Tahun 1963-1966 (Sebuah Kajian Historis)”, (Skripsi—Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, 2008), 25.

(10)

2

Menurutnya, politik “bebas” berarti Indonesia tidak berada dalam kedua blok dan memilih jalan sendiri untuk mengatasi persoalan internasional. Sedangkan istilah “aktif” berarti upaya untuk bekerja lebih giat guna menjaga perdamaian dan meredakan ketegangan kedua blok.5

Tidak puas dengan itu, Presiden Soekarno menegaskan kembali prinsip bebas aktif dalam politik luar negeri Indonesia melalui Manifesto Politik. Manifesto Politik Republik Indonesia (Manipol) yaitu pidato Presiden Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1959, dengan perinciannya oleh DPA, beserta pedoman-pedoman pelaksanaannya, telah disahkan sebagai Garis Besar Haluan Negara oleh sidang pertama MPRS pada 19 November 1960.6

Tentu dalam pelaksanaan prinsip politik luar negeri bebas aktif yang paling jelas terlihat pada adanya Konferensi Asia-Afrika yang merupakan bagian dari gerakan non-blok dengan Presiden Soekarno sebagai inisiatornya. Gerakan non-blok adalah sikap politik Indonesia melihat rivalitas yang cukup tinggi antara dua blok besar dunia: Blok Barat dengan Blok Timur.

Dalam perkembangannya, prinsip ini terus dijalankan oleh pemerintahan Indonesia di bawah kepemimpinan setelah Soekarno. Akan tetapi dengan penerjemahan yang berbeda, dan tentu mengikuti pemahaman dan arah kebijakan politik yang menyertainya, mulai dari kepemimpinan Soeharto di era orde baru hingga kepemimpinan Presiden Jokowi saat ini. Dalam memandang krisis kemanusiaan di Myanmar, misalnya, Presiden Jokowi secara langsung mendatangi lokasi penampungan pengungsi etnis

5 Mohammad Hatta, Mendayung di Antara Dua Karang, (Jakarta, Bulan Bintang, 1976), 17. 6 D.N. Aidit, PKI dan AURI, (Jakarta: Jajasan Pembaharuan, 1963), 6.

(11)

3

Rohingya dari Rakhine State yang ada di Kamp Jamtoli, Sub Distrik Ukhiya, Cox's Bazar, Bangladesh.7

Kelompok etnis Rohingya merupakan salah satu bagian dari keberagaman etnis yang ada di Myanmar. Etnis ini menjadi satu-satunya kelompok dengan populasi paling sedikit di antara kelompok etnis lainnya, dan hampir seluruh masyarakatnya merupakan pemeluk agama Islam. Nama “Rohingya” menjadi populer sejak banyak mengisi halaman berita di berbagai media, baik nasional maupun internasional. Hal ini berkaitan dengan krisis yang terjadi pada kelompok etnis Rohingya di Myanmar dua tahun terakhir. Bahkan menurut Duta Besar Indonesia Ito Sumardi Djunisanyoto, bahwa sejak 1970-an, hampir 1 juta muslim Rohingya mengungsi dari Myanmar lantaran persekusi negara yang sistematis dan meluas.8

Adapun krisis yang sedang menimpa kelompok etnis Rohingya adalah serangkaian konflik yang terjadi sejak tahun 2012. Kala itu, konflik terjadi antara kelompok etnis Rohingya dengan etnis Rakhine (Buddhist), yang bermula dari kasus pemerkosaan hingga pembunuhan oleh beberapa pemuda Rohingya kepada salah seorang perempuan Rakhine. Sehingga berbuntut pada upaya pembalasan oleh kelompok etnis Rakhine dengan membunuh, membakar rumah, hingga pengusiran terhadap kelompok etnis Rohingya.

7 Ahmad Faiz Ibnu Sani, “Presiden Jokowi Temui Etnis Rohingya di Tempat Pengungsian”,

Tempo, 28 Januari 2018, diakses pada 4 Juni 2018,

https://nasional.tempo.co/read/1054962/presiden-jokowi-temui-etnis-rohingya-di-tempat-pengungsian.

8 Dubes RI Ito Sumardi Djunisanyoto dalam Ardi Sumandoyo, “Krisis Rohingya Bukan Konflik

Agama”, Tirto, 6 September 2017, diakses pada 18 April 2018, https://tirto.id/krisis-rohingya-bukan-konflik-agama-cv3i.

(12)

4

Kerusuhan antar-kedua kelompok agama itu semakin memburuk, sejak pemerintah mendeklarasikan status darurat atas Rakhine sehingga melegalkan intervensi militer (disebut Tatmadaw) dalam “menangani” kerusuhan komunal berdimensi agama itu.9 Dalam proses penanganan konflik oleh aparat militer, persoalan yang menjadi sumber konflik tak kunjung mereda. Justru ada ketimpangan pada proses penanganan konflik, di mana aparat militer ikut serta dalam gelombang pengusiran, pembunuhan, bahkan pemerkosaan terhadap kelompok etnis Rohingya.

Keterlibatan aparat militer dalam pengusiran kelompok etnis Rohingya seolah menggambarkan bahwa pemerintahan telah memberikan legitimasi bagi kelompok Rakhine untuk melakukan tindak kekerasan terhadap kelompok etnis Rohingya. Tindak kekerasan atau penggunanaan aspek koersif melalui lembaga negara bukanlah sebuah hal baru yang menjadi cara bagi negara-negara tertentu untuk mengurangi segmen populasi mereka.10 Pada akhirnya, kelompok etnis Rohingya terpaksa untuk meninggalkan Myanmar dan mengungsi ke beberapa negara tetangga, seperti Bangladesh, Thailand, Malaysia dan Indonesia, untuk mencari perlindungan setelah diperlakukan secara diskriminatif dan kemudian diusir oleh pemerintahan Myanmar.

Negara-negara tetangga seperti Bangladesh, Malaysia dan Indonesia menjadi negara jujukan utama para pengungsi Rohingya, mengingat negara tersebut merupakan wilayah dengan populasi Muslim yang cukup besar.

9

Sumanto Al Qurtuby, “Sejarah Kelam Muslim Rohingya”, DW, 18 September 2017, diakses pada 17 April 2018, http://www.dw.com/id/sejarah-kelam-muslim-rohingya/a-40557421.

10 Baiq Wardhani, “No Place Called Home: Pengungsi Rohingya di Perbatasan

(13)

5

Sehingga para pengungsi berharap perlindungan dan keamanan melalui ikatan solidaritas sesama Muslim, terutama sekali di Bangladesh sebagai negara terdekat dan dengan basis masyarakat yang cukup besar.

Berkaitan dengan gelombang pengungsi yang terus-menerus berdatangan, langkah pemerintah Indonesia salah satunya—melalui Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi—mendorong terjalinnya MoU atau nota kesepahaman antara pemerintah Myanmar dan Banglades terkait upaya repatriasi para pengungsi etnis Rohingya.11 Hal demikian juga bagian langkah untuk mngantisipasi dampak konflik merembet hingga ke Indonesia.

Dalam merespon konflik etnis yang terjadi di Myanmar, kebijakan luar negeri pemerintah Indonesia menjadi sangat penting. Khususnya berkaitan dengan kepentingan Indonesia untuk tetap menjaga stabilitas keamanan di wilayah perbatasan pasca datangnya gelombang pengungsi di Indonesia, kepentingan Indonesia sebagai negara Muslim terbesar untuk membantu menyelematkan komunitas Muslim Rohingya dari penindasan dan tindakan represif oleh pemerintah Myanmar, dan kepentingan Indonesia untuk tetap menjaga hubungan bilateral yang sudah terjalin bersama Myanmar.

Pada dasarnya, langkah yang diambil oleh pemerintah Indonesia dalam ikut serta mengupayakan perdamaian di Myanmar juga dilandasi prinsip politik luar negeri yang bebas aktif. Sebagaimana pernyataan Menko Polhukam RI, Wiranto, bahwa pemerintah mengimplementasikan politik luar

11

Kristian Erdianto, “Indonesia Dorong Kebijakan Repatriasi Bagi Pengungsi Rohingya di

Banglades”, Kompas, 23 November 2017, diakses pada 18 April 2018,

https://nasional.kompas.com/read/2017/11/23/13513321/indonesia-dorong-kebijakan-repatriasi-bagi-pengungsi-rohingya-di-banglades.

(14)

6

negeri yang bebas-aktif dalam melaksanakan ketertiban dunia, termasuk dalam merespons peristiwa kekerasan yang terjadi di Myanmar.12

Akan tetapi, pengimplementasian politik bebas-aktif tersebut, tentu dengan penafsiran yang berbeda dengan apa yang pernah dihayati dalam kebijakan luar negeri Indonesia di bawah kepemimpinan sebelumnya. Sehingga, penerjemahan yang berbeda terhadap prinsip politik bebas-aktif berimplikasi pada perumusan kebijakan luar negeri yang berbeda pula.

Salah satu kebijakan luar negeri Indonesia di bawah pemerintahan Jokowi adalah melalui diplomasi kemanusiaan, yang dalam proses tersebut menawarkan proposal Formula 4+1 untuk Rakhine State. Empat elemen ini terdiri dari: (1) mengembalikan stabilitas dan keamanan; (2) menahan diri secara maksimal dan tidak menggunakan kekerasan; (3) perlindungan kepada semua orang yang berada di Rakhine State, tanpa memandang suku dan agama; dan (4) pentingnya segera dibuka akses untuk bantuan kemanusiaan.13 Di samping diplomasi terus-menerus dilakukan, baik secara langsung maupun melalui organisasi regional dan internasional, Indonesia pada saat yang sama, terus memberikan bantuan kepada korban di Myanmar, mulai dari logistik, akses pendidikan hingga akses kesehatan.

12

Kristian Erdianto, “Jangan Lihat Isu Rohingya sebagai Konflik antara Islam dan Buddha”,

Kompas, 6 September 2017, diakses pada 11 September 2018,

https://nasional.kompas.com/read/2017/09/06/06410621/jangan-lihat-isu-rohingya-sebagai-konflik-antara-islam-dan-buddha?page=all.

13

Kementerian Luar Negeri RI, Menlu RI Serahkan Usulan Formula 4+1 untuk Rakhine State kepada State Counsellor Myanmar, 4 September 2017, diakses pada 11 September 2018,

https://www.kemlu.go.id/id/berita/Pages/Menlu-RI-Serahkan-usulan-Formula-41-untuk-Rakhine-State-kepada-State-Counsellor-Myanmar.aspx.

(15)

7

Dari beberapa kebijakan tersebut, menjadi penting bagi peneliti untuk menelusuri apa faktor yang mempengaruhi diambilnya sebuah keputusan luar negeri. Di antaranya adalah faktor kebutuhan nasional yang tercermin pada sebagian besar masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim untuk bersimpati terhadap konflik dan pengungsi Rohingya. Kemudian faktor kepentingan Indonesia untuk mengamankan keamanan teritorial dari ancaman kejahatan dan penyebaran penyakit yang diakibatkan oleh penyebaran pengungsi, dan mengamankan stabilitas politik demi keberlanjutan program pembangunan nasional maupun investasi di negara-negara regional. Selanjutnya, faktor tekanan internasional yang mengharuskan Indonesia untuk tampil aktif di tengah absennya ASEAN dalam penyelesaian konflik. Dan terakhir, adalah faktor pengambil kebijakan, dalam hal ini Presiden Jokowi, yang dikenal sebagai pemimpin populis.

Kenyataan demikianlah yang melatar belakangi peneliti untuk mendalami bagaimana pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Jokowi menerjemahkan prinsip politik bebas aktif dalam kebijakan-kebijakan luar negeri yang telah dilakukan untuk mengupayakan perdamaian atas konflik yang menimpa kelompok etnis Rohingya di Myanmar.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana latar belakang dan kebijakan luar negeri Indonesia di bawah pemerintahan Jokowi dalam upaya menyelesaikan konflik Rohingya?

(16)

8

2. Bagaimana menerjemahkan prinsip “bebas-aktif” pada kebijakan luar negeri Indonesia di bawah pemerintahan Jokowi dalam upaya menyelesaikan konflik Rohingya?

C. Tujuan Masalah

1. Mengetahui latar belakang dan kebijakan luar negeri Indonesia di bawah pemerintahan Jokowi dalam upaya menyelesaikan konflik Rohingya; dan 2. Memahami makna prinsip “bebas-aktif” pada kebijakan luar negeri

Indonesia di bawah pemerintahan Jokowi dalam upaya menyelesaikan konflik Rohingya.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Salah satunya dapat memberikan uraian tentang kebijakan luar negeri Indonesia di era Jokowi, khususnya dalam upaya menyelesaikan konflik Rohingya melalui penekanan prinsip politik bebas aktif. Hal ini menjadi penting bagi mahasiswa dengan minat dan fokus studi pada kajian ilmu sosial dan politik untuk dapat mengidentifikasi prinsip politik bebas aktif dalam kebijakan-kebijakan luar negeri Indonesia, khususnya yang berkaitan erat dengan krisis kemanusiaan di Myanmar. Sehingga, selanjutnya, dapat mendalami, mengembangkan atau bahkan membantah temuan yang dihasilkan dari penelitian ini melalui penelitian selanjutnya. 2. Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat kepada masyarakat secara informatif tentang penerjemahan

(17)

9

prinsip bebas aktif di dalam politik luar negeri Indonesia, kaitannya dengan penyelesaian konflik di Rohingya. Sehingga masyarakat mampu memahami dan, lebih lanjut, mendukung upaya tersebut dengan ikut terlibat secara aktif menyuarakan perdamaian dunia, khususnya pada konflik yang sedang menimpa komunitas muslim Rohingya.

E. Tinjauan Pustaka

1. Skripsi Diah Nurhandayani (2013) berjudul “Kebijakan Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam Penyelesaian Kekerasan Etnis Muslim Rohingya di Myanmar”14

Dalam penelitian skripsi Diah, menjelaskan posisi Indonesia di bawah pemerintahan SBY sebagai salah satu negara yang disegani di ASEAN, namun tidak tegas dan tidak konsisten untuk membantu krisis kemanusiaan di Myanmar pada saat masyarakat dan Ormas di Indonesia lantang menyuarakan dukungannya. SBY dianggap lebih menjaga stabilitas hubungan bilateral dengan Myanmar demi kepentingan nasional.

Tentu berbeda dengan rencana penelitian ini, yang lebih memusatkan perhatian terhadap kepemimpinan Jokowi dalam menyikapi krisis Rohingya, dan di saat yang sama, berusaha untuk menerjemahkan prinsip Bebas-Aktif dalam politik luar negeri Indonesia.

2. Skripsi Indah Angraini Sawal (2017) dengan judul “Implikasi Krisis Kemanusiaan Rohingya di Myanmar terhadap Negara-Negara ASEAN”15

14

Diakses melalui Digital Library UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

file:///C:/Users/12345/Downloads/DIAH%20NURHANDAYANI%20(1).pdf.

15 Repository Universitas Hasanuddin Makassar,

(18)

10

Dalam penelitian tersebut menjelaskan, bahwa konflik yang terjadi pada etnis Rohingya telah mengakibatkan krisis kemanusiaan. Sehingga masyarakat etnis Rohingya yang merupakan komunitas muslim menjadi korban dan terpaksa harus mengungsi dan mencari suaka di negara-negara tetangga. Negara tujuan para korban krisis kemanusiaan Rohingya ini rata-rata merupakan negara yang sebelumnya telah tergabung dalam organisasi ASEAN. Sehingga tentu memberikan dampak dan pengaruh terhadap kebijakan negara-negara ASEAN dalam merespon krisis kemanusiaan Rohingya dan sekaligus untuk bersikap atas gelombang pengungsi yang masuk ke negara-negara terkait.

Sedangkan dalam rencana penelitian ini, lebih fokus untuk menafsirkan prinsip politik bebas aktif pada kebijakan luar negeri Indonesia. Sehingga upaya untuk menyelesaikan konflik Rohingya oleh pemerintah Indonesia dapat ditelisik, tidak hanya berdasar pada ikatan solidaritas sesama masyarakat Muslim di Indonesia dengan komunitas Muslim Rohingya, melainkan juga berlandaskan prinsip politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif, di mana prinsip tersebut dirasa masih relevan sejak Indonesia di bawah pemerintahan Soekarno hingga pemerintahan Jokowi sekarang.

(19)

11

3. Jurnal Fatma Arya Ardani (2015) berjudul “Kebijakan Indonesia dalam Membantu Penyelesaian Konflik antara Etnis Rohingya dan Etnis Rakhine di Myanmar (Studi Karakter Kepribadian Susilo Bambang Yudhoyono)”16

Penelitian tersebut menjadikan akar konflik antar etnis yang terjadi di Myanmar tahun 2012 sebagai perhatian utama, di mana konflik tersebut merupakan akar dari permasalahan yang berujung pada krisis kemanusiaan berkepanjangan di Myanmar, bahkan hingga hari ini. Konflik tersebut terjadi antara etnis Rohingya dengan etnis Rakhine di wilayah Arakan, wilayah yang menjadi tempat tinggal dua etnis tersebut. Bermula dari konflik itulah pemerintah Indonesia era Susilo Bambang Yudhoyono gencar melakukan beberapa kebijakan sebagai bagian dari usaha untuk ikut serta menyelesaikan konflik yang menyebabkan komunitas muslim Rohingya mengungsi ke Malaysia, Kamboja dan negara-negara tetangga lainnya.

Akan tetapi, analisis pada penelitian tersebut lebih memusatkan perhatian pada karakteristik kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono yang memengaruhi perumusan kebijakannya dalam mengupayakan perdamaian di Myanmar. Tentu sangat berbeda dengan rencana penelitian ini, yang lebih mengupayakan untuk menerjemahkan prinsip politik bebas dan aktif pada kebijakan luar negeri Indonesia. Sehingga, dalam argumen sementara, prinsip tersebut juga dianggap sebagai faktor yang

16 Journal of International Relations, 2015, Vol. 1, No. 2. Diakses melalui http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jihi.

(20)

12

memengaruhi arah kebijakan luar negeri Indonesia dalam upayanya menyelesaikan konflik Rohingya.

4. Jurnal Hendra Maujana Saragih (2017) dengan judul “Indonesia dan

Responsibility to Protect Etnis Muslim Rohingnya Myanmar”17

Tidak jauh berbeda dengan dua penelitian di atas, pengamatan Saragih juga tertuju pada konflik di Myanmar yang menyebabkan komunitas muslim Rohingya menjadi kelompok marjinal, sehingga terpaksa mengungsi ke negara-negara tetangga menggunakan perahu. Marjinalisasi terhadap kelompok sebagaiman dimaksud dilakukan dengan beragam bentuk dan cara, salah satunya dengan tidak diakuinya etnis Rohingya sebagai bagian dari keberagaman etnis di Myanmar oleh junta militer. Selanjutnya, perhatian Saragih juga tertuju pada respon Indonesia terhadap konlik di Myanmar sebagai sesama anggota ASEAN.

Perbedaan antara penelitian Saragih dengan rencana penelitian ini adalah terletak pada kebijakan luar negeri Indonesia sebagai obyek pengamatan, yang menjadikan kebijakan era Susilo Bambang Yudhoyono dengan kebijakan era Jokowi sebagai obyek pengamatan sekaligus. Hal itu tidak menjadi rencana penelitian ini, sebab hanya akan spesifik menerjemahkan prinsip politik bebas aktif pada kebijakan luar negeri Indonesia terhadap krisis kemanusiaan yang menimpa komunitas muslim Rohingya di Myanmar.

17 Fokus: Jurnal Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan, 2017, Vol. 2, No. 2, P3M STAIN Curup -

(21)

13

5. Jurnal Budi Hermawan Bangun dengan judul “Tantangan ASEAN dalam Melakukan Penanganan Pengungsi Rohingya”18

Budi, dalam penelitiannya, mengungkap kesulitan ASEAN sebagai organisasi regional dalam melakukan penanganan pengungsi Rohingya, yang disebabkan oleh adanya prinsip non-intervensi sebagaimana dalam Piagam ASEAN. Sehingga, dalam upaya penanganan tersebut, ASEAN memerlukan mekanisme yang didasarkan pada kesepakatan negara anggota dan hukum internasional terkait.

Hal demikian tentu berbeda dengan prinsip politik bebas-aktif Indonesia di bawah pemerintahan Jokowi dalam upaya membantu krisis yang terjadi di Myanmar sebagai obyek penelitian ini. Meskipun dalam pembahasan lebih lanjut tetap akan mengulas beberapa hal yang berkaitan dengan tema penelitian Budi.

6. Jurnal Syarifatul Ula (2017) dengan judul “Peran Aktor Non-Negara dalam Hubungan Internasional: Studi Kasus Human Rights Watch dalam Krisis Kemanusiaan di Myanmar”19

Syarifatul memaparkan tentang Human Rights Watch, sebagai organisasi yang bergerak dalam bidang advokasi kemanusiaan, telah mengupayakan perlindungan hak asasi manusia bagi etnis Rohingya. Melalui pengumpulan informasi serta identifikasi di wilayah-wilayah konflik etnis Rohingya yang selanjutnya mendistribusikan informasi

18

Padjajaran Jurnal Ilmu Hukum, 2017, Vol. 4, No. 3. Diakses melalui

http://jurnal.unpad.ac.id/pjih/article/view/14929.

19 Journal of International Relations, 2017, Vol. 3, No. 3. Diakses melalui http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jihi.

(22)

14

tersebut kepada masyarakat internasional melalui media untuk mendapat perhatian publik berkaitan dengan krisis kemanusiaan yang terjadi.

Jika Syarifatul mengamati keterlibatan aktor non-negara dalam penyelesaian konflik Rohingya, maka dalam penelitian ini mengamati keterlibatan negara Indonesia di bawah kepemimpinan Jokowi dalam membantu menyelesaikan konflik Rohingya di Myanmar menggunakan prinsip politik Bebas-Aktif.

7. Laporan Penelitian M. Fathoni Hakim (2018) berjudul “Multy-Track Diplomacy dalam Penyelesaian Konflik Rohingya di Myanmar: Sebuah Analisis terhadap Diplomasi Indonesia”

Dalam laporan tersebut, Fathoni memerhatikan konflik Rohingya dalam konteks diplomasi pemerintah Indonesia yang melalui berbagai macam jalur, baik oleh pemerintah langsung maupun melibatkan aktor non-pemerintah (NGO).

Meski sama-sama mengamati langkah pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Joko Widodo dalam merespon isu Rohingya, tentu berbeda dengan rencana penelitian yang akan dilakukan peneliti yang lebih fokus pada kebijakan luar negeri Indonesia.

F. Metode Penelitian

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Dalam rencana penelitian ini, peneliti akan menggunakan jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif, yang dalam prosesnya lebih mengamati data berupa pernyataan verbal, dan sikap pemaknaan

(23)

15

bukan numerik atau angka-angka,20 dan mengutamakan pola penggambaran dan penjelasan keadaan dan fakta empiris yang terjadi di Myanmar, kebijakan luar negeri Indonesia serta telaah historis terhadap prinsip politik bebas aktif, secara deskriptif. Selanjutnya, tampilan data yang telah dideskripsikan sebelumnya akan dianalisis menggunakan beberapa pendekatan yang telah ditentukan.

2. Jenis Data

Data yang digunakan sebagai obyek analisis dalam rencana penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer, merupakan data valid yang diperoleh dari pihak pertama, dalam hal ini Kementerian Luar Negeri RI sebagai bagian dari pemerintah eksekutif. Sedangkan data sekunder, adalah teks dan gambar yang diperoleh dari temuan pada penelitian-penelitian sebelumnya, baik dalam buku maupun paper, dan informasi yang dilaporkan media massa, baik cetak maupun online.

3. Teknik Pengumpulan Data

Pada penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif maka teknik pengumpulan data dilakukan dengan carawawancara, dokumentasi, dan penelusuran melalui sumber tertulis.

Pertama, interview atau wawancara, yang dilakukan oleh peneliti terhadap individu atau kelompok masyarakat yang secara langsung terlibat dalam perumusan kebijakan luar negeri Indonesia terkait isu Rohingya. Dalam proses wawancara, subyek penelitian atau informan harus jelas,

(24)

16

dengan mengetahui bagaimana latar belakang informan tersebut.21 Dalam hal ini, wawancara dilakukan bersama: 1) Denny Abdi, Direktur Asia Tenggara, Direktorat Jenderal Asia Pasifik dan Afrika, Kementerian Luar Negeri RI; dan 2) Dewi Lestari, Wakil Direktur Asia Tenggara, Direktorat Jenderal Asia Pasifik dan Afrika, Kementerian Luar Negeri RI.

Penentuan informan/narasumber dilakukan dengan metode

purposive sampling, yaitu dengan mempertimbangkan kredibilitas Direktorat Asia Tenggara sebagai salah satu unit kerja Kementerian Luar Negeri RI yang berkaitan sccara langsung dengan isu Rohingya. Sehingga peneliti sudah memilih informan yang jelas beserta menyiapkan guide interview sesuai dengan data yang diinginkan peneliti.

Peneliti memilih bentuk wawancara mendalam (in-depth interview) yang diperoleh langsung dengan cara bertatap muka dengan informan dan memberikan pertanyaan sesuai dengan guide interview yang sudah peneliti siapkan. Wawancara ini dilakukan dengan maksud ingin mendapatkan gambaran secara lengkap tentang topik yang diteliti.22 Wawancara mendalam ini dapat memberikan informasi yang dibutuhkan oleh peneliti.

Kedua, dokumentasi, atau cara pencarian data di lapangan yang bisa berbentuk gambar, arsip dan data-data tertulis lainnya. Peneliti perlu mengambil gambar selama proses penelitian berlangsung untuk

21 Cholid Nurbuko dan Abu Ahmadi, Metodologi Penelitian (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), 70. 22

Burhan Bungin, Metode Penelitian Kualitatif: Aktuaisasi Metodelogis ke Arah Ragam Varian Kontemporer (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), 157-158.

(25)

17

mendapatkan gambaran secara riil yang terjadi di lapangan berkaitan dengan permasalahan yng terjadi didalam masyarakat.23

Ketiga, pengumpulan data juga dilakukan melalui penelitian pustaka, di mana setiap data didapat melalui penelusuran pada berbagai sumber terpercaya, baik buku, jurnal, artikel, media cetak, situs berita online, maupun berbagai data lainnya yang berkaitan erat dan relevan dengan tema penelitian, dan kemudian dikonfirmasi dengan data yang telah diperoleh dari sumber pertama melalui proses wawancara.

4. Teknik Analisis Data

Dalam analisis data, teknik yang penulis pakai adalah teknik analisis kualitatif. Secara teknis, pokok permasalahan yang diteliti digambarkan berdasarkan fakta-fakta yang telah ditampilkan melalui data-data petunjuk. Pendeskripsian fakta yang satu dihubungkan dengan fakta lainnya melalui pendekatan yang ditentukan. Sehingga menunjuk pada sebuah temuan baru.

5. Metode Penulisan

Metode penulisan pada penelitian ini adalah metode deduktif, penggambaran secara umum masalah yang diamati oleh peneliti, kemudian menampilkan kesimpulan secara khusus setelah proses analisis data.

G. Sistematika Pembahasan

23 Suharsimi Arikunto. 2005. Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktik (Jakarta: Rineka

(26)

18

Sistematika pembahasan dibutuhkan untuk mengatur pembahasan demi pembahasan dalam penelitian ini, sehingga tersusun secara sistematis dan rapi. Sehingga memberikan kemudahan bagi peneliti untuk menampilkan tahap demi tahap dalam penelitian, serta memberikan kemudahan bagi pembaca untuk memahami secara runtut. Sistematika pembahasan penelitian ini terdiri dari:

1. Bab pertama, yang berisi pendahuluan dan gambaran umum dari rencana penelitian ini, meliputi: latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, penelitian terdahulu, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.

2. Bab kedua, menampilkan kerangka teori yang digunakan sebagai pendekatan dalam proses analisis data. Dalam hal ini adalah telaah historis pada prinsip politik bebas aktif disertai argumen dan pandangan tokoh-tokoh pendiri bangsa, seperti Soekarno dan Moh. Hatta.

3. Bab ketiga, mendeskripsikan permasalahan di Myanmar yang menjadi topik utama penelitian secara lebih mendalam, dilanjutkan dengan kebijakan-kebijakan luar negeri Indonesia untuk merespon permasalahan. 4. Bab keempat, memuat proses analisis data yang telah ditampilkan pada

bab sebelumnya melalui pendekatan teori yang juga telah ditentukan pada bab kedua. Sehingga memunculkan temuan dan hasil dari penelitian. 5. Bab terakhir, memberikan kesimpulan terhadap rangkaian proses

(27)

19

dicantumkan dalam rumusan masalah, berikut saran yang konstruktif-informatif terhadap persoalan yang telah selesai diamati.

(28)

20

BAB II

TINJAUAN TEORITIK

Pada bab ini, peneliti berusaha untuk menjelaskan, pertama, konsep kebijakan luar negeri dalam perspektif K.J. Holsti sebagai instrumen analisis kebijakan luar negeri Indonesia. Deskripsi mengenai konsep kebijakan luar negeri menjadi penting untuk dapat melihat faktor-faktor yang memengaruhi pengambilan kebijakan luar negeri pemerintah Indonesia terhadap isu Rohingya, baik faktor eksternal maupun internal.

Faktor internal adalah segala sesuatu yang mendasari diambilnya sebuah keputusan, yang itu muncul dari situasi dan kondisi dalam negeri (lingkungan nasional). Banyak sekali aspek yang masuk dalam kategori lingkungan nasional, termasuk di dalamnya adalah kepentingan nasional dan kebutuhan nasional. juga aspek personalitas seorang pemimpin sebagai aktor pengambil keputusan masuk di dalam faktor internal ini. Sedangkan faktor eksternal adalah sesuatu yang mempengaruhi diambilnya sebuah keputusan, yang itu muncul dari keadaan luar negeri, baik di lingkungan regional maupun lingkungan global. Salah satunya seperti tekanan masyarakat internasional dan sebagainya.

Peneliti merasa, bahwa konsep kebijakan luar negeri perspektif K.J. Holsti adalah satu dari sekian banyak konsep tentang kebijakan luar negeri yang paling membantu dalam upaya peneliti menjelaskan proses hingga diputuskannya sebuah kebijakan, dalam hal ini kebijakan luar negeri Indonesia di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam merespon isu Rohingya.

(29)

21

Kemudian, kedua, uraian mengenai penggunaan prinsip bebas-aktif sebagai dasar filosofis politik luar negeri Indonesia, konteks sejarahnya, beberapa komponen yang melandasinya, hingga kecenderungan yang berbeda oleh tiap-tiap pengambil kebijakan, dalam hal ini pemerintah Indonesia di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo, dalam menerjemahkan prinsip bebas-aktif terhadap isu Rohingya. Sehingga pada tahap selanjutnya, dapat ditemukan posisi Indonesia di tengah perhatian masyarakat dunia terhadap perkembangan dan upaya-upaya penyelesaian konflik Rohingya di Myanmar.

A. Konsep Kebijakan Luar Negeri

Konsep tentang kebijakan luar negeri adalah panduan, prinsip dan tujuan dari keputusan suatu negara dalam mengupayakan kepentingan negara di kancah internasional. Proses pengambilan keputusan luar negeri selalu didasari oleh kebutuhan dan kepentingan nasional yang tercermin di dalam kehendak masyarakat. Sehingga, secara umum konsep kebijakan luar negeri tidak jauh berbeda dengan kebijakan dalam negeri, hanya saja ruang lingkupnya meliputi aktor-aktor internasional dan intensitas persaingan kepentingan jauh lebih tinggi, lebih-lebih pada sesuatu yang berkaitan dengan isu ekonomi, politik, hukum, dan keamanan. Lebih lanjut, peneliti akan menjelaskan konsep kebijakan luar negeri dalam perspektif K.J. Holsti.

Kebijakan luar negeri, sebagaimana penjelasan K.J. Holsti, pada dasarnya merupakan instrumen kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah suatu negara untuk menjalin hubungan dengan aktor-aktor atau negara-negara

(30)

22

lain dalam politik dunia internasional demi mencapai tujuan nasionalnya.24 Holsti juga mencirikan kebijakan luar negeri sebagai proses pembentukan keputusan atau pengulangan pola dan tindakan sebagai ciri khas perilaku dan sikap diplomatik sebuah negara.25

Ruang lingkup kebijakan luar negeri meliputi semua tindakan serta aktivitas negara terhadap lingkungan eksternalnya dalam upaya memperoleh keuntungan dari lingkungan tersebut, serta memperhatikan berbagai kondisi internal yang menopang formulasi tindakan tersebut.26

Secara fungsi, kebijakan luar negeri didefinisikan sebagai serangkaian sasaran yang menjelaskan bagaimana suatu negara berinteraksi dengan negara lain di bidang-bidang ekonomi, politik, sosial, dan militer; atau dalam tingkatan lain juga mengenai bagaimana negara berinteraksi dengan organisasi-organisasi non-negara. Interaksi tersebut dimonitor dan dievaluasi dalam usaha untuk memaksimalkan berbagai manfaat yang dapat diperoleh dari kerjasama internasional.27 Dengan demikian, aktor-aktor negara akan melakukan berbagai macam kerjasama, baik kerjasama yang bersifat bilateral, trilateral, regional, maupun multilateral, yang biasa dilakukan dengan berbagai cara, di antaranya melalui perang, perdamaian dan kerjasama ekonomi.28

... Interaksi antar negara dalam sistem internasional sekarang ini bersifat rutin dan hampir bebas dari konflik. Berbagai jenis masalah nasional, regional dan global bermunculan dan memerlukan perhatian

24 K.J. Holsti, National Role Conceptions in the Study of Foreign Policy (University of British

Columbia, 2012), 222.

25 Ibid., 233. 26

K.J. Holsti, Politik International: Suatu Kerangka Analisis, Terj. Wawan Juanda, (Bandung: Bina Cipta, 1992), 21.

27 K.J. Holsti, National Role Conceptions in the Study of Foreign Policy, Op.Cit, 222. 28 K.J. Holsti, Politik International: Suatu Kerangka Analisis, Op.Cit, 82.

(31)

23

dari berbagai negara. Dari banyak kasus yang terjadi pemerintah saling berhubungan atau melakukan pembicaraan mengenai masalah yang dihadapi, mengemukakan berbagi bukti teknis untuk menolong permasalahan tertentu, dan mengadakan beberapa perjanjian yang memuaskan bagi semua pihak.29

Fungsi tersebut juga mencakup dalam konteks bantuan luar negeri sebagai instrumen hubungan internasional. Kajian tentang foreign policy bisa menjadi acuan untuk mengetahui cara pengambilan kebijakan di negara donatur terhadap negara penerima, dalam mempromosikan kepentingan nasionalnya di atas batas teritori negara. Konsep ini akan menjabarkan bagaimana perubahan dalam lingkungan eksternal dapat mempengaruhi negara yang bersangkutan, atau proses pembentukan “image” yang diinginkan

negara tersebut dari lingkungan eksternalnya.30

Holsti menjelaskan, bahwa kebijakan luar negeri adalah strategi atau rencana tindakan yang dibentuk oleh para pembuat keputusan suatu negara dalam menghadapi negara lain atau unit politik internasional lainnya dan dikendalikan untuk mencapai tujuan nasional yang dituangkan dalam terminologi kepentingan nasional. Terdapat lima landasan pembuatan sumber kebijakan luar negeri, meliputi:31

1. Sumber Eksternal (External Sources), meliputi atribut-atribut yang ada pada sistem internasional dan pada karakteristik serta sikap suatu negara dalam menjalaninya. Sumber Eksternal mencakup perubahan yang terjadi di lingkungan eksternal, kebijakan dan tindakan dari negara lain baik itu

29

Ibid, 650.

30 K.J. Holsti, National Role Conceptions in the Study of Foreign Policy, Op.Cit, 222.

31 Eugene R. Charles Wittkoff, dkk., American Foreign policy, Sixth Edition (United States:

(32)

24

konflik maupun kerjasama, ancaman, dukungan yang baik secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi foreign policy suatu negara.

2. Sumber Masyarakat (Societal Sources), yaitu seluruh karakteristik sosial domestik dan sistem politik yang membentuk orientasi masyarakat terhadap dunia. Intinya adalah seluruh aspek non-pemerintah dari sistem politik yang mempengaruhi foreign policy. Hal ini meliputi keadaan geografis, etnis, nilai atau norma yang berkembang di masyarakat, populasi, opini publik, dan lain- lain.

3. Sumber Pemerintah (Governmental Sources), meliputi seluruh elemen dari struktur pemerintahan yang memberikan pertimbangan-pertimbangan akan pilihan foreign policy, baik yang sifatnya memperluas atau membatasi pilihan yang akan diambil oleh para pembuat kebijakan, tentunya dalam lingkungan serta interaksi antar pihak-pihak di dalam pemerintahan.

4. Sumber Peranan (Role Sources), role di sini terkait dengan peranan atau status dari pemerintah sebagai pembuat keputusan.

5. Sumber Individu (Individual Sources), meliputi nilai-nilai dari seorang pemimpin atau pengambil keputusan sebagai ideologinya, pengalaman hidupnya, masa kecilnya, latar belakang pendidikannya, segala sesuatu yang mempengaruhi persepsinya, karakter, dan lain-lain. Hal-hal inilah yang mempengaruhi persepsi, pilihan-pilihan dan respon atau reaksi dari seorang pengambil keputusan dari pengambil keputusan yang lain.

Maka, sesungguhnya keputusan dalam pengambilan kebijakan luar negeri tidak akan pernah lepas dari faktor internal suatu negara, meliputi aspek

(33)

25

ekonomi, politik dalam negeri, situasi sosial, kelompok kepentingan, dan lain-lain. Selain itu, faktor eksternal juga tetap menjadi pertimbangan dalam pengambilan sebuah kebijakan luar negeri suatu negara. Dalam hal ini, pola tindakan negara terhadap lingkungan eksternal sebagai reaksi atas respon negara lain, selain mencakup unsur kekuasaan (power), kepentingan dan tindakan, juga mencakup perhatian terhadap sistem internasional dan perilaku para pembuat keputusan dalam situasi konflik. Jadi politik internasional menggambarkan hubungan dua arah (reaksi dan respon) bukan aksi.32 Dengan demikian, apa yang telah diupayakan sebagai kepentingan nasional akan dapat direalisasikan, dengan saling mengkondisikan antara faktor internal dan eksternal sesuai dengan kepentingan nasional.

Konsep tersebut mengacu pada pandangan Holsti, bahwa, foreign policy as the analysis of decisions of a state toward the external environment and the condition-usually domestic under which these actions are formulated.33 Maksudnya, kurang lebih, bahwa politik luar negeri sebagai suatu analisis keputusan negara terhadap keadaan lingkungan pada kondisi eksternal negara, dan biasanya melihat kondisi di dalam negeri terlebih dahulu untuk bertindak dan merumuskan kebijakan politik luar negeri suatu negara, menyesuaikan dengan kepentingan nasional.

K.J. Holsti memberikan tiga kriteria untuk mengklasifikasikan tujuan-tujuan politik luar negeri suatu negara: Pertama, nilai (values) yang menjadi tujuan dari para pembuat keputusan; Kedua, jangka waktu yang dibutuhkan

32 K.J. Holsti, Politik International: Suatu Kerangka Analisis, Op.Cit, 58.

33 K.J. Holsti, “National Role Conceptions in the Study of Foreign Policy”, 1970, Vol. 14, No. 3,

(34)

26

untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan, meliputi tujuan jangka pendek (short term), jangka menengah (middle term), dan jangka panjang (long term); Ketiga, tipe tuntutan yang diajukan suatu negara kepada negara lain.34

Untuk mewujudkan kepentingan nasional, perumusan kebijakan luar negeri harus memenuhi semua kepentingan masyarakat dan kepentingan negara. Adapun kepentingan nasional itu sendiri, bertolak pada keniscayaan karakter ”negara” yang cenderung invasif. Sehingga, kepentingan nasional memiliki pengertian yang tidak jauh dari upaya untuk meningkatkan kekuatan domestik, sekaligus berusaha memperluas pengaruh keluar batas negaranya, melalui individu pembuat kebijaksanaan yang berkehendak membuat kondisi tertentu.35 Output politik luar negeri dapat berupa kebijaksanaan, sikap, atau tindakan negara, yang merupakan tindakan atau pemikiran yang disusun oleh pembuat kebijaksanaan.

Beberapa variabel untuk menganalisis kebijakan luar negeri, di antaranya meliputi: 1) Atribut Nasional, yaitu meliputi kapabilitas yang kuat dan lemah, sikap dan pendapat masyarakat, kebutuhan ekonomi, dan komposisi etnis sosial; 2) Kondisi Eksternal, meliputi persepsi ancaman dan perubahan fundamental dalam kondisi eksternal; dan 3) Atribut Ideologi dan Sikap, yang mencakup kebijakan dan peranan tradisional, sikap dan pendapat

34

K.J. Holsti dalam Bruce Russet dan Harvey Starr (1988) dalam Yanyan Mochamad Yani, “Politik Luar Negeri,” Makalah dalam ceramah Sistem Politik Luar Negeri bagi Perwira Siswa Sekolah Staf dan Komando TNI AU Angkatan ke-44 TP 2007, Bandung, 16 Mei 2007, 6.

(35)

27

masyarakat, tanggung jawab kemanusiaan, prinsip ideologi, identifikasi diri terhadap kawasan dan pertentangan ideologi dengan negara lain.36

Kebijakan luar negeri juga mengandung komponen tindakan, suatu hal yang dilakukan oleh pemerintah sebuah negara kepada pemerintah negara lain untuk menghasilkan orientasi, memenuhi peran atau mencapai dan mempertahankan tujuan tertentu. Tindakan, pada dasarnya, merupakan satu bentuk komunikasi yang dimaksudkan untuk mengubah atau mendukung perilaku pemerintah negara lain yang sangat berperan untuk menentukan berhasil tidaknya pencapaian tujuan pemerintah negara yang bersangkutan.37 Proses politik internasional dimulai bila sebuah negara berusaha melalui berbagai tindakan atau isyarat untuk mengubah atau mendukung perilaku negara lain, mulai dari tindakannya, citranya dan kebijakannya. Dengan demikian, kekuasaan dapat didefinisikan sebagai kemampuan umum suatu negara untuk mengendalikan perilaku negara lain.38

Tindakan-tindakan politik luar negeri pada hakikatnya merupakan teknik-teknik yang digunakan sebagai sarana pencapaian tujuan yang ditetapkan dalam strategi kebijakan luar negeri. Tindakan tersebut dapat dibedakan berdasarkan teknik yang digunakannya. Menurut Holsti, tindakan kebijakan luar negeri dapat dibedakan menurut sarana yang digunakannya:39

Pertama, diplomasi. Upaya untuk mengkomunikasikan kepentingan-kepentingan nasional suatu negara, rasionalisasi kepentingan-kepentingan tersebut, 36 Ibid, 463. 37 Ibid, 186. 38 Ibid, 159. 39 Ibid, 130-192.

(36)

28

ancaman, janji, dan kemungkinan kesepakatan-kesepakatan yang dapat diterima dalam suatu isu kepada pemerintah negara lain. Diplomasi pada hakikatnya merupakan proses negosiasi, di mana masing-masing negara melakukan tawar-menawar dalam suatu isu tertentu demi mencapai kepentingan nasionalnya melalui saluran-saluran resmi yang telah disepakati.

Kedua, propaganda. Upaya untuk mempengaruhi perilaku dan opini publik asing, sehingga sesuai dengan kehendak negara yang melakukan propaganda. Publik asing meliputi negara lain, kelompok etnik, kelompok religi, atau kelompok ekonomi tertentu dengan harapan bahwa publik ini pada gilirannya akan mempengaruhi perilaku dan kebijakan pemerintahnya sesuai dengan harapan negara yang melancarkan propaganda.

Ketiga, ekonomi. Upaya untuk memanipulasi transaksi ekonomi internasional demi mencapai tujuan-tujuan nasional. Bentuknya dapat berupa imbalan (rewards) maupun paksaan (coercion). Sebagai sarana paksaan, ransaksi ekonomi internasional digunakan untuk memaksa pemerintah asing mengubah kebijakan-kebijakannya, baik domestik maupun luar negeri agar sesuai dengan keinginan pemerintah yang melancarkan ancaman tersebut. Sedangkan sebagai sarana imbalan, transaksi ekonomi internasional digunakan untuk mendukung agar pemerintah asing terus melakukan tindakan-tindakan yang diinginkan pemerintah si pemberi imbalan.

Keempat, militer. Upaya untuk mempengaruhi perilaku dan kebijakan negara lain dengan menggunakan ancaman dan/atau dukungan militer.

(37)

29

Konsep yang dikemukakan oleh Holstu mengenai kebijakan luar negeri sejalan dengan pandangan William D. Coplin mengenai penetapan politik luar negeri oleh pengambil kebijakan di suatu negara yang pada dasarnya dipengaruhi oleh empat determinan, meliputi: konteks internasional, kondisi ekonomi dan militer, politik dalam negeri, dan perilaku pengambil kebijakan.40 Konteks internasional menurut Coplin—hampir sama dengan faktor eksternal menurut Holsti—bahwa posisi khusus negara dipengaruhi oleh situasi global yang sedang terjadi, atau bergantung pada hubungannya dengan negara lain.41 Sedangkan kondisi ekonomi dan militer serta politik domestik merupakan faktor internal yang secara langsung mempengaruhi perilaku pengambil keputusan dalam menetapkan kebijakan luar negeri, termasuk di dalamnya adalah pertimbangan kepentingan nasional. Meskipun, kadang pula, pengambil keputusan juga memengaruhi kebijakan luar negeri dari aspek personalitasnya.

B. Politik Luar Negeri Bebas-Aktif

Indonesia menganut politik luar negeri yang mempunyai sifat bebas-aktif. “Bebas” artinya tidak terikat oleh salah satu blok, dan “aktif” diartikan sebagai giat atau aktif dalam mengembangkan perdamaian, persahabatan dan kerjasama internasional dengan menghormati kedaulatan negara lain. Moh. Hatta menyatakan, bahwa politik luar negeri Indonesia yang bebas-aktif bukan berarti netral, karena politik yang netral tidak membangun perdamaian dunia. Bebas-aktif di sini, selain Indonesia berada dalam posisi bebas untuk tidak

40 William D. Coplin, Pengantar Politik Internasional: Suatu Telaah Teoritis (Bandung: Sinar

Baru, 1992), 165.

(38)

30

memihak salah satu blok, tetapi di pihak lain Indonesia akan aktif untuk ikut mengusahakan perdamaian dan kesejahteraan dunia. Dengan demikian, Indonesia tidak cenderung ke salah satu blok.42

1. Tinjauan Historis

Asas politik luar negeri Indonesia, secara resmi, baru dimulai dengan pernyataan yang disampaikan oleh Moh. Hatta, selaku Perdana Menteri Indonesia, di depan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) di Yogyakarta pada 2 September 1948.43 Menurut Mochtar Kusumaatmadja, Moh. Hatta adalah orang pertama yang meletakkan dasar-dasar politik luar negeri Indonesia.44 Dasar-dasar politik luar negeri ini, dikemukakan dalam pidatonya yang berjudul Mendayung di Antara Dua Karang.

Moh. Hatta, sebagaimana dalam pidatonya, mempertahankan rumusan bebas-aktif untuk tidak memihak salah satu blok dan di lain pihak ikut aktif mewujudkan perdamaian dunia. Menarik untuk diketahui bahwa formula ini pada awalnya dipilih untuk menolak tuntutan sayap kiri pada masa itu yang menginginkan agar Indonesia berpihak kepada Uni Soviet dan sekaligus menolak tuduhan Belanda, serta pada saat yang sama untuk menjaga jarak dari pengaruh Amerika Serikat yang secara intensif

42 Ide Anak Agung Gde Agung, Twenty Years Indonesian Foreign Policy 1945-1965 (Paris:

Mouton-The Hague), 178.

43

J. Soedjati Djiwandono, “Empat Puluh Tahun Politik Luar Negeri Indonesia: Perubahan dan Kesinambungan”, Analisa, 1985, No. 8, 645.

44 Mochtar Kusumaatmadja, “Bung Hatta Peletak Dasar Politik Luar Negeri Kita” dalam Bung Hatta Kita dalam Pandangan Masyarakat (Jakarta: Yayasan Idayu, 1982), 198.

(39)

31

berusaha menanamkan pengaruhnya di Indonesia. Dalam kesempatan itu Hatta mengatakan:

Tetapi, mestikah kita, bangsa Indonesia, yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan negara, hanya harus memilih antara pro Rusia atau pro Amerika? Apakah tak ada pendirian yang lain, yang harus kita ambil dalam mengejar cita-cita? Pemerintah berpendapat, bahwa pendirian yang harus kita ambil adalah supaya kita jangan menjadi obyek dalam pertarungan politik internasional, melainkan harus menjadi subyek yang berhak menentukan sikap kita sendiri, berhak memperjuangkan tujuan kita sendiri, yaitu Indonesia merdeka seluruhnya.45

Uraian ini merupakan deklarasi ketidak berpihakan untuk menjadikan Indonesia lebih berarti sebagai subyek dan bukan hanya obyek belaka. Sikap politik Indonesia akan ditentukan oleh bangsa Indonesia sendiri. Istilah “bebas-aktif” bukan berarti politik netral. Sebab, netral tidak berusaha membangun perdamaian dunia. Istilah “bebas-aktif” yang dimaksudkan adalah, selain tidak memihak salah satu blok, juga bertekad ikut berusaha mewujudkan perdamaian dunia.

Pidato tersebut lebih lanjut dijabarkan dalam artikel berjudul

Indonesia Foreign Policy dan Indonesia Between the Power Block yang dimuat dalam majalah Foreign Affairs tahun 1953 dan 1958. Menurutnya, perjuangan Indonesia untuk mencapai kemerdekaan, bukan lantas untuk memilih Amerika Serikat atau Uni Soviet. Pemerintah Indonesia tidak mengambil posisi sebagai anggota yang pasif (a passive party) dalam politik dunia internasional, melainkan sebagai anggota dunia yang aktif. Politik luar negeri Indonesia harus diletakkan di atas kepentingan nasional

(40)

32

dan disesuaikan dengan situasi dan kenyataan yang ada, dan garis politiknya tidak boleh ditentukan oleh garis politik negara lain.46 Hatta juga menjabarkan rumusan bebas-aktif secara lebih jelas:

Indonesia tidak memainkan sikap keberpihakan di antara kedua blok yang bertentangan, dan menempuh jalannya sendiri dalam berbagai masalah internasional. Kebijaksanaan seperti ini disebut dengan istilah “bebas”, dan kemudian untuk menandainya digambarkan sebagai bebas dan aktif. Istilah “aktif” dimaksudkan sebagai upaya bekerja secara penuh semangat bagi pemeliharaan perdamaian melalui dukungan kuat, jika mungkin oleh mayoritas anggota PBB.47

Konsep kebijakan luar negeri yang bebas-aktif ini juga merupakan suatu cara untuk mempertahanan prioritas-prioritas dalam negeri. Franklin B. Weinstein menyatakan, bahwa prinsip bebas-aktif dianggap oleh banyak pemimpin Indonesia sebagai sesuatu yang esensial untuk memelihara harga diri, identitas nasional dan image Indonesia. Sebanyak 61% dari para pemimpin Indonesia, menginginkan agar Indonesia dapat memainkan peranan penting dalam percaturan politik dunia dan mampu berperan dalam percaturan politik dunia, khususnya di Asia Tenggara.48 2. Kerangka Filosofis

Secara idiil, politik luar negeri bebas-aktif dilandasi Pancasila. Sebagai falsafah dan dasar negara, Pancasila lahir, selain untuk menuntun kehidupan bangsa dan negara Indonesia, juga merupakan abstraksi bagi pelaksanaan politik luar negeri Indonesia. Hatta menyebutnya sebagai

46 Ide Anak Agung Gde Agung. Op. Cit, 44. 47

Michael Leifer, Indonesia’s Foreign Policy,Penerj.A. Ramlan Surbakti, Politik Luar Negeri Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1989), 42.

48 Redaksi Prisma, “Politik Luar Negeri dan Dilema Ketergantungan dari Sukarno sampai

(41)

33

salah satu faktor yang membentuk politik luar negeri Indonesia (objektif Influence). Baginya, Pancasila bisa menciptakan keteraturan (order) dalam

foreign policy.49 Oleh karena itu, secara filosofis, prinsip politik luar negeri bebas-aktif menjadi salah satu jalan untuk mencapai tujuan bangsa Indonesia yang telah disarikan dalam Pancasila.

Sila pertama, secara implisit menjelaskan, bahwa semua manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan. Setiap manusia berkedudukan sederajat, duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Sikap ini, tidak hanya mendasari kehidupan masyarakat Indonesia, tetapi juga menjadi pandangan politik Indonesia dalam kehidupan internasional.

Sila kedua, menunjukkan bahwa Indonesia tidak menghendaki adanya penindasan dalam bentuk apapun, baik manusia atas manusia (explotation de l’homme par l’homme), maupun penindasan negara atas negara (explotation de nation par nation).

Sila ketiga, terlihat bahwa Indonesia menempatkan persatuan di atas segalanya, dan kepentingan nasional berada di atas kepentingan pribadi. Implementasinya dalam hubungan internasional, Indonesia menganggap bahwa setiap negara merupakan unit tersendiri yang mandiri dan bukan merupakan sub-unit dari negara lain.

Sila keempat, mencerminkan bahwa dalam membuat keputusan maupun dalam menyelesaikan masalah, harus melalui proses musyawarah-mufakat. Begitu pula dalam organisasi internasional, memutuskan sesuatu

49 Ganewati Wuryandari, Politik Luar Negeri Indonesia di Tengah Pusaran Politik Domestik

(42)

34

atau dalam penyelesaian masalah global, semestinya dilakukan melalui musyawarah-mufakat.

Sila kelima, menunjukkan bahwa Indonesia menyadari hak dan kewajiban sesama, sehingga menciptakan keadilan menjadi penting dalam kehidupan sosial. Tanggung jawab untuk menciptakan keadilan, selanjutnya dihayati pula dalam tata pergaulan Indonesia dengan dunia internasional. Sikap tersebut dalam rangka ikut mewujudkan keadilan bagi seluruh bangsa di dunia, termasuk dalam membantu negara-negara yang sedang krisis.

3. Landasan Yuridis

Sedangkan secara yuridis, konsep tentang politik bebas-aktif merupakan cerminan dari UUD 1945. Tampak jelas, pada periode awal setelah merdeka, konsep ini adalah pengejawantahan dari sikap politik Indonesia yang enggan menggantungkan nasib negara dan bangsa kepada kekuasaan dan pengaruh negara luar, sebagaimana kolonialisme yang sebelumnya berjalan ratusan tahun dan telah menghancurkan sendi-sendi kehidupan bangsa Indonesia. Hal ini dapat dilihat pada alenia I dan IV pembukaan UUD 1945 serta dalam pasal 11 dan 13 batang tubuh, dengan penjabaran sebagaimana berikut:

Pertama, alenia I pembukaan UUD 1945 menyatakan, “bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai

(43)

35

dengan peri kemanusiaan dan perikeadilan.”50

Setiap negara di dunia berhak untuk merdeka dan mengatur pemerintahannya sendiri. Untuk itu, Indonesia akan membantu setiap usaha untuk mencapai kemerdekaan negara-negara lain. Seperti dalam rumusan yang disepakati oleh anggota Konferensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955, terminologi “penjajahan” mencakup kolonialisme dan imperialisme dalam bentuk apapun.

Kedua, alenia IV pembukaan UUD 1945 menyatakan, “bahwa negara Indonesia akan membentuk suatu pemerintahan yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.”51

Alenia ini merupakan tujuan jangka panjang dari politik luar negeri Indonesia, serta memperjelas sikap Indonesia dalam membantu mewujudkan tata kehidupan di dunia yang lebih baik, lebih tertib dan lebih sejahtera.

Ketiga, pasal 11 UUD 1945, memuat hak Presiden berdasarkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam memutuskan sikap: menyatakan perang, membuat perdamaian, atau perjanjian negara.

Keempat, Pasal 13 UUD 1945, terdiri dari dua ayat yang meliputi: 1) Presiden mengangkat duta dan konsul; dan 2) Presiden menerima duta negara lain.52

4. Dasar Hukum

50 Lihat, Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. 51 Ibid.

(44)

36

Secara operasional, ada tiga hal yang merupakan landasan politik luar negeri Indonesia. Pertama, ketetapan MPR dalam hal ini Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) bidang hubungan luar negeri, yang berlaku untuk kurun waktu lima tahun. Kedua, kebijaksanaan yang dibuat oleh Presiden (Keppres), melalui permusyawaratan dan pertimbangan bersama kementerian maupun lembaga terkait, mengenai kebijaksanaan luar negeri.

Ketiga, kebijaksanaan yang dibuat oleh Kementerian Luar Negeri, berdasarkan petunjuk Presiden. Dari tiga landasan operasional politik luar negeri bebas-aktif tersebut, berikut beberapa di antaranya:

a. Ketetapan MPRS No. I/MPRS/1960

Pada 17 Agustus 1959, Presiden Soekarno menyampaikan pidato dengan judul Penemuan Kembali Revolusi Kita, yang di dalamnya terdapat prinsip-prinsip utama dari Demokrasi Terpimpin, serta program jangka panjang dan jangka pendek kabinet yang akan membawa kepada jiwa dan cita-cita revolusi Indonesia. Pidato tersebut selanjutnya menjadi landasan politik yang dikenal dengan istilah Manifesto Politik (Manipol), kemudian ditetapkan sebagai GBHN dengan Ketetapan MPRS No. I/MPRS/1960, melalui persetujuan Presiden Soekarno.53

Di dalam Manipol, secara umum termuat dua hal, yaitu persoalan-persoalan pokok revolusi Indonesia dan program umum

53 Persetujuan Presiden Soekarno disampaikan dalam pidatonya, berbunyi: “... selaku Kepala

Negara, Panglima Tertinggi dan Perdana Menteri, menyetujui sepenuhnya pendapat Dewan Pertimbangan Agung tersebut; juga perincian isi pidato tersebut ... yang juga dinamakan Manipol RI ...” Departemen Penerangan RI, Manifesto Politik Republik Indonesia (Jakarta: Departemen Penerangan RI, 1959), 6.

(45)

37

revolusi Indonesia. Termasuk di dalamnya, pernyataan-pernyataan yang berkaitan dengan kebijakan luar negeri. Berkaitan dengan kewajiban revolusi, Indonesia harus membebaskan diri dari semua imperialisme, dan menegakkan tiga sendi kerangka revolusi, meliputi:

Pertama, pembentukan suatu negara, Republik Indonesia, yang berbentuk negara kesatuan dan negara kebangsaan yang demokratis dengan wilayah kekuasaan dari Sabang sampai Merauke. Kedua, pembentukan suatu masyarakat yang adil dan makmur, baik secara materiil maupun sprituil, dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketiga, pembentukan suatu persahabatan yang baik antara Republik Indonesia dengan semua negara di dunia, terutama sekali dengan negara Asia-Afrika, atas dasar saling menghormati satu sama lain dan atas dasar kerjasama membentuk satu dunia baru yang bersih dari imperialisme dan kolonialisme menuju perdamaian dunia.54

Adapun tujuan jangka pendeknya, sebagaimana dalam Manipol, adalah mencukupi sandang, pangan, keamanan dan melanjutkan perjuangan anti-imperialisme serta mempertahankan kepribadian Indonesia di tengah-tengah tarikan ke kanan dan ke kiri. Sedangkan tujuan jangka panjangnya, mewujudkan masyarakat adil dan makmur, melenyapkan imperialisme dan mencapai dasar-dasar bagi perdamaian dunia yang kekal abadi.55

b. Ketetapan MPRS No. XII/MPRS/1966

54 Ibid., 13. 55 Ibid., 16.

(46)

38

Memasuki era Orde Baru, Indonesia berangkat dengan semangat untuk memurnikan politik luar negeri dari penyelewengan yang terjadi pada masa Orde Lama. Bagi pemerintahan Orde Baru, politik luar negeri Indonesia di era Orde Lama dengan sistem Demokrasi Terpimpinnya, pada nyatanya menitik beratkan sikap dan kedekatannya kepada salah satu blok, dalam hal ini Republik Rakyat China (RRC), dan membentuk poros kesetia kawanan dengan negara-negara komunis, atau yang dikenal dengan istilah poros Jakarta-Peking-Pyongyang.

Didorong oleh keinginan untuk menempatkan politik luar negeri bebas-aktif sesuai pada tempatnya, pemerintah Orde Baru melalui sidang istimewa mengeluarkan Ketetapan MPRS No. XII/MPRS/1966 tentang Penegasan Kembali Politik Luar Negeri Indonesia. Ketetapan ini, hanya merupakan penegasan kembali, dari apa yang dianggap menyeleweng dalam pola pelaksanaannya. Dalam ketetapan terbut disebutkan, antara lain, bahwa sifat politik luar negeri Indonesia adalah bebas-aktif, anti-imperialisme dan kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, yang semua itu tidak lain adalah untuk mengabdi kepada kepentingan nasional dan amanat penderitaan rakyat.

Terlepas dari beberapa komponen yang melandasi politik luar negeri bebas-aktif ini, pada kenyataannya terjadi perumusan dan

(47)

39

penafsiran yang berbeda antara aktor politik (pemerintah) yang satu dengan lainnya, berdasarkan pada situasi dan kondisi yang terjadi, meskipun pada dasarnya prinsip yang dipakai tetaplah sama.

(48)

40

BAB III

KEMENTERIAN LUAR NEGERI REPUBLIK INDONESIA DAN KEBIJAKAN MERESPON ISU ROHINGYA

Pada bab ini, peneliti akan mendeskripsikan perolehan data yang didapat melalui sumber primer dan sekunder, meliputi: struktur, tugas dan fungsi Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia; dilanjutkan dengan latar belakang kebijakan luar negeri Indonesia terkait isu Rohingya; kemudian mulai menyentuh pada rumusan-rumusan kebijakan luar negeri Indonesia di bawah kepemimpinan Joko Widodo yang disertai dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Rumusan tersebut juga meliputi alur penyusunan kebijakan luar negeri, mulai dari artikulasi kepentingan, analisis faktor-faktor yang mendukung maupun faktor-faktor yang menjadi ancaman, sampai perumusan dan pelaksanaan kebijakan luar negeri. Di samping itu, masih ada proses monitoring dan evaluasi yang dilakukan untuk menyesuaikan dengan tujuan dan target yang telah ditentukan.

Bagan: Sketsa Alur Perumusan Kebijakan Luar Negeri (Diolah dari situs www.kemlu.go.id)

Selanjutnya, kepentingan nasional Indonesia maupun regional ASEAN sebagai pertimbangan dirumuskannya kebijakan luar negeri terhadap isu Rohingya juga penting untuk diulas pada bab ini. Terakhir, peneliti akan menampilkan kebijakan luar negeri Indonesia, baik meliputi bentuk, sikap maupun diplomasinya dalam merespon krisis kemanusiaan di Myanmar, yang

Artikulasi kepentingan dan pemenuhan aspirasi publik Analisis nilai dan manfaat bagi kebutuhan nasional Perumusan Kebijakan Pelaksan-an Kebijakan Evaluasi dan Monitoring

Referensi

Dokumen terkait

dengan ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa apabila saya diterima menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil Kementerian Kesehatan Tahun 2014, saya bersedia ditempatkan dan

Mengawali pembahasan mengenai pendekatan edutainment dalam pembelajaran matematika ini, maka kita perlu mengenal beberapa istilah yang kadang-kadang mempunyai pengertian

Bangka Belitung - Mie Bangka adalah makanan Khas Bangka yang berbahan dasar mie yang dicampur dengan kuah yang terbuat dari bumbu ikan, udang, atau cumi, dan ditaburi dengan

Dengan in kami mengundang saudara untuk mengikuti Pembuktian Kualifikasi Pengadaan Jasa Konstruksi dengan Sistem Pelelangan Umum untuk :. Peningkatan Jalan ruas jalan

Selain itu, masalah lain efisiensi pengajaran yang akan kami bahas adalah mutu pengajar. Kurangnya mutu pengajar jugalah yang menyebabkan peserta didik kurang

1) Pembiayaan direalisasikan hanya untuk usaha yang bersifat produktif atau prospektif. Para ulama’ melarang suat usaha yang bersufat spekulatif atau tidak pasti. Misalnya, membeli

ANALISA RESIDU PESTISIDA PROFENOFOS PADA TANAMAN KAKAO DAN LADA DENGAN MENGGUNAKAN KROMATOGRAFI GAS FLAME PHOTOMETRIC

es leading to alkalinization of the extracellular milieu, an oxidative burst producing reactive oxygen intermediates (ROIs), defense gene activation, development of local and