• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. Dari pengertian di atas, Pajak memiliki unsur-unsur: tersebut berupa uang (bukan barang).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II. Dari pengertian di atas, Pajak memiliki unsur-unsur: tersebut berupa uang (bukan barang)."

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

6 2.1. Landasan Teori

2.1.1. Dasar – Dasar Perpajakan

Banyak para ahli mengemukakan berbagai macam batasan atau definisi tentang pajak.

1. Menurut Prof. DR. Rochmat Soemitro, SH. dalam Mardiasmo (2009:1), Pajak merupakan iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dirasakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.

2. Prof. Dr. M.J.H. Smeets

Pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma-norma umum, dan yang dapat dipaksakan, tanpa adakalanya kontraprestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal yang individual;

maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran pemerintah ( Suandy,2008:9 )

Dari pengertian di atas, Pajak memiliki unsur-unsur:

a. Iuran dari rakyat kepada negara yang berhak memungut pajak hanyalah negara, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, iuran tersebut berupa uang (bukan barang).

b. Dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya.

c. Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat ditunjuk, dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjuk adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah.

(2)

d. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaran-pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.

Dengan demikian dapat diketahui bahwa pajak hanya dapat dipungut oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah berdasarkan undang-undang yang telah ditetapkan.

2.1.2. Pengertian Pajak

Pengertian pajak menurut para ahli adalah:

1. Menurut Siti Resmi (2009:1) pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan “surplus”-nya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment.

2. Menurut Liberti Pandiangan Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. (2008: 113)

2.1.3. Fungsi Pajak

Fungsi Pajak menurut beberapa ahli sebagai berikut: 1. Mardiasmo (2009: 1)

a. Fungsi budgetair.

Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya.

Contoh: Pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti belanja pegawai, belanja barang, pemeliharaan, dan pembangunan fasilitas umum.

b. Fungsi mengatur (regulerend).

Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi.

Contoh: dalam rangka menggiring penanaman modal, baik dalam negeri maupun luar negeri, diberikan berbagai macam fasilitas keringanan pajak. Dalam rangka melindungi produksi dalam

(3)

negeri, pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar negeri.

2. Supramono (2008:12), pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan.

Berdasarkan hal di atas maka pajak mempunyai beberapa fungsi, yaitu:

a. Fungsi anggaran (budgetair).

Sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara dan melaksanakan pembangunan, negara membutuhkan biaya. Biaya ini dapat diperoleh dari penerimaan pajak. Dewasa ini pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti belanja pegawai, belanja barang, pemeliharaan, dan lain sebagainya. Untuk pembiayaan pembangunan, uang dikeluarkan dari tabungan pemerintah, yakni penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin. Tabungan pemerintah ini dari tahun ke tahun harus ditingkatkan sesuai kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat dan ini terutama diharapkan dari sektor pajak. b. Fungsi mengatur (regulerend).

Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan.

(4)

c. Fungsi stabilitas.

Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan, Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efisien.

d. Fungsi redistribusi pendapatan.

Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.

2.1.4. Syarat-syarat pemungutan pajak

Syarat-syarat pemungutan pajak dalam buku Mardiasmo (2012:2) yaitu :

1. Pemungutan pajak harus adil (Syarat keadilan).

Pemungutan pajak yang dikenakan secara adil dan melihat kemampuan Wajib Pajak dalam membayar pajak.

2. Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang (Syarat Yuridis). Pemungutan pajak yang diatur dalam pasal 23 ayat 2 UUD 1945 untuk memberikan jaminan hukum yang adil baik bagi negara maupun Warga Negara Indonesia.

(5)

3. Tidak mengganggu perekonomian (Syarat Ekonomis).

Pemungutan pajak harus menjaga keseimbangan kehidupan perekonomian dan tidak menganggu kehidupan ekonomi dari Wajib Pajak.

4. Pemungutan pajak harus efisien (Syarat Finansial).

Pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga biaya pemungutan pajak tidak terlalu besar.

5. Sistem pemungutan pajak harus sederhana.

Pemungutan pajak dilakukan secara sederhana yang berguna bagi masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.

2.1.5. Azas Pengenaan Pajak

Azas Pengenaan Pajak menurut beberapa ahli sebagai berikut: Menurut Suhartono (2007: 75) “Terdapat beberapa asas yang dapat dipakai oleh negara sebagai asas dalam menentukan wewenangnya untuk pengenaan pajak, khususnya untuk pengenaan pajak penghasilan”. Asas utama yang paling sering digunakan oleh negara sebagai landasan untuk pengenaan pajak adalah:

a. Asas domisili, atau disebut juga asas kependudukan berdasarkan asas ini negara mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan, apabila untuk kepentingan perpajakan, orang pribadi tersebut merupakan penduduk atau berdomisili di negara itu atau apabila badan yang bersangkutan berkedudukan di

(6)

negara itu. Dalam kaitan ini, tidak dipersoalkan darimana penghasilan yang dikenakan pajak itu berasal. Itulah sebabnya bagi negara yang menganut asas ini, dalam sistem pengenaan pajak terhadap penduduknya akan menggabungkan asas domisli (kependudukan) dengan konsep pengenaan pajak atas penghasilan baik yang diperoleh negara itu maupun penghasilan yang diperoleh di luar negeri.

b. Asas sumber, negara menganut asas sumber akan mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan hanya apabila penghasilan yang dikenakan pajak itu diperoleh atau diterima oleh orang pribadi atau badan yang bersangkutan dari sumber-sumber dari negara itu. Dalam asas ini, tidak terjadi persoalan mengenai siapa dan apa status dari orang atau badan yang memperoleh penghasilan tersebut sebab yang menjadi landasan pengenaan pajak adalah objek pajak yang timbul atau berasal dari negara itu. Contoh : Tenaga kerja asing bekerja di Indonesia maka dari penghasilan yang didapat di Indonesia akan dikenakan pajak oleh pemerintah Indonesia. c. Asas kebangsaan, atau asas nasionalitas dan disebut juga asas

kewarganegaraan. Dalam asas ini, yang menjadi landasan pengenaan pajak adalah status kewarganegaraan dari orang atau badan yang memperoleh penghasilan. Berdasarkan asas ini, tidaklah menjadi persoalan darimana penghasilan yang dikenakan pajak berasal. Seperti halnya dalam asas domisili, sistem pengenaan pajak berdasarkan asas nasionalitas ini dilakukan dengan cara menggabungan asas nasionalitas

(7)

dengan konsep pengenaan pajak atas luar negeri. Perbedaan di Indonesia yaitu ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, dan perubahan terakhir yaitu Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 khususnya yang mengatur mengenai subjek pajak dan objek pajak, dapat disimpulkan bahwa Indonesia menganut asas domisili dan asas sumber sekaligus dalam sistem perpajakannya.

Menurut Wirawan,B,I (2009:30) “Indonesia juga menganut asas kewarganegaraan yang parsial, yaitu khusus dalam ketentuan yang mengatur mengenai pengecualian subjek pajak untuk orang pribadi”.

2.1.6. Penggolongan Jenis Pajak

Dalam buku Mardiasmo (2009:5) pengelompokkan pajak digolongkan menurut golongannya, menurut sifatnya, dan menurut lembaga pemungutnya sebagai berikut :

1. Jenis-jenis pajak menurut golongannya yaitu :

a. Pajak langsung yaitu pajak yang bebannya harus ditanggung sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dilimpahkan kepada orang lain. b. Pajak tidak langsung yaitu beban pajak yang dapat dialihkan kepada

orang lain.

2. Jenis pajak menurut sifatnya yaitu :

a. Pajak subjektif yaitu pajak yang memperhatikan keadaan Wajib Pajak dari segi kemampuan ekonominya.

(8)

b. Pajak objektif yaitu pajak yang melihat pada objek pajaknya, tanpa memperhatikan keadaan dari Wajib Pajak.

3. Menurut lembaga pemungutnya yaitu :

a. Pajak pusat yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat dan digunakan untuk membiayai kebutuhan rumah tangga negara dan dimasukkan ke dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

b. Pajak daerah yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah dan dimasukkan ke dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

2.1.7. Sistem Pemungutan Pajak

Mardiasmo (2008 :25) mengemukakan “ Sistem Pemungutan Pajak “ adalah

1. Self Assesment Adalah suatu sistem pemungutan pajak dimana wajib pajak menetukan sendiri jumlah pajak yang terutang.

Contohnya : Dalam sistem ini masyarakat (Wajib Pajak) bersifat pasif dan menunggu dikeluarkannya suatu ketetapan pajak oleh fiskus. Besarnya utang pajak seseorang baru dikeluarkan, misalnya Pajak Petambahan Nilai (PPN), Pajak Penghasilan (PPh), dan Pajak Penjualan atas Barang mewah (PPnBM ).

2. Official Assesment System Adalah suatu sistem pemungutan yang memiliki wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menetukan

(9)

besarknya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Dalam sistem ini pihak fiskus masih cukup dominan untuk menghitung dan menetapkan utang pajak. Sistem ini umumnya diterapkan terhadap jenis pajak yang melibatkan masyarakat luas di mana masyarakat selaku subyek pajak atau wajib pajak dipandang belum mampu diserahi tanggung jawab untuk menghitung dan menetapkan pajak. Contoh pajak yang masih menggunakan sistem ini adalah Pajak Bumi dan Bangunan.

3. With Holding System Adalah system pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk menetukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Tanggung jawab ada pada pihak ketiga (hal ini dapat dilihat dalam Pajak Penghasilan (PPh) dimana pemberi kerja, bendaharawan pemerintah, dana pensiun, dan sebagainya yang kepadanya diserahi tanggung jawab untuk memotong pajak terhadap penghasilan yang mereka bayarkan).

2.1.8. Teori Pemungutan Pajak

Dalam buku Erly Suandy (2008:28) terdapat lima teori pemungutan pajak yaitu :

1. Teori Asuransi.

Teori Asuransi merupakan teori pemungutan pajak dimana pembayaran pajak yang dibayarkan oleh warga negara sebagai premi untuk mendapatkan perlindungan dari negara.

(10)

2. Teori Kepentingan.

Teori kepentingan merupakan teori pemungutan pajak dimana negara memperhatikan pembagian beban pajak yang harus dipungut dari warga negaranya berdasarkan pada kepentingan masing-masing individu.

3. Teori Gaya Pikul.

Dasar teori pemungutan pajak ini adalah asas keadilan yaitu setiap orang yang dikenakan pajak harus sama besarnya atau adil dan pajak yang dibayarkan oleh wajib pajak berdasarkan kemampuan ekonomi Wajib Pajak.

4. Teori gaya Beli.

Teori ini menekankan bahwa pembayaran pajak yang dilakukan masyarakat kepada negara dimaksudkan untuk memelihara kesejahteraan masyarakat dalam negara yang bersangkutan.

5. Teori Bakti.

Teori Bakti ini menekankan pada negara mempunyai hak mutlak untuk memungut pajak dan sebagai organisasi yang mempunyai tugas untuk menyelenggarakan kepentingan umum maka rakyat harus membayar pajak kepada negara sebagai kewajiban dan tanda bakti kepada negara.

2.1.9. Pajak Pertambahan Nilai.

(11)

1. Menurut Urifa (2009:9): Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yaitu “pertambahan nilai adalah harga beli atau biaya sewa yang harus dikeluarkan untuk mengelola lebih lanjut barang yang dibeli menjadi barang yang siap untuk jual”.

2. Menurut Siti Kurnia Rahayu dan Ely Suhayati menjelaskan bahwa: “Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak atas konsumsi umum dalam negeri berupa Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak”(2010:235).

2.1.10. Dasar Hukum Pajak Pertambahan Nilai

Dasar Hukum Pajak Pertambahan Nilai adalah:

1. UU No. 42 tahun 2009 tentang perubahan ke Tiga atas Undang-Undang No. 8 tahun 1983 tentang PPN dan PPNBm.

2. UU No. 18 tahun 2000 tentang perubahan ke Dua atas UU No. 8 tahun 1983 tentang PPn dan PPNBm.

3. PP No. 143 tahun 2000 tentang pelaksanaan UU PPN tahun 2000. 4. PP No. 144 tahun 2000 tentang Jenis Barang dan Jasa yang tidak

dikenakan PPN.

5. PP No. 145 tahun 2000 tentang kelompok barang kena pajak yang tergolong mewah yang dikenakan PPNBm.

6. PP no. 146 tahun 2000 tentang Impor/penyerahan barang kena pajak/jasa kena pajak tertentu yang dibebaskan dari PPN.

7. KMK No. 547 s.d. 554 dan 567 s.d. 570, 575 tahun 2000 dan KMK No. 10, 11, 50 tahun 2011.

(12)

2.1.11. Subjek dan Objek Pajak Pertambahan Nilai

Subjek Pajak Pertambahan nilai menurut Edy Suprianto (2011) yang menjadi subjek Pajak Pertambahan Nilai adalah pengusaha baik wajib pajak badan maupun orang pribadi yang melakukan penyerahan barang/jasa kena pajak.

Subjek Pajak Pertambahan Nilai berdasarkan Pasal 1 angka 14 Undang -Undang No.42 tahun 2009 tentang PPN, terdapat 5 subjek Pajak Pajak Pertambahan Nilai yaitu:

1. Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan BKP/JKP yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-Undang PPN dan PPnBM, tidak termasuk Pengusaha kecil. Pengusaha dikatakan sebagai PKP apabila melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP dengan jumlah peredaran bruto melebihi Rp. 6.000.000.000,. (enam milyar rupiah) dalam satu tahun.

2. Pengusaha kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai pengusaha yang melakukan penyerahan BKP/JKP dengan jumlah peredaran bruto tidak lebih dari Rp. 6.000.000.000,- (enam milyar rupiah) dalam satu tahun. Pengusaha kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP, selanjutnya wajib melaksanakan kewajiban sebagaimana halnya PKP. 3. Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan BKP/JKP.

4. Orang pribadi atau badan yang melakukan pembangunan rumahnya sendiri dengan persyaratan tertentu.

(13)

5. Pemungut pajak yang ditunjuk oleh pemerintah terdiri atas Kantor Perbendaharaan Negara, Bendaharawan pemerintah Pusat dan Daerah, termasuk Bendaharawan Proyek.

Objek Pajak Pertambahan Nilai menurut beberapa ahli sebagai berikut:

a. Menurut Herlina, R (2008:24) Objek Pajak Pertambahan Nilai adalah Objek atau sasaran dalam pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah “Penyerahan”, yang biasanya dikatakan penjualan, namun tidak semua proses penjualan dikenakan pajak.

c. Menurut Prof. Dr. Mardiasmo, MBA., Ak. (2009, p276) Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dikenakan atas :

 Penyerahan BKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak. Syarat-syaratnya adalah :

 Barang Berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak (BKP).

 Barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak (BKP) tidak berwujud.

 Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean.

 Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya.

(14)

 Penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) yang dilakukan di dalam Daerah Pabean oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP). Syarat-syaratnya adalah :

 Jasa yang diserahkan merupakan Jasa Kena Pajak (JKP).  Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean.

 Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya.

 Pemanfaatan Barang Kena Pajak (BKP) tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.

 Pemanfaatan Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.

 Ekspor Barang Kena Pajak (BKP) oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP).

 Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain.

 Penyerahan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan (bukan inventori) oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP), sepanjang Pajak Masukan yang dibayar pada saat perolehannya menurut ketentuan dapat dikreditkan.

Berdasarkan pasal 4 Undang-Undang PPN Nomor 42 Tahun 2009 diatur bahwa objek Pajak Pertambahan Nilai sebagai berikut :

(15)

 Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha.

 Impor Barang Kena Pajak.

 Penyerahan Jasa Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.

 Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari Luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.

 Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.

 Ekspor Barang Kena Pajak berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak.  Ekspor Barang Kena Pajak tidak berwujud oleh Pengusaha Kena

Pajak.

 Ekspor jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.

Berdasarkan pasal 4A Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 barang yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebagai berikut:  Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil

langsung dari sumbernya.

 Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak.  Makanan dan minuman yang disajikan di Hotel, Restoran, Rumah

makan, Warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau catering.

(16)

Berdasarkan pasal 4A Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebagai berikut :

 Jasa di bidang pelayanan kesehatan medik.  Jasa di bidang pelayanan sosial.

 Jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko.  Jasa di bidang keagamaan.

 Jasa di bidang pendidikan.

 Jasa di bidang kesenian dan hiburan yang telah dikenakan pajak tontonan termasuk jasa di bidang kesenian yang tidak bersifat komersial seperti pementasan kesenian tradisional yang diselenggarakan secara cuma-cuma.

 Jasa di bidang penyiaran yang bukan bersifat iklan yaitu jasa penyiaran radio atau televisi yang dilakukan oleh instansi pemerintah atau swasta yang bukan bersifat iklan dan tidak dbiayai oleh sponsor yang bertujuan komersial.

 Jasa di bidang angkutan umum di darat dan di air yaitu jasa angkutan umum di darat, di laut, di danau, dan di sungai yang dilakukan oleh pemerintah atau swasta.

 Jasa di bidang tenaga kerja.  Jasa di bidang perhotelan.

2.1.12. Dasar Pengenaan Pajak

(17)

PPN yang terutang perlu adanya Dasar Pengenaan Pajak (DPP). Yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai adalah:

1. Harga Jual.

Harga jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak (BKP), tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dipungut menurut Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak. 2. Penggantian.

Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP), tidak termasuk pajak yang dipungut menurut Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.

3. Nilai Ekspor.

Nilai ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir.

4. Nilai Impor.

Nilai impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan lainnya yang dikenakan pajak berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undang Pabean untuk impor Barang Kena Pajak (BKP), tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dipungut menurut Undang-undang

(18)

Pajak Pertambahan nilai.

Nilai lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan Dasar pengenaan pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai adalah jumlah harga jual, penggatian, nilai impor, nilai ekspor, nilai lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2002 Pasal 4 ayat (1) dan telah diubah menjadi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2012 yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang. Dasar pengenaan pajak ada beberapa macam yaitu :

1. Harga jual.

Harga jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang PPN dan PPnBM dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.

2. Penggantian.

Penggantian adalah nilai berupa uang termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan Jasa Kena Pajak, tidak termasuk pajak yang dipungut menurut undang-undang dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.

3. Nilai Ekspor.

(19)

diminta atau yang seharusnya diminta oleh Eksportir. 4. Nilai Impor.

Nilai impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan Pabean untuk impor Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang PPN dan PPnBM. Nilai impor yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak adalah harga patokan impor atau Cost Insurance and Freight (CIF) sebagai dasar penghitungan bea masuk ditambah dengan semua biaya kepabean dan pungutan lain menurut ketentuan Peraturan Perundang-undangan Pabean. Pajak yang dikenakan adalah PPh Pasal 22. Dalam hal perusahaan belum memiliki Angka Pengenal Impor (API), tarif PPh Pasal 22 adalah sebesar 7.5 % dan apabila memiliki API dikenakan PPh Pasal 22 sebesar 2.5 % dari nilai impor.

Rumus menghitung Nilai Impor sebagai Dasar Pengenaan Pajak adalah:

CIF + BEA MASUK = NILAI IMPOR 5. Nilai Lain.

Suatu nilai yang Ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan Pajak untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dan diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.03/2010 Dasar Pengenaan Pajak untuk Nilai lain yaitu :

(20)

a. untuk pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor.

b. untuk pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor.

c. untuk penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah perkiraan harga jual rata-rata.

d. untuk penyerahan film cerita adalah perkiraan hasil rata-rata per judul film.

e. untuk penyerahan produk hasil tembakau adalah sebesar harga jual eceran.

f. untuk Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, adalah harga pasar wajar.

g. untuk penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang adalah harga pokok penjualan atau harga perolehan.

h. untuk penyerahan Barang Kena Pajak melalui pedagang perantara adalah harga yang disepakati antara pedagang perantara dengan pembeli.

(21)

i. untuk penyerahan Barang Kena Pajak melalui juru lelang adalah harga lelang;

j. untuk penyerahan jasa pengiriman paket adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah yang ditagih atau jumlah yang seharusnya ditagih; atau untuk penyerahan jasa biro perjalanan atau jasa biro pariwisata adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih.

2.1.13. Tarif Pajak Pertambahan Nilai

Tarif Pajak Pertambahan Nilai menurut ahli dan Undang-Undang adalah:

1. Menurut Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton (2009:17) tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah tarif Proporsional adalah tarif pemungutan pajak yang menggunakan persentase tetap tanpa memerhatikan jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak. Dengan demikian, semakin besar jumlah pajak terutang (yang harus dibayar).

2. Menurut Edi Suprianto (2011) Tarif PPN ada 2 macam:

a. Tarif PPN 10% untuk semua jenis penyerahan barang/jasa kena pajak kecuali ekspor. Jumlah ini dapat berubah sesuai yang diatur dalam peraturan pemerintah serendahnya 5% dan setingginya 15%. b. 0% untuk ekspor. Hal ini dikarenakan tujuan pemerintah untuk

meningkatkan sumber devisa Negara.

Berdasarkan Pasal 7 ayat (1), (2) dan (3) undang-undang no. 42 Tahun 2009, tarif Pajak Pertambahan Nilai :

a. Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10%

Tarif penyerahan barang kena pajak atau jasa kena pajak adalah tarif tunggal, sehingga mudah dalam pelaksanaannya dan tidak memerlukan

(22)

daftar penggolongan barang atau jasa dengan tarif yang berbeda sebagaimana berlaku pada Pajak Penjualan atas Barang Mewah. b. Tarif Pajak Pertambahan Nilai atas ekspor Barang Kena Pajak sebesar 0

%. Konsumsi barang kena pajak atau jasa kena pajak di dalam daerah pabean dikenakan Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 0%. Pengenaan tarif 0% bukan berarti pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Pajak Masukan yang telah dibayar dari barang yang diekspor tetap dapat dikreditkan.

c. Tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15 % (lima belas persen) yang perubahan tarifnya diatur dengan peraturan pemerintah.

Mekanisme pemungutan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) ada pada pihak pedagang atau produsen sehingga muncul istilah Pengusaha Kena Pajak yang disingkat PKP. Dalam perhitungan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang harus disetor oleh Pengusaha kena Pajak (PKP), dikenal istilah pajak keluaran dan pajak masukan. Pajak keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dipungut ketika Pengusaha Kena Pajak (PKP) menjual produknya, sedangkan pajak masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dibayar ketika Pengusaha Kena Pajak (PKP) membeli, memperoleh, atau membuat produknya. Indonesia menganut sistem tarif tunggal untuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yaitu sebesar 10% (sepuluh persen).

(23)

Bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan penjualan eceran di mana penjualan dilakukan kepada komsumen akhir yang tidak diketahui identitasnya dan biasanya jumlah transaksinya banyak dengan volume kecil, maka sangat tidak efektif untuk membuat faktur pajak sesuai ketentuan dalam Pasal 13 ayat (5) UU PPN di mana faktur pajak paling sedikit harus memuat :

1. Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang menyerahkan Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak (BKP/JKP).

2. Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pembeli Barang Kena Pajak / Jasa Kena Pajak (BKP/JKP).

3. Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga.

4. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dipungut.

5. Kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak.

6. Nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.

2.1.14. Pajak Masukan dan Pajak Keluaran

Pajak masukan menurut menurut Muljono (2008 : 61) adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh pengusaha kena pajak yang berkaitan dengan perolehan BKP, penerimaan JKP, pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean, pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean, dan impor BKP. Dan pajak keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai yang terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan BKP, penyerahan JKP, atau ekspor BKP.

Pajak Masukan Yang Dapat Dikreditkan menurut Undang-Undang No.42 Tahun 2009 yaitu :

(24)

1. Pengkreditan Pajak Masukan oleh Pengusaha Kena Pajak yang masih dalam tahap belum produksi terbatas Pajak Masukan yang berasal dari perolehan atau impor barang modal (pasal 9 ayat (2a).

2. Dalam pasal 9 ayat 14 Pengkreditan Pajak Masukan atas Barang Kena Pajak yang dialihkan dalam rangka restrukturisasi usaha, maka Pajak Masukan atas Barang Kena Pajak yang dialihkan yang belum dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang mengalihkan, dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang menerima pengalihan dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang menerima pengalihan sepanjang Faktur Pajaknya diterima setelah terjadinya pengalihan dan Pajak Masukan tersebut belum dibebankan sebagai biaya.

Menurut Undang-Undang PPN Nomor 42 Tahun 2009 Pengeluaran yang tidak dapat dikreditkan sebagai Pajak Masukan yaitu : a. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum pengusaha

dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

b. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha.

c. Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon, kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan. d. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa

Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

(25)

e. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (5) atau ayat (9) atau tidak mencantumkan nama, alamat, dan nomor Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak.

f. Pemanfaataan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaataan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (6). g. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak

Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak.

h. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, yang ditemukan pada wakttu dilakukan pemeriksaan.

i. Perolehan Barang Kena Pajak selain barang modal atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha Kena Pajak berproduksi sebagaimana dimaksud pada butir 2.

2.1.15. Saat dan Tempat Pajak Terutang

Menurut Pasal 11 ayat 1 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Nomor 42 Tahun 2009 saat terutangnya pajak terjadi pada saat :

a. Penyerahan Barang kena Pajak. b. Impor Barang kena Pajak.

(26)

c. Penyerahan Jasa Kena Pajak.

d. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean.

e. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah Pabean. f. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud.

g. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud. h. Ekspor Jasa Kena Pajak.

Berdasarkan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 ditetapkan bahwa tempat terutang Pajak Pertambahan Nilai adalah : a. Tempat tinggal atau tempat kedudukan.

b. Tempat kegiatan usaha dilakukan.

c. Tempat Barang Kena Pajak dimasukkan, dalam hal impor.

d. Tempat lain selain tempat tinggal atau tempat kedudukan atau tempat kegiatan usaha dilakukan yang diatur dengan Peraturan Direktorat Jenderal Pajak.

e. Satu tempat atau lebih yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak sebagai tempat pemusatan pajak terutang atas pemberitahuan secara tertulis dari Pengusaha Kena Pajak.

f. Tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha dilakukan dalam hal pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.

(27)

2.1.16. Faktur Pajak

Faktur Pajak berdasarkan pendapat beberapa ahli adalah:

Menurut Edi Suprianto (2011:23) “Faktur pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh pengusaha kena pajak atas penyerahan barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak”.

Menurut Sukardji (2009) diperlukan adanya dokumen pendukung yang dinamakan Faktur Pajak untuk mendeteksi atau menguji kebenaran jumlah pajak yang terutang atas perolehan dan jumlah pajak yang terutang atas penyerahan tersebut.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 1 angka 23, yang dimaksud Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan barang kena pajak atau jasa kena pajak atau bukti pungutan pajak karena impor barang kena pajak yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Pengusaha Kena Pajak wajib membuat faktur pajak untuk setiap penyerahan barang kena pajak atau jasa kena pajak yang dilakukan di dalam daerah pabean. Orang pribadi dan badan yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dilarang membuat faktur pajak. Larangan membuat faktur pajak oleh bukan Pengusaha Kena Pajak dimaksudkan untuk melindungi pembeli dari pemungutan pajak yang tak semestinya. Jumlah pajak yang tercantum dalam faktur pajak harus disetorkan ke kas negara. Faktur Pajak tidak harus dibuat secara khusus atau berbeda dengan Faktur Penjualan, artinya Faktur Penjualan dapat sekaligus berfungsi sebagai Faktur Pajak.

(28)

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009. Faktur Pajak mempunyai tiga fungsi yang membuatnya begitu penting dah wajib dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak. Fungsi faktur pajak yaitu:

a. Bukti pungutan bagi Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak.

b. Sebagai bukti pembayaran PPN yang dilakukan oleh pembeli Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak kepada Pengusaha Kena Pajak. c. Sebagai sarana mengkreditkan Pajak Masukan bagi Pengusaha Kena

Pajak yang membeli Barang Kena Pajak.

d. Bukti pungutan pajak (PPN/PPnBM) karena impor BKP yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

Jenis-jenis Faktur Pajak

Menurut Prof. Dr. Mardiasmo, MBA., Ak. (2009, p288) yang masih didasari Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai No.18 tahun 2000, Faktur Pajak dapat berupa:

1. Faktur Pajak Standar.

Dalam Faktur Pajak Standar harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) yang paling sedikit memuat:

a. Nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang menyerahkan Barang Kena Pajak (BKP) dan atau Jasa Kena Pajak (JKP);

(29)

b. Nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pembeli Barang Kena Pajak (BKP) atau penerima Jasa Kena Pajak (JKP). c. Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan

potongan harga.

d. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dipungut.

e. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM) yang dipungut. f. Kode, nomor seri, tanggal pembuatan Faktur Pajak.

g. Nama, jabatan, dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.

Faktur Pajak Standar harus dibuat pada:

 Saat penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP).

 Saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan.

 Saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

2. Faktur Pajak Gabungan.

Untuk meringankan beban administrasi, kepada Pengusaha Kena Pajak (PKP) diperkenankan untuk membuat satu Faktur Pajak yang meliputi semua penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) yang terjadi selama satu bulan takwim kepada pembeli yang sama atau penerima Jasa Kena Pajak (JKP) yang sama. Faktur Pajak Gabungan yang merupakan Faktur

(30)

Pajak Standar harus dibuat paling lambat pada akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP).

3. Faktur Pajak Sederhana.

Faktur Pajak Sederhana paling sedikit harus memuat:

a. Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang menyerahkan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP).

b. Jenis dan kuantitas Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP).

c. Jumlah Harga Jual atau Penggantian yang sudah termasuk Pajak Pertambahan Nilai atau besarnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dicantumkan terpisah.

d. Tanggal pembuatan Faktur Pajak Sederhana.

Pengusaha Kena Pajak dapat membuat Faktur Pajak Sederhana dalam hal:

 Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) kepada konsumen akhir.

 Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) kepada pembeli Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau penerima Jasa Kena Pajak (JKP) yang nama, alamat atau Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)-nya tidak dapat diketahui.

(31)

4. Dokumen-dokumen tertentu yang ditetapkan sebagai Faktur Pajak Standar oleh Dirjen Pajak. Dokumen-dokumen tertentu yang ditetapkan sebagai Faktur Pajak Standar paling sedikit harus memuat: a. Identitas yang berwenang menerbitkan dokumen.

b. Nama dan alamat penerima dokumen.

c. Nomor Pokok Wajib Pajak dalam hal penerima dokumen adalah sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri.

d. Jumlah satuan barang apabila ada. e. Dasar Pengenaan pajak.

f. Jumlah pajak yang terutang kecuali dalam hal ekspor.

Sehubungan dengan diterbitkannya Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai No.42 tahun 2009, maka jenis Faktur Pajak Sederhana telah dihapuskan dan hanya dikenal satu jenis Faktur Pajak yang disebut dengan Faktur Pajak yang diatur dalam Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai No.42 tahun 2009 Pasal 13.

Syarat Formal Pembuatan Faktur Pajak

Berdasarkan Pasal 13 Ayat (5) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Nomor 42 Tahun 2009 dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit memuat :

1. Nama, alamat dan NPWP yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak.

(32)

2. Nama, alamat dan NPWP pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak.

3. Jenis barang atau jasa, jumlah harga jual atau penggantian dan potongan harga.

4. PPN yang dipungut.

5. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang dipungut. 6. Kode, nomor seri dan tanggal pembuatan Faktur Pajak.

7. Nama dan tanda tangan yang berhak mendatangani Faktur pajak. Format Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak

Ketentuan Pemberian kode dan nomor seri Faktur Pajak Standar sesuai dengan Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER-159/PJ.2006 yaitu sebagai berikut :

Tata Cara Penggunaan Kode dan Nomor seri Faktur Pajak Standar Kode transaksi diisi dengan ketentuan sebagai berikut :

01 Digunakan atas penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak kepada pihak lain yang bukan pemungut PPN (termasuk penyerahan kepada Perwakilan Negara Asing atau perwakilan Organisasi Internasional yang tidak mendapat persetujuan untuk diberikan fasilitas perpajakan oleh Menteri Keuangan) dan penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak antar pemungut PPN (selain Bendaharawan) yang PPN dipungut oleh pihak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak.

(33)

02 Digunakan untuk penyerahan kepada pemungut PPN Bendahara Pemerintah.

03 Digunakan untuk penyerahan kepada pemungut PPN lainnya (selain Bendahara Pemerintah), kode ini digunakan atas penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak kepada pemungut PPN selain Bendahara Pemerintah, dalam hal ini Kontraktor Production Sharing (KPS) Migas selaku pemungut PPN.

04 Digunakan untuk penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang menggunakan Dasar Pengenaan Pajak nilai lain kepada selain pemungut PPN.

05 Digunakan atas penyerahan Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak yang PPN-nya dihitung dengan menggunakan Deemed Pajak Masukan.

06 Digunakan untuk penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang menggunakan tarif selain 10% dan penyerahan hasil tembakau yang dibuat di dalam negeri oleh Pengusaha Pabrik hasil tembakau atau hasil tembakau yang dibuat di luar negeri oleh Importir hasil tembakau.

07 Digunakan dalam penyerahan PPN dan PPnBM tidak dipungut berdasarkan peraturan khusus yang berlaku antara lain :

 Tentang Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan Pajak

(34)

Penghasilan dalam rangka proyek pemerintah yang dibiayai dengan Dana Pinjaman/Hibah Luar Negeri.

 Perlakuan perpajakan bagi Pengusaha Kena Pajak berstatus Entrepot Produksi Tujuan Ekspor (EPTE) dan Perusahaan Pengolahan di Kawasan Berikat (KB).

 Tempat Penimbunan Berikat.

 Perlakuan Perpajakan di Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu.

 Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah di Kawasan Berikat Daerah Industri Pulau Batam.

 Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Avtur untuk keperluan penerbangan internasional.

 Toko bebas area.

 Perlakuan PPN dan PPnBM atas impor Barang Kena Pajak yang dibebaskan Bea Masuk.

 Perlakuan perpajakan dan Kepabeanan dalam rangka proyek pengembangan Pulau Bintan dan Pulau Karimun.

 Tempat Penimbunan Berikat di Pulau Batam, Bintan, dan Karimun.

08 digunakan untuk penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan PPN. 09 digunakan untuk penyerahan aktiva kepada selain pemungut PPN.

(35)

Dalam Undang-Undang No.42 Tahun 2009 saat pembuatan Faktur Pajak harus dibuat pada saat yaitu ;

1. Saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak.

2. Saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak.

3. Saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan.

4. Saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Tata Cara Pengisian Faktur Pajak

Berikut ini adalah petunjuk pengisian Faktur Pajak berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal PajakNo.PER-13/PJ/2010:

a. Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak.

Diisi dengan Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak yang formatnya sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran III Peraturan Direktur Jenderal Pajak tersebut.

b. Pengusaha Kena Pajak Diisi dengan nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, sesuai dengan keterangan dalam Surat Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, kecuali alamat diisi dengan alamat tempat domisili/tempat kegiatan usaha terakhir Pengusaha Kena Pajak.

(36)

c. Pembeli Barang Kena Pajak dan/atau Penerima Jasa Kena Pajak. Diisi sesuai dengan nama, alamat dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak dan/atau penerima Jasa Kena Pajak.

d. Pengisian tentang Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak yang diserahkan :

 Nomor urut diisi dengan nomor urut dari Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang diserahkan.

 Nama Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak diisi dengan nama Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang diserahkan.

 Dalam hal diterima Uang Muka atau Termin atau cicilan, kolom Nama Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak diisi dengan keterangan, misalnya Uang Muka atau Termin, atau Angsuran, atas pembelian BKP dan/atau perolehan JKP.

 Dalam hal diperlukan, Pengusaha Kena Pajak dapat menambahkan keterangan jumlah unit dan harga per unit dari BKP yang diserahkan.

 Harga Jual/Penggantian/Uang Muka/Termin1)

 Diisi dengan Harga Jual atau Penggantian atas Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang diserahkan sebelum dikurangi Uang Muka atau Termin.

 Dalam hal diterima Uang Muka atau Termin , maka yang menjadi dasar penghitungan Pajak Pertambahan Nilai adalah jumlah Uang Muka atau Termin yang bersangkutan.

(37)

 Dalam hal pembayaran Harga Jual/Penggantian/Uang Muka/Termin dilakukan dengan menggunakan mata uang asing, maka hanya baris "Dasar Pengenaan Pajak" dan baris "PPN = 10% X Dasar Pengenaan Pajak" yang harus dikonversikan ke dalam mata uang rupiah menggunakan kurs yang berlaku menurut Surat Keputusan Menteri Keuangan pada saat pembuatan Faktur Pajak.

 Dalam hal keterangan Nama Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak yang diserahkan tidak dapat ditampung dalam satu Faktur Pajak, maka Pengusaha Kena Pajak dapat membuat lebih dari 1 (satu) formulir Faktur Pajak yang masing-masing formulir harus menggunakan Kode, Nomor Seri, dan tanggal Faktur Pajak yang sama, serta ditandatangani dan diberi keterangan nomor halaman pada setiap lembarnya, dan khusus untuk pengisian jumlah, Potongan Harga, Uang Muka yang telah diterima, Dasar Pengenaan Pajak, dan Pajak Pertambahan Nilai cukup diisi pada formulir terakhir Faktur Pajak; atau membuat 1 (satu) Faktur Pajak yang menunjuk nomor dan tanggal Faktur-faktur Penjualan yang merupakan lampiran yang tidak terpisahkan dari Faktur Pajak tersebut, dalam hal Faktur Penjualan dibuat berbeda dengan Faktur Pajak.

(38)

 Jumlah Harga Jual/Penggantian/Uang Muka/Termin. Diisi dengan penjumlahan dari angka-angka dalam kolom Harga Jual/Penggantian/UangMuka/Termin.

 Potongan Harga. Diisi dengan total nilai potongan harga Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang diserahkan, dalam hal terdapat potongan harga yang diberikan.

 Uang Muka yang telah diterima. Diisi dengan nilai Uang Muka yang telah diterima dari penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak.

 Dasar Pengenaan Pajak. Diisi dengan jumlah Harga Jual/Penggantian/Uang Muka/Termin dikurangi dengan Potongan Harga dan Uang Muka yang telah diterima.

 PPN = 10% X Dasar Pengenaan Pajak.Diisi dengan jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang terutang sebesar 10% dari Dasar Pengenaan Pajak.

 Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Hanya diisi apabila terjadi penyerahan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah, yaitu sebesar tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah dikalikan dengan Dasar Pengenaan Pajak yang menjadi dasar penghitungan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

 Tanggal. Diisi dengan tempat dan tanggal Faktur Pajak dibuat.  Nama dan Tanda Tangan. Diisi dengan nama dan tanda tangan

(39)

menandatangani Faktur Pajak, yang telah diberitahukan secara tertulis kepada Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan atau tempat Pemusatan Pajak Pertambahan Nilai dilakukan, paling lama pada akhir bulan berikutnya sejak pejabat yang ditunjuk tersebut menandatangani Faktur Pajak. Dalam hal Pengusaha Kena Pajak adalah Orang Pribadi yang tidak memiliki struktur organisasi, pemilik kegiatan usaha dapat menandatangani sendiri atau memberikan kuasa kepada pihak lain untuk menandatangani Faktur Pajak. Pemberitahuan secara tertulis kepada Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan atau tempat Pemusatan Pajak Pertambahan Nilai dilakukan paling lama pada akhir bulan berikutnya sejak pihak yang diberi kuasa tersebut mulai menandatangani Faktur Pajak. Apabila Penandatanganan Faktur Pajak dikuasakan kepada pihak lain maka di bawah kolom nama pada Faktur Pajak diberikan keterangan tambahan "Kuasa Pemilik Kegiatan Usaha". Pejabat atau Kuasa yang ditunjuk untuk menandatangani Faktur tidak harus sama dengan pejabat atau Kuasa yang berwenang untuk menandatangani Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai. Cap tanda tangan tidak diperkenankan dibubuhkan pada Faktur Pajak.

 Dalam hal penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak menggunakan mata uang asing maka :

(40)

 Pengusaha Kena Pajak harus menambah kolom Valuta Asing sebagaimana contoh pada Lampiran IB.

 Keterangan kurs diisi sesuai dengan Kurs Menteri Keuangan yang berlaku pada saat pembuatan Faktur Pajak.

 Dalam hal Pengusaha Kena Pajak melakukan penyerahan dengan menggunakan mata uang asing dan rupiah, Lampiran IB harus digunakan juga untuk transaksi yang menggunakan mata uang rupiah.

2.2. Penelitian Terdahulu.

1. Nama Peneliti : Ratna Kurniasari

Judul Penelitian : Mekanisme Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Atas Jasa Kena Pajak Pada PT. ADHI KARYA

(Persero) Tbk DK IV

Tujuan Penelitian : a. Menjelaskan mekanisme pemungutan atas jasa kena pajak dan kegiatan membangun gedung sendiri pada PT. ADHI KARYA (Persero) Tbk

DK IV.

b. Mendiskripsikan penerapan perhitungan PPN jasa kena pajak kegiatan membangun sendiri pada PT. ADHI KARYA (Persero) Tbk DK IV. Alat Analisis : SAK, PABU dan UU No. 42 tahun 2009.

(41)

Hasil Penelitian : PT. ADHI KARYA (Persero) Tbk DK IV. Sudah melakukan kewajiban sebagai wajib pajak baik berdasarkan aturan terkait dengan mekanisme PPN seperti UU No. 42 tahun 2009 maupun Permen Keu. No. 163/PMK.03/2012 mengenai kegiatan membangun sendiri.

Persamaan dengan : Penerapan Perhitungan PPN berdasarkan UU No. Penelitian ini 42 tahun 2009.

Perbedaan dengan : Perhitungan PPN atas membangun gedung sendiri. Penelitian ini

Sumber : Skripsi Ratna Kurniasari 2013, Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Surabaya.

2. Nama Peneliti : Rohmad Agus Alim

Judul Penelitian : Evaluasi Perhitungan PPN UD. Budimas Beserta tax planning dalam Rangka mengefisienkan PPN yang terutang

Tujuan Penelitian : a. untuk mengetahui sistem perhitungan PPN Masa UD. BUDIMAS telah sesuai dengan Perundang

-undangan dan penerapan tax planning yang diterapkan dalam rangka

b. untuk mengefisienkan pajak PPN Masa yang terhutang dan mampu mengoptimalkan laba

(42)

Alat Analisis : Perundang -undangan PPN No. 18 tahun 2000

Hasil Penelitian : UD. Budimas dalam perhitungan PPN Masa sudah

sesuai dengan Perundang-undangan PPN No. 18 tahun 2000

Persamaan dengan : Penerapan Perhitungan PPN berdasarkan Perun- Penelitian ini dang-undangan PPN

Perbedaan dengan : Menganalisis pengaruh perhitungan PPN dan Penelitian ini penerapan tax planning terhadap PPN Masa. Sumber : Tugas Akhir Rohmad Agus Salim 2010, Fakultas

(43)

2.3. Kerangka Konseptual

Gambar 1.1 Kerangka Konseptual

Keterangan Gambar:

PT. Dirgaputra Ekapratama Surabaya merupakan suatu perusahaan yang bergerak dalam kegiatan menerima perolehan Barang Kena Pajak dan melakukan penyerahan Barang Kena Pajak. Perolehan BKP tersebut adalah PPN Masukan sedangkan penyerahan BKP adalah PPN Keluaran. Adapun dalam melaksanakan kegiatannya tersebut diterbitkan faktur pajak baik PPN Masukan maupun PPN

PT. DIRGAPUTRA EKAPRATAMA SURABAYA Perolehan Barang Kena Pajak Penyerahan Barang Kena Pajak PPN Masukan PPN Keluaran Perhitungan/Pelaporan UU No. 42 Tahun 2009 Faktur Pajak Laba/Rugi

(44)

Keluaran dalam faktur pajak disesuaikan dengan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai yang berlaku.

Gambar

Gambar 1.1  Kerangka Konseptual

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Oleh karena itu dapat dipertegas bahwa pemerintah telah menjalankan perannya sesuai dengan kapasitasnya sebagai regulator untuk melakukan intervensi dalam pasar dan dunia

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Rincian Kurang Bayar Dana Bagi

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi morfometri dari Rajungan yang meliputi panjang karapas, lebar karapas, dan berat tubuh serta mengetahui aspek

Parfum Laundry Aceh Tengah Beli di Toko, Agen, Distributor Surga Pewangi Laundry Terdekat/ Dikirim dari Pabrik BERIKUT INI PANGSA PASAR PRODUK NYA:.. Kimia Untuk Keperluan

Pada akhir dekade yang lalu usaha jasa konstruksi telah mengalami peningkatan kuantitatf di berbagai tingkatan. Namun peningkatan kuantitatif tersebut belum diikuti

Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan kadar iodium dari sampel urin sesaat pada semua rentang waktu pengambilan sampel urin dalam sehari dengan kadar

Alasan menggunakan metode Naïve Bayes Classifier adalah karena metode Naïve Bayes Classifier merupakan penyederhanaan dari teorema Bayes.Variabel yang dibutuhkan dalam penelitian ini

Bila dilihat dari sumber pertumbuhan ekonomi NTB hingga triwulan III-2016, Pembentukan Modal Tetap Bruto menjadi sumber pertumbuhan tertinggi sebesar 2,38 poin, diikuti