• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI PERKEMBANGAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAN PEMBANGUNAN DAERAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB VI PERKEMBANGAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAN PEMBANGUNAN DAERAH"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

BAB VI

PERKEMBANGAN

PENYELENGGARAAN

PEMERINTAHAN DAN

PEMBANGUNAN DAERAH

Tujuan nasional dari pembentukan pemerintahan adalah melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Kemerdekaan yang telah diraih harus dijaga dan diisi dengan pembangunan yang berkeadilan dan demokratis serta dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan. Salah satu kebijakan lain yang diambil oleh pemerintah dalam rangka mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional tersebut adalah dengan melaksanakan desentralisasi dan otonomi daerah. Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan di daerah, komponen desentralisasi tersebut harus diaktualisasikan secara bersama-sama dan satu dengan lainnya harus saling mendukung. Tujuan dari pelaksanaan desentralisasi adalah untuk memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis. Sebagai sebuah proses, pelaksanaan desentralisasi di Indonesia bersifat dinamis dan telah dilakukan sejak tahun 2001. Bab VI dalam Buku Pegangan 2009 ini mencoba menelaah kembali perkembangan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah yang telah dilaksanakan selama ini yang meliputi: perkembangan pencapaian kelembagaan pemerintah daerah, aparatur pemerintah daerah, kerjasama antar daerah, dan pembentukan daerah otonom baru. Selain itu pada bab ini pun akan dibahas mengenai garis besar pencapaian pembangunan daerah yang dilihat dari sudut pandang pelaksanaan penataan ruang wilayah, perkembangan pembangunan kawasan khusus dan daerah tertinggal, dan perkembangan pembangunan perkotaan dan perdesaan.

(4)

6.1. Perkembangan Penyelenggaraan Pemerintahan

Daerah

6.1.1 Perkembangan Kelembagaan Pemerintah Daerah

Kelembagaan Pemerintah Daerah merupakan elemen dasar dalam penyelenggaraan pemerintahan di suatu daerah, selain elemen urusan pemerintahan dan kapasitas aparatur pemerintah daerah itu sendiri. Pengaturan terhadap kelembagaan atau sering disebut dengan Organisasi Perangkat Daerah (OPD), telah diatur dan ditetapkan berdasarkan PP No. 84 Tahun 2000, yang diganti dengan PP No. 8 Tahun 2003, dan kemudian direvisi menjadi PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Dalam PP No. 41 Tahun 2007 tersebut, disebutkan bahwa pelaksanaan peraturan perundangan ini diharapkan dapat selesai dalam waktu 1 tahun sejak ditetapkan. Akhir tahun 2008 merupakan batas waktu bagi pemerintah daerah untuk menetapkan Peraturan Daerah mengenai Organisasi Perangkat Daerah berdasarkan PP No. 41 Tahun 2007.

Sampai saat ini baru 15 provinsi, 120 kabupaten dan 25 kota yang telah melaporkan Perda Organisasi Perangkat Daerahnya kepada Depdagri, atau hanya sebesar 45% provinsi dan 30% kabupaten/kota. Informasi lengkap daerah-daerah yang telah melaporkan pelaksanaan PP No. 41 Tahun 2007 di daerahnya masing-masing dapat dilihat pada Tabel B.1 di lampiran B Buku Pegangan 2009 ini.

Tabel tersebut menunjukkan bahwa pencapaian pelaksanaan PP No. 41 Tahun 2007 oleh Pemerintah Daerah baru mencapai 31% dari seluruh wilayah di Indonesia. Dari 160 wilayah (provinsi, kabupaten dan kota), 17,5% diantaranya telah melaksanakan pada tahun 2007, dan sebanyak 82,5%, melaksanakan PP tersebut pada tahun 2008. Sisanya, masih terdapat 18 provinsi, 267 kabupaten dan 71 kota yang belum melaksanakan PP tersebut, atau setidaknya belum melaporkan Perda Organisasi Perangkat Daerah mereka berdasarkan PP No. 41 Tahun 2007. Oleh karenanya Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota yang belum melaksanakan PP dimaksud agar segera melaksanakan dan melaporkannya.

Selanjutnya terdapat beberapa peraturan mengenai kelembagaan pemerintah daerah (baik struktural maupun non struktural), yang mengamanatkan tiap daerah untuk membentuk suatu instansi daerah dengan nomenklatur tertentu untuk menjalankan urusan pemerintahan yang didelegasikan oleh kementerian lembaga terkait. antara lain:

Baru 15 provinsi (45%), 120 kabupaten dan 25 kota (30%) yang telah melaporkan Perda Organisasi Perangkat Daerah

(5)

1. UU No. 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, Dan Kehutanan, mengamanatkan pembentukan kelembagaan penyuluhan pemerintah, dengan ketentuan (pasal 8): a. pada tingkat pusat berbentuk badan yang menangani penyuluhan; b. pada tingkat provinsi berbentuk Badan Koordinasi Penyuluhan; c. pada tingkat kabupaten/kota berbentuk badan pelaksana

penyuluhan; dan

d. pada tingkat kecamatan berbentuk Balai Penyuluhan.

2. UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, yang mengatur mengenai Komisi Informasi, yang terdiri atas Komisi Informasi Pusat, Komisi Informasi Provinsi, dan jika dibutuhkan Komisi Informasi Kabupaten/kota, dengan ketentuan (pasal 24):

a. Komisi Informasi Pusat berkedudukan di ibu kota Negara. b. Komisi Informasi Provinsi berkedudukan di ibu kota provinsi dan c. Komisi Informasi Kabupaten/kota berkedudukan di ibu kota

kabupaten/kota.

Beberapa kewajiban pokok yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah sebagai konsekuensi dari disahkannya UU/14 2008 tersebut dalam rangka memperkuat kelembagaan daerah adalah perlunya segera menyusun rencana strategis dan rencana aksi sebagai perangkat kesiapan internal lembaga untuk dapat memenuhi tuntutan publik atas informasi. Rencana-rencana tersebut antara lain:

1. Rencana jangka menengah: mengembangkan budaya pendokumentasian bagi seluruh unit kerja di daerah.

2. Rencana jangka pendek: mengklasifikasi jenis informasi yang dapat dibuka untuk publik sesuai Undang-undang dan mengembangkan pusat-pusat layanan informasi publik, data center dan meningkatkan kualitas layanannya.

3. UU No. 3 Tahun 2005, tentang Sistem Keolahragaan Nasional, mengatur mengenai penyelenggaraan keolahragaan sebagai berikut (Pasal 14):

a. Dalam melaksanakan tugas, Pemerintah dapat melimpahkan sebagian kewenangannya kepada pemerintah daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

b. Dalam melaksanakan tugas, pemerintah daerah membentuk sebuah dinas yang menangani bidang keolahragaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

4. Peraturan Presiden No. 83 Tahun 2007 tentang Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Provinsi, Dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota, mengatur mengenai:

(6)

a. (Pasal 15) à Badan Narkotika Provinsi yang selanjutnya disebut BNP adalah lembaga non-struktural yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Gubernur

b. (Pasal 23) à Badan Narkotika Kabupaten/Kota yang selanjutnya dalam Peraturan Presiden ini disebut BNK/Kota adalah lembaga nonstruktural yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Bupati/Walikota.

5. UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, mengatur mengenai Badan Penanggulangan Bencana Daerah, sebagai berikut (Pasal 18)

a. Pemerintah daerah membentuk badan penanggulangan bencana daerah.

b. Badan penanggulangan bencana daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

i. badan pada tingkat provinsi dipimpin oleh seorang pejabat setingkat di bawah gubernur atau setingkat eselon Ib; dan ii. badan pada tingkat kabupaten/kota dipimpin oleh seorang

pejabat setingkat di bawah bupati/walikota atau setingkat eselon IIa.

Salah satu bentuk kelembagaan pemerintah daerah yang sedang ditingkatkan terkait pelayanan publik adalah pelayanan terpadu satu pintu. Sistem pelayanan ini dikembangkan dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan investasi, sesuai Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi. Tingginya tingkat kesulitan masyarakat dalam mengurus/memperoleh dokumen perijinan maupun non perijinan dari pemerintah, disinyalir terkait dengan panjangnya rantai birokrasi dan banyaknya instansi yang bertanggung jawab terhadap hal tersebut. Oleh karena itu, peningkatan iklim investasi diusahakan melalui pemangkasan rantai birokrasi pelayanan publik, yang juga diaplikasikan pada pelayanan dokumen non perijinan.

Bentuk pelayanan terpadu satu pintu (penyederhanaan pelayanan) yang diarahkan oleh Pemerintah untuk dilaksanakan di daerah adalah pembentukan Perangkat Daerah Penyelenggara Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PPTSP), yang memiliki:

i. loket/ruang pengajuan permohonan dan informasi; ii. tempat/ruang pemrosesan berkas;

iii. tempat/ruang pembayaran;

iv. tempat/ruang penyerahan dokumen; dan

v. tempat/ruang penanganan pengaduan, sebagai sarana dan prasarana pendukung mekanisme pelayanan.

Sistem pelayanan terpadu satu pintu dikembangkan dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan investasi

(7)

Terkait dengan hal tersebut, beberapa wilayah di Indonesia telah melaksanakan pelayanan terpadu satu pintu dengan berbagai macam bentuk kelembagaan, yaitu kantor, badan dan unit pelayanan. Daerah-daerah yang telah menyusun PPTSP disajikan pada Tabel B.2 di lampiran B Buku Pegangan 2009 ini.

Permasalahan mendasar dalam program peningkatan kapasitas kelembagaan Pemda adalah masih belum optimalnya proses penerapan SPM (Standar Pelayanan Minimal) sampai saat ini, sesuai dengan amanat dari PP Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan SPM. Penetapan SPM dalam rangka menyediakan pelayanan kepada masyarakat, khususnya pelayanan yang bersifat wajib, minimal Pemerintah Daerah (kabupaten/kota atau provinsi) harus mengacu kepada SPM yang disusun oleh Pemerintah. Untuk itu setiap pemerintah daerah diwajibkan menyusun rencana pencapaian SPM yang memuat target tahunan pencapaian SPM dengan mengacu pada batas waktu pencapaian SPM. Sampai Awal Januari 2009, terdapat 3 (tiga) SPM yang secara resmi diterbitkan oleh Pemerintah, dintaranya:

1. Departemen Kesehatan telah menerbitkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1457/MENKES/SK/X/2003 tentang SPM Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota. Sedangkan, SPM Rumah Sakit masih dalam proses finalisasi.

2. Kementerian Negara Lingkungan Hidup telah menerbitkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 197 tahun 2004 tentang SPM Bidang Lingkungan Hidup di daerah kabupaten dan daerah kota. 3. Departemen Sosial telah menerbitkan Peraturan Menteri Sosial RI No.

129 / HUK / 2008 tentang SPM Bidang Sosial Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota.

Beberapa langkah yang sudah dilakukan Pemerintah dalam rangka pelaksanaan penerapan SPM antara lain :

1. Penerbitan Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penetapan SPM, termasuk Pengembangan Instrumen Analisis Rencana dan Penganggaran Pencapaian SPM berdasarkan Analisis Kemampuan dan Potensi Daerah sebagai alat bantu Pemerintah Daerah dalam mengkaji kemampuannya dan menyusun rencana pencapaian SPM.

2. Penerbitan Pedoman Penyusunan Rencana Pencapaian SPM. Dalam menyusun rencana pencapaian SPM, Pemerintah Daerah wajib menetapkan skala prioritas yang disesuaikan dengan kemampuan dan potensi daerah. Beberapa metode yang kita kenal dapat digunakan untuk menentukan skala prioritas salah satunya adalah metode analisis SWOT (Kekuatan/Strength, Kelemahan/Weaknesses, Peluang/Opportunities dan Ancaman/Threats).

3. Penetapan prioritas dalam SPM khususnya bidang kesehatan, pendidikan dan prasarana dasar oleh Dewan Pertimbangan Otonomi

Permasalahan mendasar dalam program peningkatan kapasitas kelembagaan Pemda adalah masih belum optimalnya proses penerapan SPM

(8)

Daerah (DPOD). Hal ini diarahkan dalam upaya meningkatkan penggunaan indeks pembangunan manusia (human development index) sebagai indikator kemajuan pembangunan di suatu daerah, dengan cara menyusun indikator SPM sejalan dengan Millenium Development Goals (MDGs), dan mengumpulkan data yang telah dikoordinasikan dengan instansi terkait (kantor statistik, dinas terkait) sebagai input perhitungan indikator SPM

4. Pengembangan Modul Pelatihan untuk Pelatihan Penyusunan dan penerapan SPM di tingkat Pemerintah Pusat dan Daerah. Modul tersebut akan berguna sebagai bahan (materi khusus) bagi peningkatan pengetahuan aparat pemerintah dalam memahami SPM secara lebih baik

5. Pengembangan instrumen Monitoring dan Evaluasi Penerapan Standar Pelayanan Minimal Pemerintah Propinsi dan Kabupaten/Kota. Hal ini diperlukan untuk mengawasi dan mengevaluasi jaminan pelayanan minimum yang telah direncanakan untuk diberikan, SPM yang sudah dicapai, dan mengantisipasi persoalan-persoalan berkenaan dengan SPM.

Pelaksanaan SPM secara luas menghadapi beberapa tantangan yaitu: (1) kompleksitas dalam merancang dan menyusun indikator di dalam SPM; (2) ketersediaan dan kemampuan penganggaran yang relatif terbatas; (3) perlu melakukan proses konsultasi publik dalam menentukan norma dan standar tertentu yang disepakati bersama untuk menghindari adanya perbedaan persepsi di dalam memberikan pelayanan publik sesuai SPM. Pelaksanaan SPM ke depan diharapkan mampu meningkatkan pelayanan dasar Pemerintah Daerah kepada masyarakat dengan lebih baik. SPM juga diarahkan untuk meningkatkan kualitas perimbangan keuangan dan/atau bantuan lain dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah menjadi lebih adil dan transparan. Dalam proses penentuan anggaran kinerja berbasis manajemen kinerja, SPM dapat dijadikan dasar dalam alokasi anggaran daerah dengan tujuan yang lebih terukur. SPM dapat menjadi alat untuk meningkatkan akuntabilitas Pemerintahan Daerah terhadap masyarakat. Sebaliknya, masyarakat dapat mengukur sejauhmana Pemerintahan Daerah dapat memenuhi kewajibannya dalam menyediakan pelayanan publik.

6.1.2 Perkembangan Aparatur Pemerintah Daerah

Dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, terdapat ketentuan mengenai kepegawaian daerah, yaitu sebanyak 7 pasal dalam Bab V. Kepegawaian daerah yang dimaksud adalah pegawai negeri sipil daerah, dimana penyelenggaraan manajemen kepegawaian daerah merupakan satu kesatuan dengan pegawai negeri sipil secara nasional. Terkait dengan fungsi pengelolaan kepegawaian tersebut, lebih SPM dapat dijadikan

alat untuk mengukur kinerja pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan publik dan meningkatkan akuntabilitas Pemerintahan Daerah terhadap masyarakat

(9)

lanjut UU No. 32 Tahun 2004 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan manajemen kepegawaian daerah meliputi (Pasal 129 ayat 2):

1. Penetapan Formasi

2. Pengadaan, Pengangkatan, Pemindahan, Pemberhentian Pegawai 3. Penetapan Pensiun, gaji, tunjangan, kesejahteraan hak dan

kewajiban, kedudukan hukum 4. Pengembangan Kompetensi 5. Pengendalian Jumlah Pegawai

Wilayah pemerintahan di Indonesia terdiri dari wilayah Provinsi, Kabupaten, dan Kota yang masing-masing memiliki karakteristik khusus, terkait dengan elemen dasar pemerintahan daerah, khususnya personel. Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004, disebutkan bahwa Pemerintah Provinsi memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus segala kewenangan pemerintahan dalam skala lintas kabupaten/kota, dan dalam posisinya sebagai Gubernur yang juga menjadi wakil Pemerintah, memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus segala kewenangan pemerintahan dalam upaya memperpendek rentang kendali pelaksanaan tugas dan fungsi Pemerintah. Tugas tambahan tersebut kemungkinan mempengaruhi kondisi jumlah aparatur pemerintah Provinsi. Namun, dilihat dari tugas dan fungsi pelayanan umum langsung kepada masyarakat, maka Kabupaten/Kota memiliki tugas yang lebih teknis dan perlu didukung oleh jumlah aparatur yang sebanding dengan beban dan jangkauan pelayanannya (jumlah penduduk dan luas wilayah). Tidak seperti kondisi sekarang ini dimana konsentrasi penduduk terkonsentrasi di Pulau Jawa-Bali, maka pola persebaran aparatur pemerintah daerah di Indonesia juga mengikuti beban pelayanan umum yang didasarkan pada jumlah penduduk saja, tetapi tidak mengikuti rentang kendali atau jangkauan pelayanannya (luas wilayah) sehingga perlu adanya penyesuaian kembali penataan aparatur pemerintah daerah yang mempertimbangkan lokasi geografis daerah sebagai variabel pengaruh bagi pengembangan kapasitas pemerintahan daerah.

6.1.3 Kerjasama Antar Daerah

Kerjasama antar Pemerintah Daerah merupakan bentuk kesepakatan antara gubernur dengan gubernur; atau gubernur dengan bupati/wali kota; atau antara bupati/wali kota dengan bupati/wali kota yang lain, dan atau gubernur, bupati/wali kota dengan pihak ketiga, yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban. Kerjasama antar Pemerintah Daerah ini semakin didorong dalam era desentralisasi terkait dengan usaha meningkatkan kemandirian daerah dalam penyelenggaraan pembangunan. Terkait dengan tujuan desentralisasi dan otonomi daerah dalam rangka peningkatan pelayanan publik, maka saat ini kerjasama antar Pemerintah Daerah juga didorong untuk mencakup

Penduduk Indonesia terkonsentrasi di Pulau Jawa-Bali, Dengan pola persebaran aparatur pemerintah daerah yang mengikuti beban pelayanan umum yang tidak didasarkan pada jumlah penduduk saja, tetapi tidak mengikuti rentang kendali atau jangkauan pelayanannya (luas wilayah) Upaya meningkatkan kemandirian daerah dalam penyelenggaraan pembangunan di era desentralisasi ini, Pemerintah mendorong upaya-upaya Kerjasama antar Pemerintah Daerah

(10)

sektor pelayanan publik, yang selama ini masih cenderung dipisahkan berdasarkan batas administrasi wilayah.

Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan kerjasama antar Pemerintah Daerah di Indonesia. Hal-hal tersebut diatur dalam PP No. 50 Tahun 2007, yang menjadi pedoman daerah dalam bekerja sama dan mengembangkan potensi daerahnya. Poin-poin kerjasama antar Pemerintah Daerah yang perlu disepakati antar subyek kerjasama (kepala daerah dan/atau pihak ketiga), meliputi hal-hal sebagai berikut:

1. Subjek kerja sama; 2. Objek kerja sama;

3. Ruang lingkup kerja sama; 4. Hak dan kewajiban para pihak; 5. Jangka waktu kerja sama; 6. Pengakhiran kerja sama; 7. Keadaan memaksa; dan 8. Penyelesaian perselisihan.

Kesepakatan tersebut harus dituangkan dalam surat perjanjian kerjasama (dapat dalam berbagai bentuk : Kesepakatan Bersama, Perjanjian Bersama, dan lain-lain), yang perlu mendapatkan persetujuan dari DPRD. Namun, jika kegiatan yang akan dikerjasamakan tersebut telah tercakup dalam APBD (telah dianggarkan), maka kerjasama tersebut dapat dilakukan tanpa melewati proses persetujuan Dewan.

6.1.4 Daerah Otonom Baru

Sejak diberlakukannya UU No. 22 dan No. 25 Tahun 1999, yang kemudian diganti dengan UU No. 32 dan No. 33 Tahun 2004, Indonesia mulai mencoba satu bentuk penyelenggaraan pemerintahan baru yang memberikan peran yang lebih besar kepada pemerintahan daerah. Oleh karena itu, penataan Daerah Otonom Baru (DOB) menjadi salah satu isu penting, yang sampai tahun 2008 masih menjadi fokus Pemerintah. Penataan DOB sampai saat ini masih sangat identik dengan pemekaran wilayah, belum ada yang mengarah pada penghapusan dan penggabungan wilayah seperti diatur dalam PP 129 tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah yang kemudian diganti dengan PP 78 tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah.

Pembentukan DOB sejak tahun 1999 sampai 2008 menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan, karena jumlah Provinsi di Indonesia meningkat sebesar 21%, jumlah Kabupaten meningkat sebesar 41%, dan jumlah Kota meningkat sebesar 37%. Selanjutnya, perkembangan

Penataan DOB sampai saat ini masih sangat identik dengan pemekaran wilayah, belum ada upaya-upaya yang mengarah pada penghapusan dan penggabungan wilayah seperti diatur dalam PP 129 Tahun 2000

(11)

pembentukan daerah otonom baru sejak tahun 1999 sampai tahun 2009 dapat dilihat pada gambar 6.1 berikut.

Gambar 6.1. Perkembangan DOB Tahun 1999-2009 Perkembangan Daerah Otonom Baru (DOB) 1999 - 2009

45 2 30 25 0 0 1 49 38 12 3 205 203 173 148 148 148 147 98 60 48 45 0 50 100 150 200 250 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Tahun Ju m lah Jumlah Kumulatif Sumber : Depdagri, 2008

Peningkatan tersebut sangat mempengaruhi penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, khususnya pemerintahan daerah, mengingat tujuan penyelenggaraan otonomi daerah seluas-luasnya adalah untuk: (1) meningkatkan kesejahteraan masyarakat, (2) pelayanan umum, (3) daya saing daerah. Untuk itu, sedang disusun Grand Design Penataan Otonomi Daerah, untuk menjawab berapa jumlah ideal Provinsi, Kabupaten, dan Kota di Indonesia untuk dapat menjalankan pemerintahannya dengan efektif dan efisien. Keberagaman wilayah administrasi DOB merupakan salah satu kondisi yang perlu diperhatikan, disamping isu lain yang bermunculan.

Selama pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah, pemekaran wilayah yang terpantau oleh Pemerintah adalah pemekaran Provinsi, Kabupaten dan Kota, karena penetapannya harus melalui Undang-undang. Di sisi lain, pembentukan kecamatan, kelurahan dan desa hanya ditetapkan melalui peraturan daerah, sehingga belum dapat terpantau secara terkini oleh Pemerintah, mengingat belum adanya suatu sistem pelaporan atau pencatatan peraturan daerah yang kontinyu di tingkat pusat. Berdasarkan pencatatan yang dilakukan oleh Departemen Dalam Negeri selama 6 bulan (Juli 2007 – Januari 2008), diketahui bahwa telah terbentuk 106 kecamatan, 177 kelurahan dan 399 desa.

Grand Design disusun untuk menjawab berapa jumlah ideal provinsi, kabupaten dan kota di Indonesia.

(12)

Pembentukan wilayah administrasi tersebut terkait dengan adanya pemekaran wilayah kabupaten/kota yang mensyaratkan beberapa persyaratan teknis seperti yang terangkum dalam skema berikut.

Gambar 6.2. Skema Pembentukan Kecamatan, Kelurahan dan Desa

Sumber : Bappenas, 2008

Jika dihitung secara rata-rata dari kecenderungan pemekaran kecamatan, kelurahan dan desa pada kurun waktu Juli 2007 sampai Januari 2008 di atas, maka dapat diasumsikan bahwa tiap bulannya terbentuk 18 kecamatan, 30 kelurahan dan 67 desa di Indonesia. Wilayah yang terbentuk tersebut menjadi cikal bakal bagi pemekaran wilayah yang lebih besar, yaitu kabupaten, kota, maupun provinsi, sehingga perlu mendapat perhatian khusus. Persyaratan cakupan wilayah DOB yang diatur dalam PP No. 78 Tahun 2007 dapat dipenuhi melalui pemekaran wilayah kecamatan, yang secara tidak langsung juga akan mendorong pemekaran kelurahan dan desa. Walaupun dalam ketentuannya, masih terdapat persyaratan lain, misalnya jumlah penduduk, luas wilayah, tingkat perekonomian, pelayanan publik serta sarana dan prasarana, namun pemekaran wilayah yang lebih kecil ini masih merupakan isu yang perlu ditindaklanjuti, terutama terkait dengan pengendaliannya.

Tingginya tingkat pemekaran kecamatan, kelurahan dan desa di Indonesia berpotensi menjadi cikal bakal bagi pemekaran wilayah yang lebih besar, yaitu kabupaten, kota, maupun provinsi

(13)

6.2. Perkembangan Pelaksanaan Pembangunan

Daerah

6.2.1 Perkembangan Pelaksanaan Penataan Ruang Wilayah

Penataan ruang memiliki peranan penting sebagai instrumen spasial dalam pembangunan. Tata ruang diharapkan menjadi pendorong untuk meningkatkan daya dukung wilayah nasional dalam rangka pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah. Adapun tujuan dari penyelenggaraan penataan ruang adalah:

(1) Instrumen pembangunan untuk mengarahkan pola pemanfaatan ruang dan struktur ruang yang disepakati bersama antara pemerintah dan masyarakat dengan memperhatikan kaidah teknis, ekonomis, dan kepentingan umum;

(2) Suatu upaya mewujudkan tata ruang yang terencana melalui suatu proses yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan ruang yang satu sama lain merupakan satu kesatuan yang saling terkait; dan

(3) Suatu upaya untuk mencegah perbenturan kepentingan antar sektor, daerah dan masyarakat dalam penggunaan sumberdaya manusia, sumberdaya alam, sumberdaya buatan melalui proses koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan ruang.

Landasan pelaksanaan penataan ruang adalah:

· Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang merupakan revisi dari Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang.

· Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) 2008-2028.

· Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur (Jabodetabekpunjur).

· Revisi Keppres No. 62 Tahun 2000 tentang Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN)

Peraturan Perundangan yang masih dalam proses penyusunan adalah:

· Draft 7 perpres RTR Pulau, yaitu RTR Pulau Sumatera, jawa-Bali, Kalimantan, Sulawesi, papua, dan kepualaun Maluku dan Nusa Tenggara dan Ranperpres RTR Kawasan Metropolitan Mamminasata dan Badan Kerjasama Pembangunan Metropolitan Mamminasata (BKPMM). Tata ruang diharapkan menjadi pendorong untuk meningkatkan daya dukung wilayah nasional dalam rangka pelaksanaan RPJP dan RPJM baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah

(14)

· Draft revisi PP. 69 Tahun 1996, tentang Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang dalam rangka kegiatan peninjauan kembali dan pendayagunaan rencana tata ruang untuk menjamin keterpaduan pembangunan antar wilayah dan antar sektor.

· Draft RPP amanat UU No. 26 Tahun 2007 yaitu RPP tentang penyelenggaraan penataan ruang, tingkat ketelitian peta dan RTR, penataan ruang kawasan pertahanan, pembangunan sumber daya, bentuk dan tata cara peran masyarakat,

Penataan ruang juga tidak terlepas dari bidang pertanahan, dimana tanah merupakan unsur vital yang merupakan modal dasar dalam pembangunan kehidupan berbangsa dan bernegara, terlebih sebagian besar rakyat Indonesia susunan masyarakat dan perekonomiannya bercorak garis yang menggantungkan hidup dari tanah. Oleh karena itu tanah perlu dikelola dan diatur secara nasional untuk menjaga keberlanjutan sistem kehidupan berbangsa dan bernegara.

Adapun dalam bidang pertanahan, terdapat beberapa isu strategis yang muncul, yakni: (1) Ketimpangan penguasaan, pemilikan, dan penggunaan tanah. (2) Belum memadainya kepastian hukum hak atas tanah. (3) Maraknya konflik dan sengketa tanah.

Fenomena yang perlu menjadi perhatian adalah adanya alih fungsi lahan dari penggunaan tanah pertanian ke non pertanian. Lahan di Indonesia saat ini sebesar 190,92 juta hektar. Jumlah ini terbagi menjadi dua yaitu kawasan terbangun sekitar 71,98% dan kawasan lindung sebesar 28,02%. Berdasarkan hasil analisa, bahwa proporsi terbesar lahan terdapat pada kategori: lahan tersedia dan dapat digunakan untuk budidaya yaitu sebesar 45,06%. Sementara proporsi paling kecil terdapat pada kategori lahan yang sudah dikuasai dan penggunaannya sesuai fungsi kawasan sebesar 13,94%. Penggunaan tanah di Indonesia terbagi menjadi penggunaan untuk hutan, non-pertanian, sawah, pertanian tanah kering, perkebunan, dan lain-lain. Dari data yang didapat, penggunaan tanah yang paling besar yaitu untuk hutan dan yang peling kecil adalah untuk sawah. Pengelolaan

penataan ruang tidak terlepas dari bidang pertanahan dengan isu alih fungsi lahan

(15)

Gambar 6.3. Ketersediaan Tanah Nasional

Sumber: BPN, 2008

Gambar 6.4. Penggunaan Tanah di Indonesia.

Sumber: BPN, 2008

6.2.2 Perkembangan Pelaksanaan Pembangunan Kawasan

Khusus dan Daerah Tertinggal

Perkembangan pelaksanaan Pembangunan kawasan khusus dan daerah tertinggal khususnya berkaitan dengan aspek (a) pengembangan wilayah tertinggal, (b) pengelolaan kawasan perbatasan dan pulau-pulau kecil terluar, dan (c) pengelolaan kawasan strategis nasional meliputi kawasan pelabuhan bebas, kawasan ekonomi khusus, dan kawasan pengembangan ekonomi terpadu. Ketiga kawasan tersebut diarahkan dalam rangka mendukung pencapaian daya saing perekonomian nasional dan daya saing domestik.

64,50% 9,35% 1,96% 4,64% 9,49% 10,06% Hutan Non pertanian Sawah

Pertanian tanah kering Perkebunan Lain-lain 14,46% 13,94% 24,41% 45,56%

Sudah ada penguasaan & penggunaan tanah tidak sesuai fungsi

Sudah ada penguasaan & penggunaan tanah sesuai fungsi

Tersedia fungsi lindung

(16)

A. Pengembangan Wilayah Tertinggal

Di dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJM) Nasional Tahun 2004-2009 (Perpres Nomor 7 Tahun 2005) telah diidentifikasi ada 199 daerah yang dikategorikan sebagai daerah tertinggal, yaitu daerah kabupaten yang masyarakat serta wilayahnya relatif kurang berkembang dibandingkan daerah lain dalam skala nasional. 199 daerah yang dikategorikan sebagai daerah tertinggal, yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, Papua, dan Nusa Tenggara Timur. Sebagian kecil daerah tertinggal terdapat di Pulau Jawa dan Bali. Bagian terbesarnya tersebar di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Berdasarkan sebaran wilayahnya, sebanyak 123 kabupaten atau (63%) kawasan tertinggal berada di Kawasan Timur Indonesia, 58 Kabupaten (28%) berada di Pulau Sumatera, dan 18 Kabupaten (8%) berada di Pulau Jawa dan Bali.

Di luar kategori wilayah tertinggal, terdapat sejumlah kawasan yang dapat kita sebut sebagai “kawasan paling tertinggal”. Kawasan ini dihuni oleh Komunitas Adat Terpencil (KAT), yaitu kelompok sosial budaya yang bersifat lokal dan terpencar. Pada umumnya, kawasan itu belum tersentuh oleh jaringan dan pelayanan sosial, ekonomi dan politik. Sementara itu, hampir seluruh pulau-pulau kecil terluar dan terdepan di dalam wilayah kedaulatan negara kita, yang berjumlah 92 pulau, termasuk pula di dalam kategori kawasan tertinggal.

Berbagai permasalahan sebagai penyebab suatu daerah kabupaten menjadi daerah tertinggal, secara dominan dikelompokkan ke dalam:

— Permasalahan aspek pengembangan ekonomi lokal yaitu keterbatasan pengelolaan sumber daya lokal dan belum terintegrasinya dengan kawasan pusat pertumbuhan;

— Permasalahan aspek pengembangan sumber daya manusia yaitu rendahnya kualitas sumber daya manusia;

— Permasalahan aspek kelembagaan, terutama rendahnya kemampuan kelembagaan aparat dan masyarakat;

— Permasalahan aspek sarana dan prasarana terutama transportasi darat, laut, dan udara; telekomunikasi, dan energi, serta keterisolasian daerah;

— Permasalahan aspek karakteristik daerah terutama berkaitan dengan daerah rawan bencana (kekeringan, banjir, longsor, kebakaran hutan, gempa bumi, dll) serta rawan konflik sosial.

Untuk mengatasi permasalahan pembangunan daerah tertinggal dilakukan strategi dasar melalui empat pilar:

(1) Pilar pertama, meningkatkan kemandirian masyarakat dan daerah tertinggal, dilakukan melalui: (1) pengembangan ekonomi lokal, (2) Perpres Nomor 7 Tahun 2005 telah mengidentifikasi ada 199 daerah yang dikategorikan sebagai daerah tertinggal “Kawasan paling tertinggal” adalah kawasan yang belum tersentuh oleh jaringan dan pelayanan sosial, ekonomi dan politik seperti 92 pulau kecil terluar dan terdepan

(17)

pemberdayaan masyarakat, (3) penyediaan prasarana dan sarana lokal/perdesaan, dan (4) peningkatan kapasitas kelembagaan pemerintah daerah, dunia usaha, masyarakat;

(2) Pilar kedua, mengoptimalkan pemanfaatan potensi wilayah, dilakukan melalui: (1) penyediaan informasi potensi sumberdaya wilayah, (2) pemanfatan teknologi tepat guna, (3) peningkatan investasi dan kegiatan produksi, (4) pemberdayaan dunia usaha dan UMKM, dan (5) pembangunan kawasan produksi;

(3) Pilar ketiga, memperkuat integrasi ekonomi antara daerah tertinggal dan daerah maju, dilakukan melalui: (1) pengembangan jaringan ekonomi antar wilayah, (2) pengembangan jaringan prasarana antar wilayah, dan (3) pengembangan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi daerah;

(4) Pilar keempat, meningkatkan penanganan daerah khusus yang memiliki karakteristik ‘keterisolasian ’, dilakukan melalui: (1) pembukaan keterisolasian daerah (pedalaman, pesisir, dan pulau kecil terpencil), (2) penanganan komunitas adat terasing, dan (3) pembangunan daerah perbatasan dan pulau-pulau kecil.

Berdasarkan evaluasi terhadap kebijakan alokasi dana perimbangan dan kinerja ekonomi daerah tertinggal, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Faktor atau dimensi yang paling dominan yang menyebabkan

ketertinggalan suatu daerah yaitu:

· belum adanya sikap profesionalisme dan kewirausahaan dari pelaku pengembangan kawasan di daerah;

· Masih lemahnya koordinasi, sinergi, dan kerjasama diantara pelaku-pelaku pengembangan kawasan, baik pemerintah, swasta, lembaga non pemerintah, dan masyarakat, serta antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota, dalam upaya meningkatkan daya saing produk unggulan;

· Jeterbatasan jaringan prasarana dan sarana fisik dan ekonomi dalam mendukung pengembangan kawasan dan produk unggulan daerah;

· Belum optimalnya pemanfaatan kerangka kerjasama antar wilayah maupun antar negara untuk mendukung peningkatan daya saing kawasan dan produk unggulan;

· Ketidakseimbangan pasokan sumberdaya alam dengan kebutuhan pembangunan;

· Permasalahan utama dari ketertinggalan pembangunan di wilayah perbatasan adalah arah kebijakan pembangunan kewilayahan yang selama ini cenderung berorientasi ’inward looking’ sehingga seolah-olah kawasan perbatasan hanya menjadi halaman belakang dari pembangunan negara;

· Pulau-pulau kecil yang ada di Indonesia sulit berkembang terutama karena lokasinya sangat terisolir dan sulit dijangkau. Diantaranya

(18)

banyak yang tidak berpenghuni atau sangat sedikit jumlah penduduknya, serta belum tersentuh oleh pelayanan dasar dari pemerintah.

2. Faktor pengungkit untuk mempercepat pembangunan daerah tertinggal:

· Peningkatan kapasitas fiskal merupakan titik awal dari percepatan pembangunan daerah tertinggal.

· Pembangunan infrastruktur sosial dan dasar agar berdampak optimal terhadap penegmbangan sumberdaya manusia, baik dari apsek ekonomi, pendidikan,dan kesehatan.

· Aksestabilitas masyarakat daerah tertinggal terhadap faktor produksi yang terdapat diwilayahnya maupun diluar wilayahnya. 3. Strategi percepatan pembangunan dari masing-masing daerah

tertinggal berdasarkan dimensi yang paling dominant dan factor pengungkit dari masing-masing dimensi ketertinggalan:

· Pembangunan daerah tertinggal harus dilakukan dengan pendekatan kewilayahan.

· Perlu dibedakan stratagi pembangunan daerah tertinggal yang ada di kepulauan dan pesisir dengan di non kepulauan dan non pesisir.

· Perlu dibedakan stratagi pembangunan daerah tertinggal yang ada diperbatasan dan non perbatasan.

4. Rencana kedepan strategi percepatan pembangunan daerah tertinggal:

· Pengembangan daerah tertinggal dapat dilakukan dengan strategi pokok sebagai berikut: (a) setiap daerah harus menentukan sektor unggulan; (b) pembangunan sumberdaya manusia disesuaikan dengan potensi sumberdaya alam lokal dan sesuai dengan standar industri, untuk meminimalkan atau menghilangkan konflik antara masyarakat lokal dengan industri; (c) pengembangan komoditas unggulan secara terfokus; (d) pemberian insentif fisik dan nonfisik bagi pengembangan sektor/komoditas unggulan, diantaranya berupa keringanan pajak dan retribusi, pembangunan prasarana dan sarana, kemudahan perijinan, dan kepastian hukum; (e) pembangunan industri berbasis sumberdaya alam; (f) meningkatkan produktivitas untuk menciptakan daya saing daerah; dan (g) membangun alur pasar yang jelas, terutama UKM, melalui perantara perusahaan besar.

· Fungsi Pemerintah adalah melakukan pemihakan kepada yang lemah, sehingga pembangunan tidak sekedar bersifat market-driven, sehingga diperlukan instrumen untuk mengkoordinasikan program dan anggaran dalam pengembangan daerah tertinggal, yang diantaranya dapat melalui peningkatan kerjasama antardaerah, sesuai PP Nomor 50 Tahun 2007, yang diperlukan untuk permasalahan daerah-daerah tertinggal.

(19)

· Permasalahan utama dalam pengembangan ekonomi lokal adalah pasarnya yang kecil sehingga strategi ekspor sangat penting untuk memperluas pasar, yang diantaranya: (a) fokus pada pengembangan berbasis klaster; dan (b) membangun kemitraan antara pemerintah dengan sektor swasta.

B. Pengelolaan Kawasan Perbatasan dan Pulau-Pulau Kecil Terluar Salah satu langkah pemerintah dalam mengantisipasi krisis ekonomi adalah melalui penguatan perekonomian wilayah-wilayah di kawasan perbatasan. Kawasan Perbatasan termasuk pulau-pulau kecil terluar memiliki potensi sumber daya alam (SDA) yang sangat besar yang dapat dioptimalkan pemanfaatannya untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Selain itu kawasan perbatasan merupakan kawasan yang sangat strategis bagi pertahanan dan keamanan negara.

Pengembangan perekonomian kawasan perbatasan perlu dilakukan secara seimbang dengan pengelolaan aspek keamanan yang juga sering muncul sebagai isu krusial di kawasan ini. Kegiatan eksploitasi SDA secara ilegal oleh pihak asing, seperti illegal logging dan illegal fishing, masih marak terjadi dan menyebabkan degradasi lingkungan hidup. Adanya kesamaan budaya dan adat antara masyarakat di kedua negara menyebabkan munculnya aktivitas lintas batas tradisional, tidak hanya pada pintu-pintu batas resmi yang telah disepakati namun juga pada jalur-jalur tidak resmi. Lemahnya sistem pengawasan di kawasan perbatasan menyebabkan tingginya tingkat kerawanan kawasan ini terhadap transnasional crime.

Permasalahan lain yang tidak dapat dilepaskan dalam pengelolaan kawasan perbatasan adalah belum disepakatinya penetapan wilayah negara di beberapa segmen batas darat dan laut melalui kesepakatan dengan negara tetangga. Kerusakan atau pergeseran sebagian patok-patok batas darat sering menyebabkan demarkasi batas di lapangan menjadi kabur. Perlu diperhatikan pula eksistensi pulau-pulau terluar yang menjadi lokasi penempatan Titik Dasar/Titik Referensi sebagai acuan dalam menarik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia.

Permasalahan lainnya yang mengemuka hingga saat ini adalah masih belum optimalnya koordinasi dan sinergitas antar pelaku yang menyebabkan lambannya upaya pengelolaan kawasan perbatasan. Hal ini disebabkan oleh belum berjalan optimalnya manajemen pengelolaan kawasan perbatasan yang terintegrasi, baik dalam aspek perencanaan maupun pelaksanaannya. Pengembangan perekonomian kawasan perbatasan perlu dilakukan secara seimbang dengan pengelolaan aspek keamanan yang sering muncul sebagai isu krusial di kawasan tersebut Permasalahan yang mengemuka dalam pengelolaan kawasan perbatasan adalah belum adanya kesepakatan penetapan batas wilayah negara serta kurang optimalnya koordinasi dan sinergitas antar pelaku

(20)

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP) 2005-2025 telah menetapkan arah kebijakan pengembangan wilayah perbatasan sebagai pintu gerbang aktivitas ekonomi dan perdagangan dengan negara tetangga. Pendekatan yang digunakan selain menggunakan pendekatan keamanan juga dengan menggunakan pendekatan kesejahteraan. Penjabaran lima tahun pertama dari kebijakan jangka panjang tersebut tertuang dalam Perpres No. 7 tahun 2005 mengenai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009 melalui Program Pembangunan Wilayah Perbatasan yang memiliki 2 tujuan, yaitu : (a) Menjaga keutuhan wilayah NKRI melalui penetapan hak kedaulatan NKRI yang dijamin oleh Hukum Internasional; (b) Meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat dengan menggali potensi ekonomi, sosial dan budaya serta keuntungan lokasi geografis yang sangat strategis untuk berhubungan dengan negara tetangga.

Program Pengembangan Wilayah Perbatasan memiliki 6 kegiatan pokok antara lain:

1. Penguatan pemerintah daerah dalam mempercepat peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat melalui: (a) peningkatan pembangunan sarana dan prasarana sosial dan ekonomi; (b) peningkatan kapasitas SDM; (c) pemberdayaan kapasitas aparatur pemerintah dan kelembagaan; (d) peningkatan mobilisasi pendanaan pembangunan;

2. Peningkatan keberpihakan pemerintah dalam pembiayaan pembangunan, terutama untuk pembangunan sarana dan prasarana ekonomi di wilayah-wilayah perbatasan dan pulau-pulau kecil melalui, antara lain, penerapan berbagai skema pembiayaan pembangunan seperti: pemberian prioritas dana alokasi khusus (DAK),public service obligation (PSO) dan keperintisan untuk transportasi, penerapan

universal service obligation (USO) untuk telekomunikasi, program listrik masuk desa;

3. Percepatan pendeklarasian dan penetapan garis perbatasan antar negara dengan tanda-tanda batas yang jelas serta dilindungi oleh hukum internasional;

4. Peningkatan kerja sama masyarakat dalam memelihara lingkungan (hutan) dan mencegah penyelundupan barang, termasuk hasil hutan (illegal logging) dan perdagangan manusia (human trafficking). Namun demikian perlu pula diupayakan kemudahan pergerakan barang dan orang secara sah, melalui peningkatan penyediaan fasilitas kepabeanan, keimigrasian, karantina, serta keamanan dan pertahanan;

5. Peningkatan kemampuan kerja sama kegiatan ekonomi antar kawasan perbatasan dengan kawasan negara tetangga dalam rangka mewujudkan wilayah perbatasan sebagai pintu gerbang lintas negara. Selain dari pada itu, perlu pula dilakukan pengembangan wilayah Pendekatan pengembangan wilayah perbatasan dilakukan melalui pendekatan keamanan dan pendekatan kesejahteraan

(21)

perbatasan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi berbasis sumber daya alam lokal melalui pengembangan sektor-sektor unggulan;

6. Peningkatan wawasan kebangsaan masyarakat; dan penegakan supremasi hukum serta aturan perundang-undangan terhadap setiap pelanggaran yang terjadi di wilayah perbatasan.

Mengacu kepada kebijakan dan program pembangunan jangka panjang dan jangka menengah, pemerintah telah mengeluarkan berbagai regulasi terkait dalam pengelolaan kawasan perbatasan. Mengantisipasi pesatnya pembangunan kawasan perbatasan dan paradigma baru dalam pengelolaan kawasan perbatasan, Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang telah menegaskan prioritas penataan ruang kawasan perbatasan sebagai kawasan strategis nasional dari sudut pandang pertahanan dan keamanan. Terdapat 5 fungsi yang menjadi dasar kebijakan penataan ruang kawasan perbatasan, yaitu : (1) kawasan perbatasan sebagai “beranda depan” negara dan pintu gerbang internasional ke negara tetangga, (2) penerapan keserasian prinsip pembangunan kesejahteraan dan pertahanan keamanan, (3) perlindungan terhadap kawasan konservasi dunia dan kawasan lindung nasional, (4) pengembangan ekonomi secara selektif sesuai potensi eksternal dan internal kawasan, dan (5) penciptaan kerjasama ekonomi yang menguntungkan antar negara dengan melibatkan pemerintah daerah, masyarakat, dan dunia usaha.

Undang-Undang Penataan Ruang juga menetapkan 10 kawasan strategis nasional pertahanan dan keamanan di perbatasan baik perbatasan darat maupun laut. Kawasan perbatasan darat terdiri dari 3 kawasan antara lain : (1) Kawasan Perbatasan Darat dengan Malaysia (Kalbar dan Kaltim), (2) Kawasan Perbatasan Darat dengan Papua Nugini (Papua), dan (3) Kawasan Perbatasan Darat dengan Timor Leste (NTT). Sedangkan kawasan perbatasan laut terdiri darl 7 kawasan, antara lain : (1) Kawasan Perbatasan Laut dengan Thailand/India/Malaysia (NAD dan Sumut) termasuk 2 Pulau Kecil Terluar, (2) Kawasan Perbatasan Laut dengan Malaysia/Vietnam/Singapura (Riau dan Kepri), termasuk 20 Pulau Kecil Terluar; (3) Kawasan Perbatasan Laut dengan Malaysia dan Filipina (Kaltim, Sulteng, dan Sulut), termasuk 18 Pulau Kecil Terluar; (4) Kawasan Perbatasan Laut dengan Palau (Maluku Utara, Papua Barat, Papua), termasuk 8 Pulau Kecil Terluar; (5) Kawasan Perbatasan Laut dengan Timor Leste dan Australia (Papua dan Maluku), termasuk 20 Pulau Kecil Terluar; (6) Kawasan Perbatasan Laut dengan Timor Leste dan Australia (NTT), termasuk 5 Pulau Kecil Terluar; dam (7) Kawasan Perbatasan Laut Berhadapan dengan Laut Lepas (NAD, Sumut, Sumbar, Bengkulu, Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB), termasuk 19 Pulau Kecil Terluar.

Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang telah menegaskan prioritas penataan ruang kawasan perbatasan sebagai kawasan strategis nasional (terdiri dari 10 KSN dan 26 PKSN) yang dilihat dari sudut pandang pertahanan dan keamanan

(22)

Gambar 6.5. Ilustrasi 10 Kawasan Perbatasan di Indonesia

Peraturan Pemerintah nomor 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional sebagai penjabaran Undang-Undang nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang telah menetapkan 26 Pusat Kegiatan Strategis Nasional di Perbatasan (PKSN). PKSN adalah kawasan perkotaan yang ditetapkan untuk mendorong pengembangan kawasan perbatasan negara yang ditetapkan dengan beberapa kriteria, antara lain : (1) pusat perkotaan yang berpotensi sebagai pos pemeriksaan lintas batas dengan negara tetangga; (2) pusat perkotaan yang berfungsi sebagai pintu gerbang internasional yang menghubungkan dengan negara tetangga; (3) pusat perkotaan yang merupakan simpul utama transportasi yang menghubungkan wilayah sekitarnya; dan/atau (4) pusat perkotaan yang merupakan pusat pertumbuhan ekonomi yang dapat mendorong perkembangan kawasan di sekitarnya. Pengembangan PKSN dimaksudkan untuk menyediakan pelayanan yang dibutuhkan untuk mengembangkan kegiatan masyarakat di kawasan perbatasan, termasuk pelayanan kegiatan lintas batas antarnegara.

Sebagai respon dan kebutuhan terhadap manajemen pengelolaan kawasan perbatasan secara terintegrasi, saat ini telah dikeluarkan Undang Undang nomor 43 tahun 2008 tentang Wilayah Negara yang mengamanatkan pengelolaan batas wilayah negara dan kawasan perbatasan. Undang-undang ini mengamanatkan pembentukan Badan Pengelola Nasional dan Badan Pengelola Daerah yang berwenang untuk : (1) menetapkan kebijakan program pembangunan perbatasan; (2) menetapkan rencana kebutuhan anggaran; (3) mengoordinasikan pelaksanaan; dan (4) melaksanakan evaluasi dan pengawasan.

(23)

Tabel 6.1. Daftar 26 Pusat Kegiatan Strategis Nasional di Kawasan Perbatasan

PKSN Kab/Kota PKSN Kab/Kota

1. Jagoibabang Bengkayang 14. Jayapura Jayapura (Kota)

2. Nangabadau Kapuas Hulu 15. Merauke Merauke

3. Paloh-Aruk Sambas 16. Batam Batam

4. Entikong Sanggau 17. Ranai Natuna

5. Jasa Sintang 18. Dobo Kepulauan Aru

6. Long

Pahangai Kutai Barat 19. Saumlaki Maluku TenggaraBarat

7. Long Nawan Malinau 20. Ilwaki

8. Nunukan Nunukan 21. Daruba Halmahera Utara

9. Simanggaris 22. Sabang Sabang

10. Long Midang 23. Kalabahi Alor

11. Atambua Belu 24. Dumai Dumai

12. Kefamenanu Timor Tengah

Utara 25. Tahuna Kepulauan Sangihe

13. Tanah

Merah Boven Digoel 26. Melonguane Kepulauan Talaud

Pemerintah secara khusus mengeluarkan pula regulasi mengenai pengelolaan pulau-pulau kecil terluar, melalui penerbitan Peraturan Presiden nomor 78 tahun 2005 mengenai pengelolaan pulau-pulau kecil terluar yang bertujuan untuk memberikan arahan kebijakan operasional dalam pengelolaan 92 pulau kecil terluar. Terdapat 3 misi utama dari Perpres 78 tahun 2005 yaitu : (1) Menjaga keutuhan NKRI, keamanan nasional, pertahanan negara dan bangsa, serta menciptakan stabilitas kawasan; (2) Memanfaatkan sumberdaya alam dalam rangka pembangunan berkelanjutan; (3) Memberdayakan masyarakat dalam rangka peningkatkan kesejahteraan dengan prinsip pengelolaan berdasarkan wawasan nusantara, berkelanjutan dan berbasis masyarakat, serta mengacu kepada Rencana Tata Ruang Wilayah.

Penerbitan berbagai produk kebijakan diatas diharapkan dapat semakin meningkatkan keberpihakan. keterpaduan dan sinergitas seluruh stakeholder, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, dunia usaha, maupun masyarakat, dalam melakukan pengelolaan kawasan perbatasan, sehingga percepatan pembangunan kawasan perbatasan dalam aspek kesejahteraan dan keamanan secara seimbang dapat terwujud.

Perpres 78 tahun 2005 mengenai pengelolaan pulau-pulau kecil terluar bertujuan untuk memberikan arahan kebijakan

operasional dalam pengelolaan 92 pulau kecil terluar melalui 3 misi utama

(24)

C. Pengelolaan Kawasan Strategis Nasional

Pengelolaan kawasan strategis dalam Buku Pegangan ini difokuskan informasinya pada 3 kawasan strategis nasional yaitu meliputi: (a) Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, (b) Kawasan Ekonomi Khusus, dan (c) Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu.

Langkah-langkah kebijakan yang telah dilaksanakan untuk pengembangan kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas (KPBPB) khusus untuk Sabang adalah melalui UU No. 37 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang menjadi Undang-Undang yang mulai efektif berlaku sejak tanggal 1 September 2000. Penetapan ini bertujuan untuk mendorong pembangunan Provinsi NAD dan daerah lain di Indonesia, dimana jangka waktu berlakunya Undang-undang ini adalah 70 tahun. Keputusan Presiden No. 191/M Tahun 2005 Tanggal 22 Desember 2005 tentang pejabat Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam selaku ExOfficio

menjadi Ketua Dewan Kawasan Sabang. Selain itu diterbitkannya UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, dimana dalam UU tersebut telah mengukuhkan dan mempertegas status dan kapasitas Sabang sebagai suatu kawasan yang bebas dari tata niaga, pengenaan bea masuk, pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah. Pengembangan Kawasan Sabang diarahkan untuk kegiatan perdagangan dan investasi serta kelancaran arus barang dan jasa.

Untuk KPBPB lainnya pemerintah melakukan perubahan UU No 36/2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas atau Perpu No 1/2007 menyangkut batas kawasan yang ditetapkan dengan PP, Jenis kegiatan di kawasan ditetapkan dengan PP, Pembentukan kawasan yang juga dengan PP, mengubah Perpu No 1/2007 menjadi UU No. 44 Tahun 2007 Tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, tersusunnya PP No. 46 Tahun 2007 tentang Penetapan Batam sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, PP No. 47 Tahun 2007 tentang Penetapan Bintan sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, PP No. 48 Tahun 2007 tentang Penetapan Karimun sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, tesusunnya Keppres No. 9 Tahun 2008 tentang Dewan Kawasan Batam, Keppres No. 10 Tahun 2008 tentang Dewan Kawasan Bintan, Keppres No. 11 Tahun 2008 tentang Dewan Kawasan Karimun, Perpres No. 30 Tahun 2008 tentang Dewan Nasional Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, dan tersusunnya Dewan Nasional dengan tugas menetapkan kebijakan umum dalam rangka percepatan pengembangan KPBPB sehingga mampu bersaing dengan kawasan sejenis di negara lain, membantu Dewan KPBPB dalam rangka pengelolaan KPBPB, termasuk

(25)

dalam upaya penyelesaian permasalahan strategis yang timbul dalam pengelolaan KPBPB, melakukan pengawasan atas pelaksanaan pengelolaan KPBPB, dan adanya Keputusan Menko Perekonomian selaku Ketua Dewan Nasional Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas No. KEP-35/M.EKON/05/2008 tentang Tim Pelaksana Dewan Nasional Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, dan telah tersusunnya

Master Plan Kawasan Batam 2008-2027 beserta Business Plan Otorita Batam 2008-2012 meski belum memiliki kekuatan hukum (belum disahkan).

Langkah-langkah kebijakan untuk pengembangan KAPET diantaranya sedang mengupayakan perbaikan Keppres 150/2000 tentang BP KAPET menjadi Perpres tentang Revitalisasi Pengelolaan KAPET yang berisi kejelasan komitmen Pemerintah terhadap pengembangan KAPET kedepan dengan merevitalisasi kebijakan KAPET, perbaikan sistem kelembagaan Badan Pengembangan di pusat dan Badan Pengelola di daerah, bentuk kelembagaan pengelola menjadi Badan Pengusahaan yang profesional, kejelasan kewenangan dan peran Badan Pengembangan dengan Badan Pengusahaan di daerah, mekanisme koordinasi sinkronisasi keterpaduan program lintas sektor dan pendanaan di pusat dan daerah, keorganisasian tugas dan fungsi Badan Pengembangan dan Badan Pengusahaan, mengupayakan rencana percepatan penyediaan sarana infrastruktur di KAPET.

Langkah kebijakan untuk KEK adalah dibentuknya Tim Nasional Pengembangan KEKI melalui SK Menko Perekonomian No 21/M.Ekon/03/2006 yang dirubah menjadi Keputusan Menko Perekonomian No. 33/2008 tentang Timnas KEKI, dan sedang dilakukan pembahasan tentang RUU tentang KEK antara Pemerintah dengan DPR.

Langkah-langkah kebijakan untuk pengembangan KESR oleh Seknas KSER adalah membina memelihara dan melanjutkan komitmen dengan berbagai pihak terkait antar negara anggota KESR baik secara bilateral maupun multilateral, memberikan informasi dan konsultasi bagi Provinsi dan Kabupaten/Kota yang terkait dengan kegiatan KESR, melakukan korespondensi dan materi tentang partisipasi Indonesia dalam kerjasama ekonomi, dan koordinasi dengan instansi terkait baik di pusat maupun daerah, menyelesaikan Country Papers bagi anggota delegasi Indonesia

dan Chairman Notes tentang hal yang relevan bagi

ISOM/SOM/MM/Summit, mempersiapkan pendapat dan saran bagi

Annotated Agenda dan program untuk ISOM/SOM/MM/Summit dan kegiatan lainnya, menyiapkan atau membagikan

Highlight/Laporan/Updates/Persetujuan yang ditetapkan di berbagai meeting atau petunjuk pimpinan, menyiapkan rencana kegiatan tahunan Indonesia dalam rangka kerjasama ekonomi sub-regional, melaksanakan

(26)

monitoring terhadap tindakan yang dilakukan untuk menghadapi hal-hal yang timbul dari berbagai rapat koordinasi/working group/cluster, dan juga melaksanakan asistensi dalam pengorganisasian meeting, dimana Indonsia menjadi tuan rumah.

Disamping itu peran yang dilakukan oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia dalam kaitannya dengan pengembangan KESR adalah mendukung Tim Diskusi dan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia terutama dalam bidang Ketenagakerjaan dan Perburuhan meliputi upaya-upaya memberikan informasi tentang Peraturan Perundang-Undangan tentang Ketenagakerjaan termasuk Peraturan Dasar yang terkait dengan KESR, mengajukan usulan agar hambatan mobilitas worker migration

dapat dihilangkan tanpa mengurangi aspek keamanannya seperti fiskal keberangkatan keluar negeri, adanya MOU tentang prosedur penggunaan tenaga kerja asing yang lebih jelas dan aman antar negara pemasok dan negara penerima, memberikan informasi tentang ketersediaan dan kebutuhan tenaga kerja baik dari segi jumlah maupun mutu SDM-nya.

6.2.3 Perkembangan Pelaksanaan Pembangunan Wilayah

Perkotaan dan Perdesaan

Potret perkembangan wilayah perkotaan di Indonesia tidak jauh berbeda dari gambaran perkembangan pembangunan wilayah yang ada. Jumlah dan proporsi penduduk perkotaan terus meningkat, namun bagian terbesar penduduk perkotaan masih berada di Jawa. Proporsi penduduk yang tinggal di wilayah perkotaan di Indonesia meningkat dari sekitar 22 persen di tahun 1980 menjadi 31 persen dan 42 persen di tahun 1990 dan 2000, dan diperkirakan akan terus meningkat menjadi lebih dari 60 persen di tahun 2025. Proporsi penduduk perkotaan yang tinggal di Jawa tidak banyak berubah dari 69.8 persen di tahun 1980 menjadi 69.2 persen dan 69.1 persen di tahun 1990 dan 2000, masih selalu lebih besar dibandingkan dengan mereka yang menghuni kota-kota di luar Jawa. Jumlah dan proporsi

penduduk perkotaan terus meningkat, namun bagian terbesar penduduk pekotaan masih berada di jawa

(27)

Jumlah penduduk perkotaan > perdesaan 34.95 65.05 39.61 43.95 47.97 51.7 56.01 64.09 69.1 77.73 82.6 60.39 56.05 52.03 48.3 43.99 35.91 30.9 17.4 22.27 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 1970 1980 1990 1995 2002 2005 2010 2015 2020 2025 Perdesaan Perkotaan tahunPerdesaan(% pddk) Perkotaan(% pddk)

Sumber : Bappenas (2005), Pustra (2008), diolah dengan asumsi growth 1.5%/thn

PERKOTAAN

Struktur dan hirarkhi kota-kota kita masih belum beranjak banyak dari keadaan beberapa dekade lalu di mana wilayah Jakarta dan sekitarnya masih menduduki urutan pertama pusat pertumbuhan, diikuti Surabaya, Bandung, Semarang, Palembang, Medan, Makassar, Padang, Malang, Lampung dan seterusnya. Jumlah kota-kota kecil relatif lebih sedikit bila dibandingkan dengan jumlah kota menengah.

Kota Metropolitan Kota Besar Kota Sedang Kota Kecil 58 % 14 % 15 % 12 %

Ketidakseimbangan Jumlah Kota Menengah dan Kecil : Kota Kecil Belum BerkembangèKeterkaitan

antara desa-kota kecil masih kurang

Di satu sisi kota-kota di Indonesia memiliki potensi dan daya tarik yang amat besar dengan keunikan lokasi dan pemandangan alam serta kekayaan dan keragaman sosial dan budaya, termasuk keragaman seni, hasil bumi, dan kuliner. Namun di sisi lain, berbagai permasalahan dalam bidang pembangunan perkotaan masih harus dihadapi di antaranya adalah: (1) rendahnya kualitas pelayanan publik, (2) terbatasnya tingkat penyediaan perumahan yang layak, (3) rendahnya akses terhadap lahan

(28)

perkotaan, (4) masih tingginya tingkat kemiskinan di perkotaan, serta (5) masalah-masalah yang terkait dengan proses otonomi daerah dan demokratisasi pembangunan, seperti pembentukan kota-kota baru yang menambah jumlah agenda pembangunan perkotaan, adanya konflik kewenangan antara pusat dan daerah, terjadinya krisis solidaritas lintas wilayah..

Di samping itu masih terdapat pula masalah lainnya seperti (6) keterkaitan kota-desa masih lemah, (7) belum terbangunnya keterkaitan spasial dan mata rantai produksi antara pertanian dan suplai inputnya antara kawasan perkotaan dan perdesaan, (8) belum optimalnya kerjasama antar Pemerintah Daerah dalam pengelolaan kawasan perkotaan, (9) menurunnya daya dukung kota besar dan metropolitan akibat pembangunan yang tidak terkendali, (10) belum maksimalnya peran kota kecil dan menengah dalam mendorong pertumbuhan wilayah, , serta (11) rentannya kota-kota di Indonesia terhadap dampak perubahan iklim dan bencana alam.

Ancaman Perubahan Iklim :

Krisis air baku, sanitasi, energi , dan pangan, serta Peningkatan banjir 343 Bencana di Indonesia pada 1907 – 2007 terbanyak adalah banjir, gempa

bumi, gunung berapi , longsor dan epidemi

8 8 5 3 3 1 08 37 45 8 9 10 0 3 0 60 90 120 Ke k er i n gan G em pa bu m i E pi de m i Ba nj i r Lo ngs or G u nu ng Be r api Ts una m i Keb ak a r an hu t an A ng i n t opan

Polusi Udara, Air Dan Suara Merupakan Degradasi Lingkungan Perkotaan Terbesar

Sesuai dengan misi yang harus diemban dalam pembangunan nasional jangka panjang, maka arah pembangunan perkotaan dapat dirinci ke dalam program-program pembangunan yang menekankan pentingnya hal-hal sebagai berikut:

(29)

1. Orientasi pada keragaman etnis & budaya, serta pembangunan berkelanjutan. 2. Penciptaan lapangan kerja formal serta kesejahteraan pekerja informal. 3. Peningkatan Iklim investasi yang menarik

4. Pengembangan IKM di luar Pulau Jawa.

5. Peningkatan sarana dan prasarana dalam kota, antar kota, antara kota dan desa berorientasi ramah lingkungan dan hemat energi

6. Penyediaan kebutuhan hunian untuk mewujudkan kota tanpa permukiman kumuh.

7. Peningkatan pelayanann dasar (industri, perdagangan, transportasi, pariwisata, dan jasa)

MISI ARAH PEMBANGUNAN PERKOTAAN

Bangsa yg berdaya saing

Pembangunan yg merata dan berkeadilan

Indonesia asri dan lestari

Negara kepulauan yg mandiri, maju,kuat

1. Menyeimbangkan pertumbuhan antar kota 2. Peningkatan keterkaitan kegiatan ekonomi antar kota 3. pengendalian pemanfaatan ruang

4. Peningkatan peran dan fungsi kota-kota menengah dan kecil 5. Peningkatan kegiatan ekonomi kota ramah lingkungan 6. Peningkatan kemampuan keuangan daerah perkotaan 7. Pengembalian fungsi kawasan

8. Penataan kembali pelayanan fasilitas publik 9. Pemenuhan kebutuhan pelayanan dasar perkotaan

1. Identifikasi dan pemetaan daerah-daerah rawan bencana 2. Kemampuan penerapan sistem deteksi dini bencana alam 3. pembangunan yang berkelanjutan

4. Pemanfaatan jasa ramah lingkungan

5. Pemulihan dan rehabilitasi kondisi lingkungan hidup 1. Pengembangan kota berwawasan bahari

2. Pengembangan industri kelautan

3. Pengurangan dampak bencana pesisir dan pencemaran

Kebijakan bidang perkotaan didasarkan pada paradigma pembangunan perkotaan yang melihat kota sebagai suatu kesatuan kawasan/wilayah. Dengan melihat kota sebagai kesatuan ini, maka kota harus dilihat dari dua sisi, yaitu kota sebagai “mesin” pertumbuhan nasional dan regional serta kota sebagai tempat tinggal yang nyaman, layak huni dan berkelanjutan. Mengembangkan kota sebagai mesin pertumbuhan nasional dan regional dapat dilakukan melalui upaya-upaya seperti peningkatan daya saing kawasan perkotaan, pengembangan dan pengoptimalan peran kota kecil dan menengah sebagai pendukung ekonomi perdesaan, peningkatan kerjasama antar Pemerintah Daerah dalam pengelolaan kawasan perkotaan (Keterkaitan antar kota), peningkatan manajemen perkotaan di kawasan metropolitan serta peningkatan fungsi koordinasi lintas wilayah dan lintas sektoral serta peningkatan dan revitalisasi peran dan fungsi kawasan metropolitan. Sedangkan untuk mengembangkan kota sebagai tempat tinggal yang nyaman, layak huni dan berkelanjutan dapat dilakukan melalui upaya-upaya seperti peningkatan pelayanan perkotaan, pengendalian pertumbuhan penduduk kota-kota besar dan kawasan metropolitan (tidak hanya dengan mengendalikan kelahiran tetapi juga dengan mengembangkan kota kecil dan menengah untuk mencegah migrasi masuk ke kota besar dan kawasan metropolitan, development capacity pembangunan berkelanjutan kawasan metropolitan, serta peningkatan penataan ruang kawasan metropolitan.

Prioritas pembangunan perkotaan tahun 2010 diarahkan untuk melaksanakan upaya-upaya sebagai berikut :

(30)

1. Pengembangan Sistem Informasi Perkotaan

a. Pengkajian dan Pengembangan Sistem Informasi melalui Penyusunan Data dan Informasi peran masing-masing kota PKN, PKW, PKL dam PKSN dalam sistem perkotaan nasional

2. Pengembangan Badan Kerjasama Antar Kota a. Fasilitasi Pengelolaan Kawasan Perkotaan

3. Penyusunan Pedoman, Rencana dan Evaluasi Pedoman Pembangunan Kota /Antar Kota

a. Penataan Lingkungan Kawasan Perkotaan Metropolitan, Besar, Menengah dan Kecil.

b. Fasilitasi Penguatan Sistem Perkotaan Nasional

c. Penataan Lingkungan Kawasan Pinggiran Kota (Fringe Area) 4. Pengembangan Sistem Kelembagaan Ekonomi Perkotaan

a. Pengembangan dan Revitalisasi Sistem Kelembagaan Ekonomi Perkotaan

5. Pengembangan Infrastruktur Kota

a. Pembangunan Sektor Perkotaan (USDRP) 6. Pengembangan Ekonomi Kota Kecil dan Menengah

a. Pendampingan Penyusunan Rencana Program Investasi Jangka Menengah (RPIJM) Kabupaten/Kota

7. Pengembangan Sistem Informasi Pembangunan Kota Besar dan Metropolitan

a. Penyiapan Jakstra 20 th Pengembangan Perkotaan Nasional

8. Penyusunan Rencana, Kebijakan dan Pedoman Pengendalian Pembangunan Kota-Kota Besar dan Kawasan Metropolitan

a. Penyiapan Rencana Tindak Pengembangan Kota-Kota Besar

b. Penyusunan RTR, rencana tindak dan pembentukan kelembagaan kawasan metropolitan

c. Penyusunan kebijakan dalam pengendalian pertumbuhan kota-kota satelit di sekitar kota-kota inti metropolitan sesuai dengan fungsi dan daya dukung lingkungan

d. Pengendalian dan Pengembalian Fungsi Kawasan Metropolitan dan Kota Besar melalui peremajaan pada pusat kegiatan perkotaan (pasar tradisional, kawasan pendidikan, kawasan kesehatan).

Meskipun terdapat kecenderungan peningkatan jumlah dan prosentase penduduk di wilayah perkotaan, sebagian besar wilayah Indonesia sebenarnya merupakan kawasan perdesaan. Namun demikian, tingkat kesejahteraan penduduk pedesaan secara umum masih relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan rata-rata penduduk perkotaan. Sebagian besar penduduk perdesaan bekerja di sektor pertanian dengan pola kepemilikan lahan yang semakin sempit. Jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan di perdesaan juga masih lebih tinggi daripada penduduk miskin perkotaan.

Tingkat kesejahteraan penduduk pedesaan secara umum masih relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan penduduk perkotaan

(31)

WILAYAH PERDESAAN

87.61 70.07 91.58 88.63 91.54 90.61 96.68 Sum atera Jawa dan Bali Kalim antan Sulawes i Maluku Nusa Tenggara Papua Sumber: BPS, PODES 2006

82,31 % wilayah Indonesia adalahkawasan perdesaan

membangun Indonesia = membangun perdesaan = membangun pertanian

PERTANIAN: WAJAH DOMINAN PERDESAAN

60% 1% 9% 0% 14% 0% 7% 4% 5%

Pertanian Pertambangan Industri Pengolahan Listrik, Gas, Air Bangunan Perdagangan Angkutan Jasa& Keuangan Jasa Kemasyarakatan

Konsentrasi Penduduk Miskin Di Pedesaan Tinggi Meskipun Cenderung Menurun

Tahun Kota Desa Total

1996 9,42 24,59 34,01 1998 17,60 31,90 49,50 1999 15,64 32,33 47,97 2000 12,30 26,40 38,70 2001 8,60 29,30 37,90 2002 13,30 25,10 38,40 2003 12,20 25,10 37,30 2004 11,40 24,80 36,10 2005 12,40 22,70 35,10 2006 14,49 24,81 39,30 2007 13,56 23,61 37,17

Dalam Juta Orang

0 10 20 30 40 50 60 NAD S um at er a U tar a S um at er a B a ra t Ri au Jam bi Ben gk ul u La m pung Ban gka B el itu ng Ke pu lau an R iau D K I Ja ka rta Ja w a Bar at Jaw a Ten ga h D I Y og yak ar ta Jaw a T im ur B ant en Bali NTB NTT S ul aw esi U tar a G o ro nt al o S ul aw esi B a ra t M al uku M al uk u Ut ar a Pa pua B ar at Pa pua

2007 Kota 2007 Desa 2008 Kota 2008 Desa

% Penduduk Miskin lebih tinggi di perdesaan dibandingkan perkotaan berdasarkan propinsi (2007 & 2008)

Kawasan perdesaan menghadapi permasalahan-permasalahan internal dan eksternal yang menghambat perwujudan kawasan permukiman perdesaan yang produktif, berdaya saing dan nyaman. Adapun permasalahan tersebut secara garis besar meliputi: (1) masih terbatasnya alternatif lapangan kerja berkualitas, (2) masih lemahnya

(32)

keterkaitan kegiatan ekonomi baik secara sektoral maupun spasial, (3) masih timbulnya hambatan distribusi dan perdagangan antar daerah, (4) tingginya resiko petani dan pelaku usaha di perdesaan akibat kerentanan terhadap bencana alam, hama, dan fluktuasi harga, (5) rendahnya aset yang dikuasai masyarakat perdesaan, (6) rendahnya tingkat pelayanan prasarana dan sarana perdesaan, (7) rendahnya kualitas SDM di perdesaan yang sebagain besar masih berketerampilan rendah, (8) meningkatnya konversi lahan pertanian subur dan beririgasi teknis ke peruntukan lain, (9) meningkatnya degradasi sumber daya alam dan lingkungan hidup, (10) masih lemahnya kelembagaan dan organisasi berbasis masyarakat, (11) masih lemahnya koordinasi lintas bidang dalam pengembangan kawasan perdesaan, (12) masih rendahnya tingkat adopsi teknologi perdesaan.

Proporsi RT pengguna listrik

&

jalan utama aspal

Region Proporsi RT dengan listrik Proporsi Jalan utama aspal Sumatra 0.57 0.46 Jawa-Bali 0.64 0.63 Kep. Nusa 0.21 0.44 Kalimanta 0.43 0.32 Sulawesi 0.46 0.50 Kep. Malu 0.39 0.36 Papua 0.48 0.17

Region LK di desa Akses kredit

Sumatra 0.06 0.20 Jawa-Bali 0.43 0.64 Kep. Nusa 0.27 0.41 Kalimanta 0.07 0.29 Sulawesi 0.13 0.33 Kep. Malu 0.02 0.13 Papua 0.01 0.04

(33)

Bertolak dari misi yang harus diemban dalam pembangunan nasional jangka panjang, maka arah pembangunan perdesaan dapat dirinci ke dalam program-program pembangunan yang menekankan pentingnya hal-hal sebagai berikut:

1. peningkatan penciptaan lapangan kerja di sektor formal serta kebijakan yg mendukung sektor informal

2. peningkatan efisiensi dan modernisasi dalam pengolahan sektor primer (pertanian, kelautan dan pertambangan) 3. Peningkatan nilai tambah sektor primer melalui

pengembangan agribisnis (rantai nilai)

4. Peningkatan daya saing melalui diversifikasi produk 5. Penguatan industri dan jasa pendukung sektor primer

MISI ARAH PEMBANGUNAN PERDESAAN

Bangsa yg berdaya saing

Pembangunan yg merata dan berkeadilan

Indonesia asri dan lestari

Negara kepulauan yg mandiri, maju,kuat

1.Pengembanganagroindustriberbasis pertanian dan kelautan; 2.Peningkatankapasitas SDM

3.Pengembangan jaringaninfrastrukturpenunjang kegiatan produksi di kawasan perdesaan dan kota-kota kecil;

4.Peningkatanakses informasi, pemasaran, lembaga keuangan, kesempatan kerja, dan teknologi;

5.Pengembangansocial capital

6.Intervensi harga dankebijakanpro pertanian 1.Pengelolaan berbasis keragaman SDA lokal 2.Mitigasi bencana alam

3.Peningkatan nilai tambah dari SDA berbasis keunikan lokal 1.Pengembangan industri kelautan (pariwisata dan agroindustri)

Dengan perkiraan pencapaian sasaran pada RPJMN 2004-2009 sampai dengan tahun 2008, maka rencana dan langkah tindak lanjut pembangunan untuk periode selanjutnya adalah sebagai berikut:

1. Peningkatan penciptaan lapangan kerja di sektor formal serta kebijakan yg mendukung sektor informal.

2. Peningkatan efisiensi dan modernisasi dalam pengolahan sektor primer (pertanian, kelautan dan pertambangan).

3. Peningkatan nilai tambah sektor primer melalui pengembangan agribisnis (rantai nilai).

4. Peningkatan daya saing melalui diversifikasi produk. 5. Penguatan industri dan jasa pendukung sektor primer.

6. Pengembangan agroindustri berbasis pertanian dan kelautan. 7. Peningkatan kapasitas SDM.

8. Pengembangan jaringan infrastruktur penunjang kegiatan produksi di kawasan perdesaan dan kota-kota kecil.

9. Peningkatan akses informasi, pemasaran, lembaga keuangan, kesempatan kerja, dan teknologi.

10. Pengembangansocial capital.

(34)

12. Pengelolaan berbasis keragaman SDA lokal 13. Mitigasi bencana alam.

14. Peningkatan nilai tambah dari SDA berbasis keunikan lokal. 15. Pengembangan industri kelautan (pariwisata dan agroindustri).

Dalam rangka pengembangan ekonomi lokal dan daerah, berbagai permasalahan yang masih harus dihadapi adalah: (1) Rendahnya akses terhadap infrastruktur fisik pendukung kegiatan ekonomi produktif dan masih rendahnya kuantitas dan kualitas infrastruktur bagi pengembangan ekonomi, (2) Rendahnya akses terhadap data dan informasi yang mendukung percepatan pengembangan ekonomi lokal dan daerah, (3) Belum kondusifnya pengembangan usaha ditinjau dari iklim berusaha, persaingan usaha, dan keberlanjutan sumberdaya produk unggulan daerah, sehingga dianggap perlu untuk mengoptimalkan regulasi dalam moneter, fiskal, dan perizinan, (4) Belum terintegrasi program-program lintas sektoral di dalam lingkup pengembangan ekonomi lokal dan daerah, (5) Rendahnya kinerja kelembagaan dan kemampuan sumberdaya manusia di pusat dan daerah dalam upaya mempercepat pembangunan, (6) Belum optimalnya kerjasama antar daerah, antar kementerian/ lembaga dengan daerah, dan kemitraan antara pemerintah dan dunia usaha, (7) Kurang terakomodasinya aspirasi dan kondisi daerah dalam desain program, (8) Terbatasnya kapasitas dan jumlah fasilitasi serta jangka waktu fasilitasi di dalam sistem yang mendukung pengembangan ekonomi lokal, (9) Belum maksimalnya dan terintegrasikannya program-program pembangunan yang terkait dengan pengembangan kawasan, seperti agropolitan, Kawasan Sentra Produksi (KSP), Kota terpadu Mandiri (KTM), dan lainnya dan cenderung bersifat sektoral.

Dengan perkiraan pencapaian sasaran pada RPJMN 2004-2009 sampai dengan tahun 2008, maka rencana dan langkah tindak lanjut pembangunan untuk periode selanjutnya adalah sebagai berikut:

1. Pengembangan ekonomi lokal dan daerah diharapkan berjalan dengan memperhatikan perubahan paradigma pembangunan, terutama dengan adanya perubahan paradigma kepemerintahan berdasarkan desentralisasi dan otonomi daerah.

2. Pengembangan ekonomi lokal dan daerah diharapkan sebagai sebagai insiatif daerah yang dilakukan secara partisipatif melalui peningkatan nilai tambah sektor primer melalui pengembangan agribisnis dengan menekankan pada pendekatan pengembangan bisnis (business development).

3. Pengembangan dan peningkatan jaringan infrastruktur penunjang kegiatan produksi, distribusi dan pemasaran.

4. Peningkatan keterkaitan kegiatan ekonomi di wilayah perkotaan dan di perdesaan secara sinergis dalam suatu ‘sistem wilayah pengembangan ekonomi’.

(35)

5. Perluasan dan diversifikasi aktivitas ekonomi dan perdagangan (nonpertanian) di pedesaan yang terkait dengan pasar di perkotaan 6. Pengembangan ekonomi lokal diarahkan melibatkan seluruh

stakeholder khususnya dunia usaha dan pemerintah daerah baik dalam penganggaran maupun perencanaan, agar tercapai keberlanjutan.

7. Pengembangan ekonomi lokal dan daerah diarahkan untuk mengisi dan mengoptimalkan kegiatan ekonomi yang dilakukan berdasarkan pengembangan wilayah berkelanjutan melalui pengembangan komoditi unggulan yang berbasis sumber daya alam dan berbasis pengetahuan.

8. Kerjasama sama antar daerah dilakukan dalam rangka pengembangan ekonomi lokal terutama untuk peningkatan promosi investasi dan

regional marketing.

9. Pengembangan sistem informasi pengembangan ekonomi lokal dan daerah dalam rangka mendukung promosi investasi dan regional marketing.

Gambar

Gambar 6.1. Perkembangan DOB Tahun 1999-2009
Gambar 6.2. Skema Pembentukan Kecamatan, Kelurahan dan Desa
Gambar 6.3. Ketersediaan Tanah Nasional
Gambar 6.5. Ilustrasi 10 Kawasan Perbatasan di Indonesia
+2

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini menguji pengaruh dukungan sosial terhadap hubungan antara komunikasi organisasi dan stres kerja. Di samping mengurangi stres kerja, adanya dukungan sosial

1) Memberikan informasi proyek yang akan dikerjakan. 2) Menentukan waktu dan lamanya pengerjaan proyek. 4) Memberikan gambaran langkah–langkah pengerjaan proyek. 5)

Peningkatan nilai tambah melalui kegiatan penjaringan nilai pada lada didefinisikan sebagai kegiatan mengoptimalkan proses budidaya dan pengolahan lada dengan tujuan untuk

Dengan bantuan Jendral Kementrian Perekonomian, Mohammad Sediono, diumumkan ke seluruh Indonesia bahwa mulai tengah malam pada waktu yang telah ditentukan, tiap

Sehingga menurut peneliti “Bakti Pada Negeri” merupakan tagline dari Djarum Foundation yang menggambarkan keseluruhan isi pesan dalam iklan TVC Djarum

Bab ini terdiri dari latar belakang masalah penelitian yang mengungkapkan secara rasional tentang keresahan-keresahan yang ditemui penulis dalam langkah diplomasi

Akibatnya arus listrik akan mengalir lebih lama sehingga korban jatuh dalam keadaan syok yang mematikan Sedangkan pada tegangan tinggi, korban segera terlempar atau

UPT Medan Utara terdiri dari 5 seksi, yaitu Seksi Bagian Tata Usaha, Seksi Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Seksi Pendapatan Lain-Lain (PPL), Seksi Pengambilan dan Pemanfaatan