• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PENUTUP. untuk semua manusia normal. Rasa malu dan rasa bersalah berkembang sesuai dengan usia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB V PENUTUP. untuk semua manusia normal. Rasa malu dan rasa bersalah berkembang sesuai dengan usia"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan

Rasa malu dan rasa bersalah merupakan suatu kenyataan eksistensial, tak terhindarkan untuk semua manusia normal. Rasa malu dan rasa bersalah berkembang sesuai dengan usia manusia. Apakah semua kesalahan yang dilakukan manusia, menyebabkan perasaan malu dan bersalah? Dapat ditegaskan bahwa baik, kesalahan hukum maupun kesalahan moral dapat menyebabkan adanya perasaan malu dan bersalah.

Karena sebab utama dari perasaan malu dan bersaalah adalah kesalahan yang dilakukan oleh manusia itu sendiri, maka perasaan malu dan bersalah ini merupakan suatu perasaan yang objektif. Artinya perasaan malu dan bersalah itu muncul karena ada kesalahan.

Korupsi sebagai satu penyakit sosial sesungguhnya adalah satu kesalahan hukum dan kesalahan moral yang harus dihindari manusia zaman ini. Sebab bagaimana pun juga, korupsi sudah menjadi salah satu masalah serius, yang sedang dihadapi masyarakat, bangsa dan Negara Indonesia. Hal ini jelas tampak dalam kenyataan dewasa ini bahwa banyak aspek kehidupan di negara ini telah terserang “virus” korupsi dan keterlibatan banyak pihak dalam menyuburkan pertumbuhan korupsi. Karena itu, korupsi di Indonesia tidak lagi sekedar hanya sebagai sebuah tindak pidana kriminal, melainkan telah menjadi tata laku, kebiasaan, yang secara dashyat dapat mengubah watak masyarakat dan nilai-nilai hidup yang mendasarinya.

Justru karena korupsi tidak lagi dilihat sebagai satu kesalahan hukum dan moral yang mengganggu rasa malu dan rasa bersalah inilah, negeri ini makin terpuruk di mata dunia dan juga anak-anak bangsa makin menderita. Korupsi disebabkan oleh rendahnya perasaan malu dan bersalah para pelaku. Semakin tinggi perasaan malu dan bersalah seseorang, maka semakin

(2)

rendah bahkan tidak ada sama sekali tindakan korupsi. Sebaliknya makin rendah rasa malu dan rasa bersalah, makin besar peluang tindakan korupsi.

Para koruptor melakukan korupsi sebagai alternatif maupun sebagai “kebiasaan”. Korupsi sebagai suatu alternatif selalu dihubungkan dengan ketidakpuasan manusia untuk memiliki harta dan gengsi sosial. Jika seseorang merasa tidak memiliki harta yang banyak, terjadilah aksi berupa korupsi. Demikian pula jika seseorang memiliki gengsi sosial karena tiadanya kemampuan untuk memiliki apa yang dimiliki orang lain, misalnya mobil atau rumah mewah, di situlah muncul aksi berupa korupsi untuk menutupi semua “kekurangan” yang ada pada dirinya.

Di lain pihak, korupsi yang dilakukan sebagai suatu “kebiasaan”, sebenarnya melegitimasi adanya tanda “kematian” hati nurani para pelaku. Dasar pemikirannya adalah bahwa hati nurani sebagai soko guru moral tidak lagi berfungsi untuk mengatakan bahwa korupsi secara prinsipiil sebenarnya buruk, sehingga orang secara terus- menerus melakukannya dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Di sini dinilai bahwa rasa malu yang positif sungguh telah tiada dalam diri dan rasa bersalah yang sehat telah hilang entah kemana. Orang-orang yang tidak lagi memiliki rasa malu dan rasa bersalah ketika melakukan korupsi, sesungguhnya telah ‘immun’ (kebal) dan boleh dibilang telah mati suara hatinya.

Mestinya ada rasa optimistik dalam diri bahwa korupsi dapat diatasi dengan baik kalau memang ada rasa malu dan bersalah dalam diri setiap orang. Optimisme kita pun perlu didasarkan pada kebenaran dan keyakinan bahwa hati nurani setiap orang hanya dapat mati bersama dengan kematian setiap pribadi. Dengan pemahaman dan keyakinan ini maka hati nurani masih bisa dibina, diberdayakan, dan didayafungsikan dari tanda-tanda “kematiannya”, sehingga orang lebih sadar diri saat melakukan korupsi. Lebih dari itu, ia harusnya merasa

(3)

bangga, kalau sesuatu itu benar-benar baik dan merasa malu dan bersalah kalau sebaliknya tindakan itu adalah satu kesalahan dan pelanggaran.

Oleh karena itu, untuk melawan tindakan korupsi yang semakin marak di Indonesia ini perlu ditumbuhkembangkan rasa malu dan rasa bersalah sebab, rasa malu dan rasa bersalah merupakan kekuatan dalam diri manusia untuk menghindarkan dirinya dari kebiasaan melakukan korupsi. Rasa malu dan rasa bersalah menjadi “media” untuk meminimalisir tindakan korupsi.

5.2 Usul-Saran

Bertolak dari uraian dalam keseluruhan tulisan ini, penulis memberikan beberapa usul dan saran berikut:

Pertama, fenomena korupsi di Indonesia seakan telah menjadi budaya. Banyak orang yang tidak merasa bersalah dan merasa malu walaupun telah melakukan korupsi. Karena itu, supaya digiatkan pendidikan nilai di sekolah-sekolah formal. Bahkan perlu, pemerintah melalui Departemen Pendidikan dan kelurga menyusun kurikulum untuk mata pelajaran atau mata kuliah antikorupsi. Dengan demikian, upaya pemberantasan korupsi bukan hanya dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi tetapi tetapi juga oleh para pendidik. Usulan ini sangat baik karena jika hal ini dilakukan maka kita semua sebenarnya sudah memberantas korupsi sejak dini. Kedua, suara hati memegang peran penting dalam mengatasi korupsi. Suara hati akan memerintah bila tindakan yang akan dilakukan itu benar dan sebaliknya suara hati akan melarang bila tindakan yang akan dilakukan itu salah. Oleh karena itu, pendidikan untuk mempertajam kepekaan suara hati perlu dijalankan di semua lini, keluarga, bangsa dan religius. Pendidikan

(4)

suara hati akan langsung menyentuh aspek terdalam dari manusia sehingga korupsi akan dicegah sejak dini.

Ketiga, menciptakan lingkungan yang kondusif bagi berkembangnya kejujuran baik dalam kelompok, lembaga pendidikan maupun masyarakat umum.

Kempat, kerja sama yang baik antara pemerintah dan kaum religious akan sangat membantu dalam hal penyadaran terus menerus tentang rasa malu dan rasa bersalah. Misalnya, penyuluhan tentang peran hati nurani secara berkala.

Kelima, kesadaran dari pribadi pelaku korupsi sangat membantu upaya pengurangan aksi korupsi di Indonesia dan bangsa lain. Kesadaran akan dirinya sebagai makluk yang bermartabat, yang memiliki rasa malu dan rasa bersalah, akan berimbas serius pada tindakan korupsi yang hendak dilakukannya.

(5)

DAFTAR PUSTAKA

A. KAMUS

Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, (Jakarta; PT Gramedia, 2000) Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta; 1988, hal 802)

Poerwadarminta W.J.S, KamusUmumBahasaIndonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976, )

B. BUKU-BUKU

Burhanuddin Salam, H. , Etika Sosial, (Jakarta; PT Rineka Cipta, 1997) Coleman, Vernon, Rasa Bersalah, (Jakarta: Arcan,1992)

Colbert, Ty C, Mengapa Saya Merasa Bersalah Ketika Saya tidak Melakukan Kesalahan, (Terj). Joca Seomarko, (Batam; Gospel Press,2001)

Crapps, Robert W, Perkembangan Kepribadian dan Keagamaan, (Terj) Agus M. Hardjana, (Yogyakarta; Kanisius,1994)

Dabut, Darius, Menuju Masyarakat Anti Korupsi Perspektif Kristiani, (Jakarta; Depertemen Komonikasi dan Informatika RI, 2006)

Hamroque John dan Krastel Joseph, Quilt : How to deal with it. (Liquor Publication, 1986) Hardiman, F. Budi, Filsafat Modern, (Jakarta; PT Gramedia Pustaka Utama, 2004)

Haryatmoko, Etika politik dan Kekuasaan, (Jakarta; PT Kompas Media Nusantara, 2003) Heuken, Adolf ,(ed.), Berdosa Demi Cinta, (Jakarta: PT. Enka Parahiyangan, 1999) Juanita dan Ryan Dale, Pemulihan Dari Rasa Bersalah, (Malang; Saat, 2000)

(6)

Meninger, A. William, OSCO, Menjadi Pribadi Utuh, (Terj) Mgr. I. Suharyo, (Yogyakarta; Kanisius, 1999)

Moekijat, Asas-asas Etika, (Bandung; Mandar Maju, 1995)

Norrmore, Bruce and Bill Counts, Bebas dari Rasa Bersalah, (Jakarta: PT Rineka Cipta,1999) Pope, Jeremy, Strategi Memberantas Korupsi, (Jakarta; Yayasan obor Indonesia, 2003) Purwa Hadiwardoyo, MSF., Moral dan Masalahnya, (Yogyakarta; Kanisius, 1990) Rachels, James, Filsafat Moral, (Yogyakarta; Kanisius, 2004)

Rosidi, Ajip, Korupsi dan Kebudayaan, (Jakarta; PT Dunia Pustaka Jaya, 2006)

Surachim, S.H, M.H. dan Dr. Suhandi Cahaya Strategi dan Teknik Korupsi Mengetahui untuk Mencegah, (Jakarta; Sinar Grafika, 2011)

Suseno, Frans Magnis, 13 Model Pendekatan Etika, (Yogyakarta; Kanisius, 1998)

Umar, Musni dan ilyas Syukri, Korupsi Musuh Bersama, (Jakarta; Lembaga Pencegah Korupsi, 2004)

Zamroni, dkk, Buku Panduan Kuliah Kerja Nyata Pemberdayaan Hukum Masyarakat Pengguna Pengadilan, 2009)

C. MANUSKRIP

Nahak, Yoseph, Psikologi Perkembangan, (Kupang; FFA, 2009)

Saku, Dominikus, Kenalilah Diri Sendiri- Carilah Kebenaran Hakiki, (Penfui. St Mikhael,2000)

(7)

Sebatu , Mario Advencio, Korupsi dan Tanggung Jawab Politik,( Seminari Santo Paulus Mataloko, 2006)

Mali, Leonardus, Melawan “Banalisasi” Korupsi: Melampaui “Yang Biasa” Lumen Veritatis, vol.4,No.1, April-Oktober, (Kupang;FFA, 2010)

Tjung, Primus, KKN dan Perjuangan Mahasiswa, Vox Seri 44/1,2/2000

E. Internet

Hhtp://pergiwatuwetan9’s Blog.htm /Jakarta, 27 Februari 2007

http://www.psikoterapis.com/?en-emosi-malu./Jakarta,16 Maret 2009 .248 http://www.telaga.org/rasa-bersalah

http://bimbingan-konseling.page.tl/rasa-malu.htm Krisman Purwoko, “Perkembangan Korupsi” dalam

Referensi

Dokumen terkait

Induksi magnetik di titik yang berjarak 10 cm dari sebuah penghantar lurus. dan panjang adalah 2x10 -6 Wb

Hal ini dapat diberi pengertian bahwa karyawan yang melanggar peraturan-peraturan yang telah ditetapkan organisasi atau tidak menyesaikan tugas dan tanggung jawab yang diembannya

Sikap sinkritisme dalam agama yang menganggap bahwa semua agama adalah benar tidak sesuai dan tidak relevan dengan keimanan seseorang muslim dan tidak relevan dengan

PENGARUH BUDAYA BAHASA PERTAMA DALAM PERKEMBANGAN BELAJAR BAHASA INDONESIA SEBAGAI BAHASA ASING: STUDI KASUS PADA PENUTUR BAHASA JEPANG. Apriliya Dwi Prihatiningtyas

Problem : Sebuah mesin pada manufacturing shop membuat sebuah parts setiap 5 menit, yang kemudian diperiksa oleh seorang inspektor dengan waktu 1 – 7 menit (4 +- 3) untuk setiap

9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan akan sangat memberatkan pemohon, karena adanya keharusan/ kewajiban bagi peserta didik untuk menanggung biaya penyelenggaran

[r]

Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat inteligensi dengan tingkat kreativitas pada siswa kelas akselerasi di SMUN 78