TRANSFORMASI PUPUH KE DALAM TUBUH
Ni Putu Tina Ratna Puspa Dewi, A.A.Ayu Mayun Artati, Ni Nyoman Mulyati
Program Studi Seni Tari, Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia Denpasar
E-mail: Tinapuspadewi@yahoo.co.id
Abstrak
Tari Linggar Petak merupakan sebuah garapan yang terinspirasi dari pupuh Ginada Linggar Petak, namun hanya mengedepankan padalingsa (aturan-aturan) yang terdapat dalam pupuh tersebut. Karya ini berbentuk trio, yaitu ditarikan oleh tiga orang penari wanita yang mampu dan wajib menguasai olah vokal. Karya ini juga berpijak pada gerak-gerak kesenian tradisi, yaitu Dramatari Arja antara lain adalah igel langse, tanjek kado, pejalan Condong, pejalan Galuh, milpil yang kemudian dikembangkan dan terdapat beberapa pengolahan gerak lainnya sesuai eksplorasi dan imajinasi penata. Begitu juga dengan tata busana, dalam karya ini menggunakan kamen yang cara penggunaannya seperti sarung, namun jika sudah terpakai akan terlihat seperti kamen pada biasanya, selain itu terdapat ankin, lamak (penggunaan lamak terinspirasi dari lamak Condong dalam tokoh Arja), tutup dada, dan gelang. Begitu juga halnya dengan musik iringan, menggunakan barungan gamelan baru yang memiliki instrumentasi yang dapat dikatakan hampir sama dengan barungan gamelan yang ada di Bali, tetapi dilakukan pengembangan dalam jumlah nada dalam satu tungguh. Karya ini memiliki struktur yang di dalamnya menyimbolkan padalingsa dari pupuh Ginada yang terdiri dari 8a, 8i, 8a, 8u, 8a, 4i, 8a dan akan dilakukan pengolahan elemen gerak yang berpatokan pada jumlah suku kata dari setiap baris dalam satu bait pupuh. Misalnya pada aturan 8a, akan dilakukan pengolahan gerak yang menyimbolkan 8a, kemudian pada aturan 8i terdapat pola gerak baru, dan seterusnya. Dari ketujuh aturan tersebut, terdapat empat pola gerak yang berbeda yang akan dituangkan ke dalam garapan yaitu pola gerak dari aturan 8a, 8i, 8u, dan 4i. Kemudian gerak-gerak tersebut dirangkai menjadi pola gerak terstruktur. Pada proses penciptaan karya Linggar Petak dilalui beberapa tahapan, diantaranya adalah tahap penjajagan, tahap percobaan, dan tahap pembentukan. Namun terdapat beberapa kesulitan yang dialami, yakni dalam perbendaharaan gerak, mengatur jadwal latihan, dan mengakhiri sebuah karya yaitu proses pada bagian penutup dalam sebuah karya. Tetapi melalui tiga tahapan ini, akhirnya dapat terwujud karya tari Linggar Petak
Abstract
Linggar Petak Dance is an art work which inspired from Pupuh Ginada Linggar Petak, but only put forward the padalingsa (the rules) contained in the pupuh. This work is shaped a trio group, which is danced by three female dancer and they also must master the vocal. This work is also based on the movements of traditional art, namely Dramatari Arja such as igel langse, tanjek kado, pejalan Condong, pejalan Galuh, milpil, which is then developed and there are several other motion processing according to the exploration and imagination of the creator. So that also with the dressmaking, in this work they use kamen whish means the dancer wear it like a glove, but if it is already in use it would look like kamen on normally, besides there are ankin, lamak (the use of
lamak is inspired from Condong in Arja figures), tutup dada, and gelang. Likewise with the music accompaniment, using a new barungan gamelan that has the instrumentation that can be said almost the same as the barungan gamelan in Bali, but done in the development of the number of tunes in one tungguh. This work has a structure in which symbolizes the cone of the pupuh ginada consisting of 8a, 8i, 8a, 8u, 8a, 4i, 8a and will be carried out the processing of motion elements based on the number of syllables of each line in one stanza. For example, in a rule of 8a, will be doing a processing of motion which symbolizes the 8a it self, then on rule 8i there is a new motion pattern, and so on. Of the seven rules, there are four different patterns of motion that will be poured into the claim that is the motion of the rules 8a, 8i, 8u, and 4i. From those separated motions pattern, the creator will coupled them into a structured motion pattern. In a process of the creation of work Linggar Petak, there are some stages that the sreator steps such as, is the assessment stage, trial phase, and the stage of formation. While the process the creator face some difficulties. They are, (1) treasury of the motions, (2) arranging the schedule, and (3) end the work process which is a process on the cover in a work. By stepping those three stages, finally can be realized Linggar Petak Dance.
Keyword: Ginada Linggar Petak, Padalingsa, Dramatari Arja, Trio group
Pendahuluan
Ginada merupakan salah satu jenis dari tembang macapat (pupuh) yang terdapat di Bali. Jika dilihat dari jenis, pupuh ini terbagi lagi menjadi beberapa jenis, yaitu pupuh Ginada Dasar, Ginada Siwagati, Ginada Lumrah, Ginada Eman-Eman, Ginada Candrawati, Ginada Jayaprana, Ginada Basur, Ginada Pakangraras, dan Ginada Linggar Petak. Dari sekian jenis yang ada, penata sangat tertarik dengan pupuh Ginada Linggar Petak. Hal itu bersumber dari pengalaman penata selama bergelut di bidang olah suara, khususnya tembang macapat.
Keseringan penata dalam menyanyikan pupuh ini, menjadikan penata merasa benar- benar larut dalam melodi yang ada didalamnya. Pada setiap melodi dan wilet yang tergabung, mengangkat keinginan penata untuk lebih mendalami dan memahaminya. Ginada Linggar Petak memiliki makna dalam setiap lirik dan melodinya. Makna yang terkandung memberikan nilai positif dan rasa ketertarikan untuk melantunkan melodi dari setiap baris lagunya. Alunan melodi dari Ginada Linggar Petak ini sangat menyentuh perasaan penata dan membawa penata kepada memori-memori pengalaman hidup yang pernah penata alami, seperti kehilangan seseorang yang kita sayang untuk selamanya.
Ketika itu penata melantunkan pupuh Ginada Linggar Petak sampai akhirnya penata menangis ketika terlalu larut dalam kejadian dan makna serta melodi dari Ginada Linggar Petak. Ginada Linggar Petak seakan-akan memberikan rangsangan yang sangat kuat dan mendorong keinginan penata untuk mengeksplor lebih jauh dari nilai, padalingsa (aturan-aturan) dan juga kandungan filsafat yang ada didalamnya untuk dijadikan sebuah karya tari. Oleh sebab itu, sumber kreatif dari karya tugas akhir penata adalah karya sastra tembang macapat, yaitu Ginada Linggar Petak, dengan mengedepankan konsep padalingsa dalam penentuan pola gerak
terstruktur. Sesuai judul yang diangkat, tulisan ini akan membahas tentang pola garap menggunakan padalingsa yang terdapat di dalam pupuh Ginada Linggar Petak.
Padalingsa dalam setiap pupuh yang ada dalam tembang macepat Bali sudah diatur dan ditentukan sesuai dengan nama pupuh yang digunakan. Seperti pupuh Ginada yang memiliki padalingsa yaitu 8a, 8i, 8a, 8u, 8a, 4i, 8a. Sesuai aturan baku pupuh Ginada ini, penata ingin melakukan pengolahan elemen gerak yang berpatokan pada jumlah suku kata dari setiap baris dalam satu bait pupuh. Berdasarkan jumlah suku kata dalam setiap baris tersebut, penata ingin membuat pola-pola gerak yang disesuaikan dengan jumlah suku kata yang ada dalam setiap baris kalimat tersebut (sesuai dengan aturan atau padalingsa yang terdapat dalam pupuh Ginada). Oleh sebab itu, penata akan mendapatkan tujuh (7) pola gerak baku yang akan diolah dan dikembangkan sesuai dengan sistem pace-periring dan wilet yang ada dalam sistem tembang macapat. Untuk bisa bereksperimen dalam penempatan ketujuh pola-pola gerak yang sudah baku tersebut kedalam sistem padalingsa pupuh Ginada Linggar Petak. Harapannya adalah pembentukan pola gerak yang mengacu kepada sistem pace periring dan wilet dalam penciptaan karya tari sesuai dengan aturan baku yang terdapat dalam pupuh Ginada Linggar Petak.
Berdasarkan pengalaman penata dalam menyanyikan Ginada Linggar Petak, penata akan kembali bereksplorasi dengan diri penata sendiri terkait rasa yang ditimbulkan pada saat menyanyikannya.
Keyakinan itu muncul karena karya seni dijaman sekarang ini (termasuk karya tari) adalah sebuah pemaknaan atas pengalaman hidup seseorang. Jadi karya tari ini akan mencerminkan pemaknaan atas perjalanan hidup penata sendiri. Penata pernah mengalami dan sangat merasakan pada saat melantunkan pupuh tersebut, mungkin karena terlalu menghayati makna dari setiap baris
pupuhnya dan wilet yang dinyanyikan.
Alasan penata mengangkat Ginada Linggar Petak adalah untuk menggali potensi diri.
Dalam hal ini penata berkeinginan untuk mengeksplorasi diri dan bereksperimen dalam hal mencipta, sehingga dapat mengetahui sejauhmana kemampuan penata dalam berkesenian, khususnya dalam mencipta karya tari.
Proses Kreatif
Menciptakan sebuah karya seni khususnya tari, sudah tentu melewati proses kreatif dan berbagai tahapan. Proses kreativitas adalah kemampuan kita untuk berkomunikasi dengan sumber-sumber yang ada dalam diri pencipta, suara batin yang mengendalikan serta menuntun terjadinya suatu bentuk yang diungkapkan (Dibia, 1999:
78). Keberhasilan sebuah karya pasti tergantung pada proses terciptanya karya tersebut. Pada proses tersebut penata memiliki kebebasan untuk menafsirkan hal- hal apa saja yang menjadi faktor dari dalam maupun dari luar dirinya, sehingga dapat menghadirkan ide dan gagasan yang dianggap dapat mendukung terwujudnya karya seni sesuai ide dan tujuan yang ingin dicapai.
Mewujudkan sebuah karya yang memiliki identitas adalah suatu keharusan dalam mencipta sebuah karya tari. Hal itu sangat penting karena identitas tersebut yang akan menunujukan originalitas penata dalam berkarya. Dalam menemukan identitas tersebut, sudah tentu dihadapkan dengan tantangan dan banyak kesulitan. Salah satunya adalah ketika penata memikirkan sesuatu untuk dituangkan ke dalam sebuah garapan, belum tentu apa yang dipikirkan dapat tersampaikan dengan jelas ketika membawanya ke dalam sebuah karya tari.
Oleh karena itu, perlu adanya banyak pencarian untuk perubahan-perubahan yang akan terjadi selanjutnya.
Pada proses produksi karya atau mencipta karya, terdapat beberapa hal yang dijadikan dasar pijakan untuk menyalurkan pikiran. Hal ini akan sangat berkaitan dengan proses kerja kreatif yang akan dilakukan sebagaimana yang biasa dilakukan oleh para pakar dalam proses kerja kreatifnya. Alma Hawkins dalam bukunya yang berjudul Creating Trough Dance yang dialih bahasakan oleh Sumandiyo Hadi, menjelaskan tentang beberapa tahapan dalam mencipta karya tari, yaitu tahap penjajagan (exsplorasi), tahap percobaan (improvisasi), dan tahap pembentukan (forming).
1. Penjajagan (Exploration)
Tahap penjajagan merupakan tahap awal dalam proses penciptaan karya seni. Akar dari semuanya adalah ketertarikan penata pada suatu ketika mempelajari sebuah tembang macapat (pupuh). Ketika penata bingung untuk memikirkan dan menentukan ide, tema, dan konsep garapan, langkah awal yang penata jalankan adalah melakukan proses wawancara mengenai pengertian konsep garapan dan proses kreatif. Karena sebelum penata masuk lebih dalam lagi ke suatu karya tari, penata harus mengerti apa yang dimaksud konsep garapan, dan seperti apa
tahapan yang harus dilewati dalam menentukan proses kreatif. Penata melakukan wawancara dengan I Kadek Wahyudita tentang proses kreatif dalam mencipta sebuah karya tari. Dari hasil wawancara penata mendapat informasi tentang proses kreatif dalam membuat suatu garapan, serta penjelasan tentang struktur garap. Selain itu, penata berkonsultasi tentang ide yang akan penata gunakan dalam karya. Disini penata menemukan ide yang terinspirasi dari tembang Bali, yaitu tembang macepat, yang disebut dengan pupuh. Dari pupuh yang penata ketahui, penata sangat
tertarik dengan salah satu dari tembang tersebut, yaitu pupuh Ginada. Seperti yang penata ketahui dan penata lihat dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, banyak terdapat karya yang menggunakan vokal dalam penyajian karyanya. Mengetahui hal tersebut, dalam penyajian karya, penata juga ingin melakukan olah vokal dan menyajikan sebuah karya yang berbeda, agar tidak terkesan biasa dalam suatu karya yang di dalamnya terdapat olah vokal. Oleh karena itu, penata melakukan tahap wawancara dengan Wayan Sudirana, untuk mengetahui apa saja yang dapat diolah dari pupuh Ginada tersebut. Selain itu, penata juga melakukan wawancara dengan I Wayan Diana Putra menanyakan prihal alunan melodi pupuh Ginada yang dapat diolah agar tidak terkesan monoton.
Pada karya tari yang penata ciptakan, semua bersumber dari pupuh Ginada, yaitu Ginada Linggar Petak. Dari judul yang digunakan yaitu Linggar Petak, penata mencari refrensi buku di perpustakaan ISI Denpasar, dan Pusdok Kebudayaan Provinsi, guna mencari dan memperkuat arti dari kata Linggar Petak itu sendiri. Setelah mencari sumber pustaka, penata juga melakukan apresiasi dengan menonton salah satu karya yang sempat dipentaskan di Ubud, karena dalam karya ini, di dalamnya berisi gending-gending pupuh, tujuan penata menonton adalah untuk mengetahui bagaimana cara pengolahan tembang macepat ke dalam sebuah karya tari.
Selain itu, penata juga melakukan observasi di Art Centre, dalam parade Dramatari Arja.
Disana penata dapat mengetahui wilet-wilet yang digunakan dalam pupuh khususnya pupuh Ginada. Dalam observasi tersebut, penata juga ingin menggarap sebuah pola gerak terstruktur yang terinspirasi dari gerak- gerak Dramtari Arja yang akan dikembangkan, kemudian dituangkan ke dalam sebuah karya baru. Selain itu, penata mencari sumber refrensi di Youtube mengenai bagaimana cara seorang penggarap
melakukan eksplorasi dengan 3 orang penari (Trio), karena dalam karya penata menggunakan 3 orang penari. Selain itu penata juga mencari refrensi gerak dari video- video Dramatari Arja, untuk dijadikan sumber dari gerak yang akan digarap. Dalam hal ini, mode penyajian yang akan penata gunakan adalah simbolis, yaitu menyimbolkan aturan padalingsa yaitu 8a, 8i, 8a, 8u, 8a, 4i, 8a, ke dalam sebuah gerak tari.
2. Tahap Percobaan (improvisasi) Dalam tahap percobaan, dilakukan pencarian pola-pola gerak dari gerak-gerak yang terdapat dalam Dramatari Arja. Sebelum melakukan proses latihan dengan pendukung, penata mencoba melakukan pengolahan gerak dengan bersumber dari gerak Arja, misalnya gerak nayung pada tokoh Condong, gerak ngentungan langse, gerak milpil, gerak metanganan, dan tanjek kado. Dari sekian gerak yang penata gunakan, penata melakukan pengolahan dan pengembangan.
Penata mencoba mencari desain-desain gerak baru dari pengembangan gerak yang sudah ada tersebut. Sebelum penata mencoba menuangkan gerak dengan pendukung, penata melakukan kegiatan latihan pribadi, tujuannya ketika mengadakan latihan bersama pendukung, penata bisa langsung menuangkan gerak tanpa berpikir panjang untuk merangkai gerak lagi, karena hal tersebut dapat menyita waktu yang sangat lama, dan kurang efisien. Sebelum ke tahap penuangan gerak, hal yang pertama penata sampaikan adalah penata menyampaikan konsep garap apa yang penata gunakan dalam karya, dan menyampaikan sedikit gambaran tentang struktur dan bentuk dari karya penata, tujuannya agar pendukung paham dengan apa yang penata ciptakan nantinya. Dalam karya ini juga terdapat vokal, yaitu menggunakan pupuh Ginada Linggar Petak yang aturannya terdiri dari 8a, 8i, 8a, 8u, 8a, 4i, 8a. Dari pace- periring atau nada dasar dalam pupuh Ginada, penata mencoba melakukan pengolahan dan pengembangan melodi
dengan tetap berpotakan pada aturan yang sudah ada.
Setelah tahap ini berlangsung, penata melakukan bimbingan pertama pada Bulan Oktober, minggu kedua. Pada bimbingan pertama, penata melakukan presentasi konsep karya kepada dosen pengajar, agar dosen mengetahui apa yang akan penata ciptakan, dan untuk mengetahui apakah konsep yang penata gunakan acc atau tidak. Setelah konsep di acc, penata melakukan bimbingan pada akhir bulan Oktober, dengan memperlihatkan gerak-gerak dasar yang akan penata gunakan nantinya, kemudian diberikan masukan untuk memperbaiki.
Setelah melakukan proses latihan, tidak banyak kendala yang penata dapatkan, namun kendala yang paling sering penata alami adalah tidak seimbangnya pengolahan tubuh penata dengan pendukung, misalnya dari segi agem, dan lain sebainya.
3. Tahap Pembentukan (Forming) Tahap Pembentukan merupakan tahap terakhir dari proses penggarapan.
Tahap ini dilakukan untuk memadukan gerak menjadi satu kesatuan yang dirangkai dan disatukan dengan melodi dari iringan gamelan. Dibutuhkan latihan yang sangat rutin untuk memantapkan penjiwaan diri dengan gerak, tetuek yang dibawakan serta penyesuaian dengan iringan gamelan, agar tercipta harmonisasi antara gerak, penari, dan gamelan. Setelah berjalannya tahap ini, penata menemukan kendala, antara lain adalah
Perbendaharaan gerak
Gerak merupakan wadah untuk mentransfer imajinasi seorang penari ke dalam sebuah karya tari. Hal ini merupakan kendala awal penata sebelum mengawali untuk masuk ke penuangan gerak. Mengapa penata sangat kesulitan, karena sejujurnya pengalaman penata dalam mencipta sebuah karya sangat kurang, hal itu juga mengakibatkan keterbatasan gerak yang penata miliki. Ketika
penata ingin menuangkan gerak, penata sangat kesulitan mencari gerak baru dan kesulitan melanjutkan desain gerak selanjutnya, serta kesulitan dalam menggabungkan gerak.
Jadwal latihan
Melihat dari pengalaman kakak kelas sebelumnya, mengatur jadwal latihan penari memang sedikit sulit, karena masing-masing individu memiliki kesibukan yang berbeda, apalagi menggunakan pendukung yang masih dalam Sekolah Menengah Atas. Pada proses ini, penata juga mengalami kendala dalam mengatur jadwal latihan. Atas kendala yang penata hadapi, penata mencoba mematokkan jadwal latihan yaitu 3 kali dalam seminggu, namun hal tersebut juga kurang berhasil, karena terkadang pendukung mendapatkan kelas tambahan dalam perkuliahan dan adanya perkumpulan organisasi yang dilaksanakan secara dadakan di dalam Sekolah Menengah Atas. Oleh karena itu, penata tetap menggunakan pola latihan 3 kali dalam seminggu, namun dengan hari yang berbeda-beda. Selain itu, hambatan yang penata dapatkan disini adalah, kurang disiplinnya penari. Ketika penata menetapkan latihan pada jam 3 sore, namun hal tersebut bisa ngaret sampai setengah jam bahkan sejam. Hal tersebut yang membuat latihan tidak efisien dan memakan waktu yang lama.
Mengakhiri
Ketika penata sudah mulai memasuki bagian akhir dalam karya, penata masih bisa melewati dengan lancar, namun ketika tiba pada bagian ending, penata memiliki hambatan dalam pembentukan ending, karena ending merupakan bagian yang harus ditata dengan baik sehingga tidak menurukan kwalitas karya yang sudah berjalan sekian menit.
Beberapa hal tersebut yang menjadi penghambat dalam proses terutama pada proses pembentukan.
Deskripsi Garapan
Linggar Petak terdiri dari dua kata, yaitu Linggar dan Petak. Kata Linggar artinya tempat, Gunung, atau Siwa, dan Petak artinya putih. Jadi, Linggar Petak berarti ajaran atau perwujudan suci dari Dewa Siwa. Linggar Petak merupakan sebuah tari kreasi baru yang diciptakan tidak berdasarkan cerita atau tidak menggunakan alur dalam cerita, melainkan terinspirasi dari pupuh Ginada. Namun, di dalam pupuh Ginada, penata menggunakan padalingsa (aturan) sebagai acuan dalam konsep garapan. Penata mencoba memvisualkan dan bereksperimen dengan padalingsa pupuh Ginada yang terdiri dari 8a, 8i, 8a, 8u, 8a, 4i, 8a, ke dalam sebuah gerak tari. Dari aturan tersebut, penata akan melakukan pengolahan elemen gerak yang berpatokan pada jumlah suku kata dari setiap baris dalam satu bait pupuh. Misalnya pada aturan 8a, penata akan melakukan pengolahan gerak, kemudian pada aturan 8i terdapat pola gerak baru, dan seterusnya. Dari ketujuh aturan tersebut, terdapat empat pola gerak yang berbeda yang akan dituangkan ke dalam garapan yaitu pola gerak dari aturan 8a, 8i, 8u, dan 4i. Kemudian gerak-gerak tersebut dirangkai menjadi pola gerak terstruktur. Karya ini hadir sesuai dengan pengalaman yang penata alami selama bergelut di bidang seni, yaitu mempelajari olah suara dan Dramatari Arja. Tari ini menggunakan 3 orang penari, pemilihan penari disesuaikan dengan keperluan garapan, yaitu para penari diwajibkan mampu menguasai olah vokal, khususnya tembang macapat.
1. Mode penyajian
Mode penyajian yang penata gunakan adalah mode penyajian simbolis dengan menyimbolkan aturan-aturan dari pupuh Ginada ke dalam sebuah gerak.
2. Garap Gerak
Karya ini menggunakan pengembangan dari gerak-gerak Dramatari Arja dalam tokoh Condong (Inya), Mantri Manis, dan Galuh.
Gerak yang diambil dari beberapa tokoh tersebut antara lain adalah igel langse, tanjek kado, pejalan Condong, pejalan Galuh, milpil, dan lain sebagainya. Sesuai apa yang penata ketahui dan lihat selama ini, Dramatari Arja memang identik dengan olah suara khusunya tembang macapat. Kemudian gerak tersebut akan dikembangkan. Alasan penata melakukan pengembangan dari gerak- gerak Arja adalah karena dilihat dari inspirasi karya, penata menggunakan rangsangan visual. Rangsangan visual merupakan rangsangan yang di dapat dari melihat karya seni. Karya seni yang paling sering penata apresiasi adalah dramatari Arja, disana penata melihat tingkat kerumitan dalam hal menyanyi sambil menari, dan gerak-gerak yang digunakan tidak seperti gerak tari pada biasanya, gerak yang digunakan sangat sederhana namun sangat sulit untuk dilakukan, dalam istilah Balinya keweh ngabetin. Darisana penata ingin mempelajarinya, kemudian ingin memasukan gerak tersebut ke dalam karya penata dan mengembangkannya tanpa merusak keasliannya.
3. Struktur Garapan Bagian 1
Penata menyanyikan 3 baris pupuh Ginada Linggar Petak dengan berakhiran suara vokal a, i, dan a dengan cara setelah 1 baris lagu terselesaikan, penata besenandung akhiran suara vokal dari 1 baris lagu tersebut serta menghitung dengan jari padalingsa dari satu baris pupuh yang telah dinyanyikan, begitu seterusnya. Kemudian diikuti dengan seolah- olah mencari pola gerak. Suasana yang akan ditimbulkan disini adalah suasana haru Bagian 2
Menyanyikan pupuh dari baris keempat sampai ketujuh, diikuti bergerak dengan
menyampaikan pola-pola gerak baku yang akan digunakan nantinya, misalnya nyregseg dengan posisi badan miring ke kanan atau ke belakang, tanjek kado, tangan direntangkan dengan badan direbahkan ke kanan dan ke kiri, dan lain sebagainya. Kemudian dihadirkan sedikit gerak dengan menonjolkan tetuek mengikuti melodi kendang.
Bagian 3
Mengembangkan pola-pola gerak baku pada bagian awal, yang sudah dikembangkan dan dikaitkan. Suasana yang ditimbulkan adalah suasana gembira. Pada bagian ini, penari bernyanyi dengan saling bersahutan. Dan diakhiri dengan gerak dengan tempo sedikit cepat, kemudian berpose.
4. Musik iringan
Musik iringan dari garapan ini menggunakan barungan gamelan baru yang diciptakan oleh I Wayan Sudirana. Gamelan ini memiliki instrumentasi yang bisa dikatakan hampir sama dengan barungan gamelan yang ada di Bali, tetapi dilakukan pengembangan dalam jumlah nada dalam satu tungguh. Misalnya, instrumen pemade dan kantilan memiliki jumlah 21 nada atau tiga oktaf. Menurut Sudirana, penambahan itu dilakukan untuk keperluan eksplorasi berkomposisi agar mendapatkan wilayah nada yang lebih luas.
Laras dari gamelan ini juga merupakan pilihan pribadi dari Sudirana. Beliau mengatakan bahwa sumber dari laras yang dipakai dari gamelannya adalah bersumber dari kombinasi laras Gong Luang dan Semarapegulingan saih lima khas peliatan.
Instrumentasi dari gamelan ini adalah 1.
Jegogan (7 nada, 2 tungguh), 2. Calung (7 nada, 2 tungguh), 3. Reong 1 (7 nada), 4.
Reong 2 (9 nada), 5. Pemade (21 nada, 2 tungguh), 6. Kantilan (21 nada, 2 tangguh) dan saih lima diataranya adalah 1. Jegogan (5 nada, 2 tangguh), 2. Calung (5 nada, 2 tangguh), 3. Reong 1 (7 nada), 4. Reong 2 (8 nada), 5. Pemade (15 nada, 2 tangguh), 6.
Kantilan (15 nada, 2 tangguh), kemudian ditambah dengan instrumen kendang, kajar,
klenang, klentong, cengceng ricik, dan gong.
Dengan menggunakan barungan gamelan ini, penata menginginkan adanya dukungan dari mood dan rasa yang ada pada setiap scene/bagian dari garapan tari ini Alasan memakai gamelan ini, karena di dalamnya terdapat instrumen Geguntangan, yang sangat terkait dengan konsep garapan ini, yaitu menggunakan tembang macapat.
5. Busana
Kostum yang digunakan adalah kostum yang sederhana dan terlihat klasik, yaitu menggunakan kamen berwarna dasar merah marun atau coklat, dengan sedikit motif. Cara pemakaiannya seperti memakai kamen sarung pada biasanya namun jika sudah terpakai akan tampak seperti kamen biasa.
Selanjutnya ada ankin, lamak dari bahan kain.
Penata menggunakan lamak, karena terinspirasi dari tokoh Condong dalam Dramatari Arja, namun tidak berbahan kulit, melainkan kain, selain itu menggunakan tutup dada, dan gelang.
Simpulan
Tari Linggar Petak merupakan sebuah tari kreasi yang berbentuk trio, dengan menggunakan unsur olah suara, yaitu tembang macapat (pupuh) Ginada Linggar Petak. Namun, di dalam konsep, tari ini mengedepankan padalingsa yang terdapat dalam pupuh Ginada, yaitu 8a, 8i, 8a, 8u, 8a, 4i, 8a. Tari ini memberi gambaran tentang membangkitkan semangat seorang wanita dalam melakukan hal apapun. Hal tersebut dapat dilihat dari gerak-gerak yang selalu berenergi. Gerak yang digunakan masih berpedoman pada tradisi, yaitu kesenian Dramatari Arja. Beberapa gerak yang diadopsi, kemudian dikembangkan dan diolah kembali. Tari ini diiringi dengan barungan gamelan baru yang diciptakan oleh I Wayan Sudirana, dimana beberapa instrument tersebut terdapat instrumen
Geguntangan. Instrumen Geguntangan sangat mendukung keperluan tari, karena tembang macapat identik diiringi dengan gamelan Geguntangan. Dilihat dari tata busana, karya ini hanya menggunakan busana yang sederhana, seperti kamen, ankin, lamak, tutup dada, dan gelang. Pada proses penciptaannya melewati tiga tahap, yaitu tahap penjajagan, tahan percobaan, dan tahap pembentukan. Namun terdapat beberapa kesulitan yang dialami, yakni dalam perbendaharaan gerak, mengatur jadwal latihan, dan mengakhiri sebuah karya yaitu proses pada bagian penutup dalam sebuah karya. Tetapi melalui tiga tahapan ini, akhirnya dapat terwujud karya tari Linggar Petak.
Saran
Berdasarkan uraian diatas, adapun saran- saran yang dapt disampaikan adalah sebagai berikut.
1. Para pencipta dan pelaku seni yang berada dalam ranah akademik, hendaknya lebih sering melakukan apresiasi seni terhadap karya seni yang sudah ada. Hal tersebut bermanfaat untuk menambah wawasan dalam hal mencipta, dan dapat dijadikan perbandingan untuk melahirkan ide-ide yang lebih kreatif. Selain itu, dapat melatih diri untuk mengkritik dengan baik sebuah karya seni.
2. Melalui karya ini, diharapkan kepada lembaga agar menyebarkan atau mempublikasikan hasil karya mahasiswa, tujuannya agar pecinta dan penikmat seni dapat mengapresiasi dan tahu perkembangan karya seni, khususnya tari, pada saat ini.
3. Melalui garapan Linggar Petak, besar harapan penata merangsang seniman lainnya agar kedepannya dapat melahirkan karya tanpa berpijak pada sebuah alur cerita.
Daftar Rujukan
Bandem, I Made. 2004. Kaja dan Kelod Tarian Bali dalam Transisi.
Yogyakarta: Institut Seni Indonesia . 1996. Etnologi Tari Bali.
Denpasar: Forum Apresiasi Kebudayaan
. 1983. Ensiklopedi Tari Bali.
Denpasar: Akademi Seni Tari Indonesia
Budha Gautama, Wayan. 2007. Pelajaran Gending Bali. Denpasar: CV.
Kayumas Agung
Dibia, I Wayan. 2013. Seni Tari Bali.
Denpasar: UPT. Penerbitan ISI Denpasar
. 2012. Geliat Seni Pertunjukan Bali.
Denpasar: Buku Arti
. 2012. Ilen-Ilen Seni Pertunjukan Bali. Denpasar: Bali Mangsi
. 2003. Bergerak Menurut Kata Hati (terjemahan dari Moving From Within Karya Alma M. Hawkins). Jakarta:
Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia).
. 1999. Selayang Pandang Seni Pertunjukan Indonesia. Bandung:
Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia
Djelantik. 1999. Estetika. Denpasar:
Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.
Hadi, Y. Sumandiyo. 2012. Koreografi (Bentuk-Teknik-Isi). Yogyakarta:
Cipta Media
. 2003. Mencipta Lewat Tari (terjemahan Creating Trough Dance karya Alma M. Hawkins).
Yogyakarta: Manthili Yogyakarta Ki Guru Gede Pasek Budha Gautama.
Gending Bali. 2014. Surabaya:
Paramita Surbaya
Murgiyanto, Sal. 1992. Koreografi. Jakarta:
P.T. Ikar Mandiri Abadi
Pramana Padmodarmayana. 1988. Tata Teknik Pentas. Jakarta: Balai Pustaka Rai Arnita, I Gusti Ayu dkk. 1995. Bhuwana Sang Ksepa, Sanghyang Maha Jnana Siwa Tattwa Purana. Denpasar:
Kantor Dokumentasi Budaya Bali Provinsi Daerah Tingkat I Bali Soedarsono. 1986. Komposisi Tari, Elemen-
Elemen Dasar (terjemahan dari Dance Composition, The Basic Elemen karya La Meri). Yogyakarta:
Lagaligo
Suharto, Ben. 1985. Komposisi Tari (terjemahan dari Dance Compositin karya Jacqueline Smith). Yogyakarta:
Ikalasti Yogyakarta
Tasman, A. 2008. Analisa Gerak dan Karakter. Surakarta: ISI Press Surakarta
Wicaksana, I Dewa Ketut, Ni Komang Sekar Marhaeni. 2004. Tembang Bali.
Bahan Ajar. Denpasar: Program Studi Seni Pedalangan