• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1441 H/2020M

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1441 H/2020M"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

v

KEWENANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA DALAM PROSES HARMONISASI

RANCANGAN PERATURAN DAERAH

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh :

JEJEN JAELANI NIM : 11150480000079

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1441 H

/

2020M

(2)
(3)

vii

(4)

iv

(5)

v

ABSTRAK

Jejen Jaelani. NIM 11150480000079. KEWENANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA DALAM PROSES HARMONISASI RANCANGAN PERATURAN DAERAH.

Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1441 H/2020 M. Ix + 80 halaman.

Penerbitan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 22 Tahun 2018 tentang Pengharmonisasian Rancangan Peraturan Perundang- undangan yang dibentuk di daerah oleh Perancang Peraturan Perundang- undangan, dinilai mempunyai sejumlah problematika. Analisis dan kritik terhadap Peraturan Menteri ini beranjak pasca Kementerian Dalam Negeri melalui surat bernomor 180/7182/SJ meminta kepada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk mencabut Peraturan Menteri Nomor 22 Tahun 2018 karena telah melampaui kewenangan dan bertentangan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Jenis penelitian yang digunakan yaitu penelitian kepustakaan (library research) melalui pendekatan perundang-undangan (statute approach) yang digunakan untuk mengetahui konsep ideal pengharmonisasian peraturan perundang-undangan terhadap rancangan Peraturan Daerah.

Hasil penelitian menunjukan bahwa berlakunya Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 22 Tahun 2018 tentang Pengharmonisasian Rancangan Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk di daerah oleh Perancang Peraturan Perundang-undangan, berimplikasi pada keharusan adanya perubahan muatan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan terkait pengharmonisasian rancangan Peraturan Daerah, Inkonsistensi harmonisasi rancangan Peraturan Daerah antara Pasal 58 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 dengan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 22 Tahun 2018, dan timbulnya mekanisme double procedur pengharmonisasian rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari DPRD, serta berimplikasi pada tumbuhnya sikap ketidakpercayaan masyarakat pada lemahnya penerapan regulasi apabila Peraturan Menteri Nomor 22 Tahun 2018 tidak memiliki pengaruh baik dalam meningkatkan kualitas pembentukan perundang-undangan. Oleh karena itu, diperlukan adanya pembenahan regulasi berkenaan dengan konsep pengharmonisasian perundang-undangan khususnya terhadap rancangan Peraturan Daerah agar tidak menyimpang dengan cita hukum (rechtsidee) bernegara.

Kata Kunci : Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Dalam Negeri, Harmonisasi, Peraturan Daerah.

Pembimbing Skripsi : Dr. Soefyanto, S.H., M.M., M.H.

Daftar Pustaka : Tahun 1959 sampai Tahun 2019

v

(6)

KATA PENGANTAR

ميح رلا نمح رلا اللها مسب

Segala puji dan syukur peneliti panjatkan kepada khadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan penelitian skripsi ini dengan judul “Kewenangan Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Dalam Proses Harmonisasi Rancangan Peraturan Daerah”. Shalawat serta salam tidak lupa peneliti curahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta para keluarga, kerabat dan sahabatnya.

Rasa syukur yang mendalam beserta ungkapan rasa terima kasih peneliti ungkapkan kepada para pihak yang telah turut berkontribusi dalam penyelesaian penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini peneliti ingin mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat :

1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dr. Soefyanto, S.H., M.M., M.H. Pembimbing Skripsi yang senantiasa meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan dan arahan kepada peneliti dalam menyelesaikan skripsi.

4. Kepala Urusan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum dan Kepala Pusat Perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memfasilitasi peneliti dalam melakukan studi kepustakaan.

5. Kedua Orang Tua Tercinta Bapak Nana Maulana dan Ibu Aah Kuriah, serta adik Peneliti Didin Amaludin yang senantiasa memberikan dukungan berupa doa dan motivasi kepada peneliti untuk menyelesaikan skripsi ini.

6. Semua pihak yang telah turut membantu peneliti dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, semoga Allah SWT memberikan rahmat dan karunia- Nya.v

vi

(7)

vii

Demikian yang dapat peneliti sampaikan dan semoga pembahasan dalam skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi para pihak yang membacanya.

Wa’alaikumsalam Wr.Wb

Jakarta, 12 November 2019

Jejen Jaelani

vii

(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

D. Metode Penelitian ... 11

E. Sistematika Pembahasan Penelitian ... 14

BAB II SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA A. Kerangka Konseptual ... 16

1. Kewenangan ... 16

2. Kementerian Negara ... 17

3. Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan ... 18

4. Peraturan Daerah ... 18

B. Kerangka Teoritis ... 19

1. Teori Negara Hukum ... 19

2. Teori Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ... 25

3. Teori Otonomi Daerah ... 31

C. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu ... 36 BAB III KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA DAN

KEMENTERIAN DALAM NEGERI DALAM PROSES

HARMONISASI RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN

viii

(9)

ix

A. Harmonisasi dalam Perspektif Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia ... 38 B. Harmonisasi dalam Perspektif Kementerian Dalam Negeri ... 43 C. Perbedaan Kewenangan antara Kementerian Hukum dan Hak Asasi

Manusia dengan Kementerian Dalam Negeri ... 46 BAB IV IMPLIKASI HUKUM PERMENKUMHAM NOMOR 22 TAHUN 2018 TERHADAP PENGHARMONISASIAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH

A. Legalitas Pemberlakuan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 22 Tahun 2018 ... 52 B. Sekilas Mengenai Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 22 Tahun 2018 ... 63 C. Dinamika Berlakunya Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi

Manusia Nomor 22 Tahun 2018 ... 65 D. Politik Hukum Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia

Nomor 22 Tahun 2018 ... 68 E. Implikasi Hukum Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 22 Tahun 2018 ... 76 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 82 B. Rekomendasi ... 82 DAFTAR PUSTAKA ... 84

ix

(10)

1 A. Latar Belakang Masalah

Pasca reformasi ketatanegaraan, upaya terhadap pembangunan hukum di Indonesia telah mengalami perubahan yang cukup signifikan. Perubahan tersebut diantaranya berimbas pada proses dan mekanisme atas pembentukan peraturan perundang-undangan pada umumnya.

Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) pasca amandemen ketiga berbunyi Negara Indonesia adalah negara hukum. hukum sebagai suatu sistem fungsional dan berkeadilan harus dijadikan sebagai panglima dalam setiap penyelenggaraan suatu negara.1 Konsep negara hukum tercermin atas adanya pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai landasan terciptanya kepastian hukum. Karakteristik ini semata-mata merupakan jaminan atas perlindungan terhadap hak asasi manusia dan hak warga negara yang pelaksanaannya dijalankan berdasarkan pada hukum yang berlaku.2

Dalam memperoleh kepastian hukum sebagai salah satu tujuan dalam peraturan perundang-undangan, maka pembentukannya harus dilakukan secara terencana, terpadu, dan berkelanjutan dalam sistem hukum nasional Indonesia. Hal yang juga turut dipertimbangkan adalah dalam pembentukan peraturan perundang-undangan haruslah disertai kesungguhan maupun kematangan baik pada tahap perencanaan hingga tahap pengundangan dan dengan tidak memasukan kepentingan yang pragmatis dalam penyusunan pasal demi pasal tanpa kajian yang mendalam terhadap isu krusial yang ingin dipecahkan solusinya dalam sebuah peraturan perundang-undangan.

Sebagai upaya dalam membentuk peraturan perundang-undangan yang baik, diperlukan adanya sebuah peraturan yang dapat diijadikan sebagai

1 Jimly Asshiddiqie, “Gagasan Negara Hukum Indonesia”, 2011, h.1

2 Hak Politik Warga Negara (Sebuah Perbandingan Konstitusi), ditjenpp.

kemenkumham.go.id/htn-dan-puu/2941-hak-politik-warga-negara-sebuah-perbandingan-konstit usi.html.

(11)

2

pedoman dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Pedoman dimaksud semula telah di atur melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan kini digantikan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dengan melengkapi kekurangan yang ada pada undang-undang sebelumnya.

Selain diaturnya mekanisme pembuatan undang-undang, telah diatur pula mekanisme pembuatan peraturan perundang-undangan lainnya seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri hingga Peraturan Daerah tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota sebagaimana termuat dalam lampiran II Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011. Adapun berkenaan dengan Peraturan Menteri, dalam Penjelasan Pasal 8 Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 disebutkan bahwa Peraturan Menteri merupakan peraturan yang ditetapkan oleh menteri yang materi muatannya mengatur terkait penyelenggaraan urusan tertentu dalam pemerintahan.

Secara hierarki, Peraturan Menteri ini tidak disebutkan sebagai bagian dalam hierarki peraturan perundang-undangan, namun turut diakui sebagai bagian dalam peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.

Peraturan Menteri melekat atas kewenangan yang dimiliki oleh setiap menteri-menteri negara guna membantu Presiden dalam menjalankan roda pemerintahannya sebagaimana amanat dalam Pasal 17 UUD 1945, dimana Presiden dapat mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri negara yang membidangi urusan tertentu di bidang pemerintahan. Menteri-menteri negara selain kedudukannya berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden, perannya akan sangat mempengaruhi keberhasilan atas setiap program kerja yang dijalankan oleh Presiden termasuk diantaranya membuat sebuah kebijakan melalui Peraturan Menteri.

Berkenaan dengan ini, sudah diterbitkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, yang mana Presiden dapat membentuk menteri-menteri negara yang memimpin kementeriannya dengan

(12)

membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan termasuk diantaranya bidang peraturan perundang-undangan, yang kini melekat pada institusi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai perwujudan atas institusi kementerian negara di bidang hukum dan hak asasi manusia berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2015 tentang Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, mempunyai fungsi dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang peraturan perundang-undangan baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah melalui Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam rangka fasilitasi perancangan peraturan perundang-undangan di daerah.

Adapun berkaitan dengan ini, sasaran pembentukan peraturan perundang-undangan di daerah juga harus disesuaikan dengan program pembangunan hukum nasional Indonesia guna terciptanya harmonisasi peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat dan kebutuhan pembangunan. Upaya dalam meningkatkan kualitas peraturan perundang-undangan khususnya berkenaan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan yang di bentuk di daerah, salah satu aspek yang dapat dijadikan tolak ukur penilaian baik tidaknya kualitas peraturan perundang- undangan yaitu melalui harmonisasi pembentukan peraturan perundang- undangan.

Pengharmonisasian peraturan perundang-undangan merupakan sebuah upaya penyerasian atau penyelarasan antar peraturan perundang-undangan dengan mengacu pada nilai-nilai filosofis, sosiologis, dan yuridis sebagai bagian integral dalam suatu sistem hukum nasional.3 Selama ini, proses pengharmonisasian rancangan peraturan perundang-undangan telah berjalan dalam lingkup koordinasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dan alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi, biro hukum

3 Setio Sapto Nugroho, Harmonisasi Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, (Jakarta: Biro Peraturan Perundang-undangan Bidang Perekonomian Sekretariat Negara, 2009), h.4

(13)

4

pemerintahan daerah dan alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi.

Berikut ini dapat diuraikan hubungan koordinasi harmonisasi peraturan perundang-undangan berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yaitu sebagai berikut :

1. Pengharmonisasian Rancangan Undang-undang

Berdasarkan pasal 46 ayat (2) dan pasal 48 ayat (2) bahwa pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan atas konsepsi rancangan undang-undang yang berasal dari DPR dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi. Sedangkan berdasarkan pasal 47 ayat (3) terhadap pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan atas konsepsi rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.

2. Pengharmonisasian Rancangan Peraturan Pemerintah

Berdasarkan Pasal 54 ayat (2) bahwa pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan atas konsepsi rancangan Peraturan Pemerintah dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.

3. Pengharmonisasian Rancangan Peraturan Presiden

Dalam setiap penyusunan rancangan Peraturan Presiden, instansi pemrakarsa membentuk panitia antarkementerian dan/atau antarnonkementerian (PAK). Setelah melalui proses penyusunan hingga tahap persetujuan rancangan melalui PAK, kemudian diteruskan berdasarkan pasal 55 ayat (2) untuk dilakukan pengharmonisasian atas rancangan Peraturan Presiden yang dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.

4. Pengharmonisasian Rancangan Peraturan Daerah

Pengharmonisasian terhadap rancangan Peraturan Daerah, dalam implementasinya berdasarkan Pasal 29 dan Pasal 30 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk

(14)

Hukum Daerah bahwa hasil rancangan Peraturan Daerah provinsi yang telah disusun oleh tim penyusun disampaikan kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah untuk dilakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi rancangan Peraturan Daerah provinsi dengan menugaskan kepada perangkat daerah yang membidangi hukum provinsi dan dapat mengikutsertakan instansi vertikal dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. Sedangkan terhadap rancangan Peraturan Daerah kabupaten/kota, berlaku secara mutatis mutandis atas pengaturan yang berlaku terhadap rancangan Peraturan Derah provinsi.

Hal ini menunjukan bahwa dalam implementasinya, berkaitan dengan pengharmonisasian rancangan peraturan daerah bahwa peran instansi vertikal pada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia selama ini bergerak secara pasif dalam fungsinya mengharmonisasikan rancangan peraturan daerah sepanjang terdapat permintaan pengharmonisasian di daerah.

Atas dasar upaya dalam membangun kualitas pada rancangan peraturan daerah, Pemerintah kemudian melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mengeluarkan kebijakan melalui Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 22 Tahun 2018 tentang Pengharmonisasian Rancangan Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk di daerah oleh Perancang Peraturan Perundang-undangan. Peraturan Menteri tersebut merupakan dasar pondasi dalam memperkuat fungsinya bagi Kanwil atas pengharmonisasian rancangan peraturan daerah. Hal ini dikarenakan bahwa dalam implementasinya terkait fungsi harmonisasi dinilai tidak dimiliki sepenuhnya oleh Kanwil, melainkan oleh biro/bagian hukum Pemerintah Daerah.4

Secara fungsional struktural kelembagaan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mempunyai kewajiban dalam menjaga kualitas pada

4 Fauzi Iswahyudi, “Keikutsertaan Perancang Perundang-Undangan Dalam Pembentukan Peraturan Daerah”, De Lega Lata, Volume I, Nomor 1, (Januari – Juni, 2016), h.95

(15)

6

setiap peraturan perundang-undangan termasuk peraturan daerah guna menghindari adanya penurunan kualitas terhadap suatu peraturan perundang- undangan yang berdampak pada timbulnya sikap ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintahan hingga berujung diujinya suatu peraturan perundang-undangan di lembaga yudisial seperti Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi.

Adapun sebagai upaya dalam penanggulangannya, peran perancang dalam mengharmonisasikan rancangan peraturan perundang-undangan menjadi langkah alternatif yang ditempuh oleh pemerintah melalui Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 22 Tahun 2018, mengingat karena seorang perancang peraturan perundang-undangan merupakan pemangku jabatan fungsional perancang yang diberi tugas dan wewenang dalam melakukan kegiatan pembentukan peraturan perundang-undangan termasuk diantaranya melakukan pengharmonisasian terhadap suatu rancangan peraturan perundang-undangan yang menjadi tanggung jawab seorang perancang. Upaya dalam mengharmoniskan suatu rancangan peraturan dengan peraturan perundang-undangan melalui Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 22 Tahun 2018 menjadi sarana dalam melakukan langkah preventif untuk meminimalisir kekhawatiran atas rancangan peraturan daerah yang saling bertentangan satu sama lain, hingga berujung pada pembatalan dikemudian hari.

Namun hadirnya Peraturan Menteri ini justru dinilai menimbulkan polemik baru manakala polemik tersebut muncul dari sesama kementerian negara yakni Kementerian Dalam Negeri melalui surat nomor 180/7182/SJ.5 Tertulis dalam surat tersebut, Kementerian Dalam Negeri meminta pencabutan atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 22 Tahun 2018 karena dinilai telah melampaui kewenangan dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Kementerian Dalam Negeri menilai bahwa kewenangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam

5 Surat Kementerian Dalam Negeri tertanggal 19 September 2018 yang ditujukan kepada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia terkait permohonan pencabutan atas Permenkumham Nomor 22 Tahun 2018 dan Permenkumham Nomor 23 Tahun 2018.

(16)

pengharmonisasian hanya sebatas pada ranah rancangan Undang-undang, rancangan Peraturan Pemerintah dan rancangan Peraturan Presiden, namun tidak mempunyai kewenangan dalam pengharmonisasian rancangan peraturan daerah sepanjang tidak diminta oleh pemerintahan daerah. Isu ini kemudian menjadi salah satu bahan pembahasan dalam perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 hingga pada 2 Oktober 2019 disahkan Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 183, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6398).

Selain itu, melihat bahwa Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia berdasarkan Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2015 merupakan institusi kementerian yang dibentuk untuk membantu Presiden dalam hal menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia yang salah satunya mencakup pembentukan peraturan perundang-undangan. Namun di sisi lain, Kementerian Dalam Negeri yang juga merupakan institusi kementerian yang setara dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang dibentuk berdasarkan Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2015 dibentuk untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara yang salah satu aspeknya mencakup pembentukan peraturan perundang-undangan di daerah.

Sekilas terlihat adanya kewenangan yang saling beririsan antara Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam penyelenggaraannya dibidang hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, dengan Kementerian Dalam Negeri dalam penyelenggaraannya dibidang pemerintahan dalam negeri yang diantaranya berkenaan dengan pembinaan dan pengawasan pemerintahan daerah yang mencakup rancangan atas peraturan daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, terlebih lagi dengan adanya perubahan pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 dan telah berlakunya Peraturan

(17)

8

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 22 Tahun 2018 yang cenderung berpotensi memperkeruh hubungan diantara keduanya.

Bahkan polemik atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 22 Tahun 2018 menjadi salah satu bahasan dalam sebuah seminar yang bertajuk “’Qou Vadis, Tata Kelola Regulasi Indonesia?” pada tanggal 1 November 2018 dengan dihadiri sejumlah akademisi seperti Bagir Manan, Maria Farida Indrati, dan Mantan Dirjen Peraturan Perundang- undangan Wicipto Setiadi, yang memperkuat adanya anggapan bahwa Peraturan Menteri ini mengandung sejumlah kontradiksi norma dan bertendensi menimbulkan masalah baru seperti tumpang tindih kewenangan antar sesama kementerian negara yaitu Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan Kementerian Dalam Negeri serta dinilai telah melanggar asas otonomi daerah dengan turut campurnya pemerintah pusat dalam penyelenggaraan otonomi daerah oleh pemerintahan daerah dibidang pembentukan rancangan peraturan daerah.6

Dari latar belakang permasalahan seperti itulah peneliti tertarik untuk mengkaji dan menuangkannya dalam penelitian ini dengan mengambil tema:

“KEWENANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA DALAM PROSES HARMONISASI RANCANGAN PERATURAN DAERAH”.

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Rumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah

a. Fungsi peraturan perundang-undangan dalam tata kelola pemerintahan yang baik.

b. Pengaturan harmonisasi rancangan peraturan perundang-undangan c. Kewenangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam

proses harmonisasi rancangan peraturan perundang-undangan

6 Permenkumham Harmonisasi Peraturan Dinilai Konflik dengan Undang-Undang, https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5bdc39c5d3a98/permenkumham-harmonisasi-per aturan-dinilai-konflik-dengan-uu/.

(18)

d. Kedudukan, penerapan dan implikasi atas berlakunya Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 22 Tahun 2018 tentang Pengharmonisasian Rancangan Peraturan Perundang- undangan yang dibentuk di daerah oleh Perancang Peraturan Perundang-undangan.

e. Hubungan kewenangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan Kementerian Dalam Negeri terkait proses harmonisasi rancangan peraturan perundang-undangan yang dibentuk di daerah pasca berlakunya Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 22 Tahun 2018 tentang Pengharmonisasian Rancangan Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk di daerah oleh Perancang Peraturan Perundang-undangan.

2. Pembatasan Masalah

Melihat bahwa sangat luasnya pokok permasalahan yang ada maka peneliti hanya akan membatasi pokok permasalahan yang akan dibahas yakni berkenaan dengan kewenangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam proses harmonisasi rancangan peraturan daerah pasca berlakunya Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 22 Tahun 2018 tentang Pengharmonisasian Rancangan Peraturan Perundang- undangan yang dibentuk di daerah oleh Perancang Peraturan Perundang- undangan.

3. Perumusan Masalah

Masalah utama yang menjadi fokus pembahasan pada penelitian ini yaitu terkait dengan Kewenangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam proses harmonisasi rancangan Peraturan Daerah. Untuk mempertegas arah pembahasan pada masalah utama di atas, maka peneliti telah membuat rincian masalah utama tersebut ke dalam bentu pertanyaan penelitian yaitu:

a. Bagaimana kewenangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam proses harmonisasi rancangan peraturan perundang-undangan?

(19)

10

b. Bagaimana implikasi hukum atas berlakunya Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 22 Tahun 2018 terhadap Pengharmonisasian Rancangan Peraturan Daerah?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Secara garis besar, penelitian ini dilakukan untuk memberikan gambaran permasalahan yang tengah terjadi dengan tujuan sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui kewenangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam proses harmonisasi rancangan peraturan perundang- undangan.

b. Untuk mengetahui implikasi hukum atas berlakunya Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 22 Tahun 2018 terhadap Pengharmonisasian Rancangan Peraturan Daerah.

2. Manfaat Penelitian

Bentuk manfaat yang dapat diperoleh atas penelitian ini yaitu mencakup :

a. Manfaat Teoritis

1) Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan salah satu sumber referensi guna menambah khazanah keilmuan hukum bagi masyarakat pada umumnya dan pada Mahasiswa/i khususnya terutama yang tengah mengambil konsentrasi hukum tata negara.

Karena penelitian ini merupakan penelitian yang menyoroti terkait isu hukum tata negara bekenaan dengan konteks regulasi yang bertendensi menimbulkan berbagai problematika pasca disahkannya menjadi produk hukum peraturan perundang- undangan.

2) Semoga penelitian ini dapat menjadi referensi para pemikir hukum dalam melakukan penelitian lanjutan terhadap proses harmonisasi rancangan peraturan perundang-undangan di Indonesia.

(20)

b. Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah untuk mengevaluasi setiap kebijakan yang telah diharmonisasikan dalam kerangka peraturan perundang-undangan.

D. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian dan Pendekatan Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini yaitu menggunakan penelitian kepustakaan (library research), dimana dalam penelitian ini peneliti akan berfokus pada kajian kepustakaan yang ruang lingkupnya meliputi buku-buku, dokumen/catatan fisik maupun elektronik, dan peraturan perundang-undangan.7

Adapun pendekatan penelitian yang peneliti gunakan dalam skripsi ini yaitu menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) berupa produk legislasi dan regulasi, dan pendekatan konsep (conceptual approach) yang merujuk pada doktrin-doktrin hukum.8 Pendekatan dimaksud yaitu meliputi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2015 tentang Keikutsertaan Perancang Peraturan Perundang-Undangan dalam Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan dan Pembinaannya, Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2015 tentang Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2015 tentang

7 M. Iqbal Hasan, Pokok-pokok Materi dan Metodologi Penelitian, (Jakarta: PT.

Ghalia Indonesia, 2002), h.11

8 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana, 2011), h.133

(21)

12

Kementerian Dalam Negeri, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 120 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah, dan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 29 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.

Berdasarkan uraian pendekatan tersebut peneliti ingin mendeskripsikan dan mengkorelasikannya dengan peraturan perundangan-undangan terkait.

2. Metode Pengumpulan Data dan Sumber Data

Dalam penelitian ini, metode pengumpulan data yang peneliti gunakan adalah dengan menggunakan metode studi pustaka. Dengan metode ini peneliti berusaha untuk membaca dan memahami dokumen-dokumen yang mempunyai relevansi atas topik pembahasan dalam penelitian ini. Adapun data yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah terkait dasar hukum dan informasi atas kewenangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Kementerian Dalam Negeri berkenaan dengan proses harmonisasi peraturan perundang-undangan, dan peraturan perundang- undangan lainnya yang menjadi pembanding, serta informasi yang berkaitan dengan fungsi dan mekanisme pembentukan peraturan perundang- undangan. Adapun sumber data yang peneliti peroleh sebagai rujukan atas pemecahan terhadap suatu persoalan dalam penelitian ini yaitu dibedakan atas:

a. Sumber Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer ini terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan.9 Bahan hukum primer yang peneliti gunakan dalam penelitian ini mencakup Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,

9 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, ... h.181

(22)

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2015 tentang Keikutsertaan Perancang Peraturan Perundang-Undangan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan Pembinaannya, Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2015 tentang Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2015 tentang Kementerian Dalam Negeri, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 120 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah, dan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 29 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, dan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 30 Tahun 2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

b. Sumber Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder merupakan bahan-bahan hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Bahan hukum sekunder ini meliputi buku-buku, makalah dan jurnal hukum.10

c. Sumber Bahan Non-Hukum

Bahan non-hukum merupakan bahan penunjang yang digunakan untuk memberikan petunjuk atau penjelasan sepanjang mempunyai relevansi dengan topik penelitian seperti penelusuran media informasi melalui internet dan KBBI.

3. Metode Pengolahan dan Analisa Data

10 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, ... h.181

(23)

14

Pada penelitian ini, metode pengolahan dan analisa data yang peneliti terapkan yaitu dengan cara mengumpulkan seluruh bahan hukum yang diperoleh untuk kemudian diolah dan disusun secara runtut dan sistematis dengan tujuan agar mempermudah proses analisis yang akan peneliti tuangkan dalam penelitian ini. adapun caranya yaitu setelah seluruh bahan- bahan penelitian terkumpul, kemudian peneliti melakukan analisa terhadap bahan-bahan penelitian tersebut melalui tiga aspek yaitu mendeskripsikan (deskriptif), menghubungkan (korelasional), dan membandingkan (komparatif) muatan yang terdapat pada setiap Peraturan Perundang- undangan beserta bahan penelitian lainnya berkenaan dengan proses harmonisasi rancangan Peraturan Perundang-undangan, serta kaitannya dengan kewenangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Kementerian Dalam Negeri dalam proses harmonisasi dan fasilitasi pembentukan rancangan peraturan daerah oleh Perancang pasca berlakunya Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 22 Tahun 2018.

4. Teknik Penulisan

Adapun teknik penulisan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu merujuk pada Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan pada tahun 2017.

E. Sistematika Pembahasan Penelitian

Agar pembahasan penelitian ini dapat dengan mudah ditelusuri, maka penelitian ini akan disusun secara terstruktur dan sistematis dengan sistematika penulisan yang terdiri atas :

BAB I : Pendahuluan, dalam bab ini menjelaskan mengenai latar belakang masalah, identifikasi, pembatasan, dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan teknik penulisan..

BAB II : Sistem Pemerintahan Indonesia, dalam bab ini menjelaskan terkait dengan kerangka konseptual, kerangka teori, dan tinjauan (review) kajian terdahulu.

(24)

BAB III : Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Kementerian Dalam Negeri dalam proses harmonisasi rancangan peraturan perundang-undangan, dalam bab ini akan dijelaskan terkait dengan kewenangan masing-masing kementerian dalam harmonisasi rancangan peraturan perundang-undangan yang ditinjau berdasarkan peraturan perundang-undangan.

BAB IV : Implikasi hukum Permenkumham Nomor 22 Tahun 2018 terhadap Pengharmonisasian Rancangan Peraturan Daerah, bab ini berusaha untuk menguraikan legalitas pemberlakuan dan muatannya dalam konteks harmonisasi rancangan peraturan daerah, dinamika berlakunya, dan implikasi hukum atas pemberlakuan Peraturan Menteri tersebut.

BAB V : Penutup. Pada bab ini berupa kesimpulan dan rekomendasi.

(25)

16

SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA

A. Kerangka Konseptual 1. Kewenangan

Kewenangan memiliki kedudukan penting dalam hukum tata negara dan hukum administrasi.1 Dalam literatur hukum administrasi, kewenangan kerapkali disepadankan dengan kekuasaan. Padahal istilah kekuasaan tidaklah identik dengan kewenangan.2

Wewenang menurut S.F. Marbun mengandung arti kemampuan untuk melakukan tindakan publik atau secara yuridis diartikan sebagai kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan-hubungan hukum.3

Dalam negara hukum, wewenang pemerintahan berasal dari peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut H.D. van Wijk, kewenangan yang bersumber pada peraturan perundang-undangan, dapat diperoleh melalui 3 (tiga) cara yaitu : 4

a. Atribusi, adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan.

b. Delegasi, adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ kepada organ pemerintahan lainya.

c. Mandat, adalah ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ pemerintahan lain atas namanya.

Pada atribusi menurut Indroharto terjadi pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh ketentuan peraturan perundang-undangan.5

1 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2006), h.101

2 Aminuddin Ilmar, Hukum Tata Pemerintahan, (Jakarta: Kencana, 2014), h.101

3 Nomensen Sinamo, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Jala Permata Aksara, 2010),h.87

4 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, ... h.104-105

5 Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta: Sinar Harapan, 1993, h.83

(26)

Sedangkan dalam hal pelimpahan wewenang pemerintahan melalui delegasi menurut Philipus M. Hadjon terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam delegasi yaitu delegasi harus definitif dan pemberi delegasi tidak dapat menggunakan sendiri wewenang yang dilimpahkan, delegasi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, delegasi tidak kepada bawahan dalam arti hubungan hierarki kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi, delegasi berwenang meminta penjelasan pelaksanaan wewenang, dan delegasi memberikan petunjuk tentang penggunaan wewenang.6 Adapun terhadap mandat, menurut Stroink dan Steenbeek bahwa mandat tidak mencakup penyerahan wewenang maupun pelimpahan wewenang, namun hanya mencakup hubungan internal seperti pelimpahan wewenang menteri kepada pegawainya untuk mengambil keputusan tertentu.7

2. Kementerian Negara

Kementerian Negara adalah lembaga penyelenggara pemerintahan negara yang dipimpin oleh Menteri Negara dan berada di bawah Presiden.8 Presiden sebagai pemegang kekuasaan negara, mempunyai kewenangan dalam membentuk sistem kabinet pemerintahan. Pembentukan sistem kabinet yang terdiri atas menteri-menteri negara sebagaimana di atur dalam Pasal 17 UUD 1945 dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, merupakan menteri-menteri negara yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, serta bertanggung jawab kepada Presiden dan dengan membidangi urusan-urusan tertentu dalam pemerintahan.9 Selain itu, pengangkatan menteri-menteri negara dimaksudkan sebagai upaya dalam membantu Presiden menjalankan setiap roda pemerintahan.

6 Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik Sudrajat, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Layanan Publik, Bandung: Nuansa, 2012, h. 139.

7 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, ... h.106

8 Zaki Ulya, “Kedudukan Wakil Menteri dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan negara menurut Undang-undang Dasar Tahun 1945”, Legislasi Indonesia, Vol. 13 No. 02 (Juni 2016), h.217

9 Firmansyah Arifin, dkk., Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara, (Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), 2005), h.79

(27)

18

3. Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), harmonis berarti bersangkut-paut dengan (mengenai) harmoni; seia sekata, Mengharmoniskan berarti menjadikan harmonis, Pengharmonisan berarti proses, cara, perbuatan mengharmoniskan, dan keharmonisan berarti perihal (keadaan) harmonis; keselarasan; keserasian. Sedangkan menurut Badan Pembinaan Hukum Nasional, harmonisasi hukum diartikan sebagai kegiatan ilmiah yang dilakukan untuk penyelarasan/kesesuaian/

keseimbangan hukum tertulis dengan mengacu pada nilai filosofis, sosiologis, ekonomis dan yuridis.10 Berdasarkan uraian di atas, maka harmonisasi peraturan perundang-undangan dapat diartikan sebagai proses penyerasian atau penyelarasan antar peraturan perundang-undangan sebagai bagian integral dari sistem hukum.11 Kewajiban dalam melakukan pengharmonisasian terhadap rancangan peraturan perundang-undangan merupakan tugas seorang Perancang Peraturan Perundang-undangan dan merupakan salah satu bagian yang tidak terpisahkan dalam tahapan pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

4. Peraturan Daerah

Peraturan Daerah merupakan salah satu jenis Peraturan Perundang- undangan dan merupakan bagian dalam sistem hukum nasional Indonesia.

Landasan konstitusional Peraturan Daerah tertuang dalam Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 yang berbunyi :

“Pemerintahan daerah berhak menetapkan Peraturan Daerah dan Peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”.

Peraturan Daerah memiliki fungsi sebagai berikut :

a. Sebagai instrumen kebijakan dalam melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan

10 Setio Sapto Nugroho, Harmonisasi Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, ... h.4

11 Setio Sapto Nugroho, Harmonisasi Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, ... h.4

(28)

b. Sebagai peraturan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi

c. Sebagai instrumen dalam menampung kekhususan dan keragaman daerah, serta penyalur aspirasi masyarakat di daerah dengan tetap dalam koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.12

B. Kerangka Teoritis

1. Teori Negara Hukum

onsep negara hukum sudah hadir dan diperkenalkan sejak era Yunani Kuno dan terus berkembang melalui variannya mengikuti pola perkembangan yang ada pada setiap batas wilayah negara dengan beragam macam latar belakang sejarah kelahirannya, sehingga kita kenal saat ini terdapat macam-macam bentuk konsepsi negara hukum seperti konsep negara hukum Rechtstaat yang lahir dan dikembangkan dinegara – negara Eropa Kontinental, kemudian konsep negara hukum Rule of Law yang lahir dan dikembangkan di negara-negara Anglo Saxon, dan terakhir kita kenal di Indonesia dengan konsepnya sebagai negara hukum Pancasila.13

Pengertian negara hukum merujuk pada pendapat Mutiara’s merupakan “Negara yang susunannya di atur dengan sebaik-baiknya dalam undang-undang sehingga segala kekuasaan dari alat-alat pemerintahannya didasarkan hukum. Rakyat tidak boleh bertindak sendiri-sendiri menurut semaunya yang bertentangaan dengn hukum.”14 Negara hukum itu ialah negara yang diperintahi, bukan oleh orang-orang tetapi oleh undang- undang (state the not governed by men, but by laws).

Ditinjau dari sudut latar belakang kelahirannya, konsep rechtsstaat maupun rule of law memang keduanya sangat dipengaruhi oleh faham

12 Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Panduan Praktis Memahami Perancangan Peraturan Daerah, (Jakarta: Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan, 2011), h.8

13 A. Mukhtie Fadjar, Tipe negara hukum, (Malang: Bayumedia Publishing, 2005), h.23

14 Abdul Mukthie Fadjar, Sejarah, Elemen dan Tipe Negara Hukum, (Malang: Setara Press, 2016), h.6

(29)

20

liberalisme dan individualisme, namun cita-cita yang terkandung pada kedua konsep tersebut sama-sama menginginkan adanya perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Hal ini tentu tidak dapat kita tolak begitu saja hanya semata-mata kedua produk tersebut berasal dari barat, bukan berasal dari negeri sendiri. Sebab cita-cita (idea-idea) pada dasarnya merupakan nilai yang universal dan merupakan milik umat manusia seluruhnya.15

Untuk mengenal lebih jauh konsep negara hukum tersebut, alangkah baiknya bilamana pertama kita mengkaji varian konsep negara hukum, dimulai dengan konsep negara hukum Rechtstaat dan diakhiri dengan konsep negara hukum Pancasila.

a. Konsep Negara Hukum Rechtstaat

Istilah rechtstaat atau negara hukum yangbertumpu pada sistem hukum kontinental yang disebut Civil Law merupakan istilah yang baru muncul pada abad ke-19 jika dibandingkan dengan istilah ketatanegaraan lainnya seperti demokrasi, konstitusi maupun kedaulatan namun konsepsi negara hukum ini telah dicetuskan sejak abad ke-17 di negara-negara Eropa Barat.

Pada zaman Renaissance bersamaan pula dengan lahirnya teori kedaulatan negara yang dicetuskan para sarjana maupun ahli filsafat seperti George Jellinek merupakan upaya dalam menunjang faham negara dengan kekuasaan mutlak. 16 Dengan paham kedaulatan inilah kekuasaan negara merupakan kekuasaan tertinggi, serta memiliki daya ikat yang kuat untuk memaksakan perintahnya dengan tidak mengindahkan perintah lainnya.

Sejalan dengan tokoh pemikir Renaissance seperti Niccola Machiavelli bahwa tujuan yang hendak diperoleh adalah tercapainya tata tertib dan ketenteraman dengan melakukan segala macam cara, termasuk dengan cara kekerasan maupun tipu muslihat (The end

15 A. Mukhtie Fadjar, Tipe negara hukum, ... h.22

16 Kamarusdiana, Filsafat Hukum, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2018), h.131

(30)

justifies the mean).17 Keadaan seperti ini sebenarnya merupakan bentuk atas keadaan alamiah manusia yang menurut Thomas Hobbes digambarkan sebagai Homo homini lupus (manusia merupakan serigala bagi manusia yang lain).18 Keadaan alamiah tersebut mendorong umat manusia untuk berupaya mempertahankan diri dengan saling mengadakan perjanjian dengan menyerahkan seluruhnya hak-hak kodratnya kepada penguasa yaitu raja dengan diberi kekuasaan penuh dan mutlak.

Namun penerapan konsepsi kedaulatan negara tersebut melahirkan kritik dari sejumlah tokoh maupun ahli filsafat, salah satunya oleh Hugo Krabbe dikarenakan tindakannya dilakukan secara sewenang-wenang bahkan hingga menindas hak-hak asasi manusia.

Menurutnya apa yang sesuai dengan perasaan hukum itulah yang benar-benar disebut sebagai hukum, bukan negara yang berdaulat tetapi hukumlah yang berdaulat karena negara hanyalah memberi bentuk pada perasaan hukum.

Hal ini senada dengan pandangan Leon Duguit bahwa negara sebenarnya harus dipandang sebagai lembaga kesejahteraan umum (public service institute) dan hukum bukanlah serangkaian perintah, tetapi cara-cara penyelenggaraan kesejahteraan umum. maka secara garis besar negara tidak berkuasa namun bertanggungjawab, sehingga individu akan menaati negara manakala tujuan-tujuan tersebut diselenggarakan oleh negara.19 Secara garis besar, setidaknya terdapat 4 unsur konsep negara hukum rechtsstaat sebagaimana diungkapkan Frederich Stahl yaitu :20

1) Jaminan terhadap Hak Asasi Manusia

17 Bagir Manan, Pers, Hukum, dan Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Dewan Pers, 2016), h.38

18 M. Syahri Thohir, Hukum Pembangunan: Reformasi Perencanaan Pembangunan Nasional serta Kebijakan dan Pelayanan Publik, (Yogyakarta: CV Budi Utama, 2013), h.42

19 I Nengah Suantra dan Made Nurmawati, Ilmu Negara, (Denpasar: Uwais Inspirasi Indonesia, 2017), h.109

20 Adi Sulistiyono, Negara Hukum: Kekuasaan, Konsep, dan Paradigma Moral, (Surakarta : Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) dan UPT Penerbitan dan percetakan UNS (UNS PRESS) Universitas Sebelas Maret), 2007, h.32

(31)

22

2) Adanya pembagian kekuasaan

3) Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan 4) Adanya peradilan administrasi negara yang berdiri sendiri.

b. Konsep Negara Hukum Rule of Law

Pengakuan kepada suatu negara sebagai negara hukum (goverment by law) pada konsep rule of law pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan konsep rechstsstaat, dimana bentuk dari kekuasaan negara pada dasarnya tidaklah absolut, melainkan terbatas sehingga kekuasaan tersebut perlu diimbangi dengan adanya pembatasan- pembatasan guna menghindari timbulnya kesewenang-wenangan dari pihak penguasa, sehingga hukum dalam hal ini memainkan peranan yang sangat penting dalam membatasi kekuasaan suatu negara. Secara garis besar, unsur utama pada konsep negara hukum rule of law kiranya dapat dikutip dari seorang pemikir Inggris yaitu Albert Venn Dicey dalam karyanya yang berjudul Introduction to the Study of the Law of the Constitution, yaitu :

a. Supremacy of Law

Supremacy of law menurut Albert Venn Dicey mempunyai makna yaitu hukum menduduki tempat tertinggi, lebih tinggi dari kedudukan raja, terhadapnya raja dan pemerintahannya harus tunduk, dan tanpa hukum maka tidak ada raja dan tidak ada pula kenyataan hukum ini.21

2) Equality before the law

Unsur ini memberikan pengertian bahwa semua warga negara baik orang-perorang maupun pejabat negara harus tunduk pada hukum yang sama dan diadili di pengadilan yang sama, sehingga pada konsep ini, pelanggaran yang dilakukan akan diterapkan sanksi sesuai dengan hukum dan di pengadilan yang sama.22

21 Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern, (Bandung: Refika Aditama, 2011), h.2

22 Azhari, Negara Hukum Indonesia, Analisis Normatif tentang Unsur-Unsurnya, ... h.41

(32)

3) Constitution based on Individual Rights.

Konstitusi yang berlaku pada negara Inggris tidak seperti konsep negara hukum eropa yang bersifat tertulis dan diciptakan sekaligus dalam arti tunggal, namun merupakan kumpulan atas berbagai keputusan sebagaimana diungkapkan oleh R.S. Moore yaitu “Konstitusi Inggris merupakan konstitusi yang sebagian besar terdiri atas dokumen, piagam, petisi, institusi, preseden, keputusan pengadilan, hukum adat (common law), kebiasaan tradisional dan konvensi.”23

c. Konsep negara hukum Pancasila

Pada dasarnya, konsep negara hukum Pancasila ini tidak jauh berbeda sebagaimana konsep rechtsstaat maupun rule of law. Hal yang membedakannya dengan konsep negara hukum lainnya, terletak pada kondisi negara Indonesia yang berbeda dengan negara lain yang lebih mengedepankan paham liberalisme dan individual, sedangkan negara Indonesia lebih mengedepankan paham kolektivisme atau kekeluargaan dengan berpegangan pada nilai-nilai Pancasila yaitu Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.24

Indonesia yang berkomitmen sebagai negara hukum, semula hal ini belum termaktub dalam UUD 1945 sebelum perubahan dan baru dituangkan dalam UUD Republik Indonesia Serikat (UUD RIS) dan UUD Sementara (UUDS) 1950 baik dalam mukadimah maupun batang tubuhnya secara eksplisit ditegaskan bahwa negara Indonesia merupakan sebuah negara hukum yang demokratis, dan setelah amandemen UUD 1945 yang dilakukan secara adendum, pendirian

23 Rusell F. Moore, Basic Comparative Government Modern Constitutions, (Towa:

Littlefield Adam & Co., 1957), h.30

24 Sekretariat Jenderal MPR RI, Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2012), h.8

(33)

24

Indonesia sebagai negara hukum pun tetap dipertahankan dengan dimuatnya dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 pasca amandemen dan semata-mata bukan merupakan negara yang berdasarkan kekuasaan (machtsstaat).

Makna negara hukum Indonesia jika mengutip berdasarkan hasil simposium di Universitas Indonesia tahun 1966 yaitu “Negara Republik Indonesia adalah suatu negara hukum yang berdasarkan Pancasila. Pancasila sebagai dasar negara yang mencerminkan jiwa bangsa Indonesia harus menjiwai semua peraturan hukum dan pelaksanaannya. Dalam negara Indonesia, di mana falsafah Pancasila begitu meresap, hingga negara kita ini dapat dinamakan negara Pancasila. Asas kekeluargaan merupakan titik tolak kehidupan kemasyarakatan.”25

Menurut M. Yamin pada pembicaraan dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan mengatakan bahwa

“Negara yang akan dibentuk itu hanya semata-mata untuk seluruh rakyat, untuk kepentingan seluruh bangsa yang akan berdiri kuat di dalam negara yang menjadi kepunyaannya. Kesejahteraan rakyat menjadi dasar dan tujuan negara Indonesia Merdeka ialah pada ringkasnya keadilan masyarakat atau keadilan sosial”26

Dengan demikian, konsep negara Indonesia yang hendak dibangun merupakan negara yang menjamin kesejahteraan rakyat, keadilan dan hak asasi manusia.

Konsep negara hukum Indonesia dapat dirumuskan baik secara material maupun yuridis formal. Makna yang terkandung dalam rumusan material ini diartikan sebagai cara pandang bangsa Indonesia yang bersifat intergralistik yaitu berasaskan kekeluargaan yang berarti

25 FHIPK-UI, Simposium Indonesia-negara hukum, Jakarta, 1966, h.159, dalam Djodi Suranto, “Peningkatan Pelayanan Publik Mewujudkan Penyelenggaraan Negara Pemerintahan Yang Baik (Good Governanse) dan Pemerintahan Yang Bersih (Clean Government)”, Serambi Hukum Vol. 10 No. 02 (Agustus 2016 – Januari 2017), h.47

26 Muh. Yamin, Proklamasi dan konstitusi Republik Indonesia, ... h.106

(34)

kepentingan rakyat banyak didahulukan, namun dengan tetap menghormati harkat dan martabat manusia, dengan berpandangan bahwa hukum sebagai bentuk pengayoman dalam menegakkan demokrasi hukum, keadilan sosial dan perikemanusiaan.27

Sedangkan secara yuridis formal merupakan bahan perbandingan atas konstitusi Indonesia dalam muatan pasal UUD 1945 dengan konsep negara hukum liberal yaitu rechtsstaat maupun rule of law. Sebagai perbandingan, unsur yang terkandung dalam konsep negara hukum rechtsstaat maupun rule of law sama-sama mengandung prinsip pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia, prinsip persamaan di dalam hukum, prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak sebagaimana yang diterapkan dalam negara hukum Pancasila dengan melalui menyesuaikan kultur budaya bangsa Indonesia.28 .

2. Teori pembentukan peraturan perundang-undangan

Dalam kajian terhadap sudut ilmu pembentukan peraturan perundang-undangan, tentu tidaklah dapat dilepaskan dari teori jenjang hukum atau hierarki hukum yang lebih dikenal dengan istilah Stufentheorie yang dipelopori oleh Hans Kelsen.

Teori ini mengajarkan bahwa norma-norma hukum itu berjenjang, bahkan hingga berlapis-lapis dalam suatu susunan hierarki norma yang berlaku, dimana norma yang terendah harus bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi tingkatannya hingga sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut yang kemudian disebut sebagai norma dasar (Grundnorm).29

Secara susunan hierarki sistem norma, norma dasar akan menjadi acuan bagi norma yang berada di bawahnya, dan norma yang berada dibawahnya akan menjadi tumpuan atas norma yang lebih rendah dan

27 Padmo Wahjono, Pembangunan hukum di Indonesia, (Jakarta, ind-hill co, 1989),h.153- 155.

28 Padmo Wahjono, Pembangunan hukum di Indonesia, ... h.156-158.

29 Jazim Hamidi, Revolusi Hukum Indonesia, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), h.16

(35)

26

seterusnya hingga pada norma yang terendah, sehingga apabila terdapat perubahan atas norma dasar maka hal itu akan berimbas pada rusaknya sistem tatanan norma yang berada di bawahnya. Teori ini diilhami pula oleh Adolf Merkl yang merupakan murid Hans Kelsen, yang mengatakan bahwa norma hukum itu mempunyai dua wajah (das Doppelte Rechsantlitz).

Menurutnya, jika norma hukum itu dihadapkan pada norma di atasnya maka ia harus bersumber dan berdasar pada norma tersebut, sedangkan jika norma hukum itu dihadapkan pada norma yang berada di bawahnya maka norma hukum tersebut akan menjadi dasar dan sumber bagi norma yang berada di bawahnya.30 Norma hukum mempunyai masa berlaku yang relatif, artinya norma tersebut akan tetap berlaku sepanjang norma yang berada di atasnya masih berlaku.

Dalam perkembangannya, teori Hans Kelsen ini kemudian dikembangkan oleh muridnya yang bernama Hans Nawiasky yang hingga saat ini teorinya dikenal dengan istilah “die theorie vom stufenordnung de rechtnoren” yang menyatakan bahwa norma hukum di suatu negara pasti akan selalu berlapis-lapis, berjenjang-berjenjang, kemudian norma hukum yang terendah bersumber pada norma hukum yang lebih tinggi dan norma yang lebih tinggi bersumber pada norma yang lebih tinggi lagi hingga sampai pada norma yang tidak dapat ditelusuri lebih tinggi lagi yaitu staatsfundamentalnorm. Dalam pandangan Hans Nawiasky, norma-norma hukum dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok besar yaitu :31

a. Staatsfundamentalnorm (norma fundamental negara) b. Staatsgrundgesezt (aturan dasar negara)

c. Formelgesezt (undang-undang formal)

30 Universitas Pelita Harapan dan Biro Pengkajian Setjen MPR, Naskah Akademik Rancangan Perubahan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (Jakarta:

Badan Pengkajian MPR RI, 2018), h.114

31 Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-undangan 1: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, (Yogyakarta: Kanisius. 2007), h.44.

(36)

d. Verordnung & Autonome Satzung (aturan pelaksana dan aturan otonom).

Menurut Hans Nawiasky, muatan atas Staatsfundamentalnorm merupakan prasyarat atas pembentukan konstitusi atau Undang-undang Dasar suatu negara dan hal itu telah ada sebelum konstitusi atau Undang- undang Dasar suatu negara itu dibentuk.32 Menurutnya bahwa kurang tepat jika Hans Kelsen menyebut norma tertinggi suatu negara dikatakan sebagai norma dasar atau dalam istilah Nawiasky yaitu Staatsgrundgesezt.33 Norma tertinggi lebih tepat ditempatkan dalam jenjang Staatsfundamentalnorm atau norma fundamental negara.

Grundnorm atau norma dasar pada dasarnya tidak berubah-ubah, sedangkan norma tertinggi berubah misalnya melalui cara kudeta atau revolusi.34 Berdasarkan teori tersebut, A. Hamid S. Attamimi menggambarkan struktur hierarki tata hukum Indonesia yang disandingkan dengan teori Nawiasky sebagai berikut:35

Tabel 1.1

Penerapan Teori Hans Nawiasky pada Peraturan Perundang- undangan Indonesia

Staatsfundamentalnorm Pancasila

Staatsgrundgesezt Undang-undang Dasar 1945

Formelgesezt Undang-undang

Verordnung & Autonome Satzung

Peraturan Pemerintah hingga Peraturan Daerah, dst.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Pancasila menduduki tingkat sebagai norma fundamental negara (staatsfundamentalnorm) dan merupakan sumber atas segala sumber norma hukum dalam bernegara.36

32 Jimly Asshiddiqie, Ali Safa’at., Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, (Jakarta: Setjen &

Kepaniteraan MK RI, 2006), h.170

33 Jimly Asshiddiqie, Ali Safa’at., Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, ... h.170

34 Jimly Asshiddiqie, Ali Safa’at., Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, ... h.170

35 Jimly Asshiddiqie, Ali Safa’at., Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, ... h.171

36 Notonagoro, Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 (Pokok Kaidah Fundamentil Negara Indonesia) dalam Pancasila Dasar Falsafah Negara, (Jakarta: Pantjuran Tudjuh, Cetakan

(37)

28

Sehingga dengan ditempatkannya Pancasila sebagai staatsfundamentalnorm, maka baik dalam pembentukan hukum, penerapan maupun pelaksanaannya tidak dapat dilepaskan atas nilai-nilai Pancasila.

Berkaitan dengan ini, salah satu tonggak utama mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik diantaranya menanamkan nilai- nilai Pancasila dalam setiap pembentukan peraturan perundang-undangan sehingga terwujudnya suatu tatanan hukum yang baik, harmonis, dan mudah diterapkan dalam masyarakat.37 Menurut Jazim Hamidi dan Kemilau Mutik, pembentukan peraturan perundang-undangan sangat diperlukan oleh masyarakat Indonesia karena peraturan perundang- undangan tersebut dapat menjamin kehidupan bernegara hukum bagi semua lapisan masyarakat.38 Karena tujuan utama dalam pembentukan peraturan perundang-undangan bukan hanya menciptakan kodifikasi bagi norma-norma dan nilai-nilai dalam masyarakat, tetapi juga untuk menciptakan modifikasi atau perubahan dalam masyarakat”.39

Dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, Perancang harus mempertimbangkan asas-asas dalam pembentukannya agar peraturan yang dibentuk nantinya mencerminkan peraturan perundang-undangan yang baik. Asas pembentukan peraturan perundang-undangan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, dibedakan atas asas material dan asas formal, sebagaimana menurut Hamid Attamimi bahwa asas formal berkenaan dengan “bagaimana” suatu peraturan, sedangkan asas material berkenaan dengan “apanya” suatu peraturan.40

Keempat, tanpa tahun). Dalam Jimly Asshiddiqie, Ali Safa’at., Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, h.171

37 Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-undangan 2: Proses dan Teknik Pembentukannya, (Yogyakarta: Kanisius. 2007), h.1

38 Jazim Hamidi, Kemilau Mutik, Legislative Drafting, (Yogyakarta : Total Media, 2011),h.2

39 Ahmad Khairuddin, Elfian Lubis, dkk, Otonomi Daerah, Etnonasionalisme, dan Masa Depan Indonesia, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010), h.179

40 Hamid Attamimi, Peranan Keputusan Presiden RI dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, (Disertasi Fakultas Pascasarjana UI, 1990), h.334-335, dalam Abdul Gani

(38)

Asas-asas sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 merupakan asas-asas yang telah diseleksi dari berbagai asas yang dikembangkan para ahli ilmu perundang-undangan, dengan melakukan penyesuaian terhadap karakteristik negara Indonesia.41 Selain adanya asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) mengatur adanya asas-asas materi muatan peraturan perundang-undangan. Asas-asas tersebut tidak hanya berlaku pada pembentukan undang-undang, namun berlaku terhadap seluruh pembentukan peraturan perundang-undangan pada umumnya seperti peraturan pemerintah, peraturan presiden, hingga pada peraturan daerah dengan tetap memperhatikan kepentingan umum dan peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi.42

Terlihat bahwa selain dari pada doktrin atau ajaran pakar hukum terkait dengan asas dalam peraturan perundang-undangan, dalam Undang- Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan pun telah di atur berkenaan dengan asas-asas peraturan perundang-undangan, baik yang terkait dengan asas pembentukan maupun materi muatan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

Penerapan asas-asas tersebut tentu harus didukung dengan kualitas harmonisasi rancangan peraturan perundang-undangan, karena pelaksanaan harmonisasi yang tidak maksimal akan berdampak pada ketidaksesuaian antar peraturan perundang-undangan.43

Untuk menghindari adanya inkonsistensi atau tumpang tindih pada setiap rancangan peraturan perundang-undangan yang akan dibentuk, upaya yang dapat dilakukan dalam proses harmonisasi dapat dilakukan Abdullah, “Pengantar Memahami Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan”, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 1 No.2 (September 2004), h.5

41 Abdullah, Abdul Gani, “Pengantar Memahami Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan”, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 1 No.2 (September 2004), h.5

42 Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Panduan Praktis Memahami Perancangan Peraturan Daerah, (Jakarta: Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan, 2011), h.11

43 Fauzi Iswahyudi, “Keikutsertaan Perancang Perundang-Undangan Dalam Pembentukan Peraturan Daerah”, ... h.102

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu, penulis tertarik dan berusaha untuk menyusun dan menganalisis penelitian tentang umpasa bahasa Batak Toba kajian teori Roland Barthes dan tidak hanya

(3) Jenis kesenian daerah sebagaimana dimaksud pada ayat( 2) yang dapat dipertunjukkan di Hotel/Restaurant/Puri/Tempat lain yang dianggap layak adalah seni kreasi

Tanpa seka kultural apapun (termasuk sekat etnis, ras, agama. geografis, dan strata sosial) individu bebas melalukan aktivítas di ruang cyberpublik. la

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 29 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

Tetapi pada tahun 2018, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia menetapkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2018

Diagnosis TB MDR dipastikan berdasarkan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan Mycobacterium tuberkulosis. Semua suspek TB MDR diperiksa dahaknya dua kali, salah satu

Paket penyusunan kebijakan, regulasi, sertifikasi di bidang layanan pos, telekomunikasi, dan penyiaran. 10 paket 10 paket 10 paket 10 paket 10 paket 65,41 Kemenkominf o

Pada umumnya kartu jaringan ada yang sudah built-in dengan Motherboard dari komputer atau laptop, akan tetapi banyak komputer rakitan sendiri tidak memasukkan kartu jaringan