• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTAR ETNIS TIONGHOA DAN MELAYU: STUDI ETNOGRAFI DI DESA KOTA PARI, KECAMATAN PANTAI CERMIN, KABUPATEN SERDANG BEDAGAI SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "HUBUNGAN ANTAR ETNIS TIONGHOA DAN MELAYU: STUDI ETNOGRAFI DI DESA KOTA PARI, KECAMATAN PANTAI CERMIN, KABUPATEN SERDANG BEDAGAI SKRIPSI"

Copied!
180
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTAR ETNIS TIONGHOA DAN MELAYU: STUDI ETNOGRAFI DI DESA KOTA PARI, KECAMATAN PANTAI CERMIN,

KABUPATEN SERDANG BEDAGAI

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Sosial Pada Bidang Ilmu Antropologi Sosial

Oleh

Khairullah Dalimunthe

160905018

PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI SOSIAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2021

(2)
(3)
(4)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI SOSIAL

PERNYATAAN ORIGINALITAS

Hubungan Antar Etnis Tionghoa Dan Melayu: Studi Etnografi di Desa Kota Pari, Kecamatan Pantai Cermin, Kabupaten Serdang Bedagai

SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut di dalam daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari terbukti lain atau tidak seperti yang saya nyatakan di sini, saya bersedia diproses secara hukum dan siap menanggalkan gelar keserjanaan saya.

Medan, Februari 2021

Khairullah Dalimunthe

(5)

ABSTRAK

Khairullah Dalimunthe (160905018), 2021. Judul Skripsi: HUBUNGAN ANTAR ETNIS TIONGHOA DAN MELAYU: Studi Etnografi di Desa Kota Pari, Kecamatan Pantai Cermin, Kabupaten Serdang Bedagai. Skripsi ini terdiri dari 5 BAB, 160 Halaman, 7 Tabel, dan 16 Foto pada lampiran.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat dan mendeskripsikan hubungan kelompok etnik Tionghoa dan Melayu di desa Kota Pari, kecamatan Pantai Cermin, kabupaten Serdang Bedagai. Masalah penelitian yang diangkat dalam penelitian ini adalah seperti apa hubungan kelompok etnik Tionghoa dan Melayu dalam kegiatan Ekonomi, sosial, dan keagamaan, bagaimana pandangan kelompok etnik Melayu terhadap kelompok etnik Tionghoa, bagaimana pula pandangan kelompok etnik Tionghoa terhadap kelompok etnik Melayu, dan seperti apa hambatan-hambatan yang berpotensi merenggangkan hubungan keduanya.

Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode etnografi, yang merupakan metode penelitian khas ilmu antropologi sehingga, dianggap sangat relevan dalam mendeskripsikan hubungan kelompok etnik Tionghoa dan Melayu secara komprehensif. Tipe penelitian ini adalah penelitian kualitataif deskriptif, di mana seluruh datanya diperoleh melalui observasi, wawancara mendalam dan, studi kepustakaan, lalu kemudian data yang diperoleh dianalisis guna untuk memperoleh hasil penelitian yang diharapkan. Analisis data dilakukan dengan menggunakan teori-teori prasangka sosial, salah satunya yaitu teori Deprivasi Relatif yang pertama kali dikemukakan oleh Stouffler.

Penelitian ini telah berhasil mendeskripsikan hubungan kelompok etnik Tionghoa dan Melayu dalam kegiatan ekonomi, sosial, dan keagamaan, seperti apa hambatan-hambatan dalam hubungan kelompok etnik Tionghoa dan Melayu, bagaimana pandangan kelompok etnik Melayu terhadap kelompok etnik Tionghoa, dan bagaimana pula pandangan kelompok etnik Tionghoa terhadap kelompok etnik Melayu.

Kata Kunci: Kota Pari, Melayu, Pantai Cermin, Serdang Bedagai, Tionghoa.

(6)

UCAPAN TERIMA KASIH

Segala puji hanya milik Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, yang dengan berkat dan rahmat-Nya lah penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Skripsi ini adalah salah satu persyaratan yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan studi dan mendapatkan gelar ‘Sarjana Sosial’ pada bidang ilmu Antropologi Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara. Segala kemampuan, usaha, serta kelancaran yang didapatkan penulis dalam poses penulisan skripsi ini adalah nikmat dari Allah, Tuhan yang Maha Esa, sebagai penguasa seluruh kehidupan di alam ini.

Selain dari pada itu, sebagai makhluk sosial manusia akan selalu membutuhkan peran manusia yang lainnya untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Begitu pula dengan penyelesaian skripsi ini. Maka dari itu melalui kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tiada terhingga kepada :

Orang tua penulis yaitu, Bapak Amaran Dalimunthe, dan Almarhumah Ibu Ida Arwati Damanik, serta Ibu Lindawati sebagai ibu sambung. Mereka adalah yang merawat dan membesarkan penulis dengan penuh ketulusan dan kasih sayang, terima kasih atas segala do’a, dan berbagai jasa yang tidak terhingga yang rasanya sulit untuk penulis tuliskan di sini. Semoga Allah SWT selalu melimpahkan kasih sayang serta rahmat-Nya kepada kalian.

Bapak Dr. Fikarwin Zuska, M. Ant selaku Ketua Program Studi Antropologi Sosial dan juga dosen pembimbing penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, yang telah banyak memberikan penulis masukan yang

(7)

membangun selama perjalanan akademis penulis di Program Studi Antropologi Sosial FISIP USU, khususnya selama proses penulisan skripsi ini beliau begitu sabar dalam membantu penulis dari memberikan bahan referensi, mendesain proposal penelitian, hingga pasca pengumpulan data di lapangan. Terima kasih atas segala ilmu, pengetahuan, motivasi, serta dukungan yang sudah diberikan kepada penulis.

Bapak Drs. Agustrisno. M. SP selaku sekretaris Program Studi Antropologi Sosial FISIP USU, dan juga merupakan dosen Penasihat Akademik penulis dalam menempuh pendidikan pada Program Studi Antropologi Sosial, Mas Agus, begitu sapaan akrab kami padanya yang begitu banyak memberikan penulis saran dan masukan dalam menentukan pemilihan mata kuliah untuk Kartu Rencana Studi, agar penulis dapat menyelesaikan studi di waktu yang tepat. Juga kepada seluruh dosen pada Program Studi Antropologi Sosial FISIP USU : Bapak Prof. Dr. R. Hamdani Harahap. M. Si; Bapak Dr. Zulkifli Lubis. MA; Bapak Dr.

Irfan Simatupang. M. Si; Bapak Dr. Nurman Achmad. S. Sos,. M. Soc. Sc; Bapak Dr. Farid Aulia. M. Si; Bapak Drs. Lister Berutu. MA; Alm. Bapak Drs.

Ermansyah. M. Hum; Bapak Drs. Yance. M. Si; Bapak Drs. Zulkifli Rani. MA;

Ibu Dr. Sri Alem Br. Sembiring. M. Si; Ibu Dra. Mariana Makmur. MA; Ibu Dra.

Sabariah Bangun. M. Soc. Sc; Ibu Dra. Tjut Syahriani. M. Soc. Sc; Ibu Dra. Nita Savitri. M. Hum; Ibu Dra. Rhyta Tambunan. M. Si; Ibu Dra. Aida Fitria Harahap.

M. Si; serta seluruh staff administrasi pada Program Studi Antropologi Sosial : Kak Nur, Kak Sri, dan Kak Aida atas segala kemudahan yang diberikan dalam

(8)

seluruh proses administrasi akademik yang penulis lalui selama menempuh pendidikan pada Program Studi Antropologi Sosial FISIP USU.

Bapak Nasrul (Wak Iyong) selaku perangkat Desa Kota Pari, yang telah menjadi informan pangkal penulis dalam melakukan penelitian, dan juga yang selalu menghantarkan penulis untuk menemui informan lain yang dianggap mumpuni untuk memberikan informasi kepada penulis terkait dengan issu yang menjadi concern penulis. Terima kasih atas kebaikan yang sudah diberikan kepada penulis, atas segala bantuan, dan informasi yang diberikan kepada penulis selama melakukan pengumpulan data di lapangan. Juga seluruh informan penulis : Bapak Abdul Khair selaku kepala Desa Kota Pari, Bapak Hambali selaku sekretaris Desa Kota Pari, Bapak Tuan Guru selaku tokoh masyarakat kelompok etnik Melayu, Bapak Samidi (Kock Kheng) Selaku tokoh masyarakat kelompok etnik Tionghoa, Bapak Meryanto (Liem Kway) selaku kelompok etnik Tionghoa yang juga salah satu anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk kabupaten Serdang Bedagai, Bapak Sugianto (Cheng Hoa) salah satu kelompok etnik Tionghoa yang telah menganut agama Islam (Muallaf), Bapak Apin selaku pengurus rumah Datuk Pengembara, Bapak Khairuddin selaku kepala dusun IV Desa Kota Pari, Bang Habibie Samudera selaku tokoh pemuda Desa Kota Pari, Ibu Nurlida selaku kepala dusun II Desa Kota Pari, Bapak Ismail selaku kepala dusun III Desa Kota Pari, Ibu Tina, Ibu Jumiati, Ibu Ponira, dan Ibu Waginan.

Ibu-ibu ini pernah bekerja dengan kelompok etnik Tionghoa sebagai buruh cuci, dan asisten rumah tanga. Terima kasih atas segala bantuan dan segala informasi yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

(9)

Saudara kandung penulis, Bang Amsal Qori Dalimunthe, S. Pd. I, M. Pd.

Kak Ummi Kalsum Dalimunthe, kedua adik penulis yaitu Laila Purnama Dalimunthe, dan Syarif Hidayatullah Dalimunthe, atas segala do’a, dukungan dan semangat yang diberikan kepada penulis.

Sahabat penulis selama menempuh pendidikan pada Program Studi Antropologi FISIP USU yaitu Agus Salim Hasibuan, Roisul Abror Siregar, Djapar Aldes Akbar Harahap, Doharman Nababan, teman sekelompok penulis selama masa PKL TBM di Desa Mangga Dua: Creyzita, Putri, Jayanti, Gina, dan Mondang, terima kasih atas segala dukungan dan semangat yang sudah diberikan kepada penulis.

Reza Firdaus, Ricky Wahyu, dan Roisul Abror selaku teman kelompok mentoring penulis yang juga turut memberikan semangat serta motivasi untuk penulis agar segera menyelesaikan skripsi ini, penulis sangat berterima kasih karna telah merangkul penulis selama menjalani kehidupan kampus. Juga kepada Suprianto, yang bersedia meminjamkan laptopnya untuk penulis agar penulis dapat menyelesaikan skripsi ini karena Qodarullah, laptop penulis rusak tepat ketika penulis selesai melakukan pengumpulan data. Seluruh teman-teman seangkatan penulis Antrpologi 2016 yang telah memberikan semangat dan motivasi kepada penulis baik di kelas maupun di luar kelas.

Untuk UKMI AS-SIYASAH, HMD MASADEPANT, dan, PAGUYUBAN KSE USU yang telah memberikan penulis banyak sekali pengalaman dan pelajaran dalam berorganisasi di dalam kampus, melalui berbagai kepanitian dan program-program kerja yang bermanfaat, Semoga UKMI AS-

(10)

SIYASAH, HMD MASADEPANT, selalu maju, dan tetap solid, begitu juga untuk PAGUYUBAN KSE USU semoga semakin solid dalam menebarkan semangat Sharing, Networking, and Developing.

Terakhir secara khusus, dan spesial saya mengucapkan terima kasih kepada Yayasan Karya Salemba Empat, dan PT. Inalum (Persero) yang telah memberikan saya kesempatan untuk menjadi salah satu penerima manfaat beasiswa berupa tunjangan uang saku bulanan selama lebih kurang dua semester, juga program pelatihan guna memepersiapkan bekal untuk kehidupan pasca kampus. Kepada yayasan Daarut Tauhid yang juga telah memberikan kesempatan untuk saya menjadi salah satu penerima manfaat beasiswa berupa tunjangan biaya perkuliahan selama lebih kurang dua semester, semoga dtpeduli semakin peduli, dan melayani.

Selain dari pada yang telah tertulis di atas, tentu ada begitu banyak lagi orang-orang, teman, sahabat, maupun berbagai pihak yang turut memberi sumbangsih dalam penyelesaian skripsi ini baik berupa do’a, pikiran, tenaga, maupun materil. Karena keterbatasan penulis sebagai manusia tidak dapat mengingat secara rinci berbagai pihak tersebut. Akhir kata atas segala bantuan, dukungan, serta perhatian yang diberikan dalam penyelsaian skripsi ini penulis ucapkan banyak terima kasih. Ditulis dengan penuh rasa syukur,

Medan, Februari 2021 Penulis

Khairullah Dalimunthe

(11)

RIWAYAT PENULIS

Khairullah Dalimunthe, lahir di Tanjung Morawa pada tanggal 18 Juni 1998. Merupakan anak ketiga dari pasangan Bapak Amaran Dalimunthe dan Almarhumah Ibu Ida Arwati Damanik. Lulus Sekolah Dasar pada tahun 2010 di SDN 101877 Tanjung Morawa Pekan, Kecamatan Tanjung Morawa, Kabupaten Deli Serdang. Kemudian melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Pertama di MTSs, Yayasan Haji Datuk Abdullah Tanjung Morawa Pekan, dan lulus serta melanjutkan pendidikan ke Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Tanjung Morawa pada tahun 2013.

Setelah lulus dari MAN Tanjung Morawa, penulis melanjutkan pendidikan jenjang Strata Satu (S-1) ke Universitas Sumatera Utara pada Program Studi Antropologi Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, melaui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) pada tahun 2016. Adapun alamat gmail penulis adalah dalimuntherul@gmail.com.

Penulis pernah bergabung menjadi bagian dari Unit SaHIVa USU yang merupakan Unit Kerja Universitas Sumatera Utara yang bergerak di bidang Pusat Informasi dan Konseling Remaja (PIK-R) dan HIV/ AIDS, sebagai anggota Divisi Advokasi pada tahun 2017. Setelah itu penulis juga merupakan bagian dari Unit Kegiatan Mahasiswa Islam (UKMI) AS-SIYASAH FISIP USU, sebagai anggota departemen Kaderisasi periode 2017, Ketua departemen Dana dan Usaha periode

(12)

2018, Ketua Lembaga Semi Otonom Mentoring Agama Islam (LSO-MAI) periode 2019. Penulis pernah bergabung menjadi bagian dari Himpunan Mahasiswa Departemen (HMD) Antropologi Sosial FISIP USU sebagai anggota divisi Etnocullinary pada tahun 2018. Penulis juga merupakan bagian dari PAGUYUBAN KSE USU yang merupakan komunitas para penerima beasiswa Karya Salemba Empat (KSE), sebagai anggota divisi Kampung Belajar (Kabel), dan dipilih menjadi Ketua Humas pada acara Tryout and Sharing Scholarship (TOSS) pada tahun 2020.

Berikut ini adalah beberapa kegiatan yang pernah diikuti selama menempuh pendidikan di Universitas Sumatera Utara :

1. Peserta dalam kegiatan Inisiasi Mahasiswa Antropologi Sosial FISIP USU pada tahun 2016.

2. Juara 1 dalam kegiatan Lomba Cerdas Cermat Islam yang diselenggarakan oleh UKMI AD-DAKWAH pada tahun 2016.

3. Peserta dalam kegiatan USU YOUTH CAMP sebagai salah satu persyaratan untuk bergabung di Unit SaHIVa USU pada Januari 2017.

4. Peserta dalam kegiatan SIAGA yang merupakan training pengkaderan pertama keanggotaan UKMI AS-SIYASAH FISIP USU pada tahun 2017.

5. Peserta dalam kegiatan FRAKSI yang merupakan training pengkaderan kedua keanggotaan UKMI AS-SIYASAH pada tahun 2018.

(13)

6. Peserta dalam kegiatan Kemah Kerja Budaya yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Aceh, di Aceh Tengah pada tahun 2018.

7. Peserta dalam kegiatan Pelatihan Menulis Feuture yang diselenggarakan oleh Laboratorium Antropologi Sosial FISIP USU pada tahun 2018.

8. Panitia dalam kegiatan Seminar Nasional Manusia dan Kebudayaan yang diselenggarakan oleh Departemen Antropologi Sosial FISIP USU pada tahun 2018.

9. Ditunjuk menjadi Instruktur dalam kegiatan SIAGA, dan FRAKSI yang dilaksanakan oleh UKMI AS-SIYASAH FISIP USU pada tahun 2018.

10. Peserta Praktik Kerja Lapangan Tinggal Bersama Masyarakat (PKL- TBM) yang diselenggarakan oleh Departemen Antropologi Sosial FISIP USU.

11. Peserta dalam kegiatan Pelatihan Inalum Leadership Camp 1 yang diselenggarakn oleh Yayasan Karya Salemba Empat bekerjasama dengan PT. Inalum (Persero) pada tahun 2019.

12. Peserta dalam pada kegiatan Team Building Paguyuban KSE USU pada tahun 2020.

13. Peserta pada kegiatan Pelatihan Inalum Leadership Camp 2 yang diselenggarakan oleh Yayasan Karya Salemba Empat bekerjasama dengan PT. Inalum (Persero) pada tahun 2020.

(14)

14. Panitia Bidang Humas pada kegiatan Tryout and Sharing Scholarship (TOSS) KSE USU pada tahun 2020.

15. Peserta dalam kegiatan Pelatihan Management Event Bidang Olahraga yang diselenggarakan oleh Pusat Pemberdayaan Pemuda dan Olahraga Nasional Republik Indonesia (PPPON-RI) pada tahun 2020.

16. Menjadi enumerator dalam kegiatan riset kolaborasi yang diselenggarakan oleh Universitas Sumatera Utara, bekerjasama dengan Universitas Negeri Semarang, dan Universitas Indonesia. Pada Tahun 2020.

17. Menjadi enumerator dalam kegiatan Survey Sosial, dan Politik di Kota Medan yang diselenggarakan oleh Vote Institute (Pusat Studi Pembangunan, dan Politik Lokal), pada tahun 2020.

18. Menjadi enumerator dalam kegiatan Survey Sosial, dan Politik di Kabupaten Serdang Bedagai yang diselenggarakan oleh Vote Institute (Pusat Studi Pembangunan, dan Politik Lokal), pada tahun 2020. Dan masih ada berbagai kegiatan lainnya yang semuanya tidak dapat dituliskan.

(15)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah yang menguasai seluruh kehidupan yang ada di langit dan di bumi, karena atas rahmat, hidayah, dan kasih sayangnya-Nya lah penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini yang berjudul “Hubungan Antar Etnis Tionghoa dan Melayu: Studi Etnografi di Desa Kota Pari, Kecamatan Pantai Cermin, Kabupaten Serdang Bedagai”.

Tak lupa Shalawat dan Salam untuk manusia pilihan yang menjadi panutan dalam kehidupan di dunia ini yaitu kekasih Allah Nabi Muhammad SAW, semoga dengan memperbanyak Shalawat kepadanya penulis akan mendapatkan Syafaatnya di hari berbangkit kelak.

Skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat dalam memperoleh gelar ‘Sarjana Sosial’ dalam Bidang Ilmu Antropologi Sosial di FISIP USU.

Topik yang diangkat di dalamnya yaitu mengenai bagaimana hubungan kelompok etnik Tionghoa dan Melayu dalam kegiatan Ekonomi, Sosial, dan Keagamaan, apa saja jenis-jenis hambatan yang terjadi dalam hubungan keduanya di desa Kota Pari, dan bagaimana pandangan keduanya terhadap satu sama lain.

Dalam proses penulisan skripsi ini penulis akui tidak terlepas dari yang namanya segala macam hambatan serta kesulitan, namun dengan adanya bimbingan, bantuan, nasihat, saran, dan kerjasama dari berbagai pihak, khususnya dosen pembimbing, penulis mampu menghadapi segala macam hambatan dan berbagai rintangan yang penulis temui selama pengumpulan data di lapangan maupun pada saat proses penulisan, hingga akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan.

(16)

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki oleh penulis.

Oleh karena itu, penulis mengharapkan segala bentuk masukan, saran hingga kritikan yang membangun dari berbagai pihak, agar skripsi ini menjadi lebih baik lagi. Akhir kata penulis harapkan semoga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi banyak pihak khususnya pihak-pihak yang berhubungan dengan issu-issu kelompok etnik untuk lebih memahami bagaimana hubungan antar kelompok etnik yang hidup berdampingan dalam satu wilayah tertentu.

Medan, Februari 2021 Penulis,

Khairullah Dalimunthe

(17)

DAFTAR ISI HALAMAN PENGESAHAN

HALAMAN PERSETUJUAN

PERNYATAAN ORIGINALITAS……… i

ABSTRAK……… ii

UCAPAN TERIMA KASIH………... iii

RIWAYAT PENULIS………. viii

KATA PENGANTAR………. xii

DAFTAR ISI………. xiv

DAFTAR TABEL……… xvi

BAB I PENDAHULUAN……… 1

1.1 Latar Belakang Masalah……… 1

1.2 Rumusan Masalah………. 9

1.3 Tinjauan Pustaka……….. 10

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian……… 39

1.5 Metode Penelitian………. 40

1.6 Pengalaman Penelitian……….. 42

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN………. 48

2.1 Sejarah dan Profil Desa Kota Pari……… 48

2.2 Luas Wilayah Desa Kota Pari………... 56

2.3 Jumlah Penduduk Desa Kota Pari………. 57

2.3.1 Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin…………. 57

2.3.2 Jumlah Penduduk Menurut Dusun………. 58

2.3.3 Jumlah Penduduk Menurut Agama……… 58

2.3.4 Jumlah Penduduk Menurut Suku……… 59

2.3.5 Jumlah Penduduk Menurut Usia………. 59

2.3.6 Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan……. 59

2.3.7 Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian……… 60

2.4 Penduduk Asli Desa Kota Pari……….. 61

2.5 Suku-suku Bangsa Yang Mendiami Desa Kota Pari………. 61

2.6 Tradisi-tradisi yang ada di Desa Kota Pari……… 61

2.7 Mata Pencaharian Penduduk dan Dana Desa Kota Pari…… 62

2.7.1 Jenis-jenis Pendapatan Desa Kota Pari……… 63

2.7.2 Jenis Kebutuhan Belanja Desa………. 64

2.7.3 Kegiatan Yang Dibiayai……… 64

2.8 Kondisi Geografis Desa Kota Pari……….. 65

2.9 Kondisi Demografi Desa Kota Pari………. 66

2.10 Jenis Infrastruktur Yang Ada di Desa Kota Pari………….. 67

BAB III HUBUNGAN INTERAKSI KELOMPOK ETNIK TIONGHOA DAN MELAYU DI DESA KOTA PARI……….. 69

3.1 Kelompok Etnik Melayu………. 69

3.1.1 Sejarah Kedatangan Kelompok Etnik Melayu………. 69

3.1.2 Jumlah Penduduk Kelompok Etnik Melayu…………. 72

3.1.3 Aktivitas Sehari-hari Kelompok Etnik Melayu………. 73

3.1.4 Kondisi Perekonomian Kelompok Etnik Melayu…….. 74

3.1.5 Tingkat Pendidikan Kelompok Etnik Melayu………… 75

(18)

3.1.6 Agama dan Aliran Kepercayaan Kelompok

Etnik Melayu……… 76

3.1.7 Afiliasi Politik & Kemasyarakatan Kelompok Etnik Melayu………. 77

3.2 Kelompok Etnik Tionghoa……… 78

3.2.1 Sejarah Kedatangan Kelompok Etnik Tionghoa…… 78

3.2.2 Marga/ Clan Kelompok Etnik Tionghoa di Desa Kota Pari………. 80

3.2.3 Jumlah Penduduk Kelompok Etnik Tionghoa……... 81

3.2.4 Aktivitas Sehari-hari Kelompok Etnik Tionghoa…... 81

3.2.5 Kondisi Perekonomian Kelompok Etnik Tionghoa… 82

3.2.6 Tingkat Pendidikan Kelompok Etnik Tionghoa……. 83

3.2.7 Agama dan Aliran Kepercayaan Kelompok Etnik Tionghoa……… 85

3.2.8 Afiliasi Politik & Kemasyarakatan Kelompok Etnik Tionghoa……… 92

3.3 Hubungan Kerjasama Kelompok Etnik Tionghoa dan Melayu……… 93

3.3.1 Kerjasama Dalam Kegiatan Ekonomi……… 93

3.3.2 Kerjasama Dalam Kegiatan Sosial………. 95

3.3.3 Kerjasama Dalam Kegiatan Keagamaan……… 100

3.4 Hambatan Hubungan Kerjasama………... 101

3.4.1 Jenis Hambatan………... 101

3.4.2 Penyebab Timbulnya Hambatan………. 108

3.4.3 Upaya Penyelesaian Hambatan Hubungan…………. 111

BAB IV PANDANGAN SOSIAL……… 114

4.1 Pandangan Kelompok Etnik Tionghoa Terhadap Kelompok Etnik Melayu………. 114

4.1.1 Pandangan Positif………... 115

4.1.2 Pandangan Negatif………. 117

4.2 Pandangan Kelompok Etnik Melayu Terhadap Kelompok Etnik Tionghoa……… 118

4.2.1 Pandangan Positif………... 119

4.2.2 Pandangan Negatif………. 121

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN……….. 124

5.1 Kesimpulan………... 124

5.2 Saran………. 128

DAFTAR PUSTAKA………... 130

LAMPIRAN……….. 133

(19)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Peristiwa Bersejarah Yang Pernah Terjadi di Desa Kota

Pari... 50

Tabel 2. Nama-nama Pejabat Kepala Desa Kota Pari... 52

Tabel 3. Struktur Organisasi serta Perangkat Desa Kota Pari... 53

Tabel 4. Kebijakan Umum dan Program Pembangunan Desa Kotav Pari... 55

Tabel 5. Pemanfaatan Lahan Desa Kota Pari... 56

Tabel 6. Jenis-jenis Pekerjaan Penduduk Desa Kota Pari... 63

Tabel 7. Kondisi Geografis Desa Kota Pari... 65

(20)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Kelompok etnik Tionghoa merupakan salah satu dari beberapa kelompok etnik perantauan di Indonesia, secara historis keberadaan kelompok etnik Tionghoa di Indonesia dapat dibuktikan diperkirakan sejak 300 tahun sebelum masehi. Dimana pada saat itu pedagang-pedagang Tionghoa telah datang ke daerah-daerah Nanyang1, namun catatan-catatan sejarah tertulis menunjukkan mereka telah datang ke Asia Tenggara sebagai pedagang lama setelah itu. Sekitar abad ke-11, mereka datang ke negara-negara di Asia Tenggara yang terletak di daratan Asia sebagai pedagang (Dahana, 2000: 54).

Hubungan kelompok etnik Tionghoa dengan kelompok etnik Nusantara di Indonesia sudah barang tentu diikuti oleh beragam peristiwa, salah satu dari ragam peristiwa tersebut adalah ketegangan sosial yang melibatkan kelompok etnik Tionghoa dengan kelompok etnik Nusantara.

Bentuk ketegangan hubungan sosial tersebut ditandai dengan terjadinya bentrok, demonstrasi, penjarahan bahkan hingga pemerkosaan terhadap perempuan kelompok etnik Tionghoa yang terjadi di berbagai daerah.

Peristiwa konflik yang melibatkan kelompok etnik Tionghoa di Indonesia pertama kali yang tercatat dalam sejarah, terjadi pada tahun 1740.

Peristiwa tersebut di kenal dengan “Geger Pacinan” yang terjadi di Batavia dan Semarang, dimana pada saat itu VOC Melakukan deportasi dan

1 Nanyang merupakan pesisir laut China selatan menurut istilah bangsa China

(21)

pembunuhan massal terhadap kelompok etnik Tionghoa. Peristiwa ini bermula pada saat awal mula abad ke-17, kamar dagang VOC kalah bersaing dengan maskapai dagang Inggris, Britisch East India Company. Alhasil VOC pusat menekan VOC Hindia Belanda untuk menaikkan pendapatan. Meningkatnya imigran tionghoa yang masuk ke Batavia bukan lagi dianggap bantuan, melainkan ancaman.

Tahun 1719, jumlah kelompok etnik Tionghoa lebih dari 7500 jiwa, hingga pada tahun 1739 melonjak jadi lebih dari sepuluh ribu jiwa. Di pasar dunia, harga gula yang menjadi andalan VOC menurun, akibat banyaknya ekspor gula ke Eropa. Hal ini menyebabkan pabrik gula di Hindia Belanda terus merugi. Angka pengangguran termasuk para buruh gula kelompok etnik Tionghoa di Batavia pun meningkat. Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu Adriaan Valckeneir memberlakukan aturan izin tinggal yang ketat.

Ancamannya: Penjara, denda atau dideportasi.

Kelompok etnik Tionghoa kaya merasa diperas. Lalu setelah itu berkembang isu bahwa, jika aturan izin tinggal tidak dipenuhi, para buruh dan imigran Tionghoa akan dikirim ke Sri Lanka, tentu kelompok etnik Tionghoa pada saat itu didera kecemasan. Situasi itu menciptakan rasa frustasi yang berlanjut dengan perlawanan terhadap VOC.

Perlawanan terjadi pada tanggal 7 Oktober 1740, ratusan kelompok etnik Tionghoa menyerbu pabrik gula, pos-pos keamanan VOC, disusul serangan ke Benteng Batavia keesokan harinya. Tanggal 9 Oktober 1740, tentara VOC mengatasi pemberontakan yang dilakukan oleh kelompok etnik

(22)

Tionghoa, dengan berbalik mengejar pemberontak, rumah-rumah dan pasar warga kelompok etnik Tionghoa dibumi hanguskan, ratusan orang Tionghoa lari ke kali, diburu, dan dibantai tanpa ampun. Kali Angke dan Kali Besar banjir darah sekaligus menjadi saksi bisu atas peristiwa ini.

Razia kelompok etnik Tionghoa berlanjut, bahkan dewan Hindia Belanda menjanjikan hadiah bagi siapa yang berhasil memancung kelompok etnik Tionghoa, hal inilah yang kemudian memancing kelompok etnik lain yang dalam hal ini adalah kelompok etnik Nusantara ikut memburu kelompok etnik Tionghoa. Diperkirakan hanya sekitar enam ratus hingga tiga ribu kelompok etnik Tionghoa yang selamat akibat insiden ini.

Pada tahun 1912-1918 terjadi kerusuhan yang melibatkan kelompok etnik Tionghoa di Indonesia, peristiwa kerusuhan ini dipercaya memiliki keterkaitan dengan kegiatan-kegiatan serikat Indonesia yang berkonflik dengan kelompok etnik Tionghoa yang terjadi di Surakarta dan Surabaya.

Pada tahun 1918, kerusuhan yang melibatkan kelompok etnik Tionghoa terjadi di Kudus. Kerusuhan ini terjadi akibat pertentangan kepentingan antara pengusaha kelompok etnik Tionghoa dengan para pedagang Pribumi. Akibat dari kerusuhan tersebut beberapa orang Tionghoa terbunuh dan juga banyak mengalami luka-luka, selain korban jiwa, rumah- rumah warga Tionghoa juga banyak yang habis dibakar.

Pada tahun 1966, terjadi peristiwa ketegangan sosial di beberapa daerah di kota Medan. Kelompok etnik Tionghoa menjadi sasaran utama atas peristiwa ini, mereka dibantai, dan rumah-rumah mereka dibakar. Peristiwa

(23)

tersebut terjadi diduga kuat berkaitan dengan peristiwa kudeta dan pembantaian massal pada tahun 1965 di Indonesia yang pada masa Orba (Orde Baru) didalangi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Sebelum peristiwa tersebut telah lahir dan berkembang sentimen anti Tionghoa di Indonesia, dikarenakan negeri asal kelompok etnik Tionghoa yaitu China, adalah sebuah negara komunis yang sejak didirikan pada tahun 1946 telah dipimpin oleh Partai Komunis China (PKC). Hal tersebutlah yang kemudian menjadikan masyarakat Indonesia berpandangan bahwa setiap kelompok etnik Tionghoa yang berada di Indonesia adalah bagian dari penganut paham Komunis.

Tahun 1997-2000, terjadi peristiwa yang dikenal dengan “Natal Kelabu” di beberapa wilayah Indonesia seperti: Tasikmalaya, Rengasdengklok, Pasuruan, Probolinggo, Pekalongan dan Situbondo.

Kerusuhan ini juga melibatkan kelompok etnik Tionghoa sebagai korban.

Pada tanggal 13-15 Mei 1998, kembali terjadi peristiwa kerusuhan terbesar dalam sejarah, dimana kelompok etnik Tionghoa menjadi sasaran kekerasan berupa intimidasi dan kekerasan seksual termasuk pemerkosaan terhadap perempuan kelompok etnik Tionghoa. TGPF2 (Tim Gabungan Pencari Fakta), berkeyakinan bahwa, peristiwa tanggal 13-15 mei 1998 tidak dapat dilepaskan dari konteks keadaan dan dinamika sosial politik masyarakat Indonesia pada periode waku itu, serta dampak ikutannya. Rentetan peristiwa sebelum-sebelumnya seperti pemilu 1997, penculikan sejumlah aktivis, krisis

2 TGPF adalah sebuah lembaga independen yang sengaja dibentuk dalam rangka mengumpulkan fakta-fakta

(24)

ekonomi, sidang umum MPR-RI 1998, unjuk rasa/demontrasi mahasiswa yang terus menerus serta tewas tertembaknya mahasiswa Universitas Trisakti, semua berkaitan dengan peristiwa tanggal 13-15 mei 1998. Kejadian-kejadian tersebut merupakan rangkaian tindakan kekerasan yang menuju pada pecahnya peristiwa kerusuhan yang menyeluruh pada tanggal 13-15 mei 1998.

TGPF Berkeyakinan bahwa, salah satu dampak utama peristiwa kerusuhan tersebut adalah terjadinya pergantian kepemimpinan Nasional pada tanggal 12 mei 1998.

Dampak ikutan lainnya ialah berlanjutnya kekerasan berupa intimidasi dan kekerasan seksual termasuk perkosaan yang berhubungan dengan kerusuhan 13-15 mei 1998. Sulit ditemukan angka pasti jumlah korban dan kerugian dalam peristiwa ini. Untuk Jakarta, TGPF menemukan variasi jumlah korban meninggal dan luka-luka seperti berikut: (1) data Tim Relawan 1.190 orang akibat Ter/ dibakar, 27 akibat senjata/ dan lainnya, 91 luka-luka; (2) data Polda 451 meninggal, korban luka-luka tidak tercatat; (3) data Kodam 463 meninggal dunia termasuk aparat keamanan, 69 orang luka-luka; (4) data Pemda DKI meninggal dunia 288, dan luka-luka 101. Untuk kota-kota lain di luar Jakarta variasi angkanya adalah sebagai berikut: (1) data Polri 32 orang meninggal dunia, luka-luka 131 orang dan 27 orang luka bakar; (2) data Tim Relawan 33 meninggal dunia dan 74 luka-luka. Opini yang selama ini terbentuk adalah bahwa mereka yang meninggal akibat kesalahannya sendiri, padahal ditemukan banyak orang meninggal bukan karena kesalahannya sendiri. Perbedaan jumlah korban jiwa antara yang ditemukan Tim dengan

(25)

angka resmi yang dikeluarkan Pemerintah terjadi karena pada kenyataannya begitu banyak korban yang telah dievakuasi sendiri oleh masyarakat, sebelum ada evakuasi resmi dari Pemerintah. Korban-korban ini tidak tercatat dalam laporan resmi pemerintah.

Pada 29 Juli, 2016. Terjadi ketegangan yang melibatkan kelompok etnik Melayu Muslim dengan kelompok etnik Tionghoa yang mayoritas beragama Budha di Tanjung Balai. Berita yang beredar bahwa peristiwa tersebut berawal dari tindakan seorang wanita keturunan Tionghoa yang memprotes suara toa masjid kepada salah seorang pengurus masjid ketika sedang memutar kaset mengaji dan juga adzan karena terlalu keras menurutnya sehingga mengganggu ketenangannya, tidak terima dengan perlakuan wanita Tionghoa tersebut, pengurus masjid lalu menceritakan apa yang dialaminya kepada warga sekitar, mendengar aduan dari pengurus masjid warga menjadi merasa kesal, lalu melakukan aksi protes balik dengan mendatangi rumah wanita Tionghoa tersebut, kemudian membakar sebuah Vihara yang ada di Tajung Balai serta menurunkan Patung Budha setinggi enam meter yang terdapat di dalam Vihara tersebut, untuk meredam amuk warga, pihak Kepolisian akhirnya mengamankan wanita Tionghoa tersebut dan membawa kasus ini ke Pengadilan.

Aksi protes yang dilakukan oleh wanita keturunan Tionghoa tersebut bukanlah satu-satunya pemicu yang menyebabkan terjadinya peristiwa pembakaran serta diturunkannya patung Budha yang terdapat di dalam Vihara di kota Tanjung Balai, enam tahun sebelum terjadinya peristiwa itu, suasana

(26)

kondusif kehidupan beragama antara umat Islam Melayu dengan Umat Budha Tionghoa di kota Tanjung Balai mulai terusik, hal tersebut dapat ditandai ketika patung Budha di Vihara Tri Ratna yang didirikan umat Budha diprotes warga Muslim setempat dan memaksa patung itu diturunkan sejak tahun 2010.

Umat Budha tidak menerima tuntutan itu walaupun mengalami tekanan demi tekanan. Sementara itu, tekanan yang diberikan umat Muslim Tanjung Balai didasarkan pada pandangan bahwa Vihara Tri Ratna yang berlantai empat itu terus dipugar sejak berdiri pada 1984, yang dipuncaknya berdiri tegak patung Budha setinggi enam meter itu, menjadi simbol seolah-olah jika pendatang tidak paham, Tanjung Balai telah menjadi kota Budha. Itu yang tidak dapat diterima umat Islam setempat dan itupula yang tidak dapat dipahami umat Budha setempat, bahwa kontestasi antarumat beragama bisa berjalan melalui simbol-simbol keagamaan.3

Di beberapa daerah juga banyak terdapat usaha-usaha untuk membenturkan kelompok etnik Tionghoa dengan kelompok etnik Nusantara, seperti di kota Medan beberapa tahun yang lalu sebuah koran memuat dengan vulgar berita bahwa seorang Polisi Lalulintas ditampar ‘orang Tionghoa’.

Terlepas benar atau tidaknya berita tersebut, motif pembuatan berita itu sangat jelas. Seorang wartawan yang menulis berita tersebut ingin penduduk etnik Nusantara marah dan mengamuk lalu menggeruduk semua orang Tionghoa yang ditemuinya. Akan tetapi provokasi yang dilakukan wartawan media online itu tidak mampu menggerakkan masa untuk bertindak anarki walaupun

3 Tulisan Oleh Dr. Fikarwin Zuska di https://m.mediaindonesia.com/red/detail/60306-api-dalam- sekam-etnisitas 8 Agustus 2016

(27)

berbagai komentar keras sempat bermunculan di media sosial yang disebabkan oleh berita provokasi tersebut.4

Kelompok etnik Tionghoa tersebar luas hampir di seluruh wilayah Nusantara, termasuk Serdang Bedagai, khususnya di Desa Kota Pari yang masuk kedalam Kecamatan Pantai Cermin. Berdasarkan data yang penulis peroleh dari komposisi penduduk Kecamatan Pantai Cermin berdasarkan suku bangsa, penduduk kelompok etnik Tionghoa di Kecamatan Pantai Cermin saat ini berjumlah 8.726 jiwa.5

Hingga saat ini, belum ada tulisan-tulisan terbaru yang menjelaskan dan/ atau mempelajari hubungan kelompok etnik Melayu dengan kelompok etnik Tionghoa di Kabupaten Serdang Bedagai, khususnya di Desa Kota Pari yang termasuk ke dalam Kecamatan Pantai Cermin. Studi yang mempelajari hubungan antara kelompok etnik Melayu dengan kelompok etnik Tionghoa penulis temukan pada sebuah jurnal hasil penelitian yang dilakukan di Kota Tanjung Balai dengan judul “Pola Komunikasi Masyarakat Muslim Melayu Dan Tionghoa (Studi Terhadap Penyelesaian Konflik Di Kota Tanjung Balai)”,6 yang diterbitkan pada bulan Juni, 2018. Dalam jurnal hasil penelitian tersebut dapat dilihat bahwa, salah satu faktor penyebab terjadinya ketegangan sosial Antara kelompok etnik Tionghoa dengan kelompok etnik Melayu Muslim adalah karena kesenjangan sosial dan ekonomi. Sehingga diperlukan

4 Tulisan oleh Dr. Fikarwin Zuska

5 Sumber data dari repository.usu.ac.id

6 Tafáqquh: Jurnal Penelitian dan Kajian Keislaman Volume 6, Nomor 1, Juni 2018; p-ISSN 2338- 3186; e-ISSN 2549-1873; 01-27.

(28)

wadah sebagai forum dialog dan komunikasi antar kelompok yang berbeda stratifikasi sosial ekonomi, tempat tinggal, etnik, suku dan sebagainya, sehingga kalau timbul masalah, bisa didialogkan dan dicarikan solusinya.

Tidak terdapat penjelasan mengenai bagaimana interaksi kedua kelompok etnik tersebut dalam kehidupan mereka sehari-hari, bagaimana mereka memandang satu dengan yang lainnya, sehingga ketegangan dapat terjadi.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis paparkan di atas dan diikuti dengan fakta hasil temuan selama melakukan penelitian di lapangan maka, penulis merumuskan bahwa yang menjadi permasalahan pada penelitian ini adalah, seperti apa hubungan kelompok etnik Tionghoa dan Melayu dalam kegiatan Ekonomi, sosial, dan keagamaan, bagaimana pandangan kelompok etnik Melayu terhadap kelompok etnik Tionghoa, bagaimana pula pandangan kelompok etnik Tionghoa terhadap kelompok etnik Melayu, dan seperti apa hambatan-hambatan yang berpotensi merenggangkan hubungan keduanya.

Untuk mempermudah tulisan ini agar dapat mencapai hasil penelitian yang objektif maka dibuat rumusan masalah mengenai hubungan sosial sehari- hari antara kelompok etnik Tionghoa dengan kelompok etnik Melayu di Desa Kota Pari, kecamatan Pantai Cermin, Kabupaten Serdang Bedagai. Masalah tersebut penulis uraikan ke dalam beberapa pertanyaan penelitian seperti berikut:

(29)

1. Bagaimana hubungan sosial sehari-hari kelompok etnik Tionghoa dan Melayu di Desa Kota Pari, Kecamatan Pantai Cermin, Kabupaten Serdang Bedagai?

2. Adakah hal-hal yang menjadi penghambat hubungan sosial sehari-hari kelompok etnik Melayu dan Tionghoa di Desa Kota Pari, Kecamatan Pantai Cermin, Kabupaten Serdang Bedagai?

3. Seperti apa kelompok etnik Tionghoa dalam pandangan kelompok etnik Melayu dan, sebaliknya seperti apa kelompok etnik Melayu dalam pandangan kelompok etnik Tionghoa?

4. Upaya seperti apa yang dilakukan oleh Pemerintah maupun kelompok etnik Tionghoa dan Melayu agar dapat memperbaiki hubungan keduanya apabila terjadi hambatan?

1.3 Tinjauan Pustaka I. Interaksi Sosial

Interaksi sosial merupakan salah satu proses sosial. Bentuk interaksi sosial dapat berupa kerjasama (Cooperation), persaingan (Competition), dan bahkan pertikaian (Conflict). Tetapi biasanya konflik mendapatkan penyelesaian, walaupun kadang-kala hanya bersifat sementara, yaitu akomodasi (Accommodation), (Sya’roni, 2008: 34). Sedangkan menurut penulis, interaksi sosial adalah istilah lain dari Hubungan Antar Etnis atau kelompok etnik yang akan mendorong terjadinya dinamika masyarakat dan kebudayaan seperti:

Kerjasama, persaingan, dan konflik.

(30)

Gillin dan Gillin (1954), membuat penggolongan proses sosial sebagai akibat adanya interaksi sosial, yaitu proses yang assosiatif dan dissosiatif.

Assosiatif terdiri dari akulturasi dan asimilasi.

Akulturasi

Istilah akulturasi, atau acculturation atau culture contact, mempunyai berbagai arti di antara para sarjana antropologi, tetapi semua sepaham bahwa konsep itu mengenai proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri. Terbukti bahwa tidak pernah terjadi difusi dari satu unsur kebudayaan. Unsur-unsur itu, seperti termaktub dalam contoh tentang penyebaran mobil tersebut selalu berpindah- pindah sebagai suatu gabungan atau suatu kompleks yang tidak mudah dipisah- pisahkan.

Lagipula, sejak dulu kala dalam sejarah kebudayaan manusia ada gerak migrasi, gerak perpindahan dari suku-suku bangsa di muka bumi. Migrasi tentu menyebabkan pertemuan-pertemuan antara kelompok-kelompok yang berbeda- beda. Akibatnya ialah individu-individu dalam kelompok-kelompok itu dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaan asing.

Penelitian-penelitian sekitar masalah akulturasi timbul dalam lapangan ilmu antropologi kurang dari setengah abad yang lalu. Sebelum banyak sarjana

(31)

antropologi tertarik akan kebudayaan suku-suku bangsa di luar Eropa yang “se- asli” mungkin (Belum terkena pengaruh kebudayaan Eropa-Amerika dan yang belum terkena pengaruh “zaman baru”). Penelitian serupa itu hampir tidak mungkin lagi sekarang, karena di seluruh muka bumi sudah hampir tidak ada lagi suku bangsa yang “asli” seperti itu. Penelitian-penelitian yang memperhatikan masalah akulturasi di mulai kira-kira sekitar tahun 1910, dan bertambah banyak sekitar tahun 1920. Penelitian-penelitian itu sebagian besar bersifat deskriptif, yaitu melukiskan satu peristiwa akulturasi yang konkret pada satu atau beberapa suku bangsa tertentu yang sedang mendapat pengaruh unsur-unsur kebudayaan Eropa-Amerika (Koentjaraningrat, 2009: 203).

Disamping karangan-karangan deskriptif , timbul pula karangan-karangan yang bersifat teori, yaitu karangan-karangan yang mengabstraksikan berbagai peristiwa akulturasi dan beberapa konsep mengenai gejala akulturasi. Beberapa penelittian juga dilakukan oleh para sarjana dari luar kalangan ilmu antropologi, menyangkut masalah akulturasi itu. Pada masa menjelangnya Perang Dunia II itu, memang menjadi sangat besar sehingga dari kalangan ilmu antropologi timbul suatu kebutuhan untuk meninjau kembali segala masalah mengenai gejala akulturasi yang telah timbul dan dikupas dalam masa yang lalu. Suatu panitia dari dewan ilmiah Social Science Council di Amerika yang terdiri dari tiga orang sarjana antropologi terkenal, yaitu: R. Redfield, R. Linton, dan M.J. Herskovith, yang telah mengerjakan peninjauan kembali tadi dan berhasil menyusun suatu ikhtisar dalam tahun 1935. Mereka mencoba meringkas dan merumuskan semua masalah dalam lapangan penelitian akulturasi. Ikhtisar itu berjudul

(32)

A Memorandum For The Study Of Acculturation, dimuat dalam berbagai majalah

ilmu antropologi yang terpenting (Koentjaraningrat, 2009: 204).

Asimilasi

Asimilasi (Assimilation) adalah proses sosial yang timbul bila ada: (A) Golongan-golongan manusia dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda- beda, (B) Saling bergaul langsung secara intensif untuk waktu yang lama, sehingga (C) Kebudayaan-kebudayaan golongan-golongan tadi masing-masing berubah sifatnya yang khas, dan juga unsur-unsurnya masing-masing berubah wujudnya menjadi unsur-unsur kebudayaan campuran. Biasanya, golongan- golongan yang tersangkut dalam suatu proses asimilasi adalah suatu golongan mayoritas dan beberapa golongan minoritas. Dalam hal ini golongan-golongan minoritas mengubah sifat khas dari unsur-unsur kebudayannya dan menyesuaikannya dengan kebudayaan dari golongan mayoritas. Sedemikian rupa sehingga lambat laun kehilangan kepribadian kebudayaannya dan masuk ke dalam kebudayaan mayoritas (Koentjaraningrat, 2009: 209).

Proses-proses sosial yang disebut asimilasi itu banyak diteliti oleh para sarjana sosiologi, terutama di Amerika Serikat. Di sana timbul berbagai masalah yang berhubungan dengan adanya individu–individu dan kelompok imigran yang berasal dari berbagai suku bangsa dan negara di Eropa, yang mempunyai kebudayaan-kebudayaan yang berbeda-beda. Indonesia, mempunyai banyak

(33)

golongan khusus, baik yang berupa suku bangsa, lapisan sosial, golongan agama, pengetahuan mengenai seluk-beluk proses asimilasi dari tempat-tempat lain di dunia menjadi penting sekali sebagai bahan perbandingan.

Hal yang penting untuk diketahui adalah faktor-faktor yang menghambat proses asimilasi. Dari berbagai proses asimilasi yang pernah diteliti oleh para ahli terbukti bahwa hanya dengan pergaulan antara kelompok-kelompok yang berhadapan itu tidak ada suatu sikap toleransi dan simpati satu terhadap yang lain.

Orang China misalnya ada di Indonesia, bergaul secara luas dan intensif dengan orang Indonesia sejak berabad-abad lamanya, namun mereka belum juga semua terintegrasi ke dalam masyarakat dan kebudayaan Indonesia, karena selama itu belum cukup ada sikap saling bertoleransi dan bersimpati. Sikap toleransi dan simpati terhadap kebudayaan lain itu sebaliknya sering terhalang oleh berbagai faktor, dan faktor-faktor ini sudah tentu juga menjadi penghalang proses asimilasi pada umumnya. Faktor-faktor itu adalah: (A) Kurang pengetahuan mengenai kebudayaan yang dihadapi, (B) Sifat takut terhadap kekuatan dan kebudayaan lain, (C) Perasaan superioritas pada individu-individu dari satu kebudayaan terhadap yang lain.

II. Prasangka Sosial

Pengertian prasangka dibatasi sebagai sifat negatif yang tidak dapat dibenarkan terhadap suatu kelompok dan individu anggotanya. Prasangka atau prejudice merupakan perilaku negatif yang mengarahkan kelompok pada

individualis berdasarkan pada keterbatasan atau kesalahan informasi tentang kelompok. Prsangka juga dapat didefenisikan sebagai sesuatu yang bersifat

(34)

emosional, yang akan mudah sekali menjadi motivator munculnya ledakan sosial (Worchel, 2000).

Prasangka sosial adalah dugaan-dugaan yang memiliki sifat positif atau negatif, tetapi biasanya lebih bersifat negatif (Mar’at, 1981), sedangkan menurut brehm dan Kassin (1993), Prasangka sosial adalah perasaan negatif terhadap seseorang semata-mata berdasar pada keanggotaan mereka dalam kelompok tertentu.

Prasangka sosial adalah penilaian terhadap kelompok atau seseorang individu yang terutama didasarkan pada keanggotaan kelompok tersebut, artinya prasangka sosial ditujukan pada orang atau kelompok orang yang berbeda dengannya atau kelompoknya. Prasangka sosial memiliki kualitas suka atau tidak suka pada objek yang diprasangkainya, dan kondisi ini akan mempengaruhi tindakan atau perilaku seseorang yang berprasangka tersebut (David O. Sears, 1991).

Kartono, (1981) menguraikan bahwa prasangka merupakan penilaian yang terlampau tergesa-gesa, berdasarkan generalisasi yang teramat cepat, sifatnya berat sebelah dan dibarengi tindakan yang menyederhanakan suatu realitas.

Prasangka sosial merupakan sikap negatif yang ditujukan pada orang lain yang berbeda dengan kelompoknya tanpa adanya alasan yang mendasar pada pribadi orang tersebut (Papalia dan Sally, 1985). Lebih lanjut diuraikan bahwa prasangka sosial berasal dari adanya persaingan yang secara berlebihan antar

(35)

individu atau kelompok, selain itu proses belajar juga berperan dalam pembentukan prasangka sosial dan kesemuanya ini akan terintegrasi dalam kepribadian sesorang.

Allport, (1984) menguraikan bahwa prasangka sosial merupakan suatu sikap yang membenci kelompok lain tanpa adanya alasan yang objektif untuk membenci kelompok tersebut. Kossen, (1986) menguraikan bahwa prasangka sosial merupakan gejala yang interen yang meminta tindakan prahukum, atau pembuat keputusan-keputusan berdasarkan bukti yang tidak cukup. Dengan demikian bila seseorang berupaya memahami orang lain dengan baik maka tindakan prasangka sosial tidak perlu terjadi.

Individu yang berprasangka pada umumnya memiliki sedikit pengalaman pribadi dengan kelompok yang diprasangkai. Prasangka cenderung tidak didasarkan pada fakta-fakta objektif, tetapi didasarkan pada fakta-fakta yang minim yang diinterpretasi secara subjektif (Sears, 1991).

Jadi, menurut penulis berdasarkan beberapa pendapat di atas, prasangka sosial merupakan penilaian suatu kelompok tertentu terhadap kelompok lainnya yang cenderung negatif berdasarkan pengalaman kedua kelompok tersebut selama menjalani hidup.

A. Ciri-ciri Prasangka Sosial

Ciri-ciri prasangka sosial dapat dilihat dari kecenderungan individu untuk membuat kategori sosial (Social Categorization). Yang merupakan kecenderungan untuk membagi dunia sosial menjadi dua kelompok yaitu,

(36)

“Kelompok Kita” (In Group) dan “Kelompok Mereka” (Out Group). In group adalah kelompok sosial dimana individu merasa dirinya dimiliki “Kelompok kami”. Sedangkan out group adalah group di luar group sendiri “Kelompok mereka”.

Timbulnya prasangka sosial dapat dilihat dari perasaan in group dan out group yang menguat. Adapun ciri-ciri prasangka sosial berdasarkan penguatan

perasaan in group dan out group adalah sebagai berikut:

1. Proses generalisasi terhadap perbuatan anggota kelompok lain

Jika ada salah seorang individu dari kelompok luar berbuat negatif, maka akan digeneralisasikan pada semua anggota kelompok luar. Sedangkan jka ada salah seorang individu yang berbuat negatif dari kelompok sendiri, maka perbuatan negatif tersebut tidak akan digeneralisasikan pada anggota kelompok sendiri yang lainnya.

2. Kompetisi sosial

Merupakan suatu cara yang digunakan oleh anggota kelompok untuk meningkatkan harga dirinya dengan membandingkan kelompoknya dengan kelompok lain dan menganggap kelompok sendiri lebih baik daripada kelompok lain.

3. Penilaian ekstrim terhadap kelompok lain

Individu melakukan penilaian terhadap anggota kelompok lain baik penilaian positif ataupun negatif secara berlebihan. Biasanya penilaian yang diberikan berupa penilaian negatif.

(37)

4. Pengaruh seleksi selektif dan ingatan masa lalu

Pengaruh seleksi selektif dan ingatan masa lalu biasanya dikaitkan dengan stereotipe. Stereotipe adalah keyakinan (Belief) yang menghubungkan sekelompok individu dengan ciri-ciri sifat tertentu atau anggapan tentang ciri- ciri yang dimiliki oleh anggota kelompok luar. Jadi, stereotipe adalah prakonsepsi ide mengenai kelompok, suatu image yang pada umumnya sangat sederhana, kaku, dan klise serta tidak akurat yang biasanya timbul karena proses generalisasi. Sehingga apabila ada seorang individu memiliki stereotipe yang relevan dengan individu yang mempersepsikannya, maka akan langsung dipersepsikan secara negatif.

5. Perasaan frustasi (Scape Goating)

Perasaan frustasi (Scape Goating) adalah rasa frustasi seseorang sehingga membutuhkan pelampiasan sebagai objek atas ketidakmampuannya menghadapi kegagalan. Kekecewaan akibat persaingan antar masing-masing individu dan kelompok menjadikan seseorang mencari pengganti untuk mengekspresikan frustasinya kepada objek lain. Objek lain tersebut biasanya memiliki kekuatan yang lebih rendah dibandingkan dengan dirinya sehingga membuat individu mudah berprasangka (Brigham, 1991).

6. Agresi antar kelompok

Agresi biasanya timbul akibat cara berfikir yang realistis, sehingga menyebabkan seseorang cenderung berperilaku agresif.

7. Dogmatisme

(38)

Merupakan sekumpulan kepercayaan yang dianut seseorang berkaitan dengan masalah tertentu, salah satunya adalah mengenai kelompok lain.

Bentuk dogmatisme dapat berupa etnoesentrisme dan favoritisme.

Etnosentrisme adalah faham atau kepercayaan yang menempatkan kelompok sendiri sebagai pusat segala-galanya. Sedangkan, favoritisme adalah pandangan atau kepercayaan individu yang menempatkan kelompok sendiri sebagai yang terbaik, paling benar, dan paling bermoral.

B. Sumber-sumber Penyebab Prasangka Sosial

Sumber penyebab prasangka secara umum dapat dilihat berdasarkan tiga pandangan, yaitu:

1. Prasangka Sosial

Sumber prasangka sosial, antara lain:

 Ketidakserasian sosial

Ketidakserasian sosial ini dapat berasal dari ketidaksetaraan status dan prasangka serta agama dan prasangka. Ketidaksetaraan status dan prasangka merupakan kesenjangan atau perbedaan yang mengiring ke arah prasangka negatif. Sebagai contoh , seorang majikan yang memandang budak sebagai individu yang malas, tidak bertanggung jawab, kurang berambisi, dan sebagainya, karena secara umum ciri-ciri tersebut ditetapkan untuk para budak. Agama juga masih menjadi sumber prasangka. Sebagai contoh kita menganggap agama yang orang lain anut itu tidak sebaik agama yang kita anut.

 Identitas sosial

(39)

Identitas sosial merupakan bagian untuk menjawab “Siapa aku?” yang dapat dijawab bila kita memiliki keanggotaan dalam sebuah kelompok. Kita mengidentifikasikan diri kita dengan kelompok tertentu (in group), sedangkan ketika kita dengan kelompok lain kita cenderung untuk memuji kebaikan kelompok kita sendiri.

 Konformitas

Konformitas juga merupakan salah satu sumber prasangka sosial.

Menurut penelitian bahwa orang yang berkonformitas memiliki tingkat prasangka lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak berkonformitas.

2. Prasangka Secara Emosional

Prasangka sering kali timbul dipicu oleh situasi sosial, padahal faktor emosi juga dapat memicu prasangka sosial. Secara emosional, prasangka dapat dipicu oleh frustasi dan agresi, kepribadian yang dinamis, dan kepribadian otoriter.

 Frustasi dan Agresi

Rasa sakit dan frustasi sering membangkitkan pertikaian. Salah satu sumber frustasi adalah adanya kompetisi. Ketika dua kelompok bersaing untuk memperebutkan sesuatu, misalnya pekerjaan, rumah, dan derajat sosial, pencapaian goal salah satu pihak dapat menjadikan frustasi bagi pihak yang lain.

 Kepribadian yang Dinamis

(40)

Status bersifat relatif, untuk dapat merasakan diri kita memiliki status, kita memerlukan adanya orang yang memiliki status dibawah kita.

Salah satu kelebihan psikologi tentang prasangka adalah adanya sistem status, yaitu perasaan superior. Contohnya adalah ketika kita mendapatkan nilai terbaik di kelas, kita merasa menang dan dianggap memiliki status yang lebih baik.

 Kepribadian Otoriter

Emosi yang ikut berkontribusi terhadap prasangka adalah kepribadian diri yang otoriter. Sebagai contoh, pada studi orang dewasa di amerika, Theodor adorno dan kawan-kawan (1950) menemukan bahwa pertikaian terhadap kaum yahudi sering terjadi berdampingan dengan pertikaian terhadap kaum minoritas.

3. Prasangka Kognitif

Memahami stereotipe dan prasangka akan membantu memahami bagaimana otak bekerja. Selama sepuluh tahun terakhir, pemikiran sosial mengenai prasangka adalah kepercayaan yang telah distereotipekan dan sikap prasangka timbul tidak hanya karena pengkondisian sosial, sehingga mampu menimbulkan pertikaian, akan tetapi juga merupakan hasil dari proses pemikiran yang normal. Sumber prasangka kognitif dapat dilihat dari kategorisasi dan simulasi distinktif.

Kategorisasi merupakan salah satu cara untuk menyederhanakan lingkungan kita, yaitu dengan mengelompokkan objek-objek berdasarkan

(41)

kategorinya. Biasanya individu dikategorikan berdasarkan jenis kelamin dan etnik. Sebagai contoh, Tom (45 tahun), orang yang memiliki darah Afrika- Amerika. Dia merupakan seorang agen real estate di Irlandia Baru. Kita memiliki gambaran dirinya adalah seorag pria yang memiliki kulit hitam, daripada kita menggambarkannya sebagi pria berusia paruh baya, seorang bisnisman, atau penduduk bagian selatan. Berbagai penelitian mengekspos kategori orang secara spontan terhadap perbedaan ras yang menonjol.

Selain menggunakan kategorisasi sebagai cara untuk merasakan dan mengamati dunia, kita juga akan menggunakan stereotipe. Seringkali orang yang berbeda, mencolok, dan terlalu ekstrim dijadikan perhatian dan mendapatkan perlakuan yang kurang ajar. Berdasarkan pada perspektif tersebut, sumber utama penyebab timbulnya prasangka adalah faktor individu dan sosial.

Salah satu penyebab terjadinya prasangka sosial adalah adanya perasaan berbeda dengan keelompok lain atau orang lain misalnya antara kelompok mayoritas dan kelompok minoritas (Blumer, 1984).

Ma’rat (1988), menguraikan bahwa prasangka sosial banyak ditimbulkan oleh beberapa hal seperti berikut:

 Kekuasaan faktual yang terlihat dalam hubungan kelompok mayoritas dan minoritas.

 Fakta akan perlakuan terhadap kelompok mayoritas dan minoritas.

(42)

 Fakta mengenai kesempatan usaha antara kelompok mayoritas dan

minoritas. Fakta mengenai unsur geografik, dimana keluarga kelompok mayoritas dan minoritas menduduki daerah-daerah tertentu.

 Posisi dan peranan dari sosial ekonomi yang pada umumnya dikuasai kelompok mayoritas.

 Potensi energi eksistensi dari kelompok minoritas dalam mempertahankan hidupnya.

Prasangka sosial terhadap kelompok tertentu bukanlah suatu tanggapan yang dibawa sejak lahir tetapi merupakan sesuatu yang dipelajari. Menurut kossen (1986) seseorang akan belajar dari orang lain atau kelompok tertentu yang menggunakan jalan pintas mental prasangka. Jadi, seseorang memiliki prasangka terhadap orang lain karena terjadinya proses belajar.

C. Teori-teori Prasangka Sosial

Prasangka merupakan hasil dari interaksi sosial, maka prasangka sebagian besar disebabkan oleh faktor sosial. Berikut terdapat beberapa teori psikologi yang dapat menjelaskan bagaimana faktor sosial yang telah dijelaskan di atas dapat menyebabkan munculnya prasangka dan mengapa prasangka muncul dalam interaksi sosial, yaitu: teori konflik realistik, teori belajar sosial, teori kognitif, teori kategori sosial, teori perbandingan sosial, dan devrisasi relatif.

1. Teori Konflik Realistik

(43)

Teori ini memandang bahwa terjadinya kompetisi (Biasanya persaingan memperoleh sumber-sumber langka, seperti ekonomi dan kekuasaan) dan konflik antar kelompok dapat meningkatkan kecenderungan untuk berprasangka dan mendiskriminasikan anggota out group.

Kompetisi yang terjadi antara dua kelompok yang saling mengancam akan menimbulkan permusuhan dan menciptakan peenilaian negatif yang bersifat timbal balik. Jadi, prasangka merupakan konsekuensi dari konflik nyata yang tidak dapat dielakkan.

Ketika kelompok ada dalam situasi kompetisi maka akan memunculkan efek homogenitas out group, yaitu kecenderungan untuk melihat semua anggota dari out group adalah sama atau homogen semakin intensif (Judd dan Park, 1988).

Contoh dari konflik realistik adalah prasangka anti-Negro di selatan (Amerika Serikat) yang menyatakan bahwa penyebabnya adalah konflik kelompok yang realsitis. Pada saat itu, di daerah selatan relatif miskin, dan sangat tergantung pada perkebunan kapuk dan tembakau, serta industri yang relatif kecil. Lapangan kerja sedikit dan jauh, sehingga kelas pekerja berdasarkan jenis kulit mengalami persaingan. Individu negro merupakan pekerja yang tidak terampil dan kurang terdidik berusaha memperebutkan lapangan kerja yang langka itu dengan individu kulit putih yang pada dasarnya merupakan pekerja yang terampil dan terididik.

(44)

Berdasarkan teori, konflik yang terjadi antara kedua kelompok tersebut menumbuhkan realisme dan menunjang timbulnya diskriminasi kerja terhadap individu Negro, karena individu kulit putih memiliki kekuatan ekonomi dan politik yang lebih besar.

2. Teori Belajar Sosial

Menurut teori belajar sosial, prasangka adalah sesuatu yang dipelajari seperti halnya individu belajar nilai-nilai sosial yang lain. Prasangka biasanya diperoleh anak-anak melalui prosses sosialisasi. Anak-anak banyak yang menginternalisasikan norma-norma mengenai stereotipe dan perilaku antar kelompok yang ditetapkan oleh orangtua dan teman sebaya. Selain dari orang tua dan teman sebaya, media massa juga menjadi sumber anak untuk mempelajari stereotipe dan prasangka.

Contoh dari teori belajar sosial adalah di Amerika, banyak anak kulit putih yang mungkin melihat orang tuanya bersikap diskriminatif terhadap individu kulit hitam, mendengar ucapan-ucapan orang tuanya yang meremehkan kulit hitam, dan melarang anaknya untuk bermain dengan anak- anak kulit hitam.

Dalam perkembangan selanjutnya, mereka akan mendengar pembicaraan teman-teman sebayanya yang mengatakan bahwa individu kulit hitam adalah jelek dan mereka akan dikucilkan jika kelihatan bermain dengan kulit hitam. Orang tua mereka juga menekankan cerita-cerita yang mengatakan individu kulit hitam merupakan pelanggar hukum. Sehinggga dari

(45)

kejadian-kejadian tersebut anak diajarkan untuk berprasangka terhadap individu kulit hitam. Anak-anak memiliki model orang tua dan teman sebaya yang berprasangka dan juga menghukum jika ia bermain dengan individu kulit hitam, dengan demikian anak belajar untuk membenci kulit hitam.

3. Teori Kognitif

Teori kognitif menjelaskan bagaimana cara individu berfikir mengenai prasangka (Objek yang dijadikan sasaran untuk diprasangkai) dan bagaimana individu memproses informasi dan memahami secara objektif mengenai dunia dan individu lain. Dalam mengamati individu lain, seseorang berusaha mengembangkan kesan yang terstruktur mengenai indvidu lain dengan cara melakukan proses kategorisasi. Kategorisasi sering kali didasarkan pada isyarat yang sangat jelas dan menonjol, seperti warna kulit, bentuk tubuh, dan logat bahasa. Berdasarkan teori kognitif, prasangka timbul karena adanya atribusi dan perbedaan antara in group dan out group.

A. Teori Atribusi

Atribusi adalah proses bagaimana kita mencoba menafsirkan dan menjelaskan perilaku individu yang lain, yaitu untuk melihat sebab tindakan mereka. Menurut teori atribusi, prasangka disebabkan oleh individu sebagai pengamat melakukan atribusi yang “bias” terhadap target prasangka. Thomas pettigrew (1979), Emmot, Pettigrew, dan Johnson (1983) mengemukkan bahwa individu yang berprasangka cenderung melakukan “Ultimate attribution error, yang merupakan perluasan dari

(46)

”Fundamental attribution error”. Pettigrew juga menyebutkan adanya ketidak konsistenan atribusi individu yang berprasangka terjadi karena target prasangka menunjukan perilaku positif, yaitu:

 Kasus yang terkecuali (Exceptional Case)

Individu yang berprasangka akan memandang tindakan positif individu yang ditunjukkan target prasangka sebagia kasus yang terkecuali.

Sebagai contoh, individu kulit putih yang melihat individu kulit hitam memiliki perilaku yang baik akan menyebutkan bahwa individu kulit hitam tersebut berbeda dari individu kulit hitam lainnya.

 Nasib baik atau keberuntungan istimewa (Luck or Special Advantage)

Individu yang berpasangka melihat target prasangka bertindak positif, maka mereka akan mempersepsikan hal tersebut bukan sebagai potensi atau pembawaan yang baik dari target prasangka, melainkan target prasangka sedang mengalami nasib baik atau mendapatkan keberuntungan.

 Konteks situasional

Individu yang berpasangka melihat target prasangka bertindak positif, maka mereka akan mempersepsikan hal tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh faktor paksaan situasi (Konformitas), bukan disebabkan oleh faktor disposisi kepribadiannya.

 Usaha dan motivasi yang tinggi

(47)

Individu yang berprasangka melihat target prasangka bertindak positif (Misalnya prestasi), maka mereka akan mempersepsikan hal tersebut bukan sebagai usaha dan motivasi target prasangka untuk mencapai kesuksesan, bukan karena kemampuannya.

B. In group dan Out group

Secara umum, in group dapat diartikan sebagai suatu kelompok dimana seseorang mempunyai perasaan memiliki dan “Common Identity”

(Identitas umum). Sedangkan out group adalah suatu kelompok yang dipersepsikan jelas berbeda dengan “In group”. Adanya perasaan “In Group” sering menimbulkan “In group bias”, yaitu kecenderungan untuk

menganggap baik kelompoknya sendiri.

“In group bias” merupakan refleksi perasaan tidak suka pada out group dan perasaan suka pada in group. Hal tersebut terjadi kemungkinan

karena loyalitas terhadap kelompok yang dimilikinya yang pada umumnya disertai devaluasi kelompok lainnya (Henry Tajfel, 1974 dan Michael Billing, 1982).

Berdasarkan teori identitas sosial, Henry Tajfel dan John Tunner (1982) mengemukakan bahwa prasangka biasanya terjadi disebabkan oleh

“In group favoritism” yaitu kecenderungan untuk mendiskriminasikan dalam perlakuan yang lebih baik atau menguntungkan in group diatas out group. Berdasarkan teori tersebut, masing-masing dari kita akan berusaha

meningkatkan harga diri kita, yaitu: Identitas pribadi (Personal identity)

(48)

dan identitas sosial yang berasal dari kelompok yang kita miliki. Jadi, kita dapat memperteguh harga diri kita dengan prestasi yang kita miliki secara pribadi dan bagaimana kita membandingkan dengan individu lain.

Identitas sosial merupakan keseluruhan aspek konsep diri seseorang yang berasal dari kelompok sosial mereka atau kategori keanggotaan bersama secara emosional dan hasil evaluasi yang bermakna.

Artinya, seseorang memiliki kelekatan emosional terhadap kelompok sosialnya. Kelekatan itu sendiri muncul setelah menyadari keberadaannya sebagai anggota suatu kelompok tertentu.

Orang memakai identitas sosialnya sebagai sumber dari kebanggaan diri dan harga diri. Semakin positif kelompok dinilai maka semakin kuat identitas kelompok yang dimiliki dan akan memperkuat harga diri. Sebaliknya jika kelompok yang dimiliki dinilai memilki prestise yang rendah maka hal itu juga akan menimbulkan identifikasi yang rendah terhadap kelompok. Dan apabila terjadi sesuatu yang mengancam harga diri maka kelekatan terhadap kelompok akan meningkat dan perasaan tidak suka terhadap kelompok lain juga meningkat, demikian pula akhirnya prasangka diperkuat.

Sebagai upaya meningkatkan harga diri, seseorang akan selalu berusaha untuk memperoleh identitas sosial yang positif. Upaya meningkatkan identitas sosial yang positif itu diantaranya dengan membesar-besarkan kualitas kelompok sendiri sementara kelompok lain dianggap kelompok yang inferior. Secara alamiah memang selalu terjadi

(49)

“In group bias” yakni kecenderungan untuk menganggap kelompok lain lebih memiliki sifat-sifat negatif atau kurang baik dibandingkan kelompok sendiri.

Tidak setiap orang memiliiki derajat identifikasi yang sama terhadap kelompok. Ada yang kuat identifikasinya dan adapula yang kurang kuat. Orang dengan identifikasi sosial yang kuat terhadap kelompok cenderung untuk lebih berprasangka daripada orang yang identifikasinya terhadap kelompok rendah. Secara umum derajat identifikasi seseorang terhadap kelompok dibedakan menjadi dua yakni:

High Identifiers dan Low Identifiers. High Identifiers, mengidentifikasikan

diri sangat kuat, bangga dan rela berkorban demi kelompok. Hal ini misalnya ditunjukkan dengan melindungi dan membela kelompok kala mendapatkan image yang buruk. Dalam situasi yang mengancam kelompok, orang dengan high identifiers akan menyusun strategi kolektif untuk menghadapi ancaman tersebut. Sebaliknya low identifiers, kurang kuat mengidentifikasikan ke dalam kelompok. Orang dengan identifikasi rendah terhadap kelompok ini akan membiarkan kelompok terpecah-pecah dan melepaskan diri mereka dari kelompok ketika berada dibawah ancaman, mereka juga merasa bahwa anggota-anggota kelompok kurang homogen.

Teori identitas sosial memiliki dua prediksi, yaitu: (1) Ancaman terhadap harga diri seseorang akan meningkatkan kebutuhan untuk in group favoritism, dan (2) ekspresi in group pada gilirannya meningkatkan

Gambar

Tabel 1. Peristiwa Bersejarah Desa Kota Pari
Tabel 2. Nama-nama Pejabat Kepala Desa Kota Pari
Tabel 3. Struktur Organisasi Serta Perangkat Desa Kota Pari
Tabel 4. Kebijakan Umum dan Program Pembangunan Desa Kota Pari
+4

Referensi

Dokumen terkait

Dengan latar belakang masalah tersebut, penulis mencoba untuk melakukan penelitian lapangan guna mengungkapkan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas sebagai suatu kajian

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan anatara pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, sikap ibu, ketersediaan sarana pelayanan kesehatan, jarak

Faktor – Faktor yang Memengaruhi Ibu Terhadap Status Imunisasi Dasar Pada Anak Usia 12-24 Bulan Di Desa Siabal-Abal II Kecamatan Sipahutar Kabupaten Tapanuli

2 Apakah keluarga menganjurkan ibu membawa bayi ke pelayanan kesehatan agar diberikan imunisasi dasar lengkap. 3 Apakah keluarga mendengarkan keluh kesah ibu saat

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah disebutkan di atas, baik dari sisi teori maupun fakta empiris di lapangan, penulis memilih memfokuskan penelitian

Berdasarkan latar belakang yang telah peneliti paparkan di atas, maka permasalahan yang akan diajukan oleh peneliti untuk diteliti yaitu: Apakah terdapat hubungan

Berdasarkan atas latar belakang yang telah di paparkan di atas maka dengan ini penulis sangat tertarik untuk melakukan suatu penelitian akan mengenai evaluasi

Berdasarkan uraian yang telah penulis paparkan dalam latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah yang menjadi fokus dalam penelitian ini yaitu: “Bagaimana kompetensi