• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PENAFSIRAN AYAT-AYAT TENTANG EMOSI (MARAH) DAN PENGENDALIAN EMOSI (MARAH) DALAM TAFSIR AL-MISBAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB IV PENAFSIRAN AYAT-AYAT TENTANG EMOSI (MARAH) DAN PENGENDALIAN EMOSI (MARAH) DALAM TAFSIR AL-MISBAH"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

66 BAB IV

PENAFSIRAN AYAT-AYAT TENTANG EMOSI (MARAH) DAN PENGENDALIAN EMOSI (MARAH) DALAM TAFSIR AL-MISBAH

A. Makna Emosi (Marah) dalam al-Qur’an

Emosi (marah) merupakan sifat tercela yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain, oleh karena itu sifat marah dilarang dalam Islam.

Dalam al-Qur‟an terdapat banyak kata yang bermakna marah, tetapi penulis membatasi kepada tiga kata yaitu kata ميظك , ظيغ , بضغ.

1. Ghadhab ( بضغ )

Secara bahasa Ghadab berasal dari akar kata ghadhiba, yaghdhabu, ghadhaban ( بضغ ,هضغي ,ابضغ ) berarti marah.1 Yaitu ledakan darah dalam hati untuk membalas dendam.2 Marah adalah keras, kasar dan padat. Orang yang marah (pemarah) disebut ghadib.

Ghadab merupakan antonim (lawan kata) dari ridha adalah hilm (murah hati).

Sedangkan secara istilah adalah sikap seseorang yang mudah marah karena tidak senang terhadap perlakuan atau perbuatan orang lain. Amarah selalu mendorong bertingkah laku buruk atau jahat.

Seorang pemarah tergolong lemah imanya karena berpandangan picik dan tidak dapat mengendalikan hawa nafsu. Sebaliknya, jika seseorang berpandangan luas dan dapat mengendalikan hawa

1 Asad M. Alkalali, Kamus Indonesia Arab, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), h. 336

2 Ar-Raghib Al-Ashfahani, Kamus Al-Qur’an, diterjemahkan oleh: Ahmad Zaini Dahlan, Judul Asli, Al-Mufradat Fi Gharibil Qur’an, (Jawa Barat: Pustaka Jhazanah Fawa‟id, 2017), h.

861

(2)

nafsunya maka ia akan bersikap arif atau bijaksana dalam menyelesaikan setiap masalah.3

2. Ghaiza ( ظيغ )

Ghaiza adalah ashul ghadab (asalnya marah) dan kebanyakan keduanya saling berhubungan, akan tetapi ada perbedaan di antara keduanya, Adapun ghaiza adalah marah yang terjadi pada diri seseorang, namun kemarahan itu hanya bergolak di dalam hati dan tidak mewujud pada anggota tubuhnya. Paling-paling wajahnya sedikit memerah atau matanya berkilat. Sementara tangan, kaki, dan lidahnya tidak mengeluarkan tindakan keji dan merugikan orang lain.

Arti yang paling tepat untuk kata ghaizh itu adalah marah.4

Sedangkan ghadhab adalah sesuatu yang tampak oleh anggota tubuh, mulutnya akan mengeluarkan kata-kata keji, kadang-kadang tangannya ikut memukul, atau membanting barang-barang yang ada di sekitarnya, sementara kakinya juga ikut bertindak. Arti yang paling tepat untuk kata ghadhab dalam bahasa Indonesia adalah murka.5 3. Kazim ( ميظك )

Kazim secara bahasa berasal dari kata kazama, yakzhimu wa kazman wa kazaman wa kazuman ( ُمِظْكَي ,َمَظَك ,اًمُظُك ,اًمَظَك ,اًمْظَك), yang menurut Ibnu Faris mempunyai arti menahan dan menghimpun

3 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an.

(Jakarta: Lentera Hati, 2002), vol. 1, h. 73

4 Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, diterjemahkan oleh Dudi Rosyadi, Judul asli Al- Jami’ li Ahkaam Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), Jil. 4, h. 512

5 Ibid.

(3)

sesuatu. Umpamanya, menahan marah. Orang yang menahan marah seakan-akan menghimpun marah itu di dalam kerongkongannya sehingga tidak keluar.6

Jadi dari penjelasan kata emosi (marah) dalam al-Qur‟an diatas dapat disimpulkan bahwa kata ghadab yang bermakna marah adalah marah yang yang terjadi pada diri seseorang yang tampak pada tindakan fisik, adapun ghaiza adalah marah yang terjadi pada diri seseorang, namun kemarahan itu hanya bergolak di dalam hati dan tidak mewujud pada anggota tubuhnya, sedangkan kazim adalah Orang yang menahan marah seakan- akan menghimpun marah itu di dalam kerongkongannya sehingga tidak keluar.

B. Penafsiran Ayat-ayat tentang Pengendalian Emosi (Marah) dalam Tafsir al-Misbah

Dalam Al-Qur‟an dijelaskan berbagai macam bentuk emosi, baik itu emosi marah, benci, takut, senang, sedih dan lain-lain. Bahkan para Nabi pun pernah emosi (marah) kepada kaumnya seperti yang digambarkan dalam kisah Nabi Musa As dan Nabi Yunus As. Dan ada juga Nabi yang Sabar dalam menghadapi cobaan seperti yang digambarkan dalam kisah Nabi Ismail As, Nabi Idris As, dan Nabi Zulkifli As.

Pada bab ini penulis akan memaparkan penafsiran ayat-ayat tentang emosi dan pengendaliannya dalam Tafsir al-Misbah. Pemaparan ini

6 M. Quraish Shihab, Nasaruddin Umar dkk, Enskilopedia Al-Qur’an Kajian Kosa Kata, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), cet. 1, h. 437

(4)

bertujuan untuk mengetahui bagiamana pengendalian emosi dalam Tafsir al-Misbah. Emosi (marah) dalam al-Qur‟an penulis batasi kepada tiga kata yaitu sebagai berikut:

1. بضغ (ghadhab)

Dalam ayat-ayat yang berkaitan dengan kata ghadhab bermakna marah yang diperankan oleh manusia terdapat 5 kali pada QS. Al- A‟raf/7: 150 dan 154, Asy-Syura/42: 37, Al-Anbiya‟/21: 87, Thaha/20:

86. Dalam ayat al-Qur‟an diatas kata ghadhab diperankan manusia disebut dengan “amarah”.

a. Kata ghadhab yang berkaitan dengan kemarahan Nabi Musa As disebabkan oleh kaumnya yang kembali menyembah anak lembu.

Terdapat pada QS. Al-A‟raf/7: 150:

















































































Artinya:“Dan tatkala Musa telah kembali kepada kaumnya dengan marah dan sedih hati berkatalah dia: "Alangkah buruknya perbuatan yang kamu kerjakan sesudah kepergianku! Apakah kamu hendak mendahului janji Tuhanmu? dan Musapun melemparkan luh-luh (Taurat) itu dan memegang (rambut) kepala saudaranya (Harun) sambil menariknya ke arahnya, Harun berkata: "Hai anak ibuku, Sesungguhnya kaum ini telah menganggapku lemah dan Hampir-hampir mereka membunuhku, sebab itu janganlah kamu menjadikan musuh-musuh gembira melihatku, dan janganlah kamu masukkan aku ke dalam golongan orang-orang yang zalim”.

(5)

Ayat ini sejalan dengan QS. Thaha/20: 86























































Artinya:“Kemudian Musa kembali kepada kaumnya dengan marah dan bersedih hati. berkata Musa: "Hai kaumku, Bukankah Tuhanmu telah menjanjikan kepadamu suatu janji yang baik? Maka Apakah terasa lama masa yang berlalu itu bagimu atau kamu menghendaki agar kemurkaan dari Tuhanmu menimpamu, dan kamu melanggar perjanjianmu dengan aku?”.

Dalam Tafsir Al-Misbah ayat ini Menjelaskan keadaan Nabi Musa As, ketika Nabi Musa As kembali kepada kaumnya setelah bermunajat kepada Allah Swt, dengan keadaan penuh amarah karena mengetahui kaumnya menyembah anak lembu, dan pada saat itu Nabi Musa As juga bersedih hati atas kesesatan kaumnya, padahal sebelumnya Nabi Musa As berusaha keras untuk menunjuki kepada jalan yang benar, dan memberikan amanah kepada Nabi Harun As untuk menjaga kaumnya agar tetap berada di jalan kebenaran.7

Nabi Musa As sangat marah sehingga kemarahan menguasai dirinya, bahkan Nabi Musa As sampai melemparkan lauh-lauh (lembaran-lembaran) serta memengang rambut Nabi Harun As sambil menarik kearahnya inilah gambaran dari kemarahan Nabi

7 M. Quraish Shihab, Op. Cit., cet. v, vol. 4, h. 308

(6)

Musa As, Penarikan rambut Nabi Harun As itu bukan bermaksud untuk menyakitinya tetapi menggambarkan kekesalan Nabi Musa As terhadap kaumnya. Nabi Musa As menganggap Nabi Harun As tidak menjalankan amanahnya, kemudian Nabi Harun As berkata:

“sesungguhnya aku telah bersungguh-sungguh mencegah mereka, kaum yang menyembah anak lembu telah menganggapku lemah serta mengancamku dan hampir mereka ingin membunuhnku, dan tidak ada lagi upaya yang dapat kulakukan, sehingga mereka kembali menyembah anak lembu dan patung”.8

ayat diatas berkaitan juga dengan QS. Al-A‟raf/7: 154

































Artinya:“Sesudah amarah Musa menjadi reda, lalu diambilnya (kembali) luh-luh (Taurat) itu; dan dalam tulisannya terdapat petunjuk dan rahmat untuk orang-orang yang takut kepada Tuhannya”.

Ayat ini menjelaskan bahwa amarah Nabi Musa As telah reda, Lalu Nabi Musa As kembali mengambil lembaran-lembaran/ lauh- lauh yang berisi petunjuk jalan kebahagiaan dan rahmat bagi orang- orang yang takut kepada tuhan mereka. Amarah bagaikan seorang yang terus-menerus berbicara dan mendorong untuk bertindak keras sehingga Nabi Musa As tidak dapat menahan amarahnya kecuali setelah amarah itu reda. Redaksi ini menunjukkan

8 Ibid., h. 309

(7)

isyaratkan dalam ayat yang lalu bahwa Nabi Musa As, ketika itu sangat sulit menguasai dirinya sampai-sampai beliau melemparkan lauh-lauh atau lembaran-lembaran.9

Dari penjelasan M. Quraish Shihab penulis memahami ayat- ayat di atas menjelaskan emosi (marah) Nabi Musa As timbul disebabkan oleh kaumnya yang kembali menyembah anak lembu dan patung yang sebelumya bertauhid kepada Allah Swt, kemudian pada QS. Al-A‟raf/7: 154 menjelaskan bahwa amarah Nabi Musa As reda setelah ia mendengar apa yang dikatakan Nabi Harun As, yaitu Nabi Harun As telah berusaha mencegah terhadap penyembahan anak lembu tetapi usahanya tidak berhasil karena mereka mengancam dan ingin membunuh Nabi Harun As, kaumnya menyembah anak lembuh disebabkan oleh samiri yang membuat patung anak lembu manghasut mereka kepada jalan kesesatan, sehingga kaumnya Nabi Musa As mengikuti jejaknya.

b. Kata Ghadhab yang berkaitan dengan sifat lahiriah orang-orang muslim terdapat pada QS. As-Syura/42: 37:





















Artinya:“Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan- perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf”.

Dalam Tafsir Al-Misbah ayat ini menjelaskan tentang beberapa sifat lahiriah orang-orang muslim, yaitu dengan menyatakan

9 Ibid., h. 314-315

(8)

kenikmatan abadi itu diraih juga oleh orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka mendapat perlakuan buruk yang mengundang marah merekapun secara lahir batin, senantiasa memaafkan sedang mereka mampu untuk membalas. Ini disebakan karena hati mereka demikian lapang, pengendalian diri mereka begitu terkontrol. Sehingga amarah yang muncul dapat segera diredam.10

Kiranya pelangaran yang mengakibatkan perbuatan kaba’ir al- itsm dan al-fawahisy atau perbuatan yang sangat buruk menurut penilaian akal dan agama itu terjadi akibat dorongan nafsu amarah, maka setelah memuji mereka yang menghindari pelangaran- pelangaran itu, ayat di atas menyebut sifat terpuji mereka yang punya kaitan erat dengan sifat terpuji yang lalu, yaitu bahwa mereka berlapang dada sehingga mampu menahan amarah dan selalu memaafkan orang lain yang melakukan kesalahan terhadap mereka. Karena maaf yang mereka berikan benar merupakan tulus dan bersumber dari hati.11

Dari penafsiran M. Quraish Shihab penulis memahami ayat diatas mengambarkan pengendalian emosi yang baik dan benar dengan cara memaafkan, orang-orang yang menjauhi perbuatan dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, apabila mendapat perlakuan buruk yang menimbulkan emosi (marah) merekapun

10 Ibid., vol. 12, h. 176

11 Ibid., h. 177

(9)

secara lahir batin mampu untuk mengendalikan amarahnya serta mereka mengiringinya dengan memberi maaf. Alasan orang-orang beriman apabila mereka marah mereka memaafkan disebabkan oleh janji Allah adalah berupa kenikmatan abadi.

c. Kata Ghadhab berkaitan dengan Nabi Yunus As marah karena tidak sabar dalam menghadapi kaumnya yang berpaling dari seruanya pada QS. Al-Anbiya/21: 87:

















































Artinya:“Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam Keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), Maka ia menyeru dalam Keadaan yang sangat gelap[967]:

"Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha suci Engkau, Sesungguhnya aku adalah Termasuk orang-orang yang zalim”.

Dalam Tafsir al-Misbah Ayat ini menjelaskan tentang akibat ketidaksabran. Yaitu Nabi Yunus As tidak sabar dalam menghadapi kaumnya yang berpaling dari seruanya, sehingga ia pergi dalam keadaan marah terhadap mereka dan tanpa izin Allah.

Allah Swt memerintahkan ikan paus menelannya tanpa mencederainya sehingga ia dapat bertahan hidup di dalam perut ikan, maka ia menyeru dan memohon ampun serta berdoa dalam aneka kengelapan yaitu kegelapan malam, laut dan perut ikan.

(10)

Bahwa tidak ada tuhan yang maha kuasa mengendalikan alam raya yang berhak disembah selain Engkau. Sesungguhnya aku termasuk orang yang zalim yang meninggalkan kaumku tanpa izin-Mu. 12

Dalam Tafsir al-Misbah M. Quraish Shihab mengutip pendapat Sayyid Quthub yaitu mengometari peristiwa yang dialami Nabi Yunus As. Dengan menekankan betapa para penganjur kebaikan harus mampu memikul konsekuensi dakwahnya, yaitu bersabar mengahadapi pendustaan dan ganguan. Mereka harus tabah dan sabar serta tidak jemu mengajak kepada kebaikan.13

Dapat disimpulkan ayat ini menjelaskan emosi (marah) Nabi Yunus As muncul disebabkan oleh kaumnya yang telah ditunjukkan kepada jalan kebenaran namun, mereka tetap menyembah berhala sehingga Nabi Yunus As tidak sabar menghadapinya dan pergi dari kampung tersebut. Allah menegur Nabi Yunus As berupa cobaan yaitu dimakan oleh ikan paus, lalu Nabi Yunus As berdoa dan bertaubat meminta ampun kepada Allah Swt.

Hadis yang menjelaskan bahwa ketika emosi dikelola dengan baik akan melahirkan sikap kepahlawanan, juga etos kerja yang tinggi. Semangat inilah yang hendak disampaikan hadis Nabi yang diriwayatkan Imam Bukhari:

12 Ibid., cet. 2, vol. 8, h. 497

13 Ibid., h. 499

(11)

هينص وأ ملسو هيلع ُللها ىلَص يبنِل لاق ًلاجر ْنَأ ُهْنَع للها َيِضَر َةَرْيَرُه يِبأ ْهَع ْبَضْغَت لآ لاق اًراَرِم َدَدَرَف ْبَضْغَت لا لاق Artinya: “Abu Hurairah Ra meriwayatkan bahwa ada seorang lelaki datang kepada Nabi Saw dan berkata, “berilah saya nasihat” Nabi bersabda “jangan marah” lelaki itu mengulang beberapa kali permohonannya, Nabi tetap menjawab, “jangan marah” (HR. Bukhari)”

Hadis ini menjelaskan larangan agar jangan marah yang mengandung beberapa pelajaran pertama, apabila marah atau emosi yang tidak terkendali dapat menjadi sumber keburukkan.

Kedua, pengendalian diri merupakan kunci sukses kehidupan.14 Jadi emosi (marah) merupakan sesuatu perbuatan tidak baik yang akan mendatangkan kemudharatan pada diri seseorang, dan Allah Swt menyuruh hambanya untuk bersabar dalam menghadapi cobaan yang sedang dihadapi, sehingga tergambarlah kepada pengendalian emosi yang baik dan benar.

Kata ghadhab bermakna murka Allah terdapat 16 kali pada QS.

Al-Fatihah/1: 7, An-Nur/24: 9, Al-Maidah/5: 60, Al-Fath/48: 6, Al- Mujadalah/58: 14, Al-Muthahanah/60: 13, Al-Baqarah/2: 61, 90, Al- Anfal/8: 16, An-Nahl/16: 106, Thaha/20: 86, Al-Imran/3: 112, Al- A‟raf/7: 71, 152, An-Nisa‟/4: 93 dan As-Syura/42: 16.

Ayat ini menjelaskan tentang Murka Allah terhadap orang yang apabila ia berbohong terhadap suatu kebenaran yang ditutupinya diantara salah satu contoh QS. An-Nur/24: 9

14 Supriyanto, Cara Tepat Mendapat Pertolongan Allah, (Jakarta: Qultum Media, 2009), h. 77-79

(12)





















Artinya:“Dan (sumpah) yang kelima: bahwa murka Allah atasnya jika suaminya itu Termasuk orang-orang yang benar”.

Ayat ini berkaitan dengan ayat-ayat sebelumnya tentang suami yang menuduh istrinya, kemudian istrinya diberikan kesempatan untuk membela, dengan empat kesaksian bersumpah dengan mnyebut nama Allah Swt, dalam sumpah tersebut dia yakni suami benar-benar termasuk kelompok orang-orang pembohong, dan sumpah yang kelima bahwa murka Allah atasnya jika ia yakni suaminya itu termasuk orang- orang yang benar.15

Demikian sang istri harus menerima ( بضغ ) Ghadhab yakni murka Allah, yang mengandung makna lebih dalam dari la‟nah (karena kejauhan dari rahmat, bisa saja bukan akibat dari murka) istri harus mengucapkan kata yang lebih keras itu, agar ia terdorong menyampaikan pengakuannya secara tulus, sambil membuktikan bahwa ia bersedia menerima apa yang lebih berat dari apa yang diterima oleh suami yang menuduhnya itu.16

Dalam menjelaskan kata ghadhab apabila di nisbatkan kepada Allah Swt, walaupun ia diterjemahkan dengan amarah atau murka namun maksudnya bukanlah seperti amarah makhluk yang biasanya lahir dari emosi. Tetapi maksud dari kata tersebut adalah memberikan

15 Ibid., vol. 9, h. 291-292

16 Ibid., h. 292-293

(13)

balasan atau berupa laknat Allah Swt kepada yang dikehendaki-Nya.17 Ayat-ayat diatas menjelaskan penyebab timbulnya kemarahan atau murka Allah Swt adalah dikarenakan apabila sang istri bersaksi bahwa suaminya berbohong padahal ia adalah orang yang benar, maka murka Allah Swt terhadap istrinya tersebut. Solusinya adalah dengan cara bertobat dan memohon ampun kepada Allah Swt.

Sedangkan ayat-ayat yang lain membicarakan perbuatan kaum yang syirik, orang yang pembohong, munafik, membunuh para Nabi, fasik, kafir serta mengingkari Allah Swt. Salah satu solusi yang meredakan kemurkaan Allah adalah dengan cara bertobat, berbuat kebaikan, beriman kepada Allah Swt serta memperbaiki hubungan dengan Allah Swt dan dengan manusia.

Jadi dapat disimpulkan kata ghadab bermakna marah yang diperankan manusia dan murka Allah Swt seperti yang dijelaskan pada ayat-ayat diatas, terdapat pengendalian emosi (marah) yang baik dan benar yaitu berupa memberi maaf kepada orang yang berlaku buruk kepada kita. Serta manghadapi segala cobaan dengan bersabar.

2. ظيغ (ghaiza)

a. Kata Ghaiza berkaitan dengan salah satu ciri-ciri orang yang bertakwa adalah yang mampu menahan amarah pada QS. Al- Imran/3: 133-134:

17 Ibid., Vol. 1, h. 86

(14)



















































Artinya:“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”.

Dalam Tafsir al-Misbah menjelaskan bahwa ayat ini mengambarkan sifat dan ciri-ciri orang yang bertakwa, yang taat melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Ayat ini berkaitan dengan peristiwa perang Uhud. Yaitu mereka yang kebiasaanya menafkahkan hartanya di jalan Allah, setelah peperangan itu banyak yang berguguran serta menimbulkan penyesalan bahkan kemarahan terhadap penyebabnya. Sifat yang kedua ditonjolkan yaitu yang mampu menahan amarah bahkan memaafkan kesalahan orang lain disertai dengan berbuat kebaikan terhadap orang yang pernah melakukan kesalahan.18

Ayat ini berkaitan dengan emosi yaitu perasaan marah. Dalam konteks menghadapi kesalahan orang lain yang mampu menahan amarah, kata kazimin mengandung makna wadah yang penuh air lalu ditutup rapat agar tidak tumpah. Ini mengisyaratkan bahwa

18 Ibid., cet. v, vol. 2, h. 264-265

(15)

perasaan yang tidak bersahabat masih memenuhi hati, pikiran masih menuntut balas, tetapi tidak memperturutkan ajakan hati sehingga tidak mengeluarkan kata-kata buruk atau perbuatan negatif. Selain itu, pengendalian amarah juga menjadi ciri-ciri orang yang bertakwa.19

Dari penafsiran M. Quraish Shihab penulis memahami, ayat ini berkaitan dengan ayat sebelumnya yaitu QS. Al-Imran/3: 133 menjelaskan ciri-ciri orang bertakwa adalah orang yang menafkahkan hartanya, mampu menahan amarah dan memaafkan kesalahan orang serta berbuat kebaikan. Jadi dapat disimpulkan bahwa ayat ini menjelaskan pengendalian emosi atau menahan amarah merupakan ciri-ciri orang bertakwa yang mampu untuk menahan amarah, serta diiringi dengan memaafkan keselahan orang lain dan berbuat kebaikan. Sehingga tergambarlah pengendalian emosi yang baik dan benar.

b. Kata ghaiza berkaitan dengan kaum musyrikin yang melanggar perjanjian, dan membuat kaum muslim marah serta ingin membalaskan dendam pada QS. Taubah/9: 15:























Artinya:“Dan menghilangkan panas hati orang-orang mukmin.

dan Allah menerima taubat orang yang dikehendakiNya.

Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”.

19 Ibid., h. 265

(16)

Dalam Tafsir al-Misbah menjelaskan ayat ini berkaitan dengan ayat sebelumnya yang menyebutkan tiga pokok mengharuskan kaum muslimin berperang, yaitu karena kaum musyrikin membatalkan perjanjian, berkeinginan keras mengusir Nabi Muhammad Saw Dari Mekkah baik sesudah Hijrah maupun sebelumnya. Dengan memerangi maka, itu juga akan menghinakan mereka dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi serta menenangkan hati orang beriman, dan menghilangkan panas hati, yakni amarah yang terpendam dalam hati orang-orang yang mukmin atas penganiayaan kaum musyrikin di masa lalu.20

Kata ظيغ panas hati adalah amarah yang disertai dengan dorongan untuk melakukan pembalasan. Ayat ini menunjukkan kuatnya keimanan para sahabat Nabi Muhammad Saw. Hati mereka penuh amarah terhadap orang-orang kafir demi agama sehingga timbul keinginan untuk mengalahkan mereka. Hati yang demikian itu adalah hati yang dipenuhi dengan iman.21

Jadi Pada ayat ini dijelaskan bahwa emosi (marah) timbul disebakan karena kaum musyrikin membatalkan perjanjian, serta berkeinginan keras mengusir dan membunuh Nabi Muhammad Saw, sehingga kaum muslim diharuskan berperang, serta bertekad untuk melakukan pembalasan. Jadi pada ayat ini tidak terdapat pengendalian emosi, hanya saja emosi (marah) dalam konteks ayat

20 Ibid., Vol. 5, h. 33

21 Ibid., h. 34

(17)

ini adalah emosi (marah) yang harus di ungkapkan, yang mengharuskan kaum muslimin berperang untuk membela agama Islam. Jadi dapat disimpulkan bahwa tidak semua emosi itu harus ditahan atau dikendalikan, ada saatnya emosi itu diungkapkan dan ada saatnya dikendalikan. Seperti salah satu contoh emosi (marah) yang dijelaskan dalam ayat ini yaitu ketika membela agama Islam menunjukkan kepada jalan kebenaran.

c. Kata ghaiza berkaitan dengan orang musyrikin marah terhadap kaum muslim yang beriman kepada Allah Swt pada QS. Al- Imran/3: 119:

























































Artinya:“Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, Padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman kepada Kitab-Kitab semuanya. apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata "Kami beriman", dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari lantaran marah bercampur benci terhadap kamu.

Katakanlah (kepada mereka): "Matilah kamu karena kemarahanmu itu". Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati”.

Dalam Tafsir al-Misbah Ayat ini menjelaskan tentang orang- orang Islam yang bergaul sedemikian akrab dengan lawan-lawan Islam, serta beriman kepada kitab-kitab-Nya percaya kepada Nabi- Nabi utusan Allah Swt. Beginalah kamu, wahai kaum muslimin

(18)

kamu menyukai mereka, karena sikap mereka yang baik, dan karena kamu orang yang bersih suci hatinya, padahal mereka tidak menyukai kamu, karena agama kamu dan agama mereka tidak sejalan, kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya serta percaya kepada Nabi-Nabi utusan Allah Swt.22

Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata untuk memperdaya kamu „kami beriman’ sebagaimana iman kalian, dan apabila menyendiri, sungguh besar kedengkian di hati mereka sampai-sampai mereka menggigit ujung jari lantaran marah yang bercampur benci, lantaran orang-orang beriman kepada Allah Swt, serta bersatu padu dalam kebaikan.23

Matilah kamu karena kemarahanmu itu, yaitu silakan membenci kaum muslim karena kaum muslim akan tetap jaya dan bertahan sampai kaum musyrikin mati karena kebencian. Karena kebencian itu tidak akan melumpuhkan Islam, bahkan akan membangkitkan kaum muslimin, karena Allah mengetahui segala isi hati seseorang.24

22 Ibid., cet v, vol. 2, h. 235

23 Ibid., h. 235-236

24 Ibid., h. 236

(19)

Ayat ini berkaitan dengan ayat sesudahnya Qs. Al-Imran/3:

120:













































Artinya:“Jika kamu memperoleh kebaikan, niscaya mereka bersedih hati, tetapi jika kamu mendapat bencana, mereka bergembira karenanya. jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu. Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang mereka kerjakan”.

Dalam Tafsir al-Misbah ayat ini menjelaskan untuk menghadapi sikap mereka itu Allah Swt berpesan kepada kaum muslimin agar tetap bersabar, tabah, bertakwa karena jika kamu bersabar itu akan mendisplinkan diri, dan bertakwa menghindari tipu daya mereka atau bertakwa kepada Allah Swt dengan melaksanakan segala perintah-Nya niscaya tipu daya mereka tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu, tetapi apabila tidak maka bahaya itu akan menimpamu.25

Jadi dari penafsiran M. Quraish Shihab di atas dapat disimpulkan Ayat ini menjelaskan emosi (marah) timbul pada kaum musyrikin disebabkan rasa iri dan benci karena melihat keadaan umat muslim yang percaya kepada Allah Swt dan Rasul- Nya, serta bersatu padu dalam kebaikan sementara mereka tidak

25 Ibid., cet. v, vol. 2, h. 237

(20)

mendapat peluang untuk membinasakan umat muslim, karena kaum muslim begitu tegas dan konsisten terhadap apa yang telah ia yakini. sementara itu kaum musyrikin akan tetap menganggu dengan berpura-pura akrab atau berbuat baik sehingga umat Islam mengikuti jejaknya baru ia merasa gembira.

Maka untuk menghadapi orang-orang seperti itu, dijelaskan pada ayat sesudahnya QS. Al-Imran/3: 120 yaitu dengan bersabar dan bertakwa kepada Allah Swt maka tipu daya mereka tidak akan mendatangkan kemudharatan. Jadi dapat disimpulkan dari penjelasan ayat di atas tergambarlah pengendalian emosi yang baik dan benar.

d. QS. Al-Mulk/67: 8



























Artinya:“Hampir-hampir (neraka) itu terpecah-pecah lantaran marah. Setiap kali dilemparkan ke dalamnya sekumpulan (orang-orang kafir), penjaga-penjaga (neraka itu) bertanya kepada mereka: "Apakah belum pernah datang kepada kamu (di dunia) seorang pemberi peringatan?”.

Dalam tafsir al-misbah menjelaskan ayat ini berkaitan dengan ayat sebelumnya yang menjelaskan tentang keadaan neraka dan penyumbatannya terhadap para penghuninya. Dan apabila ini terjadi mereka dilemparkan oleh malaikat atau siapapun yang ditugaskan Allah dengan penuh kehinaan ke dalamnya mereka mendengar suaranya neraka itu yang mengerikan karena kerasnya

(21)

kobaran api, sedang ia yakin neraka menggelegak bagaikan mendidih, hampir-hampir saja ia terpisah-pisah dan terpecah- pecah disebabkan oleh amarah. Dimana dilemparnya sekelompok orang-orang kafir, penjaga neraka bertanya kepada mereka dengan tujuan menambah penyesalan mereka apakah belum datang kepadamu seorang pemberi peringatan baik rasul maupun selainya yang memberi peringatan tentang ancaman Allah Swt.26

Dari penafsiran M. Quraish Shihab penulis memahami ayat ini berkaitan dengan ayat sebelumnya, amarah maksudnya disini adalah neraka yaitu orang-orang yang ingkar kepada tuhan-Nya akan mendapat azab serta dilemparkan kedalam api neraka. Jadi marah di dalam ayat ini tidak termasuk kepada kategori emosi.

Jadi dapat disimpulkan kata ghaiza adalah bermakna marah, salah satu ciri orang bertakwa adalah orang mampu mengendalikan emosi (marah), serta diiringi dengan memaafkan dan berbuat baik sehingga dapat mengantar kepada pengendalian emosi yang baik dan benar.

3. ميظك (Kazim)

a. Kata kazim berkaitan dengan Nabi Ya‟qub As yang mampu mengendalikan emosi dari tindakan anaknya yang mengatakan Benyamin Mencuri dan Nabi Yusuf As dimakan binatang buas terdapat pada QS. Yusuf/12: 84:

26 Ibid., cet. 2, vol. 14, h. 350-351

(22)



























Artinya: “Dan Ya'qub berpaling dari mereka (anak-anaknya) seraya berkata: "Aduhai duka citaku terhadap Yusuf", dan kedua matanya menjadi putih karena Kesedihan dan Dia adalah seorang yang menahan amarahnya (terhadap anak-anaknya).”

Dalam Tafsir al-Misbah ayat ini menjelaskan tentang kisah yang menimpa Nabi Ya‟qub As karena kehilangan kedua putranya yang pertama ketika Nabi Yusuf As masih kecil Nabi Ya‟qub As kehilangan putranya Nabi Yusuf As, disebabkan oleh kakak- kakaknya. Kemudian setelah anak-anaknya dewasa Nabi Ya‟qub As juga kehilangan putranya Benyamin, peristiwa tersebut mengingatkannya kepada Nabi Yusuf As sehingga bertambah pula kesedihan di hati Nabi Ya‟qub As.

Karena kesedihan kedua matanya menjadi putih, yakni buta, atau penglihatanya amat kabur dan Nabi Ya‟qub As adalah orang yang mampu menahan diri sehingga betapapun sedihnya serta betapapun besar petaka yang dialaminya, Nabi Ya‟qub As tidak melakukan hal-hal yang tidak disukai Allah Swt. Nabi Ya‟qub As menetapkan segala persoalan berdasarkan hikmah kebijaksanaan yang sempurna sehingga tidaklah wajar seseorang bersedih

(23)

melampaui batas sehingga melakukan hal-hal yang tidak wajar, tidak boleh juga berputus asa dari rahmat Allah Swt.27

kata ميظك kazim berasal dari kata مظك kazama yang berarti mengikat dengan kuat dan rapat. Kesedihan masuk kedalam hati manusia, lalu ia bergejolak mendorong pemilik hati melakukan hal-hal yang tidak wajar. Jika yang bersangkutan mengikat dengan rapat pintu hatinya, dorongan dari dalam tidak muncul keluar dan tidak muncul pula hal-hal yang tidak wajar.28

Seorang muslim dituntut agar menahan diri dari gejolak dengan jalan mengingat Allah Swt. Serta pahala yang akan diperoleh sebagai imbalan kesabaran dan mengingat pula petaka yang terjadi dengan cara dan dampak yang lebih parah. Di sisi lain, ia juga dituntut untuk mengingat anugerah Allah Swt lainnya yang masih ia nikmati sehingga petaka yang ia peroleh masih kecil dan diharapkan dapat beliau pikul dengan tenang.29

Ayat ini berkaitan dengan ayat sebelumnya Yaitu QS.

Yusuf/12: 83:







































Artinya: “Ya'qub berkata: "Hanya dirimu sendirilah yang memandang baik perbuatan (yang buruk) itu. Maka

27 Ibid., Cet. v, vol. 6, h. 159-161

28 Ibid., h. 161

29 Ibid., h. 161-162

(24)

kesabaran yang baik Itulah (kesabaranku). Mudah- mudahan Allah mendatangkan mereka semuanya kepadaku; Sesungguhnya Dia-lah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”.

Dalam Tafsir Al-Misbah ayat ini menjelaskan ketika anak- anaknya datang menumuinya dan memberi kabar bahwa benyamin telah mencuri di Istina, Nabi Ya‟qub As menduga ada sesuatu yang buruk dibalik ucapan mereka, Nabi Ta‟qub As yakin bahwa Benyamin tidak mencuri, karena itu laporan anak-anaknya Nabi Ya‟qub As tolak, bukan seperti apa yang kalian katakan bahkan sebenarnya diri kamu telah memperindah buat kamu satu perbuatan maka kesabaran yang baik itu adalah kesabaranku.30

Penulis Tafsir Al-Misbah juga mengutip pendapat At- Thabathaba‟i yaitu ucapan Nabi Ya‟qub As itu muncul dari firasat beliau. Nabi Ya‟qub As sangat yakin bahwa putranya Nabi Yusuf As belum wafat begitu juga Benyamin tidak mencuri kerena keyakinanya kepada Allah Swt, peristiwa itu disebabkan sesuatu yang buruk yang kalian lakukan, saya akan sabar menghadapinya, saya mengharap kiranya Allah mendatangkan semua sebagaimana dia pernah menjanjikan kepadaku, sehingga tidaklah wajar seseorang kalut menghadapi petaka, atau bersedih melampaui batas sehingga melakukan hal-hal yang tidak wajar”. 31

30 Ibid., h. 159

31 Ibid., h. 160

(25)

Ayat ini berkaitan dengan ayat sesudahnya Yaitu QS.

Yusuf/12: 85-86:























































Artinya: “Mereka berkata: "Demi Allah, Senantiasa kamu mengingati Yusuf, sehingga kamu mengidapkan penyakit yang berat atau Termasuk orang-orang yang binasa.

Ya'qub menjawab: "Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tiada mengetahuinya”.

Anak-anak dan cucu-cucu Nabi Ya‟qub As merasa heran dan dongkol dengan sikap Nabi Ya‟qub As karena ucapannya yang masih terus mengingat Nabi Yusuf As. Padahal waktu telah berlalu sekian lama. Sehingga beliau mengidapkan penyakit yang berat, yaitu badan kurus kering dan pikiran kacau. Ya'qub menjawab: “Sesungguhnya hanyalah kepada Allah karena yakin yang maha kuasa mampu mangatasi semua kesulitan hamba-Nya.

Ketahuilah bahwa hanya kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tiada mengetahuinya aku adalah Nabi yang memperoleh informasi yang tidak kamu peroleh. Aku pun mengenal Allah lebih dari kamu semua, jika kalian merasa Yusuf

(26)

mustahil kembali, tetapi aku tidak demikian, aku merasa dia masih hidup, dan kita akan bertemu dengannya”.32

Menurut penulis dari penafsiran M. Quraish Shihab diatas menggambarkan bahwa emosi Nabi Ya‟qub As ditimbulkan karena Benyamin yang dituduh mencuri, sehingga peristiwa tersebut mengingatkan kepada putranya Nabi Yusuf As. Awal mula kesedihan yang melanda Nabi Ya‟qub As adalah peristiwa ketika Nabi Yusuf As dikatakan oleh saudara-saudaranya sudah tiada karena di makan oleh binatang buas, tetapi Nabi Ya‟qub As tidak percaya terhadap apa yang dikatakan Anak-anaknya, beliau yakin kalau kedua putranya Nabi Yusuf As masih hidup dan Benyamin tidak bersalah.

tindakan yang dilakukan Nabi Ya‟qub As ketika menerima berita tersebut adalah dengan penuh kesabaran, menahan sedih atas peristiwa yang terjadi serta menahan amarah terhadap anak- anaknya yang tidak menjaga putranya dengan baik. Kemudian pada ayat sesudahnya QS. Yusuf/12: 85-86 tindakan yang dilakukan Nabi Ya‟qub adalah dengan bertawakal kepada Allah Swt karena Nabi Ya‟qub As yakin putranya Nabi Yusuf Masih Hidup dan putranya Bunyamin tidak bersalah. Nabi Ya‟qub As Yakin bahwa Allah Swt yang mampu mengatasi semua kesulitan hambanya. Jadi dari peristiwa ini menggambarkan pengendalian

32 Ibid., h. 162-163

(27)

emosi yang baik dan benar yaitu bersabar ketika ditimpa musibah serta bertawakal kepada Allah Swt.

b. Kata kazim berkaitan dengan orang-orang pada masa jahiliyah yang tidak suka terhadap kelahiran seorang bayi perempuan.

1) QS. An-Nahl/16: 58





















Artinya:“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan Dia sangat marah”.

Dalam Tafsir Al-Misbah Ayat ini menjelaskan tentang seseorang yang diberi kabar kelahiran seorang bayi perempuan, maka mereka menerima berita itu dengan kesal dan marah, tidak hanya itu mereka juga sangat malu sehingga dia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan anggapan mereka tentang buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Ketika dia sungguh bingung menyangkut apa yang dia lakukan terhadap anak perempuan yang lahir itu Apakah Dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup).

ketahuilah, Alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.33

Kata ميظك kazim berasal dari kata مظك kazama yang berarti menahan. Maksudnya dia menahan kemarahan atas

33 Ibid., vol. 6, h. 618

(28)

penyampaian berita yang dinilainya buruk itu, dan kemarahan terhadap istrinya karena telah melahirkan untuknya seorang anak perempuan.34

Menurut M. Quraish Shihab menjelaskan Faktor yang menyebabkan anak bayi perempuan dibunuh disebabkan mereka belum mengenal HAM, khawatir jatuhnya orang tua kepada lembah kemiskinan dengan menangung biaya beban anak perempuan yang lahir, apalagi menurut mereka anak perempuan itu tidak produktif, dan khawatir menanggung aib akibat ditawan dalam perperangan sehingga dinodai, atau karena terjadi perzinaan.35

Berdasarkan Ayat di atas, ayat ini berkaitan dengan ayat sesudahnya Qs. An-Nahl/16: 59.









































Artinya:“Ia Menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah Dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup) ?.

ketahuilah, Alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu”.

Ayat ini menjelaskan bahwa orang jahiliyah menyembunyikan dirinya dari orang disebabkan pendapat

34 Ibid., h. 619

35 Ibid., h. 622-623

(29)

mereka tentang buruknya berita yang ia terima, sehingga ia akan mengubur hidup-hidup kedalam tanah. Alangkah buruk apa yang telah mereka lakukan.36

2) QS. Az-Zukhruf: 17



























Artinya:“Padahal apabila salah seorang di antara mereka diberi kabar gembira dengan apa yang dijadikan sebagai misal bagi Allah yang Maha Pemurah;

jadilah mukanya hitam pekat sedang dia Amat menahan sedih”.

Ayat ini menjelaskan di beritakan kepada mereka tentang kelahiran seorang bayi perempuan, maka jadilah mukanya hitam pekat karena amarah dan kejengkelannya memperoleh anak perempuan, sedangkan dia sendiri menahan sedih saat menerima berita kelahiran seorang bayi perempuan.37

Dari penjelasan M. Quraish Shihab ayat diatas menurut penulis mengambarkan emosi (marah) kaum musyrikin pada masa jahiliyah timbul ketika menerima kabar tentang kelahiran seorang bayi perempuan, mereka sangat marah dan merasa malu atas apa yang telah dikabarkan kepadanya, mereka menahan kemarahan terhadap berita serta menahan kemarahan terhadap istrinya karena telah melahirkan seorang bayi

36 Ibid., h. 258-259

37 Ibid., cet, 9, vol. 12, h. 549

(30)

perempuan. Tidak hanya itu mereka juga menahan malu sehingga ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya, jadi dapat disimpulkan dari ayat diatas tergambar pengendalian emosi. Yaitu menahan kemarahan, kesedihan dan menahan malu sehingga ia menyebunyikan dirinya dari orang banyak.

Jadi dapat disimpulkan kata kazim bermakna menahan amarah dan sedih seperti yang dijelaskan pada ayat-ayat di atas, terdapat pengendalian emosi yang baik dan benar yaitu berupa sabar dan tawakal kepada Allah Swt.

C. Aspek-aspek Pengendalian Emosi (Marah)

Setiap manusia mempunyai fitrah masing-masing dalam kehidupan dewasa ini. Setiap manusia mempunyai sikap dan sifat sendiri, salah satu sifat yang ada pada manusia adalah emosi (marah), ketika emosi (marah) memuncak maka segala macam sifat buruk yang ada dalam diri kita sulit untuk dikendalikan, pikiran menjadi tidak bekerja dan kemampuan untuk mengeluarkan keputusan yang benar juga menjadi hilang.

Aspek-aspek yang terkait dengan pengendalian emosi yang terdapat pada ayat-ayat di atas dalam Tafsir Al-Misbah menjelaskannya adalah sebagai berikut:

(31)

1. Sabar.

Sabar adalah menahan diri dari berkeluh, menahan lisan dari mengadu, dan menahan dari segala yang menyebabkan timbulnya emosi. Sesungguhnya sabar merupakan akhlak yang utama, dengan bersabar akan terhindar dari perbuatan tercela. Sabar adalah potensi jiwa yang dengannya kebaikan akan terwujud. Jiwa memiliki dua potensi yaitu petensi melaksanakan dan mencegah, hakikatnya dimana potensi melaksanakan diarahkan kepada sesuatu yang bermanfaat, sedangkan potentensi mencegah diarahkan menahan diri dari sesuatu yang mendatang mudharat, seperti emosi (marah) yang timbul seketika.38

Dari penjelasan QS. Yusuf/12: 84 dapat disimpulkan bersabar adalah salah satu cara untuk mengendalikan emosi dengan baik dan benar, yaitu Nabi Ya‟qub As bersabar dalam menghadapi kesedihan dan kemarahan yang menimpanya ketika Nabi Ya‟qub As kehilangan kedua putranya, Nabi Ya‟qub As yakin bahwa Allah Swt lebih mengetahui segalanya.

QS. Yusuf/12: 84 berkaitan dengan ayat sebelumnya yaitu QS.

Yusuf/12: 83 “Ya'qub berkata: Hanya dirimu sendirilah yang memandang baik perbuatan (yang buruk) itu. Maka kesabaran yang baik Itulah (kesabaranku). Mudah-mudahan Allah mendatangkan mereka semuanya kepadaku; Sesungguhnya Dia-lah yang Maha

38 Ulya Ali Ubaid, Sabar dan Syukur Gerbang Kebahagian di Dunia dan Akhirat, (Jakarta: Amzah, 2012), h. 9-15

(32)

mengetahui lagi Maha Bijaksana”. Penulis Tafsir Al-Misbah mengutip pendapat At-Thabathaba‟i yaitu ucapan Nabi Ya‟qub As itu muncul dari firasat beliau. Nabi Ya‟qub As sangat yakin bahwa putranya Nabi Yusuf As belum wafat begitu juga Benyamin tidak mencuri kerena keyakinanya kepada Allah Swt, peristiwa itu disebabkan sesuatu yang buruk yang kalian lakukan, saya akan sabar menghadapinya, saya mengharap kiranya Allah mendatangkan semua sebagaimana dia pernah menjanjikan kepadaku, sehingga tidaklah wajar seseorang kalut menghadapi petaka, atau bersedih melampaui batas sehingga melakukan hal-hal yang tidak wajar”.39

Pada ayat ini menjelaskan bahwa tindakan yang dilakukan Nabi Ya‟qub As adalah dengan bersabar menahan sedih atas peristiwa yang terjadi serta menahan amarah terhadap anak-anaknya karena tidak menjaga kedua putranya yaitu Benyamin yang dituduh mencuri dan Nabi Yusuf As yang dikatakan sudah tiada.

2. Tawakal.

Secara etimologi tawakal dalam kamus Arab Indonesia Karya Mahmud Yunus, للها ىلع - لاكوت (menyerahkan diri, tawakal kepada Allah Swt).40 Sikap tawakal itu suatu tempat di antara tempat-tempat agama dan suatu kedudukan di antara sejumlah kedudukan dari orang- orang yang meyakini. Bahkan, sikap tawakal merupakan sebagian dari

39 M. Quraish Shihab., Op. Cit., vol. 6, h. 160

40 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/PentafsirAl-Qur‟an, 1973), h. 506

(33)

derajat orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah Swt serta menyerahkan diri kepada Allah Swt. hakikat dari makna tawakal adalah kehendak mentauhidkan Allah Swt.41

Tawakal juga salah satu cara yang mampu untuk mengendalikan emosi (marah), karena dengan bertawakal seseorang selalu akan mengingat Allah dan menyerahkan diri kepada Allah Swt dimanapun ia berada sehingga emosi (marah) dalam diri manusia itu meredam dan mampu untuk mengendalikan emosi dengan baik dan benar.

Seperti yang dijelaskan pada QS. Yusuf/12: 84 berkaitan dengan ayat sesudahnya yaitu QS. Yusuf/12: 86 “Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tiada mengetahuinya”. Ayat ini menjelaskan “Sesungguhnya hanyalah kepada Allah karena yakin yang maha kuasa mampu mangatasi semua kesulitan hamba-Nya.

Ketahuilah bahwa hanya kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tiada mengetahuinya aku adalah Nabi yang memperoleh informasi yang tidak kamu peroleh. Aku pun mengenal Allah lebih dari kamu semua, jika kalian merasa Yusuf mustahil kembali, tetapi aku tidak demikian, aku merasa dia masih hidup, dan kita akan bertemu dengannya”.42

41 Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin: Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama, (Jakarta:

Republika, 2013), Jil. 9, h. 90

42 M. Quraish Shihab., Op. Cit., vol. 6, h. 162-163

(34)

Dapat disimpulkan bahwa ayat ini menjelaskan bahwa Nabi Ya‟qub As mengendalikan emosi (marah) dengan bertawakal kepada Allah Swt karena Nabi Ya‟qub As yakin bahwa putranya Benyamin tidak mencuri dan Nabi Yusf As masih hidup. Jadi dari peristiwa ini menggambarkan pengendalian emosi dengan baik dan benar.

3. Memaafkan

Kata Al-’Afw diartikan pemaaf dan mengampuni. Maaf adalah memaafkan dosa tidak menghukum, serta menjauhkan diri dari perbuatan dosa. Memaafkan kesalahan orang lain merupakan salah satu karakteristik orang yang bertakwa, oleh karena itu memaafkan adalah satu derajat di atas derajat mengendalikan diri, seperti mengendalikan emosi (marah).43

Seorang muslim yang bertakwakal kepada Allah senantiasa memberi maaf, apabila seseorang dalam keadaan emosi (marah) mereka mampu mengendalikannya disertai dengan memberi maaf, seperti yang dijelaskan pada QS. As-Syura/42: 37 “Dan (bagi) orang- orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan- perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf”. Ayat ini menjelaskan pelangaran yang mengakibatkan yang sangat buruk menurut penilaian akal dan agama itu terjadi akibat dorongan nafsu amarah, maka setelah memuji mereka yang menghindari pelangaran- pelangaran itu, ayat di atas menyebut sifat terpuji mereka yang punya

43 M. Ashaf Shaleh, Takwa Makna dan Hikmanya dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Erlangga, 2002), h. 106

(35)

kaitan erat dengan sifat terpuji yang lalu, yaitu bahwa mereka berlapang dada sehingga mampu menahan amarah dan selalu memaafkan orang lain yang melakukan kesalahan terhadap mereka.

Karena maaf yang mereka berikan benar merupakan tulus dan bersumber dari hati.44

Dari penjelasan ayat diatas ini menandakan hati mereka begitu lapang, sehingga mampu untuk mengendalikan emosi (marah) dengan baik dan benar.

4. Berbuat kebaikan.

Bebuat kebaikan adalah mengerjakan kebaikan atau menyempurnakan amalnya atau benar perbuatanya. Menurut Al- Asfahani berbuat kebaikan itu terbagi dalam dua kategori: Pertama, memberi nikmat kepada orang lain, kedua, baik perbuatanya yaitu apabila ia mengetahui ilmu pengetahuan yang baik, atau mengerjakan pekerjaan yang baik.45

Jadi dapat disimpulkan bahwa berbuat kebaikan adalah salah satu cara untuk mengantar kepada pengendalian emosi yang baik dan benar, seperti yang dijelaskan pada QS. Al-Imran/3: 134 “(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”. Ayat menjelaskan tentang ciri-ciri orang yang

44 M. Quraish Shihab, Op. Cit.,vol. 6, h. 177

45 Ibid., h. 108

(36)

bertakwa adalah orang yang menahan amarah dan mampu memaafkan kesalahan orang lain serta diiringi dengan berbuat kebaikan, karena dengan kebaikan akan mendatangkan keikhlasan di dalam hati seseorang. Sehingga emosi (marah) pada diri seseorang bisa diredam atau dikendalikan dengan baik dan benar.

Referensi

Dokumen terkait

(Euphorbiaceae) di Hutan Pendidikan dan Penelitian Biologi (HPPB) Universitas Andalas dengan menggunakan metoda Direct Sampling dan Colony Collection didapatkan 13

Penetapan Ma- jelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat ter- sebut dinilai tidak sesuai dengan Pasal 17 ayat (2) UU K-PKPU yang menyatakan imbalan jasa kurator ditentukan oleh

,VPHUW KD]DL HOĘIRUGXOiVRN : Pécs (Karpelles 1893), Hortobágyi Nemzeti Park +LUVFKPDQQ %iWRUOLJHW +LUVFKPDQQ %NNL 1HP]HWL 3DUN :LVQLHZVNL )HUWĘ-Hanság Nemzeti Park

Hasil belajar ini tidak lepas dari keaktifan, sikap, dan respon siswa yang tinggi terhadap model PANKORFI yang diterapkan guru dalam proses pembelajaran.. Aspek proses dan

Dapat dilakukan pengembangan perangkat lunak sistem, dengan cara menambah kemampuan analisis data hasil pengukuran untuk keperluan prediksi kecepatan dan arah angin

muziejų organizavimo praktika: įkuriant muziejų suburiama draugija, tam, kad būtų plėtojama jo veikla, iš visuomenės narių organizuojami muziejų komitetai. Taip atskirų

Antara limitasi bagi Teori Ujian Klasik ialah statistik item (iaitu kesukaran item dan diskriminasi item) adalah bergantung pada sampel (calon), statistik individu

Pada pertemuan kedua siklus I yang diperoleh dari aktivitas siswa adalah 26 dengan rata-rata 2,9 (72,22%) kategori baik.Pada pertemuan kedua ini aktivitas siswa sudah