KARAKTERISTIK PENDERITA PITYRIASIS
VERSICOLORDIRS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA TAHUN 2017
SKRIPSI
Oleh :
RAFLI RIZALDY EDWAR 1500100178
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2018
KARAKTERISTIK PENDERITA PITYRIASIS
VERSICOLORDIRS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA TAHUN 2017
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
Oleh :
RAFLI RIZALDY EDWAR 1500100178
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2018
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Penelitian : Karakteristik Penderita Pityriasis Versicolordi RS sUniversitas Sumatera Utara Tahun 2017
Nama Mahasiswa : Rafli Rizaldy Edwar Nomor Induk : 150100178
Proposal penelitian ini telah diperiksa dan disetujui untuk diujikan pada ujian Seminar Hasil penelitian.
Medan, 29 Mei 2018 Menyetujui, Dosen Pembimbing
dr. Flora Marlita Lubis, SpKK NIP: 197703232009122002
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan berkat-Nya penulis mampu menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya.
Skripsi ini berjudul “Karakteristik Pityriasis Versicolor di RS Universitas Sumatera Utara Tahun 2017” yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan sarjana kedokteran program studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Dalam penyusunan dan penyelesaian skripsi ini, penulis mendapat banyak dukungan dan bantuan baik secara moril maupun materil dari berbagai pihak.
Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih sebesar- besarnya kepada:
1. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S(K), yang banyak memberikan dukungan selama proses penyusunan skripsi.
2. Dosen Pembimbing, dr. Flora Marlita Lubis, SpKK yang banyak memberikan arahan, masukan, ilmu, dan motivasi kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan sedemikian rupa.
3. Ketua Penguji, dr. Putri Amelia, M.Ked(A), SpAdan Anggota Penguji, dr.
Almaycano Ginting, M. Ked(Clin. Path), SpPK, untuk setiap kritik dan saran yang membangun selama proses pembuatan skripsi ini.
4. Seluruh staf pengajar dan civitas akademika Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara atas bimbingan dan ilmu yang diberikan dari mulai awal perkuliahan hingga penulis menyelesaikan skripsi ini.
5. Seluruh pihak Rekam Medis RS Universitas Sumatera Utara.
6. Kedua orang tua, dr Edwar Ayub SpOG (K) dan dr Linda Safitri Lubis SpKK, kedua saudara penulis, Devi dan karina, yang selalu mendukung, memberikan semangat, kasih sayang, bantuan dan rasa kebersamaan yang tidak pernah berhenti sampai penulis menyelesaikan skripsi ini.
7. Sahabat-sahabat penulis, Khaira, Dina, Alifa, Salsa, Mischka, Mawan, Samuel, Alya, Nizal, dan sahabat terbaik lainnya yang tak bisa disebut satu per satu saling
bahu membahu menolong satu sama lain dari awal perkuliahan sampai selesainya skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, baik dari segi konten maupun cara penulisannya. Oleh sebab itu, dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran agar penulis dapat menyempurnakan skripsi ini.
Akhir kata penulis berharap skirpsi ini dapat bermanfaat dan mampu memberikan sumbangsih bagi bangsa dan Negara terutama dalam bidang pendidikan terkhususnya ilmu kedokteran.
Medan, 3 November 2018 Penulis,
Rafli Rizaldy Edwar 1501000180
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Pengesahan ... i
Kata Pengantar ... ii
Daftar Isi ... iv
Daftar Gambar... vi
Daftar Tabel ... vii
Abstrak ... viii
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 2
1.3 Tujuan Penelitian ... 3
1.3.1. Tujuan Umum ... 3
1.3.2. Tujuan Khusus ... 3
1.4 Manfaat Penelitian ... 4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5
2.1 Pityriasis Versicolor ... 5
2.1.1. Definisi ... 5
2.1.2. Epidimiologi ... 5
2.1.3. Etiologi ... 6
2.1.4. Patogenesis ... 7
2.1.5. Gejala Klinis ... 8
2.1.6. Diagnosa ... 10
2.1.7. Faktor Resiko ... 11
2.1.8. Penatalaksanaan ... 13
2.2 Kerangka Teori ... 14
2.3 Kerangka Konsep ... 15
BAB III. METODE PENELITIAN ... 16
3.1 Rancangan Penelitian ... 16
3.2 Lokasi Penelitian ... 16
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian ... 16
3.3.1 Populasi ... 16
3.3.2 Sampel ... 16
3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ... 16
3.4.1. Kriteria Inklusi ... 16
3.4.2. Kriteria Ekslusi ... 16
3.5 Metode Pengumpulan Data ... 17
3.6 Metode Pengolahan Data ... 17
3.7 Variabel ... 17
3.8. Definisi Operasional ... 18
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 20
4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 20
4.2 Metode dan Sampel ... 20 4.3 Karakteristik Pityriasis versicolor berdasarkan
Usia ... 21
4.3 Karakteristik Pityriasis versicolor Berdasarkan Jenis Kelamin ... 21
4.3 Karakteristik Pityriasis versicolor Berdasarkan Pekerjaan ... 22
4.3 Karakteristik Pityriasis versicolor Berdasarkan Onset ... 22
4.3 Karakteristik Pityriasis versicolor Berdasarkan Warna Lesi ... 23
4.3 Karakteristik Pityriasis versicolor Berdasarkan Lokasi Lesi ... 24
4.3 Karakteristik Pityriasis versicolor Berdasarkan Pilihan Terapi ... 24
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 25
5.1 Kesimpulan ... 25
5.2 Saran ... 25
DAFTAR PUSTAKA ... 27
LAMPIRAN ... 31
DAFTAR GAMBAR
Gambar Judul Halaman
2.1. Pseudohyphae Malassezia ... 6 2.2. Lesi hipopigmentasi dan lesi hiperpigmentasi ... 8 2.3. Gambaran spora dan hifa berpola “spageti dan bakso” 11 2.4. Kerangka Teori ... 15
DAFTAR TABEL
Tabel Judul Halaman
2.1. Obat sistemik Pityriasis versicolor beserta dosis ... 13 3.1. Definisi Operasional ... 17 4.1. Karakteristik Pityriasis versicolor berdasarkan usia .. 21 4.2. Karakteristik Pityriasis versicolor berdasarkan jenis
kelamin ... 21 4.3. Karakteristik Pityriasis versicolor berdasarkan
pekerjaan ... 22 4.4. Karakteristik Pityriasis versicolor berdasarkan onset 22 4.5. Karakteristik Pityriasis versicolor berdasarkan warna
lesi ... 23 4.6. Karakteristik Pityriasis versicolor berdasarkan lokasi
lesi ... 23 4.7. Karakteristik Pityriasis versicolor berdasarkan pilihan
terapi ... 24
ABSTRAK
Latar Belakang. Pityriasis versicolor merupakan infeksi jamur superfisial yang paling sering ditemukan. Prevalensi Pitiriasis versikolor di Negara tropis diperkirakan 40-50% namun Di Indonesia, insidensinya belum akurat dan sulit diakses karena banyak penderita yang tidak berobat ke petugas medis. Obat antifungi biasanya menjadi pilihan utama untuk pengobatan Pityriasis versicolor.Tujuan. Untuk mengetahui gambaran karakteristik Pityriasis versicolor seperti usia, jenis kelamin, pekerjaan, warna lesi, lokasi lesi, serta pilihan terapi di RS Universitas Sumatera Utara. Metode. Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif dengan desain cross sectional. Metode pengumpulan data dengan menggunakan data rekam medik. Metode pengambilan sampel menggunakan teknik total sampling.Hasil. Berdasarkan hasil data, kelompok usia terbanyak terdapat pada kelompok usia 12-16 tahun (25%). Dari 52 orang penderita, jenis kelamin laki-laki sebanyak 80,7% dan perempuan sebanyak 19,3%. Kelompok pekerjaan terbesar yaitu siswa (36,5%), diikuti dengan wiraswasta (34,6%). Onset penyakit terbanyak pada 1-3 bulan (44,2%). Warna lesi yang ditemukan pada 52 pasien yaitu hipopigmentasi. Lokasi lesi paling banyak ditemukan pada daerah badan (40,3%), diikuti dengan leher (19,2%) dan punggung (17,3%). Pilihan terapi yang paling sering diberikan adalah ketoconazole cream + cetirizine (44,2%). Kesimpulan. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kejadian Pityriasis versicolor terbayak terdapat pada kelompok usia 12-16 tahun, jenis kelamin laki laki, pekerjaan siswa, lesi berwarna hipopigmentasi, lokasi lesi paling sering pada daerah badan, dan pilihan terapi yang paling sering diberikan adalah ketoconazole cream + cetirizine.
Kata kunci: dermatomikosis, panu, Pityriasis versicolor, mikologi, karakteristik
ABSTRACT
Background. Pityriasis versicolor is the most common superficial fungal infection.Prevalence of Pityriasis versicolor in tropical country is estimated to be 40-50% but in Indonesia the incidence is not accurate and difficult to be accessed because of the because there are lot of patients that didn’t went to the medical staff. Antifungal drugs are usually the main choice of the treatment of Pityriasis versicolor. Objective. To determine the characteristic of Pityriasis versicolor such as age, sex, occupation, color of the lesion, location of the lesion, and the therapy in RS Universitas Sumatera Utara. Method. This research is using a descriptive method with cross-sectional study design.The population of this study were all patients of the Pityriasis versicolor at RS Universitas Sumatera Utara. The data were collected using a secondary data which was obtained from the medical records using total sampling technique.Results. Based on the results of the data, the most age groups were in the 12-16 year age group (25%). Of the 52 patients, male was 80.7% and women were 19.3%. The largest occupational group is students (36.5%), followed by entrepreneurs (34.6%). Most disease onset at 1-3 months (44.2%). The color of the lesion was found in 52 patients is hypopigmentation. The location of most lesions was found in the body area (40.3%), followed by neck (19.2%) and back (17.3%). The most common treatment option given is ketoconazole cream + cetirizine (44.2%). Conclusion. From the results of this study it can be concluded that the most prevalent incidence of Pityriasis versicolor is in the 12-16 year age group, male gender, student, hypopigmented colored lesions, the location of lesions most often in the body area, and the most common treatment option is ketoconazole cream + cetirizine.
Keywords: dermatomycoses, Tinea versicolor, Pityriasis versicolor, mycology, characteristic
BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Dermatomikosis merupakan penyakit jamur pada kulit yang disebabkan oleh dermatofita dan beberapa jamur oportunistik seperti Malasezzia, Candida (kecuali C. albicans), Trichosporon, Rhodutorula, Cryptococcus atau Aspergillus, Geotrichum, Alternaria, dan lainnya(Goldsmith et al, 2012).
Berdasarkan lingkungan hidupnya, dermatomikosis terbagi menjadi tiga golongan yakni : (1) superfisial, yang berkembang pada stratum corneum, rambut, kuku, (2) subcutaneus, yang berkembang pada dermis dan/atau jaringan subkutan, dan (3) deep/systemic, yang dapat menyebar melalui hematogen serta menyebabkan infeksi oportunistik pada host dengan immunocompromised (Goldsmith et al, 2012).
Dermatomikosis superfisial adalah infeksi jamur hanya terbatas pada startum korneum. Secara umum dermatomikosis superfisisal dibagi mejadi dua yaitu infeksi jamur yang menyebabkan inflamasi, contohnya infeksi jamur yang disebabkan dermatofita dan yang tidak menyebabkan inflamasi disebabkan oleh piedra (Havlickova, 2008).
Pityriasis versicolor merupakan infeksi jamur superfisial yang paling sering ditemukan. Prevalensi Pitiriasis Versikolor di Negara tropis diperkirakan 40-50%
namun Di Indonesia, insidensinya belum akurat dan sulit diakses karena banyak penderita yang tidak berobat ke petugas medis (Soleha, 2014).
Pityriasis versicolor adalah penyakit dermatomikosis superfisial yang
memiliki lesi berbentuk oval di badan dan lengan. Lesi dari Pityriasis versicolor bisa berupa hipopigmentasi (putih) maupun hiperpigmentasi (merah muda, kecoklatan, hitam). Kebanyakan pasien tidak mengalami keluhan atau hanya mengalami gatal gatal. Pityriasis versicolor berhubungan erat dengan suhu yang hangat, udara lembab, oleh karena itu prevalensinya lebih tinggi pada musim panas dan juga lebih sering pada daerah tropis (Sharma et al, 2016).
Terdapat peningkatan prevalensi Pityriasis versicolor pada usia remaja dibandingkan dengan anak anak, berhubungan dengan perubahan hormonal yang meningkatkan produksi sebum sehingga mengakibatkan kulit menjadi lebih berminyak. Kondisi ini mengakibatkan jamur lebih mudah berkembang. Pityriasis versicolor juga lebih sering mengenai remaja dan dewasa muda yang aktif secara fisik (Renati, 2015).
Dari segi usia ditemukan pada usia 16-40 tahun. Kemungkinan karena segmen usia tersebut lebih banyak mengalami faktor predisposisi atau pencetus misalnya pekerjaan dalam lingkungan basah, trauma, banyak keringat, selain pajanan terhadap jamur lebih lama (Ibekwe, 2014).
Peran seks dalam kecenderungan untuk pengembangan Pityriasis versicolor masih belum jelas. Beberapa penelitian menemukan bahwa Pityriasis versicolor lebih sering terjadi pada pria daripada wanita, sementara yang lain menunjukkan bahwa kejadian infeksi ini lebih tinggi pada wanita. Tidak ada perbedaan dalam insidensi di antara kedua jenis kelamin juga dilaporkan (Devendrappa,2018).
Faktor predesposisi yang mempengaruhi perkembangan Pityriasis versicolor bervariasi, yang perlu diperhatikan adalah faktor lingkungan dan faktor host tersebut. Keadaan yang mempengaruhi keseimbangan antara hospes dan jamur tersebut adalah faktor endogen dan eksogen. Faktor endogen antara lain produksi kelenjar sebasea dan keringat, genetik, malnutrisi, faktor immunologi dan pemakaian obat-obatan, sedangankan faktor eksogen yang terpenting adalah suhu dan kelembapan kulit (Soleha, 2014).
Berdasarkan uraian tersebut peneliti tertarik untuk mengetahui lebih lanjut mengenai insidensi dan karakteristik penderitaPityriasis versicolor di RS Universitas Sumatera Utara.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Dari paparan latar belakang di atas didapat rumusan masalah sebagai berikut:Bagaimanakahkarakteristik penderitaPityriasis versicolor di RS Universitas Sumatera Utara tahun 2017.
1.3 TUJUAN PENELITIAN 1.3.1 TUJUAN UMUM
Untuk mengetahui insidensi dan karakteristikPityriasis versicolor di RS Universitas Sumatera Utara pada tahun 2017.
1.3.2 TUJUAN KHUSUS
1. Mengetahui karakteristik penderita Pityriasis versicolordi RS Universitas Sumatera Utara berdasarkan usia.
2. Mengetahuikarakteristik penderita Pityriasis versicolordi RS Universitas Sumatera Utara berdasarkan jenis kelamin.
3. Mengetahui karakteristik penderita Pityriasis versicolor di RS Universitas Sumatera Utara berdasarkan suku.
4. Mengetahui karakteristik penderita Pityriasis versicolor di RS Universitas Sumatera Utara berdasarkan pekerjaan.
5. Mengetahui karakteristik penderita Pityriasis versicolordi RS Universitas Sumatera Utara berdasarkan onset penyakit.
6. Mengetahui karakteristik penderita Pityriasis versicolordi RS Universitas Sumatera Utara berdasarkan warna lesi.
7. Mengetahui karakteristik penderita Pityriasis versicolordi RS Universitas Sumatera Utara berdasarkan lokasi lesi.
8. Mengetahui karakteristik penderita Pityriasis versicolordi RS Universitas Sumatera Utara berdasarkan pilihan terapi.
1.4 MANFAAT PENELITIAN
1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasipada klinisi maupun orang yang sering terpapar faktor resiko Pityriasis versicolor mengenai karakteristik Pityriasis versicolor.
2. Meningkatkan pemahaman dan menambah wawasan serta kemampuan peneliti dalam melakukan penelitian.
3. Penelitian ini bermanfaat sebagai referensi untuk penelitian berikutnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. PITYRIASIS VERSICOLOR 2.1.1. DEFINISI
Pityriasis versicolor adalah penyakit kulit mikosis superfisial yang disebabkan oleh Malassezia, jamur yang bersifat dimorfik lipofilik. Jamur ini merupakan flora normal pada kulit tetapi dapat menyebabkan penyakit jika berubah menjadi bentuk hifa patogenik. Faktor lingkungan, genetik, sistem imun juga merupakan faktor predisposisi yang dapat menyebabkan Pityriasis versicolor (Renati, 2015).
2.1.2. EPIDIMIOLOGI
Pityriasis versicolor adalah penyakit kulit yang sangat umum. Frekuensi dan kejadiannya bergantung pada berbagai keadaan iklim dan tingkat sosioekonomi. Pityriasis versicolor sangat umum di daerah beriklim sedang dan lazim di daerah tropis dan subtropis. Tingkat kasus hingga 50% telah dilaporkan di Meksiko, Samoa, Fiji, Amerika Tengah dan Selatan, bagian Afrika, Kuba, Hindia Barat, dan kawasan Mediterania. Di daerah beriklim sedang, sebagian besar kasus terlihat di musim panas dan musim gugur. Prevalensi keseluruhan 30% atau lebih mungkin terjadi di zona tropis (Nura, 2016).
Dalam Survei Kesehatan Nasional A.S. (1971-1974) dari 28.000 orang dari umur 1 tahun hingga 74 tahun, InsidensiPityriasis versicolor ditemukan sebanyak 0,8%. Frekuensi dan kepadatan kolonisasi spesies Malassezia pada kulit manusia yang sehat terkait dengan usia dan aktivitas kelenjar sebaceous di daerah yang diteliti. Dalam sebuah penelitian oleh Muhammad N, 2009, prevalensi tertinggi Pityriasis versicolor diamati pada kelompok usia 17-28 tahun (70,6%). Puncak Tinea versicolor bertepatan dengan usia. Ini mungkin karena perubahan hormonal dan peningkatan aktivitas kelenjar sebasea (Nura, 2016).
Peran seks dalam kecenderungan untuk pengembangan Pityriasis
versicolormasih belum jelas. Beberapa penelitian menemukan bahwa Pityriasis versicolor lebih sering terjadi pada pria daripada wanita, sementara yang lain menunjukkan bahwa kejadian infeksi ini lebih tinggi pada wanita. Tidak ada perbedaan dalam insidensi di antara kedua jenis kelamin juga dilaporkan(Devendrappa, 2018).
Distribusi kasus Pitiriasis Versicolor berdasarkan pekerjaan di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Prof. DR. R.D Kandou Manado periode Januari – Desember 2012 didapatkan paling banyak pasien adalah pegawai negeri sipil sebanyak 12 kasus (24%) (Nathalia, 2012).
Di Indonesia penyakit ini sering disebut panu dan angka kejadian di Indonesia belum diketahui tetapi di Asia dan Australia pernah dilakukan secara umum percobaanpada tahun 2008 didapatkan angka yang cukup tinggi karena didukungnya iklim di daerah Asia (Banerjee, 2011).
2.1.3. ETIOLOGI
Pityriasis versicolor disebabkan oleh Malassezia, jamur lipofilik dimorfik, juga dikenal sebagai pityrosporum. Jamur ini merupakan komponen flora kulit normal. Sampai saat ini, 13 spesies Malassezia telah diidentifikasi. Spesies utama yang diisolasi di Pityriasis versicolor adalah Malassezia Furfur, Malassezia Globosa, Malassezia Sympodialis (Tan, 2015).
Malassezia adalah bagian dari flora normal pada kulit. Kontak pertama
dengan ragi terjadi beberapa saat setelah lahir, ketika kulit bayi yang baru lahir bersentuhan dengan kulit seorang individu yang membawa jamur. Sejak saat itu, ragi ini akan hadir untuk seumur hidup (Mendez-Tovar, 2010).
Gambar 2.1. Pseudohyphae Malassezia (Mahmoudabadi et al, 2009).
Malassezia globosa telah dilaporkan sebagai etiologi utama di antara studi pasien Pityriasis versicolor di India, Iran dan Srilanka. Sedangkan di Indonesia disebutkan etiologi dari Pityriasis versicolor dilaporkan sebagai berikut:M.furfur42,9%, M. sympodialisin 27,5%, M. globosa 13,3%, M.obtusa7,7% dan M. restrictain 2,2% kasus (Ahmed et al, 2015).
Malassezia merupakan organisme lipofilik, dan lipid atau kulit yang berminyak sangat penting untuk pertumbuhan in vitro dan in vivo. Selanjutnya, tahap miselium dapat diinduksi secara in vitro dengan penambahan kolesterol dan ester kolesterol ke medium yang sesuai. Malassezie lebih cepat berkoloni pada manusia selama pubertas ketika terdapat peninggian produksi sebum dan Pityriasis versicolor terjadi di daerah-daerah yang kaya sebum (misalnya, dada, punggung) (Soleha, 2014).
Perbedaan permukaan kulit pada tiap individu diperkirakan memiliki peran utama dalam terjadinya Pityriasis versicolor. Namun, pasien dengan Pityriasis versicolor dan subjek kontrol tidak menunjukkan adanya perbedaan kuantitatif atau kualitatif pada lipid permukaan kulit. Lipid permukaan kulit sangat penting untuk keberadaan normal Malassezia Furfur pada kulit manusia, tetapi mereka mungkin memainkan peran kecil dalam patogenesis Pityriasis versicolor(Soleha, 2014).
Alasan mengapa organisme ini menyebabkan Pityriasis versicolor pada beberapa individu sementara pada individu lain tetap sebagai flora normal tidak sepenuhnya diketahui. Beberapa faktor, seperti kebutuhan nutrisi organisme dan
respon imun pejamu terhadap organisme merupakan faktor yang signifikan (Soleha, 2014).
2.1.4. PATOGENESIS
Patogenesis dari Pityriasis versicolor belum sepenuhnya diketahui, tetapi berbagai penelitian menjelaskan Pityriasis versicolor terjadi karena berbagai faktor seperti kolonisasi malassezia pada kulit, produksi sebum dan faktor predisposisi individu (Ibekwe, 2014).
Malassezia adalah bagian dari flora normal pada kulit. Kontak pertama
dengan ragi terjadi beberapa saat setelah lahir, ketika kulit bayi yang baru lahir bersentuhan dengan kulit seorang individu yang membawa jamur. Sejak saat itu, ragi ini akan hadir untuk seumur hidup (Mendez-Tovar, 2010).
Malassezia merupakan jamur dimorfik yang memiliki bentuk yeast dan juga
hifa. Berbagai faktor endogen dan eksogen seperti produksi sebum yang tinggi dapat merubah bentuk yeast dari malasseziamenjadi bentuk patogennya yaitu hifa (Ibekwe, 2014).
Melalui lipase, Malassezia memetabolisme berbagai asam lemak, seperti asam arakidonat atau vaccenic acid, dan asam azelaic akan dilepaskan sebagai salah satu metabolit. Asam ini menghambat aksi enzim dopa-tyrosinase, yang memblokir jalur tyrosine ke melanin dan akibatnya menghasilkan munculnya bintik-bintik hipokromik. Penelitian histopatologi kulit di daerah-daerah ini menunjukkan adanya melanosom yang lebih kecil daripada yang ditemukan pada kulit normal (Mendez-Tovar, 2010).
2.1.5. GEJALA KLINIS
Lesi dari Pityriasis versicolor berbentuk makula ataupun papul superfisial bersisik yang memiliki ukuran beragam. Lesi berukuran kecil biasanya berbentuk lingkaran atau oval. Lesi memiliki batas yang jelas dan bisa berbentuk hipopigmentasi dan hiperpigmentasi. Pada orang kulit putih atau terang, lesi berwarna lebih gelap dibandingkan kulit normal,sedangkan pada orang berkulit hitam atau gelap, lesi cenderung putih. Biasanya lesi dari Pityriasis versicolor
tidak menimbulkan keluhan atau hanya menimbulkan gatal tetapi keluhan memburuk ketika penderita terpapar suhu yang relatif hangat (Rai, 2009).
Gambar 2.2. Lesi hipopigmentasi (kiri), lesi hiperpigmentasi (kanan) (Sharma et al, 2016)
Hipopigmentasi pada lesi tersebut terjadi karena asam dekarboksilat yang diproduksi oleh malassezia yang bersifat sebagai inhibitor kompetitif terhadap enzim tirosinase dan mempunyai efek sitotoksik terhadap melanosit(Mendez- Tovar, 2010), sedangkan hiperpigmentasi terjadi akibat lebih tebalnya stratum corneum, melanosit yang lebih besar, dan reaksi inflamasi terhadap jamur (Ravindranath, 2016).
Penderita Pityriasis versicolor umumnya menunjukkan beberapa lesi pada daerah badan. Lesi juga bisa terdapat di tenggorokan dan ekstremitas atas proksimal. Distribusinya biasanya sejajar dengan kelenjar sebasea, dengan kejadian yang lebih tinggi di dada, punggung dan wajah. Namun, lesi ditemukan dalam jumlah yang lebih tinggi di punggung. Lesi pada wajah lebih sering ditemukan pada anak anak dibandingkan pada orang dewasa. Lesi ini jarang tetap terbatas pada tungkai bawah, adalah rongga poplitea, lengan bawah, ketiak, penis / genital, atau di area radioterapi. Distribusi juga terjadi di daerah-daerah yang biasanya tertutup oleh pakaian (Nura, 2016).
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Kazemi et al sebanyak 77% dari 582 pasien memiliki lesi Pityriasis versicolor pada badan bagian atas. Jauh lebih banyak dibandingkan dengan bagian tubuh yang lain dikarenakan oleh produksi sebum yang pada daerah tersebut (Kazemi et al, 2013).
Ada juga beberapa jenis Pityriasis Versicolor yang jarang ditemukan, yaitu:
a. Inverse Pityriasis Versicolor
Lesi Pityriasis versicolor terutama terletak di aksila, selangkangan atau perineum. Diagnosis banding dari bentuk Pityriasis versicolor ini akan mencakup infeksi dermatofita, erythrasma dan dermatitis seboroik.
b. Pityriasis Versicolor Atropican
Lesi mengalami atrofi, eritematosa, dan asimtomatik. Beberapa lesi mungkin memiliki teleangiectasi. Topografi Pityriasis versicoloratrophicans umumnya mengikuti Pityriasis versicolor umum dan sebagian atau seluruhnya sembuh dengan terapi antijamur yang tepat.
Diagnosis banding dari bentuk Pityriasis versicolorini termasuk anetoderma, bekas jerawat, dan atrofi makula. Pemeriksaan histologi diperlukan untuk menegakkan diagnosis.
c. Pityriasis Versicolor Pseudoatropicans
Lesi Pityriasis versicolor bisa hipo dan hiperpigmentasi khas hidup berdampingan dengan bercak atrofi. Tambalan atrofi ini bersifat iatrogenik dan sekunder untuk memperpanjang terapi kortikosteroid topikal. Lesi membaik dengan suspensi penggunaan steroid.
d. Blaschkoid Pityriasis Versicolor
Digambarkan sebagai varian langka di mana lesi Pityriasis versicolor didistribusikan di sepanjang garis Blaschko.
e. Pityriasis Versicolor Rubra
Merupakan varian merah dari Pityriasis versicolor di mana lesi eritematosa dan memiliki teleangiectasia di atasnya yang dapat dilihat melalui capillaroscopy. Lesi didistribusikan di daerah tubuh yang kaya sebum dan meningkat dengan pengobatan antijamur (Ibekwe, 2014).
2.1.6. DIAGNOSA
Pityriasis versicolor dapat didiagnosis secara klinis oleh lesi kulit yang khas (hiperpigmentasi atau hipopigmentasi, bersisik, plak tipis). Sisik halus pada kulit yang terkena tidak mudah dilihat tetapi menjadi lebih jelas ketika kulit
direntangkan atau dikikis. Tanda ini sangat membantu dalam menegakkan diagnosis Pityriasis versicolor (Renati, 2015).
Pemeriksaan lanjutan dapat dilakukan apabila terdapat ketidakyakinan terhadap diagnosis. Seperti pemeriksaan dengan lampu wood dan biopsi kulit.
Lampu ultra-violet khusus, yang dikenal sebagai lampu wood, dapat digunakan untuk mencari fluoresensi kuning yang khas dari Pityriasis versicolor. Kadang- kadang dokter mungkin mengambil kerokan kulit untuk mengkonfirmasi diagnosis. Jika ada keraguan, biopsi kulit dapat dipertimbangkan (Renati, 2015).
a. Pemeriksaan lampu wood
Lampu wood merupakan alat yang sangat berguna di dunia dermatologi.
Berbentuk kecil, tahan lama, tidak terlalu mahal, aman, dan sangat mudah untuk digunakan. Lampu wood menghasilkan radiasi ultraviolet gelombang panjang tak terlihat pada panjang gelombang 340-450 nm (maksimum pada 365 nm). Masing masing kelainan dermatologis memiliki karakteristik fluoresensi tersendiri. Ada banyak kondisi dermatologis yang dapat di diagnosis dengan menggunakan lampu wood salah satunya Pityriasis versicolor (Suraprasit et al, 2016).
Pada pemeriksaan Pityriasis versicolor menggunakan lampu wood akan menghasilkan fluoresensi berwarna kuning ataupun oranye. Selain untuk mengkonfirmasikan, diagnosa lampu wood juga dapat digunakan untuk menentukan lokasi yang tepat untuk pengambilan spesies jamur dari Pityriasis versicolor(Suraprasit et al, 2016).
b. Biopsi kulit
Pengambilan skuama dapat dilakukan dengan kerokan kulit menggunakan skalpel atau selotip yang dilekatkan ke lesi.Selotip itu ditempatkan pada slide kaca dan diperiksa di bawah mikroskop. Keratin dan serpihan sisik kulit pertama dilarutkan dengan penggunaan 10-20% kalium hidroksida dan kemudian diwarnai dengan biru metilen, tinta parker atau biru lakto- fenol untuk mendorong pandangan yang jelas dari elemen jamur. Biasanya di dapati karakteristik jamur seperti “Spageti dan Bakso” (Ibekwe, 2014).
Gambar 2.3. Pemeriksaan dengan pewarnaan Swartz Lamkin menunjukkan gambaran spora dan hifa berpola “spageti dan bakso” (Renati, 2015) 2.1.7.FAKTOR RISIKO
Sebagian besar kasus Pityriasis versicolor dapat terjadi pada orang sehat tanpa defisiensi imunologi. Namun demikian, beberapa keadaan yang mempengaruhi beberapa orang untuk terkena Pityriasis versicolor. Keadaan yang mempengaruhi keseimbangan antara hospes dan jamur tersebut adalah faktor endogen dan eksogen. Faktor endogen antara lain produksi kelenjar sebasea dan keringat, genetik, malnutrisi, faktor immunologi dan pemakaian obat-obatan, sedangankan faktor eksogen yang terpenting adalah suhu dan kelembapan kulit (Soleha, 2014).
Beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya Pityriasis versicolor dijelaskan sebagai berikut:
a. Suhu dan kelembaban yang tinggi
Daerah tropis dengan suhu panas dan kelembapan yang tinggi akan meningkatkan produksi kelenjar sebum dan keringat sehingga pertumbuhan M. furfur meningkat(Mendez-Tovar, 2010).
b. Usia Remaja dan Dewasa Muda
Peningkatan androgen yang terjadi pada remaja dan dewasa muda, menghasilkan perkembangan kelenjar sebasea yang lebih besar dengan lebih banyak sekresi sebum di kulit, yang mendukung pertumbuhan ragi Malassezia yang merupakan organisme penyebab Pityriasis versicolor (Morais, 2010).
c. Keringat berlebih
Riwayat kekambuhan selama musim panas dan / atau berkeringat berlebih sering ditemukan, karena peningkatan kelenjar sebasea menyebabkan lingkungan lembab yang diperlukan untuk pertumbuhan menjadi bentuk hifa (Rivard, 2013)
d. Penggunaan Kortikosteroid Sistemik dan Imunosupresan
Pemakaiankortikosteroid dan immunosupresan mengakibatkan meningkatnya tingkat keparahan Pityriasis versicolor(Thayikkanu, 2015).
e. Genetik
Predesposisi genetik terjadi pada keluarga yang rentan terhadap infeksi jamur (Mendez-Tovar, 2010).
f. Malnutrisi
Kekurangan beberapa zat gizi akan memudahkan pertumbuhan jamur Oportunis(Mendez-Tovar, 2010).
g. Faktor immunologi
Insiden infeksi jamur meningkat pada sejumlah penderita dengan penekanan sistem imun misalnya pada penderita kanker, transplantasi ginjal dan HIV/AIDS serta dapat terjadi pada penderita penyakit cushing(Mendez-Tovar, 2010).
2.1.8. PENATALAKSANAAN
Pengobatan infeksi jamur Pityriasis versicolor ada dua jenis, bisa dilakukan secara topikal dan sistemik. Anti jamur topikal adalah pengobatan yang efektif dan murah terhadap Pityriasis versicolor. Kepatuhan pasien sangat mempengaruhi efisiensi dari pengobatan Pityriasis versicolor. Antijamur sistemik dapat dibenarkan jika agen topikal tidak efektif atau pada kasus yang berat dimana lesi terjadi di sebagian besar tubuh (Gupta, 2014).
Efisiensi dan keamanan agen-agen topikal, termasuk lotion, shampoo, krim, gel dan solusi, terbukti sebagai pengobatan yang efektif terhadap Pityriasis versicolor. Pengobatan topikal yang ada termasuk agen antijamur nonspesifik
juga efektif untuk menghilangkan jaringan mati dan mencegah invasi lebih lanjut (Gupta , 2014).
Foam ketokonazol adalah formulasi baru dari agen antijamur topikal yang
menembus jaringan transkutan dengan penetrasi 6 kali lebih besar daripada formulasi lotion. Produk ini diaktifkan oleh suhu; produk inimencair dan menguap segera yang memungkinkan senyawa aktif menembus ke dalam jaringan dengan cepat (Gupta, 2014).
Efisiensi agen sistemik oral seperti ketoconazole, itra-conazole dan flukonazol telah terbukti. Meskipun oral terbinafine merupakan pengobatan yang efektif untuk sejumlah infeksi jamur superfisial, tidak efektif sebagai pengobatan terhadap Pityriasis versicolor(Gupta, 2014).
Ketokonazole, flukonazole, dan itrakonazole merupakan terapi oral pilihan dengan berbagai variasi dosis yang efektif. Ketokonazole oral 200 mg per hari selama 7 atau 10 hari atau itrakonazole 200-400 mg per hari selama 3-7 hari hampir secara umum efektif. Ketokonazole oral yang diberikan dosis tunggal 400 mg merupakan regimen yang gampang diberikan dengan hasil yang sebanding.
Dosis tunggal itrakonazole 400 mg juga menunjukkan efektivitas lebih dari 75%
dan dalam satu penelitian memiliki efektivitas yang sama dengan itrakonazole selama 1 minggu. Flukonazole juga efektif diberikan dosis tunggal 400 mg.
Pengobatan yang paling banyak digunakan untuk pengobatan PV adalah golongan azol, oleh karena efektivitasnya yang tinggi (Verawaty, 2017).
Berikut merupakan rekomendasi obat dan dosis menurut penelitian yang dilakukan Goldsmith et al pada tahun 2012.
Tabel 2.1. Obat sistemik pityriasis versicolor beserta dosis (Goldsmithet al,2012)
Nama obat Dosis
Ketoconazole 200mg/hari selama 10 hari Itraconazole 200mg/hari selama 5 hari
Fluconazole 300mg/minggu selama 2 minggu
Pramiconazole 200mg/hari selama 2 hari
2.2. KERANGKA TEORI
Gambar 2.4. Kerangka Teori
Hospes Flora Normal (M. Furfur) Faktor Resiko
Endogen Eksogen
Produksi kelenjar sebasea Genetik
Malnutrisi Faktor imunologi Pemakaian obat-obatan
Suhu
Kelembaban kulit
Kolonisasi M. furfur Patogen Pityriasis Versicolor
2.3. KERANGKA KONSEP
Berdasarkan judul penelitian di atas maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah:
- Usia
- Jenis kelamin - Pekerjaan - Onset penyakit - Warna lesi - Lokasi lesi - Pilihan terapi
Pityriasis versicolor
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. RANCANGAN PENELITIAN
Penelitian ini merupakan suatu studi deskriptif retrospektif dengan pendekatan cross-sectional untuk melihatkarakteristikPityriasis versicolordi RS Universitas Sumatera Utara. Data dikumpulkan dengan melihat rekam medik pasien di poli kulit dan kelamin RS Universitas Sumatera Utara (Sastroarmono, 2017).
3.2. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di RS Universitas Sumatera Utara. Waktu pelaksanaan penelitian dilakukan pada bulan Juli hingga November 2018.
3.3. POPULASI DAN SAMPEL 3.3.1. POPULASI
Populasi dari penelitian ini adalah seluruh pasien Pityriasis versicolorRS Universitas Sumatera Utaradari bulan 1 Januari – 31 Desember 2017.
3.3.2. SAMPEL
Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan secara total sampling, dengan kriteria responden yang akan diikutsertakan dalam penelitian ini merupakan pasien yang di diagnosis dengan Pityriasis versicolor. Pada penelitian ini didapati sampel dengan metode total sampling sebanyak 52 orang (Dahlan, 2010).
3.4. KRITERIA INKLUSI DAN EKSKLUSI 3.4.1. KRITERIA INKLUSI
- Pasien dengan diagnosisklinis Pityriasis versicolor
3.4.2. KRITERIA EKSKLUSI
- Data rekam medik tidak lengkap.
3.5. METODE PENGUMPULAN DATA
Data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder yang berasal dari rekam medik pasien RS Universitas Sumatera Utara.
3.6. METODE PENGOLAHAN DATA
Data yang telah terkumpul akan diolah dengan bantuan program Microsoft Excel 2016 dan diinterpretasikan dalam bentuk tabel.
3.7. VARIABEL
Variable pada penelitian ini adalah kejadian Pityriasis versicolor,usia, jenis kelamin, pekerjaan, onset penyakit, warna lesi, dan lokasi lesi dan pilihan terapi.
3.8. DEFINISI OPERASIONAL
Tabel 3.1. Definisi Operasional
No Variabel Definisi Alat ukur Kategori Skala ukur
1 Usia Rentang
kehidupan yang diukur dengan tahun
Data sekunder dari rekam medik
- 0-5 tahun - 6-11 tahun - 12-16 tahun - 17-25 tahun - 26-35 tahun - 36-45 tahun - 46-55 tahun
interval
- 56-65 tahun - >65 tahun 2 Jenis
kelamin
Jenis kelamin pasien dilihat dari rekam medik
Data sekunder dari rekam medik
- laki laki - perempuan
Nominal
3 Pekerjaan Pekerjaan pasien dilihat dari rekam medik
Data sekunder dari rekam medik
Nominal
4 Onset penyakit
Awal terkena penyakit
tersebut
Data sekunder dari rekam medik
Nominal
5 Warna lesi Karakteristik
warna dari penyakit pasien
Data sekunder dari rekam medik
-
hipopigmentasi -
hiperpigmentas i
Nominal
6 Lokasi lesi Letak dimana lesi ditemukan
Data sekunder dari rekam medik
-wajah -leher -badan -punggung -ekstremitas atas
-ekstremitas bawah
Nominal
7 Pilihan terapi
Tatalaksana yang diberikan
Data sekunder
Nominal
untuk penyakit dari rekam medik
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Universitas Sumatera Utara (RS USU) yang berlokasi di Jalan Dr. T. Mansyur No. 66, Kelurahan Merdeka, Kecamatan Medan Baru, Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara. Rumah Sakit Universitas Sumatera Utara mulai beroperasional pada tanggal 19 Oktober 2015 berdasarkan izin dari Kepala Dinas Kesehatan No. 442/422.40/X/2015. Rumah Sakit Universitas Sumatera Utara merupakan Rumah Sakit Umum Tipe C di Sumatera Utara yang memberikan pelayanan medis serta penyediaan fasilitas dan sarana kesehatan. Fasilitas tersebut antara lain, ruang perawatan, pelayanan rumah sakit, serta pelayanan BPJS Kesehatan. Penelitian ini dilakukan di sub bagian rekam medis Rumah Sakit Universitas Sumatera Utara.
4.2. METODE DAN SAMPEL
Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder berupa data rekam medis pasien yang melakukan pengobatan ke RS USU. Penelitian dilakukan terhadap pasien Pityriasis versicolor yang datang ke RS USU untuk rawat jalanpada periode 2017. Jumlah seluruh sampel penelitian adalah 52 orang yang diperoleh dengan metode total sampling dan yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
Karakteristik yang diamati pada sampel adalah usia, jenis kelamin, pekerjaan, onset penyakit, lokasi lesi, warna lesi, pilihan terapi, dan pengobatan sebelumnya.
4.3. KARAKTERISTIK PITYRIASIS VERSICOLOR BERDASARKAN USIA
Tabel 4.1 Karakteristik Pityriasis versicolor berdasarkan usia.
Usia (tahun) Frekuensi (n) Persentase (%)
0-5 4 7,6
6-11 2 3,8
12-16 13 25
17-25 8 15,3
26-35 7 13,4
36-45 10 19,2
46-55 6 11,5
56-65 1 1,9
>65 1 1,9
Total 52 100
Berdasarkan tabel 4.1 kelompok usia penderita yang paling banyak yaitu 12-16 tahun (25%). Berdasarkan International Journal of Contemporary Medical Research (IJCMR) kelompok usia yang paling sering terkena Pityriasis versicolor berada di rentang 10-20 dengan nilai 53% dilanjutkan dengan kelompok usia 21- 30 dengan nilai 30% kemudian rentang usia 31-40 sebesar 13% dan yang paling sedikit pada usia >40 dengan nilai 2%. Hal ini disebabkan oleh aktifnya kelenjar sebasea pada rentang usia 10-20 yang merupakan salah satu faktor pencetus Pityriasis versicolor. (Ravindranath, 2016). Sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Framil et al pada tahun 2011 rentang usia penderita Pityriasis versicolor yang paling sering adalah 21-30 tahun sebanyak 28,23% (Framil, 2011).
4.4. KARAKTERISTIK PITYRIASIS VERSICOLOR BERDASARKAN JENIS KELAMIN
Tabel 4.2 Karakteristik Pityriasis versicolor berdasarkan jenis kelamin.
Jenis kelamin Frekuensi (n) Persentase (%)
Laki-laki 42 80,7
20
Perempuan 10 19,3
Total 52 100
Dari tabel 4.2 kelompok jenis kelamin yang lebih banyak yaitu laki-laki sebanyak 42 orang (80,7%) dan perempuan sebanyak 10 orang (19,3%).
Berdasarkan International Journal of Scientific Study (IJSS) didapati jumlah penderita laki laki lebih banyak yaitu sebanyak 57% sedangkan perempuan sebanyak 43% dikarenakan dianggap laki laki lebih banyak beraktivitas diluar dibandingkan perempuan yang dapat meningkatkan produksi sebum (Kambil, 2017). Pada penelitian yang dilakukan Santana et alpada tahun 2013 didapati penderita Pityriasis versicolor berjenis kelamin wanita lebih banyak dibanding laki laki yaitu berjumlah 72 orang (68,6%) (Santana, 2013).
4.5. KARAKTERISTIK PITYRIASIS VERSICOLOR BERDASARKAN PEKERJAAN
Tabel 4.3 Karakteristik Pityriasis versicolor berdasarkan pekerjaan.
Pekerjaan Frekuensi (n) Persentase (%)
Siswa 19 36,5
Mahasiswa 3 5,7
Wiraswasta 18 34,6
Pengangguran 9 17,3
Belum sekolah 3 5,7
Total 52 100
Berdasarkan tabel 4.3 didapati insidensi Pityriasis versicolor tertinggi didapat pada siswa yaitu sebanyak 19 orang (36%). Apabila digolongkan sesuai dengan usianya maka siswa berada pada kelompok usia 10-20 orang sesuai dengan IJCMR dimana pada rentang usia tersebut ditemukan insidensi yang paling tinggi yaitu 53% (Ravindranath, 2016).
4.6. KARAKTERISTIK PITYRIASIS VERSICOLOR BERDASARKAN ONSET
Tabel 4.4 Karakteristik Pityriasis versicolor berdasarkan onset.
Onset Frekuensi (n) Persentase (%)
<1 Bulan 4 7,6
1-3 Bulan 23 44,2
4-6 Bulan 13 25
7-12 Bulan 11 21,1
>1 Tahun 1 1,9
Total 52 100
Berdasarkan tabel 4.4 didapati onset penyakit tertinggi yaitu pada 1-3 bulan yaitu sebanyak 23 orang (44,2%). Pityriasis versicolor merupakan penyakit yang memiliki gejala bercak putih dan gatal apabila berkeringat sehingga sedikit orang yang langsung berobat ke petugas medis (Soleha, 2016).
4.7. KARAKTERISTIK PITYRIASIS VERSICOLOR BERDASARKAN WARNA LESI
Tabel 4.5 Karakteristik Pityriasis versicolor berdasarkan warma lesi.
Warna Lesi Frekuensi (n) Persentase (%)
Hipopigmentasi 52 100
Hiperpigmentasi 0 0
Total 52 100
Pada tabel 4.5 didapati seluruh sampel memiliki lesi hipopigmentasi yaitu 52 orang (100%). Lesi memiliki batas yang jelas dan bisa berbentuk hipopigmentasi dan hiperpigmentasi. Pada orang kulit putih atau terang, lesi berwarna lebih gelap dibandingkan kulit normal,sedangkan pada orang berkulit hitam atau gelap, lesi cenderung putih. Biasanya lesi dari Pityriasis versicolor tidak menimbulkan keluhan atau hanya menimbulkan gatal tetapi keluhan memburuk ketika penderita terpapar suhu yang relatif hangat (Rai et al, 2009).
Pada penelitian yang dilakukan Ravindranath ditemukan lesi hipopigmentasi sebanyak 80% dari 75 pasien yang diteliti, lesi hipopigmentasi diakibatkan oleh interaksi antara barrier kulit dengan komponen Malasseziaseperti produksi asam dekarboksilat yang menghambat enzim tyrosinase dalam memproduksi melanin, sedanga hiperpigmentasi terjadi akibat lebih tebalnya stratum corneum, melanosit yang lebih besar, dan reaksi inflamasi terhadap jamur (Ravindranath, 2016).
4.8. KARAKTERISTIK PITYRIASIS VERSICOLOR BERDASARKAN LOKASI LESI
Tabel 4.6 Karakteristik Pityriasis Versicolor berdasarkan lokasi lesi.
Lokasi lesi Frekuensi (n) Persentase (%)
Wajah 4 7,6
Leher 10 19,2
Badan 21 40,3
Punggung 9 17,3
Ekstremitas atas 2 3,8
Ekstremitas bawah 6 11,5
Total 52 100
Berdasarkan tabel 4.6 lokasi lesi Pityriasis Versicolor paling banyak ditemukan di daerah badan yaitu sebanyak 21 orang (40,3%). Pada penelitian yang dilakukan Santana et alpada tahun 2013 ditemukan lesi paling banyak ditemukan di daerah badan yaitu berjumlah 43 orang (40,9%). Lesi Pityriasis Versicolor paling sering ditemukan pada bagian badan atas dan bisa menyebar ke bagian lengan atas, leher, dan perut. Lesi pada wajah lebih sering ditemukan pada anak anak dan bayi yang baru lahir (Nura et al, 2016).
4.9. KARAKTERISTIK PITYRIASIS VERSICOLOR BERDASARKAN PILIHAN TERAPI
Tabel 4.7 Karakteristik Pityriasis versicolor berdasarkan pilihan terapi.
Pilihan terapi Frekuensi (n) Persentase (%)
Ketoconazole tab + Miconazole + Cetirizine
4 7,6
Ketoconazole Cream + Cetirizine
23 44,2
Ketoconazole tab + Miconazole
6 11,4
Ketoconazole Cream 14 26,9
Miconazole 5 9.6
Total 52 100
Berdasarkan tabel 4.7 pilihan terapi yang paling banyak dipilih adalah Ketoconazole Cream + Cetirizine yaitu sebanyak 23 pasien (44,2%). Efisiensi dan keamanan agen-agen topikal, termasuk lotion, shampoo, krim, gel dan solusi, terbukti sebagai pengobatan yang efektif terhadap Pityriasis versicolor.
Pengobatan topikal yang ada termasuk agen antijamur nonspesifik juga efektif untuk menghilangkan jaringan mati dan mencegah invasi lebih lanjut (Gupta et al, 2014).
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 KESIMPULAN
Berdasarkan peneletian yang telah dilakukan mengenai karakteristik dan insidensiPityriasis versicolor di RS Universitas Sumatera Utara pada tahun 2017 dengan jumlah sampel sebanyak 52 orang, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Insidensi Pityriasis versicolor di RS Universitas Sumatera Utara pada tahun 2017 berjumlah 52 orang.
2. Kelompok Usia penderita Pityriasis versicoloradalah 12-16 tahun berjumlah 13 orang (25%).
3. Jenis kelamin penderita Pityriasis versicolor yang paling banyak adalah laki-laki yaitu sebanyak 24 orang (80,7%).
4. Kelompok pekerjaan penderita Pityriasis versicolor yang paling banyak adalah siswa ataupun pelajar berjumlah 19 orang (36,5%).
5. Kelompok Onset penyakit penderita Pityriasis versicolor datang ke petugas medis terbanyak yaitu pada onset 1-3 bulan berjumlah 23 orang (44,2%).
6. Warna lesi penderita Pityriasis versicoloryang ditemukan hanya lesi hipopigmentasi yang berjumlah 52 orang (100%).
7. Lokasi lesi penderita Pityriasis versicolorpaling banyak ditemukan di daerah badan berjumlah 21 orang (40,3%).
8. Pilihan terapi yang paling sering diberikan kepada penderita Pityriasis versicolor adalah Ketoconazole cream + cetirizine yaitu sebanyak 23 orang (44,2%).
5.1 SARAN
1. Diharapkan dari penelitian ini dapat memberikan pengetahuan pada masyarakat tentang Pityriasis versicolor.
2. Diharapkan dari penelitian ini dapat meningkatkan kesadaran penderita Pityriasis versicolor untuk berobat ke petugas medis.
3. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi pedoman untuk penelitian selanjutnya dengan melakukan penelitian Pityriasis versicolor di tempat penelitian yang lebih luas lagi agar mendapatkan lebih banyak subjek sehingga pola Pityriasis versicolor yang akan didapatkan lebih bervariasi. 25
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed, S. M. A., Roy, C.K., Jaigirdar, Q.H., et. al. 2015, Identification of Malassezia species from suspected Pityriasis (versicolor) patients.
Bangladesh Journal of Medical Microbiology, 9(2), 17. Accessed 10-12-18.
Banerjee, S. 2011, Clinical profile of pityriasis versicolor in a referral hospital of West Bengal. Journal of Pakistan Association of Dermatologists, 21(4), 248–252. Accessed 9-12-
18.
https://doi.org/10.3329/bjmm.v9i2.31424
Dahlan, S. 2010, Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan, Jakarta: Salemba Medika.
http://www.jpad.com.pk/index.php/jpad/article/view/484
Devendrappa, K. and Javed M. W. 2018, Clinical Profile of Patients with Tinea Versicolor. International Journal of Research in Dermatology, 4(1):33-37.
Accessed 23-9-18. http://dx.doi.org/10.18203/issn.2455- 4529.IntJResDermatol20180017
Framil, V. M. S. 2011, New aspects in the clinical course of pityriasis versicolor.
An Bras Dermatol. 2011;86(6):1135-40. Accessed 4-9-18.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22281901
Goldsmith, L., Katz S., GilchrestB., et. al. 2012, Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. 8th edition. United States: The McGraw-Hill Companies.
Accessed 1-9-18.
https://accessmedicine.mhmedical.com/book.aspx?bookID=392
Gupta, A. K. and Lyons D. C. A. 2014, Pityriasis versicolor: an update on pharmacological treatment options. Expert Opinion on Pharmacotherapy, 15(12), 1707–1713. Accessed 10-10-18.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24991691
Havlickova B., Czaika V.A. and Friedrich M. 2008, Epidemiological trends in skin mycosis worldwide. Mycosis, 51(4), 2–15. Accessed 7-9-
18.https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18783559
Ibekwe, P. 2014, Correlation of Malassezia species with clinical characteristics of pityriasis versicolor. Doctoral Thesis for the awarding of a Doctor of Philosophy (Ph.D.) at the Medical Faculty of Ludwig-Maximilians-
Universitä t, Munich.Accessed 24-10-
18.https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18643886
Kambil, S. M, A. 2017, Clinical and Epidemiological Study of Pityriasis
Versicolor. International Journal of Scientific Study, 5(8). Accessed 23-9-18.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/7421887
Kazemi, A., Mousavi S. A. A., Jafari A. A., et. al. 2013, Study on pityriasis versicolor in patients referred to clinics in Tabriz. Accessed 23-9-18.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4458963
Mahmoudabadi, A. Z., Mossavi Z. and Fouladi Z. 2009, Pityriasis versicolor in Ahvaz, Iran. Jundishapur Journal of Microbiology, 2(3), 92–96. Accessed 8- 9-18. http://eprints.ajums.ac.ir/id/eprint/1277/
Mendez-Tovar, L. J. 2010, Pathogenesis of dermatophytosis and tinea versicolor.
Clinics in Dermatology, 28(2), 185–189. Accessed 14-10-18.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20347661
Morais, P. M. and Frota M. Z. 2010, Clinical aspects of patients with pityriasis versicolor seen at a referral center for tropical dermatology in Manaus, Amazonas, Brazil. An Bras Dermatol. 85(6):797-803. Accessed 4-9-18.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21308302
Nathalia, S., Niode N. J. and Pandeleke H. E. 2011, Pola penyakit kulit non- infeksi pada anak di poliklinik kulit dan kelamin RSUP Prof. dr. r. d. kandou manado periode 2009-2011 2, 323(April). Accessed 7-10-18.
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/eclinic/article/view/4556
Nura, M. S., Sani N. M., Abubakar M. M., et. al. 2016, A Review of The Current Status of Tinea Versicolor in Some Parts of Nigeria, International Journal of Scientific Engineering and Applied Science , 2(1). Accessed 8-10-18.
http://ijseas.com/volume2/v2i2/ijseas20160224.pdf
Rai, M. K. and Wankhande S. 2009, Tinea Versicolor - an Epidimiology. Journal of Microbial & Biochemical Technology, 1(1), 051-056. Accessed 4-10-18.
https://www.omicsonline.org/tinea-versicolor-an-epidemiology-1948- 5948.1000010.php?aid=903
Ravindranath, S. 2016,Pityriasis Versicolor: Therapeutic Efficacy of Various Regimes of Topical 2% Clotrimazole Cream, Oral Flucanazole and Ketoconazole, International Journal of Contemporary Medical Research.
3(8). Accessed 5-10-18.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5770013/
Renati, S., Cukras A. and Bigby M. 2015, Pityriasis versicolor. Bmj, 350(apr07 1), h1394–h1394. Accessed 8-10-18.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/25852089
Rivard, S. C. 2013, Pityriasis Versicolor: Avoiding Pitfalls in Disease Diagnosis and Therapy. Military Medicine. 178(8),904–906.Accessed 10-11-18.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23929053
Santana, J. O. 2013, Pityriasis Versicolor: Clinical-Epidemiological Characterization of Patients in The Urban Area of Buararema Brazill.
Accessed 4-10-18. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3750883/
Sastroasmoro, S., & Ismael, S. 2017, Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis (5th ed.). Sagung Seto.
Sharma, A., Rhabba D., Choraria S. et. al. 2016, Clinicomycological profile of pityriasis versicolor in Assam. Indian Journal of Pathology and
Microbiology, 59(2), 159. Accessed 3-9-18.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/27166032
Soleha, T. U. 2014, Pitiriasis Versicolor Ditinjau Dari Aspek Klinis Dan
Mikrobiologis. Bagian Mikrobiologi dan Parasitologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung. Accessed 2-9-18.
http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/JK/article/view/1654
Suraprasit, P., Bunyaratavet S., PenvadeP., Waritch K., et. al. 2016, Wood’s lamp examination: evaluation of basic knowledge in general physicians. Siriraj Medical Journal, 68(May), 79–83. Accessed 11-10-18.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3440273/
Tan, S. T., and Reginata G. 2015, Uji Provokasi Skuama pada Pityiasis
Versicolor. Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara, Jakarta, Indonesia. Accessed 6-9-18.
http://www.kalbemed.com/Portals/6/23_229Teknik-
Uji%20Provokasi%20Skuama%20pada%20Pitiriasis%20Versikolor.pdf Thayikkannu, A. B., Kindo A. J. and Vheraragavan M. 2015, Malassezia-Can it
be Ignored? Indian Journal of Dermatology, 60(4), 332–339. Accessed 10- 10-18. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4533528/
Verawaty, L., and Karmila, D. 2017, Penatalaksanaan Pityriasis Versicolor.
Accessed 4-10-18.
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/d705e672f21841a07c 90fd46a56fe0e9.pdf
LAMPIRAN A.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Rafli Rizaldy Edwar
NIM : 150100178
Tempat / Tanggal Lahir : Medan / 30 Desember 1997
Agama : Islam
Nama Ayah : dr Edwar Ayub SpOG (K) Nama Ibu : dr Linda Safitri Lubis SpKK
Alamat : Jl. Setiabudi Komp Tasbi blok YY No 168
Riwayat Pendidikan :
1. SD Ahmad Yani Binjai (2003-2009).
2. SMP N 2 Binjai (2009-2012).
3. SMA N 1 Medan (2012-2015).
4. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (2015-Sekarang).
Riwayat Pelatihan :
1. Peserta MMB (Manajemen Mahasiswa Baru) FK USU 2015.
2. Seminar dan Workshop Basic Life Support & Traumatology 2016 TBM FK USU.
3. Seminar Perhimpunan Dokter Paru Indonesia “Hari Tanpa Tembakau Sedunia”
2016 – RS USU Medan.
4. Seminar Kesehatan Jantung dan Workshop EKG serta Auskultasi Jantung SCOPH 2016.
Riwayat Organisasi :
1. SCOPH USU (2017-2018) : Wakil Ketua Riwayat Kepanitiaan :
1. Panitia Peralatan dan TempatNSCEACC 2018.
2. Koordinator Acara Porseni FK USU 2017.
3. Koordinator Public Relation FOS 6 2014.
LAMPIRAN B.
LAMPIRAN C.