• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS KEBIJAKAN DAN ISU STRATEGIS MINYAK SAWIT INDONESIA Volume III

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ANALISIS KEBIJAKAN DAN ISU STRATEGIS MINYAK SAWIT INDONESIA Volume III"

Copied!
352
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KEBIJAKAN DAN ISU STRATEGIS MINYAK SAWIT INDONESIA

Volume III

Oleh Tim Riset PASPI

Penyunting : Dr. Tungkot Sipayung

PALM OIL AGRIBUSINESS STRATEGIC

POLICY INSTITUTE

(2)

Analisis Kebijakan dan Isu Strategis Minyak Sawit Indonesia Volume III

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Cetakan Pertama, 2016

© PASPI

Katalog Dalam Terbitan (KDT)

ISBN: 978-602-51271-5-1

Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) Alamat : Jalan Kumbang No. 31, Bogor Tengah - 16128 Phone : +62 251 8575 285

E-mail : paspi2014@yahoo.com Website : www.paspimonitor.or.id

Analisis Kebijakan dan Isu Strategis Minyak Sawit Indonesia Volume III/Penyunting, Tungkot Sipayug. Bogor: PASPI, 2016

xiv, 336 hlm. 21 cm

1. Ekonomi Pembangunan 2. Agribisnis I. PASPI

(3)

Kata Pengantar i

Kata Pengantar Volume III

Setelah Indonesia berhasil menjadi negara produsen minyak sawit terbesar dunia tahun 2006, berbagai kebijakan dan isu strategis terkait industri minyak sawit dunia banyak didiskusikan dan tak jarang pro-kontra.

Kebijakan dan isu tersebut sebagian menjadi isu di Indonesia dan sebagian terjadi pada negara-negara importir minyak sawit yang mempengaruhi dinamika industri sawit Indonesia.

Indonesia sebagai produsen terbesar minyak sawit dunia, dinamika kebijakan/isu yang terjadi baik di negara importir sawit maupun di Indonesia akan mempengaruhi dinamika pasar minyak sawit dunia, bahkan juga mempengaruhi dinamika pasar minyak nabati dunia. Oleh karena itu, monitoring dan analisis berbagai isu dan kebijakan menjadi bagian penting dari posisi Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar tersebut.

Palm Oil Agribusiness Strategis Policy Institute (PASPI) sebagai lembaga yang memberi perhatian terhadap kebijakan dan isu strategis industri sawit Indonesia, telah melakukan analisis kebijakan dan isu strategis yang dimuat dalam website www.paspimonitor.or.id sejak tahun 2015.

(4)

Atas saran dari stakeholder industri sawit nasional, topik-topik yang disajikan dalam website tersebut diterbitkan dalam bentuk buku. Buku ini merupakan suatu synopsis dengan judul “Analisis Kebijakan dan Isu Strategis Minyak Sawit Indonesia”, Volume III, yang merupakan kelanjutan dari Volume I dan Volume II.

Buku ini diharapkan menjadi salah satu referensi atau bahan bacaan bagi Mahasiswa, Peneliti dan Pengambil Keputusan (Pemerintah) di bidang industri minyak sawit.

Tentu saja berbagai kritik perbaikan sangat diharapkan dari pembaca untuk perbaikan Buku ini.

Bogor, Juli 2016

Dr. Tungkot Sipayung Direktur Eksekutif PASPI

(5)

Daftar Isi iii

Daftar Isi

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... ix

Elektrifikasi Pedesaan Berbasis Biomas Kebun Sawit dan Pemanfaatan Dana Ketahanan Energi ... 569

Perkebunan Kelapa Sawit : Industri Strategis Energi Terbarukan yang Berkelanjutan ... 579

Mandatori Biodiesel yang Belum Mandatori ... 591

Pemanfaatan Minyak Goreng Jelantah untuk Pengembangan Biodiesel Indonesia: Efesienkah? ... 603

Memandatori Kebijakan Mandatori Biodiesel Sawit ... 615

(6)

Evaluasi Dampak Kebijakan Pungutan Ekspor Terhadap Perubahan Daya Saing Minyak Sawit Indonesia Dan Implikasinya Pada Era MEA ... 629 Benarkah Produsen CPO Dirugikan Akibat Kebijakan Pungutan Ekspor Minyak Sawit? ... 643

Pungutan Ekspor (BK dan CSF), Sudahkah Memberi Makna Bagi Industri Minyak Sawit Indonesia ke Depan? ... 655

Evaluasi Pungutan Sawit dan Urgensi Replanting Bagi Industri Sawit Nasional ... 667 Replanting Sawit dan Pembangunan Ekonomi Baru Indonesia ... 681 Perkebunan Sawit Rakyat dan Peran Strategisnya Di Masa Mendatang ... 693 Sumber Daya Manusia yang Kreatif Kunci Daya Saing Berkelanjutan Industri Minyak Sawit ... 703 Dampak Penurunan Harga BBM Terhadap Industri Sawit Indonesia ... 715 Revolusi Perkebunan Sawit Indonesia ... 723 Kawasan Industri Masyarakat Perkebunan (KIMBUN) Sebagai Basis Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan 743

(7)

Daftar Isi v

Industri Minyak Sawit Konsisten Tampil Penyelamat Neraca Perdagangan Indonesia Triwulan I-2016 ... 755 Industrialisasi Sawit Nasional dan Masalah Tingkat Suku Bunga Kredit ... 765 Kontribusi Perkebunan Kelapa Sawit Terhadap Pembangunan Nasional ... 779 Hilirisasi Minyak Sawit Domestik: Merubah dari “Raja”

CPO menjadi “Raja” Produk Hilir... 795

Kemitraan Sawit Rakyat dengan Korporasi Pilar Penting Revolusi Sawit Indonesia ... 809 Prospek Industri Sawit 2017 Akankah Makin Berkilau? 823 Perkebunan Sawit Bagian dari Kebijakan Restorasi Gambut ... 837

Ekspansi Ranch Sapi, Kebun Kedelai, dan Jagung Driver Utama Deforestasi Global ... 851 Deforestasi Dan Ekspansi Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia ... 861

Logging Tinggalkan Daerah Terdegradasi dan Kebun Sawit Merestorasi Ekonomi dan Ekologi ... 873 DAFTAR PUSTAKA ... 885

(8)
(9)

Daftar Tabel vii

Daftar Tabel

Tabel 1.1. Rasio Elektrifikasi Provinsi Sentra Sawit Utama Indonesia Tahun 2014 ... 576 Tabel 2.1. Asumsi Perkiraan Biomas Kebun Sawit ... 586 Tabel 2.2. Perkiraan Produksi Biomas Perkebunan

Kelapa Sawit Indonesia ... 587 Tabel 3.1. Peraturan Perundang-undangan Landasan

Kebijakan Mandatori di Indonesia ... 594 Tabel 3.2. Perbandingan Target dan Realisasi

Penyerapan Biodiesel PSO dan Non PSO ... 597 Tabel 5.1. Perkembangan Mandatori Biodiesel 2008-

2015 ... 618 Tabel 5.2. Perkembangan Harga Crude Oil, MOPS

Solar dan CPO (Rp/Liter) ... 620 Tabel 5.3. Realisasi Mandatori Biodiesel Periode

Januari-Juli 2016 ... 621

(10)

Tabel 5.4. Proyeksi Konsumsi Solar dan Kebutuhan Biodiesel di Indonesia 2017-2025 ... 624 Tabel 6.1. Dampak Pungutan Ekspor Terhadap Daya

Saing Minyak Sawit Indonesia Periode Januari 2015-Januari 2016 ... 633 Tabel 7.1. Dampak Pungutan Ekspor Terhadap Harga

CPO Domestik ... 648 Tabel 8.1. Perbandingan Pajak Ekspor CPO Baru dan

Lama ... 663 Tabel 9.1. Dampak Pungutan Ekspor Terhadap Harga

CPO Domestik ... 671 Tabel 9.2. Penurunan Harga Akibat Pungutan Sawit .. 677 Tabel 14.1. Ekspor Minyak Sawit Membuat Surplus

Neraca Ekspor Non Migas Indonesia ... 739 Tabel 15.1. Klasifikasi dan Pengembangan

Perkebunan Kelapa Sawit dalam Kimbun .. 749 Tabel 16.1. Ekspor Minyak sawit dalam neraca

perdagangan Indonesia periode Januari- Maret 2016 ... 761 Tabel 17.1. Tingkat Suku Bunga Kredit (Lending Rate)

Indonesia Dibandingkan Negara Tetangga 773 Tabel 18.1. Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga

Berlaku Menurut Lapangan Usaha ... 783

(11)

Daftar Tabel ix

Tabel 18.2. Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Sektor Pertanian 2000-2014 ... 785 Tabel 18.3. Capaian Kinerja Produktivitas Tahun 2014 787 Tabel 18.4. Sebaran Kelapa Sawit Menurut Provinsi di

Indonesia Tahun 2014 ... 788 Tabel 18.5. Volume dan Nilai Ekspor CPO Tahun 2003-

2013 ... 791 Tabel 18.6. Pertumbuhan PDB sektor pertanian dan

Keterlibatan tenaga kerja Tahun 2014 ... 791 Tabel 19.1. Perbandingan Peringkat Dunia antara

Indonesia dengan Negara Tetangga dalam Perizinan Usaha ... 802 Tabel 19.2. Perbandingan Indeks Ketersediaan dan

Kualitas Infrastruktur Indonesia Dibandingkan Negara lain pada Tahun 2014 ... 803 Tabel 19.3. Perbandingan Lending Rate di Indonesia

dengan Negara-negara Produsen CPO dan Negara Tujuan Ekspor (%) ... 803 Tabel 21.1. Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Dunia ... 826 Tabel 21.2. Tambahan Produksi dan Konsumsi 4

Minyak Nabati Utama Dunia (kondisi normal) ... 830

(12)

Tabel 21.3. Estimasi Produksi Minyak Sawit Indonesia 2016 dan 2017 ... 831 Tabel 21.4. Proyeksi Produksi 4 Minyak Nabati Dunia . 832 Tabel 22.1. Luas Kelapa Sawit Lahan Gambut dan

Tanah Mineral di Indonesia ... 844 Tabel 22.2. Volume Biomas dan Stok Karbon pada

Perkebunan Kelapa Sawit ... 847 Tabel 22.3. Perkebunan Kelapa Sawit di Lahan

Gambut Menurunkan Emisi CO2 Lahan Gambut (Degraded Peat Land) ... 847 Tabel 23.1. Luas Deforestasi Global Masa Pre-

Pertanian sampai Tahun 1980 ... 854 Tabel 23.2. Pemicu (driver) Deforestasi Global Periode

1990-2008 ... 859 Tabel 24.1. Perubahan luas hutan, deforestasi dan

kebun sawit Indonesia 1950-2013 ... 866 Tabel 24.2. Asal-usul lahan kebun sawit Indonesia ... 870

(13)

Daftar Gambar xi

Daftar Gambar

Gambar 1.1. Produksi Biomas Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia Menurut Sumber ... 573 Gambar 1.2. Potensi Energi Listrik dari pemanfaatan

Biomas ... 574 Gambar 2.1. Perkebunan Kelapa Sawit Sebagai

“Pabrik” Energi Terbarukan ... 583 Gambar 7.1. Disparitas Harga CPO Januari 2014

sampai Januari 2016 ... 646 Gambar 8.1. Perbandingan Pajak Ekspor CPO Baru

(CSF dan BK) dan Lama (BK) ... 664 Gambar 9.1. Disparitas Harga CPO Januari 2011

Sampai Juni 2016 ... 670 Gambar 10.1. Peningkatan Produktivitas Akibat

Perbaikan Kultur Teknis (P2 dan P4) dan Total Faktor Productivity (P3) ... 686 Gambar 10.2. Proyeksi Produktivitas Perkebunan

Sawit Rakyat, Negara dan Swasta tahun 2020 dan 2050 ... 688

(14)

Gambar 11.1. Sebaran Perkembangan Perkebunan Sawit Rakyat, 2000-2015 ... 697 Gambar 13.1. Korelasi Harga Minyak Mentah Dunia

dengan Harga CPO (sumber : Indeks Mundi, 2015) ... 718 Gambar 14.1. Komponen Investasi Pembangunan

Kawasan Perkebunan Sawit ... 728 Gambar 14.2. Big-Push Strategy Pembangunan Daerah

Berbasis Kebun Sawit ... 730 Gambar 14.3. Revolusi Luas Kebun Sawit Menurut

Pengusahaan Tahun 1980-2015 ... 731 Gambar 14.4. Revolusi Produksi CPO Menurut

Pengusahaan Tahun 1980-2015 ... 732 Gambar 14.5. Revolusi Pangsa Kebun Sawit Rakyat

Dalam Perkebunan Kelapa Sawit Nasional ... 733 Gambar 14.6. Revolusi Penyebaran Perkebunan

Kelapa Sawit Menurut Provinsi Sentra Sawit ... 734 Gambar 14.7. Revolusi Pangsa Indonesia dalam

Produsen Minyak Sawit Dunia ... 736 Gambar 14.8. Revolusi Pangsa Minyak Sawit dalam

Pasar 4 Minyak Nabati Utama Dunia ... 737 Gambar 14.9. Revolusi Pertumbuhan Nilai Ekspor

Minyak Sawit Indonesia ... 739 Gambar 15.1. Evolusi Perkembangan dari Kimbun

(15)

Daftar Gambar xiii

Gambar 16.1. Pergerakan harga CPO dunia USD/ton (C.I.F Rotterdam) ... 758 Gambar 16.2. Volume ekspor minyak sawit Indonesia

periode Januari-Maret (perbandingan 2015 vs 2016) ... 759 Gambar 16.3. Nilai ekspor minyak sawit Indonesia

periode Januari-Maret (perbandingan 2015 vs 2016) ... 760 Gambar 17.1. Perkembangan Produktivitas Sawit

Rakyat, Swasta dan Negara ... 769 Gambar 17.2. Perkembangan Kontribusi Produktivitas

dan Luas Areal dalam Produksi CPO Indonesia Negara ... 770 Gambar 17.3. Komposisi Ekspor Minyak Sawit

Indonesia ... 772 Gambar 19.1. Hilirisasi Industri Minyak Sawit dari

Bahan Mentah menjadi Produk Antara dan Produk Akhir ... 799 Gambar 20.1. Konsep Dasar Kemitraan

Mempersekutukan Pekebun dengan Korporasi ... 817 Gambar 20.2. Mekanisme Kemitraan Perkebunan

Kelapa Sawit ... 818 Gambar 20.3. Fase Kemitraan dalam Perkembangan

Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia 1980-2015... 820

(16)

Gambar 20.4. Perubahan Pangsa Kebun Sawit Rakyat dalam Perkebunan Kelapa Sawit Nasional ... 820 Gambar 21.1. Pergerakan Harga CPO CIF Rotterdam

2007-2016... 833 Gambar 21.2. Pergerakan Harga CPO cif Rotterdam

dan FOB Belawan ... 834 Gambar 22.1. Distribusi Lahan Gambut Global 1990-

2008 ... 839 Gambar 22.2 Penggunaan Gambut Dunia untuk

Pertanian dan Hutan ... 841 Gambar 22.3. Distribusi Gambut Pertanian Global... 842 Gambar 23.1. Deforestasi dan Pengurangan Hutan di

Amerika Serikat Periode 1620-1997 ... 855 Gambar 23.2. Deforestasi Global 1990-2008 ... 857 Gambar 23.3. Pemicu Deforestasi Global 1990-2008 .... 858 Gambar 25.1. Grafik Perkembangan Volume Produksi

Kayu Bulat Indonesia ... 877 Gambar 25.2. Asal-Usul Lahan Perkebunan Kelapa

Sawit Indonesia ... 880 Gambar 25.3. Penyebab Deforestasi Adalah HPH ... 881 Gambar 25.4. Perkebunan Kelapa Sawit Menghijaukan

Kembali Ekonomi dan Ekologi Daerah Eks Logging ... 883

(17)

ELEKTRIFIKASI PEDESAAN BERBASIS BIOMAS KEBUN SAWIT DAN PEMANFAATAN DANA

KETAHANAN ENERGI*

ABSTRAK

Rasio elektrifikasi Indonesia termasuk di kawasan pedesaan sentra sawit nasional masih relatif rendah dan terendah dibandingkan dengan negara-negara Masyarakat Ekonomi Asean. Padahal pemanfaatan biomas hasil sampingan PKS saja (tandan kosong, cangkang, serat dan limbah cair) yang tersebar pada 190 kabupaten berpotensi menghasilkan energi listrik sebesar 4336 MW yang dapat memenuhi kebutuhan listrik 4.5 juta rumah tangga di pedesaan.

Pemanfaatan Dana Ketahanan Energi yang sedang dipersiapkan pemerintah dapat dialokasikan untuk subsidi pembiayaan modal investasi Pembangkit Listrik Tenaga Biomas yang terintegrasi dengan pabrik kelapa sawit di pedesaan merupakan bagian penting dan strategis dalam membangun ketahanan energi nasional yang berkelanjutan:

terbarui, hemat emisi GHG, hemat devisa dan berbasis pedesaan.

Keyword : elektrifikasi, biomas, dana ketahanan energi, kebun sawit

*) Dimuat pada PASPI Monitor, Volume II No. 1/2016

(18)

Pendahuluan

Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) pada akhir tahun 2015 lalu mengeluarkan terobosan baru tentang penghimpunan Dana Ketahanan Energi (DTE) dari setiap konsumsi premium dan solar fosil. Menurut rencana DTE akan dipungut sebesar Rp 200 per liter premiun dan Rp 300 per liter solar yang dikonsumsi. Penghimpunan DTE tersebut akan digunakan untuk membiayai pengembangan dan penyediakan energi baru terbarukan (EBT).

Meskipun masih membenahi dasar peraturan perundang-undangan yang diperlukan, terobosan kebijakan pemerintah tersebut dimaksudkan untuk hal berikut. Selain dimaksudkan mengurangi konsumsi bahan bakar fosil, pungutan DTE tersebut dimaksudkan untuk membiayai pengembangan energi baru terbarukan (new renewable energy).

Kebijakan pungutan DTE tersebut sebagai salah satu instrumen ketahanan energi patut didukung karena beberapa alasan. Pertama, Indonesia harus mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dimana lebih dari 50 persen berasal dari impor yang menguras devisa yang cukup besar. Porsi impor dan pengurasan devisa tersebut terus meningkat kedepan seiring dengan pertumbuhan konsumsi bahan bakar di Indonesia. Kedua, Bahan bakar fosil merupakan energi yang tidak dapat diperbaharui (non renewable energy) yang suatu saat akan habis. Ketiga, bahan bakar fosil disebut juga energi kotor karena menghasilkan emisi gas rumah kaca terbesar. Sesuai

(19)

Elektrifikasi Pedesaan Berbasis Biomas dan Pemanfaatan Dana Ketahanan Energi 571

dengan komitmen Indonesia dalam kerjasama global bahwa Indonesia akan ikut mengurangi emisi GHG global, maka pengurangan konsumsi bahan bakar fosil merupakan salah satu langkah penting. Keempat, untuk membangun ketahanan energi nasional yang berkelanjutan haruslah berbasis pada sumberdaya energi yang berkelanjutan juga yakni sumberdaya energi yang dapat diperbaharui (renewable energy), hemat/rendah emisi GHG dan tersedia (potensial) didalam negeri. Dan kelima, pungutan DTE tersebut merupakan instrumen untuk mentransfomasi ketahanan energi nasional saat ini yang tak berkelanjutan (berbasis energi tak terbarui dan boros emisi GHG) kepada ketahan energi berkelanjutan.

Dalam terminologi baru instrumen DTE merupakan salah satu bentuk dari perdagangan karbon, carbon trade) antar sektor.

Salah satu sumber energi yang dapat diperbaharui dan hemat emisi yang tersedia didalam negeri adalah biomas pekebunan kelapa sawit. Pemanfaatan biomas sawit untuk energi (listrik) pedesaan sangat potensial untuk meningkatkan rasio elektrifikasi pedesaan yang masih jauh dibawah elektrifikasi perkotaan.

Tulisan ini mendiskusikan bagaimana potensi sumberdaya energi biomas pekebunan kelapa sawit tersebut. Selain itu, penggunaan DTE dalam pemanfaatan biomas sawit sebagai pembangkit listrik pedesaan untuk memperbaiki elektrifikasi pedesaan, juga didiskusikan.

(20)

Potensi Listrik Biomas Sawit

Menurut Statistik Kementerian Pertanian (2015), luas kebun sawit Indonesia pada tahun 2015 sekitar 11 juta hektar. Menurut studi Foo-Yuen Ng (2011) di perkebunan sawit Malaysia mengungkapkan bahwa produksi biomas dari perkebunan kelapa sawit tergantung pada sumber biomas. Biomas dari tandan kosong (empty fruit bunch) sekitar 1.4 ton bahan kering/hektar/tahun, biomas dari serat buah dan cangkang (oil palm fibre and shell) sekitar 2.4 ton bahan kering/ hektar/tahun, biomas dari pelepah/daun (oil palm frond) sekitar 9.3 ton bahan kering/hektar/tahun dan bahan biomas dari batang sawit (oil palm trunk) sekitar 2.9 ton bahan kering/hektar/tahun.

Jika dihitung berdasarkan studi tersebut di atas maka dengan luas areal 11 juta hektar, perkebunan kelapa sawit Indonesia menghasilkan sekitar 176 juta ton bahan kering biomas per tahun (Gambar 1.1) yakni berupa biomas tandan kosong (15.8 juta ton), biomas serat buah dan cangkang (26.2 juta ton), biomas dari pelepah/daun (102.2 juta ton) dan biomas batang saat replanting (31.8 juta ton).

(21)

Elektrifikasi Pedesaan Berbasis Biomas dan Pemanfaatan Dana Ketahanan Energi 573

Gambar 1.1. Produksi Biomas Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia Menurut Sumber (PASPI, 2016) Biomas tersebut merupakan sumber energi baru terbaharui (new renewable energy) atau disebut juga biofuel generasi kedua (second generation biofuel). Melalui teknologi thermochemical, biological, chemical, physical conversion (Naik et al, 2010) biomas dapat menghasilkan berbagai bentuk energi seperti bio ethanol, bio methane, bio aftur, briket dan lain-lain. Untuk kebutuhan penyediaan listrik di pedesaan saat ini khususnya dalam jangka pendek dapat dikembangkan pembangkit listrik tenaga biomas yang terintegrasi dengan Pabrik Kelapa Sawit/PKS (CPO Mill) yang ada dengan memanfaatkan biomas tandang kosong, serat, cangkang dan limbah cair.

Dari berbagai perhitungan dan pengalaman diperoleh data bahwa dengan kapasitas PKS 60 ton/jam mampu menghasilkan energi listrik dari pemanfaatan cangkang sekitar 2 MW, serat sekitar 1.5 MW, tandan kosong sekitar 1.5 MW dan limbah cair sekitar 1.5 MW (Gambar 1.2) atau secara total 6.5 MW.

Perkebunan kelapa sawit (11 juta Ha)

Produksi biomas total (176 juta ton bahan

kering/tahun)

Biomas dari tandan kering (15.80 juta ton bahan

kering/tahun)

Biomas dari serat buah dan cangkang (26.20 juta ton

bahan kering/tahun)

Biomas dari pelepah/daun (102.2 juta ton bahan

kering/tahun)

Biomas batang replanting (31.8 juta ton bahan

kering/tahun)

(22)

Gambar 1.2. Potensi Energi Listrik dari pemanfaatan Biomas

Dengan luas areal TM kebun sawit nasional tahun 2015 seluas 8 juta hektar dan kapasitas PKS sekitar 40 ribu ton TBS per jam akan menghasilkan biomas dari hasil sampingan PKS berupa tandan kosong, serat, cangkang dan limbah cair. Pemanfaatan biomas hasil PKS tersebut secara potensial dapat menghasilkan energi listrik sebesar 4336 MW yakni dari pemanfaatan tandang kosong 1000 MW), cangkang (1336 MW), serat (1000 MW), limbah cair (1000 MW).

Berdasarkan perhitungan diperoleh bahwa setiap 1 MW setara dengan 4 ribu kilo liter solar dan dapat memenuhi kebutuhan listrik 1050 rumah tangga di pedesaan. Dengan demikian secara potensial pemanfaatan

(23)

Elektrifikasi Pedesaan Berbasis Biomas dan Pemanfaatan Dana Ketahanan Energi 575

energi listrik yang setara dengan 17.3 juta ton solar. Atau cukup melayani kebutuhan sekitar 4.5 juta rumah tangga di pedesaan.

Dengan perkataan lain pemanfaatan biomas hasil sampingan PKS saja mampu menghemat solar fosil sebesar 17.3 juta ton per tahun. Dan sekitar 4.5 juta rumah tangga pedesaan pada 190 kabupaten sentra sawit nasional dapat memperoleh listrik.

Elektrifikasi Pedesaan Dan Pemanfaatan DTE

Menurut data statistik PLN 2014, rasio elektrifikasi (rasio jumlah rumah tangga penggunan listrik dengan total rumah tangga) secara nasional masih sekitar 81.7 persen dimana di pulau Jawa telah mencapai 86 persen sedangkan diluar pulau Jawa 74 persen. Bila dibandingkan dengan rasio elektrifikasi di negara-negara Asean, rasio elektrifikasi di Indonesia tersebut masih tergolong rendah.

Rasio elektrifikasi di Philipina telah mencapai 89 persen dan di Vietnam mencapai 97 persen bahkan di Brunei Darusallam, Malaysia, Singapura dan Thailand rasio elektrifikasi sudah mencapai 100 persen.

Untuk provinsi sentra utama perkebunan kelapa sawit (Tabel 1.1) rasio elektrifikasi sebagian besar masih di bawah rata-rata nasional kecuali Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Selatan. Jika dipisahkan rasio elektrifikasi kota dan desa dapat dipastikan bahwa rasio elektrifikasi pedesaan di provinsi sentra sawit tersebut masih di bawah 70 persen, bahkan sebagian masih di bawah 50 persen seperti di Riau dan Kalimantan Tengah. Kondisi rasio

(24)

elektrifikasi di sentra sawit tersebut sangat ironis dimana biomas tersedia banyak namun terjadi kekurangan energi listrik.

Tabel 1.1. Rasio Elektrifikasi Provinsi Sentra Sawit Utama Indonesia Tahun 2014

Provinsi Rasio Elektrifikasi (%)

Aceh 90.87

Sumatera Utara 89.91

Riau 64.66

Sumatera Selatan 83.27

Jambi 69.59

Kalimantan Barat 74.20

Kalimantan Tengah 61.38

Kalimantan Selatan 82.68

Kalimantan Timur 76.07

Rata-Rata Nasional 81.70

Jawa 86.69

Luar jawa 74.41

Sumber : Statistik PLN (2014)

Untuk meningkatkan rasio elektrifikasi pedesaan khususnya di sentra-sentra sawit maka pengembangan listrik berbasis biomas sawit (Pembangkit Listrik Tenaga Biomas, PLTB) perlu dikembangkan sesegera mungkin melalui pemanfaatan dana DTE.

Untuk membangun PLTB yang terintegrasi dengan PKS yang ada memerlukan investasi besar. Untuk itu pemerintah perlu memberikan subsidi modal investasi melalui pemanfaatan DTE pada DTE. Penggunaan dana DTE untuk membangun PLTB sesuai dengan kebijakan pemerintah dalam membangun ketahanan energi nasional yang berbasis pada sumberdaya energi terbarukan yang

(25)

Elektrifikasi Pedesaan Berbasis Biomas dan Pemanfaatan Dana Ketahanan Energi 577

tersedia di pedesaan. Penyediaan listrik pedesaan yang bersumber dari PLTB selain menyediakan listrik pedesaan secara berkesinambungan juga menghemat penggunaan solar (berarti menghemat impor, devisa, emisi GHG) di kawasan pedesaan.

Selain pemanfaatan DTE untuk subsidi investasi PLTD juga diperlukan kebijakan pendukung dan regulasi pemanfaatan tentang listrik PLTB dari PKS ke masyarakat, memperluas jangkauan jaringan distribusi listrik dari PKS ke masyarakat.

Kesimpulan

Rasio elektrifikasi Indonesia termasuk di provinsi sentra sawit nasional masih relatif rendah dibandingkan dengan negara-negara Masyarakat Ekonomi Asean. Tahun 2014 rasio elektrifikasi Indonesia masih sekitar 81 persen bahkan di kawasan pedesaan rasio elektrifikasi tersebut masih di bawah 70 persen. Sementara di negara MEA lainnya sudah mecapai di atas 90 persen bahkan 100 persen.

Potensi produksi listrik berbasis biomas sawit (PLTB) di kawasan pedesaan cukup besar. Pemanfaatan biomas hasil sampingan PKS saja (tandan kosong, cangkang, serat dan limbah cair) yang tersebar pada 190 kabupaten berpotensi menghasilkan energi listrik sebesar 4336 MW.

Potensi energi listrik tersebut dapat menghemat penggunaan solar sebesar 17.3 juta ton solar dan melayani kebutuhan 4.5 juta rumah tangga di pedesaan.

(26)

Untuk merealisasikan penyediaan listrik di pedesaan berbasis PLTB, pemanfaatan Dana Ketahanan Energi (DTE) yang sedang dipersiapkan pemerintah dapat dialokasikan untuk subsidi pembiayaan modal investasi PLTB yang terintegrasi dengan pabrik kelapa sawit di pedesaan. Pemanfaatan DTE pada PLTB merupakan bagian penting dalam membangun ketahanan energi nasional yang berkelanjutan (terbarui, hemat emisi GHG, hemat devisa, berbasis pedesaan).

(27)

PERKEBUNAN KELAPA SAWIT : INDUSTRI STRATEGIS ENERGI TERBARUKAN YANG

BERKELANJUTAN*

ABSTRAK

Perkebunan kelapa sawit Indonesia menghasilkan dua jenis energi terbarui (renewable energy) yakni biofuel generasi pertama (first generation biofuel) berupa biodiesel dan biofuel generasi kedua (second generation biofuel) berupa bioethanol (berbasis biomas) dan biogas (berbasis POME).

Energi tersebut dihasilkan secara bersamaan (joint product) dan berkelanjutan. Potensi produksi biomas perkebunan kelapa sawit Indonesia mencapai sekitar 182 juta ton bahan kering. Jika diolah menjadi etanol dapat menghasilkan bioethanol sebesar 23.7 juta kilo liter setiap tahun. Selain itu pemanfaatan 147 juta ton POME (palm oil mill effluent) dapat menghasilkan 4127 juta m3 biogas. Perkebunan kelapa sawit merupakan industri penting dalam rencana transformasi energi nasional dari energi tak terbarui (non renewable energy) ke energi terbarui (renewable energy).

Keyword : biomas, kebun sawit, biofuel

*) Dimuat pada PASPI Monitor, Volume II No. 2/2016

(28)

Pendahuluan

Sampai saat ini ketahanan energi nasional masih keropos dan tidak berkelanjutan (unsustainable).

Dikatakan tidak berkelanjutan karena alasan berikut.

Pertama, sekitar 94 persen penyediaan dan konsumsi energi nasional merupakan energi fosil yang tak dapat diperbarui (non renewable energy) seperti minyak bumi, gas alam, dan batu bara, yang suatu saat akan habis terkuras (depletion). Kedua, sebagian besar minyak bumi (premium, solar, avtur) bersumber dari impor, sehingga selain rentan terhadap harga minyak bumi dunia juga menguras devisa negara dan ketergantungan tinggi pada negara lain. Dan ketiga, minyak bumi, gas alam, batubara merupakan sumber energi "kotor" yang menghasilkan emisi gas-gas rumah kaca (green house gas, GRK) ke atmosfer. Emisi energi fosil tersebut merupakan penyumbang terbesar emisi GRK dunia maupun di Indonesia.

Ketahanan energi yang tidak berkelanjutan yang demikian tidak dapat dijadikan sebagai basis pembangunan nasional yang berkelanjutan. Oleh karena itu, sangatlah tepat bila kebijakan energi jangka panjang nasional sebagaimana dimuat dalam Blueprint Pengelolaan Energi Primer 2025 (Kementerian ESDM, 2006) mengurangi ketergantungan pada energi tak terbarui dan membangun basis ketahanan energi nasional yang berbasis pada Energi Baru Terbarukan, EBT (New Renewable Energy).

(29)

Perkebunan Kelapa Sawit : Industri Strategis Energi Terbarukan yang Berkelanjutan 581

Salah satu EBT yang tersedia bagi Indonesia adalah biodiesel dan bioethanol berbasis sawit. Sebagai negara yang memiliki perkebunan sawit terluas dunia, perkebunan kelapa sawit bukan hanya sebagai penghasil minyak sawit untuk pangan (edible oil) dan non edible oil, tetapi juga sangat potensial menjadi "tambang" energi terbarukan. Tulisan ini mendiskusikan bagaimana perkebunan kelapa sawit sebagai penghasil energi terbarukan sehingga dapat ditempatkan sebagai industri strategis energi terbarukan.

Kebun Sawit "Pabrik "Energi Terbarukan

Energi merupakan salah satu kebutuhan vital bagi kehidupan. Sumber energi bagi kehidupan di planet bumi hanyalah dari energi matahari. Tumbuhan/tanaman termasuk tanaman kelapa sawit merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa kepada manusia yang mampu menangkap energi matahari dan disimpan dalam bentuk energi kimia yang kemudian dapat dirubah manusia keberbagai penggunaan.

Perkebunan kelapa sawit dapat dipandang sebagai

"pabrik" biologis untuk menangkap dan menyimpan energi matahari (Gambar 2.1). Melalui proses fotosintesis/asimilasi tanaman kelapa sawit, energi matahari ditangkap dan disimpan dalam ikatan-ikatan kimia karbon dan hidrogen kompleks. Karbon diserap tanaman kelapa sawit dari atmosfer bumi sedangkan hidrogen diperoleh dari air yang diserap tanaman dari tanah. Oleh karena itulah perkebunan kelapa sawit sama

(30)

seperti tanaman lainnya adalah penyerap karbondioksida (carbon sequestration) dari atmosfer bumi

Ikatan-ikatan kimia yang menyimpan energi dari matahari tersebut, sebagian digunakan untuk kebutuhan dasar tanaman (melalui proses respirasi tanaman) dan sebagian lagi disimpan didalam tubuh tanaman. Secara visual kita lihat dalam wujud pohon kelapa sawit dan produksinya. Pertumbuhan tanaman dan produksi merupakan cerminan pertumbuhan penangkapan energi matahari yang tersimpan dalam ikatan-ikatan kimia tanaman kelapa sawit.

Pertumbuhan tubuh tanaman kelapa sawit itulah yang kita sebut sebagai biomas. Sedangkan produksinya kita kenal sebagai Tandan Buah Segar (TBS) yang melalui proses pengolahan diperoleh minyak sawit mentah (Crude Palm Oil, CPO), minyak Inti sawit (Palm Kernel Oil, PKO) dan biomas (tandan kosong, cangkang, serat buah, bungkil inti sawit).

(31)

Perkebunan Kelapa Sawit : Industri Strategis Energi Terbarukan yang Berkelanjutan 583

Gambar 2.1. Perkebunan Kelapa Sawit Sebagai “Pabrik”

Energi Terbarukan

Dengan kata lain, perkebunan kelapa sawit menghasilkan dua bentuk energi yakni dalam bentuk CPO/PKO dan bentuk biomas (pelepah daun, batang, tandan kosong, cangkang, serat buah, bungkil inti sawit).

Kedua bentuk energi tersebut merupakan produk bersama (joint product) dimana peningkatan produksi CPO/PKO juga disertai dengan peningkatan produksi biomass (bukan saling bersaing).

Melalui proses lanjutan dari CPO/PKO dapat dihasilkan biodiesel (Fatty Acid Methyl Ester, FAME), yang sering disebut juga biofuel generasi pertama (first generation biofuel). Biodiesel merupakan pengganti solar

(32)

fosil (diesel). Sedangkan biomas melalui proses lanjutan (kimiawi, biologis) dapat diperoleh biotehanol sebagai pengganti premium fosil (gasoline). Biomas tersebut sering disebut sebagai biofuel generasi kedua (second generation biofuel). Selain biodiesel dan bioethanol, dari limbah pabrik kelapa sawit atau POME (Palm oil Mill Effluent) melalui teknologi biogas (methane capture) dapat dipanen energi berupa gas metan (biogas) sebagai pengganti gas bumi.

Berbeda dengan energi fosil (solar, premium, gas alam) yang tidak dapat diperbaharui (non renewable) dan suatu saat habis terkuras (depletion), biofuel sawit (biodiesel, bioethanol, biogas) merupakan energi terbarui (renewable energy). Sepanjang energi masih terpancar dari matahari, proses penangkapan dan penyimpanan energi pada perkebunan kelapa sawit masih berlangsung terus.

Sehingga produksi biodiesel, bioethanol, biogas akan tetap dihasilkan.

Selain itu, jika energi fosil menghasilkan emisi gas-gas rumah kaca (GHG) khususnya karbondioksida yang mengotori atmosfer bumi yang memicu pemanasan global (global warming), biofuel justru menyerap karbonsioksida dari atmosfer bumi (melalui kebun sawit) sehingga justru membersihkan atmosfer bumi dan bersifat mencegah/mengurangi terjadinya pemanasan global.

Dengan kata lain jika energi fosil merupakan energi tak terbarui dan tidak bekelanjutan, biofuel sawit justru terbarui dan bekelanjutan.

(33)

Perkebunan Kelapa Sawit : Industri Strategis Energi Terbarukan yang Berkelanjutan 585

Produksi Energi Biomas Sawit

Produksi energi dari kebun sawit berupa minyak sawit (biodiesel) sudah umum diketahui. Secara teknis seluruh minyak sawit dapat diolah lebih lanjut menjadi biodiesel, namun realisasinya tergantung pada mekanisme pasar dan atau kebijakan pemerintah. Untuk selanjutnya pembahasan difokuskan pada energi dari biomas sawit.

Untuk menghitung produksi energi dari biomas sawit digunakan hasil-hasil studi yang telah ada khususnya yang dilakukan Malaysia (MPOB, 2009) yang disesuaikan dengan data-data Perkebunan kelapa sawit Indonesia (Kementan, 2015). Berdasarkan hasil-hasil studi, asumsi- asumsi yang digunakan untuk menghitung produksi biomas sawit disajikan pada Tabel 2.1.

(34)

Tabel 2.1. Asumsi Perkiraan Biomas Kebun Sawit

Uraian Nilai

Luas Areal Kebun Sawit 11 juta hektar

Produksi TBS 20 ton/hektar

Persentase Areal TM 75 persen

Persentase Areal Replanting 4 persen

Volume Tandan Kosong 22 persen dari produksi TBS

Kadar bahan Kering Tandan Kosong 35 pesen Produksi Bahan Kering Pelepah Daun Masa

Pruning 12 ton/hektar

Produksi Bahan Kering Pelepah Daun

Replanting 14 ton/hektar

Produksi Bahan Kering Batang Sawit

Replanting 74.48 ton/hektar

Produksi Cangkang 5 persen dari produksi

TBS Kadar Bahan Kering Cangkang 85 persen

Produksi Serat Buah Mesocarp 13.5 persen dari produksi TBS

Kadar Bahan Kering Serat Buah 60 persen

Produksi POME (palm oil mill effluent) 0.67 ton per ton TBS

Produksi Biogas 28 m3 per m3 POME

Sumber : MPOB (2009), Kementan (2015)

Berdasarkan asumsi diatas, dengan asumsi luas kebun sawit Indonesia 11 juta hektar, maka produksi biomas sawit menurut sumber disajikan pada Tabel 2.2. Dari 11 juta hektar luas kebun sawit Indonesia menghasilkan sekitar 182 juta ton biomas per tahun (dalam bentuk bahan kering). Biomas tersebut bersumber dari tandan kosong (empty fruit bunch) sebesar 16.94 juta ton, pelepah daun (oil palm frond) sebesar 105.16 juta ton, batang sawit replanting (oil palm trunk) sebesar 32.77 juta ton,

(35)

Perkebunan Kelapa Sawit : Industri Strategis Energi Terbarukan yang Berkelanjutan 587

cangkang (oil palm shell) sebesar 9.35 juta ton dan serat buah (mesocarp fibre) 17.8 juta ton.

Berbeda dengan biomas pertanian yang umumnya tersebar luas, produksi biomas kebun sawit tersebut umumnya relatif terkonsentrasi sehingga relatif mudah menggumpulkan dan memanfaatkanya. Bahkan sebagian yakni 6.6 juta ton (biomas tandan kosong, caangkang, serat buah) berada di PKS (CPO mill) sehingga tidak memerlukan biaya pengumpulan dan pengangkutan.

Tabel 2.2. Perkiraan Produksi Biomas Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia

Sumber Biomas Satuan Volume Produksi

Tandan Kosong juta ton BK 16.94

Pelepah Daun juta ton BK 105.16

Batang Sawit Replanting juta ton BK 32.77

Cangkang juta ton BK 9.35

Serat Buah Mesocarp juta ton BK 17.82

Total Biomas juta ton BK 182.04

POME juta ton 147.4

Biogas juta m3 4127.2

* BK = bahan kering

Dari pengalaman KL Energy Coorporate (USA) diperoleh informasi bahwa untuk setiap ton biomas (bahan kering) dapat menghasilkan sekitar 150-170 liter etanol. Jika biomas kebun sawit tersebut diolah lebih lanjut menjadi bio ethanol, maka perkebunan kelapa sawit Indonesia potensial menghasilkan bioethanol sebesar 27.3 juta kilo liter bioethanol setiap tahun. Dengan konsumsi premium tahun 2016 diperkirakan sebesar 38 juta kilo liter, berarti bioethanol sawit dapat mensubsitusi sekitar

(36)

70 persen premium (E-70). Jika hanya biomas yang ada di PKS (tandan kosong, cangkang, serat buah) dimanfaatkan maka sekitar 6.6 juta ton bioethanol dapat dihasilkan atau sekitar 17 persen dari konsumsi premium (E-17).

Selain dari biomas tersebut, dari pemanfaatan limbah PKS (POME) juga menghasilkan energi berupa biogas.

Dengan asumsi volume POME sebesar 0.67 ton POME per ton TBS, maka volume total POME Indonesia sekitar 147.4 juta ton. Jika produksi biogas sebesar 28 m3 per m3 POME maka produksi biogas dapat mencapai 4127.2 juta m3.

Dengan demikian perkebunan kelapa sawit dapat mengurangi ketergantungan Indonesia pada energi tak terbarui melalui biodiesel, bioethanol dan biogas. Evolusi ketahanan energi nasional dari energi tak terbarui ke energi terbarui berbasis sawit memberi manfaat ganda bagi Indonesia yakni meningkatkan kedaulatan energi, menghemat devisa, mengurangi emisi GRK, dan manfaat ekonomi yang lebih luas akibat multiplier effect perkebunan kelapa sawit. Oleh karena itu, pekebunan kelapa sawit merupakan salah satu industri startegis energi terbarui dan berkelanjutan.

(37)

Perkebunan Kelapa Sawit : Industri Strategis Energi Terbarukan yang Berkelanjutan 589

Kesimpulan

Perkebunan kelapa sawit Indonesia menghasilkan dua jenis energi terbarui (renewable energy) yakni biofuel generasi pertama (first generation biofuel) berupa biodiesel dan biofuel generasi kedua (second generation biofuel) berupa bioethanol (berbasis biomas) dan biogas (berbasis POME). Energi tersebut dihasilkan secara bersamaan (joint product) dan berkelanjutan.

Potensi produksi biomas perkebunan kelapa sawit Indonesia adalah sekitar 182 juta ton bahan kering. Jika diolah menjadi etanol akan menghasilkan bioethanol sebesar 23.7 juta kilo liter setiap tahun. Selain itu juga menghasilkan sekitar 147 juta ton POME yang dapat menghasilkan biogas sebesar 4127 juta m3.

Perkebunan kelapa sawit merupakan industri penting dalam rencana transformasi energi nasional dari energi tak terbarui (non renewable energy) ke energi terbarui (renewable energy). Biodiesel menjadi pengganti sebagian solar, bioethanol pengganti premium dan biogas sebagai pengganti gas alam.

Dengan demikian perkebunan kelapa sawit Indonesia merupakan salah satu industri strategis energi terbarui dan berkelanjutan nasional. Selain perlu di lindungi juga perlu dipromosikan sebagai bagian penting dari strategi membangun kedaulatan energi nasional termasuk konversi energi tak terbarui ke energi terbarui.

(38)
(39)

MANDATORI BIODIESEL YANG BELUM MANDATORI*

ABSTRAK

Realisasi mandatori biodiesel dalam periode 2009-2015 hanya sekitar 51 persen dari target mandatori biodiesel.

Target mandatori biodiesel mengalami peningkatan dari tahun ke tahun namun persentasi realisasi dari target justru cenderung makin turun. Dengan realisasi yang demikan menunjukkan bahwa komitmen, konsistensi dan kemampuan pemerintah termasuk BUMN Pertamina dalam mengimplementasi kebijakan mandatori biodiesel masih belum mandatori dan setengah hati. Pemerintah diharapkan dapat konsisten dengan kebijakan mandatori biodiesel yang dikeluarkan. Mandatori biodiesel adalah bersifat wajib bukan sukarela. Oleh karena itu, Pemerintah dan Pertamina seharusnya dapat menunjukan contoh kepatuhan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan merealisasikan mandatori biodiesel secara penuh.

Keywords : kebijakan mandatori biodiesel, target dan realisasi, energi terbaharui

*) Dimuat pada PASPI Monitor, Volume II No. 10/2016

(40)

Pendahuluan

Semangat mentransformasi sektor energi nasional dari energi berbasis energi tidak terbarukan (non renewable energy) kepada energi terbarukan (renewable energy) telah lama ada. Struktur penyediaan dan konsumsi energi nasional yang saat ini sekitar 90 persen berbasis energi fosil (tak terbaharui), sebagian makin tergantung impor (minyak bumi), dan mengotori lingkungan, memang tidak berkelanjutan (unsustainable energy). Oleh karena itu transformasi energi ke energi yang berkelanjutan (terbaharui, berbasis domestik, lebih ramah lingkungan) menjadi pilihan rasional energi Indonesia kedepan.

Salah satu kebijakan transformasi energi tersebut adalah pencampuran (blending) bertahap solar fosil dengan biodiesel berbasis minyak sawit (FAME, fatty acid methyil ester). Kebijakan pencampuran bertahap tersebut diputuskan pemerintah bersifat wajib (mandatori) sejak tahun 2009, sehingga disebut dan dikenal sebagai kebijakan mandatori biodiesel.

Sejak tahun 2009 pemerintah telah menetapkan target wajib mandatori biodiesel satu persen (B-1), lalu dinaikkan menjadi B-2.5 (tahun 2010-2012), kemudian naik lagi menjadi B-10 (2013-2014) dan B-15 (2015).

Untuk tahun 2016 pemerintah mewajibkan B-20. Namun realisasinya, masih jauh panggang dari api. Sehingga patut mempertanyakan konsistensi dan keseriusan pemerintah dalam implementasi kebijakan mandatori biodiesel tersebut.

(41)

Mandatori Biodiesel yang Belum Mandatori 593

Tulisan ini mendiskusikan bagaimana besarnya kesenjangan antara target wajib dengan realisasi kebijakan mandatori biodiesel, yang mau tak mau harus menggugat integritas pemerintah dalam mendesain dan mengimplementasi kebijakan. Selain itu, juga disikusikan bahwa sesungguhnya pemerintah belum melaksanakan mandatori biodiesel meskipun peraturan perundang- undangan mengamanatkan mandatori.

Kebijakan Mandatori Biodiesel

Pencampuran atau subsitusi solar fosil dengan biodiesel di setiap negara termasuk di Indonesia dimaksudkan untuk tiga tujuan yakni pertama, mengurangi ketergantungan pada energi fosil (energy security) yang tidak dapat diperbaharui sehingga suatu saat akan habis. Bagi negara-negara importir atau net importir minyak bumi seperti Indonesia subsitusi tersebut juga penting untuk menyehatkan neraca transaksi berjalan (current account). Kedua, mengurangi emisi gas rumah kaca (GHG) khususnya emisi karbon (global climate change mitigation). Sebagaimana diketahui bahwa pemanasan global (global warming) yang berdampak pada perubahan iklim global disebabkan terutama oleh emisi GHG dari komsumsi energi fosil. Sehingga dengan mengganti energi fosil dengan biodiesel akan mengurangi emisi GHG. Ketiga, mendorong pembangunan pedesaan sebagai penghasil bahan baku biodiesel.

Instrumen kebijakan yang digunakan untuk implementasi subsitusi solar fosil dengan biodiesel

(42)

diberbagai negara umumnya salah satu atau kombinasi dari Instrumen kebijakan berikut yakni : (1) alokasi anggaran pemerintah untuk penyediaan biodiesel (budgeting), (2) target atau wajib konsumsi (consumption targeting) yakni sukarela (non binding) atau mandatori (binding), (3) kebijakan perdagangan (trade policy) berupa tarif,duty impor untuk melindungi industri biodiesel domestik pada tahap awal (infant industry strategy), dan (4) insentif produksi dan distribusi (production and distribution incentives) seperti keringan pajak, subsidi bunga kredit maupun subsidi pemerintah.

Kebijakan pencampuran solar dengan biodiesel di Indonesia menganut kebijakan target konsumsi secara wajib atau mandatori (binding). Kebijakan mandatori biodiesel tersebut telah diatur melalui peraturan perundang-undangan mulai dari level undang-undang hingga peraturan menteri (Tabel 3.1).

Tabel 3.1. Peraturan Perundang-undangan Landasan Kebijakan Mandatori di Indonesia

Nama Peraturan

Perundang-Undangan Tentang

Target Madatori Biodiesel (B) UUD No. 30 tahun 2007 Energi

INPRES RI No. 1 tahun 2006

Tanggal 25 Januari 2006

Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Sebagai Bahan Bakar Lain. Inisiasi percepatan penyediaan

PERMEN ESDM No.051 tahun 2006

Tanggal 10 Oktober 2006

Persyaratan dan Pedoman Izin Usaha Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain.

PERMEN ESDM No. 32 tahun 2008

Tanggal 26 September 2008

Penyediaan, Pemanfaatan dan Tata

Niaga BBN (Mandatori B-1 & B-2,5) B-1

(43)

Mandatori Biodiesel yang Belum Mandatori 595 Nama Peraturan

Perundang-Undangan Tentang

Target Madatori Biodiesel (B) tahun 2010

Tanggal 1 januari 2010

yang Dicampurkan kedalam Jenis BBM Tertentu (Harga Biodiesel Berdasarkan HPE Kelapa Sawit) PERMEN ESDM No.25

tahun 2013 Tanggal 1 September 2013

Perubahan PERMEN ESDM/No 32/2008 (Penerapan Mandatori B-

10 untuk Transportasi PSO) B-2,5 KEPMEN ESDM No. 2185

tahun 2014 Tanggal 1 April 2014

Perubahan KEPMEN ESDM No.

0219/2010 (Harga Biodiesel Berdasarkan MOPS)

B-10 PERMEN ESDM No. 20

tahun 2014 Tanggal 3 Juli 2014

Perubahan Kedua PERMEN ESDM No. 32/2008 (Penerapan B-10 untuk

Semua Jenis Sektor) B-10

PERMEN ESDM No. 12 tahun 2015

Tanggal 1 April 2015

Perubahan Ketiga PERMEN ESDM No.32/2008 Penerapan Mandatori B-15 (2015), B-20 (2016), B-30 (2020, 2025)

B-15 (2015), B-20 (2016), B-30 (2020, 2025) PP No. 61 tahun 2015

Tanggal 25 Mei 2015

Peghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit (Pembentukan BPDP Kelapa Sawit) KEPMEN ESDM No. 3239

tahun 2015

Tanggal 30 Juni 2015

Harga Indeks Pasar BBN yang Dicampur kedalam Jenis BBM Tertentu dan Jenis BBM Khusus Penugasan (Harga Biodiesel Berdasarkan Harga CPO)

PERMEN ESDM No. 29 tahun 2015

Tanggal 11 September 2015

Penyediaan dan Pemanfaatan BBN Jenis Biodiesel dalam Kerangka Pembiayaan oleh BPDP Kelapa Sawit (Penetapan Sanksi Administratif Rp. 6000)

Dengan landasan hukum yang relatif kuat tersebut, sesungguhnya pemerintah dapat lebih memastikan implementasi dari mandatori biodiesel. Eksekutor kebijakan mandatori biodiesel adalah BUMN Pertamina yang diberikan Undang-Undang hak otoritas mengatur penggunaan dan distribusi bahan bakar minyak dan telah

(44)

memiliki jejaring depo, fasilitas blending, sistem transportasi dan jejaring stasiun retailer BBM (SPBU) di titik-titik konsumen. Oleh karena itu, dengan kondisi demikian dimana segalanya dibawah kendali pemerintah sulit dimengerti jika implementasi mandatori biodiesel tidak berjalan sebagaimana diharapkan.

Target Vs Realisasi : Masih Setengah Hati

Sejak diberlakukan kebijakan mandatori biodiesel tahun 2009, pemerintah terus menaikkan target mandatori (blending rate). Pada tahun 2009 diberlakukan B-1, kemudian dinaikkan menjadi B-2.5 selama periode tahun 2010-2012 (Tabel 3.2). Kemudian dinaikkan menjadi B-10 dalam periode tahun 2013-2014. Mulai bulan Agustus - Desember 2015 dinaikkan menjadi B-15 dan ditargetkan pada tahun 2016 dinaikkan menjadi B-20.

Namun demikian, jika dilihat realisasinya tidak seoptimis penetapan targetnya. Realisasi mandatori biodiesel berkisar antara 35 sampai 94 persen dengan rata-rata sekitar 51 persen dari target mandatori biodiesel.

Target mandatori biodiesel mengalami peningkatan dari tahun ke tahun namun persentasi realisasi dari target justru cenderung makin turun.

Dengan perbedaan antara target dan realisasi yang demikan menunjukkan bahwa komitmen, konsistensi dan kemampuan pemerintah termasuk BUMN Pertamina dalam mengimplementasi kebijakan mandatori biodiesel secara relatif cenderung mengalami penurunan. Tidak

(45)

Mandatori Biodiesel yang Belum Mandatori 597

tercermin dari rataan realisasi yang hanya sekitar 51 persen dari target.

Tentu saja alasan tidak tercapainya target mandatori yang ditetapkan tidak pernah habis. Dari informasi yang diperoleh setidaknya ada 6 alasan mengapa Pertamina tidak mencapai target yang ditetapkan yakni (1) harga crude oil yang turun dan lebih rendah dari harga CPO/biodiesel, (2) rantai distribusi yang belum menjangkau seluruh daerah, (3) belum adanya tanki biodiesel dilokasi kilang, (4) tidak adanya insentif ekonomi, (5) rendahnya kontrol, dan (6) tidak menjadi indikator kinerja (KPI) Pertamina.

Tabel 3.2. Perbandingan Target dan Realisasi Penyerapan Biodiesel PSO dan Non PSO

Tahun

Target Mandatori

Biodiesel Realisasi Mandatori Biodiesel

Persentase Realisasi Blending

rate (B)

Target penyerapan

biodiesel (ribu kl)

Realisasi blending rate (R)

Realisasi penyerapan

biodiesel (ribu kl)

2009 B-1 236 R-0,5 119 50,42

2010 B-2,5 236 R-2,4 223 94,49

2011 B-2,5 1.180 R-0,8 359 30,42

2012 B-2,5 1.388 R-1,2 669 48,20

2013 B-10 2.404 R-2,2 1.048 43,59

2014 B-10 3.134 R-5,9 1.845 58,87

2015 B-15 1.530 R-5,3 539 35,23

2016 B-20 3.200 ? ?

Rata-

rata 51,60

Sumber : Pertamina & Dirjen EBTKE (Kemenko Perekonomian, 2016).

Keenam faktor tersebut sesungguhnya sebagian besar dibawah kendali dan bukan diluar kontrol Pertamina dan

(46)

Pemerintah. Oleh karena itu, jika banyak pihak yang berpandangan bahwa rendahnya realisasi mandatori biodiesel tersebut merupakan bentuk wanprestasi dari Pertamina dan Pemerintah, sulit dibantah.

Mandatori Yang Belum Mandatori

Rendahnya realisasi mandatori biodiesel tersebut mencerminkan bahwa pemerintah belum konsisten dengan kebijakan mandatori biodiesel.

Mandatori biodiesel tentu sangat berbeda dengan subsitusi sukarela pencampuran biodiesel (non binding or business as usual). Subsitusi sukarela pencampuran biodesel dengan solar tergantung mekanisme pasar murni sehingga realisasi penyerapan biodiesel oleh Pertamina tergantung untung-rugi secara finansial dari sudut pandang bisnis (business point of view).

Berbeda dengan pencampuran sukarela tersebut, mandatori biodiesel adalah wajib karena diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan atau kebijakan negara kepada warganya termasuk pelaku ekonomi. Oleh karena itu Pertamina dan pelaku ekonomi pengguna solar harus wajib menjalankanya. Jika tidak dilaksanakan dapat diartikan melawan hukum atau melawan kebijakan pemerintah sendiri.

Realisasi mandatori biodiesel seharusnya tidak tergantung berapa harga CPO atau harga minyak bumi, dan juga tidak tergantung ada atau tidak ada subsidi. Jika realisasi blending rate biodiesel hanya terjadi ketika harga

(47)

Mandatori Biodiesel yang Belum Mandatori 599

tinggi dari harga CPO) itu bukan mandatori melainkan business as usual sebagai respons bisnis biasa. Juga jika realisasi blending rate terpenuhi dengan subsidi konsumen atau subsidi produsen biodiesel, itu bukan mandatori melainkan mekanisme bisnis biasa.

Oleh karena itu alasan-alasan yang digunakan Pertamina mengapa realisasi penyerapan biodiesel rendah, tidak relevan dalam konteks mandatori biodiesel.

Alasan Pertamina tersebut sebagai BUMN yang diberikan negara hak monopoli penyediaan energi nasional hanya relevan jika kebijakan pencampuran biodiesel dengan solar bersifat sukarela. Pada harga minyak bumi yang rendah seperti saat ini, realisasi mandatori biodiesel seharusnya dilaksanakan secara penuh. Karena tidak terlalu berdampak besar pada pengeluaran konsumen.

Realisasi mandatori biodiesel yang rendah tersebut menjadi pertanyaan besar jika dilihat struktur konsumsi solar di Indonesia. Sebagaimana diketahui dari total konsumsi solar di Indonesia sekitar 50 persen merupakan solar non subsidi (non PSO) yang digunakan oleh industri, sedangkan 50 persen merupakan solar subsidi (PSO).

Untuk mandatori biodiesel pada solar non subsidi seharusnya tidak masalah bagi Pertamina terutama pada masa harga minyak bumi yang rendah sekarang ini.

Meskipun harga minyak bumi lebih rendah dari harga CPO, dengan memberlakukan mandatori B-15 atau B-20 pada solar non subsidi tidak signifikan menambah biaya pokok solar non subsidi. Lagi pula jika ada tambahan biaya pokok solar akibat blending biodiesel akan ditanggung kelompok industri non subsidi yang sudah terbiasa membeli solar dengan harga internasional.

(48)

Untuk solar subsidi juga seharusnya tidak menjadi masalah. Selain APBN masih memberikanya subsidi konsumen juga harga minyak bumi sedang rendah- rendahnya. Seandainyapun ada beban tambahan bagi Pertamina, Pemerintah dapat memberi kompensasi berupa pengurangan PPn, PPh badan atau pengurangan deviden.

Selain itu pelaksanaan mandatori biodiesel dengan subsidi selain tidak konsisten dengan kebijakan mandatori itu sendiri juga tidak relevan lagi dalam konteks era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang sedang berlangsung. Memberikan subsidi tak langsung kepada konsumen akan menciptakan disparitas harga akhir solar antara Indonesia dengan negara tetangga sehingga solar Indonesia akan mengalir ke negara tetangga. Demikian juga memberikan subsidi pada produsen biodiesel seperti saat ini, akan mengalirkan biodiesel produksi Malaysia masuk ke Indonesia. Karena subsidi produsen biodiesel dibiayai dari pungutan ekspor minyak sawit, berarti produsen CPO Indonesia mensubsidi produsen biodiesel Malaysia dan konsumen solar negara tetangga.

Kedepan diharapkan Pemerintah dapat konsisten dengan kebijakan mandatori biodiesel yang dikeluarkan.

Sebagai mandatori yang bersifat wajib, Pemerintah dan Pertamina seharusnya dapat menunjukan kepatuhan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang Kebijakan Mandatori Biodiesel. Kebijakan tersebut seharusnya menjadi success story dan bagian dari transformasi energi nasional dari berbasis energi tak terbaharui (unsustainable energy) menuju energi terbaharui (sustainable energy).

(49)

Mandatori Biodiesel yang Belum Mandatori 601

Kesimpulan

Konsumsi energi nasional yang saat ini sekitar 90 persen berbasis energi fosil (tak terbaharui), sebagian makin tergantung impor (minyak bumi), dan mengotori lingkungan, memang tidak berkelanjutan (unsustainable energy). Oleh karena itu transformasi energi ke energi yang berkelanjutan (terbaharui, berbasis domestik, lebih ramah lingkungan) menjadi pilihan rasional energi Indonesia kedepan.

Salah satu kebijakan transformasi energi tersebut adalah pencampuran (blending) bertahap solar fosil dengan biodiesel berbasis minyak sawit (FAME, fatty acid methyil ester). Tujuan mensubsitusi solar fosil dengan biodiesel dimaksudkan untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil yang tidak dapat diperbaharui sehingga suatu saat akan habis, mengurangi emisi gas rumah kaca (GHG) khususnya emisi karbon serta untuk mendorong pembangunan pedesaan sebagai penghasil bahan baku biodiesel.

Realisasi mandatori biodiesel berkisar antara 35 sampai 94 persen dengan rata-rata sekitar 51 persen dari target mandatori biodiesel. Target mandatori biodiesel mengalami peningkatan dari tahun ke tahun namun persentasi realisasi dari target justru cenderung makin turun. Dengan realisasi yang demikan menunjukkan bahwa komitmen, konsistensi dan kemampuan pemerintah termasuk BUMN Pertamina dalam mengimplementasi kebijakan mandatori biodiesel secara relatif cenderung mengalami penurunan dan setengah hati.

(50)

Pemerintah diharapkan dapat konsisten dengan kebijakan mandatori biodiesel yang dikeluarkan. Sebagai mandatori yang bersifat wajib, Pemerintah dan Pertamina seharusnya dapat menunjukan kepatuhan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang Kebijakan Mandatori Biodiesel.

(51)

PEMANFAATAN MINYAK GORENG JELANTAH UNTUK PENGEMBANGAN BIODIESEL

INDONESIA: EFISIENKAH?*

ABSTRAK

Sejumlah riset telah banyak dilakukan untuk memanfaatkan minyak goreng jelantah (waste frying oil) untuk bahan baku biodiesel. Riset pengembangan ini sangat positif bagi pengembangan biodiesel. Kajian ini bertujuan untuk memberikan informasi seberapa besar kemungkinan pengembangan produk ini bisa berjalan dengan baik dan kontinu, khususnya dalam konteks jangka panjang dan pengebangan energi yang berbasis energi terbarukan. Salah satu faktor pendukung adalah ketersediaan enzym yang ada di Indonesia yang digunakan dalam teknologi ini. Disamping itu, feasibilitas riset ini juga perlu diperhatikan, agar memberikan manfaat yang seimbang dengan mahalnya cost untuk teknologi ini, dengan turut serta mempertimbangkan behavior konsumsi minyak goreng indonesia serta ketersediaan CPO di Indonesia sebagai negara produsen CPO terbesar dunia. Secara bersamaan, pemerintah akan memberlakukan minyak goreng kemasan, yang berbasis pada konsumsi produk yang sehat. Kebijakan ini diharapkan akan berdampak pada perubahan pola perilaku konsumsi minyak goreng di Indonesia, yang mengutamakan kualitas produk dan sekaligus mendorong ketersediaan minyak jelantah sebagai produk sisa. Dengan demikian, dukungan kebijakan ini bisa menjadi sebuah kebijakan yang sinergis bagi pegembangan biodiesel dari minyak jelantah di masa mendatang.

Keyword : minyak goreng jelantah, mikrobiologi, biodiesel

*) Dimuat pada PASPI Monitor, Volume II No. 11/2016

(52)

Pendahuluan

Kemandirian energi merupakan salah satu isu penting, khususnya dalam bidang energi, dimana lebih dari 50 persen kebutuhan BBM Indonesia masih tergantung pada impor sehingga berisiko tinggi bagi perekonomian.

Selain energi sektor industri dan keuangan juga tergantung pada impor dengan import content sekitar 70 persen. Akibatnya perekonomian mengalami triple-deficit (trade-deficit, fiscal-deficit, saving-investment deficit) secara bekelanjutan. Triple-deficit yang demikian menyebabkan ruang gerak memacu pertumbuhan ekonomi terbatas (sulit mencapai di atas 6 persen), sehingga penciptaan kesempatan kerja minim, peningkatan pendapatan terbatas dan penurunan kemiskinan berjalan lamban.

Pengembangan kemandirian energi di masa mendatang akan mengarah dari energi berbasis fossil fuel (unrenewable resources), kepada sumber energi terbarukan (renewable resources). Kebijakan ini diimplementasikan Kebijakan Pemerintah tentang Biodiesel dan bersifat Mandatori.

Sejalan dengan itu, studi di bawah ini menjelaskan keterkaitan antara CPO, ekspor CPO, ekspor CPO dan biodiesel, minyak goreng, hingga waste frying oil, hingga ke konsumen rumah tangga.

(53)

Pemanfaatan Minyak Goreng Jelantah untuk Pengembangan Biodiesel Indonesia 605

Studi Minyak Goreng Indonesia

Studi minyak goreng di Indonesia (PASPI, 2016) menunjukkan beberapa temuan.

a. Dari 154.8 juta ton produksi TBS kelapa sawit Indonesia tahun 2015, dihasilkan CPO sebanyak 31 juta ton. Dari total produksi CPO, sekitar 36,13 % di ekspor (11.2 juta ton) dan selebihnya digunakan di pasar domestik, termasuk untuk kebutuhan industri hilir domestik;

TBS, 154.8 juta ton Pengolah CPO, 31 juta ton Ekspor CPO, 11.2 juta ton

Pengolah Hilir, 19.8 ton CPO Minyak Goreng Ekspor 6.53 juta ton (GAPKI, GIMNI, 2015)

Margarin, Sabun 4.68 juta ton

Biodiesel 3.18 juta ton (GAPKI, APROBI, 2015) Minyak Goreng, 11.93

juta ton. Penggunaan domestik: 5.4 juta ton (GAPKI, GIMNI, 2015)

Minyak Goreng Curah 70 % Minyak Goreng Bermerk 30 %

Informal, semi-formal Deodorizers, filterers, re-

circulators.

High End (Bulk) consumers, supermarket, swalayan Re-packers, pedagang besar

/ pengecer, pasar tradisional, toko

Lower end bulk users, restoran, warung, hotel Konsumen

Kalangan Bawah dan Rumah

Tangga

Pengumpul Minyak Bekas

(54)

b. Dari 19.8 juta ton CPO, sebanyak 4,68 juta ton (24%) untuk industri margarin dan sabun, 11,93 juta ton (60%) produksi minyak goreng, dan 3.18 juta ton (16%) untuk biodiesel.

c. Dari 11.93 juta ton produksi minyak goreng, sebanyak 6.53 juta ton (54,74%) memasuki pasar internasional (ekspor), dan konsumsi minyak goreng demestik sebanyak 5,4 juta ton (45,26%)

d. Minyak goreng yang dipasarkan di pasar domestik, terdiri atas 30% minyak goreng bermerek, yang banyak disalurkan melalui pasar sealayan dan supermarker, dan 70% dalam bentuk minyak goreng curah.

e. Aliran minyak goreng curah disalurkan sebagian besar melalui pasar tradiisional, yang meliputi rantai tataniaga pedagang besar maupun pedagang kecil.

f. Dari hasil kajian tersebut, juga ada satu bagian dalam arus (flowing) aliran minyak goreng bekas, (pedagang pengumpul) yang menyalurkannya kembali ke konsumen kalangan bawah.

Temuan ini menunjukkan adanya aktifitas ekonomi pada minyak goreng bekas, yang masih bernilai ekonomi dan diperdagangkan. Hal ini menjadi aspek kajian yang menarik, bahwa waste frying oil tidak bersifat tina nilai dan bahkan ada market yang menampung minyak goreng bekas tersebut.

Referensi

Dokumen terkait

Hal tersebut menjadi dasar peneliti untuk melakukan penelitian terhadap pendekatan metode regresi longitudinal tobit yang digunakan untuk melakukan analisis

yang mana rataan total biaya produksi tertinggi pada perlakuan P0 (Penggunaan ransum kontrol dengan tepung limbah ikan gabus pasir sebanyak 0% dan tepung ikan komersil

MASJID JUM’AH MADINAH.. khutbah dan inilah merupakan shalat berjamaah jum’at pertama yang dilaksanakan oleh Rasulullah Saw. walaupun perintah shalat berjamaah jum’at telah

Namun, sesungguhnya yang lebih dahsyat dari gegap gempita ini adalah kenyataan bahwa suatu program acara televisi bisa juga memberi manfaat sehat bagi orang

Manfaat limbah cair dari pabrik kelapa sawit sebagai suplemen pupuk pada perkebunan kelapa sawit.. HIT1

Berdasarkan pada Tabel 2 dapat dilihat peningkatan penggunaan bahan bakar oleh BRT hingga tahun 2030. Peningkatan penggunaan bahan bakar BRT terjadi sampai tahun

Pengembangan kapas di Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Nusa Tenggara Barat dilakukan di lahan tadah hujan dengan musim hujan yang

Diterbitkan oleh Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Batanghari Jambi Halaman 43 dengan nilai SDR gulma setelah pengendalian diketahui jenis gulma yang