• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Setiap Negara memiliki tujuannya masing-masing. Tujuan Negara Kesatuan Republik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Setiap Negara memiliki tujuannya masing-masing. Tujuan Negara Kesatuan Republik"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setiap Negara memiliki tujuannya masing-masing. Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia sendiri termaktub dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945, yang berbunyi:

“…membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…”

Selanjutnya, tujuan NKRI yang terdapat dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945, kembali ditegaskan dalam Ketetapan MPR No. IV/MPR/1978 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara, yang berbunyi:

“Rangkaian program Pembangunan yang terus-menerus dimaksudkan untuk mewujudkan TUJUAN NASIONAL seperti termaksud di dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh Tanah Tumpah Darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan Bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi, kemerdekaan, dan keadilan sosial.”

Untuk mewujudkan tujuan negara tersebut, diperlukan suatu sarana tertentu yang dapat berupa benda (public domein) dan sumberdaya manusia. Sumberdaya manusia ini nantinya yang akan menjalankan hak dan kewajiban negara melalui penyelenggaraan pemerintah sehingga tujuan negara dapat tercapai. Sumberdaya manusia yang berfungsi menjalankan

(2)

hak dan kewajiban negara dalam penyelenggaraan negara dikatakan sebagai pegawai negeri yang merupakan aparatur negara.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, sebagai sarana untuk mewujudkan tujuan negara, pengaturan antara pegawai negeri dan negara diatur dalam hukum administrasi negara, yang kemudian lebih khususnya lagi diatur dalam hukum kepegawaian. Mengutip dari Rozali Abdullah, S.H., yang memberikan kesimpulan dari pendapat Prof. Oppenheim dan Dr. E. Utrecht, S.H., mengenai hukum administrasi negara yaitu hukum yang menggambarkan negara dalam keadaan bergerak, dengan para pejabatanya melakukan hubungan hukum istimewa di dalam rangka melakukan tugas-tugas mereka yang bersifat khusus.1 Lebih lanjutnya, Utrecht mengatakan bahwa sebagian dari pejabat adalah pegawai.2 Hukum kepegawaian dengan hukum administrasi negara memiliki suatu hubungan yang disebut dengan openbare dienstbetrekking (hubungan dinas publik) dengan pemerintah.

Sistem Kepegawaian Indonesia mengalami perkembangan dari masa ke masa, yaitu sejak Zaman Kolonial Belanda hingga saat ini. Peraturan mengenai kepegawaian juga mengalami dinamika, mulai dari Undang-Undang No. 18 Tahun 1961 tentang Ketentuan- Ketentuan Pokok Kepegawaian, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok- Pokok Kepegawaian. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, hingga hingga Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.

Beberapa tahun belakangan ini, pemerintah sedang melaksanakan agenda Reformasi Birokrasi di berbagai lembaga negara, baik pusat maupun daerah yang mencakup tiga elemen dasar, yaitu kelembagaan, ketatalaksanaan, dan sumberdaya manusia aparatur

1 Rozali Abdullah, 1986, Hukum Kepegawaian, CV Rajawali, Jakarta, hlm. 2

2 Ibid., hlm. 2

(3)

negara. Hal ini demi terbentuknya sumberdaya manusia aparatur negara yang lebih professional dan berkompeten. Salah satu perwujudannya adalah dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, yang dipercaya memiliki sistem manajemen kepegawaian yang lebih baik karena selama ini telah diterapkan pada negara-negara maju.

Berkaitan dengan kepegawaian, tentunya Pegawai Negeri sebagai sumberdaya aparatur negara memiliki tugas untuk menyelenggarakan pemerintahan yang terdapat pada lembaga-lembaga negara, Badan-Badan Milik Negara, dan organ-organ negara lainnya.

Lembaga negara utama menurut Undang-Undang Dasar 1945 adalah MPR, DPR, DPD, Presiden, Mahkamah Agung, Mahkmah Konstitusi, sedangkan lembaaga-lembaga yang lain dikategorikan sebagai lembaga negara bantu.3 Berbicara mengenai lembaga-lembaga negara, pasca amandemen Undang-Undang Dasar 1945, sistem ketatanegaraan Indonesia mengalami perubahan yang cukup signifikan. Salah satunya dengan ditandainya kemunculan lembaga-lembaga negara independen (independent agencies) dan Komisi Negara Independen. Kemunculan lembaga-lembaga dan komisi-komisi tersebut merupakan penyimpangan dari teori Trias Politica yang dikemukakan oleh Montesquieu Teori milik Montesquieu tersebut sejatinya memisahkan kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif, dan kekuasaan yuridis.

Kemunculan lembaga-lembaga negara independen (independent agencies) dan komisi negara independen ini dikarenakan bahwa teori Trias Politica dirasa sudah tidak relevan lagi pada saat ini dan masyarakat merasa belum cukup puas dengan fungsi lembaga negara yang sudah ada. Sebagian besar masyarakat lebih menginginkan lembaga negara atau komisi negara yang bertindak sebagai check and balances terhadap lembaga yang sudah

3 Gunawan A. Tauda, 2012, Komisi Negara Independen, Eksistensi Independent Agencies sebagai Cabang Kekuasaan Baru dalam SistemKetatanegaraan, Genta Press, Yogyakarta, hlm. 60

(4)

ada. Fenomena ini tidak saja terjadi di Indonesia, namun sudah banyak terjadi di negara- negara lain.

Di Indonesia sendiri, penyebutan lembaga-lembaga seperti ini memang bermacam- macam. Hal ini dikarenakan para pakar hukum tata negara Indonesia ini tidak memiliki padanan kata yang sama untuk menyebut lembaga ini. Ada yang menyebut lembaga negara pembantu, lembaga negara penunjang, lembaga negara melayani, lembaga negara independen, komisi negara independen, dan lembaga negara independen.4 Dalam sebuah daftar yang dibuat oleh Kementerian PAN-RB disebutkan bahwa penyebutan nomenklatur lembaga dan komisi tersebut adalah Lembaga Non-Sturktural.5

Beberapa lembaga-lembaga negara dan komisi negara independen itu di antaranya, Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Penyiaaran Indonesia, Komisi Informasi Publik, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, dan Komisi Ombudsman Nasional.

Komisi Ombudsman Nasional (KON) yang selanjutnya bernama Ombudsman RI merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan tidak memiliki hubungan organik dengan lembaga negara dan instansi pemerintahan lainnya, serta dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bebas dari campur tangan kekuasaan lainnya.6 KON berdiri berdasarkan konsepsi dari negara hukum itu sendiri dan kebutuhan masyarakat akan lembaga yang dapat mengawasi kekuasaan pemerintah agar tidak berlaku sewenang-wenang. Kemudian, KON berganti nama menjadi Ombudsman Republik Indonesia setelah keluarnya Undang- Undang No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI.

4 Ibid., hlm 12

5 Lembaga Non Struktural diakses dari http://www.menpan.go.id/kelembagaan/549-lembaga-non-struktural tanggal 20 Desember 2015

6 Pasal 2 Undang-Undang No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia.

(5)

Kemunculan lembaga dan komisi ini tidak hanya berdampak pada sistem ketatanegaraan saja, tetapi juga berdampak kepada aspek-aspek lain, salah satunya adalah masalah pegawai yang dipekerjakan untuk menjalankan fungsi lembaga-lembaga dan komisi-komisi tersebut. Pada beberapa lembaga dan tersebut ada yang tata manajemen pegawainya tidak mengikuti sistem kepegawaian yang terdapat pada Undang-Undang Kepegawaian.

Sebagai lembaga Negara Independen, Ombudsman RI memiliki kewenangan secara independen untuk mengatur urusan ke dalam dan ke luar, salah satunya kewenangan dalam melakukan manajemen kepegawaiannya. Oleh karena itu, perihal manajemen kepegawaian Ombudsman RI diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2012 tentang Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia pada Ombudsman Republik Indonesia dan beberapa Peraturan Ombudsman yang terkait. Dengan kata lain, kepegawaian Ombudsman RI yang menjadi Asisten Ombudsman RI tidak tunduk kepada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kepegawaian, kecuali terhadap pegawai-pegawai Ombudsman RI yang berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil. Di Ombudsman RI sendiri pelaksanaan fungsi dari lembaga itu sebagian besar dijalankan oleh pegawai yang berstatus sebagai Asisten yang sebenarnya membantu Pimpinan Ombudsman menjalankan tugasnya sehari-hari. Jumlah Asisten Ombudsman RI pun lebih besar dibandingkan dengan jumlah Pegawai Negeri Sipil yang bekerja di Ombudsman RI. Tidak banyak yang tahu mengenai sistem kepegawaian dan status pegawai pada lembaga negara seperti Ombudsman RI di kalangan publik dan juga bahkan pada penyelenggara pemerintah itu sendiri.

Apabila dikaitkan antara Reformasi Birokrasi yang sedang dilakukan saat ini dengan keadaan kepegawaian di lembaga-lembaga dan komisi-komisi negara independen itu, timbul lah sebuah pertanyaan yaitu bagaimanakah sebenarnya posisi pegawai-pegawai yang bekerja pada lembaga-lembaga dan komisi-komisi negara independen tersebut pasca

(6)

diberlakukannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara?

Dalam hal ini, Penulis mengambil contoh di Ombudsman RI yang pegawainya disebut dengan Asisten Ombudsman. Apakah pasca diberlakukannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara status Asisten mengalami perubahan dan mengikuti Undang-Undang Aparatur Sipil Negara? Berangkat dari permasalahan tersebut, Penulis akan mengangkat judul “Tinjauan Yuridis Status Kepegawaian Asisten Ombudsman RI pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara” untuk menjadi pokok pembahasan dalam penulisan hukum ini.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana sistem manajemen kepegawaian Ombudsman Republik Indonesia?

2. Bagaimana status Asisten Ombudsman Republik Indonesia sebelum dan sesudah berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara?

3. Bagaimana status kepegawaian yang Ideal bagi Asisten Ombudsman Republik Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan dalam latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang hendak dicapai oleh Penulis dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Tujuan Subyektif

Penulisan hukum ini dilakukan dengan tujuan untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam rangka menyelesaikan proses belajar pada jenjang sarjana di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

(7)

2. Tujuan Objektif

Tujuan Objektif dalam penulisan hukum ini adalah untuk mengetahui dan mengkaji masalah yang berhubungan dengan hukum administrasi negara dalam bidang hukum kepegawaian khususnya mengenai:

a. Sistem pengangkatan Asisten Ombudsman Republik Indonesia

b. Status Asisten Ombudsman Republik Indonesia sebelum dan sesudah berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara; dan

c. Status kepegawaian yang Ideal bagi Asisten Ombudsman Republik Indonesia.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai status kepegawaian Asisten Ombudsman RI setelah berlakunya Undang-Undang Aparatur Sipil Negara.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat mendorong pemerintah ataupun akademisi untuk menata lembaga negara independen seperti Ombudsman RI baik secara kelembagaannya maupun secara administratifnya.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang dilakukan oleh Penulis di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, sepanjang pengetahuan Penulis belum ada satupun penelitian

(8)

yang membahas mengenai Tinjauan Yuridis Status Kepegawaian Asisten Ombudsman Republik Indonesia Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Akan tetapi, Penulis menemukan penulisan hukum yang terkait dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara namun berbeda variabelnya.

Penulisan hukum tersebut berjudul Kedudukan, Hak, dan Kewajiban Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara yang ditulis oleh Anis Iwan Setiono dalam tesisnya pada program Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

tahun 2014.

Fokus penelitian pada penulisan hukum ini adalah kedudukan, hak, dan kewajiban Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja. Hal tersebut didasari dengan adanya Undang-Undang baru, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara yang di dalamnya mengatur hal baru dalam manajemen kepegawaian yaitu tentang pegawai yang dikontrak oleh pemerintah yang disebut sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja. Dalam tesisnya, Anis Iwan Setiono menuliskan bahwa Pengesahan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara yang di dalamnya mengatur tentang adanya Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja diharapkan dapat menciptakan pegawai yang independen, netral, berkompetensi, memiliki produktivitas kerja, berintegritas, dan akuntabel dalam memberikan pelayanan publik sehingga efektivitas pemerintah meningkat, pelayanan publik semakin baik, kesejahteraan pegawai dan pensiunan pegawai yang memadai. Ia juga menulis bahwa di sisi lain dalam Undang-Undang Aparatur Sipil Negara ini mengenai kedudukan, hak, dan kewajiban Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja belum di tentukan. Sehingga, ia mengangkat 2 rumusan masalah dalam tesisnya ini, yaitu:

(9)

a. Bagaimana kedudukan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja dalam Undang- Undang Aparatur Sipil Negara?

b. Bagaimana hak dan kewajiban Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja serta pengaturannya dalam pelaksanaan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara?

Dalam tesis tersebut, terdapat kesimpulan bahwa meskipun kedudukan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja adalah sebagai Aparatur Sipil Negara namun terdapat perbedaan hak dengan Pegawai Negeri Sipil dan dalam beberapa hal masih di bawah hak dari yang di peroleh karyawan dengan perjanjian untuk waktu tertentu (PKWT) pada sektor swasta. Perbedaan penulisan hukum ini dengan tesis tersebut adalah dalam penulisan ini fokus pembahasannya terletak pada status kepegawaian Asisten Ombudsman pasca berlakunya Undang-Undang Aparatur Sipil Negara, sedangkan pada tesis tersebut lebih memfokuskan pada kedudukan, hak, dan kewajiban Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja.

Selanjutnya, Penulis juga menemukan tesis yang hampir serupa yang berjudul Perlindungan Hukum Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara yang ditulis oleh Aryudhi Permadi pada program Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada tahun 2014. Adapun rumusan masalah yang diangkat oleh Aryudhi Permadi yaitu:

a. Apakah Undang-Undang Aparatur Sipil Negara telah memberikan perlindungan hukum bagi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja?

b. Bagaimana perbandingan perlindungan hukum bagi pekerja dalam Undang-Undang Aparatur Sipil Negara dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan?

Adapun kesimpulan dalam penelitian tersebut adalah Undang-Undang Aparatur Sipil Negara telah memberikan perlindungan hukum terhadap Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja. Perlindungan hukum tersebut diberikan dalam hal norma keselamatan

(10)

kerja, dan ganti rugi akibat kecelakaan kerja. Kedua, perlindungan hukum bagi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja dalam Undang-Undang Aparatur Sipil Negara setara dengan perlindungan hukum bagi pekerja dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan.

Perbedaan penulisan hukum dengan tesis tersebut adalah dalam penulisan ini fokus pembahasannya terletak pada status kepegawaian Asisten Ombudsman pasca berlakunya Undang-Undang Aparatur Sipil Negara, sedangkan pada tesis tersebut lebih memfokuskan pada perlindungan hukum terhadap Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja dalam Undang-Undang Aparatur Sipil Negara serta untuk melakukan perbandingan perlindungan hukum bagi pekerja antara Undang-Undang Aparatur Sipil Negara dengan Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Dalam melakukan penelusuran kepustakaan, Penulis juga menemukan penelitian ilmiah. Penelitian tersebut berjudul “Reformulasi Pengangkatan Tenaga Honorer Kategori 1 (K1) dan Kategori 2 (K2) Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta,” yang diteliti oleh Dr. Zainal Arifin Mochtar, S.H. LL.M. Penelitian ilmiah ini merupakan Program Hibah Penelitian Dosen Individu Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Periode II Tahun 2014. Penelitian ini mengangkat tiga permasalahan, diantaranya sebagai berikut:

1. Bagaimanakah proses pengangkatan tenaga honorer K1 dan K2 di Provinsi DIY?

2. Bagaimanakah peraturan pengangkatan tenaga honorer K1 dan K2?

3. Bagaimanakah formulasi baru yang ideal untuk pengangkatan tenaga honorer K1 dan K2 pasca berlakunya UU Aparatur Sipil Negara di Provinsi DIY?

Selanjutnya, penelitian ini memiliki tiga kesimpulan pokok, yaitu:

1. Penelitian ini menemukan bahwa pengangkatan tenaga honorer K1 dan K2 di lingkungan Pemprov DIY pada dasarnya mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2012. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2012, pengangkatan

(11)

tenaga honorer K1 menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dilakukan melalui pemeriksaan kelengkapan administrasi setelah dilakukan verifikasi dan validasi.

2. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 56 tahun 2012, pengangkatan tenaga honorer K1 menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dilakukan melalui pemeriksaan kelengkapan administrasi setelah dilakukan verifikasi dan validasi. Pelaksanaan verifikasi dan validasi dilakukan oleh Tim Verifikasi dan Validasi yang dibentuk oleh Kepala BKN. Pelaksanaan pengangkatan dilakukan secara bertahap dan sesusai dengn kebutuhan pemrintah daerah. Terkait pengangkatan CPNS dari jalur tenaga honorer K2, Pengangkatan tenaga honorer K2 dilakukan melalui pemeriksaan kelengkapan administrasi dan lulus ujian tertulis kompetensi dasar dan kompetensi bidang sesama tenaga honorer K2. Penentuan seleksi ujian tertulis kompetensi dasar ditetapkan berdasarkan nilai ambang batas kelulusan yang ditetapkan oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Men PAN-RB) atas pertimbangan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan. Tenaga honorer K2 yang dinyatakan lulus ujian tertulis kompetensi dasar mengikuti tes kompetensi bidang (profesi) dengan mempertimbangkan dedikasi yang ditetapkan oleh masing- masing instansi berdasarkan materi ujian dari instansi pembina jabatan fungsional.

3. Melihat dari hal tersebut sudah seharusnya pemerintah pusat dan daerah membuat formulasi yang ideal diantaranya adalah meningkatkan standarisasi kualifikasi pengangkatan tenaga honorer hingga analisis jabatan untuk mengisi formasi kebutuhan pegawai. Perekrutan tenaga honorer yang dilakukan oleh pemerintah daerah hingga pengangkatan PNS untuk tenaga honorer oleh pemerintah pusat harus saling terintegrasi. Kualifikasi yang ditingkatkan setiap tahun diharapkan dapat menjaring kualitas-kualitas terbaik melalui pembinaan ketika menjadi tenaga honorer. Kualifikasi dapat dapat mengikuti asas-asas dari undang-undang ASN yaitu kepastian hukum,

(12)

profesionalitas, proporsionalitas, keterpaduan, delegasi, netralitas, akuntabilitas, efektif dan efisien, keterbukaan, non-diskrimintif; persatuan dan kesatuan, keadilan dan kesetaraan, serta kesejahteraan.

Letak perbedaan antara penulisan hukum ini dengan penelitian tersebut adalah pada fokus pembahasannya. Penulisan hukum ini lebih fokus pada status hukum Asisten Ombudsman pasca berlakunya Undang-Undang Aparatur Sipil Negara sedangkan penelitian yang dilakukan Zainal Arifin Mochtar lebih fokus kepada Pengangkatan Tenaga Honorer Kategori 1 (K1) dan Kategori 2 (K2) Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.

Referensi

Dokumen terkait

berdasarkan tarif atau biaya tera yang terdapat dalam lampiran Perda Provinsi Sumatera Selatan Nomor 12 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Nomor

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui formulasi dan aktivitas yang optimal dari sediaan gel ekstrak etanol daun melinjo (Gnetum gnemon L.) pada variasi konsentrasi

Sistem Peringatan Kondisi Denyut Jantung Berbasis Mikrokontroller ATMega 8535 dengan Komunikasi Bluetooth ( Realized Heart Beat Warning System

Maka dari itu, rumusan masalah yang menjadi dasar penelitian ini adalah seberapa tinggi penerapan aspek jurnalisme damai dalam mengemas berita konflik Papua di Kompas.com

Relasi aljabar dapat secara aktual untuk membentuk relasi yang diharapkan dari suatu relasi yang terdapat pada basis data, sedangkan relasi kalkulus memberikan

Hasil analisis cuplikan cairan hasil lindi peleburan pasir zirkon dengan alat analisis spektrograf emisi menunjukkan bahwa konsentrasi masing-masing unsur Si, Cu, dan

Di dalam peraturan tersebut yang dimaksud dengan Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran yang memuat sekurang-kurangnya

Diana  Karitas  dan  Fransiska,  2017.  Panas  dan  Perpindahannya  Jakarta:  Penerbit  Pusat  Perbukuan  Balitbang  Kementerian  Pendidikan  dan  Kebudayaan