• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH NEUROSAINS PENDIDIKAN OTAK, PENDIDIKAN, DAN EMOSI. Dosen Pengampu : Jumiatmoko,S. Pd., M. Pd.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "MAKALAH NEUROSAINS PENDIDIKAN OTAK, PENDIDIKAN, DAN EMOSI. Dosen Pengampu : Jumiatmoko,S. Pd., M. Pd."

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH

NEUROSAINS PENDIDIKAN

“OTAK, PENDIDIKAN, DAN EMOSI”

Dosen Pengampu : Jumiatmoko,S. Pd., M. Pd.

Disusun Oleh : Kelompok 3

1. Kamiliya Bunga Afifah (3B/K8120042) 2. Lita Dwi Kusuma (3B/K8120044) 3. Oktaviana Meuthia Tharasya (3B/K8120056)

4. Rahuti Wening (3B/K8120061)

5. Septria Adelia (3B/(K8120069) 6. Rahma Azhari Yusra (UNRI/1905111927)

Program Studi Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Sebelas Maret Surakarta

(2)

ii KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kemudahan dan kelancaran serta melimpahkan rahmat-Nya dalam pengerjaan makalah ini sehingga berjalan dengan baik.

Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dosen pengampu pada bidang Neurosains Pendidikan dalam prodi Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini mengenai Otak, Pendidikan dan Emosi. Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca meskipun di dalam penyusunan makalahnya masih banyak kekurangan.

Penulis menyadari bahwa makalah yang ditulis ini masih jauh dari kata sempurna.

Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan penulis nantikan demi kesempurnaan makalah ini. Terimakasih.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Surakarta, 31 Oktober 2021

Penulis

(3)

iii DAFTAR ISI

COVER ...

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI... iii

BAB I PENDAHULUAN ... 4

A. Latar Belakang ... 5

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan ... 5

D. Manfaat ... 5

BAB II PEMBAHASAN ... 6

A. Otak, Pendidikan, dan Emosi ... 6

1. Hakikat Otak ... 6

2. Hakikat Pendidikan ... 6

3. Hakikat Emosi ... 8

B. Hubungan Antara Otak, Pendidikan, dan Emosi ... 10

1. Otak Rasional dan Pembelajaran ... 11

2. Otak Emosional dan Pembelajaran ... 13

3. Otak Spiritual dan Pembelajaran ... 15

C. Optimalisasi Otak dalam Sistem Pendidikan ... 17

D. Perkembangan Emosi Anak Usia Dini ... 19

1. Pengertian Perkembangan ... 19

2. Pengertian Emosi ... 20

3. Fungsi Emosi pada Anak Usia Dini ... 21

4. Karakterisrik Perkembangan Emosi pada Anak Usia Dini ... 22

BAB III PENUTUP ... 26

A. Kesimpulan ... 26

B. Saran ... 26

DAFTAR PUSTAKA ... xxvii

(4)

4 BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Pendidikan anak usia dini adalah jenjang pendidikan sebelum jenjang pendidikan dasar yang merupakan suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut, yang diselenggarakan pada jalur formal, nonformal, dan informal. Pendidikan Anak Usia Dini juga merupakan pemberian upaya untuk menstimulasi, membimbing, mengasuh dan pemberian kegiatan pembelajaran yang akan menghasilkan kemampuan dan keterampilan pada anak (kompetensi).

Masa usia dini merupakan masa kritis pekembangan kemampuan emosi dan sosial. Pada tahap ini anak belajar tentang nilai-nilai dan perilaku yang dapat diterima oleh masyarakat dilingkungan sekitarnya. Pada usia ini anak juga sedang mengembangkan konsep diri mereka sebagai pribadi yang berkompeten dan percaya diri. Pengembangan kecerdasan emosi anak berbasis otak merupakan upaya-upaya yang dilakukan pendidik, orang tua atau orang dewasa yang bertanggung jawab terhadap anak dalam mendidik, baik itu mengasah, mengasih dan megasuh anak untuk mengembangkan kemampuan emosinya berdasar ilmu-ilmu perilaku otak (neuron) manusia.

Pengembangan emosi anak usia dini berbasis neurosain, merupakan upaya- upaya pendidikan yang didalamnya mencakup aktifitas mengasah, mengasih dan mengasuh ( asah, asih asuh) anak yang berpijak dan menggunakan dasar-dasar ilmu perilaku otak (Neuron). Sangat penting bagi setiap pendidik, baik itu guru, orang tua dan pengasuh mengerti dan memahami bagaimana otak anak dan otak dirinya bekerja.

Juga bagaimana otak anak tumbuh dan berkembang secara dasar.

Secara umum, seperti otak manusia dewasa, anatomi otak anak terbagi menjadi 3, yakni otak depan, otak tengah dan otak belakang. Otak depan adalah wilayah otak yang terletak di bagian atas dan depan otak, ia terdiri atas kulit otak, ganglia basalis, sistem limbik, talamus dan hipotalamus. Otak bekerja dengan menggunakan prinsip sirkuit, bukan kerja sendiri. Sebuah fungsi dapat terjadi karena semua bagian otak bekerja dalam sebuah sirkuit canggih. Setiap bagian menyumbang kelebihan masing-masing dalam sirkuit itu. Otak yang berhubungan dengan proses

(5)

5 emosi disebut sebagai sistem limbik. Sistem limbik terdiri atas area-area, sirkui-sirkuit dan syaraf-syaraf spesifik yang terlibat dalam segala aspek yang berfungsi memproses pengalaman emosional seseorang.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang penulis tetapkan dalam penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut:

1) Apa hakikat otak, pendidikan dan emosi?

2) Apa hubungan antara otak, pendidikan, dan emosi?

3) Bagaimana optimalisasi otak dalam sistem pendidikan?

4) Apa yang dimaksud dengan perkembangan emosi anak usia dini?

C. Tujuan

Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah:

1) Untuk mengetahui tentang tumbuh-kembang otak anak sebagai dasar untuk perkembangan otak anak.

2) Untuk membentuk kepribadiam yang cakap akan emosi.

3) Untuk mengatahui bagaimana mengendalikan amarah anak sejak usia dini.

D. Manfaat

Manfaat dari penyusanan makalah ini yaitu untuk lebih memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi, mengendalikan dorongan hati, dan tidak melebih- lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati, dan berdoa.

(6)

6 BAB II

PEMBAHASAN A. Otak, Pendidikan, dan Emosi

1. Hakikat Otak

Otak adalah salah satu organ manusia yang sangat vital dan kompleks, karena otak memiliki kemampuan untuk mengendalikan keseluruhan dari indera manusia.

Menurut Agus Nggermanti (2001), di dalam otak setidaknya terdapat Sembilan sub- komponen. Neocertex yaitu lapisan paling luar dan hanya dimiliki oleh manusia, dimana lapisan ini memungkunkan manusia untuk memiliki kemampuan membaca, menulis, mempelajari bahasa, berhitung, melukis, dan sebagainya. Corpus Callasum yang menghubungkan belahan kiri dengan belahan kanan neocortex. Cerebellum (otak kecil) berfungsu untuk mengatur gerakan dan gerakan reflex. Otak reptileter letak bagian terdalam dan berfungsi untuk merangsang rasa aman, rasa takut, dan mengendalikan pernapasan, peredaran darah, detak jantung, pencernaan, dan kesadaran. Hippocampus berhubungan dengan ingatan, amigdala berfungsi untuk mengatur emosi, pituitary gland mengatur kerja hormone, hypothalamus mengontrol hormone (seksual, tekanan darah, suhu badan, dan rasa haus) dan thalamus mengkatifkan sensor indera.

A.M. Rukky Santoso (2011) mengatakan bahwa pada otak terdapat ratusan miliar neuron yang memiliki tiga puluh miliar sel yang bekerja sama. Otak manusia diibaratkan computer yang menerima rangsangan dari panca indera lalu disalurkan melalui saraf sebagai perantara otak dengan bagian tubuh lain. Roger Wolkott Sperry (dalam Taugada, 2003) meneliti tentang otak kiri yang menjalankan fungsi berpikir sacara kognitif dan rasional dengan karakteristik yang bersifat logis, matematis, analitis, realistis, vertical, kuantitatif, intelektual, objektif, dan mengontrol sistem motorik tubuh bagian kanan. Dan otak kanan yang berfungsi untuk berfikir secara afektif, dan rasional juga mempunyai karakteristik kualitatif, implusif, spiritualm holistik, emosional, artistik kreatif, subjektif, simbolis, imajinatif, simultan, intuitif, dan mengontrol gerak tubuh sebelah kiri. Humphrey (2000) membedakan kerja otak berdasarkan gelombang elektro, yaitu gelombang alpha, beta, delta, dan tetha.

Sementara itu, Ned Herrmandd (1995) mengemabngkan lebih lanjut fungsi otak dengan membaginya ke dalam empat kuadran.

2. Hakikat Pendidikan

(7)

7 Secara formal pendidikan itu dilaksanakan sejak usia dini sampai perguruan tinggi. Adapun secara hakiki pendidikan dilakukan seumur hidup sejak lahir hingga dewasa. Waktu kecil pun dalam UU 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pendidikan anak usia dini yang notabene anak-anak kecil sudah didasari dengan pendidikan yang mengajarkan nilai-nilai moral yang baik agar dapat membentuk kepribadian dan potensi diri sesuai dengan perkembangan anak.

Dalam PP 27 tahun 1990 bab 1 pasal 1 ayat 2, disebutkan bahwa sekolah untuk peserta didik yang masih kecil adalah salah satu bentuk pendidikan pra sekolah yang menyediakan program pendidikan dini bagi anak usia 4 tahun sampai memasuki pendidikan dasar (Harianti, 1996: 12). Di samping itu terdapat 6 fungsi pendidikan (Depdiknas 2004: 4), yaitu:

 Mengenalkan peraturan dan menanamkan disiplin kepada anak.

 Mengenalkan anak pada dunia sekitarnya.

 Menumbuhkan sikap dan perilaku yang baik.

 Mengembangkan kemampuan berkomunikasi dan bersosialisasi.

 Mengembang ketrampilan, kreativitas, dan kemampuan yang dimiliki anak.

 Menyiapkan anak untuk memasuki pendidikan dasar.

Dari beberapa uraian di atas inilah, maka pendidikan yang menanamkan nilai- nilai positif akan tepat dimulai ketika anak usia dini. Dengan demikian pendidikan bagi peserta didik yang masih kecil merupakan landasan yang tepat sebelum masuk pada pendidikan yang lebih tinggi. Pendidikan anak usia dini merupakan pendidikan awal yang sesuai dengan tujuan untuk mengembangkan sosialisasi anak, menumbuhkan kemampuan sesuai dengan perkembangannya, mengenalkan lingkungan kepada anak, serta menanamkan disiplin, karena secara tidak langsung dapat menanamkan atau mentransfer nilai-nilai moral dan nilai sosial kepada anak.

Tujuan pendidikan itu juga ditanamkan sejak manusia masih dalam kandungan, lahir, hingga dewasa yang sesuai dengan perkembangan dirinya. Ketika masih kecil pun pendidikan sudah dituangkan dalam UU 20 Sisdiknas 2003, yaitu disebutkan bahwa pada pendidikan anak usia dini bertujuan untuk mengembangkan kepribadian dan potensi diri sesuai dengan tahap perkembangan peserta didik (Depdiknas 2003: 11). Dengan demikian tujuan pendidikan juga mengalami perubahan menyesuaikan dengan perkembangan manusia.

(8)

8 Akan tetapi tidak selamanya manusia menuai hasil dari proses yang diupayakan tersebut. Oleh karena itu, kadang proses itu berhasil atau kadang pun tidak. Jadi dengan demikian dapat dikatakan bahwa “keberhasilan” dari proses pendidikan secara makro tersebut merupakan tujuan. Keberhasilan itu juga dipengaruhi oleh beberapa faktor. Hal ini mengingat bahwa pendidikan itu ada tiga pilar yaitu pendidikan keluarga, pendidikan sekolah, dan pendidikan masyarakat.

Dalam pembentukan dan tujuan pendidikan yang berkaitan dengan pembentukan watak, maka faktor keluarga sangat penting. Faktor orang tua sangat berpengaruh pada pendidikan manusia sebagai peserta didik. Kesadaran orang tua makin meningkat mengenai pentingnya pendidikan sebagai persiapan awal untuk membantu pencapaian keberhasilan pendidikan selanjutnya. Persiapan awal tersebut menyangkut pencapaian perkembangan sehat secara mental, emosi, dan sosial. Namun orang tua juga tidak sama.

Ciri-ciri etika pendidikan:

1. Etika tetap berlaku meskipun tidak ada orang lain yang menyaksikan.

2. Etika sifatnya absolute atau mutlak.

3. Dalam etika terdapat cara pandang dari sisi batiniah manusia.

4. Etika sangat berkaitan dengan perbuatan atau perlakuan manusia.

3. Hakikat Emosi

Emosi adalah kondisi tergerak (a state of being moved) yang memiliki komponen penghayatan perasaan subyektif, impuls untuk berbuat dan kesadaran (awareness) tentang perasaan yang dihayatinya (Semiawan, 1997; 153). Feldman (1997) mendefinisikan emosi sebagai perasaan-perasaan yang dapat mempengaruhi perilaku dan pada umumnya mengandung komponen fisiologis dan kognitif. Emosi sebagai perasaan-perasaan yang dapat mempengaruhi perilaku dan pada umumnya mengandung komponen fisiologis dan kognitif. Perasaan-perasaan tersebut bisa sangat kuat sehingga kontrol rasional tidak berfungsi (Winkel, 1983; 151). Perasaan yang kuat tersebut diikuti oleh ekspresi motoric yang berhubungan dengan suatu objek atau situasi eksternal (Gunarsa, 1989;156). Goleman (1997) menyatakan bahwa emosi adalah perasaan dan pikiran khas, yakni suatu keadaan biologik dan psikologik.

Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan emosi adalah keadaan yang kuat dan kompleks yang diikuti

(9)

9 oleh ekspresi motorik serta mengandung unsur afeksi dan pikiran yang khas, yang mempengaruhi perilaku. Keadaan afeksi yang disadari dapat berupa kegembiraan, ketakutan, kebencian, cinta dan sebagainya.

Proses perkembangan emosi berlangsung sejak bayi lahir sampai dewasa melalui pola-pola tertentu. Perkembangan emosi dipengaruhi oleh faktor bawaan dan pengaruh lingkungan, yaitu melalui proses pematangan dan proses belajar. Bayi sejak lahir, gejala pertama perilaku emosionalnya ialah keterangsangan umum terhadap stimuli-stimuli yang kuat. Setelah berumur 1 tahun, ekspresi emosional mereka berwujud kegembiraan, ketakutan, kemarahan, dan kebahagiaan. Selanjutnya, dengan meningkatnya usia anak, reaksi emosional dapat berwujud menjerit dan menangis, mengadakan perlawanan, melemparkan benda, lari menghindar, bersembunyi, dan mengeluarkan kata-kata. Makin bertambah usia, maka reaksi yang berwujud bahasa makin meningkat, dan reaksi gerakan otot makin berkurang. Sekitar 2-4 tahun, reaksi ledakan marah mencapai puncaknya. Kemudian tampak pola emosi yang lebih matang, seperti cemberut dan sikap bengal.

Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan emosi adalah faktor kematangan dan faktor belajar. Peran faktor kematangan, meliputi perkembangan intelektual yang menghasilkan kemampuan untuk memahami makna yang sebelumnya tidak dimengerti. Perkembangan kelenjar endokrin penting untuk mematangkan perilaku emosional. Selanjutnya, peran faktor belajar yang turut menunjang pola perkembangan emosi pada masa kanak-kanak, adalah melalui:

a) belajar dengan cara coba dan ralat, b) belajar dengan cara meniru atau imitasi, c) belajar dengan cara identifikasi,

d) belajar dengan cara pengkondisian, yaitu dengan asosiasi,

e) belajar melalui pelatihan atau belajar di bawah bimbingan dan pengawasan.

Ciri khas penampilan emosi anak adalah sebagai berikut: (a) emosi yang kuat, yaitu bereaksi dengan intensitas yang sama, baik terhadap situasi yang remeh ataupun yang serius, (b) emosi seringkali tampak, yaitu memperlihatkan emosi mereka meningkat dan menjumpai bahwa ledakan emosional seringkali melibatkan hukuman, (c) emosi bersifat sementara, yaitu peralihan yang cepat pada anak-anak kecil dari tertawa kemudian menangis, dan sebagainya. Tetapi dengan meningkatnya usia anak,

(10)

10 emosi mereka menjadi lebih menetap, (d) reaksi mencerminkan individualitas, yaitu secara bertahap, dengan adanya pengaruh faktor belajar dan lingkungan, perilaku yang menyertai berbagai macam emosi semakin diindividualisasikan (tiap anak berbeda reaksinya), (e) emosi berubah kekuatannya, dalam arti dengan meningkatnya usia anak, pada usia tertentu emosi yang sangat kuat berkurang kekuatannya, sedangkan emosi lainnya yang tadinya lemah berubah menjadi kuat, (f) emosi dapat diketahui melalui gejala perilaku, misalnya: gelisah, menangis, melamun, kesukaran berbicara, dan bertingkah laku yang gugup seperti menggigit kuku atau mengisap jempol.

Bahaya perkembangan emosi adalah sebagai berikut:

b. keterlantaran emosional;

c. terlalu banyak kasih sayang;

d. emosionalitas yang tinggi.

B. Hubungan Antara Otak, Pendidikan, dan Emosi

Banyak penelitian menemukan bahwa manusia belum maksimal dalam memakai otaknya baik untuk memecahkan masalah maupun menciptakan ide baru.

Hal ini tidak lepas dari sistem pendidikan yang berlaku saat ini yang hanya berfokus pada otak luar bagian kiri. Otak ini berperan dalam pemrosesan logika, kata-kata, matematika, dan urutan yang dominan untuk pembelajaran akademis. Otak kanan yang berurusan dengan irama musik, gambar, dan imajinasi kreatif belum mendapat bagian secara proporsional untuk dikembangkan. Demikian juga dengan sistem limbik sebagai pusat emosi yang belum dilibatkan dalam pembelajaran, padahal pusat emosi ini berhubungan erat dengan sistem penyimpanan memori jangka panjang. Lebih dari itu pemanfaatan seluruh bagian otak (whole brain) secara terpadu belum diaplikasikan dengan efektif dalam sistem pendidikan. Dalam dasawarsa terakhir ini, otak berhasil dieksplorasi secara besar-besaran dan menghasilkan kesimpulan bahwa sungguh otak merupakan pusat berpikir, berkreasi, berperadaban, dan beragama (Taufiq, 2003).

Sistem pendidikan saat ini cenderung mengarahkan peserta didik untuk hanya menerima satu jawaban dari permasalahan. Jawaban itulah yang kemudian diajarkan oleh dosen/guru untuk kemudian diulangi oleh peserta didik dengan baik pada saat ujian. Tak ada ruang untuk berpikir lateral, berpikir alternatif, mencari jawaban yang nyleneh, terbuka, dan memandang kearah lain. Mungkin secara tak sadar kita sebagai

(11)

11 guru maupun orangtua telah banyak memasung potensi berpikir anak-anak dan menghambat pengembangan otaknya. Sistem pendidikan berperadaban harus memungkinkan peserta didik untuk mencampur-memisah, mengeraskan-melunakkan, menebalkanmenipiskan, menutup-membuka, memotong-menyambung sesuatu sehingga menjadi sesuatu yang baru. Pada dasarnya suatu ide baru merupakan kombinasi dari ide-ide lama, dan tak ada sesuatu yang betul-betul baru.

Telah terbukti bahwa selain memiliki kemampuan hebat untuk menyimpan informasi, otak juga memiliki kemampuan yang sama hebat untuk menyusun ulang informasi tersebut dengan cara baru, sehingga tercipta ide baru. Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana menerapkan sistem pendidikan yang memungkinkan optimalisasi seluruh otak sehingga penerimaan, pengolahan, penyimpanan, dan penggunaan informasi terjadi secara efisien. Sangat inspiratif definisi Pendidikan yang tercantum dalam Sisdiknas yaitu usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

1. Otak Rasional dan Pembelajaran

Otak rasional berpusat di cortex cerebri atau bagian luar otak besar yang berwarna abu-abu. Volumenya cukup besar sampai mencapai 80% dari volume seluruh otak. Besarnya volume cortex cerebri memungkinkan manusia berpikir secara rasional dan menjadikan manusia sungguh sebagai manusia. Semakin beradab dan berbudaya, manusia akan menggeser perilakunya lebih ke pusat berpikir rasional. Cortex cerebri ini terbelah menjadi otak kiri dan kanan. Otak kiri dengan cara berpikir yang linier dan sekuensial, dan otak kanan dengan kreativitasnya akan bekerjasama untuk memahami dan memecahkan permasalahan secara holistik. Sistem pendidikan yang baik harus dapat menyediakan model pembelajaran untuk optimalisasi kedua belah otak. Quantum learning berpijak pada prosedur kerja dua belahan otak ini (Agus, 2001).

Dalam cortex cerebri terdapat lobus frontal (di dahi), lobus occipital (di kepala bagian belakang), lobus temporal (di seputaran telinga), dan lobus parietal (di puncak kepala). Lobus frontal bertanggung jawab untuk kegiatan berpikir, perencanaan, dan penyusunan konsep. Lobus temporal bertanggung jawab terhadap persepsi suara dan bunyi. Memori dan kegiatan berbahasa (terutama pada

(12)

12 otak kiri) juga menjadi tanggung jawab lobus ini. Lobus parietal bertanggung jawab juga untuk kegiatan berpikir terutama pengaturan memori. Bekerjasama dengan lobus occipital ia turut mengatur kerja penglihatan. Lobus-lobus menjadi penting karena mereka menyokong cortex cerebri yang mengemban fungsi vital terutama untuk berpikir rasional dan daya ingat. Lobus-lobus itu lebih terkuak keberadaannya ketika Vilyamir Ramachandran, seorang dokter Amerika keturunan India bersama timnya dari Universitas California menemukan bagian otak yang bertanggung jawab terhadap respon spiritual dan mistis manusia (Taufiq, 2003). Mereka menyebutnya “God Spot” atau noktah Tuhan yang berlokasi di lobus temporal. Di lobus temporal ini juga terjadi pemaknaan dari apa yang didengar dan dicium.

Seperti telah disebut, bahwa pendidikan yang ada sekarang terlalu berfokus ke otak kiri, padahal untuk menjadi pintar otak kanan harus diberi pekerjaan seperti otak kiri. Otak kiri dengan kata-kata dan bahasa, sedangkan otak kanan dengan musik, gambar, dan warna. Ruangan kelas harus disulap menjadi ruangan yang santai dengan nuansa musik lembut, bau wangi, dan rasa humor tinggi.

Pemanfaatan pendekatan otak secara keseluruhan (Whole Brain Approach) dengan mengacu pada belahan otak kiri dan kanan akan secara jelas memperlihatkan tidak dapatnya dipisahkan masalah kognisi dengan emosi sebagai satu kesatuan. Memahami emosi dari peserta didik merupakan salah satu kunci untuk membangun motivasi belajar mereka. Jika informasi hanya dikemas dalam bentuk kata, ia hanya disimpan dalam otak kiri, sedangkan apabila dikemas juga dalam bentuk gambar yang penuh warna, otak kanan juga akan ikut menyimpannya. Dengan demikian informasi yang disajikan dalam paduan kata dan gambar akan lebih cepat terserap dan tersimpan (Dryden, 2001).

Kedua sisi otak dihubungkan melalui corpus callosum, saklar yang sangat rumit dengan 300 juta sel saraf aktifnya. Ia secara konstan menyeimbangkan pesan-pesan otak kiri dan kanan dengan jalan menggabungkan gambar yang abstrak dan dengan pesan yang konkrit dan logis. Contoh : jika kita mendengarkan lagu, otak kiri akan memproses syairnya, dan otak kanan akan memproses musiknya sehingga tidak heran kalau kita mampu memahami kata-kata lagu dengan begitu mudah dan hafal dengan cepat, karena otak kiri dan kanan keduanya terlibat.

(13)

13 Pengolahan dan penyimpanan informasi akan sangat efektif apabila tubuh dan otak dalam keadaan waspada yang relaks. Meditasi dengan bantuan musik dan aroma yang menenangkan akan mempercepat seseorang untuk masuk kedalam keadaan waspada yang relaks. Pada keadaan tersebut gelombang di otak menjadi lambat (gelombang alfa) yang membuka pintu ke bawah sadar. Aribowo (2002) mengatakan bahwa apa yang kita tanam ke dalam pikiran bawah sadar memungkinkan diwujudkannya imajinasi menjadi kenyataan. Pikiran bawah sadar dapat diibaratkan sebagai taman kehidupan, sedangkan pikiran sadar sebagai tukang kebunnya. Apabila secara sadar kita menanam benih profesionalitas dan perilaku beradab, maka tumbuhlah benih tersebut dan pada saatnya kita dapat memanennya. Berbagai penyelesaian permasalahan kehidupan sehari-hari akan lebih efektif apabila lewat alam bawah sadar.

2. Otak Emosional dan Pembelajaran

Otak emosional berpusat di sistem limbik. Sistem ini secara evolusi jauh lebih tua daripada bagian cortex cerebri. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan otak manusia dimulai dengan pikiran emosional sebelum pikiran rasional berfungsi untuk merespon lingkungannya. Keputusan bijak dan cerdas merupakan hasil kerjasama antara otak emosional dengan otak rasional. Kecerdasan emosional didefinisikan oleh Goleman (1997) sebagai kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi, mengendalikan dorongan hati, dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati, dan berdoa.

Suasana hati positif seperti perasaan senang dan santai sebelum dan pada saat belajar akan mempertinggi efektivitas belajar. Sebagai guru kita sering mengabaikan penciptaan suasana belajar yang menyenangkan. Sehebat apa pun paparan yang disampaikan guru, peserta didik baru menerima sebagai kebenaran apabila emosinya telah mengatakan bahwa hal itu benar. Dengan demikian seseorang baru merasa bahwa sesuatu itu benar atau penting kalau sistem limbik menerima hal itu sebagai sesuatu yang benar dan penting. Untuk itulah pada saat meyakinkan peserta didik, guru harus menggunakan suara lantang dinamis dan ekspresi kuat penuh perasaan. Kecerdasan emosional bertumpu pada hubungan antara perasaan, watak, dan naluri moral. Banyak bukti menunjukkan bahwa sikap

(14)

14 etik dasar dalam kehidupan berasal dari kemampuan emosional yang melandasinya. Kemampuan mengendalikan dorongan hati merupakan basis kemauan (will) dan watak (character), sedangkan cinta sesama merupakan akar dari empati. Goleman (1997) mengatakan bahwa apabila disuruh memilih dua sikap moral yang dibutuhkan untuk zaman sekarang, ia akan memilih kendali diri dan kasih sayang.

Warisan genetik memberi kita serangkaian muatan emosi tertentu yang menentukan temperamen kita, namun pelajaran emosi yang kita peroleh pada saat anak-anak baik di rumah maupun di sekolah dapat membentuk sirkuit emosi dan meningkatkan kecerdasan emosional kita. Sekolah unggulan berlomba untuk menawarkan pengajaran keterampilan sosial dan emosional serta pembentukan watak yang sangat diperlukan untuk menapaki masa depan. Memang kita tidak boleh menyerahkan pendidikan emosi pada nasib, lembaga sekolah harus berusaha mengajarkan kepintaran dan sekaligus kepekaan rasa pada peserta didiknya (Caine, 1991). Kurikulum berbasis kompetensi yang dikelola dengan benar sangat memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan pengajaran tersebut.

Kecerdasan emosional pada dasarnya terdiri atas lima wilayah yaitu:

1) mengenali emosi diri;

2) mengelola emosi;

3) memotivasi diri;

4) mengenali emosi orang lain, 5) membina hubungan.

Pembelajaran dengan model diskusi kelompok memungkinkan peserta didik mengembangkan kelima wilayah kecerdasan emosionalnya. Berbeda dengan IQ, EQ lebih dapat diajarkan dan dikembangkan. Peran pengendalian emosi (penundaan kepuasan) dalam menentukan kualitas hidup telah diteliti pada tahun 1960 di TK Kampus Stanford University oleh Walter Mischel. Pada dasarnya tes tersebut menghadapkan anak pada dua pilihan, sehubungan dengan diletakkannya satu permen coklat dihadapannya. Dia boleh mengambil permen coklat tersebut, namun apabila dia mau menunggu 20 menit lagi, peneliti akan menambahkan satu coklat lagi untuknya. Peneliti meninggalkan ruang dan diam-diam mengamati tingkah laku anak-anak umur empat tahun tersebut. Sungguh perjuangan sangat berat bagi anak umur empat tahun untuk mengekang dorongan hati, dan mengendalikan diri dalam rangka menunda pemuasan hasratnya. Beberapa anak

(15)

15 memilih melewati godaan dengan menutup mata, menaruh kepala di lengan, bernyanyi dan berbicara sendiri tanpa melihat coklat dihadapannya. Beberapa anak yang lain langsung menyambar coklat dihadapannya begitu peneliti selesai bicara. Setelah diikuti, sampai usia remaja, terlihat bahwa anak yang mampu menahan godaan pada umur empat tahun merupakan remaja yang secara sosial lebih cakap, secara pribadi lebih efektif, lebih tegas, dan lebih mampu menghadapi kekecewaan hidup. Mereka tidak mudah hancur, menyerah, atau surut dibawah beban stres, atau bingung bila tertekan. Mereka mencari dan siap menghadapi tantangan, bukannya menyerah sekalipun harus menemui berbagai kesulitan. Mereka percaya diri dan yakin akan kemampuannya, dapat dipercaya dan diandalkan, serta sering mengambil inisiatif dan terjun langsung menangani proyek. Lebih dari sepuluh tahun kemudian, mereka tetap mampu menunda pemuasan demi mengejar tujuan. Sepertiga anak yang tergoda coklat cenderung kurang memiliki sifat-sifat diatas. Waktu remaja mereka cenderung menjauhi hubungan sosial, keras kepala dan peragu, mudah kecewa, menganggap dirinya tak berharga, mundur atau terkalahkan oleh stres, lebih mudah iri hati dan cemburu, menanggapi gangguan dengan cara kasar dan berlebihan. Bertahun- tahun kemudian, mereka masih belum mampu menunda pemuasan. Kemampuan menunda pemuasan sangat besar sumbangannya bagi kemampuan intelektual (Goleman, 1997).

3. Otak Spiritual dan Pembelajaran

Otak spiritual berpusat di noktah Tuhan yang ditemukan oleh Ramachandran di lobus temporal. Pada bagian inilah kesadaran tingkat tinggi manusia yaitu eksistensi diri tereksplorasi. Kesadaran tersebut dibangun oleh adanya sel-sel kelabu dalam otak manusia. Bila sel-sel ini bekerja lahirlah pikiran rasional yang merupakan titik pijak awal menuju kesadaran tingkat tinggi manusia. Ada empat bukti penelitian yang memperkuat dugaan adanya potensi spiritual dalam otak yaitu potensi untuk membentuk kesadaran sejati manusia tanpa pengaruh pancaindra dan dunia luar. Keempat bukti tersebut adalah: 1) Osilasi 40Hz yang ditemukan Denis Pare dan Rudolpho. Dengan alat MEG (Magneto Encephalograph) ditemukan bahwa gerakan-gerakan saraf akan berlangsung secara terpadu pada tingkatan frekuensi 40Hz; 2) Alam bawah sadar kognitif yang ditemukan oleh Joseph de Loux; 3) God Spot pada daerah temporal yang

(16)

16 ditemukan oleh Ramachandran; 4)Somatic Marker yang ditemukan oleh Antonio Damasio (Taufiq, 2003).

Secara biologis Tuhan telah meninggalkan jejaknya dalam diri manusia.

Adanya noktah Tuhan membuat manusia sanggup berpikir dalam kerangka nilai (value). Pelembagaan nilai tersebut secara umum disebut agama dan merupakan sistematisasi dari fungsi spiritual otak. Jadi, ketika seseorang menganut suatu agama, itu berarti ia sedang mewujudkan dimensi spiritual dari otaknya. Demikian halnya ketika seseorang tidak menganut agama secara formal, tetapi mewujudkan nilai dalam perilaku hidupnya, ia juga sedang mewujudkan dimensi spiritual otaknya. Dengan demikian optimalisasi otak spiritual akan membuat seseorang hidup lebih baik dan bermakna, apa pun agamanya.

Optimalisasi otak spiritual paling tidak menghidupkan tiga komponen (Zohar, 2000), yaitu:

1) kejernihan berpikir rasional;

2) kecakapan emosi;

3) ketenangan hidup.

Otak spiritual, tempat terjadinya kontak dengan Tuhan, hanya akan berperan jika otak rasional dan pancaindra telah difungsikan secara optimal. Dengan demikian seorang pencari ilmu tidak akan mendapatkan hidayah dari Tuhan jika ia tidak memaksimalkan fungsi otak rasional dan pancaindranya. Kesadaran diri sesungguhnya merupakan fungsi internal dari otak manusia. Tanpa rangsangan dari luar sekalipun kesadaran diri tetap ada. Sistem pendidikan harus membuka kesempatan lebar bagi pemenuhan rasa rindu untuk menemukan nilai dan makna dari apa yang diperbuat dan dialami, sehingga orang dapat memandang kehidupan dalam konteks yang lebih bermakna. SQ pada dasarnya adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai. SQ yang kuat akan menjadi landasan kokoh untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif (Zohar, 2000). SQ digunakan untuk bergulat dengan ihwal jahat dan baik, serta untuk membayangkan kemungkinan yang belum terwujud.

Salah satu cara mengoptimalkan otak spiritual adalah melihat permasalahan secara utuh, mengkaji yang tersirat dari yang terlihat, dan merenungkannya.

Berdoa dengan berbagai cara pada berbagai agama merupakan sarana ampuh untuk mengoptimalkan otak spiritual dan cara ampuh untuk berbicara maupun mendengar apa yang dikatakan Tuhan. Cara ini akan mendukung pemecahan

(17)

17 masalah dengan otak emosional-intuitifspiritual. Area prefrontal otak (kira-kira di belakang pelipis) berperan penting sebagai alarm tanda bahaya. Semua daerah di otak mempunyai hubungan dengan area prefrontal, baik melalui saraf maupun neurotransmiter. Area prefrontal juga memiliki mekanisme unik untuk mempertahankan kehidupan sadar manusia. Jalinan saraf dan kimiawi memungkinkan area prefrontal berperan dalam dua keadaan baik sadar maupun tak sadar. Pada keadaan bawah sadar, pengaturan firasat atau intuisi terjadi. Inilah sumber alarm dan sekaligus sumber pemecahan bagi kasus-kasus yang tak dapat diselesaikan secara rasional.

Fakta anatomis lain menunjukkan adanya hubungan khusus antara lobus temporal dan sistem limbik. Sistem ini memberi nuansa emosional pada setiap kejadian spiritual. Amigdala yang terletak di ujung sistem limbik merupakan komponen yang sangat penting dan ternyata berhubungan secara timbal balik dengan lobus temporal. Dalam sistem ini juga ada komponen memori yang disebut hipokampus. Ketika amigdala dirangsang, ia memberi pengaruh sampai ke lobus temporal. Demikian pula sebaliknya.

C. Optimalisasi Otak dalam Sistem Pendidikan

Optimalisasi otak pada dasarnya adalah menggunakan seluruh bagian otak secara bersama-sama dengan melibatkan sebanyak mungkin indra secara serentak.

Penggunaan berbagai media pembelajaran merupakan salah satu usaha membelajarkan seluruh bagian otak, baik kiri maupun kanan, rasional maupun emosional, atau bahkan spiritual. Permainan warna, bentuk, tekstur, dan suara sangat dianjurkan. Ciptakan suasana gembira karena rasa gembira akan merangsang keluarnya endorfin dari kelenjar di otak, dan selanjutnya mengaktifkan asetilkoloin di sinaps. Seperti diketahui sinaps yang merupakan penghubung antar sel saraf menggunakan zat kimia terutama asetilkolin sebagai neurotransmiternya. Dengan aktifnya asetilkolin maka memori akan tersimpan dengan lebih baik. Lebih jauh suasana gembira akan mempengaruhi cara otak dalam memproses, menyimpan, dan mengambil kembali informasi.

Tiga hal penting dalam belajar menurut Susan (1997) adalah:

1) Bagaimana mengambil dan menyimpan informasi dengan cepat, menyeluruh, dan efisien;

2) Bagaimana menggunakannya untuk menyelesaikan masalah,

(18)

18 3) Bagaimana menggunakannya untuk menciptakan ide.

Optimalisasi dapat dilakukan dengan membuatnya dalam keadaan waspada yang relaks sebelum dimasuki informasi. Musik yang menenangkan dan latihan pernapasan dapat menghilangkan pikiran yang mengganggu dan mengkondisikan otak agar waspada dan relaks. Musik juga dapat mengaktifkan otak kanan untuk siaga menerima informasi dan membantu memindahkan informasitersebut ke dalam bank memori jangka panjang. Kondisi relaks dan waspada merupakan pintu masuk ke bawah sadar. Jika informasi dibacakan dengan dibarengi musik dan aroma menenangkan, maka akan mengambang dibawah sadar dan ditransmisikan dengan lebih cepat serta disimpan dalam “file” yang benar.

Disamping membutuhkan kondisi waspada yang relaks, otak juga membutuhkan oksigen untuk bekerjanya. Berhentinya pasokan oksigen akan merusak sel-sel saraf di otak. Ruang kelas dengan penyediaan oksigen yang berlimpah sangat kondusif untuk belajar. Pohon dengan daun rimbun di luar kelas dapat menjadi sumber oksigen. Olahraga yang dilakukan teratur, tidak hanya akan membugarkan tubuh namun juga akan memperkaya darah dengan oksigen dan meningkatkan pasokan oksigen ke otak. Bernafas dalam sebelum belajar sangat dianjurkan. Otak juga membutuhkan makanan yang berujud glukosa. Glukosa dibutuhkan untuk menghasilkan aliran listrik. Seperti diketahui setiap pesan bergerak seperti aliran listrik di sepanjang sel saraf untuk kemudian berubah menjadi aliran kimiawi ketika meloncat melalui sinaps. Buah-buahan segar sangat banyak mengandung glukosa.

Makanan yang kaya akan lesitin (kacang-kacangan) akan meningkatkan produksi asetilkolin. Asam linoleat atau lemak tak jenuh yang terdapat di minyak jagung dan alpokat dapat mendukung perbaikan selubung myelin yang bertanggung jawab untuk loncatan listrik di saraf.

Kekurangan zat besi (sayuran hijau) akan menurunkan rentang perhatian, menghambat pemahaman, dan secara umum mengganggu prestasi belajar. Kurangnya kalium (buah dan sayuran) akan mengurangi aliran listrik di otak sehingga akan menurunkan jumlah informasi yang dapat diterima otak. Dengan demikian makan pagi dengan mengkonsumsi banyak buah, makan siang dengan prinsip empat sehat, dan makan malam dengan menambahkan susu akan mengoptimalkan otak. Demikian juga dengan olahraga teratur dan minum banyak air putih sebagai penghilang racun akan mendukung kerja otak.

(19)

19 Rekayasa lingkungan belajar yang nyaman dan relas akan memudahkan pengambilalihan tugas dari otak kiri yang rasional ke otak intuitif yang menerima asupan informasi dari bawah sadar. Intuisi adalah persepsi yang berada diluar pancaindra meskipun tetap bukan hal mistik, karena tetap bersifat logis. Menyimpan informasi dengan pola asosiatif dan tidak linier merupakan langkah pertama menuju pengembangan kemampuan otak yang belum dikembangkan. Belajar melalui praktik akan melibatkan banyak indra sehingga memori akan lebih mantap. Setiap orang memiliki dominasi indra secara individual. Apabila guru dapat mengenali dominasi indra pada masing-masing peserta didiknya maka akan dapat memberi layanan dengan tepat.

D. Perkembangan Emosi Anak Usia Dini 1. Pengertian Perkembangan

Perkembangan(development) adalah bertambahnya kemampuan (skill) dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan, sebagai hasil dari proses pematangan. Disini menyangkut adanya proses diferensiasikan dari sel-sek tubuh, jaringan tubuh, organ-organ dan sistem organ yang berkembang sedemikian rupa sehingga masing-masing dapat memenuhi fungsinya. Termasuk juga perkembangan emosi, intelektual, dan tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya (Soetjiningsi, 1995).

Periode penting dalam tubuh kembang anak adalah masa balita, karena pada masa ini pertumbuhan dasar yang akan mempengaruhi dan menentukan perkembangan anak selanjutnya. Perkembangan adalah proses perubahan dalam pertumbuhan pada suatu waktu sebagai fungsi kematangan dan interaksi dengan lingkungan. Dalam perspektif psikologi, perkembangan merupakan perubahan progresif yang menunjukan cara tingkah laku dan berinterakasi dengan lingkungannya (Fakhrudin, 2010).

Sedangkan menurut Jamaris dalam (Sujiono, 2009), perkembangan merupakan suatu proses yang bersifat kumulatif. Artinya, perkembangan terdahulu akan menjadi dasar bagi perkembangan selanjutya. Oleh sebab itu, lanjut Jumaris, apabila terjadi hambatan pada perkembangan terdahulu, maka perkembangan selanjutnya akan mendapatkan hambatan.

Perkembangan dapat diartikan sebagai “perubahan yang progresif dan kontinyu (berkesinambungan) dalam bentuk individu dari mulai lahir sampai mati”. Perngertian lain dari perkembangan adalah perubahan-perubahan yang

(20)

20 dialami individu atau organisme menunju tingkat kedewasaannya atau kematangan (maturation) yang berlangsung secara sistematis, progresif, dan berkesinambungan, baik menyangkut fisik (jasmaniah) maupun psikis (rohaniah) (Yusuf, 2008).

Perkembangan adalah perubahan psikologis sebagai hasil dari peroses pematangan fungsi psikis dan fisik pada diri anak, yang ditunjang oleh faktor lingkungan dan proses belajar dalam peredaran waktu tertentu menuju kedewasaan dari lingkungan yang banyak berpengaruh dalam kehidupan anak menuju dewasa. Perkembangan menandai maturitas dari organ-organ dan sistem- sistem, prolehan keterampilan, kemampuan yang lebih siap untuk beradaptasi terhadap stres dan kemampuan untuk memikul tanggung jawab maksimal dan memperoleh kebebasan dalam mengekperesikan kreativitas (Supriyadi, 2010).

2. Pengertian Emosi

Emosi merupakan suatu keadaan atau perasaan yang begejolak dalam diri individu yang sifatnya didasari. Oxford English Dictionary mengartikan emosi sebagai sesuatu kegiatan atau pergolakan pikiran, prasaan, nafsu atau setiap keadaan mental yang hebat. Selain itu, Daniel Goleman merumuskan emosi sebagai sesuatu yang merujuk pada suatu prasaan dan pikiranpikiran khasnya, sesuatu keadaan biologis dan psikologis, serta serangkaian kecendrungan untuk bertindak. Emosi dapat dikelompokkan sebagai suatu rasa marah, kesedihan, rasa takut, kenikmatan, cinta, terkejut, jengkel atau malu.

Istilah emosi berasal dari kata “emotus” atau “emovere” atau “mencerca” (to stir up) yang berarti sesuatu yang mendorong terhadap sesuatu, missal emosi gembira mendorong untuk tertawa, atau perkataan lain emosi didefinisikan sebagai suatu keadaan gejolak penyesuaian diri yang berasal dari dalam dan melibatkan hamper keseluruhan diri individu (Sujiono, 2009).

Emosi berkaitan dengan perubahan fisiologis dan berbagai pikiran. Jadi, emosi merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia, karena emosi dapat merupakan motivator perilaku dalam arti menigkatkan, tapi juga dapat mengganggu perilaku internasional manusia (Prawitasari,1995).

Menurut Crow dan Crow (1958), perngertian emosi adalah ‘An emotion, is an affective experience that accompanies generalized inner adjustement and mental and physiological stirredup states in the individual, and that shows it self in his

(21)

21 evert behavior’. Jadi, emosi adalah pengalaman afektif yang digeneralisasikan dalam penyesuaian diri dan mental sehingga dapat menerangkan siapa individu tersebut sesungguhnya dan ditunjukan dalam setiap perilakunya.

Lindsley, berpendapat bahwa emosi disebabkan oleh perkerjaan yang terlampau keras dari susunan syaraf terutama otak, misalnya apabila individu mengalami frustasi, susunan saraf berkerja sangat keras yang menimbulkan sekreasi kelenjar-kelenjar tertentu yang dapat mempertinggi perkerjaan otak, maka hal itu menimbulkan emosi.

Jadi emosi adalah pengalaman afektif yang disertai penyesuaian diri dalam diri individu tentang keadaan mental dan fisik dan berwujud suatu tingkah laku yang tampak. Jadi emosi adalah pengalaman afektif yang disertai penyesuaian dari dalam diri individu tentang keadaan mental dan fisik dan berwujud suatu tingkah laku yang tampak. Emosi sering didefinisikan dalam istilah perasaan (feeling), misalnya pengalaman afektif, kenikmatan atau ketidaknikmatan, marah terkerjut, bahagia, sedih dan jijik. Emosi juga sering berhubungan dengan ekspresi tingkah laku dan respon-respon fidiologis.

3. Fungsi Emosi pada Anak Usia Dini

Pertama, perilaku emosi anak yang ditampilkan merupakan sumber penilaian lingkungan sosial terhadap dirinya. Penilaian lingkungan sosial ini akan menjadi dasar individu dalam menilai dirinya sendiri. Contoh: jika seorang anak sering mengekspresikan ketidaknyamannya dengan menangis, lingkuangan sosialnya akan menilai ia sebagai anak yang “cengeng”. Kedua, emosi yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dapat mempengaruhi interaksi sosial anak melalui reaksi-reaksi yang ditampilkan lingkungannya. Melalui reaksi lingkungan sosial anak dapat belajar untuk membentuk tingkah laku emosi yang dapat diterima lingkungannya. Jika anak melemparkan mainannya saat marah, reaksi yang muncul dari lingkungannya adalah kurang menyukai atau menolaknya. Ketiga, emosi dapat mempengaruhi iklim psikologis lingkungan, artinya jiks ada yang ditampilkan dapat menentukan iklim psikologis lingkungan. Artinya jika ada seorang anak yang pemarah dalam suatu kelompok, maka dapat mempengaruhi kondisi psikologis lingkungannya saat itu. Ketiga, tingkah laku yang sama dan ditampilkan secara berulang dapat menjadi satu kebiasaan. Artinya jika seorang anak yang ramah dan suka menolong merasa senang dengan perilakunya tersebut dan lingkunganpun menyukainya maka anak akan melakukan perbuatan tersebut

(22)

22 berulang-ulang hingga akhirnya menjadi kebiasaan. Keempat, ketegangan emosi yang dimiliki anak dapat mengahambat atau mengganggu aktivitas motorik dan mental anak. Seorang anak yang mengalami stress atau ketakutan menghadapi suatu situasi, dapat menghambat anak tersebut untuk melakukan aktivitas.

Misalnya, seorang anak akan menolak bermain kreasi dengan cat poster karena takut akan mengotori bajunya dan dimarahi orang tua. Kegiatan kreasi dengan cat poster ini sangat baik untuk melatih motorik halus dan indra perabaannya.

4. Karakteristik Perkembangan Emosi pada Anak Usia Dini

Masa anak usia dini disebut juga sebagai masa awal kanak-kanak yang memliki berbagai karakter atau ciri-ciri. Ciri-ciri ini tercermin dalam sebutan- sebutan yang diberikan oleh para orang tua, pendidik, dan ahli psikologi untuk anak usia dini (Masher Riana, 2011: 7). Usia lima tahun pertama adalah masa emas untuk perkembangan anak. Karena pada usia ini anak mengalami masa peka dan kritis (Masher Riana, 2011: 10). Emosi yang berasal dari bahasa latin movere, berarti menggerakkan atau bergerak, dari asal kata tersebut emosi dapat diartikan sebagai dorongan untuk bertindak. Emosi merujuk pada suatu perasaan atau pikiran-pikiran khasnya, emosi dapat berupa perasaan amarah, ketakutan, kebahagiaan, cinta, rasa terkejut, jijik, dan rasa sedih (Mashar, 2015).

Uraian mengenai karakteristik perkembangan emosi anak usia dini memberi gambaran lebih utuh tentang karakter emosi anak, Hurlock (1993) menyatakan bahwa karakter emosi anak usia dini sangat kuat pada usia 2,5-3,5 tahun dan 5,5- 6,5 tahun. Beberapa ciri utama reaksi emosi pada anak usia dini antara lain:

a) Reaksi emosi anak sangat kuat, anak akan merespons suatu peristiwa dengan kadar kondisi emosi yang sama. Semakin bertambah usia anak, anak akan semakin mampu memilih kadar keterlibatan emosinya.

b) Reaksi emosi sering kali muncul pada setiap peristiwa dengan cara yang diinginkannya. Anak dapat bereaksi emosi kapan saja mereka menginginkannya. Kadang tiba-tiba anak menangis saat bosan atau karena suatu kondisi yang tidak jelas. Semakin bertambah usia anak, kematangan emosi anak semakin bertambah sehingga mereka mampu mengontrol dan memilih reaksi emosi yang dapat diterima lingkungan.

c) Reaksi emosi anak mudah berubah dari satu kondisi ke kondisi lain. Bagi seseorang anak sangat mungkin sehabis menangis akan langsung tertawa keras

(23)

23 melihat kejadian yang menurutnya lucu. Reaksi ini menunjukkan spontanitas pada diri anak dan menunjukkan kondisi asli (genuine) di mana anak sangat terbuka dengan pengalaman-pengalaman hatinya.

d) Reaksi emosi bersifat individual, artinya meskipun peristiwa pencetus emosi sama namun reaksi emosinya dapat berbeda-beda. Hal ini terkait dengan berbagai faktor yang mempengaruhi perkembangan emosi terutama pengalaman-pengalamn dari lingkungan yang dialami anak.

e) Keadaan emosi anak dapat dikenali melalui gejala tingkah laku yang ditampilkan. Anak-anak sering kali mengalami kesulitan dalam mengungkapkan emosi secara verbal. Kondisi emosi yang dialami anak lebih mudah dikenali dari tingkah laku yang ditunjukkan.

Pemahaman mengenali karakteristik emosi anak akan sangat membantu orang tua dan pendidik dalam memberi stimulasi atau rangsangan emosi yang tepat bagi anak (Mashar, 2015). Campos mendefinisikan emosi sebagai perasaan atau afeksi yang timbul ketika seseorang berada dalam suatu keadaan yang dianggap penting oleh individu tersebut. Emosi diwakilkan oleh perilaku yang mengekspresikan kenyamanan atau ketidaknyamanan terhadap keadaan atau interaksi yang sedang dialami. Emosi dapat berbentuk rasa senang, takut, marah, dan sebagainya (Nurmalitasari, 2015).

Karakteristik emosi pada anak berbeda dengan karakteristik yang terjadi pada orang dewasa, dimana karakteristik emosi pada anak itu antara lain:

a) berlangsung singkat dan berakhir tiba-tiba, b) terlihat lebih hebat atau kuat,

c) bersifat sementara atau dangkal, d) lebih sering terjadi,

e) dapat diketahui dengan jelas dari tingkah lakunya, f) reaksi mencerminkan individualitas.

Emosi memiki peranan yang sangat penting dalam perkembangan anak, baik pada usia prasekolah maupun pada tahap-tahap perkembangan selanjutnya, karena memiliki pengaruh terhadap perilaku anak. Woolfson menyebutkan bahwa anak memiliki kebutuhan emosional, seperti ingin dicintai, dihargai, rasa aman, merasa kompeten dan mengoptimalkan kompetensinya (Femmi nurmalitasari, 2015: 106).

Terdapat beberapa hal penting dalam perkembangan emosional anak yang perlu dipahami meliputi: (a)usia berpengaruh pada perbedaan perkembangan

(24)

24 emosi, (b)perubahan ekspresi wajah terhadap emosi, (c)menunjukkan emosi yang kompleks, (d)bahasa tubuh, (e)suara dan kata, (f)representasi simbolik, (g)pengetahuan emosi,(h)perubahan usia dalam regulasi emosi, (i)respons pada perasaan lainnya, (j)ikatan emosional dengan yang lain, (k)tahap-tahap perkembangan emosional (Nurmalitasari, 2015).

Perkembangan ciri khas emosi pada anak adalah emosinya kuat, emosi sering kali tampak, emosinya bersifat sementara lainil, dan emosi dapat diketahui melalui perilaku anak (Khairi, 2018). Para psikolog mengemukakan karakteristik perkembangan sosio emosional bahwa terdapat tiga tipe tempramen anak, yaitu:

a. Pertama, anak yang mudah diatur mudah beradaptasi dengan pengalaman baru, senang bermain dengan mainan baru, tidur dan makan secara teratur dan dapat menyesuaikan diri dengan perubahan di sekitarnya.

b. Kedua, anak yang sulit diatur seperti sering menolak rutinitas sehari-hari, sering menangis, butuh waktu lama untuk menghabiskan makanan dan gelisah saat tidur.

c. Ketiga, anak yang membutuhkan waktu pemanasan yang lama, umumnya terlihat agak malas dan pasif, jarang berpatisipasi secara aktif dan seringkali menunggu semua hal diserahkan kepadanya.

Dari pendapat diatas diketahui bahwa kepribadian dan kemampuan anak berempati dengan orang lain merupakan kombinasi antara bawaan dengan pola asuh ketika ia masih anak-anak. Ketika anak berusia satu tahun, senang dengan permainan yang melibatkan interaksi sosial, senang bermain dengan sesama jenis kelamin jika berada dalam kelompok yang berbeda. Namun, ketika berumurur antara 1 s/d 1,5 tahun, biasanya menunjukkan keinganan untuk lebih mandiri yakni melukakan kegiatan sendiri, seperti main sendiri, makan dan berpakaian sendiri, cemburu, tantrum (marah jika kemauan nya tidak di penuhi).

Sedangkan saat usia 1,5 s/d 2 tahun, ia mulai berintraksi dengan orang lain, tetapi butuh waktu untuk bersosialisasi, ia masih sulit berbagi dengan orang lain, sehingga ia akan menangis bila berpisah dengan orang tua nya meski hanya sesaat. Sedangkan saat usia 2,5 s/d 6 tahun, perkembangan emosi mereka sangat kuat seperti ledekan amarah, ketakutan yang hebat iri hati yang tidak masuk akal Karena ingin memiliki barang orang lain dan biasanya terjadi dalam lingkungan keluarga yang besar. Demikian pula dengan rasa cemburu muncul karena kurang nya pehatian yang diterima dibanding dengan yang lainnya, dan terjadi dalam

(25)

25 keluarga yang kecil. Terjadi sebagai akibat dari lama nya bermain, tidak mau tidur siang dan makan terlalu sedikit.

(26)

26 BAB III

PENUTUP A. Kesimpulan

Perkembangan otak anak terus akan tumbuh seiring dengan bertambahnya usia anak. Otak akan berkembang dengan baik jika mendapatkan stimulasi yang tepat, namun sebaliknya otak anak tidak akan berkembang secara maksimal jika tidak mendapatkan stimulasi yang baik. Perkembangan otak yang baik secara anatomis dapat dilihat dari banyaknya rambatan konektivitas antara satu sel dengan sel lainnnya, semakin banyak koneksi yang dibuat oleh sel maka akan semakin baik.

Oleh karena itu untuk mencapai pendidikan yang berkualitas sangat tergantung dari stimulasi dan motivasi pelajar juga kreatifitas pengajar. Anak yang memiliki motivasi tinggi ditunjang dengan pengajar yang mampu mengelolah kecerdasan emosi anak akan membawa pada keberhasilan pencapaian target belajar.

Target belajar dapat diukur melalui perubahan sikap dan kemampuan anak melalui proses belajar.

Desain pembelajaran yang baik, ditunjang fasilitas yang memadai, ditambah dengan kreatifitas pengajar, membangun komunikasi yang baik antar pengajar dengan anak juga akan membuat anak menjadi lebih mudah mencapai target belajar.

Mengembangkan kecerdasan emosional dalam pembelajaran sungguh sangat diperlukan agar pembelajaran berlangsung optimal dan dapat menghasilkan hasil belajar yang maksimal. Dengan demikian keutamaan mengenali emosi anak yaitu melalui cara-cara dan keunggulan motivasi berbasis otak yang akan menjadikan anak menjadi senang belajar.

B. Saran

Dalam mendidik anak hendaknya ditanamkan kecerdasan emosional sejak usia dini yaitu mencakup pengendalian diri, semangat, dan ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri,kesanggupan untuk mengendalikan dorongan hati dan emosi, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir.

(27)

xxvii DAFTAR PUSTAKA

Hosnan. 2016. Etika Profesi. Bogor: Ghalia Indonesia.

Mashar, Riana. 2011. Emosi Anak Usia Dini dan Strategi Pengembangannya. Jakarta:

Kharisma Putra Utama.

Rini, Yuli S. 2013. Pendidikan: Hakekat, Tujuan, Dan Proses. Yogyakarta: Pendidikan Dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta

Sukatin, & dkk. (2020). Analisis Perkembangan Emosi Anak Usia Dini. Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini. Vol. 5, No. 2. 77-90.

Suryana, Dadan. 2021. Pendidikan Anak Usia Dini Teori dan Praktik Pembelajaran. Jakarta:

Kencana.

Susanti, Rini. (2004, Desember). Perkembangan Emosi Manusia.

Wathon, A. 2016. Neurosains Dalam Pendidikan. Jurnal Lentera: Kajian Keagamaan, Keilmuan Dan Teknologi Volume 14, Nomor 1.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar protein dalam pakan buatan dengan kadar yang berbeda pada tiap perlakuan, memberikan perbedaan nyata (P<0,05) terhadap laju

Puji dan syukur kepada Tuhan Yesus atas berkat dan rahmat yang diberikan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dan penyusunan laporan dengan judul

1) Kedua orang tua saya, Ibu Sumarmi dan Bapak Narman tercinta dan Adikku Intan tersayang, terima kasih atas kasih sayang, doa restu dan dukungan baik moral

Dimensi amalan hati, menurut al- Asqalani, terdiri atas 24 cabang, yaitu: (1) Iman kepada Allah, termasuk di dalamnya iman kepada Dzat dan sifat-Nya, mentauhidkannya dengan

Beberapa hal tersebut adalah “persediaan, bahan baku, Economic Order Quantity (EOQ), Safety Stock (SS), dan Reorder Point (ROP)”. 131) mengatakan bahwa

Publikasi ini menyajikan data Ketenagakerjaan, Indeks Konstruksi, Nilai Konstruksi, Nilai Bahan Bangunan, Bangunan menurut jenisnya, Indeks Tendensi Bisnis

tersentralisasi tiap-tiap DMBS single-level adalah proses-proses terpisah yang berjalan pada suatu trusted operating system , dan database multilevel didekomposisikan ke dalam

Adapun tujuan khusus dari kajian ini, di antaranya adalah: (1) Melakukan identifikasi potensi, peluang, tantangan dan isu strategis dalam pembangunan di bidang