• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyelesaian Sertifikat Tanah Waris Dalam Jual Beli Yang Dilakukan Oleh Ahli Waris Lain.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penyelesaian Sertifikat Tanah Waris Dalam Jual Beli Yang Dilakukan Oleh Ahli Waris Lain."

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

i

PENYELESAIAN SERTIFIKAT TANAH WARIS

DALAM JUAL BELI YANG DILAKUKAN OLEH

AHLI WARIS LAIN

NI PUTU ARY WAHYUNDARI NIM. 120 300 5110

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

(2)

ii

AHLI WARIS LAIN

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum

pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

NI PUTU ARY WAHYUNDARI NIM. 120 300 5110

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

(3)
(4)

iv

Panitia Penguji Skripsi

Berdasarkan Surat Keputusan Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana

Nomor : 69/UN14.1.11/PP.05.02/2016

Ketua : Dr. I Ketut Westra, SH.,MH ( ) NIP. 19580917 198601 1 002

Sekretaris : Dr. I Wayan Novy Purwanto, SH.,M.Kn ( ) NIP. 19801028 200801 1 010

Anggota :

1. Ida Bagus Putra Atmadja, SH.,MH ( ) NIP. 19541231 198303 1 018

2. A.A Sagung Wiratni Darmadi, SH.,MH ( ) NIP. 19540720 198303 2 001

3. Suatra Putrawan, SH.,MH ( )

(5)

v

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, atas segala

rahmat dan karunia-Nya skripsi yang berjudul PENYELESAIAN SERTIFIKAT

TANAH WARIS DALAM JUAL BELI YANG DILAKUKAN OLEH AHLI

WARIS LAIN, dapat diselesaikan sebagai tugas akhir mahasiswa sebagai syarat

untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Melalui kesempatan ini tidak lupa penulis sampaikan rasa terima kasih

kepada berbagai pihak yang sangat berperan dalam proses penyelesaian skripsi

ini, diantaranya:

1. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, S.H.,M.H., Dekan Fakultas

Hukum Universitas Udayana.

2. Bapak I Ketut Sudiarta, S.H.,M.H., Pembantu Dekan I Fakultas Hukum

Universitas Udayana.

3. Bapak I Wayan Bela Siki Layang, S.H.,M.H., Pembantu Dekan II Fakultas

Hukum Universitas Udayana.

4. Bapak I Wayan Suardana, S.H.,M.H., Pembantu Dekan III Fakultas Hukum

Universitas Udayana.

5. Bapak Dr. I Wayan Wiryawan, SH.,MH, Ketua Bagian Hukum Keperdataan

Fakultas Hukum Universitas Udayana.

6. Ibu Dr. Ni Nyoman Sukerti SH.,MH, Pembimbing Akademik yang telah

membimbing penulis dari awal kuliah di Fakultas Hukum Universitas

(6)

vi

8. Bapak Dr. I Wayan Novy Purwanto, SH.,M.Kn., Dosen Pembimbing II yang

telah memberikan bimbingan, pengarahan, saran, semangat, dan dukungan

kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan ini.

9. Dewan Penguji Skripsi yang telah meluangkan waktunya untuk menguji

skripsi ini.

10. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah

menuntun dan memberikan ilmu pengetahuan selama kuliah sehingga penulis

dapat menyelesaikan studi ini.

11. Bapak dan Ibu Staff Laboratorium, perpustakaan, dan tata usaha yang telah

memberikan bantuan selama kuliah di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

12. Kepada keluarga penulis I Ketut Windra, Ni Wayan Sutini, serta I Nyoman

Krisna Prima Jaya terimakasih atas doa serta dorongan morilnya yang dengan

penuh kesabaran, pengorbanan, dukungan, perhatian, dan terus menemani

serta memberikan semangat selama penulisan skripsi ini.

13. Kepada sahabat-sahabat penulis : Tenry, Dwi Indah, Wulan, Putri,

Nopitayuni, Ayu, Debby, Beby, Desak, Mirayanthi, Yudhi, teman-teman

kelas B dan terima kasih kepada teman-teman KKN-PPM Periode XI Desa

Bedulu yang telah memberikan semangat untuk menyelesaikan skripsi ini

(7)

vii pendidikan sarjana ini.

Penulis menyadari sepenuhnya masih banyak kekurangan dalam penulisan

hasil penelitian ini, semoga dikemudian hari penulis dapat lebih meningkatkan

lagi kemampuannya. Penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat

bermanfaat.

Denpasar, Maret 2016

(8)
(9)

ix

HALAMAN SAMPUL DALAM ... i

HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... iii

HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI ... iv

HALAMAN KATA PENGANTAR ... v

HALAMAN SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... viii

HALAMAN DAFTAR ISI ... ix

ABSTRAK ... xiii

ABSTRACT ... xiv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Ruang Lingkup Masalah ... 6

1.4 Orisinalitas Penelitian ... 7

1.5 Tujuan Penulisan ... 8

1.5.1 Tujuan umum ... 8

1.5.2 Tujuan khusus ... 9

1.6 Manfaat Penulisan ... 9

1.6.1 Manfaat teoritis ... 10

1.6.2 Manfaat praktis ... 10

1.7 Landasan Teoritis ... 10

(10)

x

1.8.4 Teknik Pengumpulan Data ... 23

1.8.5 Pengolahan dan Analisis Data ... 24

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SERTIFIKAT TANAH, WARIS DAN JUAL BELI 2.1 Sertifikat Tanah ... 25

2.1.1 Pengertian Sertifikat Tanah ... 25

2.1.2 Sifat Pembuktian Sertifikat Sebagai Tanda Bukti Hak ... 27

2.1.3 Jenis-Jenis Sertifikat ... 28

2.1.4 Kekuatan Pembuktian Sertifikat ... 28

2.1.5 Penerbitan Sertifikat ... 29

2.2 Waris ... 33

2.2.1 Pengertian Waris ... 31

2.2.2 Unsur-Unsur Hukum Waris ... 35

2.3 Jual Beli ... 41

2.3.1 Pengertian Jual Beli ... 41

2.3.2 Syarat Sahnya Jual Beli ... 43

2.3.3 Asas Jual Beli ... 43

2.3.4 Subjek dan Objek Perjanjian Jual Beli ... 45

2.3.5 Bentuk-Bentuk Perjanjian Jual Beli ... 45

(11)

xi

AGAR DAPAT DIPERJUALBELIKAN OLEH AHLI

WARIS LAIN

3.1 Upaya Preventif Dalam Penyelesaian Sertifikat Tanah Waris

Agar Dapat Diperjualbelikan Oleh Ahli Waris Lain ... 48

3.1.1 Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dengan Pelaksanaan Peraturan Pemerintan Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah ... 49

3.1.2 Berdasarkan Ketentuan Peraturan Menteria Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah ... 53

3.2 Upaya Represif Dalam Penyelesaian Sertifikat Tanah Waris Agar Dapat Diperjualbelikan Oleh Ahli Waris Lain ... 58

BAB IV AKIBAT HUKUM APABILA DALAM PENYELESAIAN

SERTIFIKAT TANAH WARIS TERJADI SENGKETA

4.1 Akibat Dari Musyawarah Antara Sesama Ahli Waris ... 60

4.2 Akibat Dari Tidak Tercapainya Penyelesaian ... 62

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan ... 66

5.2 Saran ... 67

DAFTAR PUSTAKA ... 68

(12)
(13)

xiii

Tanah mempunyai peranan penting bagi kehidupan manusia, semakin maju suatu masyarakat, kedudukan tanah akan semakin menjadi penting, dan pula menjadi topik dalam hal kebutuhan akan tempat tinggal. Hak milik atas tanah, demikian pula setiap peralihan, pembebanan dengan hak-hak lain, dan hapusnya hak milik atas tanah harus didaftarkan ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat. Namun dalam kenyataannya belakangan ini banyak timbul masalah berupa sengketa tanah akibat pewarisan seperti perebutan hak milik antar sesama ahli waris, penjualan harta warisan tanpa sepengetahuan ahli waris lain, terjadinya sengketa yang mengakibatkan putusnya hubungan kekeluargaan, hingga terjadinya kasus gugat waris yang sampai dibawa ke jalur pengadilan. Berdasarkan uraian tersebut adapun permasalahan yang dibahas adalah Bagaimanakah upaya penyelesaian sertifikat tanah waris agar dapat diperjualbelikan oleh ahli waris lain dan Bagaimanakah akibat hukumnya apabila dalam penyelesaian sertifikat tanah waris terjadi sengketa antara sesama ahli waris perihal proses jual beli tanah. Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan jawaban mengenai Penyelesaian Sertifikat Tanah Waris Dalam Jual Beli Yang Dilakukan Oleh Ahli Waris Lain.

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum empiris dengan bahan hukum primer berupa peraturan perudang-undangan, serta ditunjang dengan bahan hukum sekunder dan tersier terkait dengan permasalahan yang dibahas dan dikumpulkan dengan studi lapangan dan wawancara. Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan, pendekatan fakta, dan pendekatan analisis konsep hukum.

Hasil dari penelitian ini adalah bahwa dalam penyelesaian sertifikat tanah waris harus berdasarkan dengan Pasal 111 Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah dan bilamana terjadi sengketa antara sesama ahli waris perihal jual beli tanah tersebut maka dapat diselesaikan dengan jalan musyawarah maupun gugatan pengadilan. Untuk memberi kepastian hukum atas tanah-tanah yang akan dibeli maka harus di cek terlebih dahulu asal-usul dari tanah yang bersangkutan dan hendaknya agar jual-beli dilakukan dihadapan PPAT.

(14)

xiv

in terms of the need for a place to stay. Property rights to land, as well as any transition, loading with other rights, and the abolishment of the land ownership must be registered at the District Land Office/Municipality. But in reality lately many problems arise in the form of a land dispute as a result of inheritance such as the seizure of property rights among fellow heirs, the sale of inherited property without the knowledge of other heirs, the dispute which led to the breakup of family, until the occurrence of cases of contested inheritance until it is brought to the courts , Based on these descriptions as for the issues discussed was completion certificate How are beneficiaries of land to be bought and sold by the other heirs and How the legal consequences if the completion certificate of land inheritance of a dispute between the heirs about the process of buying and selling land. This study was conducted to obtain answers regarding legal domicile certificate of land inheritance in buying and selling is done by other heirs. This type of research is empirical legal research with the primary legal materials in the form of perudang rules and regulations, and supported by secondary and tertiary legal materials related to the issues discussed and collected by field studies and interviews. The approach taken in this study is the approach of legislation, approaches the facts and the legal concept analysis approach.

Results from this study is that in the settlement of a land certificate of inheritance should be in accordance with Article 111 of the Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 about

Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 about

Pendaftaran Tanah and when a dispute between the heirs about selling and buying land, it can be resolved by way of consensus or court lawsuit. To provide legal certainty to the lands to be purchased then it should at first check the origin of the land in question and that the sale should be conducted before PPAT.

(15)

1

PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang Masalah

Tanah mempunyai peranan penting bagi kehidupan manusia, semakin maju

suatu masyarakat, kedudukan tanah akan semakin menjadi penting, dan pula

menjadi topik dalam hal kebutuhan akan tempat tinggal demikian pula halnya

dengan tanah sebagai tanah garapan, terlebih terhadap suatu daerah yang

mempunyai kecenderungan yang berpenduduk padat.

Hak milik menurut Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960

Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disingkat dengan

UUPA) menyatakan bahwa hak milik adalah hak turun temurun, terkuat, dan

terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan

dalam Pasal 6 yang menyebutkan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi

sosial. Turun temurun menunjukkan bahwa hak tersebut dapat berlangsung terus

selama pemilik masih hidup, dan jika ia meninggal dunia maka hak tersebut dapat

dilanjutkan oleh ahli warisnya.

Hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta

kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi para

ahli warisnya.1 Hukum waris itu sendiri sangat berkaitan dengan pewarisan

dimana mengandung arti bahwa pewarisan adalah perpindahan hak milik kepada

1

(16)

pihak lain karena pemiliknya meninggal dunia2. Peralihan hak milik terjadi demi

hukum artinya dengan meninggalnya pemilik maka ahli warisnya memperoleh

hak milik, peralihan atas hak waris yang berupa tanah melalui surat keterangan

waris yang dibuat oleh para ahli waris, diketahui atau disahkan oleh pejabat yang

berwenang, kemudian dilakukan pendaftaran pada Kantor Pertanahan setempat

agar dicatat dalam buku tanah tentang pemegang hak yang baru yaitu atas nama

ahli waris.

Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya dan adat, termasuk dalam

hal pewarisan, Indonesia memiliki berbagai macam bentuk waris diantaranya

waris menurut hukum Burgelijk Wetboek (selanjutnya disingkat dengan BW), dan

adat. Masing-masing hukum tersebut memilki karakter yang berbeda dengan yang

lain.

Hukum adat waris mempunyai sistem kolektif, mayorat, dan individual.

Sistem waris kolektif yaitu harta warisan dimiliki secara bersama-sama, dan ahli

waris tidak diperbolehkan untuk memiliki secara pribadi. Jika ingin

memanfaatkan harta waris tersebut, harus ada musyawarah dengan ahli waris yang

lain. Sistem waris mayorat yaitu harta waris dimiliki oleh ahli waris yang tertua,

dikelola dan dimanfaatkan untuk kepentingan ahli waris yang muda baik

perempuan atau laki-laki sampai mereka dewasa dan mampu mengurus dirinya

sendiri. Sistem waris individual yaitu harta warisan bisa dimiliki secara pribadi

oleh ahli waris, dan kepemilikan mutlak ditangannya.3

2

Soepomo, 1984, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita cetakan ke-9, Jakarta, h. 82.

3

(17)

Mengenai masalah pewarisan, masyarakat Bali memiliki sistem pewarisan

yang berakar pada sistem kekerabatan patrilinial yang menyebabkan pertalian

kewangsaan lebih dititikberatkan menurut garis keturunan pria. Maka kedudukan

pria lebih diutamakan dari wanita. Pria adalah penerus keturunan bapaknya yang

ditarik dari satu bapak asal, sedangkan wanita disiapkan untuk menjadi anak

orang lain yang akan memperkuat keturunan orang lain. Oleh karena itu apabila

satu keluarga tidak mempunyai anak laki-laki dan tidak mempunyai keturunan

dikatakan “putus keturunan”. Sistem kekerabatan ini di Bali dikenal sebagai

sistem keturunan laki-laki purusha.4

Demikian pula halnya apabila ada peralihan hak, apakah itu merupakan

peralihan hak lewat jual beli, gadai, atau hibah. Bagi peralihan hak lewat jual beli,

gadai, atau hibah, bagi peralihan melalui Adat masih tetap tidak diurus atau

ditandatangani oleh Kadaster, akan sebaliknya semua yang merupakan peralihan

hak diharuskan untuk melalui Notaris.

Hak milik atas tanah, demikian pula setiap peralihan, pembebanan dengan

hak-hak lain, dan hapusnya hak milik atas tanah harus didaftarkan ke Kantor

Pertanahan Kabupaten/Kota setempat. Pendaftaran ini merupakan alat pembuktian

yang kuat Pasal 23 UUPA. Pendaftaran tanah untuk pertama kalinya atas hak

milik diterbitkan tanda bukti hak berupa sertifikat. Sertifikat menurut Pasal 1

angka 20 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 (selanjutnya disingkat

dengan PP No. 24 Tahun 1997) tentang Pendaftaran Tanah adalah surat tanda

bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA untuk

4

(18)

hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas rumah susun, dan

hak tanggungann yang masing-masing sudah dibukukan dalam Buku Tanah yang

bersangkutan.5

Pendaftaran tanah yang bertujuan memberikan jaminan kepastian hukum

dikenal dengan sebutan rechts cadaster/legal cadaster. Jaminan kepastian hukum

yang hendak diwujudkan dalam pendaftaran tanah ini, meliputi kepastian status

hak yang didaftar, kepastian subjek hak, dan kepastian objek hak. Pendaftaran

tanah ini menghasilkan sertifikat sebagai tanda bukti haknya. Kebalikan dari

pendaftaran tanah yang rechts cadaster, adalah fiscaal cadaster, yaitu pendaftaran

tanah yang bertujuan untuk menetapkan siapa yang wajib membayar pajak atas

tanah.6

UUPA mengatur pendaftaran tanah yang bertujuan untuk memberikan

jaminan kepastian hukum. Pendaftaran tanah ini menjadi kewajiban bagi

pemerintah maupun pemegang hak atas tanah. Ketentuan tentang kewajiban bagi

pemerintah untuk menyelenggarakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah

Republik Indonesia diatur dalam Pasal 19 UUPA, yaitu :

(1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah, diadakan

pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut

ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(2) Pendaftaran tersebut dalam ayat 1 pasal ini meliputi :

a. pengukuran, perpetaan, dan pembukuan tanah;

5

Urip Santoso, 2012, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Kencana Prenamedia Group, Jakarta, h. 198.

6

(19)

b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut; dan

c. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat

pembuktian yang kuat.

(3) Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan negara

dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial-ekonomi serta kemungkinan

penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria.

(4) Dalam peraturan pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan

dengan pendaftaran termaksud dalam ayat 1 diatas, dengan ketentuan bahwa

rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.

Pasal 3 huruf a PP No. 24 Tahun 1997 menyatakan tujuan dari pendaftaran

tanah untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada

pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang

terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak

yang bersangkutan. Lebih lanjut untuk memberikan kepastian dan perlindungan

hukum sebagaimana kepada pemegang hak atas tanah yang bersangkutan,

diberikan sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan Pasal 4 ayat (1) PP No. 24

tahun 1997.7

Dari ketentuan-ketentuan tersebut jelaslah bahwa seorang atau beberapa

orang yang memiliki hak atas tanah maka mereka secara hukum dapat

mengalihkan hak mereka kepada orang lain dengan cara menjual. Namun dalam

kenyataannya belakangan ini banyak timbul masalah berupa sengketa tanah akibat

pewarisan seperti perebutan hak milik antar sesama ahli waris, penjualan harta

7

(20)

warisan tanpa sepengetahuan ahli waris lain, pembagian harta warisan yang tidak

proporsional, terjadinya sengketa yang mengakibatkan putusnya hubungan

kekeluargaan, masuknya pihak lain diluar garis keturunan pewaris dalam

pembagian harta warisan, adanya ketidaksepakatan antara masing-masing ahli

waris tentang hukum yang akan digunakan dalam pembagian harta warisan,

hingga terjadinya kasus gugat waris yang sampai dibawa ke jalur pengadilan.

Berdasarkan fenomena-fenomena diatas maka penulis tertarik untuk

membuat skripsi mengenai “PENYELESAIAN SERTIFIKAT TANAH

WARIS DALAM JUAL BELI YANG DILAKUKAN OLEH AHLI WARIS

LAIN.”

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, penulis merumuskan permasalahan

sebagai berikut:

1.2.1 Bagaimanakah upaya penyelesaian sertifikat tanah waris agar dapat

diperjualbelikan oleh ahli waris lain?

1.2.2 Bagaimanakah akibat hukumnya apabila dalam penyelesaian

sertifikat tanah waris terjadi sengketa antara sesama ahli waris perihal

proses jual beli tanah tersebut?

(21)

Untuk menghindari pembahasan yang menyimpang dan keluar dari

permasalahan yang dibahas maka perlu terdapat pembatasan dalam ruang lingkup

masalah, adapun pembatasannya adalah sebagai berikut :

1.3.1. Pertama akan membahas mengenai upaya penyelesaian sertifikat tanah

waris agar dapat diperjualbelikan oleh ahli waris lain.

1.3.2. Kedua akan membahas mengenai akibat hukum yang terjadi apabila

dalam penyelesaian sertifikat tanah waris terjadi sengketa antara

sesama ahli waris perihal jual beli tanah tersebut.

1.4. Orisinalitas Penelitian

Penulis menyatakan dengan sesungguhnya bahwa Skripsi dengan judul

“Penyelesaian Jual Beli Tanah Waris Yang Dilakukan Oleh Ahli Waris Lain” ini

merupakan hasil penelitian, pemikiran dan pemaparan asli penulis. Jika terdapat

referensi terhadap karya orang lain atau pihak lain, maka dituliskan sumber

dengan jelas. Beberapa penelitian dengan jenis yang sama yang ada dalam internet

atau perpustakaan skripsi diantaranya tentang “Penguasaan Hak Atas Tanah Yang

Belum Di Bagi Waris Ditinjau Dari Perspektif Hukum Agraria Nasional” dan

“Kekuatan Mengikat Akta Jual Beli Hak Milik Atas Tanah Yang Dibuat Oleh

Notaris”. Dari kedua penelitian tersebut terdapat perbedaan dengan penelitian ini

karena penelitian ini berfokus pada penelitian tentang “Penyelesaian Jual Beli

Tanah Waris Yang Dilakukan Oleh Ahli Waris Lain”. Berikut terlampir matrik

perbedaan penelitian yang telah ada dengan penelitian ini:

(22)

1 Baiq Lisa

(23)

1.5.1. Tujuan Umum

1. Untuk melatih diri dalam upaya menyatakan pikiran secara tertulis dan

sesuai dengan fakta yang terjadi.

2. Untuk melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya bidang

pendidikan tentang jual beli dan hukum waris di dalam ruang lingkup

hukum perdata.

1.5.2. Tujuan Khusus

Melakukan pengkajian secara cermat dan mendalam perspektif Hukum

Bisnis yaitu:

1. Untuk mengkaji masalah yang berkaitan dengan upaya penyelesaian

sertifikat tanah waris agar dapat diperjualbelikan oleh ahi waris lain.

2. Melakukan identifikasi akibat hukum yang terjadi apabila dalam

penyelesaian sertifikat tanah waris terjadi sengketa antara sesama ahli

waris perihal jual beli tanah tersebut.

1.6. Manfaat Penelitian

1.6.1. Manfaat Teoritis

1. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan sekaligus sebagai

sumbangan pemikiran ilmu khususnya dalam materi mengenai jual beli

tanah dan hak-hak para ahli waris sehingga dapat membantu

mempersiapkan diri sebagai generus penerus yang bewawasan tinggi

untuk masa depan.

2. Untuk memperluas pengetahuan mengenai penyelesaian jual beli tanah

(24)

tentunya berkaitan dengan jual beli tanah waris pada kantor pertanahan

yang bersangkutan.

1.6.2. Manfaat Praktis

1. Memperluas pengetahuan dalam hal mekanisme penyelesaian sertifikat

tanah waris agar nantinya dapat diperjualbelikan oleh ahli waris lainnya

dan mengenai akibat hukum yang terjadi apabila ahli waris lain tidak

setuju jika tanah tersebut diperjualbelikan.

2. Kiranya dapat membantu jika suatu saat dihadapkan pada

penyelesaian kasus serupa yang berkaitan dalam hal jual beli khususnya

jual beli tanah waris.

1.7. Landasan Teoritis

Sehubungan dengan permasalahan yang diajukan maka dipandang perlu

untuk membahas atau mengajukan kerangka teoritis. Kerangka teoritis yang

dimaksudkan tiada lain untuk dapat memberikan landasan-landasan teori terhadap

pembahasan atas permasalahan yang diajukan. Adapun beberapa teori, asas-asas

hukum serta pandangan sarjana sebagai pembenaran teoritis adalah sebagai

berikut :

1. Teori Keberlakuan Kaidah Hukum

(25)

a) Hukum yang imperatif yaitu bersifat a priori harus ditaati, mengikat dan

memaksa. Tidak ada pengecualian seorang pun di mata hukum (a quality

before the law).

b) Hukum yang fakultatif yaitu tidak secara a priori mengikat. Kaidah

fakultatif bersifat sebagai pelengkap.8

Menurut Bentuknya, Kaidah Kaidah Hukum meliputi :

a. Kaidah hukum yang tidak tertulis biasanya tumbuh dalam masyarakat

dan bergerak sesuai dengan perkembangan masyarakat.

b. Kaidah hukum yang tertulis, biasanya dituangkan dalam bentuk tulisan

pada undang-undang dan sebagainya. Kelebihan kaidah hukum tertulis

yaitu adanya kepastian hukum, mudah diketahui dan penyederhanaan

hukum, serta kesatuan hukum.

Teori berlakunya Kaidah Hukum, yaitu sebagai berikut :9

a) Kaidah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan

pada kaidah yang lebih tinggi atau berbentuk menurut cara yang telah

ditetapkan atau apabila menunjukkan hubungan keharusan antara kondisi

dan akibat. Secara filosofis, kaidah hukum berlaku apabila dipandang

sesuai dengan cita-cita masyarakat.

8

Satjipto Rahardjo, 2006, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 189.

9

(26)

b) Kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif,

artinya kaidah tersebut dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa

walaupun tidak diterima oleh warga masyarakat (teori kekuasaan), atau

kaidah tersebut berlaku karena diterima dan diakui oleh masyarakat (teori

pengakuan). Berlakunya kaidah hukum secara sosiologis menurut teori

pengakuan adalah apabila kaidah hukum tersebut diterima dan diakui oleh

masyarakat. Adapun menurut teori paksaan, berlakunya kaidah hukum

apabila dipaksakan oleh penguasa.

c) Kaidah hukum berlaku secara filosofis, artinya sesuai dengan cita cita

hukum sebagai nilai positif yang tertinggi.

d) Kaidah hukum sebaiknya mengandung tiga aspek, yaitu yuridis, sosiologis

dan filosofis. Jika hanya berlaku secara yuridis, kaidah hukum hanya

merupakan hukum yang mati, sedangkan apabila hanya berlaku secara

sosiologis karena dipaksakan, kaidah hukum tidak lebih dari sekedar alat

pemaksa. Apabila hanya memenuhi syarat filosofis, kaidah hukum tidak

lebih dari kaidah hukum yang dicita-citakan.

Menurut Zeven Bargen, berlakunya kaidah hukum secara yuridis, apabila

kaidah hukum itu terbentuk sesuai dengan tata cara atau prosedur yang berlaku.

(27)

apabila pada kaidah hukum terdapat hubungan kausalitas, yakni adanya kondisi

dan konsekuensi.10

Gustav Radbruch berpendapat bahwa dalam keberlakuan kaidah hukum

harus dapat dilihat dari kewenangan-kewenangan pembentuk UU dan faktor

faktor yang memengaruhi berlakunya hukum dalam masyarakat, sehingga hukum

tersebut berlaku efektif.11

Ciri Ciri kaidah hukum yang membedakan dengan kaidah lainnya, yaitu :

1. Bertujuan menciptakan keseimbangan antara kepentingan.

2. Mengatur perbuatan manusia yang bersifat lahiriah.

3. Dijalankan oleh badan-badan yang diakui oleh masyarakat.

4. Bertujuan mencapai kedamaian (ketertiban dan ketenteraman).

Meskipun dalam kehidupan masyarakat terdapat kaidah yang mengatur

tingkah laku manusia, kaidah hukum masih diperlukan karena :

1. Masih banyak kepentingan lain dari manusia dalam pergaulan hidup yang

memerlukan perlindungan karena belum mendapat perlindungan yang

sepenuhnya dari kaidah agama, kesusilaan, kaidah sopan santun, kebiasaan

dan adat.

2. Kepentingan manusia yang telah mendapat perlindungan dari kaidah

kaidah tersebut, dianggap belum cukup terlindung karena apabila terjadi

10

Ibid, h. 53.

11

(28)

pelanggaran terhadap kaidah tersebut, akibat atau ancamannya dipandang

belum cukup kuat.12

2. Teori Kepastian Hukum

Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma. Norma adalah

pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das sollen, dengan

menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma

adalah produk dan aksi manusia yang deliberatif. Undang-undang yang berisi

aturan-aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku

dalam bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama individu maupun

dalam hubungannya dengan masyarakat. Aturan-aturan itu menjadi batasan bagi

masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan terhadap individu.

Adanya aturan itu dan pelaksanaan aturan tersebut menimbulkan kepastian

hukum.13

Menurut Gustav Radbruch, hukum harus mengandung 3 (tiga) nilai identitas,

yaitu sebagai berikut :

a. Asas kepastian hukum (rechtmatigheid). Asas ini meninjau dari sudut

yuridis.

b. Asas keadilan hukum (gerectigheit). Asas ini meninjau dari sudut

filosofis, dimana keadilan adalah kesamaan hak untuk semua orang di

depan pengadilan

12

Ibid

13

(29)

c. Asas kemanfaatan hukum (zwechmatigheid atau doelmatigheid atau

utility).

Tujuan hukum yang mendekati realistis adalah kepastian hukum dan

kemanfaatan hukum. Kaum Positivisme lebih menekankan pada kepastian hukum,

sedangkan Kaum Fungsionalis mengutamakan kemanfaatan hukum, dan sekiranya

dapat dikemukakan bahwa “summum ius, summa injuria, summa lex, summa

crux” yang artinya adalah hukum yang keras dapat melukai, kecuali keadilan

yang dapat menolongnya, dengan demikian kendatipun keadilan bukan

merupakan tujuan hukum satu-satunya akan tetapi tujuan hukum yang paling

substantif adalah keadilan.14

Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu

pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui

perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa

keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan

adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang

boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu.15

Ajaran kepastian hukum ini berasal dari ajaran Yuridis-Dogmatik yang

didasarkan pada aliran pemikiran positivistis di dunia hukum, yang cenderung

melihat hukum sebagai sesuatu yang otonom, yang mandiri, karena bagi penganut

pemikiran ini, hukum tak lain hanya kumpulan aturan. Bagi penganut aliran ini,

14

Dominikus Rato, 2010, Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami Hukum, Laksbang Pressindo, Yogyakarta, h. 59.

15

(30)

tujuan hukum tidak lain dari sekedar menjamin terwujudnya kepastian hukum.

Kepastian hukum itu diwujudkan oleh hukum dengan sifatnya yang hanya

membuat suatu aturan hukum yang bersifat umum. Sifat umum dari aturan-aturan

hukum membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan keadilan

atau kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk kepastian.16

3. Teori Asas Pewarisan

a. Asas Kematian

Asas ini diatur berdasarkan pada Pasal 830 KUH Perdata; “Pewarisan hanya

berlangsung karena kematian”. Dengan perpedoman pada ketentuan pasal di atas

berarti tidak akan ada proses pewarisan dari pewaris ke ahli waris kalau pewaris

belum meninggal dunia.

b. Asas Hubungan Darah dan Hubungan Perkawinan

Asas ini terdapat dalam Pasal 832 ayat (1) dan Pasal 852 a KUH Perdata.

Asas hubungan daerah merupakan salah satu asas yang esensial dalam setiap

sistem Hukum Kewarisan, karena faktor hubungan darah dan hubungan

perkawinan menentukan kedekatan seseorang dengan pewaris, dan menentukan

tentang berhak atau tidaknya bagi seseorang menjadi ahli waris.17

c. Asas Perderajatan

16

Achmad Ali, 2002, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Toko Gunung Agung, Jakarta, h. 82.

17

(31)

Dalam KUH Perdata asas Hukum Kewarisan ini didasarkan pada prinsip; de

naaste in het bloed erf hetgoed. Bila berpedoman pada prinsip di atas, maka yang

berhak mewaris hanyalah keluarga yang lebih dekat dengan pewaris, sekaligus

menentukan pula bahwa keluarga yang lebih dekat derajatnya dari pewaris akan

menutup hak mewarisnya bagi keluarga yang lebih jauh derajatnya.

d. Asas Pergantian Tempat (Plaatsvervulling)

Mengingat asas ini merupakan penerobosan asas ketentuan yang mengatakan

bahwa “yang berhak menerima warisan haruslah ahli waris yang masih hidup

pada waktu si pewaris meninggal dunia (Pasal 836 KUH Perdata), juga asas ini

seolah-olah menyalahi ketentuan bahwa “keluarga yang derajatnya lebih dekat

akan menutup keluarga yang derajatnya lebih jauh”, padahal sesungguhnya asas

ini, malahan menjadi solusi atas kedua ketentuan di atas, sebab bila kedua

ketentuan di atas dijalankan secara ketat, maka dipastikan menimbulkan

ketidakadilan dan ketidakpatutan terhadap cucu yang orang tuanya lebih dahulu

meninggal dunia daripada pewaris, sehingga si cucu tidak menerima harta warisan

yang seharusnya orang tuanya terima sebagai ahli waris, hanya karena orang

tuanya meninggal dunia lebih dahulu.

e. Asas Bilateral.

Asas ini berarti seseorang tidak hanya mewarisi dari garis Bapak saja, akan

tetapi juga mewaris menurut garis ibu, demikian juga dari saudara laki-laki

(32)

antara anak laki-laki dan perempuan dalam hal mewaris, bahkan dengan asas

bilateral ini menetapkan juga suami isteri untuk saling mewaris. 18

Asas Bilateral sama dengan asas individu, selain berlaku dalam Hukum

Kewarisan menurut KUH Perdata, juga berlaku dalam Hukum Kewarisan menurut

Hukum Islam, dan Hukum Adat yakni dalam masyarakat yang menganut sistem

kekerabatan parental.

f. Asas Individual

Sesuai dengan namanya, maka asas ini menentukan tampilnya ahli waris

untuk mewarisi secara individu-individu (perseorangan) bukan kelompok ahli

waris dan bukan kelompok clan, suku atau keluarga. Asas ini mengandung

pengertian bahwa harta warisan dapat dibagi-bagikan pada masing-masing ahli

waris untuk dimiliki secara perseorangan, sehingga dalam pelaksanaan seluruh

harta warisan dinyatakan dalam nilai dan setiap ahli waris berhak menurut kadar

bagiannya tanpa harus terikat dengan ahli waris lainnya.19 Konsekwensi dari

ketentuan ini adalah harta warisan yang sudah dibagi-bagikan atau dialihkan

kepada ahli waris secara perseorangan itu menjadi hak miliknya. Karena itu, asas

ini sejalan dengan ketentuan pada Pasal 584 KUH Perdata bahwa salah satu cara

memperoleh hak milik adalah melalui pewaris.

g. Asas Segala Hak dan Kewajiban Pewaris Beralih Kepada Ahli Waris

18

Abdul Manan, 2006, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Kencana, Jakarta, h. 208.

19

(33)

Yang dimaksudkan segala hak dan kewajiban pewaris dalam asas ini adalah

hak dan kewajiban dalam lapangan harta kekayaan.

Dalam Hukum Kewarisan menurut KUH Perdata, asas ini berhubungan erat

dengan hak saisine, sedang “hak saisine sendiri bersumber dari pemeo hukum

Perancis yang berbunyi: Le mort saisit Le vif, yang maksudnya bahwa bagi yang

meninggal dunia berpegang pada yang masih hidup”. Dengan berpedoman pada

prinsip hukum ini, berarti apabila seseorang meninggal dunia, maka segala harta

kekayaannya, baik aktiva maupun pasiva akan berpindah kepada ahli warisnya.

Berpedoman pada prinsip di atas, maka menurut Wirjono Prodjodikoro.

“layak kalau BW mengenal tiga macam sikap dari ahli waris terhadap harta

warisan, dan dapat memilih salah satu dari tiga sikap itu, yaitu :

1). Menerima seluruhnya menurut hakikat yang tersebut dalam BW (hak dan

kewajiban)

2). Menerima dengan syarat yaitu, hutang-hutangnya

3). Menolak menerima harta warisan.

Dalam hukum adat berlaku ketentuan bahwa, “harta kekayaan sebagai harta

keluarga/kerabat diperuntukkan sebagai dasar hidup materil dari generasi ke

(34)

bahwa, “Hutang-hutang yang ada dan timbul pada dan karena kematian si pewaris

juga merupakan bagian harta peninggalan, meskipun dalam arti negatif”.20

Dalam ketentuan undang-undang, para ahli waris yang telah menerima

warisan hanya diwajibkan memukul beban (utang-utang, kewajiban-kewajiban)

dari pewaris seimbang dengan yang diterima dari warisan. Dalam Pasal 1100

KUH Perdata ditegaskan bahwa, “Para waris yang telah menerima suatu warisan

diwajibkan dalam hal pembayaran utang, hibah wasiat dan lain-lain beban,

memikul bagian yang seimbang dengan apa yang diterima masing-masing dari

warisan”. Kemudian dengan kewajiban melakukan pembayaran yang dipukul

secara perseorangan akan disesuaikan dengan jumlah besar bagiannya dengan

tetap tidak mengurangi hak-hak para berpiutang, termasuk para berpiutang hipotik

atas seluruh harta peninggalan pewaris selama belum terbagi. (Pasal 1101 KUH

Perdata).21

4. Teori Asas-Asas Hak Milik

Mengenai keabsahan dan kehalalan hak milik, telah dikenal dua asas, pertama

asas “Nemo plus juris transfere potest quam ipse habel”, artinya tidak seorangpun

dapat mengalihkan atau memberikan sesuatu kepada orang lain melebihi hak

miliknya atau apa yang dia punyai. Kedua, asas “Nemo sibi ipse causam

20

Ibid

21

(35)

possessionis mutare potest”, artinya tidak seorangpun mengubah bagi dirinya atau

kepentingan pihaknya sendiri, tujuan dari penggunaan objeknya.22

1.8. Metode Penelitian

1.8.1Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam karya ilmiah ini adalah penelitian

hukum empiris, yakni hukum dikonsepkan sebagai suatu gejala empiris yang

dapat diamati dalam kehidupan nyata.23 Dalam konteks ini hukum tdak

semata-mata dikonsepkan sebagai sebagai suatu gejala normatif yang otonom , sebagai

ius constituendum (law as what ought to be), dan tidak pula semata-mata sebagai

ius constitutum ( law as what it is in the book), akan tetapi secara empiris sebagai

ius operatum (law as what it is in society). Hukum sebagai “law as what it is in

society”. Hukum sebagai gejala sosio empirik dapat dipelajari di satu sisi sebagai

suatu independent variable yang menimbulkan efek-efek pada pelbagai kehidupan

sosial, dan di lain sisi sebagai suatu dependent variable yang muncul sebagai

akibat berbagai ragam kekuatan dalam proses sosial (studi mengenai law in

process).24

1.8.2 Sifat Penelitian

Sifat penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah bersifat deskriptif,

penelitian deskriptif secara umum, termasuk juga didalamnya penelitian ilmu

hukum, bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat individu, keadaan,

22

Adrian Sutedi, 2008, Peralihan Hak atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 8.

23

, 2013,Pedoman pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana,hal.79.

24

(36)

gejala, atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala,

atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala

lain di masyarakat.25 Dalam skripsi ini menggali teori-teori, ketentuan peraturan,

norma-norma hukum, karya tulis yang dimuat dalam literature maupun jurnal,

doktrin, serta laporan penelitian yang terdahulusudah mulai ada dan bahkan

jumlahnya cukup memadai sehingga dalam penelitian ini hipotesis boleh ada atau

boleh juga tidak. Penelitian deskriptif dapat membentuk teori-teori baru yang

dapat memperkuat teori yang sudah ada.

1.8.3 Data dan Sumber Data

mengadakan penelitian secara langsung dilapangan yang akan dilakukan dengan

pihak terkait, dalam hal ini yaitu pihak Badan Pertanahan Nasional Kota Denpasar

selaku informan dan pihak ahli waris dari alm. Agung Raka selaku responden.

b. Data Sekunder

Data Sekunder adalah data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan yang

dilakukan untuk menggali data-data yang didasarkan pada literatur-literatur dan

(37)

data-data yang terkait dengan penyelesaian sertifikat tanah waris, peraturan

perundang-undangan terkait, pendapat para sarjana, dan atau artikel yang

diperoleh dari internet. Sumber data sekunder terdiri dari dua bahan hukum yaitu

bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mengikat dan memiliki

kekuatan hukum, seperti peraturan perundang-undangan. Bahan hukum primer

yang digunakan dalam penelitian ini adalah

a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

b. Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960

c. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 yang diganti dengan

Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari

studi kepustakaan yang dilakukan dengan menelaah pendapat pakar hukum yang

dimuat dalam literatur hukum, hasil penulisan yang berupa hasil penelitian para

ahli hukum yang dijadikan dokumen-dokumen hukum.

c. Data Tersier

Data Tersier adalah data yang berupa kompilasi antara data primer dengan data

sekunder yang memberi petunjuk atau penjelas terhadap dataa primer dan data

sekunder seperti kamus hukum dan kamus besar Bahasa Indonesia.

(38)

Dalam pengumpulan data, digunakan tiga cara pengumpulan data yaitu:

1. Teknik Wawancara (interview)

Teknik Wawancara (interview) ini digunakan untuk memperoleh jawaban –

jawaban yang relevan dengan masalah yang sedang diteliti seperti wawancara

dengan ahli waris, dan Badan Pertanahan Nasional Kota Denpasar.

2. Teknik Studi Dokumen

Studi dokumen merupakan teknik awal yang digunakan dalam setiap

penelitian ilmu hukum, baik dalam penelitian normatif maupun penelitian hukum

empiris, karena meskipun aspeknya berbeda namun keduanya adalah penelitian

ilmu hukum yang selalu bertolak dari premis normatif. Studi dokumen dilakukan

atas bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan penelitian.

1.8.6 Pengolahan dan Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik

analisis kualitatif atau yang sering diebut dengan analisis deskriptif kualitatif

maka keseluruhan data yang terkumpul baik dari data primer maupun sekunder,

akan diolah dengan cara menyusun data secara sistematis, digolongkan dalam

pola dan tema, diklasifikasikan, dihubungkan antara satu data dengan data yang

lainnya, dilakukan interpretasi untuk memahami makna data dalam situasi sosial,

dan dilakukan penafsiran dari perspektif peneliti setelah memahami keseluruhan

kualitas data. Proses analisis tersebut dilakukan secara terus menerus sejak

pencarian data di lapangan dan berlanjut terus hingga pada tahap analisis. Setelah

dilakukan analisis secara kualitatif kemudian data akan disajikan secara deskriptif

(39)

25

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG SERTIFIKAT TANAH, WARIS, DAN

JUAL BELI

2.1 Sertifikat Tanah

2.1.1 Pengertian Sertifikat Tanah

Apabila dilihat ketentuan Pasal 19 ayat (1) UUPA yang mengatur tentang

pendaftaran tanah menyebutkan: untuk menjamin kepastian hukum oleh

pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Indonesia menurut

ketentuan yang mengatur dengan peraturan pemerintah.1

Dari ketentuan pasal tersebut, jelas bahwa tujuan diadakan pendaftaran tanah

oleh pemerintah adalah untuk menjamin adanya kepastian hukum. Kepastian

hukum dimaksud meliputi :

- Letak tanah dan luas tanah.

- Status tanah dan orang yang berhak atas tanah.

- Pemberian surat berupa sertifikat sebagai tanda bukti hak atas tanah yang

berlaku sebagai bukti yang kuat dan autentik.

Untuk melaksanakan pendaftaran tanah yang bersifat Nasional, Pemerintah

telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 (selanjutnya

disingkat dengan PP No. 10 Tahun 1961) tentang pendaftaran tanah yang termuat

pada Pasal 17 PP No. 10 Tahun 1961 menyatakan bahwa untuk

menyelenggarakan tata usaha pendaftaran tanah oleh Kantor Pendaftaran Tanah

1

(40)

diadakan pendaftaran tanah, daftar nama, daftar buku tanah, dan daftar surat

ukur.2

Sedangkan menurut Pasal 2 ayat (3) PP No. 10 Tahun 1961 menyebutkan

bahwa setiap surat ukur dibuat rangkap dua (2), yang satu diberikan kepada yang

berhak sebagai bagian sertifikat dan yang lainnya disimpan pada Kantor

Pendaftaran Tanah.3

Daftar surat ukur ini merupakan kumpulan surat ukur, surat ukur yang

menguraikan keadaan, letak, serta luas tanah yang menjadi obyek suatu hak yang

telah didaftar dalam daftar buku tanah, untuk tiap-tiap hak yang dibukukan itu

dibuat salinan dari buku tanah yang bersangkutan. Sedangkan penguraian tentang

tanahnya dibawa surat ukur.

Selanjutnya salinan buku tanah dan surat ukur tersebut telah dijilid menjadi

satu bersama-sama dengan kertas sampul yang bentuknya ditetapkan dengan

peraturan yang disebut dengan sertifikat.

Dengan demikian sertifikat adalah salinan buku tanah dan surat ukur setelah

dijahit/dijilid menjadi satu bersama-sama dengan satu kertas sampul yang

bentuknya ditetapkan oleh Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nassional

dan diberikan atas permintaan yang berhak, sebagai surat tanda bukti hak

sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA yang

menyatakan tentang pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai

alat pembuktian yang kuat.

2

Ibid, h. 50.

3

(41)

2.1.2 Sifat Pembuktian Sertifikat Sebagai Tanda Bukti Hak

Menurut Pasal 32 PP No. 24 Tahun 1997:

(1) Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat didalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan. (2) Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah

atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat tanah tersebut.4

Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa PP No. 24 Tahun

1997 menganut sistem publikasi negatif. Pada sistem publikasi negatif, negara

tidak menjamin kebenaran data yang disajikan. Sistem publikasi negatif berarti

sertifikat hanya merupakan surat tanda bukti hak yang bersifat kuat, bukan

bersifat mutlak. Sehingga data fisik dan data yuridis yang terdapat di sertifikat

mempunyai kekuatan hukum dan harus diterima hakim sebagai keterangan yang

benar selama dan sepanjang tidak ada alat bukti lain yang membuktikannya.5

Sistem publikasi negatif memiliki kelemahan, yaitu pihak yang namanya

tercantum sebagai pemegang hak dalam buku tanah dan sertifikat selalu

menghadapi kemungkinan untuk digugat oleh pihak lain yang merasa memiliki

tanah tersebut. Kelemahan tersebut pada umumnya diatasi dengan menggunakan

lembaga acquisitieve verjaring atau adverse possession. Namun hukum adat yang

(42)

menjadi dasar dari hukum agraria yang berlaku di Indonesia tidak mengenal

lembaga tersebut.

2.1.3 Jenis-Jenis Sertifikat

Peraturan Perundang-undangan yang mengatur mengenai hak atas tanah,

yaitu PP Pendaftaran Tanah dan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996

tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah

mengenal berbagai jenis sertifikat yaitu :

1. Sertifikat Hak Milik;

2. Sertifikat Hak Guna Usaha;

3. Sertifikat Hak Guna Bangunan Atas Tanah Negara;

4. Sertifikat Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak Pengelolaan;

5. Sertifikat Hak Pakai Atas Tanah Negara;

6. Sertifikat Hak Pakai Atas Tanah Hak Pengelolaan;

7. Sertifikat Tanah Hak Pengelolaan;

8. Sertifikat Tanah Wakaf;

9. Sertifikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun;

10. Sertifikat Hak Tanggungan.

2.1.4 Kekuatan Pembuktian Sertifkat

Kekuatan pembuktian sertifikat meliputi 2 hal yaitu :

1. Merupakan alat bukti hak yang kuat, berarti bahwa selama tidak

dibuktikan sebaliknya, data fisik dan data yuridis yang tercantum dalam

(43)

dengan data yang tercantum dalam surat ukur dan buku tanah yang

bersangkutan.

2. Bahwa orang tidak dapat menuntut tanah yang sudah bersertifikat atas

nama orang atau badan hukum, jika selama 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya

sertifikat tersebut, yang bersangkutan tidak mengajukan keberatan secara tertulis

kepada pemegang sertifikat dan kepala kantor pertanahan atau tidak mengajukan

gugatan di Pengadilan, sedangkan tanah tersebut diperoleh orang atau badan

hukum lain tersebut dengan itikad baik dan secara fisik dikuasai olehnya atau

oleh orang badan hukum lain yang mendapat persetujuannya.

2.1.5 Penerbitan Sertifikat

Sertifikat sebagai surat tanda bukti hak, diterbitkan untuk kepentinagan

pemegang hak yang bersangkutan, sesuai denagn data fisik yang ada dalam surat

ukur dan data yuridis yang telah didaftar dalam buku tanah. Memperoleh

sertifikay adalah hak pemegang hak atas tanah, yang dijamin undang-undang.

Menurut PP 10/1961 sertifikat terdiri atas salinan buku tanah yang

memuat data yuridis dan surat ukur yang memuat data fisik hak yang

bersangkutan, yang dijilid menjai satu dalam suatu sampul dokumen menurut PP

24.1997 ini bisa berupa satu lembar dokumen yang memuat data yuridis dan dat

fisik yang diperlukan. Dalm pendaftarn secara sistematik terdapat ketentuan

mengenai sertifikat dalam pasal 69 s/d 71 peraturan menteri 3/1997. Cara

pembuatan sertifikat adalah seperti cara pembuatan buku tanah, dengan

(44)

dicantumakn. Sertifikat hak milik atas satuan rumah susun hak

tanggunganditetapkan oleh UU 16/1985 dan UU4/1996.

Sertifikat hanya boleh diserahkan kepada pihak yang namanya tervantum

dalam buku tanah yang berasngkutan sebagai pemegang hak atau pihak lain

yang dikuasakan olehnya. Dalamhal pemegang hak sudah meninggal dunia,

sertifikat diterimakan kepada ahli warisnya atau salah seorang ahli waris dengan

persetujuan para ahli waris yang lain. Sertifikat tanah wakaf siserahkann kepada

nadzirnya.

Mengenai hak atas tanha atau hak milik atas satuan rumah susun

kepunyaan bersama beberapa orang atau badan hukum diterbitkan stu sertifikat,

yang diterimakan kepada salah satu pemegang hak bersama ataspenunjukan

tertulis para pemegang hak bersama yang lain. Surat penuunjukan tersebut tidak

diperlukan bagi pemilikan bersama suami isteri.

Mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun

kepunyaan bersama dapat diterbitkan sertifikat sebnayak jumlah pemegang hak

bersama untuk diberikan kepada tiap pemegang hak bersama untuk diberikan

kepadtiap pemegang hak bersama yang bersangkutan, yang memuat nama serta

besrnya bagian masing-masing dari hak bersama tersebut. Dengan adanya

ketentuan ini masing-masing akan dengan mudah dapat melakukan pebuatan

hukum mengenai bagian haknya itu, tanpa perlu mengadakan perubahan pada

surat tanda bukti hak para pemegang hak bersama yang bersangkutan. Kecuali

kalau secar tegas adalarangan untuk berbuat demikian, jika tidak ada persetujuan

(45)

Penerbitan sertifikat dimaksudkan agar pemegang hk dapat denagn mudah

membuktikan haknya. Oleh karena itu sertifikat merupakan alat pembuktian

yang kuat, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 19 UUPA. Sehubungan dengan

itu apabila masih ada ketidak pastian mengenai hak atas tanah yang

bersangkutan, yangg ternyata dari masih adanya catatan dalam pembukuannya,

pada prinsipnya sertifikat belum dapat diterbitkan. Namun apabila catatan itu

hanya mengenai data fisik yang belum lngka,tetapi tidak disengketaan,sertifikat

dapat diterbitkan. Data fisik yang tidak lengkap itu adalh apabila data fisik

bidang tanah yang bersangkutan merupukan hasil pemetaan sementara,

sebagaiman dimaksudkan dalam pasal 19 ayat 3.

Dalam pasal 32 dan penjelasannya diberikan interpretasi otentik mengenai

pengertian sertifikat sebagi alat pembuktian yang kuat yang ditentukan

dalamUUPA dan penerapan lembaga “rechtsverwerking’ untuk mengatasi

kelemahan sistem publikasi negatif yang digunakan dalam penyelenggarakan

pendaftaran tanah menurut UUPA. Hal tersebut telah di uraikan dalam uraian

207.

Dalam pasal 57 s/d 60 diberikan ketentuan mengenai penerbitan sertifikat

pengganti .mengenai penerbitan sertifikat pengganti terdapat ketentuannya lebih

lanjut dalam pasal 137 s/d 139 peraturan menteri 3/1997. Untuk penerbitan

sertifikat pengganti tidak dilakukan pengukuran maupun pemerikasaan tanah

dan motor hak tidak diubah.

a. Atas permohonan pemegang hak diterbitkan sertifikat baru, sebagai

(46)

sertifikat yang tidak digunakan lagi. Sertifikat pengganti juga dapat diterbitkan

sebagai pengganti sertifikat yang tidak diserahkan kepada pembeli lelang dalam

suatu lelang eksekusi. Prosedurnya lebih sederhana dari pada yang diatur dalam

PP 10/1961.

b. Permohonan hanya dapat diajukan oleh pihak hak yang namanya

tercantum sebagai pemegang hak dalam buku tanah yang bersangkutan.

Hilangnya sertifikat yang dimintakan pengganti dengan menyerahkan akta

PPAT diatas, harus terjadi setelah dilakaukannya pemindahan hak atau

terjadinya peralihan hak yang bersangkutan. Pad waktu di buatnya akta oleh

PPAT sertifikat yang bersangkutan harus masih ada. Tanpa penyerahan sertifikat

yang asli PPAT wajib menolak permohonan pembuat aktanya. Maka

permohonan sertifikat pengganti harus disertai keterangan dari ppat yang

membuat aktanya, bahwa pada waktu di buat akta sertifikat tersebut masih ada.

Dalam hal pemegang hak atau penerima hak yang dimaksudkan diatas

sudah warisnya, dengan menyrahkan surat tanda bukti sebagai ahli waris.

c. Penggantian sertifikat yang rusak atau pembaharuan blankonya dapat

segera dilakukan denagn peyerahan sertifikat yang diganti.

Tetapi penggantian seryifikat yang hilang harus memulai tata cara

mencegah penyalagunaan kemungkinan penerbitan sertifikat penggantinya.

Permohonanya harus disertai pernaytaan sumpah oleh pemohon di hadapan

kepala kantor pertanahan atau penjabat yang diunjukannya, mengenai hilangnya

(47)

satu sura kabar harian setempat atas biaya pemohon, untuk memberi kesempatan

kepada pihak yang berkepentingan mengajukan keberatan.

d. Penganntian sertifikat dicatat buku tanah yang bersangkutan. Oleh

kepala kantor pertanhan diadakan pengumuman mengenai telah diterbitkannya

sertifikat pengganti tersebut dan tidak berlakunya lagi sertifikat yang lama dalam

salah satu surat kabarharian setempat atas biaya pemohon.

e. Sertifikat pengganti diserahkan kepada pihak yang memohon

penggantian atau pihak yang lain yang diberi kuasa olehnya untuk menerimanya

2.2 Waris

2.2.1 Pengertian Waris

Waris itu baru akan timbul apabila ada peristiwa kematian pada seseorang

anggota keluarga. Apabila orang yang meninggal itu memiliki harta kekayaan,

maka yang menjadi pokok persoalan bukanlah peristiwa kematian itu, melainkan

harta kekayaan yang ditinggalkannya.6 Dalam arti siapa yang berhak atas harta

kekayaan yang ditinggalkannya, siapakah yang wajib menanggung dan

membereskan hutang-hutang almarhum jika ia meninggalkan hutang yang

menjadi kewajibannya.

Dengan demikian maka waris disatu sisi lain berakar pada harta kekayaan.

Hukum waris berakar pada keluarga itu tidak terlepas dari siapa yang berhak

menjadi ahli waris, sedangkan berakar pada harta kekayaan yang ditinggalkan.

6

(48)

Dalam KUH Perdata dalam hal hukum waris tidak dibedakan antara anak

laki-laki dan anak perempuan, antara suami dan istri. Semuanya berhak mewaris,

bagian anak laki-laki sama dengan bagian anak perempuan. Begitu juga bagian

seorang istri atau suami sama dengan anak jika dari perkawinan tersebut

dilahirkan anak.7

Hukum waris perdata apabila dihubungkan dengan sistem kewarisan,

maka KUH Perdata menganut sistem kewarisan individual artinya sejak

terbukanya antara para ahli waris dan tiap ahli waris berhak menuntut bagian

warisan yang menjadi haknya.

Dengan demikian maka sistem kewarisan yang dianut oleh KUH Perdata

adalah sistem kewarisan individual bilateral dimana setiap ahli waris berhak

menuntut pembagian harta warisan dan memperoleh bagian yang menjadi haknya,

baik harta warisan dari ibunya maupun harta warisan dari ayahnya.8

Menurut Mr. A. Pitlo Hukum waris adalah suatu rangkaian

ketentuan-ketentuan dimana berhubungan dengan meninggalnya seseorang.

Akibat-akibatnya di dalam bidang kebendaan diatur yaitu akibat dari beralihnya harta

peninggalan dari seseorang yang meninggal, kepada ahli waris, baik didalam

hubungannya antara mereka sendiri, maupun dengan pihak ketiga.9

Hukum waris tidak bisa dipisahkan dengan masalah hukum adat waris dan

masalah hukum adat waris tidak dapat dipisahkan dengan hukum adat

kekeluargaan, karena sistem kekeluargaan yang dipergunakan membawa akibat

(49)

kepada penentuan aturan-aturan tentang harta warisan. 10 Seperti diketahui bahwa

di dalam lingkup harta warisan tentunya terdapat pewaris dan ahli waris. Antara

pewaris, ahli waris, dan harta warisan tidak dapat dipisahkan.

2.2.2 Unsur Hukum Waris

1. Pewaris yaitu seorang yang memiliki harta kekayaan dan meneruskan

atau mengoperkan harta tersebut kepada seseorang atau beberapa orang sebagai

ahli waris.

Syarat-syarat pokok bagi seorang untuk dapat membuat wasiat pada

umumnya adalah sama dengan syarat pokok bagi orang untuk melakukan

perbuatan hukum pada umumnya yaitu bahwa orang itu harus mampu melakukan

dan menentukan kemauannya secara bebas merdeka tanpa mendapatkan

kekerasan atau tekanan dari manapun juga. Syarat tersebut adalah :

a. Pikiran sehat.

b. Berumur cukup

c. Dalam pewarisan tidak ada tekanan dari siapapun.11

Seorang pewaris sebelum ia meninggal dunia mempunyai hak dan

kewajiban tentang apa yang akan ia nyatakan sebelum ia meninggal dunia.

Adapun hak dan kewajiban dari pewaris, sebagai berikut :

a. Hak Pewaris

10

Tjokorda Raka Dherana, 1975, Beberapa Segi Hukum Adat Waris Bali Majalah Hukum No. 2 Tahun Kedua, Yayasan Penelitian dan Pengembangan Hukum (Law Center), Jakarta, hal. 101.

11

(50)

Hak pewaris timbul sebelum terbukanya harta peninggalan dalam arti

bahwa pewaris sebelum meninggal dunia berhak menyatakan kehendaknya dalam

sebuah testamen/wasiat. Adapun isi dari testamen/wasiat tersebut dapat berupa :

- Erdstelling, yaitu suatu penunjukkan satu atau beberapa orang menjadi

ahli waris untuk mendapatkan sebagian atau seluruh harta peninggalan dari

pewaris. Orang yang ditunjuk dinamakan testamentari erfgenaam (ahli waris

menurut wasiat).

- Legaat, yaitu pemberian hak kepada seseorang atas dasar

testament/wasiat yang khusus. Adapun pemberian tersebut berupa :

1. Hak atas satu atau beberapa benda tertentu.

2. Hak atas seluruh dari satu macam benda tertentu.

3. Hak vruchtgebruik atas sebagian atau seluruh warisan yang tercantum

dalam Pasal 957 KUH Perdata.

b. Kewajiban Pewaris

Kewajiban pewaris ialah merupakan pembatasan terhadap haknya yang

ditentukan Undang-Undang. Pewaris harus mengindahkan adanya legitime portie.

2. Sedangkan ahli waris adalah orang yang menggantikan pewaris di

dalam kedudukannya terhadap warisan, baik untuk seluruhnya, maupun untuk

sebagian tertentu.12 Ahli waris menurut undang-undang terdiri dari empat

kelompok :

12

(51)

- Kelompok pertama terdiri dari suami atau istri yang hidup terlama

ditambah anak atau anak-anak serta keturunan dari anak-anak tersebut. Kelompok

ini diatur di dalam Pasal 832 dan Pasal 852 KUH Perdata.

- Kelompok kedua terdiri atas ayah dan ibu kandung (apabila keduanya

masih hidup), ayah atau ibu (apabila salah satunya telah meninggal dunia) dan

saudara atau saudari beserta keturunan dari saudara atau saudari tersebut.

Kelompok kedua ini diatur di dalam Pasal 854 s/d Pasal 857 KUH Perdata.

- Sedangkan kelompok ketiga terdiri atas kakek dan nenek dari garis ibu

dan kakek dan nenek dari garis bapak. Golongan ini diatur di dalam Pasal 850 dan

Pasal 853 KUH Perdata.

- Kelompok terakhir (keempat) terdiri dari sanak keluarga pewaris yang

lainnya dan diatur di dalam Pasal 858 dan Pasal 861 KUH Perdata.

Sekalian seseorang itu termasuk sebagai ahli waris, tetapi belum tentu ia

berhak mewaris. Agar seorang bisa mewaris, harus dipenuhi beberapa syarat yang

meliputi :

a. Ia harus sudah ada pada saat warisan terbuka.

b. Ia termasuk sebagai seorang ahli waris.

c. Ia bersikap menerima warisan.

d. Ia tidak termasuk golongan yang tak patut menjadi ahli waris.

Sedangkan yang termasuk dalam orang yang tidak layak menerima warisan, telah

diterangkan dalam Pasal 828 BW, yaitu :

a. Orang yang telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh si pewaris.

(52)

c. Mereka yang telah memfitnah, bahwa si pewaris telah melakukan kejahatan

yang diancam dengan hukuman, minimal 5 (lima) tahun.

d. Orang yang dengan kekerasan atau perbuatan telah mencegah si pewaris

membuat surat wasiat.

e. Orang yang dengan kekerasan atau perbuatannya telah mencegah si pewaris

mencabut surat warisan.

f. Orang yang telah menggelapkan surat wasiat dari si pewaris.

g. Orang yang telah termasuk surat wasiat dari si pewaris.

h. Orang yang telah memalsukan surat wasiat dari si pewaris.

Syarat sahnya menerima warisan :

a. Ahli waris masih hidup;

b. Ahli waris tidak dihukum karena dipersalahkan membunuh atau

mencoba membunuh pewaris;

c. Ahli waris sehat jasmani maupun rohani.

Selain ahli waris dan pewaris dalam kitab Undang-Undang Hukum

Perdata (KUH Perdata) , terdapat adanya :13

a. suatu fidel comis, yaitu suatu pemberian warisan kepada seseorang ahli waris

dengan ketentuan bahwa ia berkewajiban menyimpan warisan itu dan setelah

lewatnya suatu waktu, warisan itu harus diserahkan kepada orang lain. Cara

pemberian warisan ini oleh undang-undang disebut sebagai pemberian warisan

secara melangkah.

13

(53)

b. Executeur testamentair, yaitu pelaksana wasiat yang ditunjuk oleh si pewaris

yang bertugas mengawasi pelaksanaan surat wasiat secara sungguh-sungguh

sesuai dengan kehendak pewaris.

c. Bewindvoeder /pengelola, yaitu seorang yang ditentukan dalam wasiat untuk

mengurus kekayaan (harta peninggalan) sehingga para ahli waris/legatariss hanya

menerima penghasilan dari harta kekayaan, yang ada tersebut, hal ini

dimaksudkan agar jangan sampai harta kekayaan (harta peninggalan) tersebut

dihabiskan dalam waktu singkat oleh para ahli waris atau legatariss.

Hak dan Kewajiban Ahli Waris :

Sejauhmana hak-hak ahli waris dalam menentukan sikap terhadap harta

warisan ialah : 14

1. Menerima secara penuh, yaitu dapat dilakukan secara tegas dan

diam-diam. Dengan tegas, yaitu jika penerimaan tersebut dituangkan dalam suatu akta

yang memuat penerimaannya sebagai ahli waris yang sah. Dengan diam-diam,

yaitu jika ia dengan melakukan suatu perbuatan, misalnya dengan mengambil atau

menjual atau juga melunasi hutang-hutang si pewaris.

2. Menerima dengan reserve (hak untuk menukar) atau benefiaciare

aanvaarding, yaitu menerima warisan dengan suatu hak menjadikan pendaftaran

barang-barang warisan hal ini dinyatakan pada panitera pengadilan negeri

ditempat warisan terbuka. Akibat terpenting dari warisan secara beneficiare ini

adalah bahwa kewajiban untuk melunasi hutang-hutang dan beban lain si pewaris

dibatasi sedemikian rupa, sehingga pelunasannya dibatasi menurut kekuatan

14

Referensi

Dokumen terkait

Terkait dengan Perlindungan Konsumen dan Transaksi Elektronik Indonesia telah memiliki Undang- Undang No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Undang- Undang

Nilai total ketakteraturan titik dari graf

Alternatif pemanfaatan limbah dari sisa contoh uji dan bekas uji digunakan sebagai bahan untuk membuat berbagai macam dan jenis produk kerajinan yang berbahan baku tekstil..

Kesimpulan yang dapat penulis ambil setelah melakukan penelitian ini adalah sebagai berikut: terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara kecerdasan intrapersonal

Unsur relasi yang terjadi adalah tidak adanya wawancara yang dilakukan oleh penulis terhadap narasumber isi berita, sehingga tidak dapat mendukung fakta yang telah

Pada kerangka berpikir di atas diketahui bahwa keadilan distributif merupakan perilaku tentang keadilan yang dilakukan oleh perusahaan dalam pemberian kompensasi yang adil dan merata

Evaluasi harus dilakukan secara berkala bagi lingkungan kampus untuk memantau sikap dan perilaku mahasiswa sebagai objek kajian penelitian ini, sehingga kearifan lokal sosial

Bendesa desa bahwa hasil retribusi pengelolahan pasar adat menurut awig-awig pakraman sepenuhnya di kelolah oleh Desa Pakraman Tabola. Akan tetapi dari ketujuh Banjar