i
PENYELESAIAN SERTIFIKAT TANAH WARIS
DALAM JUAL BELI YANG DILAKUKAN OLEH
AHLI WARIS LAIN
NI PUTU ARY WAHYUNDARI NIM. 120 300 5110
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
ii
AHLI WARIS LAIN
Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum
pada Fakultas Hukum Universitas Udayana
NI PUTU ARY WAHYUNDARI NIM. 120 300 5110
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
iv
Panitia Penguji Skripsi
Berdasarkan Surat Keputusan Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana
Nomor : 69/UN14.1.11/PP.05.02/2016
Ketua : Dr. I Ketut Westra, SH.,MH ( ) NIP. 19580917 198601 1 002
Sekretaris : Dr. I Wayan Novy Purwanto, SH.,M.Kn ( ) NIP. 19801028 200801 1 010
Anggota :
1. Ida Bagus Putra Atmadja, SH.,MH ( ) NIP. 19541231 198303 1 018
2. A.A Sagung Wiratni Darmadi, SH.,MH ( ) NIP. 19540720 198303 2 001
3. Suatra Putrawan, SH.,MH ( )
v
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, atas segala
rahmat dan karunia-Nya skripsi yang berjudul PENYELESAIAN SERTIFIKAT
TANAH WARIS DALAM JUAL BELI YANG DILAKUKAN OLEH AHLI
WARIS LAIN, dapat diselesaikan sebagai tugas akhir mahasiswa sebagai syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Udayana.
Melalui kesempatan ini tidak lupa penulis sampaikan rasa terima kasih
kepada berbagai pihak yang sangat berperan dalam proses penyelesaian skripsi
ini, diantaranya:
1. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, S.H.,M.H., Dekan Fakultas
Hukum Universitas Udayana.
2. Bapak I Ketut Sudiarta, S.H.,M.H., Pembantu Dekan I Fakultas Hukum
Universitas Udayana.
3. Bapak I Wayan Bela Siki Layang, S.H.,M.H., Pembantu Dekan II Fakultas
Hukum Universitas Udayana.
4. Bapak I Wayan Suardana, S.H.,M.H., Pembantu Dekan III Fakultas Hukum
Universitas Udayana.
5. Bapak Dr. I Wayan Wiryawan, SH.,MH, Ketua Bagian Hukum Keperdataan
Fakultas Hukum Universitas Udayana.
6. Ibu Dr. Ni Nyoman Sukerti SH.,MH, Pembimbing Akademik yang telah
membimbing penulis dari awal kuliah di Fakultas Hukum Universitas
vi
8. Bapak Dr. I Wayan Novy Purwanto, SH.,M.Kn., Dosen Pembimbing II yang
telah memberikan bimbingan, pengarahan, saran, semangat, dan dukungan
kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan ini.
9. Dewan Penguji Skripsi yang telah meluangkan waktunya untuk menguji
skripsi ini.
10. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah
menuntun dan memberikan ilmu pengetahuan selama kuliah sehingga penulis
dapat menyelesaikan studi ini.
11. Bapak dan Ibu Staff Laboratorium, perpustakaan, dan tata usaha yang telah
memberikan bantuan selama kuliah di Fakultas Hukum Universitas Udayana.
12. Kepada keluarga penulis I Ketut Windra, Ni Wayan Sutini, serta I Nyoman
Krisna Prima Jaya terimakasih atas doa serta dorongan morilnya yang dengan
penuh kesabaran, pengorbanan, dukungan, perhatian, dan terus menemani
serta memberikan semangat selama penulisan skripsi ini.
13. Kepada sahabat-sahabat penulis : Tenry, Dwi Indah, Wulan, Putri,
Nopitayuni, Ayu, Debby, Beby, Desak, Mirayanthi, Yudhi, teman-teman
kelas B dan terima kasih kepada teman-teman KKN-PPM Periode XI Desa
Bedulu yang telah memberikan semangat untuk menyelesaikan skripsi ini
vii pendidikan sarjana ini.
Penulis menyadari sepenuhnya masih banyak kekurangan dalam penulisan
hasil penelitian ini, semoga dikemudian hari penulis dapat lebih meningkatkan
lagi kemampuannya. Penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat
bermanfaat.
Denpasar, Maret 2016
ix
HALAMAN SAMPUL DALAM ... i
HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM ... ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... iii
HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI ... iv
HALAMAN KATA PENGANTAR ... v
HALAMAN SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... viii
HALAMAN DAFTAR ISI ... ix
ABSTRAK ... xiii
ABSTRACT ... xiv
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 6
1.3 Ruang Lingkup Masalah ... 6
1.4 Orisinalitas Penelitian ... 7
1.5 Tujuan Penulisan ... 8
1.5.1 Tujuan umum ... 8
1.5.2 Tujuan khusus ... 9
1.6 Manfaat Penulisan ... 9
1.6.1 Manfaat teoritis ... 10
1.6.2 Manfaat praktis ... 10
1.7 Landasan Teoritis ... 10
x
1.8.4 Teknik Pengumpulan Data ... 23
1.8.5 Pengolahan dan Analisis Data ... 24
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SERTIFIKAT TANAH, WARIS DAN JUAL BELI 2.1 Sertifikat Tanah ... 25
2.1.1 Pengertian Sertifikat Tanah ... 25
2.1.2 Sifat Pembuktian Sertifikat Sebagai Tanda Bukti Hak ... 27
2.1.3 Jenis-Jenis Sertifikat ... 28
2.1.4 Kekuatan Pembuktian Sertifikat ... 28
2.1.5 Penerbitan Sertifikat ... 29
2.2 Waris ... 33
2.2.1 Pengertian Waris ... 31
2.2.2 Unsur-Unsur Hukum Waris ... 35
2.3 Jual Beli ... 41
2.3.1 Pengertian Jual Beli ... 41
2.3.2 Syarat Sahnya Jual Beli ... 43
2.3.3 Asas Jual Beli ... 43
2.3.4 Subjek dan Objek Perjanjian Jual Beli ... 45
2.3.5 Bentuk-Bentuk Perjanjian Jual Beli ... 45
xi
AGAR DAPAT DIPERJUALBELIKAN OLEH AHLI
WARIS LAIN
3.1 Upaya Preventif Dalam Penyelesaian Sertifikat Tanah Waris
Agar Dapat Diperjualbelikan Oleh Ahli Waris Lain ... 48
3.1.1 Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dengan Pelaksanaan Peraturan Pemerintan Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah ... 49
3.1.2 Berdasarkan Ketentuan Peraturan Menteria Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah ... 53
3.2 Upaya Represif Dalam Penyelesaian Sertifikat Tanah Waris Agar Dapat Diperjualbelikan Oleh Ahli Waris Lain ... 58
BAB IV AKIBAT HUKUM APABILA DALAM PENYELESAIAN
SERTIFIKAT TANAH WARIS TERJADI SENGKETA
4.1 Akibat Dari Musyawarah Antara Sesama Ahli Waris ... 60
4.2 Akibat Dari Tidak Tercapainya Penyelesaian ... 62
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan ... 66
5.2 Saran ... 67
DAFTAR PUSTAKA ... 68
xiii
Tanah mempunyai peranan penting bagi kehidupan manusia, semakin maju suatu masyarakat, kedudukan tanah akan semakin menjadi penting, dan pula menjadi topik dalam hal kebutuhan akan tempat tinggal. Hak milik atas tanah, demikian pula setiap peralihan, pembebanan dengan hak-hak lain, dan hapusnya hak milik atas tanah harus didaftarkan ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat. Namun dalam kenyataannya belakangan ini banyak timbul masalah berupa sengketa tanah akibat pewarisan seperti perebutan hak milik antar sesama ahli waris, penjualan harta warisan tanpa sepengetahuan ahli waris lain, terjadinya sengketa yang mengakibatkan putusnya hubungan kekeluargaan, hingga terjadinya kasus gugat waris yang sampai dibawa ke jalur pengadilan. Berdasarkan uraian tersebut adapun permasalahan yang dibahas adalah Bagaimanakah upaya penyelesaian sertifikat tanah waris agar dapat diperjualbelikan oleh ahli waris lain dan Bagaimanakah akibat hukumnya apabila dalam penyelesaian sertifikat tanah waris terjadi sengketa antara sesama ahli waris perihal proses jual beli tanah. Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan jawaban mengenai Penyelesaian Sertifikat Tanah Waris Dalam Jual Beli Yang Dilakukan Oleh Ahli Waris Lain.
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum empiris dengan bahan hukum primer berupa peraturan perudang-undangan, serta ditunjang dengan bahan hukum sekunder dan tersier terkait dengan permasalahan yang dibahas dan dikumpulkan dengan studi lapangan dan wawancara. Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan, pendekatan fakta, dan pendekatan analisis konsep hukum.
Hasil dari penelitian ini adalah bahwa dalam penyelesaian sertifikat tanah waris harus berdasarkan dengan Pasal 111 Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah dan bilamana terjadi sengketa antara sesama ahli waris perihal jual beli tanah tersebut maka dapat diselesaikan dengan jalan musyawarah maupun gugatan pengadilan. Untuk memberi kepastian hukum atas tanah-tanah yang akan dibeli maka harus di cek terlebih dahulu asal-usul dari tanah yang bersangkutan dan hendaknya agar jual-beli dilakukan dihadapan PPAT.
xiv
in terms of the need for a place to stay. Property rights to land, as well as any transition, loading with other rights, and the abolishment of the land ownership must be registered at the District Land Office/Municipality. But in reality lately many problems arise in the form of a land dispute as a result of inheritance such as the seizure of property rights among fellow heirs, the sale of inherited property without the knowledge of other heirs, the dispute which led to the breakup of family, until the occurrence of cases of contested inheritance until it is brought to the courts , Based on these descriptions as for the issues discussed was completion certificate How are beneficiaries of land to be bought and sold by the other heirs and How the legal consequences if the completion certificate of land inheritance of a dispute between the heirs about the process of buying and selling land. This study was conducted to obtain answers regarding legal domicile certificate of land inheritance in buying and selling is done by other heirs. This type of research is empirical legal research with the primary legal materials in the form of perudang rules and regulations, and supported by secondary and tertiary legal materials related to the issues discussed and collected by field studies and interviews. The approach taken in this study is the approach of legislation, approaches the facts and the legal concept analysis approach.
Results from this study is that in the settlement of a land certificate of inheritance should be in accordance with Article 111 of the Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 about
Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 about
Pendaftaran Tanah and when a dispute between the heirs about selling and buying land, it can be resolved by way of consensus or court lawsuit. To provide legal certainty to the lands to be purchased then it should at first check the origin of the land in question and that the sale should be conducted before PPAT.
1
PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang Masalah
Tanah mempunyai peranan penting bagi kehidupan manusia, semakin maju
suatu masyarakat, kedudukan tanah akan semakin menjadi penting, dan pula
menjadi topik dalam hal kebutuhan akan tempat tinggal demikian pula halnya
dengan tanah sebagai tanah garapan, terlebih terhadap suatu daerah yang
mempunyai kecenderungan yang berpenduduk padat.
Hak milik menurut Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disingkat dengan
UUPA) menyatakan bahwa hak milik adalah hak turun temurun, terkuat, dan
terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan
dalam Pasal 6 yang menyebutkan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi
sosial. Turun temurun menunjukkan bahwa hak tersebut dapat berlangsung terus
selama pemilik masih hidup, dan jika ia meninggal dunia maka hak tersebut dapat
dilanjutkan oleh ahli warisnya.
Hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta
kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi para
ahli warisnya.1 Hukum waris itu sendiri sangat berkaitan dengan pewarisan
dimana mengandung arti bahwa pewarisan adalah perpindahan hak milik kepada
1
pihak lain karena pemiliknya meninggal dunia2. Peralihan hak milik terjadi demi
hukum artinya dengan meninggalnya pemilik maka ahli warisnya memperoleh
hak milik, peralihan atas hak waris yang berupa tanah melalui surat keterangan
waris yang dibuat oleh para ahli waris, diketahui atau disahkan oleh pejabat yang
berwenang, kemudian dilakukan pendaftaran pada Kantor Pertanahan setempat
agar dicatat dalam buku tanah tentang pemegang hak yang baru yaitu atas nama
ahli waris.
Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya dan adat, termasuk dalam
hal pewarisan, Indonesia memiliki berbagai macam bentuk waris diantaranya
waris menurut hukum Burgelijk Wetboek (selanjutnya disingkat dengan BW), dan
adat. Masing-masing hukum tersebut memilki karakter yang berbeda dengan yang
lain.
Hukum adat waris mempunyai sistem kolektif, mayorat, dan individual.
Sistem waris kolektif yaitu harta warisan dimiliki secara bersama-sama, dan ahli
waris tidak diperbolehkan untuk memiliki secara pribadi. Jika ingin
memanfaatkan harta waris tersebut, harus ada musyawarah dengan ahli waris yang
lain. Sistem waris mayorat yaitu harta waris dimiliki oleh ahli waris yang tertua,
dikelola dan dimanfaatkan untuk kepentingan ahli waris yang muda baik
perempuan atau laki-laki sampai mereka dewasa dan mampu mengurus dirinya
sendiri. Sistem waris individual yaitu harta warisan bisa dimiliki secara pribadi
oleh ahli waris, dan kepemilikan mutlak ditangannya.3
2
Soepomo, 1984, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita cetakan ke-9, Jakarta, h. 82.
3
Mengenai masalah pewarisan, masyarakat Bali memiliki sistem pewarisan
yang berakar pada sistem kekerabatan patrilinial yang menyebabkan pertalian
kewangsaan lebih dititikberatkan menurut garis keturunan pria. Maka kedudukan
pria lebih diutamakan dari wanita. Pria adalah penerus keturunan bapaknya yang
ditarik dari satu bapak asal, sedangkan wanita disiapkan untuk menjadi anak
orang lain yang akan memperkuat keturunan orang lain. Oleh karena itu apabila
satu keluarga tidak mempunyai anak laki-laki dan tidak mempunyai keturunan
dikatakan “putus keturunan”. Sistem kekerabatan ini di Bali dikenal sebagai
sistem keturunan laki-laki purusha.4
Demikian pula halnya apabila ada peralihan hak, apakah itu merupakan
peralihan hak lewat jual beli, gadai, atau hibah. Bagi peralihan hak lewat jual beli,
gadai, atau hibah, bagi peralihan melalui Adat masih tetap tidak diurus atau
ditandatangani oleh Kadaster, akan sebaliknya semua yang merupakan peralihan
hak diharuskan untuk melalui Notaris.
Hak milik atas tanah, demikian pula setiap peralihan, pembebanan dengan
hak-hak lain, dan hapusnya hak milik atas tanah harus didaftarkan ke Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota setempat. Pendaftaran ini merupakan alat pembuktian
yang kuat Pasal 23 UUPA. Pendaftaran tanah untuk pertama kalinya atas hak
milik diterbitkan tanda bukti hak berupa sertifikat. Sertifikat menurut Pasal 1
angka 20 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 (selanjutnya disingkat
dengan PP No. 24 Tahun 1997) tentang Pendaftaran Tanah adalah surat tanda
bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA untuk
4
hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas rumah susun, dan
hak tanggungann yang masing-masing sudah dibukukan dalam Buku Tanah yang
bersangkutan.5
Pendaftaran tanah yang bertujuan memberikan jaminan kepastian hukum
dikenal dengan sebutan rechts cadaster/legal cadaster. Jaminan kepastian hukum
yang hendak diwujudkan dalam pendaftaran tanah ini, meliputi kepastian status
hak yang didaftar, kepastian subjek hak, dan kepastian objek hak. Pendaftaran
tanah ini menghasilkan sertifikat sebagai tanda bukti haknya. Kebalikan dari
pendaftaran tanah yang rechts cadaster, adalah fiscaal cadaster, yaitu pendaftaran
tanah yang bertujuan untuk menetapkan siapa yang wajib membayar pajak atas
tanah.6
UUPA mengatur pendaftaran tanah yang bertujuan untuk memberikan
jaminan kepastian hukum. Pendaftaran tanah ini menjadi kewajiban bagi
pemerintah maupun pemegang hak atas tanah. Ketentuan tentang kewajiban bagi
pemerintah untuk menyelenggarakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah
Republik Indonesia diatur dalam Pasal 19 UUPA, yaitu :
(1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah, diadakan
pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut
ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Pendaftaran tersebut dalam ayat 1 pasal ini meliputi :
a. pengukuran, perpetaan, dan pembukuan tanah;
5
Urip Santoso, 2012, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Kencana Prenamedia Group, Jakarta, h. 198.
6
b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut; dan
c. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat.
(3) Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan negara
dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial-ekonomi serta kemungkinan
penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria.
(4) Dalam peraturan pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan
dengan pendaftaran termaksud dalam ayat 1 diatas, dengan ketentuan bahwa
rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.
Pasal 3 huruf a PP No. 24 Tahun 1997 menyatakan tujuan dari pendaftaran
tanah untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada
pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang
terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak
yang bersangkutan. Lebih lanjut untuk memberikan kepastian dan perlindungan
hukum sebagaimana kepada pemegang hak atas tanah yang bersangkutan,
diberikan sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan Pasal 4 ayat (1) PP No. 24
tahun 1997.7
Dari ketentuan-ketentuan tersebut jelaslah bahwa seorang atau beberapa
orang yang memiliki hak atas tanah maka mereka secara hukum dapat
mengalihkan hak mereka kepada orang lain dengan cara menjual. Namun dalam
kenyataannya belakangan ini banyak timbul masalah berupa sengketa tanah akibat
pewarisan seperti perebutan hak milik antar sesama ahli waris, penjualan harta
7
warisan tanpa sepengetahuan ahli waris lain, pembagian harta warisan yang tidak
proporsional, terjadinya sengketa yang mengakibatkan putusnya hubungan
kekeluargaan, masuknya pihak lain diluar garis keturunan pewaris dalam
pembagian harta warisan, adanya ketidaksepakatan antara masing-masing ahli
waris tentang hukum yang akan digunakan dalam pembagian harta warisan,
hingga terjadinya kasus gugat waris yang sampai dibawa ke jalur pengadilan.
Berdasarkan fenomena-fenomena diatas maka penulis tertarik untuk
membuat skripsi mengenai “PENYELESAIAN SERTIFIKAT TANAH
WARIS DALAM JUAL BELI YANG DILAKUKAN OLEH AHLI WARIS
LAIN.”
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, penulis merumuskan permasalahan
sebagai berikut:
1.2.1 Bagaimanakah upaya penyelesaian sertifikat tanah waris agar dapat
diperjualbelikan oleh ahli waris lain?
1.2.2 Bagaimanakah akibat hukumnya apabila dalam penyelesaian
sertifikat tanah waris terjadi sengketa antara sesama ahli waris perihal
proses jual beli tanah tersebut?
Untuk menghindari pembahasan yang menyimpang dan keluar dari
permasalahan yang dibahas maka perlu terdapat pembatasan dalam ruang lingkup
masalah, adapun pembatasannya adalah sebagai berikut :
1.3.1. Pertama akan membahas mengenai upaya penyelesaian sertifikat tanah
waris agar dapat diperjualbelikan oleh ahli waris lain.
1.3.2. Kedua akan membahas mengenai akibat hukum yang terjadi apabila
dalam penyelesaian sertifikat tanah waris terjadi sengketa antara
sesama ahli waris perihal jual beli tanah tersebut.
1.4. Orisinalitas Penelitian
Penulis menyatakan dengan sesungguhnya bahwa Skripsi dengan judul
“Penyelesaian Jual Beli Tanah Waris Yang Dilakukan Oleh Ahli Waris Lain” ini
merupakan hasil penelitian, pemikiran dan pemaparan asli penulis. Jika terdapat
referensi terhadap karya orang lain atau pihak lain, maka dituliskan sumber
dengan jelas. Beberapa penelitian dengan jenis yang sama yang ada dalam internet
atau perpustakaan skripsi diantaranya tentang “Penguasaan Hak Atas Tanah Yang
Belum Di Bagi Waris Ditinjau Dari Perspektif Hukum Agraria Nasional” dan
“Kekuatan Mengikat Akta Jual Beli Hak Milik Atas Tanah Yang Dibuat Oleh
Notaris”. Dari kedua penelitian tersebut terdapat perbedaan dengan penelitian ini
karena penelitian ini berfokus pada penelitian tentang “Penyelesaian Jual Beli
Tanah Waris Yang Dilakukan Oleh Ahli Waris Lain”. Berikut terlampir matrik
perbedaan penelitian yang telah ada dengan penelitian ini:
1 Baiq Lisa
1.5.1. Tujuan Umum
1. Untuk melatih diri dalam upaya menyatakan pikiran secara tertulis dan
sesuai dengan fakta yang terjadi.
2. Untuk melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya bidang
pendidikan tentang jual beli dan hukum waris di dalam ruang lingkup
hukum perdata.
1.5.2. Tujuan Khusus
Melakukan pengkajian secara cermat dan mendalam perspektif Hukum
Bisnis yaitu:
1. Untuk mengkaji masalah yang berkaitan dengan upaya penyelesaian
sertifikat tanah waris agar dapat diperjualbelikan oleh ahi waris lain.
2. Melakukan identifikasi akibat hukum yang terjadi apabila dalam
penyelesaian sertifikat tanah waris terjadi sengketa antara sesama ahli
waris perihal jual beli tanah tersebut.
1.6. Manfaat Penelitian
1.6.1. Manfaat Teoritis
1. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan sekaligus sebagai
sumbangan pemikiran ilmu khususnya dalam materi mengenai jual beli
tanah dan hak-hak para ahli waris sehingga dapat membantu
mempersiapkan diri sebagai generus penerus yang bewawasan tinggi
untuk masa depan.
2. Untuk memperluas pengetahuan mengenai penyelesaian jual beli tanah
tentunya berkaitan dengan jual beli tanah waris pada kantor pertanahan
yang bersangkutan.
1.6.2. Manfaat Praktis
1. Memperluas pengetahuan dalam hal mekanisme penyelesaian sertifikat
tanah waris agar nantinya dapat diperjualbelikan oleh ahli waris lainnya
dan mengenai akibat hukum yang terjadi apabila ahli waris lain tidak
setuju jika tanah tersebut diperjualbelikan.
2. Kiranya dapat membantu jika suatu saat dihadapkan pada
penyelesaian kasus serupa yang berkaitan dalam hal jual beli khususnya
jual beli tanah waris.
1.7. Landasan Teoritis
Sehubungan dengan permasalahan yang diajukan maka dipandang perlu
untuk membahas atau mengajukan kerangka teoritis. Kerangka teoritis yang
dimaksudkan tiada lain untuk dapat memberikan landasan-landasan teori terhadap
pembahasan atas permasalahan yang diajukan. Adapun beberapa teori, asas-asas
hukum serta pandangan sarjana sebagai pembenaran teoritis adalah sebagai
berikut :
1. Teori Keberlakuan Kaidah Hukum
a) Hukum yang imperatif yaitu bersifat a priori harus ditaati, mengikat dan
memaksa. Tidak ada pengecualian seorang pun di mata hukum (a quality
before the law).
b) Hukum yang fakultatif yaitu tidak secara a priori mengikat. Kaidah
fakultatif bersifat sebagai pelengkap.8
Menurut Bentuknya, Kaidah Kaidah Hukum meliputi :
a. Kaidah hukum yang tidak tertulis biasanya tumbuh dalam masyarakat
dan bergerak sesuai dengan perkembangan masyarakat.
b. Kaidah hukum yang tertulis, biasanya dituangkan dalam bentuk tulisan
pada undang-undang dan sebagainya. Kelebihan kaidah hukum tertulis
yaitu adanya kepastian hukum, mudah diketahui dan penyederhanaan
hukum, serta kesatuan hukum.
Teori berlakunya Kaidah Hukum, yaitu sebagai berikut :9
a) Kaidah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan
pada kaidah yang lebih tinggi atau berbentuk menurut cara yang telah
ditetapkan atau apabila menunjukkan hubungan keharusan antara kondisi
dan akibat. Secara filosofis, kaidah hukum berlaku apabila dipandang
sesuai dengan cita-cita masyarakat.
8
Satjipto Rahardjo, 2006, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 189.
9
b) Kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif,
artinya kaidah tersebut dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa
walaupun tidak diterima oleh warga masyarakat (teori kekuasaan), atau
kaidah tersebut berlaku karena diterima dan diakui oleh masyarakat (teori
pengakuan). Berlakunya kaidah hukum secara sosiologis menurut teori
pengakuan adalah apabila kaidah hukum tersebut diterima dan diakui oleh
masyarakat. Adapun menurut teori paksaan, berlakunya kaidah hukum
apabila dipaksakan oleh penguasa.
c) Kaidah hukum berlaku secara filosofis, artinya sesuai dengan cita cita
hukum sebagai nilai positif yang tertinggi.
d) Kaidah hukum sebaiknya mengandung tiga aspek, yaitu yuridis, sosiologis
dan filosofis. Jika hanya berlaku secara yuridis, kaidah hukum hanya
merupakan hukum yang mati, sedangkan apabila hanya berlaku secara
sosiologis karena dipaksakan, kaidah hukum tidak lebih dari sekedar alat
pemaksa. Apabila hanya memenuhi syarat filosofis, kaidah hukum tidak
lebih dari kaidah hukum yang dicita-citakan.
Menurut Zeven Bargen, berlakunya kaidah hukum secara yuridis, apabila
kaidah hukum itu terbentuk sesuai dengan tata cara atau prosedur yang berlaku.
apabila pada kaidah hukum terdapat hubungan kausalitas, yakni adanya kondisi
dan konsekuensi.10
Gustav Radbruch berpendapat bahwa dalam keberlakuan kaidah hukum
harus dapat dilihat dari kewenangan-kewenangan pembentuk UU dan faktor
faktor yang memengaruhi berlakunya hukum dalam masyarakat, sehingga hukum
tersebut berlaku efektif.11
Ciri Ciri kaidah hukum yang membedakan dengan kaidah lainnya, yaitu :
1. Bertujuan menciptakan keseimbangan antara kepentingan.
2. Mengatur perbuatan manusia yang bersifat lahiriah.
3. Dijalankan oleh badan-badan yang diakui oleh masyarakat.
4. Bertujuan mencapai kedamaian (ketertiban dan ketenteraman).
Meskipun dalam kehidupan masyarakat terdapat kaidah yang mengatur
tingkah laku manusia, kaidah hukum masih diperlukan karena :
1. Masih banyak kepentingan lain dari manusia dalam pergaulan hidup yang
memerlukan perlindungan karena belum mendapat perlindungan yang
sepenuhnya dari kaidah agama, kesusilaan, kaidah sopan santun, kebiasaan
dan adat.
2. Kepentingan manusia yang telah mendapat perlindungan dari kaidah
kaidah tersebut, dianggap belum cukup terlindung karena apabila terjadi
10
Ibid, h. 53.
11
pelanggaran terhadap kaidah tersebut, akibat atau ancamannya dipandang
belum cukup kuat.12
2. Teori Kepastian Hukum
Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma. Norma adalah
pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das sollen, dengan
menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma
adalah produk dan aksi manusia yang deliberatif. Undang-undang yang berisi
aturan-aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku
dalam bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama individu maupun
dalam hubungannya dengan masyarakat. Aturan-aturan itu menjadi batasan bagi
masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan terhadap individu.
Adanya aturan itu dan pelaksanaan aturan tersebut menimbulkan kepastian
hukum.13
Menurut Gustav Radbruch, hukum harus mengandung 3 (tiga) nilai identitas,
yaitu sebagai berikut :
a. Asas kepastian hukum (rechtmatigheid). Asas ini meninjau dari sudut
yuridis.
b. Asas keadilan hukum (gerectigheit). Asas ini meninjau dari sudut
filosofis, dimana keadilan adalah kesamaan hak untuk semua orang di
depan pengadilan
12
Ibid
13
c. Asas kemanfaatan hukum (zwechmatigheid atau doelmatigheid atau
utility).
Tujuan hukum yang mendekati realistis adalah kepastian hukum dan
kemanfaatan hukum. Kaum Positivisme lebih menekankan pada kepastian hukum,
sedangkan Kaum Fungsionalis mengutamakan kemanfaatan hukum, dan sekiranya
dapat dikemukakan bahwa “summum ius, summa injuria, summa lex, summa
crux” yang artinya adalah hukum yang keras dapat melukai, kecuali keadilan
yang dapat menolongnya, dengan demikian kendatipun keadilan bukan
merupakan tujuan hukum satu-satunya akan tetapi tujuan hukum yang paling
substantif adalah keadilan.14
Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu
pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui
perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa
keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan
adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang
boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu.15
Ajaran kepastian hukum ini berasal dari ajaran Yuridis-Dogmatik yang
didasarkan pada aliran pemikiran positivistis di dunia hukum, yang cenderung
melihat hukum sebagai sesuatu yang otonom, yang mandiri, karena bagi penganut
pemikiran ini, hukum tak lain hanya kumpulan aturan. Bagi penganut aliran ini,
14
Dominikus Rato, 2010, Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami Hukum, Laksbang Pressindo, Yogyakarta, h. 59.
15
tujuan hukum tidak lain dari sekedar menjamin terwujudnya kepastian hukum.
Kepastian hukum itu diwujudkan oleh hukum dengan sifatnya yang hanya
membuat suatu aturan hukum yang bersifat umum. Sifat umum dari aturan-aturan
hukum membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan keadilan
atau kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk kepastian.16
3. Teori Asas Pewarisan
a. Asas Kematian
Asas ini diatur berdasarkan pada Pasal 830 KUH Perdata; “Pewarisan hanya
berlangsung karena kematian”. Dengan perpedoman pada ketentuan pasal di atas
berarti tidak akan ada proses pewarisan dari pewaris ke ahli waris kalau pewaris
belum meninggal dunia.
b. Asas Hubungan Darah dan Hubungan Perkawinan
Asas ini terdapat dalam Pasal 832 ayat (1) dan Pasal 852 a KUH Perdata.
Asas hubungan daerah merupakan salah satu asas yang esensial dalam setiap
sistem Hukum Kewarisan, karena faktor hubungan darah dan hubungan
perkawinan menentukan kedekatan seseorang dengan pewaris, dan menentukan
tentang berhak atau tidaknya bagi seseorang menjadi ahli waris.17
c. Asas Perderajatan
16
Achmad Ali, 2002, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Toko Gunung Agung, Jakarta, h. 82.
17
Dalam KUH Perdata asas Hukum Kewarisan ini didasarkan pada prinsip; de
naaste in het bloed erf hetgoed. Bila berpedoman pada prinsip di atas, maka yang
berhak mewaris hanyalah keluarga yang lebih dekat dengan pewaris, sekaligus
menentukan pula bahwa keluarga yang lebih dekat derajatnya dari pewaris akan
menutup hak mewarisnya bagi keluarga yang lebih jauh derajatnya.
d. Asas Pergantian Tempat (Plaatsvervulling)
Mengingat asas ini merupakan penerobosan asas ketentuan yang mengatakan
bahwa “yang berhak menerima warisan haruslah ahli waris yang masih hidup
pada waktu si pewaris meninggal dunia (Pasal 836 KUH Perdata), juga asas ini
seolah-olah menyalahi ketentuan bahwa “keluarga yang derajatnya lebih dekat
akan menutup keluarga yang derajatnya lebih jauh”, padahal sesungguhnya asas
ini, malahan menjadi solusi atas kedua ketentuan di atas, sebab bila kedua
ketentuan di atas dijalankan secara ketat, maka dipastikan menimbulkan
ketidakadilan dan ketidakpatutan terhadap cucu yang orang tuanya lebih dahulu
meninggal dunia daripada pewaris, sehingga si cucu tidak menerima harta warisan
yang seharusnya orang tuanya terima sebagai ahli waris, hanya karena orang
tuanya meninggal dunia lebih dahulu.
e. Asas Bilateral.
Asas ini berarti seseorang tidak hanya mewarisi dari garis Bapak saja, akan
tetapi juga mewaris menurut garis ibu, demikian juga dari saudara laki-laki
antara anak laki-laki dan perempuan dalam hal mewaris, bahkan dengan asas
bilateral ini menetapkan juga suami isteri untuk saling mewaris. 18
Asas Bilateral sama dengan asas individu, selain berlaku dalam Hukum
Kewarisan menurut KUH Perdata, juga berlaku dalam Hukum Kewarisan menurut
Hukum Islam, dan Hukum Adat yakni dalam masyarakat yang menganut sistem
kekerabatan parental.
f. Asas Individual
Sesuai dengan namanya, maka asas ini menentukan tampilnya ahli waris
untuk mewarisi secara individu-individu (perseorangan) bukan kelompok ahli
waris dan bukan kelompok clan, suku atau keluarga. Asas ini mengandung
pengertian bahwa harta warisan dapat dibagi-bagikan pada masing-masing ahli
waris untuk dimiliki secara perseorangan, sehingga dalam pelaksanaan seluruh
harta warisan dinyatakan dalam nilai dan setiap ahli waris berhak menurut kadar
bagiannya tanpa harus terikat dengan ahli waris lainnya.19 Konsekwensi dari
ketentuan ini adalah harta warisan yang sudah dibagi-bagikan atau dialihkan
kepada ahli waris secara perseorangan itu menjadi hak miliknya. Karena itu, asas
ini sejalan dengan ketentuan pada Pasal 584 KUH Perdata bahwa salah satu cara
memperoleh hak milik adalah melalui pewaris.
g. Asas Segala Hak dan Kewajiban Pewaris Beralih Kepada Ahli Waris
18
Abdul Manan, 2006, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Kencana, Jakarta, h. 208.
19
Yang dimaksudkan segala hak dan kewajiban pewaris dalam asas ini adalah
hak dan kewajiban dalam lapangan harta kekayaan.
Dalam Hukum Kewarisan menurut KUH Perdata, asas ini berhubungan erat
dengan hak saisine, sedang “hak saisine sendiri bersumber dari pemeo hukum
Perancis yang berbunyi: Le mort saisit Le vif, yang maksudnya bahwa bagi yang
meninggal dunia berpegang pada yang masih hidup”. Dengan berpedoman pada
prinsip hukum ini, berarti apabila seseorang meninggal dunia, maka segala harta
kekayaannya, baik aktiva maupun pasiva akan berpindah kepada ahli warisnya.
Berpedoman pada prinsip di atas, maka menurut Wirjono Prodjodikoro.
“layak kalau BW mengenal tiga macam sikap dari ahli waris terhadap harta
warisan, dan dapat memilih salah satu dari tiga sikap itu, yaitu :
1). Menerima seluruhnya menurut hakikat yang tersebut dalam BW (hak dan
kewajiban)
2). Menerima dengan syarat yaitu, hutang-hutangnya
3). Menolak menerima harta warisan.
Dalam hukum adat berlaku ketentuan bahwa, “harta kekayaan sebagai harta
keluarga/kerabat diperuntukkan sebagai dasar hidup materil dari generasi ke
bahwa, “Hutang-hutang yang ada dan timbul pada dan karena kematian si pewaris
juga merupakan bagian harta peninggalan, meskipun dalam arti negatif”.20
Dalam ketentuan undang-undang, para ahli waris yang telah menerima
warisan hanya diwajibkan memukul beban (utang-utang, kewajiban-kewajiban)
dari pewaris seimbang dengan yang diterima dari warisan. Dalam Pasal 1100
KUH Perdata ditegaskan bahwa, “Para waris yang telah menerima suatu warisan
diwajibkan dalam hal pembayaran utang, hibah wasiat dan lain-lain beban,
memikul bagian yang seimbang dengan apa yang diterima masing-masing dari
warisan”. Kemudian dengan kewajiban melakukan pembayaran yang dipukul
secara perseorangan akan disesuaikan dengan jumlah besar bagiannya dengan
tetap tidak mengurangi hak-hak para berpiutang, termasuk para berpiutang hipotik
atas seluruh harta peninggalan pewaris selama belum terbagi. (Pasal 1101 KUH
Perdata).21
4. Teori Asas-Asas Hak Milik
Mengenai keabsahan dan kehalalan hak milik, telah dikenal dua asas, pertama
asas “Nemo plus juris transfere potest quam ipse habel”, artinya tidak seorangpun
dapat mengalihkan atau memberikan sesuatu kepada orang lain melebihi hak
miliknya atau apa yang dia punyai. Kedua, asas “Nemo sibi ipse causam
20
Ibid
21
possessionis mutare potest”, artinya tidak seorangpun mengubah bagi dirinya atau
kepentingan pihaknya sendiri, tujuan dari penggunaan objeknya.22
1.8. Metode Penelitian
1.8.1Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam karya ilmiah ini adalah penelitian
hukum empiris, yakni hukum dikonsepkan sebagai suatu gejala empiris yang
dapat diamati dalam kehidupan nyata.23 Dalam konteks ini hukum tdak
semata-mata dikonsepkan sebagai sebagai suatu gejala normatif yang otonom , sebagai
ius constituendum (law as what ought to be), dan tidak pula semata-mata sebagai
ius constitutum ( law as what it is in the book), akan tetapi secara empiris sebagai
ius operatum (law as what it is in society). Hukum sebagai “law as what it is in
society”. Hukum sebagai gejala sosio empirik dapat dipelajari di satu sisi sebagai
suatu independent variable yang menimbulkan efek-efek pada pelbagai kehidupan
sosial, dan di lain sisi sebagai suatu dependent variable yang muncul sebagai
akibat berbagai ragam kekuatan dalam proses sosial (studi mengenai law in
process).24
1.8.2 Sifat Penelitian
Sifat penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah bersifat deskriptif,
penelitian deskriptif secara umum, termasuk juga didalamnya penelitian ilmu
hukum, bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat individu, keadaan,
22
Adrian Sutedi, 2008, Peralihan Hak atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 8.
23
, 2013,Pedoman pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana,hal.79.
24
gejala, atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala,
atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala
lain di masyarakat.25 Dalam skripsi ini menggali teori-teori, ketentuan peraturan,
norma-norma hukum, karya tulis yang dimuat dalam literature maupun jurnal,
doktrin, serta laporan penelitian yang terdahulusudah mulai ada dan bahkan
jumlahnya cukup memadai sehingga dalam penelitian ini hipotesis boleh ada atau
boleh juga tidak. Penelitian deskriptif dapat membentuk teori-teori baru yang
dapat memperkuat teori yang sudah ada.
1.8.3 Data dan Sumber Data
mengadakan penelitian secara langsung dilapangan yang akan dilakukan dengan
pihak terkait, dalam hal ini yaitu pihak Badan Pertanahan Nasional Kota Denpasar
selaku informan dan pihak ahli waris dari alm. Agung Raka selaku responden.
b. Data Sekunder
Data Sekunder adalah data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan yang
dilakukan untuk menggali data-data yang didasarkan pada literatur-literatur dan
data-data yang terkait dengan penyelesaian sertifikat tanah waris, peraturan
perundang-undangan terkait, pendapat para sarjana, dan atau artikel yang
diperoleh dari internet. Sumber data sekunder terdiri dari dua bahan hukum yaitu
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
1. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mengikat dan memiliki
kekuatan hukum, seperti peraturan perundang-undangan. Bahan hukum primer
yang digunakan dalam penelitian ini adalah
a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
b. Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960
c. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 yang diganti dengan
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari
studi kepustakaan yang dilakukan dengan menelaah pendapat pakar hukum yang
dimuat dalam literatur hukum, hasil penulisan yang berupa hasil penelitian para
ahli hukum yang dijadikan dokumen-dokumen hukum.
c. Data Tersier
Data Tersier adalah data yang berupa kompilasi antara data primer dengan data
sekunder yang memberi petunjuk atau penjelas terhadap dataa primer dan data
sekunder seperti kamus hukum dan kamus besar Bahasa Indonesia.
Dalam pengumpulan data, digunakan tiga cara pengumpulan data yaitu:
1. Teknik Wawancara (interview)
Teknik Wawancara (interview) ini digunakan untuk memperoleh jawaban –
jawaban yang relevan dengan masalah yang sedang diteliti seperti wawancara
dengan ahli waris, dan Badan Pertanahan Nasional Kota Denpasar.
2. Teknik Studi Dokumen
Studi dokumen merupakan teknik awal yang digunakan dalam setiap
penelitian ilmu hukum, baik dalam penelitian normatif maupun penelitian hukum
empiris, karena meskipun aspeknya berbeda namun keduanya adalah penelitian
ilmu hukum yang selalu bertolak dari premis normatif. Studi dokumen dilakukan
atas bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan penelitian.
1.8.6 Pengolahan dan Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
analisis kualitatif atau yang sering diebut dengan analisis deskriptif kualitatif
maka keseluruhan data yang terkumpul baik dari data primer maupun sekunder,
akan diolah dengan cara menyusun data secara sistematis, digolongkan dalam
pola dan tema, diklasifikasikan, dihubungkan antara satu data dengan data yang
lainnya, dilakukan interpretasi untuk memahami makna data dalam situasi sosial,
dan dilakukan penafsiran dari perspektif peneliti setelah memahami keseluruhan
kualitas data. Proses analisis tersebut dilakukan secara terus menerus sejak
pencarian data di lapangan dan berlanjut terus hingga pada tahap analisis. Setelah
dilakukan analisis secara kualitatif kemudian data akan disajikan secara deskriptif
25
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG SERTIFIKAT TANAH, WARIS, DAN
JUAL BELI
2.1 Sertifikat Tanah
2.1.1 Pengertian Sertifikat Tanah
Apabila dilihat ketentuan Pasal 19 ayat (1) UUPA yang mengatur tentang
pendaftaran tanah menyebutkan: untuk menjamin kepastian hukum oleh
pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Indonesia menurut
ketentuan yang mengatur dengan peraturan pemerintah.1
Dari ketentuan pasal tersebut, jelas bahwa tujuan diadakan pendaftaran tanah
oleh pemerintah adalah untuk menjamin adanya kepastian hukum. Kepastian
hukum dimaksud meliputi :
- Letak tanah dan luas tanah.
- Status tanah dan orang yang berhak atas tanah.
- Pemberian surat berupa sertifikat sebagai tanda bukti hak atas tanah yang
berlaku sebagai bukti yang kuat dan autentik.
Untuk melaksanakan pendaftaran tanah yang bersifat Nasional, Pemerintah
telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 (selanjutnya
disingkat dengan PP No. 10 Tahun 1961) tentang pendaftaran tanah yang termuat
pada Pasal 17 PP No. 10 Tahun 1961 menyatakan bahwa untuk
menyelenggarakan tata usaha pendaftaran tanah oleh Kantor Pendaftaran Tanah
1
diadakan pendaftaran tanah, daftar nama, daftar buku tanah, dan daftar surat
ukur.2
Sedangkan menurut Pasal 2 ayat (3) PP No. 10 Tahun 1961 menyebutkan
bahwa setiap surat ukur dibuat rangkap dua (2), yang satu diberikan kepada yang
berhak sebagai bagian sertifikat dan yang lainnya disimpan pada Kantor
Pendaftaran Tanah.3
Daftar surat ukur ini merupakan kumpulan surat ukur, surat ukur yang
menguraikan keadaan, letak, serta luas tanah yang menjadi obyek suatu hak yang
telah didaftar dalam daftar buku tanah, untuk tiap-tiap hak yang dibukukan itu
dibuat salinan dari buku tanah yang bersangkutan. Sedangkan penguraian tentang
tanahnya dibawa surat ukur.
Selanjutnya salinan buku tanah dan surat ukur tersebut telah dijilid menjadi
satu bersama-sama dengan kertas sampul yang bentuknya ditetapkan dengan
peraturan yang disebut dengan sertifikat.
Dengan demikian sertifikat adalah salinan buku tanah dan surat ukur setelah
dijahit/dijilid menjadi satu bersama-sama dengan satu kertas sampul yang
bentuknya ditetapkan oleh Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nassional
dan diberikan atas permintaan yang berhak, sebagai surat tanda bukti hak
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA yang
menyatakan tentang pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai
alat pembuktian yang kuat.
2
Ibid, h. 50.
3
2.1.2 Sifat Pembuktian Sertifikat Sebagai Tanda Bukti Hak
Menurut Pasal 32 PP No. 24 Tahun 1997:
(1) Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat didalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan. (2) Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah
atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat tanah tersebut.4
Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa PP No. 24 Tahun
1997 menganut sistem publikasi negatif. Pada sistem publikasi negatif, negara
tidak menjamin kebenaran data yang disajikan. Sistem publikasi negatif berarti
sertifikat hanya merupakan surat tanda bukti hak yang bersifat kuat, bukan
bersifat mutlak. Sehingga data fisik dan data yuridis yang terdapat di sertifikat
mempunyai kekuatan hukum dan harus diterima hakim sebagai keterangan yang
benar selama dan sepanjang tidak ada alat bukti lain yang membuktikannya.5
Sistem publikasi negatif memiliki kelemahan, yaitu pihak yang namanya
tercantum sebagai pemegang hak dalam buku tanah dan sertifikat selalu
menghadapi kemungkinan untuk digugat oleh pihak lain yang merasa memiliki
tanah tersebut. Kelemahan tersebut pada umumnya diatasi dengan menggunakan
lembaga acquisitieve verjaring atau adverse possession. Namun hukum adat yang
menjadi dasar dari hukum agraria yang berlaku di Indonesia tidak mengenal
lembaga tersebut.
2.1.3 Jenis-Jenis Sertifikat
Peraturan Perundang-undangan yang mengatur mengenai hak atas tanah,
yaitu PP Pendaftaran Tanah dan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996
tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah
mengenal berbagai jenis sertifikat yaitu :
1. Sertifikat Hak Milik;
2. Sertifikat Hak Guna Usaha;
3. Sertifikat Hak Guna Bangunan Atas Tanah Negara;
4. Sertifikat Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak Pengelolaan;
5. Sertifikat Hak Pakai Atas Tanah Negara;
6. Sertifikat Hak Pakai Atas Tanah Hak Pengelolaan;
7. Sertifikat Tanah Hak Pengelolaan;
8. Sertifikat Tanah Wakaf;
9. Sertifikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun;
10. Sertifikat Hak Tanggungan.
2.1.4 Kekuatan Pembuktian Sertifkat
Kekuatan pembuktian sertifikat meliputi 2 hal yaitu :
1. Merupakan alat bukti hak yang kuat, berarti bahwa selama tidak
dibuktikan sebaliknya, data fisik dan data yuridis yang tercantum dalam
dengan data yang tercantum dalam surat ukur dan buku tanah yang
bersangkutan.
2. Bahwa orang tidak dapat menuntut tanah yang sudah bersertifikat atas
nama orang atau badan hukum, jika selama 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya
sertifikat tersebut, yang bersangkutan tidak mengajukan keberatan secara tertulis
kepada pemegang sertifikat dan kepala kantor pertanahan atau tidak mengajukan
gugatan di Pengadilan, sedangkan tanah tersebut diperoleh orang atau badan
hukum lain tersebut dengan itikad baik dan secara fisik dikuasai olehnya atau
oleh orang badan hukum lain yang mendapat persetujuannya.
2.1.5 Penerbitan Sertifikat
Sertifikat sebagai surat tanda bukti hak, diterbitkan untuk kepentinagan
pemegang hak yang bersangkutan, sesuai denagn data fisik yang ada dalam surat
ukur dan data yuridis yang telah didaftar dalam buku tanah. Memperoleh
sertifikay adalah hak pemegang hak atas tanah, yang dijamin undang-undang.
Menurut PP 10/1961 sertifikat terdiri atas salinan buku tanah yang
memuat data yuridis dan surat ukur yang memuat data fisik hak yang
bersangkutan, yang dijilid menjai satu dalam suatu sampul dokumen menurut PP
24.1997 ini bisa berupa satu lembar dokumen yang memuat data yuridis dan dat
fisik yang diperlukan. Dalm pendaftarn secara sistematik terdapat ketentuan
mengenai sertifikat dalam pasal 69 s/d 71 peraturan menteri 3/1997. Cara
pembuatan sertifikat adalah seperti cara pembuatan buku tanah, dengan
dicantumakn. Sertifikat hak milik atas satuan rumah susun hak
tanggunganditetapkan oleh UU 16/1985 dan UU4/1996.
Sertifikat hanya boleh diserahkan kepada pihak yang namanya tervantum
dalam buku tanah yang berasngkutan sebagai pemegang hak atau pihak lain
yang dikuasakan olehnya. Dalamhal pemegang hak sudah meninggal dunia,
sertifikat diterimakan kepada ahli warisnya atau salah seorang ahli waris dengan
persetujuan para ahli waris yang lain. Sertifikat tanah wakaf siserahkann kepada
nadzirnya.
Mengenai hak atas tanha atau hak milik atas satuan rumah susun
kepunyaan bersama beberapa orang atau badan hukum diterbitkan stu sertifikat,
yang diterimakan kepada salah satu pemegang hak bersama ataspenunjukan
tertulis para pemegang hak bersama yang lain. Surat penuunjukan tersebut tidak
diperlukan bagi pemilikan bersama suami isteri.
Mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun
kepunyaan bersama dapat diterbitkan sertifikat sebnayak jumlah pemegang hak
bersama untuk diberikan kepada tiap pemegang hak bersama untuk diberikan
kepadtiap pemegang hak bersama yang bersangkutan, yang memuat nama serta
besrnya bagian masing-masing dari hak bersama tersebut. Dengan adanya
ketentuan ini masing-masing akan dengan mudah dapat melakukan pebuatan
hukum mengenai bagian haknya itu, tanpa perlu mengadakan perubahan pada
surat tanda bukti hak para pemegang hak bersama yang bersangkutan. Kecuali
kalau secar tegas adalarangan untuk berbuat demikian, jika tidak ada persetujuan
Penerbitan sertifikat dimaksudkan agar pemegang hk dapat denagn mudah
membuktikan haknya. Oleh karena itu sertifikat merupakan alat pembuktian
yang kuat, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 19 UUPA. Sehubungan dengan
itu apabila masih ada ketidak pastian mengenai hak atas tanah yang
bersangkutan, yangg ternyata dari masih adanya catatan dalam pembukuannya,
pada prinsipnya sertifikat belum dapat diterbitkan. Namun apabila catatan itu
hanya mengenai data fisik yang belum lngka,tetapi tidak disengketaan,sertifikat
dapat diterbitkan. Data fisik yang tidak lengkap itu adalh apabila data fisik
bidang tanah yang bersangkutan merupukan hasil pemetaan sementara,
sebagaiman dimaksudkan dalam pasal 19 ayat 3.
Dalam pasal 32 dan penjelasannya diberikan interpretasi otentik mengenai
pengertian sertifikat sebagi alat pembuktian yang kuat yang ditentukan
dalamUUPA dan penerapan lembaga “rechtsverwerking’ untuk mengatasi
kelemahan sistem publikasi negatif yang digunakan dalam penyelenggarakan
pendaftaran tanah menurut UUPA. Hal tersebut telah di uraikan dalam uraian
207.
Dalam pasal 57 s/d 60 diberikan ketentuan mengenai penerbitan sertifikat
pengganti .mengenai penerbitan sertifikat pengganti terdapat ketentuannya lebih
lanjut dalam pasal 137 s/d 139 peraturan menteri 3/1997. Untuk penerbitan
sertifikat pengganti tidak dilakukan pengukuran maupun pemerikasaan tanah
dan motor hak tidak diubah.
a. Atas permohonan pemegang hak diterbitkan sertifikat baru, sebagai
sertifikat yang tidak digunakan lagi. Sertifikat pengganti juga dapat diterbitkan
sebagai pengganti sertifikat yang tidak diserahkan kepada pembeli lelang dalam
suatu lelang eksekusi. Prosedurnya lebih sederhana dari pada yang diatur dalam
PP 10/1961.
b. Permohonan hanya dapat diajukan oleh pihak hak yang namanya
tercantum sebagai pemegang hak dalam buku tanah yang bersangkutan.
Hilangnya sertifikat yang dimintakan pengganti dengan menyerahkan akta
PPAT diatas, harus terjadi setelah dilakaukannya pemindahan hak atau
terjadinya peralihan hak yang bersangkutan. Pad waktu di buatnya akta oleh
PPAT sertifikat yang bersangkutan harus masih ada. Tanpa penyerahan sertifikat
yang asli PPAT wajib menolak permohonan pembuat aktanya. Maka
permohonan sertifikat pengganti harus disertai keterangan dari ppat yang
membuat aktanya, bahwa pada waktu di buat akta sertifikat tersebut masih ada.
Dalam hal pemegang hak atau penerima hak yang dimaksudkan diatas
sudah warisnya, dengan menyrahkan surat tanda bukti sebagai ahli waris.
c. Penggantian sertifikat yang rusak atau pembaharuan blankonya dapat
segera dilakukan denagn peyerahan sertifikat yang diganti.
Tetapi penggantian seryifikat yang hilang harus memulai tata cara
mencegah penyalagunaan kemungkinan penerbitan sertifikat penggantinya.
Permohonanya harus disertai pernaytaan sumpah oleh pemohon di hadapan
kepala kantor pertanahan atau penjabat yang diunjukannya, mengenai hilangnya
satu sura kabar harian setempat atas biaya pemohon, untuk memberi kesempatan
kepada pihak yang berkepentingan mengajukan keberatan.
d. Penganntian sertifikat dicatat buku tanah yang bersangkutan. Oleh
kepala kantor pertanhan diadakan pengumuman mengenai telah diterbitkannya
sertifikat pengganti tersebut dan tidak berlakunya lagi sertifikat yang lama dalam
salah satu surat kabarharian setempat atas biaya pemohon.
e. Sertifikat pengganti diserahkan kepada pihak yang memohon
penggantian atau pihak yang lain yang diberi kuasa olehnya untuk menerimanya
2.2 Waris
2.2.1 Pengertian Waris
Waris itu baru akan timbul apabila ada peristiwa kematian pada seseorang
anggota keluarga. Apabila orang yang meninggal itu memiliki harta kekayaan,
maka yang menjadi pokok persoalan bukanlah peristiwa kematian itu, melainkan
harta kekayaan yang ditinggalkannya.6 Dalam arti siapa yang berhak atas harta
kekayaan yang ditinggalkannya, siapakah yang wajib menanggung dan
membereskan hutang-hutang almarhum jika ia meninggalkan hutang yang
menjadi kewajibannya.
Dengan demikian maka waris disatu sisi lain berakar pada harta kekayaan.
Hukum waris berakar pada keluarga itu tidak terlepas dari siapa yang berhak
menjadi ahli waris, sedangkan berakar pada harta kekayaan yang ditinggalkan.
6
Dalam KUH Perdata dalam hal hukum waris tidak dibedakan antara anak
laki-laki dan anak perempuan, antara suami dan istri. Semuanya berhak mewaris,
bagian anak laki-laki sama dengan bagian anak perempuan. Begitu juga bagian
seorang istri atau suami sama dengan anak jika dari perkawinan tersebut
dilahirkan anak.7
Hukum waris perdata apabila dihubungkan dengan sistem kewarisan,
maka KUH Perdata menganut sistem kewarisan individual artinya sejak
terbukanya antara para ahli waris dan tiap ahli waris berhak menuntut bagian
warisan yang menjadi haknya.
Dengan demikian maka sistem kewarisan yang dianut oleh KUH Perdata
adalah sistem kewarisan individual bilateral dimana setiap ahli waris berhak
menuntut pembagian harta warisan dan memperoleh bagian yang menjadi haknya,
baik harta warisan dari ibunya maupun harta warisan dari ayahnya.8
Menurut Mr. A. Pitlo Hukum waris adalah suatu rangkaian
ketentuan-ketentuan dimana berhubungan dengan meninggalnya seseorang.
Akibat-akibatnya di dalam bidang kebendaan diatur yaitu akibat dari beralihnya harta
peninggalan dari seseorang yang meninggal, kepada ahli waris, baik didalam
hubungannya antara mereka sendiri, maupun dengan pihak ketiga.9
Hukum waris tidak bisa dipisahkan dengan masalah hukum adat waris dan
masalah hukum adat waris tidak dapat dipisahkan dengan hukum adat
kekeluargaan, karena sistem kekeluargaan yang dipergunakan membawa akibat
kepada penentuan aturan-aturan tentang harta warisan. 10 Seperti diketahui bahwa
di dalam lingkup harta warisan tentunya terdapat pewaris dan ahli waris. Antara
pewaris, ahli waris, dan harta warisan tidak dapat dipisahkan.
2.2.2 Unsur Hukum Waris
1. Pewaris yaitu seorang yang memiliki harta kekayaan dan meneruskan
atau mengoperkan harta tersebut kepada seseorang atau beberapa orang sebagai
ahli waris.
Syarat-syarat pokok bagi seorang untuk dapat membuat wasiat pada
umumnya adalah sama dengan syarat pokok bagi orang untuk melakukan
perbuatan hukum pada umumnya yaitu bahwa orang itu harus mampu melakukan
dan menentukan kemauannya secara bebas merdeka tanpa mendapatkan
kekerasan atau tekanan dari manapun juga. Syarat tersebut adalah :
a. Pikiran sehat.
b. Berumur cukup
c. Dalam pewarisan tidak ada tekanan dari siapapun.11
Seorang pewaris sebelum ia meninggal dunia mempunyai hak dan
kewajiban tentang apa yang akan ia nyatakan sebelum ia meninggal dunia.
Adapun hak dan kewajiban dari pewaris, sebagai berikut :
a. Hak Pewaris
10
Tjokorda Raka Dherana, 1975, Beberapa Segi Hukum Adat Waris Bali Majalah Hukum No. 2 Tahun Kedua, Yayasan Penelitian dan Pengembangan Hukum (Law Center), Jakarta, hal. 101.
11
Hak pewaris timbul sebelum terbukanya harta peninggalan dalam arti
bahwa pewaris sebelum meninggal dunia berhak menyatakan kehendaknya dalam
sebuah testamen/wasiat. Adapun isi dari testamen/wasiat tersebut dapat berupa :
- Erdstelling, yaitu suatu penunjukkan satu atau beberapa orang menjadi
ahli waris untuk mendapatkan sebagian atau seluruh harta peninggalan dari
pewaris. Orang yang ditunjuk dinamakan testamentari erfgenaam (ahli waris
menurut wasiat).
- Legaat, yaitu pemberian hak kepada seseorang atas dasar
testament/wasiat yang khusus. Adapun pemberian tersebut berupa :
1. Hak atas satu atau beberapa benda tertentu.
2. Hak atas seluruh dari satu macam benda tertentu.
3. Hak vruchtgebruik atas sebagian atau seluruh warisan yang tercantum
dalam Pasal 957 KUH Perdata.
b. Kewajiban Pewaris
Kewajiban pewaris ialah merupakan pembatasan terhadap haknya yang
ditentukan Undang-Undang. Pewaris harus mengindahkan adanya legitime portie.
2. Sedangkan ahli waris adalah orang yang menggantikan pewaris di
dalam kedudukannya terhadap warisan, baik untuk seluruhnya, maupun untuk
sebagian tertentu.12 Ahli waris menurut undang-undang terdiri dari empat
kelompok :
12
- Kelompok pertama terdiri dari suami atau istri yang hidup terlama
ditambah anak atau anak-anak serta keturunan dari anak-anak tersebut. Kelompok
ini diatur di dalam Pasal 832 dan Pasal 852 KUH Perdata.
- Kelompok kedua terdiri atas ayah dan ibu kandung (apabila keduanya
masih hidup), ayah atau ibu (apabila salah satunya telah meninggal dunia) dan
saudara atau saudari beserta keturunan dari saudara atau saudari tersebut.
Kelompok kedua ini diatur di dalam Pasal 854 s/d Pasal 857 KUH Perdata.
- Sedangkan kelompok ketiga terdiri atas kakek dan nenek dari garis ibu
dan kakek dan nenek dari garis bapak. Golongan ini diatur di dalam Pasal 850 dan
Pasal 853 KUH Perdata.
- Kelompok terakhir (keempat) terdiri dari sanak keluarga pewaris yang
lainnya dan diatur di dalam Pasal 858 dan Pasal 861 KUH Perdata.
Sekalian seseorang itu termasuk sebagai ahli waris, tetapi belum tentu ia
berhak mewaris. Agar seorang bisa mewaris, harus dipenuhi beberapa syarat yang
meliputi :
a. Ia harus sudah ada pada saat warisan terbuka.
b. Ia termasuk sebagai seorang ahli waris.
c. Ia bersikap menerima warisan.
d. Ia tidak termasuk golongan yang tak patut menjadi ahli waris.
Sedangkan yang termasuk dalam orang yang tidak layak menerima warisan, telah
diterangkan dalam Pasal 828 BW, yaitu :
a. Orang yang telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh si pewaris.
c. Mereka yang telah memfitnah, bahwa si pewaris telah melakukan kejahatan
yang diancam dengan hukuman, minimal 5 (lima) tahun.
d. Orang yang dengan kekerasan atau perbuatan telah mencegah si pewaris
membuat surat wasiat.
e. Orang yang dengan kekerasan atau perbuatannya telah mencegah si pewaris
mencabut surat warisan.
f. Orang yang telah menggelapkan surat wasiat dari si pewaris.
g. Orang yang telah termasuk surat wasiat dari si pewaris.
h. Orang yang telah memalsukan surat wasiat dari si pewaris.
Syarat sahnya menerima warisan :
a. Ahli waris masih hidup;
b. Ahli waris tidak dihukum karena dipersalahkan membunuh atau
mencoba membunuh pewaris;
c. Ahli waris sehat jasmani maupun rohani.
Selain ahli waris dan pewaris dalam kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUH Perdata) , terdapat adanya :13
a. suatu fidel comis, yaitu suatu pemberian warisan kepada seseorang ahli waris
dengan ketentuan bahwa ia berkewajiban menyimpan warisan itu dan setelah
lewatnya suatu waktu, warisan itu harus diserahkan kepada orang lain. Cara
pemberian warisan ini oleh undang-undang disebut sebagai pemberian warisan
secara melangkah.
13
b. Executeur testamentair, yaitu pelaksana wasiat yang ditunjuk oleh si pewaris
yang bertugas mengawasi pelaksanaan surat wasiat secara sungguh-sungguh
sesuai dengan kehendak pewaris.
c. Bewindvoeder /pengelola, yaitu seorang yang ditentukan dalam wasiat untuk
mengurus kekayaan (harta peninggalan) sehingga para ahli waris/legatariss hanya
menerima penghasilan dari harta kekayaan, yang ada tersebut, hal ini
dimaksudkan agar jangan sampai harta kekayaan (harta peninggalan) tersebut
dihabiskan dalam waktu singkat oleh para ahli waris atau legatariss.
Hak dan Kewajiban Ahli Waris :
Sejauhmana hak-hak ahli waris dalam menentukan sikap terhadap harta
warisan ialah : 14
1. Menerima secara penuh, yaitu dapat dilakukan secara tegas dan
diam-diam. Dengan tegas, yaitu jika penerimaan tersebut dituangkan dalam suatu akta
yang memuat penerimaannya sebagai ahli waris yang sah. Dengan diam-diam,
yaitu jika ia dengan melakukan suatu perbuatan, misalnya dengan mengambil atau
menjual atau juga melunasi hutang-hutang si pewaris.
2. Menerima dengan reserve (hak untuk menukar) atau benefiaciare
aanvaarding, yaitu menerima warisan dengan suatu hak menjadikan pendaftaran
barang-barang warisan hal ini dinyatakan pada panitera pengadilan negeri
ditempat warisan terbuka. Akibat terpenting dari warisan secara beneficiare ini
adalah bahwa kewajiban untuk melunasi hutang-hutang dan beban lain si pewaris
dibatasi sedemikian rupa, sehingga pelunasannya dibatasi menurut kekuatan
14