Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan bukti empiris moderasi komitmen organisasi terhadap pengaruh motivasi, kepuasan kerja, dan kompetensi auditor pada kinerja auditor. Banyaknya kasus terkait kesalahan dalam penyajian akuntansi seakan mempertanyakan peran dari kinerja seorang auditor independen. Salah satu kasus akuntansi terbesar pada tahun 2001, yaitu kasus Enron yang melibat-kan KAP Arthur and Andersen, di Amerika Serikat. Penelitian mengenai hubungan antara motivasi auditor, kepuasan kerja, dan kompetensi pada kinerja auditor telah dilakukan sebelumnya dimana menunjukan hasil temuan yang berbeda-beda. Perbedaan hasil penelitian tersebut diselesaikan melalui pendekatan kontinjensi (contingency approach) dan variabel komitmen organisasi. Ketiga variabel tersebut akan terlihat lebih baik apabila memiliki komitmen yg baik.
Penelitian ini menggunakan data primer yang dikumpulkan dengan menggunakan teknik kuesioner. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh auditor yang bekerja pada Kantor Akuntan Publik di Bali tahun 2015. Jumlah sampel dalam penelitian adalah sebanyak 62, yang dipilih berdasarkan metode nonprobability sampling dengan teknik purposive sampling. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis regresi moderasi (MRA). Hasil yang diperoleh adalah tidak terdapat moderasi komitmen organisasi terhadap pengaruh motivasi pada kinerja auditor dan kepuasan kerja pada kinerja auditor. Terdapat moderasi komitmen organisasi yang memperkuat pengaruh kompetensi auditor pada kinerja auditor.
This research aimed to get empirical evidence moderating effect of organizational commitment on motivation, job satisfaction, and competence of the auditors in the performance of auditors. The number of cases related to accounting errors in the presentation seemed to question the role of the performance of an independent auditor. One of the largest accounting cases in 2001, ie cases involving Enron and Arthur Andersen Firm, in the United States. Research on the relationship between the auditor motivation, job satisfaction, and competence in the performance of auditors has been carried out previously which showed the findings were different. Differences in the results of these studies can be completed through a contingency approach (contingency approach) and organizational commitment variables. These three variables would look better if I has that kind of commitment.
This study uses primary data were collected by using a questionnaire. The population in this study were all auditors working in the public accounting firm in Bali in 2015. The number of samples in the study were as many as 62, were selected based nonprobability sampling method with purposive sampling technique. The data analysis technique used is moderation regression analysis (MRA). The result is there is no moderation of organizational commitment to influence the performance of the auditor's motivation and job satisfaction in the performance of auditors. There is moderation organizational commitment that strengthens the influence of the competence of auditors in the performance of auditors.
BAB I PENDAHULUAN
Penelitian pada bagian pendahuluan ini memaparkan latar belakang yang
menjadi masalah penelitian yang disertai alasan mengapa masalah ini perlu diteliti. Rumusan masalah disusun dalam bentuk pertanyaan dengan dilandasi pemikiran teoritik. Pada bab ini juga dibahas mengenai tujuan dan manfaat dari
penelitian ini.
1.1Latar Belakang
Dunia bisnis dewasa ini mengalami perkembangan pesat. Perusahaan sebagai salah satu pelaku bisnis dalam setiap tahunnya wajib membuat laporan
keuangan untuk mengetahui hasil usaha, posisi keuangan perusahaan serta perkembangannya. Laporan keuangan disamping berfungsi sebagai alat
pertanggungjawaban pengelolaan sumber daya oleh manajemen perusahan kepada pemilik juga digunakan oleh investor dan kreditor sebagai acuan dalam pengambilan keputusan, khususnya keputusan investasi dan kredit (Suryana,
2013).
Berkembangnya dunia bisnis juga membuka peluang bagi Kantor
Akuntan Publik (KAP) untuk menyediakan atau menjual jasanya. Manajemen yang menjalankan perusahaan dan melakukan berbagai perikatan dengan
keyakinan bahwa angka-angka dalam laporan keuangan tersebut telah diuji dan hasilnya sesuai dengan opini atau pendapat yang diberikan. Apabila opini yang
diberikan oleh akuntan wajar tanpa pengecualian, berarti bahwa laporan keuangan perusahaan telah disusun berdasarkan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku
umum dan pihak-pihak yang berkepentingan mempunyai keyakinan atas laporan keuangan yang disajikan manajemen perusahaan sebagai dasar pengambilan keputusan (Mulyadi, 2002).
Auditor merupakan profesi kepercayaan masyarakat, baik oleh masyarakat pengguna jasa akuntan maupun masyarakat pemakai informasi keuangan
perusahaan. Oleh sebab itu auditor wajib membuktikan kewajaran laporan keuangan yang disusun dan disajikan oleh klien. Artinya menilai apakah laporan keuangan sudah disajikan sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi berlaku umum.
Klien dapat mempunyai kepentingan yang berbeda, bahkan mungkin bertentangan dengan pemakai laporan keuangan. Demikian pula, kepentingan pemakai laporan
keuangan yang satu mungkin berbeda dengan pemakai laporan keuangan lainnya. Oleh karena itu, dalam memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan yang diperiksa, akuntan publik harus bersikap independen
terhadap kepentingan klien, pemakai laporan keuangan, maupun kepentingan akuntan publik itu sendiri (Trisnaningsih, 2007).
Di era globalisasi ini, banyak terjadi kasus manipulasi akuntansi pada laporan keuangan. Disisi lain, seorang auditor independen bertanggung jawab
membuat banyak sorotan ke arah akuntan independen terkait keterlibatan auditor independen dengan berbagai kasus manipulasi akuntansi pada laporan keuangan,
apakah keberadaannya masih berfungsi dengan baik, ataupun keberadaannya hanya sebagai kedok untuk alat mencari uang semata.
Skandal akuntansi pada perusahaan besar yang terjadi di Amerika seperti Enron yang diaudit oleh kantor akuntan publik (KAP) Arthur Andersen, dimana laporan keuangan Enron sebelumnya dinyatakan wajar tanpa pengecualian.
Namun secara mengejutkan Enron pada 2 Desember 2001 dinyatakan pailit, kepailitan tersebut terjadi salah satunya karena Arthur Anderson memberikan dua
jasa sekaligus, yaitu sebagai auditor dan konsultan bisnis (Santosa, 2002). Sedangkan di Indonesia juga pernah terjadi hal yang sama pada kasus PT. Kimia Farma Tbk. Yang telah diaudit oleh KAP Hans Tuanakotta & Mustofa, lalu
berdasarkan kecurigaan pemegang saham mayoritas meminta KAP untuk menyajikan kembali (restated), dimana hasil audit kemudian menunjukkan
adanya kesalahan penyajian yang dilakukan oleh direksi periode 1998 – juni 2002 yang mengakibatkan terjadinya overstated pada laba bersih per 31 Desember 2001 sebesar Rp. 32,7 miliar yang merupakan 2,3% dari penjualan dan 24,7% dari laba
bersih (Siaran Pers Bapepam, 2002).
Kasus lainnya terjadi pada PT. Great River International Tbk. Bermula
pada temuan Bapepam terkait adanya indikasi penggelembungan akun penjualan, piutang, dan aset pada laporan keuangan yang mengakibatkan perusahaan tersebut
membayar obligasi senilai Rp. 400 milyar. Bapepam menyatakan bahwa KAP Justinus Aditya Sidharta menjadi tersangka dalam kasus PT. Great River
International Tbk. Sehingga Menteri Keuangan membekukan ijin KAP Justinus Aditya Sidharta selama dua tahun karena terbukti melanggar Standar Profesional
Akuntan Publik (SPAP) berkaitan dengan laporan audit atas laporan keuangan konsolidasian perusahaan tersebut pada tahun 2003 (HukumOnline.com, 2007).
Banyaknya kasus terkait kesalahan dalam penyajian akuntansi tersebut
seakan mempertanyakan peran dari kinerja seorang auditor independen. Menurut Larkin (2010) pengukuran kinerja auditor dapat dilihat dari empat dimensi
personalitas yaitu (1) kemampuan (ability) yaitu kecakapan seseorang dalam menyelesaikan pekerjaan, (2) komitmen profesional yaitu tingkat loyalitas individu pada profesinya, (3) motivasi yaitu keadaan dalam pribadi seseorang
yang mendorong keinginan individu untuk melalukan kegiatan-kegiatan tertentu untuk mencapai suatu tujuan, (4) kepuasan kerja yaitu tingkat kepuasan individu
dengan posisinya dalam organisasi. Terdapat banyak faktor yang dapat berpengaruh pada kinerja auditor, seperti motivasi, kepuasan kerja, dan kompetensi. Namun kekuatan pengaruh faktor-faktor tersebut tidak bisa
dilepaskan dari peran komitmen auditor yang bersangkutan. Semakin tinggi komitmen auditor pada organisasinya juga maka motivasi auditor untuk
meningkatkan kinerjanya juga akan meningkat. Demikian juga peran komitmen dalam hubungannya dengan pengaruh kepuasan kerja dan kompetensi pada
Motivasi karyawan merupakan faktor penting dalam keberhasilan jangka panjang dari semua organisasi. Motivasi merupakan dasar atau latar belakang
yang mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung terhadap kinerja seseorang. Dalam konteks auditor independen, motivasi dapat dilihat dari hasrat
untuk mencari salah saji pelaporan dalam laporan keuangan yang berdasar dari standar yang berlaku umum, serta hal-hal lain yang dirasa dapat mempengaruhi motivasi kinerja auditor. Pada penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Dalmy
(2009) menemukan hasil bahwa motivasi berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja auditor. Namun hasil tersebut tidak konsisten dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Destamara tahun (2014) yang menyatakan bahwa variabel motivasi tidak berpengaruh terhadap kinerja auditor.
Kinerja auditor juga akan dipengaruhi oleh tingkat kepuasan kerja yang
mereka miliki. Kepuasan kerja seseorang juga dipengaruhi baik dari dalam maupun dari luar. Untuk sisi internal, tentu kepuasan kerja sesorang akan
menyangkut komitmennya dalam bekerja, baik komitmen terhadap organisasi maupun komitmen terhadap profesinya. Sedangkan dari sisi eksternal, tentu kepuasan kerja dipengaruhi oleh lingkungan tempat mereka bekerja, baik dari
atasan, bawahan, maupun setingkat (Amilin dan Dewi, 2008). Kepuasan kerja merupakan faktor kritis untuk dapat tetap mempertahankan individu yang
berkualifikasi baik. Auditor dituntut untuk dapat menunjukan kinerja yang tinggi agar dapat menghasilkan audit yang berkualitas. Kinerja yang baik dapat
merasa tidak puas dengan keadaan pekerjaannya, kinerjanya pun bisa menjadi buruk. Oleh karena itu, kepuasan kerja auditor menjadi penting untuk diteliti agar
dapat diketahui bagaimana pengaruhnya terhadap kinerja.
Seorang auditor harus memiliki keahlian yang memadai dalam mengaudit
laporan keuangan suatu perusahaan. Kompetensi seorang auditor dapat ditentukan oleh tiga faktor yaitu pendidikan formal, pelatihan praktek audit dan juga pengalaman, serta rajin mengikuti pendidikan profesi lanjutan (PPL). Dalam
melaksanakan audit, seorang auditor bertanggung jawab untuk merencanakan dan melaksanakan audit guna memperoleh keyakinan yang memadai apakah laporan
keuangan bebas dari salah saji yang material. Dengan dukungan kompetensi dan teknik-teknik audit serta kompetensi lain dari jenjang pendidikan formal maupun informal serta pengalaman dalam praktik audit, maka auditor harus mampu
mengumpulkan serta mengevaluasi bukti-bukti yang digunakan untuk mendukung judgement yang diberikan. Pada penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Sunu
(2013) dan Harjanto (2014) menyatakan bahwa kompetensi berpengaruh signifikan terhadap kinerja auditor. Namun hal ini tidak konsisten dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Wijaya (2012) dan Nur’Aini (2013) yang
menunjukkan bahwa kompetensi auditor tidak berpengaruh terhadap kinerja auditor.
Penelitian mengenai hubungan antara motivasi auditor, kepuasan kerja, dan kompetensi pada kinerja auditor telah dilakukan sebelumnya dimana
kompetensi auditor, dan kepuasan kerja pada kinerja auditor. Perbedaan hasil penelitian tersebut dapat diselesaikan melalui pendekatan kontijensi
(Govindarajan, 1986). Hal tersebut dilakukan dengan cara memasukkan variabel lain yang mungkin dapat mempengaruhi motivasi, kepuasan kerja, dan
kompetensi pada kinerja auditor, yaitu komitmen organisasi. Ketiga variabel tersebut akan terlihat lebih baik apabila memiliki komitmen yg baik.
Komitmen organisasi dipilih sebagai variabel pemoderasi karena mengacu
kepada pandangan bahwa karyawan memiliki komitmen terhadap organisasinya, disamping juga akan menumbuhkan loyalitas serta mendorong keterlibatan diri
karyawan dalam mengambil berbagai keputusan (Lawalata, 2010). Komitmen tersebut dapat terwujud apabila individu menjalankan hak dan kewajiban mereka sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing dalam organisasi.
Pencapaian tujuan organisasi merupakan hasil kerja semua anggota organisasi yang bersifat kolektif. Auditor yang memiliki komitmen dalam menjalankan
profesinya akan loyal terhadap pekerjaannya, sehingga keberhasilan auditor sangat ditentukan oleh interaksi komitmen dengan kompetensi, profesionalisme dan juga komitmen terhadap bidang yang ditekuninya (Loket et.al, 2004).
Berdasarkan penjelasan sebelumnya maka peneliti menguji secara empiris mengenai kemampuan komitmen organisasi dalam memoderasi pengaruh
motivasi, kepuasan kerja, dan kompetensi pada kinerja auditor dengan studi empiris pada Kantor Akuntan Publik di Bali. Nilai lebih dari penelitian yang akan
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat
dirumuskan masalah penelitian adalah sebagai berikut:
1) Apakah terdapat moderasi komitmen organisasi terhadap pengaruh motivasi
pada kinerja auditor ?
2) Apakah terdapat moderasi komitmen organisasi terhadap pengaruh kepuasan kerja pada kinerja auditor?
3) Apakah terdapat moderasi komitmen organisasi terhadap pengaruh kompetensi pada kinerja auditor ?
1.3 Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1) Untuk mendapatkan bukti empiris moderasi komitmen organisasi terhadap
pengaruh motivasi pada kinerja auditor.
2) Untuk mendapatkan bukti empiris moderasi komitmen organisasi terhadap pengaruh kepuasan kerja pada kinerja auditor.
1.4 Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan manfaat
bagi beberapa pihak, yaitu sebagai berikut: 1) Manfaat Teoritis
Penelitian ini mampu mengkonfirmasi bahwa penelitian ini memperkuat teori keperilakukan khususnya teori kontingensi, teori harapan dan teori motivasi terkait dengan kemampuan komitmen organisasi memoderasi pengaruh
motivasi auditor, kepuasan kerja, dan kompetensi auditor terhadap kinerja auditor dan sebagai referensi bagi pembaca dan peneliti selanjutnya.
2) Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini mampu memberikan informasi kepada seluruh pihak yang
berkepentingan dengan penelitian ini, yaitu:
a. Bagi lembaga pendidikan
Penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan bagi lembaga pendidikan sebagai masukan dalam penyempurnaan kurikulum sehingga mahasiswa diharapkan dapat memiliki wawasan praktis dalam bidang audit.
b. Bagi auditor
Sebagai bahan masukan untuk melaksanakan audit sesuai prosedur audit,
c. Bagi kantor akuntan publik
(1) Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan bagi pihak KAP agar
lebih transparan dan berdasarkan ukuran yang jelas dalam pemberian reward maupun bonus, sehingga auditor akan termotivasi untuk
bersaing secara positif agar menghasilkan kinerja yang lebih baik. (2) Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan bagi pihak
KAP agar lebih mengikutsertakan auditor dalam pengambilan
keputusan, sehingga hal tersebut nantinya akan meningkatkan kepuasan kerja dari auditor tersebut yang tentu akan berpengaruh
terhadap peningkatan kinerja auditor.
(3) Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan agar pihak KAP lebih meningkatkan pemberian PPL maupun seminar kepada
auditor untuk meningkatkan kompetensi auditor, karena dapat diketahui bahwa tidak hanya dari pendidikan formal saja yang dapat
meningkatkan kompetensi auditor dalam proses audit. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan agar manajemen KAP agar tetap menjaga komitmen auditor dan berfokus pada proses
meningkatkan rasa komitmen berkelanjutan pada auditor. Seperti memperhatikan kepuasan kerja auditor, program jenjang karir dan gaya
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian ini menggunakan kajian teoritis dan kajian empiris. Kajian
teoritis dalam penelitian ini terdiri dari grand theory dan supporting theori. Grand theory yang digunakan adalah teori kontijensi. Sedangkan supporting theory menggunakan teori harapan serta teori motivasi X dan Y, dan teori dua faktor
motivasi, kepuasan kerja, kompetensi, komitmen organisasi, dan kinerja auditor. Kajian empiris yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian-penelitian
yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya.
2.1 Teori Kontijensi
Teori kontinjensi menyatakan bahwa tidak ada sistem akuntansi manajemen yang dapat diterapkan secara universal. Keefektifan penerapan sebuah
sistem bergantung kepada kesesuaian antara sistem tersebut dengan lingkungan dimana sistem tersebut diterapkan (Otley, 1980). Lebih lanjut, Otley (1980) menekankan bahwa desain sistem pengendalian dan perencanaan adalah keadaan
khusus yang tidak ada ketentuan umum mengenai apa yang seharusnya dilakukan dalam situasi khusus tersebut, dan ada ketidakpastian atau kontinjensi
Pada penelitian in pendekatan kontijensi dilakukan dengan cara menetapkan variabel komitmen organisasi sebagai variabel moderasi yang
mungkin akan mempengaruhi secara kuat atau lemah hubungan antara motivasi, kepuasan kerja, dan kompetensi auditor pada kinerja auditor. Pemilihan variabel
ini mengacu pada pandangan bahwa karyawan memiliki komitmen terhadap organisasinya, dengan tujuan untuk menumbuhkan loyalitas serta mendorong keterlibatan diri karyawan yang bersangkutan dalam mengambil berbagai
keputusan Pencapaian tujuan organisasi merupakan hasil kerja semua anggota organisasi yang bersifat kolektif. Auditor yang memiliki komitmen dalam
menjalankan profesinya akan loyal terhadap pekerjaannya, sehingga keberhasilan auditor sangat ditentukan oleh interaksi komitmen dengan kompetensi, profesionalisme dan juga komitmen terhadap bidang yang ditekuninya (Loket al,
2004).
Asri, dkk (2013) mengatakan bahwa penelitian dalam bidang akuntansi
manajemen biasanya menguji hubungan variabel-variabel kontekstual seperti ketidakpastian lingkungan, ketidakpastian tugas, struktur dan kultur organisasional, ketidakpastian strategi dengan desain sistem akuntansi
manajemen. Teori kontijensi mengargumenkan bahwa kompetensi, independensi, objektivitas, akuntabilitas dan integritas yang dimiliki auditor dengan etika auditor
2.2 Teori Harapan
Salah satu teori motivasi adalah Teori Harapan yang dikemukakan oleh
Victor Vroom dalam Wahyuni (2009). Menurut teori ini, motivasi merupakan akibat suatu hasil dari yang ingin dicapai oleh seorang dan perkiraan yang
bersangkutan bahwa tindakannya akan mengarah kepada hasil yang diinginkannya itu. Artinya, apabila seseorang sangat menginginkan sesuatu, dan jalan tampaknya terbuka untuk memperolehnya, yang bersangkutan akan berupaya
mendapatkannya. Teori harapan merupakan bagian dari motivasi yang membahas adanya hubungan antara upaya melaksanakan kerja (job effort) dengan kinerja dan
hasil kinerja (performance outcome). Teori harapan memprediksi bahwa seseorang akan mengeluarkan tingkat usaha yang tinggi apabila mereka merasa bahwa ada hubungan yang kuat antara usaha dan kinerja, kinerja dan
penghargaan, serta penghargaan dan pemenuhan tujuan-tujuan pribadi. Teori Harapan ini didasarkan atas:
a) Harapan (Expectancy), adalah suatu kesempatan yang diberikan akan terjadi karena perilaku. Harapan akan berkisar antara nilai negatif (sangat tidak diinginkan sampai dengan nilai positif (sangat diinginkan). Harapan negatif
menunjukkan tidak ada kemungkinan sesuatu hasil akan muncul sebagai akibat dari tindakan tertentu, bahkan hasilnya bisa lebih buruk. Sedangkan
b) Nilai (Valence), adalah kekuatan relatif dari keinginan dan kebutuhan seseorang. Suatu intensitas kebutuhan untuk mencapai hasil, berkenaan
dengan preferensi hasil yang dapat dilihat oleh setiap individu. Bagi seorang individu, perilaku tertentu mempunyai nilai tertentu. Suatu hasil mempunyai
valensi positif apabila dipilih, tetapi sebaliknya mempunyai valensi negatif jika tidak dipilih.
c) Pertautan (Instrumentality), yaitu besarnya kemungkinan bila bekerja secara efektif, apakah akan terpenuhi keinginan dan kebutuhan tertentu yang
diharapkannya. Indeks yang merupakan tolok ukur berapa besarnya perusahaan akan memberikan penghargaan atas hasil usahanya untuk pemuasan kebutuhannya.
Menurut Siagan dalam Wahyuni (2009), teori harapan mengatakan bahwa seseorang akan termotivasi untuk mengeluarkan tingkat usaha yang lebih tinggi
ketika mereka yakin bahwa usaha tersebut akan menghasilkan penilaian kinerja yang baik, penilaian yang baik akan menghasilkan penghargaan-penghargaan organisasional seperti bonus, kenaikan imbalan kerja, atau promosi, dan
penghargaan-penghargaan tersebut akan memuaskan tujuan-tujuan pribadi para karyawan. Oleh karenanya, teori tersebut berfokus pada tiga hubungan:
2) Hubungan kinerja-penghargaan. Tingkat sampai mana individu tersebut yakin bahwa bekerja pada tingkat tertentu akan menghasilkan pencapaian yang
diinginkan.
3) Hubungan penghargaan tujuan-tujuan pribadi. Tingkat sampai mana
penghargaan-penghargaan organisasional memuaskan tujuan-tujuan pribadi atau kebutuhan-kebutuhan seorang individu dan daya tarik dari penghargaan-penghargaan potensial bagi individu tersebut.
Setiap hubungan ini akan dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu (Efendy, 2010). Agar mendukung dalam menghasilkan kinerja yang baik, individu harus
mempunyai kemampuan yang dibutuhkan untuk bekerja, dan sistem penilaian kinerja yang mengukur kinerja individu tersebut harus dipandang adil dan objektif, dengan artian bahwa dengan adanya independensi dan kompetensi yang
baik serta memiliki kepekaan terhadap etika profesi diharapkan akan mempengaruhi dalam peningkatan kinerja auditor dalam melaksanakan tugasnya.
2.3 Teori X dan Y
Douglas McGregor mengemukakan dua pandangan yang jelas berbeda
mengenai manusia. Pada dasarnya yang satu negatif, yang ditandai sebagai teori X, dan yang lain positif, yang ditandai dengan teori Y (Robbins, 2008:225).
Menurut teori X, empat asumsi yang dipegang para manajer adalah sebagai berikut.
1) Karyawan secara inheren tidak menyukai kerja, dan bila dimungkinkan akan
mencoba menghindarinya.
2) Karena karyawan tidak menyukai kerja, mereka harus dipaksa, diawasi, atau
diancam dengan hukuman untuk mencapai sasaran.
3) Karyawan akan menghindari tanggung jawab dan mencari pengarahan formal bila mungkin.
4) Kebanyakan karyawan menempatkan keamanan di atas semua faktor lain yang terkait dengan kerja dan akan menunjuk-kan ambisi yang rendah.
Kontras dengan pandangan negatif mengenai kodrat manusia ini, McGregor mencatat empat asumsi positif, yang disebut sebagai teori Y:
1) Karyawan dapat memandang kerja sebagai kegiatan alami yang sama dengan
istirahat atau bermain.
2) Orang-orang akan melakukan pengarahan diri dan pengawasan diri jika
mereka memiliki komitmen pada sasaran.
3) Rata-rata orang dapat belajar untuk menerima, bahkan mengusahakan,
4) Kemampuan untuk mengambil keputusan inovatif menyebar luas ke semua orang dan tidak hanya milik mereka yang berada dalam posisi manajemen.
2.4 Teori Dua Faktor
Herzberg (Hasibuan, 1990 : 177) mengemukakan teori motivasi berdasar teori dua faktor yaitu faktor higiene dan motivator. Faktor higiene (faktor kesehatan) adalah faktor pekerjaan yang penting untuk adanya motivasi di tempat
kerja. Faktor ini tidak mengarah pada kepuasan positif untuk jangka panjang. Tetapi jika faktor-faktor ini tidak hadir, maka muncul ketidakpuasan.
Faktor ini adalah faktor ekstrinsik untuk bekerja. Faktor higienis juga disebut sebagai dissatisfiers atau faktor pemeliharaan yang diperlukan untuk menghindari ketidakpuasan. Faktor higiene (faktor kesehatan) adalah gambaran
kebutuhan fisiologis individu yang diharapkan untuk dipenuhi. Faktor higiene (faktor kesehatan) meliputi gaji, kehidupan pribadi, kualitas supervisi, kondisi kerja, jaminan kerja, hubungan antar pribadi, kebijaksanaan dan administrasi perusahaan. Menurut Herzberg, faktor higiene (faktor kesehatan) tidak dapat dianggap sebagai motivator. Faktor motivasi harus menghasilkan kepuasan
positif. Faktor-faktor yang melekat dalam pekerjaan dan memotivasi karyawan untuk sebuah kinerja yang unggul disebut sebagai faktor pemuas. Karyawan
hanya menemukan faktor-faktor intrinsik yang berharga pada motivation factors (faktor pemuas). Para motivator melambangkan kebutuhan psikologis yang
Faktor motivasi dikaitkan dengan isi pekerjaan mencakup keberhasilan, pengakuan, pekerjaan yang menantang, peningkatan dan pertumbuhan dalam
pekerjaan. Dalam keyakinannya bahwa hubungan individu dengan pekerjaannya merupakan hubungan dasar dan bahwa sikap seseorang terhadap kerja dapat
sangat menentukan kesuksesan atau kegagalan individu itu. Menurutnya, faktor intrinsik seperti kemajuan, prestasi, pengakuan, dan tanggung jawab tampaknya terkait dengan kepuasan kerja. Disisi lain, bila mereka tidak puas, mereka
cenderung mengaitkan dengan faktor-faktor ekstrinsik, seperti misalnya pengawasan, gaji, kebijakan perusahaan, dan kondisi kerja.
Menurut hasil penelitian Herzberg ada tiga hal penting yang harus diperhatikan dalam memotivasi bawahan (Hasibuan, 1990 : 176) yaitu:
1) Hal-hal yang mendorong karyawan adalah pekerjaan yang menantang yang
mencakup perasaan berprestasi, bertanggung jawab, kemajuan, dapat menikmati pekerjaan itu sendiri dan adanya pengakuan atas semua itu.
2) Hal-hal yang mengecewakan karyawan adalah terutama pada faktor yang bersifat embel-embel saja dalam pekerjaan, peraturan pekerjaan, penerangan, istirahat dan lain-lain sejenisnya.
2.5Pengertian Auditing
Menurut Haryono (2010:11) auditing adalah suatu proses sistimatis untuk
mendapatkan dan mengevaluasi bukti yang berhubungan dengan asersi tentang tindakan-tindakan dan kejadian-kejadian ekonomi secara obyektif untuk
menentukan tingkat kesesuaian antara asersi tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan dan mengkomunikasikan hasilnya kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Pengauditan dikelompokan menjadi tiga tipe audit yaitu :
1) Audit Laporan Keuangan adalah jenis laporan audit yang digunakan untuk mementukan apakah laporan keuangan sebagai informasi kuantitatif yang
tetah ditetapkan sesuai dengan kriteria tertentu yang telah diterapkan.
2) Audit Kesesuaian adalah jenis audit yang digunakan untuk menetukan apakah pihak yang diaudit telah mengikuti aturan yang telah di berikan oleh pihak
yang berwenang didalam pelaksananya.
3) Audit Operasional adalah jenis audit ini di gunakan untuk mengkaji setiap
bagian dari prosedur dan metode yang telah dijalankan oleh suatu organisasi dengan tujuan untuk mengevaluasi efektivitas dan efisiensi dari penerapan prosedur tersebut.
2.6Pengertian Auditor
Auditor adalah seseorang yang menyatakan pendapat atas kewajaran dalam semua hal yang material, posisi keuangan hasil usaha dan arus kas yang
(examination) secara objektif atas laporan keuangan suatu perusahaan atau organisasi lain dengan tujuan untuk menentukan apakah laporan keuangan
tersebut menyajikan secara wajar, dalam semua hal yang material, posisi keuangan dan hasil usaha perusahaan atau organisasi tersebut.
Menurut Mulyadi (2002:26) orang atau kelompok dalam melaksanakan audit dapat dikelompokan menjadi tiga tipe auditor yaitu :
1) Auditor Independen adalah auditor profesi yang menyediakan jasanya kepada
masyarakat umum, terutama dalam bidang audit atas laporan keuangan yang dibuat oleh kliennya.
2) Auditor Pemerintah adalah auditor profesi yang bekerja diinstansi pemerintah yang tugas pokoknya melakukan audit atas pertanggung jawaban keuangan yang ditunjukan kepada pemerintah.
3) Auditor Intern adalah auditor yang bekerja dalam perusahaan (swasta atau negara) yang tugasnya adalah menentukan apakah kebijakan dan prosedur
yang ditetapkan oleh manajemen puncak telah dipatuhi, menentukan baik atau tidaknya penjagaan terhadap kekayaan organisasi, menetukan efisiensi dan efektifitas prosedur kegiatan organisasi, serta menentukan keandalan
2.7Profesi Akuntan Publik
Harefa (dalam Abdul, 2008:13), konsep profesi akuntan publik
mengandung dua dimensi pengertian. Dimensi pertama berkaitan dengan sifat kegiatan dan dimensi kedua berkaitan dengan tingkat kemahiran. Profesi akuntan
adalah semua bidang pekerjaan yang mempergunakan keahlian di bidang akuntansi, termasuk bidang pekerjaan akuntan publik, akuntan intern yang bekerja pada perusahaan industri, keuangan atau dagang, akuntan yang bekerja di
pemerintah, dan akuntan sebagai pendidik.
Pemerintah mensyaratkan pengalaman kerja sekurang-kurangnya tiga
tahun sebagai akuntan dengan reputasi baik di bidang audit (SK Menteri keuangan No. 43/KMK.017/1997 tanggal 27 januari 1997). Selain itu, agar mereka tetap memperoleh izin praktik menurut SK Menteri keuangan No. 43/KMK.017/1997
tanggal 27 januari 1997 pasal 17 : akuntan publik wajib menjadi anggota Ikatan Akuntan Indonesia Kompartemen Akuntan Publik dan wajib mengikuti
pendidikan professional berkelanjutan sesuai dengan ketentuan IAI.
Menurut Abdul (2008:18) ada dua klasifikasi jasa yang diberikan kantor akuntan publik yaitu :
1) Jasa Atestasi adalah suatu pertanyaan pendapat atau pertimbangan seseorang independen dan kompeten mengenai kesesuaian, dalam segala hal yang
signifikan, asersi suatu entitas dengan kriteria yang telah ditetapkan.
2) Jasa Non Atestasi adalah jasa yang dihasilkan oleh akuntan publik yang di
2.8Komitmen Organisasi
Robbins (2007:63) mendefinisikan komitmen sebagai suatu keadaan
dimana seorang individu memihak organisasi serta tujuan-tujuan dan keinginannya untuk mempertahankan keanggotannya dalam organisasi. Menurut
Sopiah (2008:29) mendefinisikan komitmen organisasional sebagai derajat dimana karyawan percaya dan mau menerima tujuan-tujuan organisasi dan akan tetap tinggal atau tidak akan meninggalkan organisasinya. Terdapat tiga
aspek komitmen organisasi, yaitu :
1) Affective commitment, yang berkaitan dengan adanya keinginan untuk
terikat pada organisasi. Individu menetap dalam organisasi karena keinginan sendiri. Kunci dari komitmen ini adalah want to.
2) Continuance commitment, adalah suatu komitmen yang didasarkan akan
kebutuhan rasional. Dengan kata lain, komitmen ini terbentuk atas dasar untung rugi, dipertimbangkan atas apa yang harus dikorbankan bila akan
menetap pada suatu organisasi. Kunci dari komitmen ini adalah kebutuhan untuk bertahan (need to).
3) Normative Commitment, adalah komitmen yang didasarkan pada norma
yang ada dalam diri karyawan, berisi keyakinan individu akan tanggung jawab terhadap organisasi. Ia merasa harus bertahan karena loyalitas.
Kunci dari komitmen ini adalah kewajiban untuk bertahan dalam organisasi (ought to).
berkomitmen terhadap organisasi akan menunjukkan sikap dan perilaku yang positif terhadap lembaganya, karyawan akan memiliki jiwa untuk tetap membela
organisasinya, berusaha meningkatkan prestasi, dan memiliki keyakinan yang pasti untuk membantu mewujudkan tujuan organisasi (Yousef, 2000). Komitmen
akan menimbulkan rasa ikut memiliki (sense of belonging) bagi karyawan terhadap organisasi. Menurut Khikmah (2005) komitmen organisasi sebagai nilai personal, yang kadang-kadang mengacu sebagai sikap loyal pada perusahaan.
2.9 Kinerja Auditor
Secara etimologi, kinerja berasal dari kata prestasi kerja (performance). Sebagaimana dikemukakan oleh Mangkunegara (2005:67) “Istilah kinerja berasal
dari kata job performance atau actual performance (prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai seseorang) yaitu hasil kerja secara kualitas dan
kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya”.
Kinerja auditor merupakan tindakan atau pelaksanaan tugas pemeriksaan yang telah diselesaikan oleh auditor dalam kurun waktu tertentu. Menurut Mulyadi (2002:11) kinerja auditor adalah “Akuntan publik yang melaksanakan
penugasan pemeriksaan (examination) secara obyektif atas laporan keuangan suatu perusahaan atau organisasi lain dengan tujuan untuk menentukan apakah
2.10 Motivasi
Motivasi adalah keadaan pribadi seseorang yang mendorong keinginan
individu melakukan kegiatan tertentu guna mencapai suatu tujuan (Handoko, 1995 dalam Trisnaningsih, 2004). Gibson (1995) menyatakan bahwa motivasi
merupakan hal yang mendorong individu ataupun kelompok untuk melakukan sesuatu perbuatan baik itu faktor dari dalam diri individu maupun faktor dari luar. Motivasi adalah dorongan untuk melakukan sesuatu.
Motivasi yang tinggi untuk menjadi seorang auditor, akan menimbulkan komitmen yang tinggi terhadap organisasi auditor itu sendiri. Dari berbagai jenis
teori motivasi, teori yang sekarang banyak dianut adalah teori kebutuhan. Teori ini beranggapan bahwa tindakan manusia pada hakikatnya adalah untuk memenuhi kebutuhannya. Ahli yang mencoba merumuskan kebutuhan-kebutuhan
manusia, di antaranya adalah Abraham Maslow. Maslow telah menyusun “tingkatan kebutuhan manusia”, yang pada pokoknya didasarkan pada prinsip,
bahwa (Wahjosumidjo, 1987):
1) Manusia adalah “ binatang yang berkeinginan”.
2) Segera setelah salah satu kebutuhannya terpenuhi, kebutuhan lainnya akan
muncul.
3) Kebutuhan-kebutuhan manusia nampak diorganisir ke dalam kebutuhan yang
bertingkat-tingkat.
4) Segera setelah kebutuhan itu terpenuhi, maka mereka tidak mempunyai
Maslow merumuskan lima jenjang kebutuhan manusia, sebagaimana dijelaskan sebagai berikut (Wahjosumidjo, 1987):
1) Kebutuhan mempertahankan hidup (Physiological Needs). Manifestasi kebutuhan ini tampak pada tiga hal yaitu sandang, pangan, dan papan.
Kebutuhan ini merupakan kebutuhan primer untuk memenuhi kebutuhan psikologis dan biologis.
2) Kebutuhan rasa aman (Safety Needs). Manifestasi kebutuhan ini antara lain
adalah kebutuhan akan keamanan jiwa, di mana manusia berada, kebutuhan keamanan harta, perlakuan yang adil, pensiun, dan jaminan hari tua.
3) Kebutuhan social (Social Needs). Manifestasi kebutuhan ini antara lain tampakpada kebutuhan akan perasaan diterima oleh orang lain (sense of belonging), kebutuhan untuk maju dan tidak gagal (sense of achievement),
kekuatan ikut serta (sense of participation).
4) Kebutuhan akan penghargaan/prestise (esteem needs), semakin tinggi status,
semakin tinggi pula prestisenya. Prestise dan status ini dimanifestasikan dalam banyak hal, misalnya mobil mercy, kamar kerja yang full AC, dan lain-lain. 5) Kebutuhan mempertinggi kapasitas kerja (self actualization), kebutuhan ini
bermanifestasi pada keinginan mengembangkan kapasitas mental dan kerja melalui seminar, konferensi, pendidikan akademis, dan lain-lain.
Menurut Suwandi (2005), dalam konteks organisasi, motivasi adalah pemaduan antara kebutuhan organisasi dengan kebutuhan personil. Hal ini akan
2.10.1 Jenis-Jenis Motivasi
Pada dasarnya motivasi dapat digolongkan dalam dua jenis, yaitu:
1) Motivasi Positif
Motivasi positif adalah proses untuk mencoba mempengaruhi orang lain agar
menjalankan suatu yang kita inginkan dengan cara memberikan kemungkinan untuk mendapatkan hadiah. Motivasi positif berupa:
a) Penghargaan terhadap pekerjaan yang dilakukan.
b) Informasi yaitu berupa memberi penjelasan kepada karyawan tentang latar belakang atau alasan pelimpahan tugas.
c) Pemberian perhatian yang tulus kepada karyawan sebagai seorang individu.
d) Menimbulkan persaingan, misalnya dengan memberikan hadiah tertentu
apabila target tercapai.
e) Kebanggan yaitu dengan menghargai hasil kerja karyawan yang memiliki
prestasi yang baik sehingga dia akan bangga akan hasil kerjanya.
f) Partispasi yaitu dengan menerima usul dari karyawan dalam pengambilan keputusan, atau dengan kata lain karyawan diikutsertakan dalam
pengambilan keputusan. 2) Motivasi Negatif
Motivasi negatif merupakan kebalikan dari semua tindakan yang diambil oleh motivator dalam melaksanakan motivasi positif. Motivasi yang negatif
sebaik-baiknya. Tetapi pemberian motivasi yang negatif hendaknya harus wajar dan tepat, sebab jika diberikan secara berlebihan akan menimbulkan kebencian
dan dendam dalam hal ini dapat merusak moral karyawan
2.10.2 Faktor-Faktor Motivasi Kerja
Faktor-faktor yang terdapat dalam motivasi di antaranya: 1) Motivasi Intrinsik
Motivasi intrinsik merupakan bagian integral dari tugas yang dihadapi dan ditentukan oleh individu yang melaksanakan tugas tersebut. Motivasi intrinsik
timbul karena imbalan-imbalan intrinsik potensial (Winardi, 2004:61). Yang tergolong motivasi intrinsik antara lain kebutuhan-kebutuhan fisiologi, tujuan-tujuan (goals), sikap (attitude), dan kemampuan aktualisasi diri dalam Maryati
(2008).
2) Motivasi Ekstrinsik
Motivasi ekstrinsik tidak tergantung pada tugas yang dilaksanakan dan mereka dikendalikan oleh pihak lain. Dapat dikatakan bahwa motivasi ekstrinsik timbul karena antisipasi akan dicapainya imbalan-imbalan ekstrinsik (Winardi
2004:61). Yang tergolong motivasi ekstrinsik meliputi: pembayaran, kemanan kerja, hubungan dengan rekan kerja, pengawasan, penghargaan, kebijakan
2.11 Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja adalah suatu sikap seseorang terhadap pekerjaan sebagai
suatu perbedaan antara banyaknya ganjaran yang diterima pekerja dan banyaknya yang diyakini yang seharusnya diterima (Robbins, 1996). Luthans (1995)
mendefinisikan kepuasan kerja sebagai suatu yang dapat memberikan kesenangan atau suatu pernyataan emosional positif sebagai hasil dari penilaian terhadap suatu pekerjaan.
Luthans (1995) menyatakan bahwa kepuasan kerja memiliki tiga dimensi. Pertama, bahwa kepuasan kerja tidak dapat dilihat, tetapi hanya dapat diduga.
Kedua, kepuasan kerja sering ditentukan oleh sejauhmana hasil kerja memenuhi atau melebihi harapan seseorang. Ketiga, kepuasan kerja mencerminkan hubungan dengan berbagai sikap lainnya dari para individual. Ward et.al, (1986), meneliti
tingkat kepuasan kerja wanita di lima area, yaitu pekerjaan secara umum, supersive, rekan kerja, promosi, dan gaji. Kepuasan kerja merupakan orientasi
emosional individu untuk menjalankan peran dan karakteristik pekerjaan mereka (Porter et.al, 1974). Menurut Locke et.al, (1993) proses pemikiran seseorang akan mempengaruhi tingkat kepuasan yang dirasakan. Pendapat lain dikemukakan oleh Ghiselli dan Brown (1950) dalam Moh. As’ad (1978). Mengemukakan ada lima
faktor yang menimbulkan kepuasan kerja yaitu antara lain kedudukan, pangkat
2.12 Kompetensi Auditor
Webster’s Ninth New Collegiate Dictionary (1983) dalam Lastanti (2005)
mendefinisikan kompetensi sebagai ketrampilan dari seorang ahli. Dimana ahli didefinisikan sebagai seseorang yang memiliki tingkat ketrampilan tertentu atau
pengetahuan yang tinggi dalam subyek tertentu yang diperoleh dari pelatihan dan pengalaman. Sedangkan Trotter (1986) dalam Saifuddin (2004) mendefinisikan bahwa seorang yang berkompeten adalah orang yang dengan ketrampilannya
mengerjakan pekerjaan dengan mudah, cepat, intuitif dan sangat jarang atau tidak pernah membuat kesalahan.
Lee dan Stone (1995), mendefinisikan kompetensi sebagai keahlian yang cukup yang secara eksplisit dapat digunakan untuk melakukan audit secara objektif. Adapun Bedard (1986) dalam Lastanti (2005) mengartikan keahlian atau
kompetensi sebagai seseorang yang memiliki pengetahuan dan ketrampilan prosedural yang luas yang ditunjukkan dalam pengalaman audit. Berdasarkan
uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kompetensi auditor adalah pengetahuan, keahlian, dan pengalaman yang dibutuhkan auditor untuk dapat melakukan audit secara objektif, cermat dan seksama. Hayes-Roth mendefinisikan
keahlian sebagai pengetahuan tentang suatu lingkungan tertentu, pemahaman terhadap masalah yang timbul dari lingkungan tersebut, dan keterampilan untuk
memecahkan permasalahan tersebut (Mayangsari, 2003).
Kompetensi yang diperlukan dalam proses audit tidak hanya berupa
peningkatan keahlian dapat dijadikan indikator untuk mengukur tingkat kompetensi auditor.
Standar umum pertama menyebutkan bahwa audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup
sebagai auditor, sedangkan standar umum ketiga menyebutkan bahwa dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama (SPAP, 2011;150:1).
Halim (2008:49) menyatakan standar pertama menuntut kompetensi teknis seorang auditor yang melaksanakan audit. Kompetensi ini ditentukan oleh tiga
faktor yaitu: 1) pendidikan formal dalam bidang akuntansi di suatu perguruan tinggi termasuk ujian profesi auditor, 2) pelatihan yang bersifat praktis dan pengalaman dalam bidang auditing, 3) pendidikan profesional yang berkelanjutan
selama menekuni karir auditor profesional. Aspek-aspek pribadi ini termasuk sifat, motif-motif, sistem nilai, sikap, pengetahuan dan ketrampilan dimana
kompetensi akan mengarahkan tingkah laku, sedangkan tingkah laku akan menghasilkan kinerja. Ashton (1991) menunjukkan bahwa dalam literatur psikologi, pengetahuan spesifik dan lama pengalaman bekerja sebagai faktor
penting untuk meningkatkan kompetensi. Ashton juga menjelaskan bahwa ukuran kompetensi tidak cukup hanya pengalaman tetapi diperlukan
pertimbangan-pertimbangan lain dalam pembuatan keputusan yang baik karena pada dasarnya manusia memiliki sejumlah unsur lain di selain pengalaman. Agusti dan Putri
secara objektif, cermat dan seksama. Menurut DeAngelo (1981) kompetensi memiliki 2 (dua) komponen yaitu pengetahuan dan pengalaman.
Menurut Kusharyanti (2003) secara umum ada lima jenis pengetahuan yang harus dimiliki oleh seorang auditor, yaitu: (1) Pengetahuan pengauditan
umum, (2) Pengetahuan area fungsional, (3) Pengetahuan mengenai isu-isu akuntansi yang paling baru, (4) Pengetahuan mengenai industri khusus, dan (5) Pengetahuan mengenai bisnis umum serta penyelesaian masalah. Tubbs (1992)
dalam Mayangsari (2003) auditor yang berpengalaman memiliki keunggulan dalam hal: (1) Mendeteksi kesalahan, (2) Memahami kesalahan secara akurat, (3)
Mencari penyebab kesalahan. Pengalaman merupakan akumulasi gabungan dari semua yang diperoleh melalui berhadapan dan berinteraksi secara berulang-ulang dengan sesama benda alam, keadaan, gagasan, dan penginderaan (Elfarini, 2007).
Nirmala dan Cahyonowati (2013) menemukan bahwa auditor berpengalaman mempunyai pemahaman yang lebih baik.
Muliani dan Rangga (2010) mengatakan bahwa seseorang jika melakukan pekerjaan yang sama secara terus menerus, maka akan menjadi lebih cepat dan lebih baik dalam menyelesaikannya. Hal ini dikarenakan dia telah benar-benar
memahami teknik atau cara menyelesaikannya, serta telah banyak mengalami berbagai hambatan-hambatan atau kesalahan-kesalahan dalam pekerjaannya