1
LAPORAN KEMAJUAN
HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA
REKONSTRUKSI PENGATURAN CONF IDENTIAL PRINCIPLE BAGI
KOMUNIKASI PADA MEDIASI SENGKETA PERDATA DI INDONESIA: STUDI PERBANDINGAN DENGAN PRAKTEK DI AMERIKA SERIKAT
TIM PENELITI
Ketua:
I GUSTI NGURAH PARIKESIT WIDIATEDJA, SH.,M.Hum.,LLM.
(0021038108)
Anggota:
1. I MADE DEDY PRIYANTO,S.H.,MKn. (0011048401)
2. ANAK AGUNG SRI UTARI,S.H.,MH (0017027702)
3. I GUSTI AGUNG AYU DIKE WIDHIYAASTUTI,S.H.,M.H
4. COK. ISTRI DIAH WIDYANTARI PRADNYA DEWI,S.H.,M.H
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
AGUSTUS 2015
3
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL
HALAMAN PENGESAHAN DAFTAR ISI
RINGKASAN
JUDUL PENELITIAN
BAB I. PENDAHULUAN
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
BAB III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
BAB IV. METODE PENELITIAN
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB VI. RENCANA TAHAPAN SELANJUTNYA
BAB VII. KESIMPULAN DAN SARAN
4
RINGKASAN
Mediasi telah semakin popular digunakan sebagai alternatif penyelesaian sengketa di Indonesia. Kendatipun demikian, efektivitasnya dalam menyelesaikan perkara perdata belum berjalan maksimal. Salah satu titik pangkal ketidakefektifan adalah ketidakjelasan ataupun kekaburan pengaturan mengenai prinsip kerahasiaan (confidential principle) bagi komunikasi yang terjadi selama proses mediasi berlangsung. Aturan hukum saat ini hanya menjelaskan bahwa mediasi dilangsungkan berdasarkan pada asas tertutup dan mediator berkewajiban menjaga kerahasiaan, baik dalam bentuk perkataan maupun catatan, yang terungkap dalam proses mediasi. Dengan kata lain, masih terdapat ketidakjelasan dalam perumusan
confidential principle khususnya dalam mengkualifikasi komunikasi yang terjadi pada proses mediasi sebagai confidential.
Di Amerika Serikat, mediasi telah menjadi alternatif penyelesaian sengketa perdata yang efektif. Salah satu faktor keberhasilan pelaksanaan mediasi adalah pengaturan
confidential principle yang tegas dan terperinci bagi setiap komunikasi yang terjadi selama proses mediasi. The Uniform Mediation Act (“UMA”) di Amerika Serikat pada prinsipnya mengatur bahwa segala bentuk komunikasi yang terjadi dan berhubungan dengan pelaksanaan mediasi adalah tunduk pada confidential principle. Dengan demikian, proses komunikasi tersebut mendapatkan hak istimewa (privilege) dengan tidak dapat menjadi barang bukti dan seluruh pihak yang terlibat dalam pelaksanaan mediasi tidak dapat dijadikan saksi pada persidangan berikutnya.
Dengan menggunakan metode penelitian normatif dengan pendekatan peraturan
5
JUDUL PENELITIAN
REKONSTRUKSI PENGATURAN CONF IDENTIAL PRINCIPLE BAGI
KOMUNIKASI PADA MEDIASI SENGKETA PERDATA DI INDONESIA: STUDI
PERBANDINGAN DENGAN PRAKTEK DI AMERIKA SERIKAT
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Mediasi telah mendapatkan tempat tersendiri sebagai bagian dari alternatif penyelesaian sengketa permasalahan perdata di Indonesia baik ditinjau dari perspektif sosiologis, filosofis, dan yuridis. Secara sosiologis, mediasi merupakan jawaban atas ketidakpuasan masyarakat Indonesia atas proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan yang sangat panjang dan membutuhkan biaya besar.1 Realitas ini tentu melihat sejumlah aturan formal prosedural yang harus dijalankan. Tidak hanya itu, proses upaya hukum yang berjenjang, dan putusan yang terkadang tidak dapat tereksekusi dengan tepat, manambah derita masyarakat pencari keadilan.2
Secara filosofis, proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan menghasilkan suatu putusan yang bersifat win lose solution. Pendikotomian pihak menang-kalah, salah-benar, dan puas-tidak puas dapat menimbulkan permasalahan baru bagi para pihak. Sementara itu, mediasi bertujuan menghasilkan kesepakatan win-win solution yang dapat diterima para pihak dengan bantuan mediator sebagai pihak ketiga yang netral3 yang tidak memiliki kewenangan dalam mengambil putusan terhadap sengketa yang terjadi.4 Mediasi merupakan proses yang forward looking dan bukan backward looking. Lovenheim menyebutkan:”The
goal is not truth finding or law imposing, but problem solving.”5
Secara yuridis, eksistensi mediasi telah diakui dalam sejumlah peraturan nasional. Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa menyebutkan mediasi sebagai proses kelanjutan dari gagalnya negosiasi yang dilakukan oleh para pihak.6 Sementara itu, dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan menyebutkan bahwa
1
Rahmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Bandung:PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003), hlm. 4
5 Peter Lovenheim, How to Mediate Your Dispute, (Berkeley:Nolo-Press,1996),hlm.46 6
6 seluruh sengketa perdata yang berada di pengadilan pertama, wajib menggunakan mediasi terlebih dahulu. Apabila para pihak tidak menempuh proses mediasi, mengakibatkan putusan batal demi hukum.7 Di samping itu, disebutkan pula bahwa PERMA ini selain dipergunakan dalam lingkungan peradilan umum dapat juga diterapkan untuk lingkungan badan peradilan lainnya.8 Terintegrasinya mediasi dalam proses acara pengadilan adalah untuk memfasilitasi dan membantu para pihak bersengketa demi terwujudnya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan melalui perundingan menuju perdamaian yang disepakati oleh kedua belah pihak.9
Kendatipun menunjukkan eksistensi yang semakin kuat di masyarakat, efektivitas mediasi dalam menyelesaikan perkara perdata belum berjalan maksimal. Data Mahkamah Agung mengungkapkan bahwa dari banyaknya perkara yang mencoba mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa, hanya empat persen yang berujung pada perjanjian perdamaian.10 Indikasi lainnya dapat dilihat dalam kasus perceraian yang terjadi di Pengadilan Agama Karangayar Jawa Tengah. Pada tahun 2011, Jumlah perkara yang dimediasi adalah 429, namun hanya 3 yang berakhir melalui perjanjian perdamaian.11
Jika ditelusuri lebih jauh, salah satu titik pangkal ketidakefektifan proses mediasi adalah ketidakjelasan ataupun kekaburan pengaturan mengenai prinsip kerahasiaan
(confidential principle) bagi komunikasi yang terjadi selama proses mediasi berlangsung. PERMA No. 1 Tahun 2008 hanya menjelaskan bahwa mediasi dilangsungkan berdasarkan pada asas tertutup kecuali para pihak menyatakan lain.12 Dalam Pedoman Perilaku Mediator yang dikeluarkan Mahkamah Agung, mediator berkewajiban menjaga kerahasiaan, baik dalam bentuk perkataan maupun catatan, yang terungkap dalam proses mediasi.13
Dengan kata lain, masih terdapat ketidakjelasan dalam perumusan confidential principle. Pada prinsipnya belum terdapat pengaturan mengenai sejauh mana setiap komunikasi yang terjadi pada proses mediasi dikategorikan sebagai confidential? Kemudian apabila terdapat suatu komunikasi yang tidak berkaitan dengan sengketa perdata yang
7 Pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan 8 Ibid, Pasal 16
9
I Made Sukadana, Mediasi Peradilan: Mediasi dalam Sistem Peradilan Perdata Indonesia Dalam Rangka Mewujudkan Proses Peradilan yang Sederhana, Cepat dan Biaya Tingan. (Jakarta:Prestasi Pustaka, 2012), hlm.112.
10 Kesuksesan Mediasi di Indonesia Masih Rendah
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52394a64d6cd3/kesuksesan-mediasi-di-indonesia-masih-rendah
Rabu, 18 September 2013, diakses pada 24 Januari 2015.
11 Artha Suhangga, dkk. FAktor-faktor Penghambat Keberhasilan Mediasi Perceraian,
http://jurnal.hukum.uns.ac.id/index.php/parental/article/viewFile/427/400 diakses pada 19 Januari 2015.
12
Pasal 6 Peraturan Mahkamah Agung Nomor. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
13
7 sedang dimediasi, apakah confidential principle tetap diberlakukan? Lalu apakah confidential principle hanya diberlakukan kepada mediator dan tidak berlaku bagi para pihak, baik penggugat ataupun tergugat?
Di Amerika Serikat, mediasi telah menjadi alternatif penyelesaian sengketa perdata yang efektif.14 Sebagai contoh dari tahun 2005 hingga 2008 di Negara Bagian Georgia, terdapat 523 proses mediasi yang berujung pada perjanjian perdamaian dari total 763 sengketa perdata yang ditangani.15 Salah satu factor keberhasilan pelaksanaan mediasi adalah pengaturan confidential principle yang tegas dan terperinci bagi setiap komunikasi yang terjadi selama proses mediasi.16
The Uniform Mediation Act (“UMA”) yang menjadi dasar hukum pelaksanaan
mediasi di Amerika Serikat pada prinsipnya mengatur bahwa segala bentuk komunikasi yang terjadi dan berhubungan dengan pelaksanaan mediasi adalah tunduk pada confidential principle. 17 Dengan demikian, proses komunikasi tersebut mendapatkan hak istimewa
(privilege) dengan tidak dapat menjadi barang bukti dan seluruh pihak yang terlibat dalam pelaksanaan mediasi tidak dapat dijadikan saksi pada persidangan berikutnya serta tidak dapat dikenakan tindakan hukum atas komunikasi yang mereka lakukan selama proses mediasi terjadi.18
Mengenai jenis dan jangkauan komunikasi yang mendapatkan perlindungan
confidential principle, secara lebih jelas UMA menyebutkan “mediation communications cover a statement, whether oral or in a record or verbal or nonverbal, that occurs during
mediation or is made for purposes of considering, conducting, participating in, initiating, continuing, or reconvening a mediation or retaining a mediator.”19
Pengaturan confidential principle yang jelas, tegas, dan detail bagi setiap proses komunikasi dalam mediasi tentu akan meningkatkan peluang terjadinya perdamaian.20 Dengan confidential principle, para pihak dapat menolak untuk memberikan informasi mengenai segala komunikasi yang terjadi dalam proses mediasi. Disamping itu, para pihak juga tidak dapat dijadikan sebagai saksi terkait komunikasi yang mereka sampaikan selama
14 Alan Kirtley, the Mediation Privilege’s Transition from Theory to Implementation: Designing a Mediation
Privilege Standard to Protect Mediation Participants, the Process and the Public Interest, Journal of Dispute Resolution No. 1994 (1995), hlm.1
15 Naman L. J. Wood, Can Judges Increase Mediation Settlement Rates? of “Coase” They Can, Ohio State
Journal on Dispute Resolution Vol. 26 (2011), hlm.688 16
Lawrence R. Freedman & Michael L. Prigoff, Confidentiality in Mediation: The Need for Protection,Ohio State Journal on Dispute Resolution Vol.2 (1986), hlm.38
17 Uniform Mediaction Act § 7.07.010 (1). 18 Ibid § 7.07.030 (1).
19
Ibid § 7.07.010 (2).
20
8 proses mediasi.21 Dengan demikian, keistimewaan ini tentu akan membuat proses berkomunikasi semakin efektif. Para pihak dapat menyampaikan informasi dan keterangan sejujur-jujurnya tanpa perasaan cemas dan khawatir bahwa mereka akan dimintakan pertanggungjawaban secara hukum.22 Proses ini tentu membantu keberadaan mediator terutama apabila terdapat isu-isu sensitive selama proses komunikasi dalam mediasi berlangsung.23
Berdasarkan sejumlah pemaparan di atas, maka penelitian ini mengambil judul
“Rekonstruksi Pengaturan Confidential Principle Bagi Komunikasi Pada Mediasi Sengketa Perdata di Indonesia: Studi Perbandingan Dengan Praktek di Amerika Serikat.” Pada langkah pertama, penelitian ini akan mengidentifikasi dan menganalisis
sejumlah peraturan nasional yang mengatur tentang confidential principle khususnya dalam hal komunikasi yang terjadi pada proses mediasi sengketa perdata. Selanjutnya, penelitian ini berupaya merekonstruksi pengaturan confidential principle bagi komunikasi yang terjadi pada proses mediasi sengketa perdata di Indonesia setelah melakukan perbandingan dengan praktek yang terdapat di Amerika Serikat.
1.2 Permasalahan
Dalam penelitian ini, terdapat dua permasalahan pokok yaitu:
1. Bagaimanakah Pengaturan Confidential Principle Bagi Komunikasi Yang Terjadi Pada Proses Mediasi Sengketa Perdata di Indonesia
2. Bagaimanakah rekonstruksi pengaturan Confidential Principle Bagi Komunikasi Yang Terjadi Pada Proses Mediasi Sengketa Perdata di Indonesia dengan merujuk pada praktek di Amerika Serikat?
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Mediasi dan Keutamaan Confidential Principle
Dalam mendefiniskan proses mediasi, terdapat beberapa pendapat yang berupaya menjelaskan proses yang sesungguhnya bersifat informal ini. Mediasi dapat diartikan sebagai suatu proses negosiasi dalam memecahkan masalah dengan melibatkan kehadiran pihak
21
Mark B. Simons, Simons California Evidence Manual, (Westgroup,2013 ) § 6:36
22 Jay M. Zitter, J.D.Construction and Application of State Mediation Privilege, American Law Review 6th
Vol. 32 (2008), hlm.285 23
9 ketiga yang tidak memihak dan netral.24 Pihak ketiga ini kemudian disebut sebagai
“mediator”. Mediator bukanlah pengambil keputusan (decision maker) melainkan hanya berfungsi untuk membantu para pihak dalam menemukan solusi demi tercapainya perdamaian diantara para pihak yang bersengketa. Karena itu, integritas, pengalaman, dan kompetensi mediator sangat menentukan keberhasilan mengefektifkan proses mediasi.
Secara etimologi, istilah mediasi berasal dari bahasa Latin, mediare atau berada di tengah. Tentu ini melihat peran mediator yang harus menengahi dan menyelesaikan sengketa antara para pihak. Selain itu, „Berada ditengah‟ juga memiliki arti bahwa mediator haruslah netral dan tidak memihak dalam menyelesaikan sengketa. Mediator harus menjalankan prinsip persamaan, non-diskriminasi, dan keadilan dalam menjaga kepentingan para pihak sehingga menumbuhkan kepercayaan (trust) dari para pihak yang bersengketa.25
John W. Head mengartikan mediasi sebagai prosedur penengahan di mana seseorang berperan layaknya “kendaraan” untuk berkomunikasi antar para pihak, sehingga perbedaan pandangan dapat dipahami hingga terjadi perdamaian. Kendatipun demikian, tanggung jawab utama tercapainya perdamaian tetap berada di tangan para pihak sendiri.26 Di sejumlah praktek mediasi, mediator bahkan berbicara secara rahasia dengan masing-masing pihak untuk menggali lebih dalam informasi-informasi yang dapat meningkatkan peluang terjadinya perdamaian.27
Dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan menyebutkan mediasi sebagai cara Penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.
Terkait prinsip-prinsip dasar dalam proses mediasi yang harus dipahami secara utuh oleh mediator, 28 Ruth Carlton menyebutkan lima prinsip dasar mediasi yang dikenal dengan lima dasar filsafat mediasi. Kelima prinsip tersebut meliputi; prinsip kerahasiaan
(confidentiality), prinsip sukarela (volunteer) prinsip pemberdayaan (empowerment), prinsip netralitas (neutrality), dan prinsip solusi yang unik (a unique solution).29
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa confidential principle merupakan prinsip pertama yang harus dijalankan dalam proses mediasi. Prinsip ini dapat diartikan bahwa
24
Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Persfektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2009), hlm. 2.
25 Ibid, hlm. 2.
26 Jonh W. Head, Pengantar Umum Hukum Ekonomi , (Jakarta:ELIPS, 1997), hlm 42. 27
Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, (Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 2006), hlm. 120.
28 John Michael Hoynes, Cretchen L. Haynes dan Larry Sun Fang, Mediation: Positive Conflict Management,
(New York: SUNY Press, 2004), hm. 16. Sebagaimana dikutif oleh Syahrizal, Abbas...Op.Cit. hlm 28.
29
10 proses mediasi adalah proses yang bersifat tertutup bagi umum kecuali para pihak menginginkannya berbeda. Dengan demikian, hanya para pihak atau kuasa hukumnya dan mediator saja yang boleh menghadiri sesi-sesi mediasi, sedangkan pihak lain tidak boleh menghadiri sesi mediasi kecuali atas izin para pihak.
2.2 Teori Perlindungan Hukum Dalam Menganalisis Tujuan Rekonstruksi Pengaturan
Confidential Principle Bagi Komunikasi Pada Mediasi
Perlindungan hukum menurut Hadjon meliputi dua macam perlindungan hukum bagi rakyat meliputi:30
1. Perlindungan Hukum Preventif : dimana kepada rakyat diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif
2. Perlindungan Hukum Represif; dimana lebih ditujukan dalam penyelesian sengketa.
Perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia adalah prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada Pancasila dan prinsip Negara Hukum yang berdasarkan Pancasila. Adapun elemen dan ciri-ciri Negara Hukum Pancasila ialah:31
1. Keserasian hubungan antara pemerintah dengan rakyat berdasarkan asas kerukunan.
2. Hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan negara 3. Prinsip penyelesian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan sarana
terakhir.
4. Keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Berdasarkan elemen-elemen tersebut, perlindungan hukum bagi rakyat terhadap pemerintah diarahkan kepada:32
1. Usaha-usaha untuk mencegah terjadinya sengketa atau sedapat mungkin mengurangi terjadinya sengketa, dalam hubungan ini sarana perlindungan hukum preventif patut diutamakan daripada sarana perlindungan represif.
30
M. Philippus Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, (Surabaya:Bina Ilmu, Surabaya, 1988) hlm.1
31 Ibid, hlm.90 32
11 2. Usaha-usaha untuk menyelesaikan sengketa antara pemerintah dan rakyat dengan
cara musyawarah.
3. Penyelesaian sengketa melalui peradilan merupakan jalan terakhir, peradilan hendaklah merupakan ultimum remedium dan peradilan bukan forum konfrontasi sehingga peradilan harus mencerminkan suasana damai dan tentram terutama melalui hubungan acaranya.
Terkait dengan adanya rekonstruksi pengaturan confidential principle bagi komunikasi yang terjadi pada mediasi adalah untuk memberikan perlindungan hokum yang lebih jelas dan tegas bagi para pihak yang terlibat dalam proses mediasi. Secara preventif, rekonstruksi pengaturan bertujuan untuk mengantisipasi dan mencegah timbulnya sengketa-sengketa baru diantara para pihak yang sedang mengusahakan perdamaian dalam proses mediasi. Sementara itu secara represif, dengan ketegasan dan kejelasan definisi, ruang lingkup, dan hubungan diantara para pihak yang terlibat dalam mediasi, akan memudahkan proses penyelesaian sengketa diantara para pihak terlebih apabila proses mediasi gagal menyelesaikan sengketa perdata diantara mereka.
III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
3.1 Tujuan
Pada langkah pertama, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis pengaturan Confidential Principle bagi komunikasi yang terjadi pada proses mediasi sengketa perdata di Indonesia. Kedua, penelitian ini bertujuan merumuskan rekonstruksi pengaturan Confidential Principle bagi komunikasi yang terjadi pada proses mediasi sengketa perdata di Indonesia dengan merujuk pada praktek di Amerika Serikat.
3.2Manfaat
12
IV. METODE PENELITIAN
4.1. Jenis Penelitian dan Metode Pendekatan
Secara umum penelitian yang diambil disini adalah penelitian hukum normatif
(normative legal research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji peraturan-perundang-undangan yang berlaku atau diterapkan terhadap suatu permasalahan hukum tertentu. Soerjono Soekanto mengidentikkan penelitian hukum normatif tersebut sebagai penelitian hukum kepustakaan, yang mencakup penelitian terhadap asas- asas hukum, sistematik hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan hukum, serta sejarah hukum.33 Sementara itu, Peter Mahmud Marzuki merumuskan penelitian hukum sebagai suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.34
Penelitian ini akan mengidentifikasi dan menganalisis tata hukum positif untuk memahami ius constitutum yang dalam konteks ini adalah konstruksi pengaturan confidential principle bagi komunikasi yang terjadi pada proses mediasi sengketa perdata di Indonesia. Tidak hanya itu, penelitian ini juga merupakan penelitian dalam asas-asas hukum untuk menemukan ius constituendum yang dalam penelitian ini akan merekomendasikan adanya rekonstruksi pengaturan confidential principle bagi komunikasi yang terjadi pada proses mediasi sengketa perdata di Indonesia setelah membandingkannya dengan praktek yang terjadi di Amerika Serikat.
Terkait dengan metode pendekatan, Peter Mahmud Marzuki menguraikan pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum meliputi:35
a. Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.
b. Pendekatan kasus dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan yang tetap.
c. Pendekatan historis dilakukan dengan menelaah latar belakang apa yang dipelajari dan perkembangan pengaturan mengenai isu yang dihadapi.
33 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2007), hlm.12.
34
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cet.2, (Jakarta : Kencana, 2008). hlm. 29
35
13 d. Pendekatan komparatif pendekatan ini dilakukan dengan membandingkan
undang-undang suatu negara dengan undang-undang-undang-undang dari satu atau lebih negara lain mengenai hal yang sama.
e. Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum.
Penelitian ini akan menggunakan beberapa metode pendekatan. Pertama pendekatan undang-undang dimana penelitian ini akan mengidentifikasi dan menganalisis pengaturan
confidential principle bagi komunikasi yang terjadi pada proses mediasi sengketa perdata di Indonesia. Proses ini melibatkan beberapa instrumen hukum nasional yang tertuang dalam beberapa Undang-undang dan Peraturan Mahkamah Agung.
Selanjutnya, penelitian ini juga menggunakan pendekatan kasus mengingat penelitian ini akan menggunakan beberapa yurisprudensi dari Mahkamah Agung Amerika Serikat yang telah memiliki kekuatan hukum mengikat, khususnya dalam memaparkan definisi, ruang lingkup, pelepasan, dan pengecualian confidential principle bagi komunikasi yang terjadi pada proses mediasi sengketa perdata.
Kemudian, penelitian ini menggunakan pendekatan komparatif karena dalam memformulasikan pengaturan confidential principle bagi komunikasi yang terjadi pada proses mediasi sengketa perdata di Indonesia, mengacu kepada pengaturan confidential principle bagi komunikasi yang terjadi pada proses mediasi sengketa perdata di Amerika Serikat. Amerika Serikat dipilih sebagai obyek perbandingan mengingat negara tersebut merupakan tempat kelahiran dari proses mediasi di seluruh dunia. Selain itu, terdapat beberapa yurisprudensi pengadilan Amerika Serikat yang telah berkekuatan hukum tetap yang mengatur secara tegas dan detail terkait pemberian confidential principle bagi komunikasi yang terjadi pada proses mediasi sengketa perdata.
Pada akhirnya, penelitian ini juga menggunakan pendekatan konseptual karena menganalisis konsep-konsep dan doktrin-doktrin tentang perlindungan hukum sebagai dasar tujuan pemberian confidential principle bagi komunikasi yang terjadi pada proses mediasi sengketa perdata di Indonesia.
4.2. Jenis dan Sumber Bahan Hukum
Data yang diperoleh dan diolah dalam penelitian hukum normatif adalah jenis data sekunder yang dalam penelitian ini dijadikan bahan utama.36 Data ini diperoleh dari sumber kepustakaan. Macam data hukum dalam penelitian ini antara lain:
36
14 a. Bahan Hukum Primer: yaitu bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari norma atau kaedah dasar, peraturan dasar, peraturan-peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang confidential principle bagi komunikasi yang terjadi pada proses mediasi sengketa perdata meliputi:
1. The Uniform Mediation Act
2. Revised Code of Washington
3. Yurisprudensi Pengadilan Negara Bagian Washington dalam Kasus Mutual of Enumclaw v. Cornhusker.
4. Yurisprudensi Pengadilan Negara Bagian Washington dalam Kasus Prof'l Recreation Org., Inc. v. Nat'l U.
5. Yurisprudensi Pengadilan Negara Bagian Washington dalam kasus Western & Clay, LLC v. Landmark Am. Ins.Co.
6. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa.
7. Peraturan Mahkamah Agung Nomor. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
8. Pedoman Perilaku Mediator Mahkamah Agung Republik Indonesia
b. Bahan hukum sekunder: yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang ada sehingga dapat dilakukan analisis dan pemahaman yang lebih mendalam, yang terdiri atas: 37
1. Penjelasan dari konvensi internasional dan peraturan perundang-undangan yang digunakan sebagai bahan hukum primer;
2. Buku-buku literatur atau bacaan yang menjelaskan tentang confidential principle bagi komunikasi yang terjadi pada proses mediasi sengketa perdata. 3. Hasil-hasil penelitian khususnya terkait confidential principle bagi komunikasi
yang terjadi pada proses mediasi sengketa perdata
4. Pendapat ahli yang berkompeten dengan penelitian penulis; 5. Artikel atau tulisan dari para ahli;
6. Sarana elektronika (westlaw, bloomberg law dan lexisnexis) yang sangat membantu proses pencarian bahan hukum primer dan sekunder.
37
15 c. Bahan hukum tersier: bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan tambahan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang terdapat dalam penelitian yaitu: 38
1. Kamus Bahasa Indonesia 2. Kamus Hukum
3. Kamus Ilmiah Populer
4.3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum yang dilakukan adalah dengan cara menggali kerangka normatif menggunakan buku-buku yang membahas tentang confidential principle
bagi komunikasi yang terjadi pada proses mediasi sengketa perdata di Indonesia. a. Bahan Hukum Primer didapat dengan cara:
Mempelajari ketentuan-ketentuan hukum terkait pengaturan confidential principle
bagi komunikasi yang terjadi pada proses mediasi sengketa perdata b. Bahan Hukum Sekunder didapat dengan cara:
1. Mengutip penjelasan dari peraturan perundang-undangan yang berkaitan 2. Menelusuri pendapat para ahli hukum dan para ahli yang berkompeten dalam
penelitian penulis yang ada di buku-buku pustaka.
3. Melakukan akses di internet atau tulisan artikel yang berkaitan.
4.4. Metode Analisis Bahan Hukum
Berbagai informasi dan bahan yang diperoleh kemudian akan dianalisis dengan menggunakan metode analisis isi (content analysis).39 Metode ini menguraikan materi peristiwa hukum atau produk hukum secara rinci guna memudahkan interpretasi dalam pembahasan. Terdapat dua content analysis method, yaitu:40
1. Tinjauan Yuridis, yaitu suatu bentuk analisis dari berbagai aspek dan mengungkapkan segi positif dan negatif suatu produk hukum dengan menitiberatkan pada penggunaan data sekunder yakni produk hukum.
2. Analisis Yuridis, yaitu suatu bentuk analisis dari berbagai aspek dan mengungkapkan segi positif dan negatif suatu produk hukum dengan
38
Ibid, hlm.56
39Valerina JL Kriekhoff, Analisis Kontent Dalam Penelitian Hukum : Suatu Telaah Awal, Era Hukum No.6
Tahun 2002.hlm. 27
40
16 menitiberatkan pada penggunaan data primer yang bersumber dari para intelektual dan lapisan masyarakat bawah serta data sekunder.
Penelitian ini lebih menitikberatkan pada tinjauan yuridis dengan mengungkapkan sisi negatif dalam suatu peraturan seperti potensi kekaburan norma dan konflik norma dalam pemberian confidential principle bagi komunikasi yang terjadi pada proses mediasi sengketa perdata di Indonesia. Di samping itu, penelitian ini juga menggunakan teori-teori tentang perlindungan hukum dalam melihat tujuan pemberian confidential principle bagi komunikasi yang terjadi pada proses mediasi sengketa perdata di Indonesia.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Pengaturan Confidential Principle dalam Mediasi Sengketa Perdata di Indonesia
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa merupakan instrument hukum pertama yang secara tersirat mengakui keberadaan mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Undang-undang ini berupaya mendorong pihak-pihak yang bersengketa agar menunjukkan itikad baik, karena tanpa itikad baik apa pun yang diputuskan di luar pengadilan tidak akan dapat dilaksanakan.
Undang-undang ini menyebutkan alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau perbedaan pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli. Secara implisit pengertian mediasi ini tertuang dalam Pasal 6 ayat (3) yang menyebutkan bahwa atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang atau lebih mediator.41
Dalam Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi Disebutkan bahwa Mediasi merupakan instrumen efektif untuk mengatasi penumpukan perkara di pengadilan, dan sekaligus memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam menyelesaikan sengketa, di samping proses pengadilan yang bersifat memutus (adjudikatif). Ketentuan ini mewajibkan para hakim mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi. Apabila hakim tidak menerapkan prosedur mediasi, maka putusan hakim tersebut batal demi hukum.42
Ruang lingkup sengketa yang dapat dimediasi adalah semua sengketa perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama, kecuali perkara yang diselesaikan melalui prosedur pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial, keberatan atas putusan Badan
41
Pasal 6 Ayat 3Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
42
17 Penyelesaian Sengketa Konsumen dan keberatan atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha.43
Idealnya, mediasi di lingkungan pengadilan harus dilakukan oleh mediator yang berasal dari luar pengadilan. Akan tetapi, dengan jumlah mediator yang terbatas dan tidak semua pengadilan tingkat pertama mempunyai mediator, maka hakim diperkenankan untuk menjadi mediator. Persyaratannya, hakim yang berperan sebagai mediator bukanlah hakim yang sedang menangani perkara yang akan dimediasikan, tetapi hakim-hakim lainnya di pengadilan tersebut. Sedangkan mediator nonhakim dapat berpraktik di pengadilan bila memiliki sertifikat mediator yang diperoleh setelah mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh lembaga yang mendapat akreditasi Mahkamah Agung.44
Dari sisi jangka waktu, mediasi dapat berlangsung selama 40 (empat puluh hari) sejak mediator dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh ketua majelis hakim. Atas dasar kesepakatan para pihak, masa proses mediasi dapat diperpanjang selama 14 (empat belas) hari sejak berakhirnya masa 40 (empat puluh hari) tadi. Selama proses mediasi berlangsung , mediator menjalankan perannya untuk menyiapkan jadwal pertemuan mediasi, mendorong para pihak secara langsung untuk ikut serta dalam proses mediasi dan bila dianggap perlu dapat melakukan kaukus.45
Mediator berkewajiban menyatakan proses mediasi menemui kegagalan atau mencapai kesepakatan kepada ketua majelis hakim. Mediasi dinyatakan gagal jika salah satu pihak atau para pihak atau kuasa hukumnya telah dua kali berturut-turut tidak menghadiri pertemuan mediasi yang telah disepakati atau telah dua kali berturut-turut tidak menghadiri pertemuan mediasi tanpa alasan setelah dipanggil secara patut.46
18 Terkait dengan confidential principle, PERMA ini hanya menyebutkan bahwa proses
mediasi pada asasnya tertutup kecuali para pihak menghendaki lain”.48
Selanjutnya, catatan-catatan mediator wajib dimusnahkan setelah proses mediasi berakhir.49 Tidak kalah pentingnya bahwa mediator tidak boleh diminta menjadi saksi dalam proses persidangan
perkara yang bersangkutan”.50
Dalam Pedoman Perilaku Mediator yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung disebutkan bahwa mediator wajib menjaga kerahasiaan informasi, baik dalam bentuk perkataan dan pengakuan yang terungkap dalam proses mediasi;51
5.2 Pengaturan Confidential Principle bagi Komunikasi yang terjadi Pada Mediasi di Amerika Serikat
5.2.1 Definisi dan Ruang Lingkup Komunikasi yang Terkualifikasi dalam Confidential Principle
The UMA mendefinisikan mediasi sebagai proses dimana mediator sebagai pihak ketiga memfasilitasi komunikasi dan negosiasi diantara para pihak untuk membantu mereka dalam meraih perdamaian secara sukarela.52 Terkait dengan ruang lingkup komunikasi dalam mediasi, the UMA menjelaskan bahwa:
“Mediation communications cover a statement, whether oral or in a record or verbal or nonverbal, that occurs during mediation or is made for purposes of considering, conducting,
participating in, initiating, continuing, or reconvening a mediation or retaining a mediator.”53
Selanjutnya, the UMA menjelaskan bahwa proses komunikasi yang terjadi dalam mediasi terkualifikasi sebagai confidential sehingga mendapatkan hak istimewa (privilege). Dengan demikian, isi komunikasi tersebut tidak dapat diajukan sebagai bukti dalam persidangan berikutnya kecuali para pihak melepaskan hak istimewa tersebut atau komunikasi tersebut masuk dalam kategori yang bisa dikecualikan (exceptions).54 Melalui hak keistimewaan ini, para pihak yang terlibat dalam proses mediasi meliputi: penggugat, tergugat, mediator, dan pihak-pihak yang ikut terlibat didalamnya dapat menolak untuk membuka dan dapat
48 Ibid,Pasal 6 49 Ibid, Pasal 19 (1) 50
Ibid, Pasal 19 (3)
51 Pasal 4 Pedoman Perilaku Mediator
52 Revised Code of Washington . (ARCW) § 7.07.010 (1). 53
Ibid § 7.07.010 (2).
54
19 mencegah pihak manapun yang ingin membuka isi komunikasi yang terjadi dalam proses mediasi tersebut sebagai bagian dari confidential principle.55
The UMA juga menjelaskan ruang lingkup dari apa yang dimaksud sebagai proses mediasi. Selengkapnya the UMA menyebutkan:
“Mediation proceeding defines as a judicial, administrative, arbitral, or other adjudicative process, including related prehearing and posthearing motions, conferences and discovery; or a legislative hearing as well as similar process.”56
Dengan demikian, setiap komunikasi yang terjadi ataupun bahan-bahan yang diajukan, atau berhubungan dengan ruang lingkup proses mediasi baik yang diajukan para pihak (ataupun yang mewakili) ke mediator ataupun sebaliknya, mendapatkan hak istimewa dan tidak dapat diungkapkan isinya alias confidential dalam setiap proses persidangan.57
5.2.2. Pelepasan dan Pengecualian dari Confidential Principle bagi Komunikasi pada Proses Mediasi
The UMA menyatakan bahwa hak istimewa dapat dilepaskan apabila seluruh pihak yang terlibat dalam proses mediasi dengan pernyataan tegas (expressly) melepaskan hak istimewa tersebut.58 Selanjutnya, seseorang yang secara sengaja melakukan tindakan kriminal dalam proses mediasi tidak mendapatkan hak istimewa.59 Artinya, apabila komunikasi yang terjadi dalam proses mediasi mengandung unsur-unsur tindakan criminal, maka komunikasi tersebut dapat menjadi bukti untuk menghukum pelaku yang melakukan atau mencoba melakukan tindakan criminal dalam proses mediasi karena komunikasi tersebut tidak lagi terkualifikasi dalam confidential principle.
Terkait dengan pengecualian-pengecualian dari hak istimewa, the UMA mengatur hal-hal yang dapat terkualifikasi dalam pengecualian meliputi: adanya perjanjian diantara para pihak, ketentuan hukum mengharuskan hak istimewa itu dicabut, adanya ancaman baik yang bersifat fisik dan psikis terhadap pihak yang terlibat dalam mediasi, terkait dengan proses penyelidikan dan penyidikan terhadap kesalahan professional dari mediator, dan terkait
55
Ibid. § 7.07.030 (2).
56 Ibid. § 7.07.010 (7).
57 Scott Horenstein, Washington Practice Family and Community Property Law Vol. 22 (2013 ed.). §5.60.070 58
Revised. Code of Washington, op.cit., § 7.07.040 (1).
59
20 pembuktian terhadap penelantaran anak.60 Tidak hanya itu, the UMA juga menyatakan bahwa hakim dapat menyatakan proses komunikasi tidak terkualifikasi sebagai confidential apabila kepentingan untuk membuka isi komunikasi jauh lebih besar dari kepentingan untuk merahasiakan komunikasi tersebut.61
5.2.3 Yurisprudensi Pengadilan Amerika Serikat terkait Pemberian Confidential Principle bagi Proses Komunikasi dalam Mediasi
Pada prinsipnya, proses komunikasi yang terjadi dalam mediasi mendapatkan hak istimewa sebagai komunikasi yang confidential jika komunikasi tersebut berlangsung dalam proses mediasi, atau berhubungan dan/atau mendukung proses mediasi tersebut. Kendatipun demikian, hakim-hakim di pengadilan di Amerika Serikat terkadang menolak memberikan hak istimewa karena komunikasi tersebut tidak berlangsung pada saat mediasi ataupun tidak memiliki hubungan atau relevansi dengan proses mediasi.62
Di 2008, Pengadilan Negara Bagian Washington menolak memberikan hak istimewa bagi komunikasi yang terjadi dalam mediasi karena isi dari komunikasi tersebut bukanlah isu hukum yang dibicarakan dalam sengketa perdata para pihak dan berada di luar ruang lingkup komunikasi dalam mediasi.63 Akan tetapi, di 2009, pengadilan memberikan hak istimewa bagi komunikasi yang terjadi saat berlangsungnya mediasi terlebih lagi karena para pihak sama sekali tidak melepaskan hak istimewa tersebut.64 Menariknya, dalam kasus yang terjadi di 2010, pengadilan secara parsial memberikan hak istimewa bagi komunikasi. Pengadilan melindungi pernyataan para pihak dan juga komunikasi antara penggugat dan kuasa hukum tetapi tidak memberikan hak istimewa bagi komunikasi yang terkait isi perjanjian perdamaian dalam mediasi.65
Dalam kasus Mut. of Enumclaw v. Cornhusker Cas. Ins. Co Pengadilan Federal Washington menolak hak istimewa untuk melindungi komunikasi yang terjadi dalam proses mediasi mengenai bukti dugaan itikad buruk perusahaan asuransi selama proses mediasi. Hal ini karena pengadilan tidak melindungi komunikasi selain yang benar-benar berhubungan
60 Ibid § 7.07.050 (1). 61 Ibid. § 7.07.050 (2). 62 Ibid § 7.07.010 (2).
63 Yurisprudensi Pengadilan Negara Bagian Washington dalam Kasus Mutual of Enumclaw v. Cornhusker
(E.D.Wash. Sept. 16, 2008). (Selanjutnya disebut”Enumclaw”)
64 Yurisprudensi Pengadilan Negara Bagian Washington dalam KasusProf'l Recreation Org., Inc. v. Nat'l U
(W.D.Wash. Sept. 4, 2009). (selanjutnya disebut “Pro Sport”)
65
21 dengan isu utama dalam sengketa yang dalam konteks ini adalah masalah ganti rugi atas cedera penggugat.66
Dalam hal ini, Enumclaw, sebagai penggugat, mengajukan gugatan kepada Cornhusker
yang dianggap melanggar kontrak untuk mengganti kerugian Clarks (klien Enumclaw)
dengan tidak menggunakan itikad baik dan transaksi yang adil untuk Clarks. 67 Sebagai tergugat, Cornhusker meminta hakim untuk melindungi komunikasi yang terjadi pada mediasi sehingga pengadilan tidak perlu mengungkapkan isi komunikasi tersebut dalam tahapan persidangan perdata yang dijalani.68 Hal ini karena komunikasi pada mediasi adalah isu dominan dalam sengketa ini termasuk bukti dugaan itikad buruk perilaku perusahaan asuransi. Akibatnya, komunikasi tersebut mendapatkan hak istimewa sebagai komunikasi yang confidential yang tidak bisa dijadikan sebagai alat bukti.
Dalam persidangan, Hakim tidak puas dengan pernyataan dari tergugat. Hal ini karena the UMA tidak melindungi komunikasi selain komunikasi yang terkait dengan isu hukum utama dalam sengketa yang mendasari. Hakim menyatakan bahwa isu utama sengketa yang harus diselesaikan dalam mediasi hanya masalah ganti rugi atas cedera penggugat dan bukan masalah asuransi. 69 Selain itu, mediasi tidak dimaksudkan untuk menyelesaikan permasalahan asuransi. 70 Akibatnya, penggugat tidak boleh dilarang untuk mengungkapkan isi komunikasi dalam mediasi yang terkait dengan isu perlindungan ansuransi.71 Dari pendapat hakim ini, ia mungkin akan melindungi komunikasi mediasi jika komunikasi asuransi adalah isu utama yang harus diselesaikan.
22 Dalam hal ini, penggugat, PRO Sport dan Mark Dedomenico, menggugat National Union karena menolak melakukan pembayaran asuransi kebakaran kepada mereka. 73 Tergugat menegaskan bahwa penggugat harus mengungkapkan isi komunikasi dalam mediasi untuk menjelaskan dasar gugatan.74 Sebaliknya, penggugat berpendapat bahwa komunikasi yang terjadi mendapatkan hak istimewa menurut hukum Washington dan tidak tunduk pada tahapan persidangan berikutnya.75 Meskipun hakim setuju dengan tergugat bahwa penggugat dapat selalu dipaksa untuk mengungkapkan komunikasi yang terjadi pada mediasi untuk menjelaskan dasar gugatan mereka, hakim menyatakan bahwa tergugat tidak melepaskan hak istimewanya. Karenanya, pengadilan tidak dapat menolak hak istimewa dari Pro Sport. 76
Dalam keputusan terbaru, Pengadilan Washington setuju untuk memberikan hak istimewa sebagai confidential bagi komunikasi yang terjadi pada mediasi dalam sengketa asuransi proyek konstruksi kondominium di Seattle. Di satu sisi, pengadilan setuju bahwa proses korespondensi antara penggugat dan penasehat hukumnya merupakan komunikasi yang confidential. Hal ini karena proses korespondensi yang dilakukan dipersiapkan dalam rangka proses mediasi. Di sisi lain, pengadilan tidak memberikan hak istimewa sebagai informasi yang confidential bagi perjanjian perdamaian karena penggugat tidak menjadi subyek dari perjanjian tersebut. 77
Dalam kasus ini, proses litigasi terdahulu antara kelompok penggugat (Western & Clay, LLC.) telah diselesaikan melalui mediasi. Selanjutnya, dalam proses litigasi ini, pihak-pihak yang terlibat melakukan proses pertukaran dokumen.78 Melalui pertukaran ini, Landmark American Insurance sebagai tergugat, menemukan secara tidak sengaja dokumen yang berhubungan dengan mediasi sebelumnya.79 Oleh karena itu, tergugat meminta pengungkapan isi komunikasi dalam mediasi tersebut yang meliputi: (1) pernyataan mediasi yang disiapkan oleh penggugat; (2) surat dari pengacara salah satu penggugat tentang jadwal mediasi sebelumnya; dan (3) perjanjian perdamaian yang ditandatangani oleh semua penggugat.80 Tergugat berpendapat bahwa semua isi komunikasi ini tidak confidential karena tidak berkaitan dengan proses mediasi saat ini.81
23 Meskipun hakim menyatakan bahwa isi perjanjian perdamaian sebagai isi komunikasi yang tidak confidential, hakim menolak untuk mengklasifikasikan pernyataan mediasi dan komunikasi antara penggugat dan penasehat hukum sebagai komunikasi yang confidential. Hal ini karena hakim beralasan bahwa dokumen-dokumen tersebut dipersiapkan dalam rangka mediasi. Mengenai komunikasi diantara penggugat dan penasehat hukum, hakim memutuskan bahwa proses korespondensi yang melibatkan penggugat dan penasehat hukumnya adalah suatu bentuk komunikasi yang dilakukan dan berhubungan dengan proses mediasi. Dengan demikian, komunikasi ini terkualifikasi sebagai komunikasi yang
confidential.82
Dari tiga kasus yang telah diputuskan, pengadilan di negara bagian Washington akan mengkualifikasikan proses komunikasi yang terjadi dalam proses mediasi sebagai komnikasi yang confidential apabila komunikasi tersebut termasuk dalam ruang lingkup definisi mediasi dan komunikasi mediasi. Tidak kalah pentingnya, hakim secara teliti akan memeriksa apakah terdapat suatu pelepasan hak istimewa bagi komunikasi atau komunikasi yang dilakukan termasuk dalam komunikasi yang dapat dikecualikan sebagai komunikasi yang confidential. 5.3 Rekonstruksi pengaturan Confidential Principle Pada Proses Mediasi Sengketa
Perdata di Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Cet.1.,Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2004.
Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, (Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 2006)
82 Ibid
24 I Made Sukadana, Mediasi Peradilan: Mediasi dalam Sistem Peradilan Perdata
Indonesia Dalam Rangka Mewujudkan Proses Peradilan yang Sederhana, Cepat dan Biaya Tingan. (Jakarta:Prestasi Pustaka, 2012)
Lovenheim, Peter. How to Mediate Your Dispute, (Berkeley:Nolo-Press,1996) Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010.
M. Philippus Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, Surabaya:Bina Ilmu, Surabaya, 1988.
Muslih MZ. Mediasi: Suatu Pengantar Teori dan Praktek, (Semarang: Walisongo Mediation Centre, 2007)
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cet.2, Jakarta : Kencana, 2008
Rahmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Bandung:PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003)
Simons,MARK B, Simons California Evidence Manual, (Westgroup,2013 )
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007.
S. Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta :Raja Grafindo Persada,2003.
Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Persfektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum
Nasional, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2009)
W. Strong, John. ed. McCORMICK ON EVIDENCE, (St.Paul:Thomson/West,1999) W. Head, John, Pengantar Umum Hukum Ekonomi , (Jakarta:ELIPS, 1997)
Jurnal-jurnal
Anggreany Arief, Mediasi Sebagai Alternative Penyelesaian Perkara Perdata, Al-Risalah, Vol. 12 No. 2 Nopember (2012)
Deason , Ellen E.P r edicta ble Media tion Confidentia lity in the U.S. F eder a l System, Ohio State Journal On Dispute Resolution, Vol. 17 No.239 (2002)
Friedman Lawrence R. & Michael L. Prigoff, Confidentiality in Mediation: The Need for Protection,Ohio State Journal on Dispute Resolution Vol.2 (1986),
Horenstein,Scott Washington Practice Family and Community Property Law (2013 ed.). Kirtley, Alan, the Mediation Privilege’s Transition from Theory to Implementation:
25 Naman L. J. Wood, Can Judges Increase Mediation Settlement Rates? of “Coase” They Can,
Ohio State Journal on Dispute Resolution Vol. 26 (2011)
Valerina JL Kriekhoff, Analisis Kontent Dalam Penelitian Hukum : Suatu Telaah Awal, Era
Hukum No.6 Tahun 2002.hlm. 27
Zitter, J.D., Jay,M.Construction and Application of State Mediation Privilege, American
Law Review 6th Vol. 32 (2008)
Peraturan hukum dan Yurisprudensi Pengadilan Amerika Serikat
The Uniform Mediation Act Revised Code of Washington
Yurisprudensi Pengadilan Negara Bagian Washington dalam Kasus Mutual of Enumclaw v. Cornhusker (E.D.Wash. Sept. 16, 2008). (Selanjutnya disebut”Enumclaw”)
Yurisprudensi Pengadilan Negara Bagian Washington dalam KasusProf'l Recreation Org., Inc. v. Nat'l U (W.D.Wash. Sept. 4, 2009). (selanjutnya disebut “Pro Sport”)
Yurisprudensi Pengadilan Negara Bagian Washington dalam kasus Western & Clay, LLC v. Landmark Am. Ins. Co., (W.D. Wash.,May.10, 2010). (Selanjutnya disebut “Western and
Clay”)
Peraturan hukum Indonesia
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Pedoman Perilaku Mediator Mahkamah Agung Republik Indonesia
Internet Sources
Kesuksesan Mediasi di Indonesia Masih Rendah
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52394a64d6cd3/kesuksesan-mediasi-di-indonesia-masih-rendah
Rabu, 18 September 2013, diakses pada 24 Januari 2015.
Artha Suhangga, dkk. FAktor-faktor Penghambat Keberhasilan Mediasi Perceraian,
http://jurnal.hukum.uns.ac.id/index.php/parental/article/viewFile/427/400 diakses pada 19
1