• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN DIABETES MELITUS TIPE 2 TERHADAP RESPON OTONOMIK DENYUT JANTUNG YANG BURUK PADA PASIEN PASCA IMA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "HUBUNGAN DIABETES MELITUS TIPE 2 TERHADAP RESPON OTONOMIK DENYUT JANTUNG YANG BURUK PADA PASIEN PASCA IMA."

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

i

TESIS

HUBUNGAN DIABETES MELITUS TIPE 2

TERHADAP RESPON OTONOMIK DENYUT

JANTUNG YANG BURUK

PADA PASIEN PASCA IMA

I GEDE BAGUS GITA PRANATA PUTRA NIM: 1114138101

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(2)

ii

HUBUNGAN DIABETES MELITUS TIPE 2

TERHADAP RESPON OTONOMIK DENYUT

JANTUNG YANG BURUK

PADA PASIEN PASCA IMA

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister

Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik Program Pasca Sarjana Universitas Udayana

I GEDE BAGUS GITA PRANATA PUTRA NIM: 1114138101

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(3)

iii Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 26 AGUSTUS 2015

Pembimbing I, Pembimbing II,

dr. K. BadjraNadha Sp.JP (K), FIHA, FasCC Dr.dr. Ida Sri Iswari, Sp.MK, M.Kes NIP. 195408151981121001 NIP. 19610505 199002 2 001

Mengetahui

Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Direktur

Program Pascasarjana Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, Universitas Udayana,

Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih,M.Sc, Sp.GK Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K)

(4)

iv

Tesis Ini Telah Diuji dan Dinilai oleh Panitia Penguji pada Program Pascasarjana Universitas Udayana

pada Tanggal Agustus 2015

Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana No.: 2341/UN 14.4/HK/2015

Tanggal 3 Agustus 2015

Panitia Penguji Tesis adalah:

Ketua : dr. I Ketut Badjra Nadha, Sp.JP (K), FIHA, FAsCC Anggota :

1. Dr.dr. Ida Sri Iswari, Sp.MK, M.Kes

(5)

v

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Nama : dr. I Gede Bagus Gita Pranata Putra

NIM : 1114138101

Program Studi : Magister Ilmu Biomedik (Combine-Degree)

Judul : Hubungan Diabetes Melitus Tipe 2 Dengan Respon Otonomik Denyut Jantung Yang Buruk Pada Pasien Pasca Ima

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat.

Apabila dikemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI No 17 tahun 2010 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Denpasar, 20 Agustus 2015 Yang membuat pernyataan,

(6)

vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Kuasa atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penyusunan tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. Terwujudnya tesis yang berjudul ” Hubungan Diabetes Melitus Tipe 2 Dengan Respon Otonomik Denyut Jantung Yang Buruk Pada Pasien Pasca Ima” tentunya tidak lepas dari peran berbagai pihak, sehingga penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya dan setulus-tulusnya kepada:

Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr Ketut Suastika, SpPD-KEMD dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Prof. Dr. dr Putu Astawa, Sp.OT (K), M.Kes yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas pada penulis untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis I di Universitas Udayana.

Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K), atas kesempatan yang telah diberikan pada penulis untuk menjadi mahasiswa program pasca sarjana, program studi kekhususan kedokteran klinik (combined degree).

Ketua Program Pascasarjana Kekhususan Kedokteran Klinik (combined degree), Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, Sp.GK, yang telah

(7)

vii

Direktur RSUP Sanglah Denpasar, dr. A.A.A Saraswati, M.Kes atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk melanjutkan pendidikan di Bagian/SMF Kardiologi dan Kedokteran Vaskular dan melakukan penelitian di RSUP Sanglah Denpasar.

Kepala Bagian/SMF Kardiologi dan Kedokteran VaskularFakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah, Dr. IGN Putra Gunadhi, SpJP(K) yang telah memberikan kesempatan penulis untuk mengikuti program pendidikan dokter spesialis I di bagian/SMF Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FK UNUD/RSUP Sanglah dan telah memberikan dukungan, semangat serta masukan selama pembuatan tesis.

Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis I (KPS PPDS-I) Bagian/SMF Kardiologi dan Kedokteran Vaskular Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah, Prof. Dr. dr. Wayan Wita, SpJP(K). Sekaligus selaku Ketua Divisi Rehabilitasi Kardiovaskular yang dengan tulus ikhlas meluangkan waktu, tenaga, serta perhatian yang tinggi untuk memberikan dorongan, bimbingan, dan arahan mulai dari penyusunan proposal hingga penyelesaian tesis ini.

(8)

viii

DR.dr Ida Sri Iswari, Sp. MK, M.Kes selaku pembimbing kedua yang telah banyak memberikan bimbingan dan masukan yang sangat berharga berhubungan dengan penelitian ini sehingga tesis ini dapat tersusun dengan baik.

Prof. DR. dr. I Gede Raka Widiana, Sp.PD-KGH yang dengan kesediaan penuh meluangkan waktu, tenaga, serta perhatian yang tinggi untuk membimbing penulis dengan sabar, sehingga penulis dapat mengerti dengan baik dan menyelesaikan tesis ini, dan juga sebagai orang tua yang berperan besar dan mendukung dalam pendidikan PPDS I Kardiologi dan Kedokteran Vaskular ini.

Seluruh staf pengajar Bagian Kardiologi dan Kedokteran Vaskular Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang telah mendidik, memberikan kesempatan, ijin, serta fasilitas kepada penulis untuk dapat mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Kardiologi dan Kedokteran Vaskular serta menyelesaikan tesis ini.

Ketua Tim dan anggota Tim Penguji tesis ini yang telah memberikan pemecahan serta masukan yang bermanfaat guna perbaikan tesis ini.

Yang teristimewa untuk kedua orang tua saya tercinta, I Nyoman Arka Suteja, SE, Ak dan Ni Made Sawitri, serta mertua saya Ir. I Made Artha dan Ni Wayan Metri, BA yang telah memberikan doa, kasih sayang tanpa batas, semangat, dan dukungan moril materil kepada penulis selama mengikuti pendidikan ini sehingga dapat dijalani dengan baik.

(9)

ix

kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan dengan baik tesis ini dan juga kepada ananda I Putu Bagus Ngurah Arya Wibawa Kepakisan yang tidak hentinya menghibur dan memberikan kekuatan secara batin dalam menyelesaikan pendidikan ini.

Seluruh keluarga besar saya I Made Bagus Wisnu Dwi Saputra, I Nyoman Bagus Yudistira Kusuma Putra dan yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu yang telah memberikan dukungan selama proses pendidikan dan pembuatan tesis ini.

Rekan-rekan residen kardiologi yang saya cintai, teman seangkatan saya dr. Made Satria Yudha Dewangga dan dr. Cesaltino Maria Do Rego Leao yang telah berjuang bersama-sama dari awal masa pendidikan yang sangat berat ini, baik dalam suka maupun duka serta memberikan banyak ide-ide brilian serta yang telah memberikan senyuman dan keceriaan sehingga menguatkan saya dalam menjalani proses pendidikan ini.

Teman-teman sekretariat tercinta, Mbak Candra, Mbak Dian, Mbak Andi, dan Pak Ketut yang selalu mendukung, membantu, dan bekerja sama dalam segala hal selama pendidikan spesialis ini.

(10)

x

Akhir kata, dengan iringan doa semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa memberikan pahala yang berlipat ganda atas segala amal baik yang diberikan kepada penulis, dan semoga tesis ini dapat bermanfaat.

Denpasar, 20 Agustus 2015

Penulis,

(11)

xi ABSTRAK

HUBUNGAN DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN RESPON OTONOMIK DENYUT JANTUNG YANG BURUK PADA PASIEN PASCA

IMA

Diabetes mellitus (DM) dengan penyakit kardiovaskular sangat erat kaitannya. Pada beberapa penelitian banyak yang menghubungkan antara diabetes mellitus dengan respon otonomik denyut jantung yang buruk , sedangkan hubungan diabetes mellitus dengan respon otonomik denyut jantung yang buruk pada pasien pasca IMA masih belum ada. Pemulihan denyut jantung (HRR) dan denyut jantung istirahat (resting HR) merupakan alat investigasi yang baik, reliabel dan mudah diukur dalam mengevaluasi pengaturan otonomik jantung dan sebagai faktor prediktor kuat untuk all cause mortality pada orang dewasa yang sehat maupun pada seseorang dengan penyakit kardiovaskular. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bahwa diabetes mellitus tipe 2 sebagai faktor yang memperburuk denyut jantung saat istirahat dan pemulihan denyut jantung setelah uji latih treadmill pada pasien pasca infark miokard yang merupakan variabel penting sebagai faktor prediktor kejadian morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan pasca infark miokard akut.

Penelitian merupakan penelitian observasional analitik. Subyek penelitian terdiri dari 70 orang yang akan dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok terpapar (dengan diabetes melitus) dan kelompok tidak terpapar (tanpa diabetes melitus). Sampel diambil secara konsekutif di ruang rawat inap Pelayanan Jantung Terpadu (PJT) RSUP Sanglah kemudian pada saat sebelum rawat poliklinis dilakukan treadmill menggunakan protokol modified Bruce dengan target

submaksimal atau symptom limited. Kemudian untuk mengetahui hubungan antara respon otonomik denyut jantung dengan diabetes mellitus dilakukan analisis bivariat dengan Chi Square dan untuk melihat hubungan antara variabel dependen terhadap variabel lainnya dengan regresi logistik dengan tingkat kemaknaan (α) pada p<0,05.

Pada analisis bivariat pasien dengan diabetes mellitus tipe 2 dan tanpa diabetes mellitus tipe 2 berbeda secara bermakna memperburuk respon otonomik denyut jantung (denyut jantung saat istirahat dan denyut jantung pemulihan) pada pasien paska IMA dengan nilai p < 0,01. Dan dari analisis multivariat tidak terdapat pengaruh faktor umur, jenis kelamin, riwayat keluarga, dislipidemia, hipertensi, merokok, aktifitas fisik, dan penyekat beta terhadap respon otonomik denyut jantung yang buruk pada pasien DM paska IMA (p>0,05).

Kata kunci : Diabetes mellitus tipe 2, Infark miokard akut, denyut jantung saat

(12)

xii ABSTRACT

RELATIONSHIP BETWEEN TYPE 2 DIABETES MELLITUS WITH POOR HEART RATE AUTONOMIC RESPONSE IN POST IMA

PATIENTS

Diabetes mellitus (DM) with cardiovascular disease are very closely related. In several studies linking many of diabetes with poor heart rate autonomic response, whereas the relationship of diabetes mellitus with poor heart rate autonomic response in patients post AMI is still no. Heart rate recovery (HRR) and resting heart rate (resting HR) is an investigative tool that is both reliable and easy to measure in evaluating the cardiac autonomic regulation and as a strong predictor factor for all cause mortality in healthy adults as well as in someone with cardiovascular disease. This study aims to determine that type 2 diabetes mellitus as factors that worsen heart rate at rest and recovery heart rate after treadmill exercise test in patients with post myocardial infarction is an important variable factors as predictors of incidence of morbidity and mortality in patients with post acute myocardial infarction.

The research is observational analytic study. Study subjects consisted of 70 people who will be divided into two groups: exposed (with diabetes mellitus) and the unexposed group (without diabetes mellitus). Samples taken consecutively in the inpatient unit Integrated Cardiac Services Sanglah then at the time before discharge from hospital, the patient undergone treadmill using the modified Bruce protocol with target submaximal or symptom limited. To determine the relationship between heart rate autonomic response and diabetes mellitus, bivariate analysis were done with Chi Square and to see the relationship between the dependent variable to another variable with logistic regression with significance level (α) at p <0.05.

In the bivariate analysis, patients with type 2 diabetes mellitus and without diabetes mellitus type 2 differ significantly worsen the autonomic response of the heart rate (heart rate at rest and recovery heart rate) in patients post-AMI with a value of p <0.01. And from multivariate analysis didn’t found the relationship of the other variables : age, gender, family history, dyslipidemia, hypertension, smoking, physical activity, and beta blockers on poor heart rate autonomic response in diabetic patients post-AMI (p> 0.05).

(13)

xiii

LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT... v

2.2 Definisi dan kriteria diagnostik Diabetes mellitus tipe 2 ... 13

2.3 Neuropati otonomik pada diabetes mellitus ... 14

2.4 Neuropati otonomik kardiovaskular akibat diabetes sebagai ... 15

2.5 Neuropati otonomik kardiovaskular, risiko mortalitas dan ... 24

(14)

xiv

2.7 Uji latih setelah infark miokard ... 30

2.8 Aspek keamanan, waktu dan protokol uji latih ... 37

BAB III KERANGKA BERPIKIR,KONSEP DAN HIPOTESIS ... 39

3.1 Kerangka Berpikir ... 39

3.2 Konsep ... 40

3.3 Hipotesis Penelitian ... 40

BAB IV METODE PENELITIAN ... 41

4.1 Rancangan Penelitian ... 41

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 42

4.2.1 Lokasi penelitian ... 42

4.3.6 Teknik pengambilan sampel ... 44

4.4 Variabel Penelitian ... 44

4.4.1 Identifikasi dan klasifikasi variabel penelitian ... 44

4.4.2 Definisi operasional variabel ... 46

4.5 Bahan Penelitian ... 49

4.6 Instrumen Penelitian ... 49

4.7 Prosedur Penelitian ... 49

4.7.1 Tata cara penelitian ... 49

4.7.2 Prosedur pengumpulan data ... 50

(15)

xv

4.8 Analisis Data ... 53

4.8.1 Perbandingan karakteristik sampel ... 53

4.8.2 Perbandingan denyut jantung saat istirahat dan pemulihan ... 54

BAB V HASIL PENELITIAN ... 57

5.1 Karakteristik subyek penelitian... 59

5.2 Diabetes mellitus memperburuk tingginya denyut jantung saat istirahat ……….. ... 60

5.3 Diabetes mellitus memperburuk denyut jantung pemulihan ... 60

5.4 Pengaruh diabetes mellitus terhadap respon otonomik denyut jantung setelah dikontrol dengan variabel lain ... 61

BAB VI PEMBAHASAN ... 64

6.1 Karakteristik subyek penelitian... 65

6.2 Diabetes mellitus tipe 2 sebagai faktor yang memperburuk denyut jantung pemulihan ... 68

6.3 Diabetes mellitus tipe 2 sebagai faktor yang memperburuk denyut jantung istirahat yang tinggi ... 73

6.4 Keterbatasan penelitian ... 75

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ... 76

7.1 Simpulan ... 76

7.2 Saran ... 76

DAFTAR PUSTAKA ... 77

(16)

xvi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

2.1 Kapasitas fungsional, angiografi koroner dan risiko kematian ... 20

2.2 Risiko relatif 95% CI hubungan antara NOK (CAN) dan mortalitas ... 26

3.1 Konsep Penelitian... 40

4.1 Rancangan Penelitian ... 42

4.2 Hubungan antar Variabel ... 46

4.3 Gambar Alur Penelitian... 52

(17)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Ethical clearance ... 80

2. Surat ijin penelitian ... 81

3. Informasi/Penjelasan Pasien... 82

4. Persetujuan setelah Penjelasan ... 84

5. Lembar Pengumpulan Data ... 85

(18)

xviii

DAFTAR SINGKATAN

ACE : Angiotensin Converting Enzym ADA : American Diabetes Association BBB : Bundle Branch Block

CCS : Canadian Cardiovascular Society CKD : Chronic Kidney Disease

CKMB : Creatinin Kinase tipe MB DM : Diabetes Mellitus

EKG : Elektrokardiografi

ESC : European Society of Cardiology HRR : Heart Rate Recovery

HRV : Heart Rate Variability IABP : Intra Aortic Ballon Pump

IDF : International Diabetes Foundation IMA : Infark Miokard Akut

LBBB : Left Bundle Branch Block LDL : Low Density Lipoprotein LVH : Left Ventricle Hipertrophy METS : Metabolic Equivalents

NOD : Neuropati Otonomik Diabetes NOK : Neuropati Otonomik Kardiovaskular

(19)

xix

PERKENI : Perkumpulan Endokrinologi Indonesia PJK : Penyakit Jantung Koroner

POTS : Postural Orthostatic Tachycardia Syndrome PTCA : Percutaneous Transluminal Angioplasty RR : Risiko Relatif

SKA : Sindrom Koroner Akut

STEMI : ST Elevation Myocardial Infarction UGD : Unit Gawat Darurat

(20)

xx

DAFTAR TABEL

Halaman

2.1 Kriteria diagnosis diabetes mellitus menurut American Diabetes ... 14

2.2 Kriteria dislipidemia berdasarkan NCEP ATP III ... 28

2.3 Kontraindikasi uji latih jantung pada pasien paska infark miokard ... 31

4.1 Karakteristik pasien ... 54

4.2 Perbedaan denyut jantung saat istirahat berdasarkan variabel DM ... 55

4.3 Kelainan pemulihan denyut jantung berdasarkan variabel DM ... 55

5.1 Karakteristik subyek penelitian ... 59

5.2 Tabel 2x2 yang menggambarkan perbedaan denyut jantung saat istirahat berdasarkan variabel DM ... 60

5.3 Tabel 2x2 yang menggambarkan perbedaan pemulihan denyut jantung berdasarkan variabel DM ... 61

5.4 Tabel hubungan antara DM dengan denyut jantung istirahat yang tinggi setelah dikontrol terhadap variabel umur, jenis kelamin, riwayat keluarga, dislipidemia, hipertensi, merokok, aktifitas fisik, dan penyekat beta. ... 62

(21)

1 B A B I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Diabetes mellitus (DM) dengan penyakit kardiovaskular sangat erat kaitannya. Pasien dengan diabetes mellitus risiko menderita penyakit kardiovaskular meningkat menjadi 3 kali lipat, dan risiko kejadian buruk kardiovaskular serta mortalitas pasien yang telah menderita panyakit kardiovaskular juga meningkat menjadi 5 kali lipat dibandingkan tanpa DM. Dan pengaruh komplians pasien DM terhadap kontrol pengaturan gula darah juga berhubungan secara linear terhadap kejadian buruk kardiovaskular pada pasien yang juga dengan penyakit kardiovaskular.

Infark miokard merupakan proses kematian sel akibat iskemia, atau ketidak seimbangan antara suplai dan kebutuhan di arteri koroner. Sumber dari World

Health Organization (WHO) didapatkan bahwa IMA merupakan penyebab

(22)

2

Terjadi perkembangan yang bermakna dalam mendeteksi jejas dan nekrosis miokardium dalam beberapa dekade terakhir, sehingga terjadi perkembangan definisi IMA setiap waktu. Pada awal tahun 1950, world health organization (WHO) menggunakan data epidemiologi untuk mendefinisikan IMA berdasarkan dua dari beberapa kriteria berikut : 1. Simptom klinis iskemia miokardium, 2. Abnormalitas elektrokardiogram (EKG), 3. Peningkatan marker nekrosis miokard. Keluhan utama pasien dengan infark miokard adalah nyeri dada yang diikuti dengan salah satu dari presentasi elektrokardiogram (EKG) elevasi segmen ST, depresi segmen ST, inversi gelombang T atau tidak ada perubahan sama sekali namun terjadi peningkatan cardiac marker (Samad Ghaffari, dkk. 2010, European Society of Cardiology, 2012).

(23)

3

Komplikasi yang paling penting dan paling serius dari diabetes adalah neuropati otonomik kardiovaskular (NOK). Suatu kondisi NOK akan memperburuk kapasitas fungsional jantung yang telah mengalami infark dan manifestasi NOK pada pasien infark miokard merupakan prediktor kejadian kardiovaskuler mayor. NOK terjadi akibat kerusakan serat saraf otonomik yang menginervasi jantung dan pembuluh darah sehingga menyebabkan abnormalitas pada kontrol denyut jantung dan dinamik vaskuler. Manifestasi klinis dari NOK itu sendiri dapat berupa : takikardia saat istirahat, toleransi latihan yang menurun, hipotensi ortostatik, sindroma takikardia dan bradikardia ortostatik dan silent iskemia (iskemia tak bergejala).

Hasil studi meta-analisis yang baru menunjukkan bahwa disfungsi otonomik kardiovaskular berhubungan dengan meningkatnya risiko iskemia miokard yang tidak menunjukkan gejala (silent ischemia) serta kematian. Disfungsi otonomik kardiovaskular berkaitan dengan tingginya tingkat mortalitas baik pada pasien sehat maupun pada pasien dengan penyakit jantung. Beberapa faktor prognostik mayor dari otonomik kardiovaskular yang dapat dinilai dari pemeriksaan uji latih treadmill yakni : denyut jantung saat istirahat, kapasitas fungsional, respon kronotropik selama latihan, pemulihan denyut jantung dan timbulnya ektopik ventrikel selama pemulihan.

Telaah pustaka dari berbagai sumber didapatkan bahwa pemulihan denyut jantung (HRR) dan denyut jantung istirahat (resting HR) merupakan alat

investigasi yang baik, reliabel dan mudah diukur dalam mengevaluasi pengaturan

(24)

4

pada orang dewasa yang sehat maupun pada seseorang dengan penyakit

kardiovaskular. Seseorang dikatakan mengalami abnormalitas pemulihan denyut

jantung apabila denyut jantung pemulihannya kurang dari 12 kali permenit (yang

dihitung dari denyut jantung puncak dikurangi dengan denyut jantung 1 menit

berikutnya), sedangkan seseorang dikatakan mengalami denyut jantung saat

istirahat yang tinggi apabila denyut jantungnya > 90 kali permenit tanpa aktifitas

sama sekali.

Telah diketahui secara luas bahwa rehabilitasi jantung berhubungan

dengan membaiknya respon denyut jantung pada pasien dengan gagal jantung

dan penyakit jantung iskemik. Hal ini terjadi oleh karena latihan memodulasi

fungsi keseimbangan simpatis dan parasimpatis pada pasien dengan penyakit

jantung (Muhammad Ridwan, dkk., 2008). Dari beberapa penelitian besar

sebelumnya menunjukkan bahwa pemulihan denyut jantung dalam 2 menit selain

sebagai prediktor mortalitas dapat juga memprediksi derajat keparahan penyakit

arteri koroner yang kemudian dikonfirmasi dengan pemeriksaan angiografi

koroner. Selain denyut jantung pemulihan, pada beberapa studi besar yang lain juga menunjukkan bahwa resting HR yang tinggi sebagai prediktor meningkatnya morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan penyakit jantung koroner dan diabetes. Denyut jantung istirahat yang tinggi juga dikatakan berhubungan dengan peningkatan risiko diabetes (Jamal S. Rana, 2009) .

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bahwa diabetes mellitus tipe 2

sebagai faktor yang memperburuk denyut jantung saat istirahat dan pemulihan

(25)

5

merupakan variabel penting sebagai faktor prediktor kejadian morbiditas dan

mortalitas pada pasien dengan pasca infark miokard akut.

1.2 Rumusan Masalah

Dengan memperhatikan latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut :

1.2.1 “Apakah terdapat hubungan antara diabetes melitus tipe 2 dengan tingginya denyut jantung saat istirahat pada pasien pasca IMA?

1.2.2 “Apakah terdapat hubungan antara diabetes mellitus tipe 2 dengan denyut jantung pemulihan yang abnormal pada pasien pasca IMA?".

1.3 Tujuan Penelitian

Untuk membuktikan bahwa terdapat hubungan antara diabetes melitus tipe 2 dengan respon otonomik denyut jantung diukur berdasarkan parameter tingginya denyut jantung saat istirahat dan denyut jantung pemulihan yang abnormal pada pasien pasca IMA.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat akademis

(26)

6

jantung saat istirahat yang tinggi dan denyut jantung pemulihan yang abnormal pada pasien pasca IMA.

1.4.2 Manfaat praktis

Secara klinik praktis penelitian ini bermanfaat untuk memberikan informasi dan edukasi pada pasien mengenai pentingnya program rehabilitasi

jantung pasca infark miokard dan dapat memberikan informasi prognostik

kejadian morbiditas dan mortalitas yang buruk pada pasien dengan respon

(27)

1 B A B II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Infark Miokard Akut (IMA)

Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab kematian tertinggi pada negara-negara maju. Dan diantara sekian banyak manifestasi penyakit kardiovaskular, penyakit jantung koroner merupakan manifestasi yang paling sering. Presentasi klinis penyakit jantung koroner (PJK) diantaranya yakni silent iskemia, angina pektoris stabil, angina tidak stabil, infark miokard, gagal jantung dan mati mendadak. Infark miokard akut merupakan salah satu bagian dari sindrom koroner akut (SKA) yang merupakan kondisi yang sangat mengancam jiwa, yaitu terjadi nekrosis yang ireversibel dari otot jantung. Keluhan utama pasien dengan infark miokard adalah nyeri dada yang diikuti dengan salah satu dari presentasi elektrokardiogram (EKG) dibawah ini (Samad Ghaffari, dkk. 2010, European Society of Cardiology, 2012) :

1. Dengan nyeri dada akut dan elevasi segmen ST yang persisten. Hal ini biasanya menggambarkan oklusi total koroner secara akut. Kebanyakan pasien akan jatuh pada kondisi STEMI (ST Elevation Myocardial Infarction). Tujuan terapi adalah strategi revaskularisasi yang cepat,

(28)

2

2. Dengan nyeri dada akut tetapi tanpa elevasi segmen ST yang persisten. Pasien seperti ini mungkin dengan EKG depresi segmen ST atau T inversi, gelombang T yang flat, gelombang T yang pseudonormal ataupun tanpa perubahan EKG. Strategi awal pada pasien ini yakni dengan memperbaiki iskemia jantung dan gejalanya, monitor pasien dengan EKG serial dan biomarker nekrosis jantung. Diagnosis NSTEMI yakni berdasarkan pemeriksaan enzim jantung.

Penegakan diagnosis pasien dengan infark miokard yakni dengan anamnesis riwayat penyakit pada pasien, pemeriksaan fisik umum dan pemeriksaan penunjang yang lainnya.

a. Anamnesis

Manifestasi klinis infark miokard (European Society of Cardiology, 2012) :

1. Angina/nyeri dada > 20 menit saat istirahat (prolonged angina)

2. Angina dengan onset yang baru (de novo) dengan tingkat CCS kelas II-III

3. Destabilisasi dari angina yang sebelumnya masuk criteria angina stabil dengan tingkat keparahan minimal CCS kelas III (crescend angina)

(29)

3

Manifestasi "prolonged angina" terjadi pada 80% pasien sedangkan "de novo" atau "accelerated angina" terjadi pada 20 % pasien. Gejala klinis

tipikal SKA yakni perasaan tertekan atau rasa berat di retrosternal yang menjalar ke lengan kiri, leher atau rahang dimana gejalanya dapat hilang timbul atau persisten. Keluhan ini dapat diserta dengan diaphoresis, nausea, nyeri perut, dyspnea dan sinkope. Beberapa presentasi klinis atipikal juga tidak jarang ditemui, diantaranya nyeri ulu hati, nyeri dada seperti tertusuk tusuk, nyeri dada dengan karakteristik pleuritik atau dyspnea yang makin berat. Keluhan atipikal biasanya terlihat pada pasien yg lebih tua (umur 75 tahun), wanita dan pasien dengan diabetes, pasien dengan gagal ginjal kronis atau pada pasien dengan demensia. Tidak adanya gejala nyeri dada akan menyebabkan ketidak tahuan akan adanya penyakit sehingga otomatis pemberian terapi juga akan terlambat. Kesulitan dalam diagnostik tentu saja akan timbul apabila ditemukan pasien dengan gejala tipikal namun dengan presentasi EKG yang normal atau mendekati normal atau bahkan dengan presentasi EKG dasarnya yang memang sudah abnormal oleh karena misalnya defek konduksi intraventrikuler atau hipertropi ventrikel kiri (European Society of Cardiology, 2012).

b. Pemeriksaan fisik

(30)

4

fisik yakni untuk mengekslusi penyebab nyeri dada nonkardiak dan penyakit jantung non-iskemik misalnya emboli paru, diseksi aorta, perikarditis, penyakit jantung valvular (European Society of Cardiology, 2012).

c. Elektrokardiogram

(31)

5

transien juga dapat terjadi pada serangan iskemia (European Society of Cardiology, 2012).

d. Biomarker

Troponin memiliki peran yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis dan menstratifikasi risiko, serta dapat membedakan antara NSTEMI dan angina tidak stabil. Troponin lebih spesifik dan sensitif dibandingkan dengan enzim jantung tradisional seperti CKMB dan myoglobin. Peningkatan troponin jantung mencerminkan kerusakan sel miokard, dimana pada kasus NSTEMI yakni terjadi oleh karena embolisasi di bagian distal. Pada pasien dengan infark miokard, peningkatan awal dari troponin terjadi pada 4 jam pertama timbulnya gejala. Sedangkan peningkatan troponin yang tidak terlalu banyak biasanya akan kembali normal dalam 48-72 jam. Tidak terdapat perbedaan yang mendasar antara troponin T dan troponin I. nilai diagnostik troponin untuk infark miokard yakni melebihi persentil ke 99 dari rata-rata populasi normal (European Society of Cardiology, 2012) .

3. Pencitraan

1. Noninfasif

(32)

6

penyakit jantung koroner dan dapat secara mudah dan akurat dinilai dengan ekokardiografi. Pada beberapa tangan yang ahli, segmental hipokinesia atau akinesia dapat terdeteksi selama iskemia. Pada pasien dengan EKG 12 lead yang tidak memberikan diagnostik SKA dan biomarker menunjukkan hasil yang negatif namun kita tetap mencurigai pasien dengan SKA, stress imaging disini sangat diperlukan (European Society of Cardiology, 2012).

2. Infasif (angiografi koroner)

Angiografi koroner masih merupakan standar baku dalam menilai adanya dan derajat keparahan oklusi koroner. Pada pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil dianjurkan terlebih dahulu untuk melakukan pemasangan IABP (Intra Aortic Ballon Pump). Angiografi koroner dikombinasikan dengan EKG dan abnormalitas gerak dinding yang didapat dari ekokardiografi dapat menentukan secara tepat culprit lesion. Akses melalui radial memiliki keunggulan dalam mengurangi

(33)

7

2.2 Definisi dan kriteria diagnostik Diabetes mellitus tipe 2

Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. Hiperglikemia yang terjadi secara kronik akan merusak target organ seperti mata, ginjal, otak, jantung beserta pembuluh darahnya (PERKENI, 2011, Boudina S, dkk.) .

(34)

8

Tabel 2.1.

Kriteria diagnosis diabetes mellitus menurut American Diabetes Association 2011 (PERKENI 2011).

2.3 Neuropati otonomik pada diabetes mellitus

Neuropati otonomik diabetik (NOD) merupakan salah satu komplikasi dari diabetes yang kurang jelas dan dimengerti secara baik namun telah diketahui bahwa efek negatifnya sangat besar terhadap morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan DM. NOD dapat melibatkan seluruh sistem saraf otonom, termasuk sistem saraf vasomotor, viseromotor dan serat sensorik yang menginervasi setiap organ. NOD dapat bermanifestasi secara klinis pada sistem organ seperti kardiovaskular, gastrointestinal, genitourinari, sudomotor dan okular, maupun secara subklinis (Aaron I. Vinik, dkk., 2007, Boudina S, dkk., 2007).

(35)

9

terdiagnosis DM tipe 1. Oleh karena komplikasi yang dihasilkan dari NOD terutama kematian oleh karena kardiovaskular sangat tinggi, maka Neuropati Otonomik Kardiovaskular (NOK) secara klinis dianggap penting dan paling banyak dipelajari daripada NOD secara umum (Aaron I. Vinik, dkk., 2007).

2.4 Neuropati otonomik kardiovaskular akibat diabetes sebagai penyebab respon otonomik denyut jantung yang abnormal (tingginya denyut jantung saat istirahat dan memburuknya pemulihan denyut jantung).

Komplikasi yang paling penting dan paling serius dari diabetes adalah neuropati otonomik kardiovaskular (NOK). NOK terjadi akibat kerusakan serat saraf otonomik yang menginervasi jantung dan pembuluh darah sehingga menyebabkan abnormalitas pada kontrol denyut jantung dan dinamik vaskuler. Berkurangnya variasi denyut jantung (heart rate variability) adalah merupakan indikator awal NOK (McGuire KD, dkk., 2012) .

Pada beberapa review epidemiologi, bahwa pada seseorang penderita diabetes yang mengalami NOK akan memiliki risiko mortalitas dalam 5 tahun 5 kali lebih tinggi daripada tanpa keterlibatan otonomik kardiovaskular. Sedikit informasi yang didapatkan mengenai NOK pada populasi diabetes. NOK dapat saja baru diketahui saat diagnosis diabetes ditegakkan dan prevalensinya meningkat sesuai umur, durasi menderita diabetes dan kontrol gula darah yang buruk (Aaron I. Vinik, dkk., 2007).

(36)

10

Variabilitas denyut jantung merupakan tanda awal untuk suatu NOK, takikardia saat istirahat dan denyut jantung yang tetap merupakan temuan akhir pada pasien diabetes dengan gangguan fungsi vagal. Denyut jantung istirahat diantara 90-100 kali permenit dan terkadang dapat mencapai 130 kali permenit dapat saja terjadi. Denyut jantung istirahat tertinggi dapat terjadi pada pasien dengan kerusakan parasimpatik yang biasanya terjadi lebih awal daripada kerusakan saraf simpatik. Pada pasien diabetik dengan kombinasi kerusakan vagal dan simpatik, denyut jantung dapat kembali ke normal namun masih lebih tinggi dari awalnya. Denyut jantung yang tingkat variabilitasnya kurang, tidak berespon terhadap latihan tingkat sedang, stress atau dalam keadaan tidur mengindikasikan denervasi jantung yang hampir komplit.

b. Toleransi latihan

Disfungsi otonomik berpengaruh terhadap toleransi latihan diantaranya dengan berkurangnya respon denyut jantung dan tekanan darah dan kegagalan dalam meningkatkan cardiac output terhadap derajat latihan. Pasien diabetik yang berpotensi besar untuk memiliki NOK sebaiknya sebelum menjalani program latihan fisik, harus dilakukan uji latih treadmill terlebih dahulu.

c. Instabilitas kardiovaskular intra dan perioperatif

(37)

11

cenderung mengalami penurunan denyut jantung dan tekanan darah selama induksi anastesi dan sedikit mengalami peningkatan setelah intubasi dan ekstubasi. Topangan vasopresor umumnya diperlukan pada pasien dengan NOK.

d. Hipotensi ortostatik

(38)

12

e. Sindrom ortostatik takikardi dan bradikardi

Sindrom yang berhubungan dengan ortostatik seperti perasaan akan pingsan atau pening, parestesia sirkumoral dan sakit kepala dapat terjadi pada perubahan posisi dari telentang sampai bediri sehingga menyebabkan sindrom postural takikardi (Postural Tachycardia Syndrome/POTS). Tanda utamanya yaitu tidak ada penurunan tekanan darah disaat berdiri, hanya takikardi dan bradikardi saat perubahan postur.

f. Iskemia miokardial yang tak bergejala/ sindrom denervasi jantung.

Berkurangnya sensasi nyeri iskemik dapat menghambat pemberian terapi yang maksimal. Pada pasien dengan diabetes, meningkatnya ambang perasaan angina disaat latihan (diketahui dari selisih waktu antara onset depresi segmen ST EKG sampai terjadinya angina) berhubungan dengan NOK. Iskemia silent pada pasien diabetik yang disebabkan oleh karena NOK, dapat terjadi disfungsi otonomik sehingga mempengaruhi penyakit jantung koroner itu sendiri atau dapat juga keduanya. Mekanisme kurangnya perasaan nyeri iskemia miokard pada pasien ini sangat kompleks dan tidak dimengerti secara jelas. Mekanisme yang mungkin dapat dijelaskan secara rasional adalah oleh karena berubahnya ambang nyeri dan disfungsi serat saraf afferent otonomik jantung.

(39)

13

a. Denyut jantung saat istirahat (resting heart rate)

Pentingnya denyut jantung saat istirahat sebagai faktor prognostik dan target terapi yang potensial belum diterima secara luas. Namun pada beberapa studi besar menunjukkan bahwa resting HR yang tinggi sebagai prediktor meningkatnya morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan penyakit jantung koroner dan diabetes. Dan denyut jantung istirahat yang tinggi juga dikatakan berhubungan dengan peningkatan risiko diabetes (Jamal S. Rana, 2009) . Denyut jantung istirahat yang meningkat merupakan suatu penanda aktifitas simpatik yang meningkat dan suatu keadaan simpatik yang tinggi akan menyebabkan suatu kondisi resistensi insulin oleh karena stimulasi adrenergic sehingga terjadi disfungsi otonomik. b. Kapasitas fungsional

Disimpulkan dari beberapa penelitian bahwa marker prognostik yang paling penting pada uji latih adalah kapasitas fungsional atau jumlah usaha kerja yang telah dilakukan sebelum kelelahan. Dan pada beberapa literatur juga menunjukkan bahwa kapasitas fungsional merupakan prediktor independen kuat untuk all-cause mortality dan kematian akibat penyakit kardiovaskular. Kemudian

(40)

14

fungsional sebagai prediktor kuat all-cause death sebagaimana hal yang sama juga ditunjukkan oleh perfussion defect tersebut. Hasil yang sama juga didapat dari studi kohort yang menyimpulkan kapasitas fungsional sebagai prediktor yang lebih kuat dibandingkan derajat keparahan penyakit koroner dan depresi ST. Dan apabila kapasitas fungsional dan ada atau tidaknya penyakit koroner melalui angiografi dipakai sebagai pertimbangan faktor prediktor, didapatkan hanya kapasitas fungsional yang dapat memprediksikan kematian pada pasien dengan penyakit jantung. Hal ini digambarkan pada gambar 2 berikut (Myers, dkk. 2010).

Gambar 2.1.

Kapasitas fungsional, angiografi koroner dan risiko kematian. Kapasitas fungsional sebagai prediktor kematian yang lebih baik dibandingkan dengan ada

atau tidaknya lesi obstruksi koroner dari angiografi (Myers, dkk. 2010).

(41)

15

kelamin. Kapasitas fungsional cenderung berkurang seiring umur dan lebih tinggi pada pria sehat dibandingkan wanita yang sehat. Beberapa studi menunjukkan kapasitas fungsional dikatakan abnormal apabila pada wanita < 5 METs dan pada pria <7 METs. Sedangkan studi yang lain berdasarkan kuartil terendah berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin (Todd D. Miller, dkk., 2008).

c. Respon kronotropik selama latihan

(42)

16

selama latihan. Denyut jantung puncak berhubungan dengan umur, semakin menurun dengan meningkatnya umur. Rumus maximal-predicted heart rate berdasarkan umur yakni : 220-umur dalam

tahun sehingga seseorang dengan umur 40 tahun memiliki maximal-predicted HR 180 kali permenit. Ketidakmampuan

mencapai minimal 85% dari denyut jantung puncak sesuai umur dapat dikatakan sebagai inkompetensi kronotropik dan memprediksikan tingkat kematian (Todd D. Miller, dkk., 2008). d. Pemulihan denyut jantung (heart rate recovery)

(43)

17

Protokol yang pertama yakni dengan pendinginan berdiri disertai jalan lambat selama 2 menit setelah uji latih. Protokol tersebut menggunakan cut point pemulihan denyut jantung 12 kali permenit. Namun pada pasien yang menjalani protokol berbeda yakni yang menjalani stress echocardiography atau yang duduk setelah uji latih nilai pemulihan denyut jantung akan lebih tinggi yakni dengan cut point 18 kali permenit. Dan masih belum banyak dimengerti mengapa pasien dengan pemulihan denyut jantung yang abnormal memiliki risiko kematian yang lebih besar, beberapa menyimpulkan hal ini berkaitan dengan kecenderungan terjadinya aritmia yang fatal dan kejadian mati mendadak. Adanya ektopik ventikel yang sering selama periode istirahat setelah uji latih itu memprediksi kematian lebih baik daripada adanya ektopik ventrikel selama latihan (Todd D. Miller, dkk., 2008).

(44)

18

memiliki risiko sangat tinggi mortalitas jangka panjang dan tidak mendapatkan keuntungan dari segi derajat mortalitas (Todd D. Miller, dkk., 2008).

d. Ektopik ventrikuler selama pemulihan

Seringnya ektopik ventrikel selama fase pemulihan tes treadmill meningkatkan angka kematian pada pasien pasca infark miokard. Yang didefinisikan sebagai ektopik ventrikel yang sering yakni >7 denyut prematur ventrikel permenit, kuplet, bigemini ataupun trigemini atau beberapa bentuk takikardia ventrikel (mono atau polimorfik) dan fibrilasi ventrikel (Todd D. Miller, dkk., 2008).

2.5 Neuropati otonomik kardiovaskuler, risiko mortalitas dan hubungannya dengan kejadian kardiovaskuler mayor.

Mekanisme bagaimana NOK meningkatkan kematian masih belum jelas. Beberapa studi menunjukkan 2-3 kali risiko NOK pada pasien dengan diabetes dengan interval QT yang memanjang, sehingga menimbulkan spekulasi bahwa NOK juga dapat menginduksi aritmia ventrikel maligna dan kematian mendadak dari henti jantung yang disebabkan oleh torsade de pointes sebagaimana yang terjadi pada pasien sindrom QT memanjang. Sangat sulit menentukan NOK sebagai penyebab mortalitas oleh karena koeksistensi dengan penyakit kardiovaskuler (Junko Watanabe, dkk., 2001).

(45)

19

insiden kejadian kardiovaskular fatal dan nonfatal (infark miokard, gagal jantung, resusitasi oleh karena VT/VF atau revaskularisasi koroner) kemudian selanjutnya dinilai, didapatkan risiko relatif 2,2 dan 3,4 (Muhammad Ridwan J, dkk., 2008).

Sedangkan hubungan NOK dengan kematian salah satunya yakni terjadinya iskemia yang cukup parah pada jantung namun pasien tetap asimptomatik, hal ini selanjutnya akan menginduksi aritmia yang fatal. QT yang memanjang mungkin juga cenderung menyebabkan seseorang rentan terhadap aritmia jantung yang mengancam jiwa dan kematian. Hasil dari penelitian European Diabetes Insulin-Dependent Diabetes Melitus (IDDM) Complications,

menunjukkan pasien laki-laki dengan variasi denyut jantung/HRV (Heart Rate Variability) yang terganggu memiliki QTc yang lebih panjang daripada yang tanpa

(46)

20

Gambar 2.2.

Risiko relatif 95% CI hubungan antara NOK (CAN) dan mortalitas, berdasarkan 15 penelitian (McGuire KD, dkk., 2012).

2.6 Faktor risiko tradisional dan hubungannya dengan respon otonomik jantung

Faktor risiko tradisional pada penyakit jantung koroner diantaranya (Beverly Rockhill, 2004) :

a. Faktor risiko konvensional : hubungan antara factor risiko konvensional dengan respon otonomik belum banyak diteliti dan dari segi patofisiologi tidak mendukung adanya hubungan antara factor risiko konvensional dengan respon denyut jantung. Factor risiko konvensional diantaranya yakni (Beverly Rockhill, 2004) : − Usia (pada pria lebih dari 45 tahun sedangkan pada wanita usia

lebih dari 55 tahun)

(47)

21

− Dislipidemia

Dislipidemia umumnya ditemukan pada kasus resisten insulin dan diabetes mellitus tipe 2 walaupun gula darah terkontrol baik. Karakteristik spesifik daripada dislipidemia pada resistensi insulin adalah peningkatan kadar TG, penurunan HDL, peningkatan small dense LDL walaupun terkadang terkadang ditemukan hasil LDL yang normal.

(48)

22

HDL yang menyebabkan penurunan kadar HDL (Rohman, 2007).

− Tekanan darah tinggi dan Merokok

Secara patofisiologi dan penelitian sebelumnya tidak mendukung adanya hubungan antara tekanan darah tinggi dan merokok terhadap respon denyut jantung (Beverly Rockhill, 2004).

Tabel 2.2.

Kriteria dislipidemia berdasarkan NCEP ATP III

− Obesitas

(49)

23

jantung (HRR) sering ditemukan pada subyek obesitas dengan sindrom metabolic. Seseorang dikatakan obesitas apabila indeks massa tubuh (BMI) lebih besar dari 25. HDL dibawah 35 mg/dl dan / atau tingkat trigleserida lebih dari 250 mg/dl dapat meningkatkan risiko diabetes melitus tipe 2 (Beverly Rockhill, 2004).

− Aktifitas fisik yang kurang

(50)

24

mengurangi tekanan darah pada pasien hipertensi, meningkatkan HDL, mengontrol berat badan dan mengurangi risiko DM. Sehingga dapat dikatakan hubungan antara aktifitas fisik terhadap respon otonomik denyut jantung berhubungan secara tidak langsung melalui faktor dislipidemia dan DM (Beverly Rockhill, 2004).

2.7 Uji latih setelah infark miokard

Uji latih sangat berguna dalam evaluasi dan pengobatan pada pasien-pasien pasca infark miokard. Oleh karena terapi dan penatalaksanaan infark miokard selalu berubah secara dramatis, sehingga peran uji latih harus disesuaikan konteksnya. Masa rawat di rumah sakit yang lebih pendek, penggunaan secara luas agen trombolitik, dan strategi revaskularisasi, meningkatnya penggunaan agen beta bloker serta ACE inhibitor membuat presentasi klinis pasien pasca infark semakin berubah kearah yang lebih baik. Seperti yang kita ketahui bahwa tidak semua pasien mendapatkan terapi yang sama sehingga hasil dari penatalaksanaan tersebut menghasilkan pasien kondisi klinis pasien yang berbeda pula. Dari studi The Canadian Assessment of Myocardial Infarction (CAMI) didapatkan bahwa

(51)

25

jantung yang tidak terkontrol, aritmia yang tidak terkontrol, atau kecacatan ekstremitas bawah baik secara vaskuler,neurologis maupun ortopedik (Paul Kligfield, dkk., 2006).

(52)

26

Tabel 2.3.

Kontraindikasi uji Latih Jantung pada pasien pasca infark miokard.

Absolut

Infark miokard akut (dalam 2 hari) Angina tidak stabil dengan risiko tinggi

Aritmia yang tidak terkontrol sehingga menyebabkan symptom dan penurunan hemodinamik

Stenosis aorta parah yang simptomatik

Gagal jantung simptomatik yang tidak terkontrol Emboli paru akut atau infark paru

Miokarditis atau perikarditis akut

Kardiomiopati hipertropik atau bentuk lain dari outflow tract obstruction Kelainan fisik atau mental sehingga tidak dapat uji latih secara adekuat AV blok High degree

(53)

27

dan ditarik kesimpulan pula bahwa pasien yang tidak dapat melakukan uji latih setelah infark memiliki kejadian fatal yang lebih tinggi dari dapat melakukan uji latih pasca infark (Helmut Gohlke, 2010, Thompson, dkk., 2008).

Uji latih setelah infark miokard memberikan informasi mengenai (Perk J, De Backer G, dkk., 2012) :

1. Stratifikasi risiko dan penilaian prognosis

2. Menilai kapasitas fungsional yang bertujuan untuk peresepan aktifitas setelah keluar dari rumah sakit, termasuk diantaranya evaluasi okupasional sebagai bentuk rehabilitasi komprehensif.

3. Penilaian kesesuaian atau ketepatan pengobatan dan apabila diperlukan tambahan pemeriksaan diagnostik atau terapi selanjutnya.

Rekomendasi Uji latih pada pasien pasca infark miokard menurut ACC AHA practice guidelines 2002 yakni (Perk J, De Backer G, dkk., 2012) :

Kelas I

1. Sebelum keluar dari rumah sakit bertujuan untuk penilaian prognostik,peresepan aktifitas, evaluasi terapi medikamentosa (submaksimal 4-6 hari)

2. Sesaat setelah keluar dari rumah sakit bertujuan untuk penilaian prognostik,peresepan aktifitas, evaluasi terapi medikamentosa dan rehabilitasi jantung apabila uji latih sebelum keluar rumah sakit belum dikerjakan (symptom limited, sekitar 14-21 hari)

(54)

28

rehabilitasi jantung apabila uji latih sebelumnya submaksimal (simptomp limited , sekitar 3-6 minggu)

Kelas IIA

1. Setelah keluar dari rumah sakit untuk konseling mengenai aktifitas sehari-hari dan /atau latihan sebagai bagian dari rehabilitasi jantung pada pasien yang menjalani revaskularisasi koroner

Kelas IIB

1. Pasien dengan abnormalitas EKG :

 LBBB komplit

 Sindrom preeksitasi

 LVH

 Terapi digoxin

 ST depresi lebih dari 1 mm saat istirahat

 Irama ventrikel dengan pacu jantung

2. Monitoring periodik pada pasien yang berpartisipasi pada uji latih atau rehabilitasi jantung

Kelas III

1. Komorbiditas yang parah dimana hal ini membatasi harapan hidupnya dan / atau kandidat untuk revaskularisasi.

(55)

29

3. Sebelum keluar dari rumah sakit pada pasien yang kandidat atau akan menjalankan kateterisasi jantung. Walaupun uji latih mungkin akan sangat berguna sebelum atau sesudah kateterisasi dalam mengevaluasi atau mengidentifikasi iskemia yang terdistribusi lesi koroner. (level of evidence C)

Latihan fisik dapat mengurangi angka mortalitas setelah sindroma koroner akut dan setelah prosedur revaskularisasi. Latihan fisik juga dapat menjadi terapi non-medikamentosa untuk mengoptimalkan keseimbangan sistem otonom pada jantung, sehingga mengurangi risiko terjadinya kematian jantung mendadak pada pasien-pasien pasca infark miokard. Latihan fisik tersebut dibagi berdasarkan fase-fase sebagai berikut (Graham I, dkk., 2008):

a. Fase I (selama perawatan di rumah sakit): komponen utama pada fase ini adalah mengevaluasi kondisi pasien, mengevaluasi motivasi pasien, faktor risiko, edukasi, mobilisasi dan perencanaan saat keluar dari rumah sakit. Latihan secara bertahap dilakukan dengan diawali pada hari kedua dimana intensitas latihan sampai keluar dari rumah sakit tidak lebih dari 4 metabolik equivalents (METS). Selain itu rekomendasi intensitas latihan

juga dapat dengan menggunakan Borg's rating of perceived exertion < 13 (somewhat hard), dengan durasi latihan 3-5 menit. Pada hari keempat, pasien dapat berjalan 5 sampai 10 menit di koridor rumah sakit tiga sampai empat kali sehari.

(56)

30

dari rumah sakit sampai dimulainya fase III bervariasi antar negara dan rumah sakit. Kontak antara pasien dengan tim rehabilitasi dapat melalui telepon atau kunjungan rumah. Pasien harus mendapatkan instruksi yang jelas tentang aktivitas fisik yang diperbolehkan. Umumnya latihan dimulai dengan berjalan kaki pada tempat yang datar dan dibatasi maksimal intensitas 4 METS dan denyut nadi tidak melebihi 20 kali/menit diatas dari denyut nadi istirahat, atau skor 11 sampai 12 dari perceived exertion scale. Secara praktisnya, pasien disarankan untuk tetap didalam rumah pada hari pertama sampai hari kedua. Bila tidak ada keluhan pasien dapat berjalan dengan jarak yang ditingkatkan secara perlahan-lahan sampai maksimal 5 km perhari setelah 4 sampai 6 minggu.

c. Fase III (program latihan rawat jalan): tujuan dari fase ini adalah membuat pasien dapat berolahraga dengan aman pada lingkungan yang terstruktur dan agar pasien mengerti manfaat olahraga. Sebelum pasien menjalani latihan fisik pada fase ini, umumnya pasien menjalani symptom-limited exercise stress test. Exercise test dapat digunakan sebagai diagnostik atau

(57)

31

dihitung dengan cara menggunakan rumus: 220 - umur. Cadangan denyut jantung maksimal didapat dengan cara: denyut jantung maksimal - denyut jantung istirahat. Durasi dari program bervariasi antara 8 - 12 minggu dan pasien menghadiri dua sampai tiga sesi perminggu. Pasien juga disarankan untuk berolahraga pada hari biasa selain sesi program rehabilitasi. Jenis olahraga yang disarankan adalah yang dapat meningkatkan ketahanan tubuh/stamina, seperti treadmill, sepeda statis, naik tangga. Olahraga ini merupakan olahraga aerobik. Umumnya 8-10 pasien yang mempunyai kapasitas fungsional yang sama dapat olahraga bersama-sama. Terdapat periode pemanasan sekitar 15 menit yang diikuti periode latihan sekitar 30-35 menit, dan diikuti periode pendinginan sekitar 10 menit.

d. Fase IV: fase ini merupakan fase dimana pasien olahraga secara mandiri dan memelihara gaya hidup sehat. Pola aktivitas fisik saat fase III harus tetap dijalani untuk seumur hidup.

2.8 Aspek keamanan, waktu dan protokol uji latih pasca IMA

Walaupun uji latih ini secara umum merupakan prosedur yang aman, namun infark baru dan kematian dilaporkan pada 1 diantara 2.500 prosedur. Uji latih sebaiknya diawasi oleh paramedis yang telah terlatih baik serta pengalaman dalam bidang emergensi. EKG, denyut jantung dan tekanan darah harus dimonitoring secara ketat dan direkam selama setiap tahap, dan setiap keluhan nyeri dada dan abnormalitas segmen ST juga harus dicatat (Perk J, De Backer G, dkk., 2012).

(58)

32

yakni antara 5 sampai 26 hari setelah infark. Protokol uji latih dapat submaksimal atau symptom limited. Yang dimaksud dengan protokol submaksimal yakni dengan puncak denyut jantung 120 kali per menit atau 70 % dari predicted maximum heart rate atau level 5 METS. Sedangkan protokol symptom limited dirancang

Gambar

Gambar Alur Penelitian.................................................................................
Tabel 2.1.
Gambar 2.1.
Gambar 2.2.
+2

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan uraian di atas, penulis mencoba melakukan penelitian tentang pengaruh kenaikan UMK pada tahun 2013 terhadap tingkat konsumsi buruh yang berada di Kawasan Industri

Selain itu, Penelitian yang di laksanakan bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kecepatan dan volume jalan dalam menentukan tingkat pelayanan jalan di siang

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul Kajian Pengaruh Variasi

sesuai dengan perhitungan stoikiometri. Setelah penimbangan, kedua bahan dicampur dan digerus menggunakan four point planetary ball mill selama 24 jam. Hasil penggerusan

Keputusan Rektor Universitas NegeriYogyakarta Nomor: 0g5/2003 surat Usulan Ketua Jurusan/Program studitertanggar : 14 Agustus 2008.. : Membentuk Tim PengujiTugas Akhir

Pembangunan gedung-gedung dan sarana penunjang lainnya mengakibatkan berkurangnya lahan peresapan air yang dapat mengurangi jumlah pemasukan airtanah di

Tabel 4.7 Distribusi PHBS Tatanan Rumah Tangga Responden Warga Dusun Deres yang Bekerja Sebagai Pemulung di TPA.. Blondo

Mata Pelajaran Nilai