1
Paper ini dipresentasikan pada Seminar Nasional FTSP pada 15 Juli 2010 di
Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang
Perencanaan Wilayah Berupa Pengembangan Silvofishery Mengacu PERMEN
LH No.17 Tahun 2009 dengan Aplikasi Sistem Informasi Geografis dan
Penginderaan Jauh
Oleh
Adipandang Yudono 1*), A.Wahid Hasyim 1*), Sapto Andriyono 2*) adipandang@ub.ac.id; awhasyim@yahoo.com; sapto_conserv@yahoo.com
1) Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota-Universitas Brawijaya 2) Departemen Ilmu Kelautan-Universitas Airlangga
Pengembangan kota yang terjadi secara pesat secara tidak langsung mengakibatkan ekspansi ke wilayah secara makro. Hal ini jika tidak segera diantisipasi dapat menyebabkan alih fungsi lahan kosong atau ruang terbuka hijau menjadi bangunan. Dipihak lain mempengaruhi kehidupan sosial-ekonomi masyarakat pedesaan sekitar pinggiran perkotaan. Masyarakat yang berasal dari kelompok tani akan terpinggirkan akibat tuntutan pekerjaan yang tidak memenuhi kualifikasi masyarakat urban. Upaya mempertahankan kehidupan pedesaan, khususnya masyarakat pesisir, maka salah satu upaya penanggulangannya berupa pengembangan silvofishery. Silvofishery berupa konsep pertambakan yang dipadukan dengan konservasi berupa mangrove. Pada penelitian ini, akan menganalisis kesesuaian lahan pengembangan silvofishery menggunakan panduan variabel dan perhitungan kesesuaian lahan pada PERMEN LH No.17 Tahun 2009 dengan aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) dan Penginderaan Jauh di pesisir pantai timur Jawa dengan fokus orientasi wilayah adalah Kabupaten Sidoarjo.
Kata kunci: Silvofishery, PERMEN LH no.17 Tahun 2009, SIG, Penginderaan Jauh
1.
Latar Belakang PermasalahanDalam realita kehidupan metropolitan, tuntutan wilayah yang termasuk didalamnya mengharuskan adanya alih fungsi guna lahan hingga alih fungsi pekerjaan dalam kehidupan pertaninan (termasuk didalamnya berupa sektor kelautan dan perikanan) menjadi non-pertanian. Hal ini jika tidak dikontrol akan berakibat konflik sosial yang besar dimana masyarakat asli yang berdiam sejak lama yang tidak dapat mengikuti kemajuan zaman akan terpinggirkan.
Mengantisipasi ketimpangan sosial yang terjadi, maka penelitian ini mencoba mengajukan suatu usulan dengan melakukan perencanaan wilayah perkotaan dalam pengembangan kawasan tambak pada pantai timur jawa yang masuk kawasan GERBANG KERTASUSILA metropolitan dengan fokus wilayah adalah Kabupaten Sidoarjo dimana dipadukan dengan mangrove sebagai wilayah konservasi dalam satu kesatuan konsep berupa silvofishery. Analisis pengembangan
3
wilayah pada penelitian ini mengusung Analisis Kesesuaian lahan dengan sebelumnya melihat kelas kemampuan lahannya menggunakan Sistem Informasi Geografis, dimana variabel yang ada mengacu pada PERMEN LH no.17 Tahun 2009 serta dipadukan dengan identifikasi wilayah silvofishery menggunakan analisis Remote Sensing.
2.
SilvofisherySejak tahun 1976 Perum Perhutani selaku pengelola kawasan hutan telah mengembangkan program yang mengintegrasikan kegiatan budidaya ikan dan pengelolaan hutan mangrove yang dikenal dengan istilah tambak tumpang sari, tambak empang parit, hutan tambak atau silvofishery yang semuanya bertujuan menekan laju degradasi hutan mangrove. Silvofishery adalah suatu bentuk usaha terpadu antara hutan mangrove dan perikanan budidaya. Pendekatan terpadu terhadap konservasi dan pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove memberikan kesempatan untuk mempertahankan kondisi kawasan hutan tetap baik, disamping itu budidaya perairan payau dapat menghasilkan keuntungan ekonomi. Faktor penting lainnya adalah teknologi ini menawarkan alternatif yang praktis untuk tambak tetap berkelanjutan (sustainable).
3.
PERMEN LH no.17 Tahun 2009Peraturan ini memaparkan mengenai daya dukung lingkungan hidup, yaitu kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain. Penentuan daya dukung lingkungan hidup dilakukan dengan cara mengetahui kapasitas lingkungan alam dan sumber daya untuk mendukung kegiatan manusia/penduduk yang menggunakan ruang bagi kelangsungan hidup. Besarnya kapasitas tersebut di suatu tempat dipengaruhi oleh keadaan dan karakteristik sumber daya yang ada di hamparan ruang yang bersangkutan. Kapasitas lingkungan hidup dan sumber daya akan menjadi faktor pembatas dalam penentuan pemanfaatan ruang yang sesuai.
4.
Klasifikasi Kelas Kemampuan TanahKemampuan lahan merupakan karakteristik lahan yang mencakup sifat tanah (fisik dan kimia), topografi, drainase dan kondisi lingkungan hidup lain. Berdasarkan karakteristik lahan tersebut, dapat dilakukan klasifikasi kemampuan lahan ke dalam tingkat kelas, sub kelas dan unit
Kelas Kemampuan
Lahan
Intenstitas dan Pilihan Penggunaan Meningkat
Cagar al am/ hutan lindun g Hutan produksi terba tas Pengembalaan terba tas Pengembalaan sedang Pengembalaan intensif Garapa n t er batas Garapa n sed ang Garapa n int ensif Garapa n san gat intensif Hambatan/ ancaman meningkat, kesesu aia n
dan pilihan penggunaan berkur
ang I II III IV V VI VI I VI I
Tabel 1. Hubungan antara kelas kemampuan lahan dengan intensitas, spektrum dan hambatan penggunaan tanah.
Pengelompokan kemampuan lahan dilakukan untuk membantu dalam penggunaan dan interpretasi peta tanah. Kemampuan lahan sangat berkaitan dengan tingkat bahaya kerusakan dan hambatan dalam mengelola lahan. Dengan demikian, apabila tingkat bahaya/risiko kerusakan dan hambatan penggunaan meningkat, spektrum penggunaan lahan menurun.
5.
Kelas Kesesuaian LahanKesesuaian lahan adalah gambaran tingkat kecocokan lahan untuk tujuan tipe penggunaan lahan tertentu dari kumpulan penentuan variabel-variabel pada kelas kemampuan lahan yang dianalisis sebelumnya.
5
6.
Identifikasi Tambak dan Mangrove berdasarkan analisis Remote Sensing 6.1 Perubahan LahanMendeteksi terjadinya perubahan guna lahan dalam lingkup inderaja, terlebih dahulu
mengenal pola hubungan tiap objek atau piksel pada kawasan studi untuk kemudian satu atau lebih dari satu piksel dikelompokan dalam satu label/jenis objek, sebagai informasi radiometri pada gambar tersebut selanjutnya dikonversikan kedalam informasi thematic, misalnya: kawasan
terbangun, jenis tumbuhan, dan air
Gambar 2. Nilai Pantulan Spectral (%) terhadap 3 material: Tumbuhan, Lahan kering dan Air.
(Sumber: Brandt Tso, Paul Mather, 2009).
Selain pantulan spectral dan panjang gelombang, pengenalan objek permukaan lahan sangat tergantung pada pemilihan kanal (band), sehingga akan sangat efektif dalam mentafsirkan karakteristik material permukaan lahan. Dengan menggunakan citra seperti Landsat Enhanced Thematic Mapper (ETM)+ dan SPOT (HRV) High Resolution Visible memiliki multispectral dengan dimensi rendah yaitu 7 band ditambah panchromatic pada Landsat dan 3 band pada SPOT, pemanfaatan band dimensi rendah lebih mudah dalam menentukan sampel (training area) dibandingkan dengan multispectral dimensi tinggi pada citra Hyperspectral yang membutuhkan training area sangat banyak dan tentu berpengaruh dalam menentukan parameter statistiknya.
6.2 Metode Klasifikasi
Proses klasifikasi untuk menghasilkan pengkelasan yang akurat berdasarkan data distribusi DN (Digital
Number) digunakan klasifikasi Maximum Likelihood berdasarkan perhitungan statistik (rerata variance/covariance), fungsi probabilitas (Bayesian), sehingga dalam sampel (training area/ sites) setiap piksel dapat dipastikan masuk dalam kelas yang mana (Nicholas M. Short, Sr, http://rst.gsfc.nasa.gov/Sect1/Sect1_19.html). Dengan formula sebagai berikut (Jean‐Paul Donnay, 2005):
Dimana, nilai Pr (probability) dari (bobot terpilih yang terbesar j) pada vektor x.
6.3 Proses Pengolahan Citra
Gambar 3. Proses Pengolahan Citra
6.4 Variabel yang Digunakan
Pada teknik klasifikasi dikelompokkan menjadi 4 variabel guna mengelompokkan nilai-nilai digitalnya (Digital Number), antar lain: laut, mangrove, tambak dan pemukiman.
6.5 Kondisi Tambak dan Mangrove tahun 1989 – 2007
Tahun Luas Tutupan Lahan (Ha)
Tambak Mangrove Pemukiman
1989 426294.792 84480.336 13.483
2007 4103.774 24292.080 130223.383
Berubahnya tutupan lahan (land cover) selama hampir 20 tahun berkurang (pada tambak 100 kali lipat atau 10.000%) maupun bertambah (pada pemukiman 10.000 kali lipatnya atau
7
1.000.000%!) terutama untuk kebutuhan permukinan dengan melakukan perataan maupun pengerukan pada tanah (cut and fill), yang paling menyolok kejadian bencana semburan lumpur panas (mud flow) hingga saat ini. Pengurugan dan pembukaan lahan baru berdampak pula berkurangnya mangrove hingga 60ribu (Ha) di sepanjang bagian pantai Timur khususnya Kabupaten Sidoarjo. Seperti digambarkan pada hasil klasifikasi tahun 1989 (citra Landsat TM) dan 2007 (citra SPOT).
Gambar 4. Klasifikasi Maksimum Likelihood citra Landsat TM 1989
Gambar 5. Klasifikasi Maksimum Likelihood citra SPOT 2007
7.
Analisis Kelas Kemampuan Lahan Wilayah StudiKonteks penelitian disini hanya menekankan kelas lahan silvofishery (tambak dan mangrove) pada Kabupaten Sidoarjo berdasarkan klasifikasi lahan dari kajian Remote Sensing, karena itu, analisis kemampuan lahan menjadi 2 wilayah karakteristik lahan. Dari 7
faktor pembatas yang ditetapkan oleh PERMEN LH no.17 Tahun 2009, ditampilkan 6 faktor pembatas saja yang akan digunakan karena tingkat kepentingan data dalam analisis. Faktor pembatas tersebut antara lain: tekstur tanah (t), kedalaman efektif (k), erosi (e), lereng permukaan (l), Drainase tanah (d) dan jenis batuan (b). Hasil analisis kelas kemampuan lahan silvofishery dengan menggunakan SIG dapat terlihat pada tabel berikut:
o. Faktor Pembatas Data Kode Kemampuan Lahan 1 Tekstur tanah (t) Lempung
berlumpur (agak halus)
t2 I
2 Kedalaman efektif (k) > 90 cm (dalam) k0 I
3 Keadaan Erosi (e) Tidaj ada e0 I
4 Lereng permukaan (l) 0 – 2% (datar) l0 I
5 Drainase tanah (d) Agak baik d1 I
6 Batuan (b) Tidak ada b0 I
Kelas I
Sub kelas I
Potensi kemampuan lahan Tinggi
Tabel 1. Identifikasi Kelas dan Sub Kelas Lahan silvofihsery di Kabupaten Sidoarjo
8.
Analisis Kesesuaian Lahan Kawasan SilvofisheryPada kegiatan ini dilakukan kajian overlay data spasial kemampuan lahan dengan arahan guna lahan dari RTRW Kab. Sidoarjo 2009-2029 Diperoleh hasil analisis spasial
kesesuaian lahankawasan Silvofishery dengan SIG dan tabulasi datanya sebagai berikut:
Gambar 6. Penampilan overlay kelas kemampuan lahan Wilayah Studi
9 Lahan Satuan Lahan Kelas Kemampuan Lahan Penggunaan
Lahan Faktor Penghambat Luas (Ha)
Evaluasi Kesesuaian Lahan 1 1 I Tambak 13875,653 Cocok
2 Hutan mangrove 774,558 Cocok
Tabel 2. Hasil Evaluasi Kesesuaian Lahan silvofihsery di Kabupaten Sidoarjo
Dalam pengembangan Kabupaten Sidoarjo dapat mempertahankan penggunaan lahan yang sudah ada dan melakukan perubahan namun harus sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
9.
Kesimpulan1.
Perubahan luas maupun fungsi silvofihsery menjadi guna lahan lain menjadi relatif mudah dan effisien untuk dikenali apabila didukung dengan pemanfaatan citra satelit karena sebaran dan luasannya.2.
Kualitas citra yang baik dapat memberikan hasil klasifikasi lebih akurat, sehingga diperlukan pemilihan band yang tepat saat menyusun komposit RGB.3.
Penyebab terjadinya perubahan silvofihsery belum dilakukan pengamatan secara khusus terhadap hubungan antara sesama variabel maupun band-band penyusun kompositnya.4.
Analisis kemampuan lahan di wilayah Sidoarjo dengan variabel-variabel yang mengacu pada PERMEN LH No.17 Tahun 2009 diperoleh wilayah pesisir Kabupaten Sidoarjo didominasi kelas 1, artinya sangat cocok untuk pengembangan wilayah pertanian dimana disini merujuk pada perikanan darat dan konservasi berupa mangrove.5.
Analisis kesesuaian lahan di wilayah Sidoarjo dengan overlay hasil analisis kemampuan lahan terhadap rencana guna lahan berdasarkan RTRW Kab.Sidoarjo tahun 2009-2029 diperoleh hasil pengembangan silvofishery pada wilayah pesisir Sidoarjo sangatlah sesuai.10. Pustaka
[1] Arief, Arifin. 2003. Hutan Mangrove: Fungsi Dan Manfaatnya. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. [2] Bengen, D. G., 2000. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat
Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. IPB 58 hal.
[3] Brandt Tso, Paul Mather, 2009, Classification Methods For Remotely Sensed Data, Taylor & Francis Group, LLC
[4] Dahuri, Rokhmin., J. Rais., S.P.Ginting., M.J.Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir Dan Lautan Secara Terpadu. Cetakan kedua, Penerbit Pradnya Paramita. Jakarta.
[5] Hikmawati.,DC. 2000. Tambak Berkelanjutan .http://cerd.or.id/news/ buletin/Volume206/Tambakberkelanjutan.htm. Diakses 26. Januari 2006.
[6] Jean-Paul Donnay, Michael J.Barnsley, Paul A.Longley, (2005), Remote Sensing and Urban Analysis, Taylor & Francis e-Library.
[7] Nicholas M. Short, Sr, http://rst.gsfc.nasa.gov/Sect1/Sect1_19.html
[8] Pedoman Penentuan Daya Dukung Lingkungan Hidup Dalam Penataan Ruang Wilayah (Badan Lingkungan Hidup, 2009) PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NO. 17 TAHUN 2009