BAB II
PERGESERAN TUGAS DAN WEWENANG BANK INDONESIA KE OTORITAS
JASA KEUANGAN (OJK)
2.1 Pembentukan OJK
2.1.1 Latar Belakang terbentuknya OJK
Keinginan bangsa Indonesia untuk mencapai kesejahteraan rakyatnya
terlihat dari beberapa perubahan peraturan perundang-undangan tentang
perbankan yang telah terjadi. Salah satunya adalah dengan lahirnya
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU
OJK), Undang-Undang yang terbentuk berdasarkan Pasal 34 Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia (UU BI). Didalam ketentuan tersebut, pemerintah
diamanatkan membentuk suatu lembaga pengawasan di sektor jasa keuangan
yang independen, selambat-lambatnya akhir tahun 2010 dengan nama Otoritas
Jasa Keuangan (OJK).
Alasan pembentukan lembaga ini antara lain adalah makin komplek dan
bervariasinya produk jasa keuangan, munculnya gejala konglomerasi
perusahaan jasa keuangan, dan globalisasi industri jasa keuangan. Disamping
itu, salah satu alasan pembentukan OJK karena Pemerintah beranggapan bahwa
Bank Indonesia sebagai bank sentral telah gagal dalam mengawasi sektor
perbankan. Kegagalan tersebut dapat dilihat dari krisis ekonomi yang melanda
pada saat itu.13 Contoh yang paling aktual adalah gagalnya Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap Bank Century. Timbul kecaman pedas karena
bailout Bank Century yang oleh banyak pihak dianggap tidak masuk akal. Bank
Indonesia dianggap tidak mampu bertindak tegas atau tidak mampu
menjatuhkan hukuman yang keras kepada bank yang dinilai melakukan
kejahatan dibidang perbankan.14
Selain itu, tujuan OJK dibentuk antara lain adalah sebagai berikut:15
a)Agar keseluruhan kegiatan didalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;
b)Mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; c)Melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.
Disamping itu, tujuan dari dibentuknya OJK adalah agar Bank Indonesia
fokus terhadap pengelolaan moneter dan tidak perlu mengurusi pengawasan
bank karena bank merupakan sektor perekonomian.16
Fuad Rahmany selaku ketua Tim Penyusun RUU OJK menyatakan bahwa
OJK akan menghilangkan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang
selama ini cenderung muncul. Sebab dalam OJK, fungsi pengawasan dan
pengaturan dibuat terpisah. Beliau mencontohkan Bapepam-LK yang dia
pimpin tidak hanya mengawasi tetapi juga membuat peraturan untuk
perusahaan sekuritas atau efek. Hal ini berpotensi menimbulkan abuse of power
sehingga pengaturan dan pengawasan harus dipisahkan. Meskipun OJK
13 Afika Yumya, Skripsi Pengaruh Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Kewenangan
Bank Indonesia Dibidang Pengawasan Perbankan, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2008, h.28
14 Kusdarwanto, Tesis Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pengawasan Perbankan setelah
Terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Program Studi Magister Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 2013, h.23
memiliki fungsi pengaturan dan pengawasan dalam satu tubuh, fungsinya tidak
akan tumpang tindih sebab OJK terdiri atas 7 (tujuh) dewan komisioner. Ketua
Dewan Komisioner akan membawahi tiga anggota dewan komisioner yang
masing-masing mewakili perbankan, pasar modal dan Lembaga Keuangan Non
Bank (LKNB). Kewenagan pengawasan perbankan oleh Bank Indonesia akan
dikurangi, namun Bank Indonesia masih mendampingi pengawasan.17 Apabila dilihat dalam konsideran UU OJK menyatakan bahwa:
a. Untuk mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, diperlukan kegiatan di dalam sektor Jasa Keuangan yang terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat;
b. Berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, diperlukan Otoritas Jasa Keuangan yang memiliki fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan terhadap disektor jasa keuangan secara terpadu, independen dan akuntabel;
c. Berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b perlu membentuk Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Secara historis, ide untuk membentuk lembaga khusus untuk melakukan
pengawasan perbankan telah dimunculkan semenjak diundangkannya UU BI.
Dalam Undang-Undang tersebut dijelaskan bahwa tugas pengawasan terhadap
bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang
independen dan dibentuk dengan Undang-Undang. Dengan melihat ketentuan
tersebut, maka telah jelas tentang pembentukan lembaga pengawasan sektor
jasa keuangan independen harus dibentuk. Bahkan pada ketentuan selanjutnya
dinyatakan bahwa pembentukan lembaga pengawasan akan dilaksanakan
selambatnya pada 31 Desember 2002. Hal tersebut yang dijadikan landasan
dasar bagi pembentukan suatu lembaga independen untuk mengawasi sektor
jasa keuangan, akan tetapi dalam prosesnya sampai dengan tahun 2010.
Perintah untuk pembentukan lembaga pengawasan ini, yang kemudian dikenal
dengan OJK.18 Dengan terbentuknya OJK, diharapkan pengaturan dan pengawasan terhadap sektor jasa keuangan dapat dilaksanakan dengan cara
yang tepat dan sesuai dengan kepentingan, sehingga dapat meningkatkan
perekonomian bangsa Indonesia.
2.1.2 Tujuan dibentuknya OJK
Salah satu alasan terbentuknya OJK adalah semakin komplek dan
bervariasinya produk jasa keuangan, munculnya gejala konglemerasi perusahan
jasa keuangan. Disamping itu alasan lain dari dibentuknya OJK adalah
pemerintah Indonesia telah melihat dan menganggap bahwa Bank Indonesia
sebagai Bank Sentral telah gagal dalam mengawasi sektor perbankan.
Setelah keluarnya UU OJK yang diundangkan pada tanggal 22 November
2011, maka munculnya OJK. Dengan diundangkannya UU OJK tersebut, maka
pengaturan dan pengawasan sektor perbankan yang semula berada pada Bank
Indonesia beralih kepada OJK. Bukan hanya pada sektor perbankannya saja,
namun juga pada sektor pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga
pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya.
Dalam penjelasan UU OJK disebutkan bahwa dibutuhkan lembaga
pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan yang lebih terintegrasi dan
komprehensif agar dapat dicapai mekanisme koordinasi yang lebih efektif
dalam menangani permasalahan yang timbul dalam sistem keuangan sehingga
dapat menjamin tercapainya stabilitas sistem keuangan.19
Berdasarkan ketentuan pada Pasal 2 ayat (2) UU OJK menjelaskan bahwa
"OJK adalah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya, bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang
secara tegas diatur dalam undang-undang ini"
Selain itu, OJK juga merupakan yang mempunyai fungsi, tugas dan
wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan sebagaimana
yang dimaksud dalam Undang-Undang.20
OJK ini dibuat oleh pemerintah bukan tanpa sebab, melainkan memiliki
tujuan yakni, agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:21
a.Terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;
b.Mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan
c.Mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.
Selain itu, tujuan dari pembentukan OJK lainnya adalah untuk
menyelenggarakan sektor jasa keuangan secara teratur, adil, transparan, dan
akuntabel, dimana mengingatkan pada pemikiran pada prinsip-prinsip tata
kelola perusahaan yang baik dan benar (Good Corporate Governance) yang
terdiri dari lima (5) prinsip yang disingkat dengan TARIF, yaitu:22 1.Transparency (Keterbukaan Informasi)
Secara sederhana bisa diartikan sebagai keterbukaan untuk menyediakan informasi yang cukup, akurat, dan tepat waktu. 2.Accuntability (Akuntabilitas)
Yaitu adanya kejelasan fungsi, struktur, sistim, kejelasan akan hak
19 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Penjelasan Umum 20 Ibid, pasal 1 angka 1
21 Ibid, pasal 4
22 Bisdan Sigalinggi, Analisis Hubungan Kelembagaan Antara Otoritas Jasa Keuangan Dengan
dan kewajiban serta wewenang dari elemen-elemen yang ada. 3.Responsibility (Pertanggungjawaban)
Yaitu kepatuhan perusahaan terhadap peraturan yang berlaku, diantaranya termasuk pembayaran pajak, hubungan Industrial, kesehatan dan keselamatan kerja, perlindungan lingkungan hidup, memelihara lingkungan bisnis yang kondusif bersama masyarakat dan sebagainya.
4.Independency (Kemandirian)
Yaitu mensyaratkan agar perusahaan dikelola secara profesional tanpa adanya benturan kepentingan dan tekanan atau intervensi dari pihak manapun termasuk yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku.
5.Fairness (Kesetaraan atau Kewajaran)
Prinsip ini menurut adanya perlakuan yang adil dalam memenuhi hak shareholders dan stakeholders sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Tujuan lain dari pembentukan OJK ini antara lain adalah agar keseluruhan
kegiatan didalam sektor jasa keuangan mampu mewujudkan sistem keuangan
yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil. Dalam konsep berkelanjutan
dimaksud adalah untuk menciptakan pembangunan yang berkelanjutan
(sustainable development). Sebagaimana menurut The World Business Council
of for Sustainable Development (WBSCDS) yang menggambarkan sebagai
"Business commitment to contribute to sustainable economic development,
working with employees, their, the local community, and society at large to
improve their quality if life" yaitu suatu komitmen bisnis untuk memberikan
kontribusi pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, bekerjasama dengan
pegawai, keluarganya, komunitas lokal dan masyarakat luas untuk
meningkatkan kualitas hidup bersama.23 2.1.3 Tugas dan Wewenang OJK
Terbentuknya OJK di Indonesia didasari dengan suatu keinginan dari
pemerintah untuk melakukan regulasi dalam hal pengawasan di sektor jasa
keuangan terutama dalam sektor perbankan yang mulai melemah. Kedudukan
OJK yang menjadi lembaga independen dan memiliki kewenangan yang cukup
luas dan tegas dalam pengawasan perbankan diharapkan dapat menyelesaikan
permasalahan yang saat ini timbul dalam sektor jasa keuangan terutama pada
sektor perbankan.
Dengan terbentuk dan berlakunya UU OJK telah memberikan kepastian
hukum dan telah menjadi dasar hukum bagi OJK untuk melakukan tugas dari
lembaga tersebut.
Berdasarkan ketentuan Pasal 6 UU OJK, OJK melaksanakan tugas
pengaturan dan pengawasan terhadap:24
a.Kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan; b.Kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal;
c.Kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya.
Sebagaimana ketentuan huruf a di atas untuk melaksanakan tugas
pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor
Perbankan, OJK memilki kewenangan sebagai berikut:25
a.Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang
meliputi:
1.Perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank,
anggaran dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan
sumber daya manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank,
serta pencabutan izin usaha bank; dan
2. Kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana,
produk hibridasi, dan aktivitas dibidang jasa,
b. Pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi:
1. likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio
kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit,
rasio pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan bank;
2. laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank;
3. sistem informasi debitur;
4. pengujian kredit (credit testing); dan
5. standar akuntansi bank;
c. Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank,
meliputi:
1. Manajemen risiko;
2. Tata kelola bank;
3. Prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang; dan
4. Pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan; dan
d. Pemeriksaan bank.
Dalam melaksanakan tugas pengaturan sebagaimana telah diatur pada
Pasal 6 UU OJK, OJK memiliki wewenang sebagai berikut:26 a. Menetapkan peraturan pelaksaan Undang-Undang ini;
b. Menetapkan peraturan perundang-undang di sektor jasa keuangan; c. Menetapkan peraturan dan keputusan OJK;
d. Menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan; e. Menetapkan kebijakan mengenai pelaksaan tugas OJK;
f. Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu;
g. Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter pada Lembaga Jasa Keuangan;
h. Menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola, memelihara, dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban; dan
i. Menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
Dan dalam melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana di maksud
dalam Pasal 6 UU OJK, OJK memiliki wewenang sebagai berikut:
a. Menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan;
b. Mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala Eksekutif;
c. Melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan konsumen, dan tindakan lain terhadap lembaga jasa keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
d. Memberikan perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan dan/atau pihak tertentu;
e. Melakukan penunjukan pengelolahan statute; f. Menetapkan penggunaan pengelolahan statute;
g. Menetapkan sanksi administrative terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; dan
h. Memberikan dan/atau mencabut: 1.Izin usaha;
2.Izin orang perseorangan;
3.Efektifnya pernyataan pendaftaran; 4.Surat tanda terdaftar;
5.Persetujuan melakukan kegiatan usaha; 6.Pengesahan;
7.Persetujuan atau penetapan pembubaran; dan 8.Penetapan lain;
Sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor
jasa keuangan.
Dalam Naskah Akademik Pembentukan OJK dikatakan bahwa dalam
melaksanakan tugas dan weewenangnya OJK harus berlandaskan kepada
asas-asas sebagai berikut:27
a.Asas kepastian hukum, yakni asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan OJK.
b.Asas kepentingan umum, yakni asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif.
c.Asas keterbukaan, yakni asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan OJK dengan tetap memerhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi dan golongan, serta rahasia negara, termasuk rahasia sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
d.Asas profesionalitas, yakni asas yang mengutamakan keahlian dalam pelaksanaan tugas dan wewenang OJK, dengan tetap berlandaskan pada kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
e.Asas integrasi, yakni asas yang berpegang teguh pada nilai-nilai moral dalam setiap tindakan dan keputusan yang diambil dalam penyelenggaraan OJK.
f.Asas akuntabilitas, yakni asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari setiap kegiatan penyelenggaraan OJK harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.
Dalam penjelasan umum UU OJK juga dikemukakan bahwa dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya OJK berlandaskan asas-asas sebagai
berikut:28
a.Asas independensi, yakni independen dalam pengambilan keputusan dan pelaksaan fungsi, tugas, dan wewenang OJK, dengan tetap sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b.Asas kepastian hukum, yakni asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan.
c.Asas kepentingan umum, yakni asas yang membela dan melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat serta memajukan kesejahteraan umum.
d.Asas keterbukaan, yakni asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif
27 Naskah Akademik Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang dikutip dalam: Hermansyah,
Hukum Perbankan Nasional Indonesia edisi kedua, Kencana, Jakarta, 2005, h.222-223
tentang penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan, dengan tetap memerhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi dan golongan, serta rahasia negara, termasuk rahasia sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
e.Asas profesionalitas, yakni asas yang mengutamakan keahlian dalam pelaksanaan tugas dan wewenang Otoirtas Jasa Keuangan, dengan tetap berlandaskan pada kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan. f.Asas integritas, yakni asas yang berpegang teguh pada nilai-nilai moral
dalam setiap tindakan dan keputusan yang diambil dalam penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan.
g.Asas akuntabilitas, yakni asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari setiap kegiatan penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.
Dari keterangan di atas dapat dilihat bahwa asas-asas OJK yang dimuat
dalam Lampiran Penjelasan UU OJK pada hakikatnya mengacu dalam Naskah
Akademik Pembentukan OJK.
2.2 Bank Indonesia Sebelum terbentuknya OJK dalam Pengaturan dan Pengawasan
Perbankan
2.2.1 Tujuan dan Tugas Bank Indonesia
Sebagaimana diketahui, Bank Indonesia lahir setelah berlakunya UU BI
pada 1 Juli 1953. Berdasarkan ketentuan didalam Undang-Undang Nomor 11
Tahun 1953 tentang Penetapan Undang-Undang Pokok Bank Indonesia,
didalam bidang perbankan, Bank Indonesia sebagai Bank Sentral sekaligus
bertugas untuk mengawasi bank-bank (khususnya mengenai urusan kredit).
Namun demikian, aturan pelaksanaan ketentuan pengawasan tersebut baru
ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 1955 tentang
Pengawasan terhadap Urusan Kredit, yang menyatakan bahwa Bank Indonesia
melakukan pengawasan bank terhadap semua bank yang beroperasi di
tersebut dan pemberian kredit secara sehat yang berdasarkan asas-asas
kebijakan Bank yang tepat. Tugas Bank Indonesia tersebut dilakukan atas nama
Dewan Moneter.29
Berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU BI mengatur bahwa tujuan dari
Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah.
Tujuan ini merupakan tujuan tunggal (single target) bagi Bank Indonesia, tetapi
pada hakikatnya mempunyai dimensi ganda yakni, kestabilan nilai rupiah
terhadap barang dan jasa serta kestabilan nilai rupiah terhadap mata uang
negara lain. Kestabilan nilai rupiah terhadap barang dan jasa dapa diukur dari
perkembangan laju inflasi, sedangkan ketsabilan nilai rupiah terhadap mata
uang negara lain tercermin dari perkembangan nilai tukar rupiah terhadap mata
uang negara lain. Kestabilan nilai rupiah menjadi faktor yang sangat penting
untuk mendukung pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan
meningkatkan kesejahteraan rakyat.30
Untuk mencapai tujuan tersebut, Bank Indonesia mempunyai 3 (tiga)
bidang tugas utama sebagaimana diatur dalam Pasal 8 UU BI, yaitu:
a. Menetapkan dan melaksakan kebijakan moneter;
b.Menagtur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran;
c. Mengatur dan mengawasi Bank
Tugas Bank Indonesia tersebut memiliki keterkaitan antara satu dengan
lainnya, oleh sebab itu harus dilakuan dengan saling mendukung untuk
mencapai tujuan Bank Indonesia secara efektif dan efisien. Tugas menetapkan
29 Kusdarwanto, Op.cit, h.42
30 Arief Wind Kuncahyo, Bank Indonesia Sebagai Lembaga Negara Indepedensi, Skripsi Fakultas
dan melaksanakan kebijakan moneter dilakukan melalui pengendalian jumlah
uang yang beredar dan suku bungan dalam perekonomian. Untuk melaksanakan
hal tersebut, diperlukan dukungan sistem pembayaran yang efisien, cepat, aman,
dan andal. Sistem pembayaran yang demikian hanya dapat dilaksanakan oleh
sistem perbankan yang sehat.31 Sebab, kebijakan moneter banyak dilakukan
melalui sistem perbankan.
2.2.2 Kewenangan Bank Indonesia dalam Pengaturan dan Pengawasan
perbankan
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (selanjutnya disebut UU Perbankan) dalam hal pengawasan dan
pengaturan perbankan, Bank Indonesia sebagai otoritas yang berwenang dalam
hal melakukan pengaturan dan pengawasan bank memberikan dan mencabut
izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu bank, menetapkan peraturan,
melaksanakan pengawasan Bank serta mengenakan sanksi terhadap bank.32 Bank Indonesia mempunyai beberapa kewenangan dalam melakukan
pengaturan dan pengawasan terhadap bank, yaitu:33
a.Kewenangan memberikan izin b.Kewenangan mengatur
c.Kewenangan untuk mengawasi
d.Kewenangan untuk mengenakan sanksi
Dalam hal kewenangan memberikan izin (right to license), yang
dimaksud adalah kewenangan untuk menetapkan tata cara perizinan dan
31 Ibid, h.14
pendirian suatu bank, meliputi pemberian izin dan pencabutan izin usaha bank,
pemberian izin pembukaan, penutupan dan pemindahan kantor bank, pemberian
persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bak, pemberian izin kepada
bank untuk menjalankan kegiatan-kegiatan usaha tertentu.34
Kewenangan pemberian izin ini merupakan seleksi awal terhadap
kehadiran sebuah bank dengan menetapkan tata cara perizinan dan pendirian
suatu bank. Pada umumnya persyaratan pendirian bank menyangkut pada tiga
aspek, yaitu: (a) akhlak dan moral calon pemilik dan pengurus bank, (b)
kemampuan menyediakan dana dalam jumlah tertentu untuk modal bank, dan
(c) kesungguhan dan kemampuan dari para calon pemilik dan pengurus bank
dalam melakukan kegiatan usaha bank.35
Kewenangan untuk mengatur (right to regulate) adalah menetapkan
ketentuan yang menyangkut aspek usaha dan kegiatan perbankan dalam rangka
menciptakan perbankan sehat guna memenuhi jasa dalam rangka menciptakan
perbankan yang diinginkan masyarakat.36
Didalam kewenangan mengawasi, Bank Indonesia membaginya dalam 2
pengawasan, yaitu:37
a.Pengawasan bank secara langsung (on-site supervision)
Terdiri dari pemeriksaan umum dan pemeriksaan khusus dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran keadaan keuangan bank dan untuk memantau tingkat kepatuhan Bank terhadap peraturan yang berlaku, serta untuk mengetahui apakah terdapat praktik-praktik tidak sehat yang membahayakan kelangsungan usaha Bank.
34 Bank Indonesia, Bookled perbankan Indonesia 2010, Direktorat Perizinan dan Informasi
Perbankan Bank Indoneisa, Jakarta, 2010, h.11-12
b. Pengawasan tidak langsung (off-site supervision)
Pengawasan melalui alat pemantau seperti laporan berkala yang disampaikan bank, laporan hasil pemeriksaan dan informasi lainnya.
Sedangkan kewenangan untuk mengenakan sanksi sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan terhadap Bank apabila suatu Bank kurang atau
tidak memenuhi ketentuan. Tindakan ini mengandung unsur pembinaan agar
bank beroperasi sesuai dengan asas perbankan yang sehat.38
Dalam hal menjalankan tugas pengawasan bank, Bank indonesia
melaksanakan sistem pengawasan dengan menggunakan 2 pendekatan, yaitu:39
1.Pengawasan berdasarkan kepatuhan (compliance based supervision), yaitu pemantauan kepatuhan bank terhadap ketentuan-ketentuan yang terkait dengan operasi dan pengelolaan bank di masa lalu dengan tujuan untuk memastikan bahwa bank telah beroperasi dan dikelola secara baik dan benar menurut prinsip kehati-hatian. Pengawasan terhadap pemenuhan aspek kepatuhan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pelaksaan pengawasan bank berdasarkan risiko;
2.Pengawasan berdasarkan risiko (risk based supervision) yaitu pengawasan bank yang menggunakan strategi dan metodologi berdasarkan risiko yang memungkinkan pengawasan bank dapat mendeteksi risiko yang signifikan secara dini dan mengambil tindakan engawasan yang sesuai dan tepat waktu.
Berkaitan dengan tugas mengatur dan mengawasi bank, Bank Indonesia
sebagai bank sentral berwenang:40
a. Menetapkan peraturan perbankan termasuk ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip kehati-hatian.
b. Memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari bank, termasuk memberikan dan mencabut izin usaha tertentu dari bank, memberikan izin pembukaan, penutupan dan pemindahan kantor bank, memberikan persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bank, memberikan izin kepada bank untuk menjalankan kegiatan usaha tertentu.
38 Ibid
39 Ibid., h.12-14
c. Melaksanakan pengawasan bank secara langsung dan tidak langsung melalui penyampaian laporan, keterangan oleh bank serta hasil pemeriksaan terhadap bank, secara berkala ataupun setiap waktu jika diperlukan.
d. Menugaskan kepada pihak lain untuk dan atas nama Bank Indonesia dalam melaksanakan pemeriksaan. Pihak lain yang melaksanakan pemeriksaan wajib merahasiakan keterangan dan data yang diperbolehkan.
e. Memerintahkan bank untuk menghentikan sementara sebagian atau seluruh kegiatan transaksi tertentu apabila menurut penilaian Bank Indonesia terhadap suatu transaksi patut diduga merupakan tindakan pidana di bidang perbankan.
f. Melakukan tindakan tertentu sebagai akibat dari penilaian Bank Indonesia terhadap suatu bank atas kegiatan yang dapat membahayakan usaha bank tersebut dan/atau sistem perbankan secara keseluruhan.
g. Tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independentI, dan dibentuk dengan undang-undang. h. Mengatur dan mengembangkan sistem informasi antar bank. Sistem
informasi dapat dilakukan sendiri oleh Bank Indonesia dan/atau oleh pihak lain dengan persetujuan Bank Indonesia.
i. Mengenakan sanksi terhadao bank sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip kehati-hatian itu
bertujuan untuk memberikan rambu-rambu bagi penyelenggaraan kegiatan
usaha perbankan agar terwujud sistem perbankan yang sehat dan efisien. Oleh
karena itu, peraturan di bidang perbankan tersebut harus didukung pula dengan
sanksi yang adil serta harus disesuaikan pula dengam standar yang berlaku
secara Internasional.41
2.3 Kewenangan Bank Indonesia dalam Pengaturan dan Pengawasan Perbankan
Setelah terbentuknya OJK
Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 24 UU BI dalam mengemban
tugas untuk mengatur dan mengawasi bank, Bank Indonesia berwenang untuk
memberikan dan mencabut izin pendirian bank, menetapkan peraturan,
41 Dirdjosisworo dan Soedjono, Hukum Perbankan di Indonesia: Bank umum, Bandung, Mandar
mengawasi, sampai memberikan sanksi kepada bank sesuai dengan
perundang-undangan. Dari penjelasan tersebut, maka dapat dilihat bahwa Bank
Indonesia bukan hanya berwenang saja dalam mengatur dan mengawasi sistem
perbankan nasional. Namun, Bank Indonesia juga memiliki tanggung jawab dan
kewajiban yang utuh dalam melakukan pembinaan kepada bank, baik dengan cara
represif maupun prefentif.
Dengan adanya pembentukan OJK, kewenangan Bank Indonesia yang
semula memegang penuh dalam sistem perbankan nasional kini dibatasi oleh
pemerintah. Sebab, didalam ketentuan Pasal 6 huruf a UU OJK telah
menyebutkan bahwa OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan
terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan. Selain itu, di dalam
ketentuan selanjutnya yakni pada Pasal 7 UU OJK juga telah disebutkan bahwa
untuk melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan, OJK
mempunyai wewenang:42
a.Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi:
1.Perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank, dan
2.Kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa
b. Pengaturan dan pengawasan mengennai kesehatan bank yang meliputi:
1.Likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan bank;
2.Laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank; 3.Sistem informasi debitur;
4.Pengujian kredit (credit testing); dan
5.Standar akuntasi bank;
c. Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi:
1.Manajemen risiko; 2.Tata kelola bank;
3.Prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang; dan
4.Pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan; dan
d. Pemeriksaan bank
Apabila kita melihat pada UU BI maka kewenangan yang beralih tersebut
adalah, antara lain:43
a. Mengatur dan mengawasi bank;
b. Menetapkan peraturan, memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan tertentu dari bank, melaksanakan pengawasan bank dan mengenakan sanksi terhadap bank sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. Menetapkan ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip kehati-hatian;
d. Berkaitan dengan kewenangan dibidang perizinan sebagaimana dimaksud dalam pasal 24: (a) memberikan dan mencabut izin usaha bank; (b) memberikan izin pembukaan, penutupan, dan pemindahan kantor bank; (c) memberikan persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bank; (d) memberikan izin kepada bank untuk menjalankan kegiatan-kegiatan usaha tertentu;
e. Melakukan pengawasan bank sebagaimana dimaksud pasal 24, yaitu pengawasan langsung dan tidak langsung;
Dengan adanya UU OJK, maka pengawasan perbankan tidak lagi berada
ditangan Bank Indonesia melainkan berada pada tangan OJK. Meskipun telah
terbentuk lembaga pengawasan tersebut, namun peranan Bank Indonesia terhadap
pengwasan bank tidak dapat dikesampingkan. Sebab lemabaga tersebut (OJK)
tetap harus mempunyai hubungan kordinasi yang baik dengan Bank Indonesia,
diantaranya menyangkut keterangan dan data perbankan yang ada.
Dengan telah terbentuknya OJK, Bank Indonesia akan fokus kepada
kewenangan dalam hal kebijakan moneter yaitu kebijakan untuk mencapai dan
memelihara kestabilan nilai rupiah yang dilakukan antara lain melalui
pengendalian jumlah uang beredar dan atau suku bungan.44
2.4 Pergeseran Tugas dan Wewenang Bank Indonesia ke OJK
Berikut adalah tabel wewenang Bank Indonesia yang telah beralih ke OJK:
No.
Kewenangan Bank Indonesia
Beralih ke
OJK
Keterangan
Ya Tidak
1. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter
- √ UU BI
a. Menetapkan sasaran-sasaran moneter dengan memperhatikan sasaran laju inflasi yang
ditetapkannya
- √ UU BI
b. Melakukan pengendalian moneter dengan menggunakan cara-cara yang termasuk tetapi
tidak terbatas pada:
1. Operasi pasar terbuka di pasar uang baik
rupiah maupun valuta asing;
2. Penetapan tingkat diskonto;
3. Penetapan cadangan wajib minimum;
4. Pengaturan kredit atau pembiayaan.
- √ UU BI
c. Melakukan pengendalian moneter juga berdasarkan prinsip syariah
- √ UU BI
d. Memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah untuk jangga waktu
90 hari kepada bank untuk mengatasi kesulitan
pendanaan jangka pendek bank yang
bersangkutan.
- √ UU BI
e. Melaksanakan kebijakan nilai tukar berdasarkan - √ UU BI
sistem nilai tukar yang telah ditetapkan.
f. Mengelola cadangan devisa, melaksanakan berbagai jenis transaksi, dan menerima
pinjaman luar negeri.
- √ UU BI
g. Menyelenggarakan survei secara berkala atau sewaktu-waktudiperlukan yang dapat bersifat
makro dan mikro untuk mendukung
pelaksanaan tugas BI
- √ UU BI
2. Mengatur dan menjaga sistem pembayaran - √ UU BI a. Melaksanakan dan memberikan persetujuan dan
izin atas penyelenggaraan jasa sistem
pembayaran
- √ UU BI
b. Mewajibkan penyelenggara jasa sistem pembayaran untuk menyampaikan laporan
tentang kegiatannya
- √ UU BI
c. Menetapkan penggunaan alat pembayaran - √ UU BI d. Mengatur sistem kliring antar bank dalam mata
uang rupiah dan atau valuta asing
- √ UU BI
e. Menyelenggarakan penyelesaian akhir transaksi pembiayaan antar bank dalam mata uang
rupiahdan atau valuta asing
- √ UU BI
f. Menetapkan macam, harga, ciri uang yang akan dikeluarkan, bahan yang digunakan dan tanggal
mulai berlakunya sebagai alat pembayaran yang
sah
- √ UU BI
e. Satu-satunya lembaga yang berwenang untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang rupiah
serta mencabut, menarik, dan memusnakan
uangan dimaksud dari peredaran
- √ UU BI
3. Tugas Mengatur dan mengawasi Bank √ - UU BI
a. Menetapkan peraturan perbankan:
Menetapkan ketentuan-ketentuan perbankan
yang memuat prinsip kehati-hatian
b. Kewenangan dibidang peizinan:
(a) Memberikan dan mencabut izin usaha bank
(b) Memberikan izin pembukaan, penutupan,
dan pemindahan kantor bank
(c) Memberikan persetujuan atas kepemilikan
dan kepengurusan bank
Memberikan izin kepada bankuntuk
menjalankan kegiatan-kegiatan usaha tertentu
√ - UU BI
c. Pengawasan bank secara langsung dan tidak langsung
√ - UU BI
d. Mengenakan sanksi terhadap bank sesuai ketentuan perundangan
√ - UU BI
e. Mewajibkan:
(a) bank untuk menyampaikan laporan,
keterangan, dan penjelasan sesuai dengan tata
cara yang ditetapkan oleh Bank Indonesia
(b) Apabila diperlukan, kewajiban tersebut
diatas juga dikenakan kepada perusahaan induk,
perusahaan anak, pihak terkait, dan pihak
terafiliasi oleh bank
√ - UU BI
f. Memeriksa:
(a) bank baik secara berkala maupun setiap
waktu apabila diperlukan
(b) Apabila diperlukan, pemeriksaan tersebut
diatas juga dikenakan kepada perusahaan induk,
perusahaan anak, pihak terkait, pihak terafiliasi
oleh bank, dan debitur bank
√ - UU BI
g. Menugasi pihak lain untuk dan atas nama Bank Indonesia melaksanakan pemeriksaan diatas
√ - UU BI
h. Memerintahkan:
(a) Bank untuk menghentikan sementara
sebagian atau seluruh transaksi tertentu
apabilamenurut penilaian BI terhadap suatu
transaksi patut diduga merupakan tindak pidana
dibidang perbankan
(b) BI wajib mengirim tim pemeriksa untuk
menelitih kebenaran atas dugaan tersebut
Apabila dari hasil pemeriksaan tidak diperoleh
bukti yang cukup, BI pada hari itu juga
mencabut perintah penghentian transaksi
i. (a) Mengatur dan mengemban sistem informasi antar bank
(b) Sistem informasi dapat diperluas dengan
menyertakan lembaga lain dibidang keuangan
Penyelenggaraan sistem informasi tersebut
dapat dilakukan sendiri oleh Bi dan atau pihak
lain dengan persetujuan BI
√ - UU BI
j. Dalam hal keadaan suatu Bank menurut penilaian Bank Indonesia membahayakan
kelangsungan usaha Bank yang bersangkutan
dan/atau membahayakan sistem perbankan atau
terjadi kesulitan perbankan yang
membahayakan perekonomian nasional, Bank
Indonesia dapat melakukan tindakan
sebagaimana diatur dalam undang-undang
tentang perbankan yang berlaku
√ - UU BI
4. a.
Menetapkan ketentuan perihal Bank Umum:
menyediakan pembiayaan dan atau melakukan
kegiatan lain berdasarkan prinsip syariah
√ - UU
Perbankan
b. melakukan kegiatan dalam valuta asing √ - UU Perbankan
c. Melakukan kegiatan penyertaan modal pada bank atau perusahaan lain di bidang keuangan,
seperti sewa guna usaha, modal ventura,
perusahaan efek, asuransi, serta lembaga kliring
penyelesaian dan penyimpanan
√ - UU
d. Melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat kegagalan
kredit atau kegagalan pembiayaan berdasarkan
prinsip syariah, dengan syarat harus menarik
kembali penyertaannya
√ - UU
Perbankan
e. Wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan pembiayaan berdasarkan
prinsip syariah
√ - UU
Perbankan
5. Menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan
berdasarkan prinsip syariah, pemberian
jaminan, penempatan investasi surat
berhargaatau hal lain yang serupa, yang dapat
dilaukan oleh bank kepada peminjam atau
sekelompok peminjam yang terkait, termasuk
kepada perusahaan-perusahaan dalam
kelompok yang sama dengan bank yang
bersangkutan (batas maksimum tidak boleh
melebihi 30%)
√ - UU
Perbankan
6. Menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan
berdasarkan prinsip syariah , pemberian
jaminan, penempatan investasi surat
berhargaatau hal lain yang serupa, yang dapat
dilaukan oleh bank kepada:
a. Pemegang saham yang memiliki 10% atau
lebih dari modal disetor ke bank;
b. Anggota dewan komisaris;
c. Anggota direksi;
d. Keluarga dari pihak sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, b, dan c;
e. Pejabat bank lainnya;
f. Perusahaan-perusahaan yang di dalamnya
√ - UU
terdapat kepentingan dari pihak-pihak
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, c, d,
dan e
7. Untuk menunjang pelaksanaan program peningkatan taraf hidup rakyat banyak melalui
pemberdayaan koperasi, usaha kecil dan
mengengah, Pemerintah bersama BI dapat
melakukan kerjasama dengan Bank Umum
√ - UU
Perbankan
8. Menetapkan ketentuan perihal Usaha BPR menyediakan pembiayaan dan penempatan dana
berdasarkan prinsip syariah
√ - UU
Perbankan
9. Setiap pihak yang melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk simpanan wajib terlebih dahulu
memperoleh izin usaha sebagai Bank Umum
atau BPR dari pimpinan BI, kecuali apabila
kegiatan tersebut diatur pada UU tersendiri
√ - UU
Perbankan
10. Menentukan persyaratan dan tatacara perizinan bank
√ - UU
Perbankan
11. Hanya dapat dilakukan dengan izin pimpinan BI apabila:
a. Membuka kantor cabang Bank Umum;
b. Membuka kantor cabang, kantor perwakilan,
dan jenis-jenis kantor lainnya diluar negeri;
c. Membuka kantor cabang BPR
√ - UU
Perbankan
12. Pembukaan kantor dibawah kantor cabang Bank Umum wajib dilaporkan kepada BI
√ - UU
Perbankan
13. Menentukan ketentuan mengenai pesyaratan dan tata cara pembukaan kantor Bank Umum
dan BPR
√ - UU
Perbankan
14. Memberikan izin pembukaan kantor cabang, kantor cabang pembantu, dan kantor perwakilan
dari suatu bank yang berkedudukan diluar
√ - UU
negeri (hanya pimpinan BI yang berwenang
memberikan izin tersebut)
15. Menetapkan ketentuan mengenai persyaratan pendirian yang wajib dipenuhi pihak - pihak
yang mendirikan Bank Umum
√ - UU
Perbankan
16. Perubahan kepemilikan Bank wajib dilaporkan kepada BI
√ - UU
Perbankan
17. Memberikan izin merger, konsolidasi, dan akuisisi (hanya Pimpinan BI yang berwenang)
√ - UU
Perbankan
18. Melakukan pembinaan dan pengawasan bank √ - UU Perbankan
19. Menetapkan ketentuan yang wajib di penuhi oleh baank dalam hal:
a. Memelihara tingkat kesehatan bank sesuai
dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas
aset, dan lainnya. Serta wajib melakukan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip
kehati-hatian;
b. Dalam memberikan kredit atau pembiayaan
berdasarkan prinsip syariah dan melakukan
kegiatan usaha lainnya, bank wajib menumpuh
cara yang tidak merugikan bank dan nasabah;
c. Menyediakan informasi mengenai
kemungkinan timbulnya risiko kerugian
sehubungan transaksi nasabah yang dilakukan
melalui bank.
√ - UU
Perbankan
20. Bank wajib memberikan kepada BI segala keterangan dan penjelasan mengenai usahanya
menurut tatacara yang ditetapkan BI.
√ - UU
Perbankan
21. Memeriksa buku-buku dan berkas-berkas yang ada pada bank dan berhak memperoleh bantuan
bank dalam hal memperoleh segala kebenaran
dari keterangan, dokumen dan penjelasan yang
√ - UU
dilaporkan oleh bank yang bersangkutan.
22. Melakukan pemeriksaan terhadap baik baik secara berkala maupun setiap waktu apabila
diperlukan.
√ - UU
Perbankan
23. Menugaskan akuntan publik untuk dan atas nama BI melaksanakan pemeriksaan terhadap
Bank.
√ - UU
Perbankan
24. Menetapkan persyaratan dan tatacara pemeriksaan bank
√ - UU
Perbankan
25. Bank wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia neraca dan perhitungan laba/rugi
tahunan serta penjelasannya, serta laporan
berkala lainnya, dalam waktu dan bentuk yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
√ - UU
Perbankan
26. Bank wajib mengumumkan neraca dan perhitungan laba/rugi dalam waktu dan bentuk
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
√ - UU
Perbankan
27. Menetapkan pengecualian dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2)
bagi Bank Perkreditan Rakyat.
√ - UU
Perbankan
28.
a. Dalam hal suatu bank mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya,
Bank Indonesia dapat melakukan tindakan
agar :
a. pemegang saham menambah modal;
b. pemegang saham mengganti Dewan Komisaris dan atau Direksi bank;
c. bank menghapusbukukan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang macet dan memperhitungkan kerugian bank dengan modalnya;
d. bank melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain;
e. bank dijual kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh kewajiban;
f. bank menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan bank kepada pihak lain;
√ - UU
g. bank menjual sebagian atau seluruh harta d an atau kewajiban bank kepada bank atau pihak lain.
b. Apabila:
a. tindakan sebagaimana diatas belum cukup untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi bank; dan atau
b. menurut penilaian Bank Indonesia keadaan suatu bank dapat membahayakan sistem Perbankan, Pimpinan Bank Indonesia dapat mencabut izin usaha bank dan memerintahkan Direksi bank untuk segera menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham guna menyelenggarakan RUPS, Pimpinan Bank
Indonesia meminta kepada pengadilan untuk
mengeluarkan penetapan yang berisi
pembubaran badan hukum bank, penunjukan
tim likuidasi, dan perintah pelaksanaan likuidasi
sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
√ - UU
Perbankan
29. Apabila menurut penilaian Bank Indonesia terjadi kesulitan Perbankan yang
membahayakan perekonomian nasional, atas
permintaan BI,Pemerintah setelah berkonsultasi
kepada DPR RI dapat membentuk badan khusus
yang bersifat sementara dalam rangka
penyehatan Perbankan.
√ - UU
Perbankan
30. Perubahan keanggotaan dewan komisaris dan direksi wajib dilaporkan kepada BI.
√ - UU
Perbankan
31. Untuk kepentingan perpajakan, Pimpinan BI atas permintaan Menteri Keuangan berwenang
mengeluarkan perintah tertulis kepada bank
agar memberikan keterangan dan
memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta
surat-surat mengenai keadaan keuangan
√ - UU
Nasabah Penyimpan tertentu kepada pejabat
pajak.
32. Untuk penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan
Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara,
Pimpinan BI memberikan izin kepada pejabat
Badan Urusan Piutang dan Lelang
Negara/Panitia Urusan Piutang Negara untuk
memperoleh keterangan dari bank mengenai
simpanan Nasabah Debitur.
√ - UU
Perbankan
33. Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, Pimpinan BI dapat memberikan izin
kepada polisi, jaksa, atau hakim untuk
memperoleh keterangan dari bank mengenai
simpanan tersangka atau terdakwa pada bank.
√ - UU
Perbankan
34. Menetapkan ketentuan mengenai tukar menukar informasi antar bank, direksi bank dapat
memberitahukan keadaan keuangan nasabahnya
kepada bank lain.
√ - UU
Perbankan
35. Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana BI dapat menetapkan sanksi administratif kepada
bank yang tidak memenuhi kewajibannya
sebagaimana ditentukan dalam UU ini, atau
Pimpinan BI dapat mencabut izin usaha bank
yang bersangkutan.
√ - UU
Perbankan
36. menetapkan sanksi administratif kepada Pihak Terafiliasi yang tidak memenuhi kewajibannya
sebagaimana ditentukan dalam UU ini atau
menyampaikan pertimbangan kepada instansi
yang berwenang untuk mencabut izin yang
bersangkutan.
√ - UU
Perbankan
nenpengaruhi pengelolaan Bank Syariah atau
UUS, baik langsung maupun tidak langsung,
antara lain pengendali bank, pemegang saham
dan keluarga, keluarga komisaris, dan keluarga
direksi.
Perbankan
Syariah
38. Memberikan izin kepada setiap pihak yang akan melakukan kegiatan usaha Bank Syariah atau
UUS.
√ - UU
Perbankan
Syariah
39. Memberikan izin kepada bank koncensional yang akan mengubah kegiatan usahanya
berdasarkan Pinsip Syariah.
√ - UU
Perbankan
Syariah
40. Bank Umum Konvensional yang akan melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip
Syariah wajib membuka UUS di kantor pusat
Bank dengan izin BI
√ - UU
Perbankan
Syariah
41. Memberikan izin pembukaan kantor cabang Bank Syariah dan UUS
√ - UU
Perbankan
Syariah
42. Pembukaan kantor di bawah kantor cabang, wajib dilaporkan dan hanya dapat dilakukan
setelah mendapatkan surat penegasan dari BI
√ - UU
Perbankan
Syariah
43. Pengangkatan anggota direksi dan komisaris harus mendapatkan persetujuab BI
√ - UU
Perbankan
Syariah
44. RUPS Bank Syariah harus menetapkan tugas manajemen, remunerasi komisaris dan direksi,
laporan pertanggungjawaban tahunan,
penunjukan dan biaya jasa akuntan publik,
45. Maksimum kepemilikan Bank Umum Syariah oleh warga negara asing dan/atau badan hukum
asing diatur dalam PBI
√ - UU
Perbankan
46. Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan, bentuk badan hukum, anggaran dasar, serta
pendirian dan kepemilikan Bank Syariah diatur
dengan PBI
√ - UU
Perbankan
Syariah
47. Besarnya modal disetor minimum untuk mendirikan Bank Syariah ditetapkan dalam PBI
√ - UU
Perbankan
Syariah
48. UUS dapat menjadi Bank Umum Syariah tersendiri setelah mendapatkan izin dari BI
√ - UU
Perbankan
Syariah
49. Izin perubahan UUS menjadi Bank Umum Syariah diatur dengan PBI
√ - UU
Perbankan
Syariah
50. Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan Bank Syariah wajib terlebih dahulu mendapat
izin dari BI
√ - UU
Perbankan
Syariah
51. Kegiatan usaha Bank Umum Syariah didalan UU wajib memenuhi ketentuan yang ditetapkan
oleh BI dan ketentuan peraturan
perundang-undangan
√ - UU
Perbankan
Syariah
52. Menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha Bank Syariah lainnya yang sesuai dengan
Prinsip Syariah berdasarkan persetujuan BI
√ - UU
Perbankan
Syariah
53. Setiap pihak dilarang melakukan kegiatan penghimpunan dana dalam bentuk simpanan
atau investasi berdasarkan Prinsip Syariah tanpa
izin terlebih dahulu dari BI
√ - UU BI membentuk komite Perbankan Syariah
√ - UU
Perbankan
56. Calon pemegang saham pengendali Bank Syariah wajib lulus uji kemampuan dan
kepatutan yang dilakukan oleh BI
√ - UU
Perbankan
Syariah
57. Ketentuan lebih lanjut mengenai uji kemampuan dan kepatutan diatur dengan PBI
√ - UU
Perbankan
Syariah
58. Ketentuan mengenai syarat, jumlah, tugas, kewenangan, tanggung jawab, serta hal lain
yang menyangkut dewan komisaris dan direksi
Bank Syariah dalam anggaran dasar Bank
Syariah diatur dengan PBI
√ - UU
Perbankan
Syariah
59. Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas untuk memastikan kepatuhan Bank Syariah terhadap
pelaksanaan ketentuan BI dan peraturan
perundangan-undangan lainnya diatur denngan
PBI
√ - UU
Perbankan
Syariah
60. Calon dewan komisaris dan calon direksi wajib lulus uji kemampuan dan kepatuhan yang komisaris dan direksi yang melanggar integritas
dan tidak memenuhi kompetensi dilakukan oleh
BI
√ - UU
Perbankan
Syariah
62. Ketentuan mengenai uji kemampuan dan kepatuhan komisaris dan direksi diatur dengan
PBI
√ - UU
Perbankan
Syariah
63. Pengangkatan pejabat eksekutif oleh direksi diatur dengan PBI
√ - UU
Perbankan
Syariah
64. Ketentuan mengenai pembentukan Dewan Pengawas Syariah diatur dengan PBI
√ - UU
Perbankan
Syariah
Bank Syariah dilakukan sesuai ketentuan PBI
dan peraturan peruundang-undangan
Perbankan
Syariah
66. Ketentuan mengenai tata kelola Perbankan Syariah diatur dengan PBI
√ - UU
Perbankan
Syariah
67. Bank Syariah dan UUS wajib menyampaikan epada BI laporan keuangan berupa neraca
tahunan dan perhitungan laba rugi tahunan serta
penjelasannya yang disusun berdasarkan prinsip
akuntansi syariah yang berlaku umum, serta
laporan berkala lainnya, dalam waktu dan
bentuk yang diatur PBI
√ - UU
Perbankan
Syariah
68. Menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum penyaluran dana berdasarkan
Prinsip Syariah, pemberian jaminan,
penempatan investasi surat berharga yang
berbasis syariah, atau hal lain yang serupa, yang
dapat dilakukan oleh Bank Syariah dan UUS
kepada:
a. nasabah penerima fasilitas;
b. perusahaan dalam kelompok yang sama
d. Anggota dewan komisaris dan keluarga;
e. Anggota direksi dan keluarga;
f. Pejabat bank lainnya;
g. Perusahaan yang didalamnya terdapat
kepentingan dari pihak yang bersangkutan
√ - UU
Perbankan
Syariah
69. Ketentuan mengenai kewajiban pengelolaan resiko diatur dengan PBI
√ - UU
Syariah
70. Ketentuan mengenai pembelian agunan diatur dengan PBI
√ - UU
Perbankan
Syariah
71. Untuk kepentingan penyidikan pidana perpajakan, BI atas perintah Menteri Keuangan
berwenang mengeluarkan perintah tertulis
kepada Bank agar memberikan eterangan dan
memperlihatkan bukti tertulis serta surat
mengenai keadan keuangan Nasabah
Penyimpan atau Nasabah Investor tertentu
kepada pejabat pajak
√ - UU
Perbankan
Syariah
72. Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, pimpinan BI dapat memberikan izin
kepada polisi, jaksa, hakim, atau penyidik lain
yang diberi wewenang berdasarkan UU untuk
memperoleh keterangan dari Bank mengenai
simpanan atau investasi tersangka atau
terdakwa pada Bank
√ - UU
Perbankan
Syariah
73. Ketentuan mengenai tukar menukar informasi antarbank diatur dalam PBI
√ - UU
Perbankan
Syariah
74. Melakukan pembinaan dan pengawasan Bank Syariah dan UUS
√ - UU
Perbankan
Syariah
75. Kriteria tingkat kesehatan dan ketentuan yang wajib dipenuhi oleh Bank Syariah dan UUS segala keterangan dan penjelasan mengenai
BI berwenang:
a. Memeriksa dna mengambil data/dokumen
daro setiap tempat yang terkait dengan Bank;
b. Memeriksa dan mengambil data/dokumen
dan keterangan dari setiap pihak yang menurut
penilaian BI memiliki pengaruh terhadap Bank;
c. Memerintahkan Bank melakukan
pemblokiran rekening tertentu, baik rekening
Simpanan maupun rekening Pembiayaan
Perbankan
Syariah
78. Dapat menugasi kantor akuntan publik atau pihak lainnya untuk dan atas nama BI,
melaksanakan pemeriksaan
√ - UU
Perbankan
Syariah
79. Persyaratan tatacara pemeriksaan diatur dengan PBI
√ - UU
Perbankan
Syariah
80. Melakukan tindak lanjut proses pengawasan antara lain:
a. Membatasi kewenangan RUPS, komisaris,
direksi, dan pemegang saham;
b. Meminta pemegang saham menambah
modal;
c. Meminta pemegang saham mengganti
anggota dewan komisaris dan/atau direksi Bank
Syariah;
d. Meminta Bank Syariah menghapusbukukan
penyaluran dana yang macet dan
memperhitungkan kerugian Bank Syariah
dengan modalnya;
e. Meminta Bank Syyariah melakukan
penggabungan atau peleburan dengan Bank
Syariah lain;
f. Meminta Bank Syariah dijual kepada pembeli
yang bersedia mengambil alih seluruh
√ - UU
Perbankan
kewajibannya;
g. Meminta Bank Syariah menyerahkan
pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan Ban
Syariah kepada pihak lain; dan/atau
h. Meminta Bank Syariah menjual sebagian
atau seluruh harta dan/atau kewajiban Bank
Syariah kepada pihak lain
81. Menyatakan Bank Syariah tidak dapat disehatkan dan menyerahkan penanganannya ke
LPS untuk diselamatkan atau tidak bisa mencabut izin usaha Bank Syariah setelah Bank
Syariah menyelesaikan kewajibannya
√ - UU
Perbankan
Syariah
84. Ketentuan mengenai persyaratan dan tatacara pencabutan izin usaha Bank Syariah diatur
dengan PBI
√ - UU
Perbankan
Syariah
85. Menetapkan sanksi administratif kepada Bank Syariah atau UUS, anggota dewan komisaris,
anggota Dewan Pengawas Syariah direksi,
dan/atau pegawai Bank Syariah atau Bank
Umum Konvensional yang memiliki UUS, yang
menghalangi dan/atau tidak melaksanakan
Prinsip Syariah dalam menjalankan usaha atau
tugasnya atau tidak memenuhi kewajibannya,
serta yang melanggar ketentuan dalam UU
Perbankan Syariah
√ - UU
Perbankan
Syariah
86. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan sanksi administratif diatur dalam PBI
√ - UU
Perbankan
Syariah
Selain dalam tabel tersebut, terdapat pula kewenangan Bank Indonesia yang diatur
dalam UU KPKPU yakni tentang wewenang Bank Indonesia untuk mengajukan
permhohonan pailit kepada bank. Namun dalam hal kewenangan pengaturan dan
pengawasan telah berpindah ke Bank Indonesia, bagaimanakah dengan kewenangan
untuk mengajukan permohonan pailit kepada bank ini, apaakah ikut berpindah menjadi
kewenangan dari OJK atau kewenangan tersebut tetap menjadi kewenangan dari Bank