• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jurnal Keperawatan, Volume IX, No. 1, April 2013 ISSN FAKTOR FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN STATUS GIZI ANAK USIA SEKOLAH (6-12 TAHUN)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Jurnal Keperawatan, Volume IX, No. 1, April 2013 ISSN FAKTOR FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN STATUS GIZI ANAK USIA SEKOLAH (6-12 TAHUN)"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

[5]

FAKTOR–FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN

STATUS GIZI ANAK USIA SEKOLAH (6-12 TAHUN)

Bertalina*

Anak sekolah merupakan salah satu kelompok rawan gizi yang perlu mendapatkan perhatian keadaan gizinya, agar di kemudian hari mereka menjadi sumber daya manusia yang berkualitas. Prevalensi stunting pada anak usia sekolah di Provinsi Lampung hasil Riskesdas tahun 2010 sebesar 40,8 %, masih cukup tinggi dibandingkan angka nasional (35,6%) dan begitu juga dengan asupan energi kurang sebanyak 55,2%, sedangkan nasional 44,4%. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi anak usia sekolah di Kecamatan Tegineneng Kabupaten Pesawaran. Penelitian ini

menggunakan rancangan cross sectional dengan populasi keluarga yang memiliki anak usia sekolah dengan

jumlah sampel 200 orang. Pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner dan wawancara langsung dan kemudian diolah secara statistik : univariat dan bivariat dengan analisis Chi Square. Hasil penelitian

menunjukkan responden status gizi pendek 27,5 %. hasil bivariat didapat variabel yang berhubungan dengan status gizi anak usia sekolah adalah pengetahuan ibu (p value =0,024), konsumsi energi (p value=0,0000) dan

konsumsi protein (p value=0,0000). Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka saran yang

diberikan adalah petugas gizi sebaiknya memberikan penyuluhan atau konseling kepada orang tua dan guru, sehingga ibu dapat memberikan makanan yang seimbang untuk anaknya dan guru dapat memberikan motivasi pada muridnya agar dapat memilih makanan yang sehat serta dapat memberikan penyuluhan pada pedagang makanan di sekolah agar menjual makanan yang aman untuk dikonsumsi.

Kata kunci : Faktor, Status Gizi, Anak Usia Sekolah.

LATAR BELAKANG

Pendidikan merupakan bagian integral dalam pembangunan, proses pendidikan tidak dapat dipisahkan dari proses pembangunan itu sendiri (Hamalik, 2008). Upaya peningkatan status gizi masyarakat sangat penting karena status gizi terutama pada anak sekolah merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas sumber daya manusia yang merupakan bagian dari pembangunan itu sendiri.

Gizi yang optimal harus didapatkan seseorang mulai awal kehidupannya. Status gizi yang baik dan optimal terjadi bila tubuh kita memperoleh cukup zat gizi yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan tubuh kita untuk mendapatkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja, dan kesehatan secara umum dengan optimal (Almatsier, 2006).

Anak usia sekolah merupakan investasi bangsa, karena anak usia tersebut adalah generasi penerus bangsa. Tumbuh kembangnya anak usia sekolah yang optimal tergantung pemberian nutrisi dengan kualitas dan kuantitas yang benar. Masa tumbuh kembang tersebut pemberian nutrisi atau asupan zat gizi pada anak tidak selalu dapat dilaksanakan dengan sempurna. Anak tersebut masih sangat membutuhkan zat-zat gizi seperti energi, protein dan zat-zat gizi lainnya. Banyak sekali masalah yang ditimbulkan dalam pemberian makan yang tidak benar dan menyimpang. Penyimpangan ini mengakibatkan gangguan pada banyak organ dan sistem tubuh anak (Judarwanto, 2006).

Sumber daya manusia berkualitas erat kaitannya dengan berbagai faktor, diantaranya faktor pangan (unsur gizi), kesehatan, pendidikan, informasi dan teknologi. Faktor gizi menjadi penting didalam kelangsungan hidup manusia

(2)

[6] karena manusia tidak akan bisa hidup sehat

jika kekurangan atau kelebihan gizi. Pengaruh masalah gizi dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan, gangguan mental, gangguan perkembangan intelektual, penurunan produktivitas dan kematian (Jalal, 1998).

Anak sekolah merupakan salah satu kelompok rawan gizi yang perlu mendapatkan perhatian. Selain itu mereka juga merupakan cikal bakal sumber daya manusia sehingga perlu diperhatikan keadaan gizinya agar dikemudian hari mereka menjadi sumber daya manusia berkualitas. Hal ini sesuai dengan rencana pembangunan bangsa. Tinggi badan anak usia sekolah merupakan refleksi status gizi pada umur sebelumnya atau pada umur balitanya. Anak dengan riwayat kekurangan energi dan protein berat dan menahun sukar untuk mengejar ketinggalan pertumbuhan dalam waktu singkat guna mencapai tinggi normal sesuai dengan umurnya (Direktorat Bina Gizi Depkes RI, 1991).

Menurut Syafiq (2012) Ketua Pusat Kajian Gizi dan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, pengetahuan dan kesadaran orang tua baik dengan latar tingkat pendidikan rendah maupun tinggi mengenai asupan gizi yang sesuai untuk anak masihlah minim. Terbukti dengan tingginya kasus kegemukan dan kurang gizi pada anak-anak di Indonesia. Edukasi dan peningkatan kesadaran mengenai gizi kepada orangtua merupakan sebuah pekerjaan rumah yang harus diatasi sesegera mungkin untuk mengantisipasi terjadinya lost generation. Edukasi gizi

kepada anak mulai tingkat sekolah dasar juga sangat penting untuk menanamkan kebiasaan pola makan yang sehat sejak dini.

Asupan energi dan protein anak usia 7-12 tahun berdasrkan hasil Riskesdas tahun 2010 masih rendah dimana konsumsi energi yang kurang sebesar 44,4% dan konsumsi protein yang kurang dari kecukupan 59,7%. Konsumsi energi anak usi 7-13 tahun di provinsi Lampung 55,2% dan asupan protein 36,9%. Provinsi

Lampung asupan energi persentasinya lebih tinggi dari angka nasional dan asupan protein masih lebih baik dari angka nasional.

Menurut Devi (2012), pada saat ini banyak orang tua yang bekerja yang tak memiliki waktu untuk menyiapkan sarapan pagi buat anaknya ke sekolah, sehingga banyak anak sekolah yang tak terbiasa makan pagi. Selain itu prilaku gizi yang salah pada nak sekolah adalah tidak mengkonsumsi makanan dengan gizi seimbang, jajan tidak sehat disekolah, kurang mengkonsumsi buah dan sayur, mengkonsumsi fast food dan junk food,

konsumsi gula dan lemak berlebihan,dan mengkonsumsi makanan beresiko seperti kafein, pengawet dan pewarna, sehingga diperlukan pengetahuan gizi bagi ibu agar dapat menyediakan menu pilihan makanan gizi seimbang.

Data Riskesdas 2010 menunjukkan bahwa status gizi anak usia sekolah (6-12 tahun) berdasarkan TB/U menunjukkan bahwa 35,6% anak sekolah dalam kategori ngat pendek dan pendek. Distribusi anak usia sekolah usia 6-12 tahun menurut Jenis kelamin, dimana prevalensi kependekan pada anak laki laki lebih tinggi yaitu 36,5 persen daripada anak perempuan yaitu 34,5 persen, sedangkan menurut tempat tinggal, prevalensi anak kependekan di perkotaan sebesar 29,3% lebih rendah dari anak di pedesaan yaitu 41,5%. Prevalensi kependekan terlihat semakin rendah dengan meningkatnya pendidikan kepala rumahtangga. Pada pendidikan rendah (SD dan tidak pernah sekolah) prevalensi kependekan lebih tinggi dibandingkan dengan prevalensi kependekan pada kepala rumahtangga yang berpendidikan SLTP ke atas.

Prevalensi kependekan paling rendah pada rumahtangga dengan kepala rumahtangga yang bekerja sebagai pegawai yaitu sebesar 23,2% dan tertinggi pada kepala rumahtangga yang sekolah yaitu sebesar 48,0%. Prevalensi kependekan semakin menurun dengan meningkatnya status ekonomi rumahtangga. Prevalensi tertinggi (45,6%) terlihat pada keadaan ekonomi

(3)

[7] rumahtangga yang terendah (kuintil 1) dan

prevalensi terendah (21,7%) pada keadaan ekonomi rumahtangga yang tinggi (kuintil). Prevalensi status gizi anak usia sekolah di Provinsi Lampung yaitu dalam kategori pendek (pendek+sangat pendek) sebesar 40,8%, dimana angka tersebut diatas angka nasional.

Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan status gizi anak usia sekolah Kecamatan Tegineneng Kabupaten Pesawaran.

METODE

Rancangan penelitian yang digunakan adalah cross sectional, dimana pengukuran

dan pengumpulan data dilakukan hanya satu kali pada satu saat yang bersamaan (Notoatmodjo, 2005). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu yang mempunyai anak usia sekolah (6-12 tahun) di Kecamatan Tegineneng Kabupaten Pesawaran.

Sampel penelitian ini adalah ibu yang mempunyai anak usia sekolah dengan rumus perhitungan menurut Lemeshow (1997). Dari perhitungan tersebut didapat 186 sampel dan pada penelitian ini diambil 200 sampel. Data diolah secara statistik : univariat dan bivariat dengan uji chi square. untuk melihat hubungan.

HASIL

Analisis Univariat

Dari hasil analisis terhadap variabel-variabel penelitian didapatkan hasil dimana usia ibu rata-rata berkisar antara umur 25-50 tahun sebanyak 165 orang (82,5%). Berdasarkan tingkat pendididikan menunjukkan pendidikan ibu terbanyak adalah SMP sebanyak 78 orang (39,0%). Berdasarkan jenis pekerjaan didapat ibu yang tidak bekerja 129 orang (64,5%), ibu dengan pendidikan rendah 134 orang (67%)), ibu dengan pengetahuan tinggi sejumlah 104 orang (52%) dan tingkat

pendapatan keluarga rendah sejumlah 138 orang (69%).

Selanjutnya diperoleh gambaran distribusi anak usia sekolah berdasarkan umur dimana usia anak berkisar 6-12 tahun, terbanyak pada umur 11 tahun (22,0%). Berdasarkan status gizi di dapat status gizi dengan kategori pendek 55 (27,5%) dan normal 145 (72,5%). Sedangkan distribusi anak usia sekolah berdasarkan asupan energi dengan kategori kurang 105 (52,5%) dan kategori cukup 95 (47,5%) dan distribusi anak usia sekolah berdasarkan asupan protein dengan kategori kurang 118 (59%) dan kategori cukup 82 (41%).

Analisis selanjutnya menunjukan bahwa hampir separuh dari anak usia sekolah 88 (44,0%) konsumsi makanan utamanya hanya 1-2 kali sehari, mengkonsumsi karbohidratnya 1-2 kali sehari (45,5%) dan 42,5% anak usia sekolah mengkonsumsi makanan selingan 1 kali sehari. Konsumsi menu sehari-hari hanya 30% responden menjawab lengkap (karbohidrat, hewani, nabati, sayur dan buah) dan 50% hanya mengkonsumsi makanan sumber karbohidrat, hewani dan nabati.

Kebiasaan sarapan pagi anak usia sekolah masih rendah dimana hasil penelitian menunjukkan ada 34,0% anak tidak pernah sarapan pagi dan 45,5% anak jarang sarapan pagi. Sementara untuk konsumsi air sebanyak 49,0% konsumsi airnya kurang dari 8 gelas sehari.

Konsumsi protein hewani anak usia sekolah masih rendah dimana hasil penelitian menunjukkan 50% anak jarang mengkonsumsi makanan sumber protein nabati dan 40% anak jarang mengkonsumsi makanan sumber protein nabati. Konsumsi makanan sumber vitamin dan mineral juga masih rendah dimana didapat 45,5% anak jarang mengkonsumsi sayur dan 52,0% anak jarang mengkonsumsi buah-buahan.

Hampir 100% anak mempunyai kebiasaan mengkonsumsi makanan jajanan dimana dari hasil penelitian terlihat 96% anak mengkonsumsi makanan jajanan dan makanan yg sering dikonsumsi adalah

(4)

[8] bakso goreng, sosis goreng, biskuat dan

chiki. Dari pola konsumsi makan anak didapat anak dengan pola konsumsi baik hanya 17,5% selebihnya pola konsumsi makan anak kurang baik.

Analisis Bivariat

Tabel1: Distribusi faktor-faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Anak Usia Sekolah (6-12 Th)

Variabel Pendek Normal Status Gizi Jumlah n (%) n (%) n (%) Pekerjaan Ibu Tidak bekerja 35 27.1 94 72.9 129 100 Bekerja 20 28.2 51 71.8 71 100 Total 55 27.5 145 72.5 200 100 p-value=1,000 Pendidikan Ibu Rendah 38 28.4 96 71.6 134 100 Tinggi 17 25.8 49 74.2 66 100 Total 55 27,5 145 72,5 200 100 p-value=0,827 Pengetahuan Ibu Kurang 34 35.4 62 64.6 96 100 Baik 21 20.2 83 79.8 104 100 Total 55 27.5 145 72.5 200 100 p-value=0,024; OR=2,167 Pendapatan Keluarga Rendah 39 28.3 99 71.7 138 100 Tinggi 16 25.8 46 74.2 62 100 Total 55 27.5 145 72.5 200 100 p-value=0,851 Pola konsumsi Tidak baik 47 28.5 118 71.5 165 100 Baik 8 22.5 21 77.5 35 100 Total 55 27.5 145 72.5 200 100 p-value=0,639 Asupan Energi Kurang <80% AKG 46 43.8 59 56.2 105 100 Baik ≥80% AKG 9 9.5 86 90.5 95 100 Total 55 27.5 145 72.5 200 100 p-value=0,0000; OR=7,45 Asupan Protein Kurang <80% AKG 52 44.1 66 55.9 118 100 Baik ≥80%AKG 3 3.77 79 96.3 82 100 Total 55 27.5 145 72.5 200 100 p-value=0,0000; OR=20,74

Hasil analisis hubungan pekerjaan ibu, pendidikan ibu, pengetahuan ibu, pendapatan ibu, pola konsumsi dan asupan energi serta protein, setelah dilakukan analisis ternyata hasil penelitian hanya variabel pengetahuan ibu, asupan energi dan asupan protein yang memiliki nilai p Value kurang dari 0,05 yang artinya memiliki hubungan yang signifikan dengan status gizi anak berdasarkan TBU,

sedangkan variabel yang lain tidak memiliki hubungan yang signifikan.

Dari analisis lebih lanjut didapatkan nilai OR untuk pengetahuan ibu 2,167 artinya ibu dengan pendidikan rendah mempunyai risiko 2,167 anaknya pendek dibandingkan dengan ibu yang mempunyai pengetahuan tinggi, OR untuk asupan energi diperoleh pula nilai OR=7,45 artinya anak dengan asupan energi rendah mempunyai risiko 7.45 pendek dibandingkan dengan anak yang asupan energinya baik serta nilai OR untuk asupan protein diperoleh pula nilai OR=20,7 artinya anak dengan asupan protein rendah mempunyai risiko 20.7 untuk pendek dibandingkan dengan anak yang asupan proteinnya baik.

PEMBAHASAN

Hubungan Pekerjaan Ibu dengan Status Gizi Anak

Hubungan antara pekerjaan ibu dan status gizi diperoleh 35 responden (27,1%) yang tidak bekerja dengan status gizi anaknya pendek. Hasil uji statistik nilai p=1,000, disimpulkan tidak ada hubungan yang signifikan antara pekerjaan ibu dengan status gizi anak berdasarkan TB/U.

Menurut Baskoro (2009), di kota-kota besar ibu yang aktif melakukan kegiatan komersial, seperti bekerja di kantor atau di pabrik, menjalankan usaha pribadi sebagai tambahan penghasilan serta berkecimpung dalam kegiatan sosial yang banyak menyita waktu sehingga tidak sempat menyiapkan makanan di rumah. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara pekerjaan ibu dan status gizi anak, sehingga perlu diteliti lebih lanjut mengapa hal tersebut terjadi apakah penyebabnya dari faktor ibu atau dari anaknya sendiri,

Hasil penelitian Trintin (1994) juga menunjukkan ada banyak alasan anak melewatkan waktu makan, khususnya makan pagi karena tidak lapar, tidak ada waktu, tidak ada yang menyiapakan makanan, tidak suka makanan yang disiapkan, makanan tidak ada.

(5)

[9] Namun hasil penelitian ini

menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara pekerjaan ibu dengan status gizi anak, hal ini dimungkinkan walaupaun ibu bekerja dengan jenis pekerjaan sebagai petani, pedagang dan buruh. Jenis pekerjaan tersebut tidak menyebabkan ibu untuk seharian meninggalkan rumah dimana pada siang hari ibu sudah ada di rumah. sehingga ibu masih sempat menyediakan makanan di rumah.

Hubungan Pendidikan Ibu dengan Status Gizi Anak

Hasil analisis hubungan antara pendidikan ibu dan status gizi anak, diperoleh bahwa sebanyak 38 responden (28,4%) yang pendidikannya rendah dengan status gizi anaknya pendek. Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,827, disimpulkan tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan ibu dengan status gizi anak berdasarkan TB/U

Menurut Novrati (2008), pendidikan sangat penting untuk memperoleh perilaku yang positif, tidak harus formal melalui bangku sekolah tetapi juga melalui pendidikan non formal yang diperoleh dari berbagai sumber informasi misalnya media massa. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian Salimar (2012), Silvia, (2008) dimana hasil penelitiannya menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara pendidikan ibu dengan status gizi anak usia sekolah. Hal ini dimungkinkan dikarenakan walaupun tingkat pendidikan ibu sebagian besar rendah (67%) namun pengetahun ibu sebagian besar cukup baik (52%), mungkin ibu banyak mendapat informasi dari luar atau dari pendidikan non formal sehingga perilaku ibu dalam menyediakan makanan yang seimbang untuk anaknya cukup baik.

Hubungan Pengetahuan Ibu dengan Status Gizi Anak

Hasil hubungan antara pengetahuan ibu dan status gizi anak, diperoleh bahwa sebanyak 34 responden (35,4%) yang pengetahuannya rendah dengan status gizi anaknya pendek. Hasil uji statistik

diperoleh nilai p=0,024, disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan ibu dengan status gizi anak

berdasarkan TB/U.

Hasil penelitian ini tidak berbeda dengan hasil penelitian Silvia, (2008), dimana hasil penelitiannya menunjukkan ada hubungan uang bermakna anatar pengetahuan ibu dengan status gizi anak anak usia 6-12 tahun.

Asupan gizi diperlukan untuk memenuhi keduanya yaitu: fisik dan mental anak. Karena fisik dan mental merupakan sesuatu yang berbeda namun saling berkaitan. Makanan yang kaya akan nutrisi sangat mempengaruhi tumbuh kembang otak dan organ-organ lain yang dibutuhkan anak untuk mencapai hasil pendidikan yang optimal, untuk itu keluarga adalah pihak pertama yang harus memperhatikan asupan gizi anaknya. Pengetahuan keluarga akan gizi sangat berpengaruh disini.

Keadaan gizi seorang anak dipengaruhi oleh perilaku orang tuanya. Jika orang tuanya memiliki pengetahuan yang tinggi tentang kesehatan dan gizi, akan semakin tinggi pula tingkat kesehatan dan gizi keluarganya. Ini akan mempengaruhi kualitas dan kuantitas zat gizi yang dikonsumsi oleh anggota keluarga khususnya anak. Pengetahuan tentang makanan sehat bergizi dalam memenuhi konsumsi makanan sehari-hari khususnya bagi setiap individu sangat penting, karena pendidikan gizi sulit berhasil bila tidak disertai peningkatan pengetahuan mengenai sikap kepercayaan dan nilai-nilai dari masyarakat yang akan dijadikan sasaran dan cara mereka menerapkan kepada anak-anak mereka. Sulitnya untuk mengkonsumsi makanan bergizi adalah tantangan yang perlu dihadapi oleh orang tua. Untuk itu pengetahuan mengenai gizi anak sangat disarankan untuk mempelajarinya.

Hubungan Pendapatan Keluarga dengan Status Gizi anak

Hasil analisis hubungan antara pendapatan keluarga dan status gizi diperoleh sebanyak 39 responden (28,3%)

(6)

[10] yang tingkat pendapatannya rendah dengan

status gizi anaknya pendek. Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,851, maka dapat disimpulkan tidak ada hubungan yang signifikan antara pendapatan dengan status gizi anak berdasarkan TB/U.

Soekirman (2000), status gizi tidak baik disebabkan asupan energi maupun protein tidak baik pula selain itu disebabkan karena faktor ekonomi keluarga yang kurang sehingga menyebabkan terbatasnya daya beli terhadap bahan makanan sehingga mempengaruhi variasi menu yang disajikan. Selain itu penyakit infeksi turut mempengaruhi asupan makanan dan status gizi dari anak.

Hasil ini tidak berbeda dengan hasil penelitian Jabar,dkk (2012) dimana didapat tidak ada perbedaan antara tingkat pendapatan dengan status gizi. Tidak adanya hubungan antara tingkat pendapatan dengan status gizi anak mungkin disebabkan karena sebagian besar pengetahuan ibu (52%) masuk dalam kategori baik, sehingga walaupun tingkat pendapatan dalam kategori rendah tetapi ibu dapat memanfaatkan dana yang ada untuk memenuhi kebutuhan gizi anak misalnya dengan mengkonsumsi sumber protein nabati sebagai bahan makanan sumber protein. Ini terlihat dari hasil penelitian dimana 68% anak mengkonsumsi protein nabatai ≥ 3kali sehari.

Hubungan Pola Konsumsi dengan Status Gizi

Hasil analisis hubungan antara pola konsumsi dan status gizi diperoleh sebanyak 47 anak (28,5%) yang pola konsumsinya rendah dengan status gizi pendek. Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,639, disimpulkan tidak ada hubungan yang signifikan antara pola konsumsi dengan status gizi anak berdasarkan TB/U.

Pola makanan pada anak pada umumnya jumlah dan variasi makanan yang dimakan bertambah, tetapi banyak diantara mereka yang masih menolak sayuran, jenis makanan yang disukai terbatas. Anak usia sekolah umumnya

menyukai makanan jajanan seperti mie bakso, siomay, goreng-gorengan dan makanan yang manis-manis seperti kue-kue (Almatsier,dkk, 2011).

Hasil penelitian berbeda dengan penelitian Artisto,dkk (2007), dan Jabar,dkk (2012) dimana hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pola konsumsi dengan status gizi. Tidak adanya perbedaan antara pola konsumsi dengan status gizi mungkin disebabkan walaupun pola konsumsi anak-anak tersebut 82,5% termasuk dalam kategori kurang baik namun konsumsi protein nabati mereka masih cukup memadai dimana 68% mengkonsumsi protein nabati ≥3 kali dan 96% dari anak-anak tersebut mengkonsumsi makanan jajanan berupa bakso goreng, sosis goreng, biskuat dan chiki, dimana konsumsi protein sangat berkaitan dengan pertumbuhan.

Hubungan Asupan Energi dengan Status Gizi

Asupan energi anak usia sekolah didapat 52,5% kurang dan dibandingkan dengan hasil Riskesdas 2010 (55,27%) masih dibawah angka provinsi. Hasil analisis hubungan antara asupan energi dan status gizi anak, diperoleh nilai p=0,000, maka dapat disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara asupan energi dengan status gizi anak berdasarkan TB/U. Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR=7,45

Rendahnya asupan gizi anak usia sekolah diakibatkan oleh banyak faktor, karena pada usia ini pola makan anak dipengaruhi oleh teman dan lingkungan sekitarnya. Makanan yang banyak dijual di sekolah termasuk kedalam makanan yang tidak bergizi sehingga anak usia sekolah dikatakan sangat rentan dengan asupan gizi yang buruk. Hal tersebut didukung dengan hasil penelitian yang menunjukkan 44% hanya makan makan utama 1-2 kali sehari, 34% anak tidak pernah sarapan pagi dan 45,5 % anak jarang sarapan pagi, itu juga yang mungkin menyebabkan konsumsi energi anak menjadi kurang.

(7)

[11] Soekirman (2000) mengatakan

bahwa kebiasaan jajan merupakan salah satu yang menyebabkan konsumsi makanan baik energi, protein mereka rendah karena dalam usia ini anak-anak gemar sekali jajan, terkadang mereka sengaja menolak makan pagi dan sebagai gantinya mereka jajan.

Menurut Khomsan (2002) melewatkan sarapan pagi akan menyebabkan tubuh kekurangan glukosa dan hal ini menyebabkan tubuh lemah dan kurang konsentrasi karena tidak adanya suplai energi. Bagi orang dewasa, makan pagi dapat memelihara ketahanan fisik, mempertahankan daya tahan saat bekerja dan meningkatkan produktifitas kerja. Bagi anak sekolah, makan pagi meningkatkan konsentrasi belajar dan memudahkan menyerap pelajaran, sehingga prestasi belajar menjadi lebih baik. Menurut Haines dalam Saputro (2008), sarapan pagi akan menyumbangkan gizi sekitar 25%. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil Artisto,dkk (2007), Hapsari (2004), dan Prakoso (2010), dimana ada hubungan antara konsumsi energi dengan status gizi.

Hubungan Asupan Protein dengan Status Gizi

Hasil analisis hubungan antara asupan protein dan status gizi, diperoleh 52 anak (44,1%) yang asupan proteinnya rendah dengan status gizi pendek . Diperoleh nilai p=0,000 maka dapat disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara asupan protein dengan status gizi berdasarkan TB/U). Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR=20,7 artinya anak dengan asupan protein rendah mempunyai risiko 20.7 untuk pendek dibandingkan dengan anak yang asupan proteinnya cukup.

Protein selain untuk membangun struktur tubuh (pembentukan berbagai jaringan) juga akan disimpan untuk digunakan dalam keadaan darurat sehingga pertumbuhan atau kehidupan dapat terus terjamin dengan wajar. Kekurangan protein yang terus menerus akan menimbulkan gejala yaitu pertumbuhan kurang baik, daya tahan tubuh menurun,

rentan terhadap penyakit, daya kreatifitas dan daya kerja merosot, mental lemah dan lain-lain (Kartasapoetra & Marsetyo,2003). Kekurangan protein pada anak usia sekolah dapat berakibat terhambatnya pertumbuhan fisik, karena pada usia ini pertambahan tinggi badan sangat pesat, terhambatnya perkembangan otak dimana otak membutuhkan protein untuk membangun dan menjaga sel-sel otak dan menurunnyanya daya tahan tubuh terhadap penyakit karena protein dibutuhkan untuk antibodi. Hasil penelitian menunjukkan 50% anak mengkonsumsi protein hewani dan 68% anak mengkonsumsi protein nabati.

Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil Artisto,dkk (2007), Hapsari (2004), dan Prakoso (2010), dimana ada hubungan antara konsumsi protein dengan status gizi.

KESIMPULAN

Dari penelitian diatas dapat disimpulkan dari 7 (tujuh) faktor yang diduga berhubungan denngan status gizi anak berdasarkan TBU ternyata hanya variabel pengetahuan ibu, asupan energi dan asupan protein saja yang memiliki hubungan signifikan, sedangkan variabel pekerjaan dan pendidikan ibu, pendapatan keluarga serta pola ksumsi tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan status anak berdasarkan TBU.

Dari kesimpulan diatas peneliti menyarankan agar petugas kesehatan (Ahli Gizi) perlu melakukan penyuluhan kepada orang tua, guru tentang makanan seimbang untuk anak usia sekolah sehigga orang tua dan guru dapat memotivasi anak untuk makan makanan yang seimbang sehingga dapat memenuhi asupan energi, protein dan zat gizi lain yang dibutuhkan anak.

Sedangkan untuk kepala sekolah dan guru agar dapat memantau pedagang makanan di sekolah agar menjual makanan yang bergizi untuk dikonsumsi anak dan menyarankan anak agar membawa bekal makanan dari rumah.

(8)

[12] * Dosen pada Jurusan Gizi Poltekkes

Kemenkes Tanjungkarang. e-mail: ubertalina@yahoo.com

DAFTAR PUSTAKA

Adriani, Merryana, Wirjatmadi, Bambang (2012), Peranan Gizi dalam Siklus Kehidupan”, Kencana Group Jakarta.

--- (2012), Pengantar Gizi Masyarakat”, Kencana Group Jakarta.

Achadi, Endang dkk (2007), “ Gizi dan Kesehatan Masyarakat”Departemen

Gizi dan Kesehatan Masyarakat FKM UI, PT. Raja Grafindo, Jakarta.

Almatsier, Sunita. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Gramedia Pustaka Utama :

Jakarta.

---, Sunita, dkk, “ Hidup Sehat: Gizi Seimbang dalam Siklus Kehidupan Manusia” PT Primamedia Pustaka,

Jakarta

---, Sunita, dkk. 2011. Gizi Seimbang dalam Daur Kehidupan.

Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.

Arisman, 2004, Gizi dalam Daur Kehidupan, EGC Jakarta.

Departemen Kesehatan RI. 2010. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar

(Riskesdas). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI. Jakarta. Direktorat Gizi Masyarakat, 2005.

Pedoman Perbaikan Gizi Anak Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah. Departemen Kesehatan RI:

Jakarta.

Devi, Nirmala, 2012, Gizi Anak Sekolah,

PT Kompas Media Nusantara, Jakarta. Hapsari, Irma Budi (2004), Hubungan

Tingkat Konsumsi Energi, Protein, dan zat Besi di Desa Mojolali Kecamatan Teras Kabupaten Boyolali Tahun 2004” Thesis Universitas

Diponegoro.

Judarwanto. 2008. Perilaku Makan Anak Sekolah. Tersedia

(http://www.gizi.net/makalah/downloa d) [ Desember 2012].

Khomsan, Ali. 2000. Teknik Pengukuran Pengetahuan Gizi. Institut Pertanian

Bogor (IPB): Bogor.

Moehji, Sjahmin. 2003. Ilmu Gizi. Bhatara

Niaga Media : Jakarta.

Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta:

Jakarta.

---. 2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Rineka Cipta : Jakarta.

---. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Rineka Cipta : Jakarta

Nurhaedar, Jabar dkk(2012), Pola Konsumsi Pangan dan Tingkat Sosial Ekonomi dalam Kaitannya dengan Status Gizi di Daerah Endemik Malaria Kabupaten Mamuju Sulawawesi Barat:, Bagian Ilmu Gizi

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanudin.

Prakoso, Indra Bakti (2010), Hubungan Perilaku Ibu dalam memenuhi kebutuhan Gizi dan Tingkat konsumsi Terhadap Status Gizi Anak” Skripsi,

Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Pajajaran.

Soediaoetama. 1996. Ilmu Gizi Untuk Mahasiswa dan Profesi. Dian Rakyat :

Jakarta.

Soetjningsih, dkk, 2002. Buku Ajar Tumbuh Kembang Anak dan Remaja.

CV. Sagung Seto: Jakarta.

Soekirman. 2001. Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan Masyarakat. Direktorat Jenderal

Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta.

Supariasa, dkk. 2002. Penilaian Status Gizi. EGC Penerbit Buku Kedokteran :

Jakarta.

Susanti, Silvia (2009), “Gambaran Staus gizi pada Anak Usia 6-12 Tahun di SD Sukasari Bandung tahun 2007, Thesis

Referensi

Dokumen terkait

Pengujian terhadap konstruksi mata jaring dinding dasar mendapatkan bahwa konstruksi mata jaring berbentuk persegi panjang dengan ukuran l dan w = 2,4 × 2,8 (cm) adalah

Evaluasi Perbaikan tanah yang dilakukan menghasilkan Pengunaan PVD pola segi empat dengan jarak spasi 1m serta kedalaman 6 m untuk perkerasan kaku dengan umur rencana 20

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sumarni (2014) menyatakan bahwa wanita memiliki kecenderungan mudah mengalami kelelahan, perubahan mood dan masalah

Pada perancangan perangkat lunak kriptografi dalam penelitian ini penulis menggunakan algoritma Vigenere Cipher dan Triple DES Cipher dengan cara ke empat yang

Undang-undang ini memuat ketentuan umum sebagai berikut: Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi

Sebagai lembaga pendidikan Islam yang tertua di Indonesia, pesantren memiliki ciri khas dalam menjalankan sistem pendidikannya. Sistem Pendidikan Islam yang

Disusun Untuk Memenuhi Syarat Menyelesaikan Pendidikan Diploma III Pada Jurusan Teknik Elektro Program Studi Teknik Elektronika..

Perbedaan tersebut disebabkan oleh pengambilan data yang tidak tepat dikarenakan pengambilan data dilakukan secara manual dan data yang dihasilkan berlangsung