• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Formulasi yang mengandung AHA (alpha-hydroxy acid) telah banyak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Formulasi yang mengandung AHA (alpha-hydroxy acid) telah banyak"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

1

A. Latar Belakang

Formulasi yang mengandung AHA (alpha-hydroxy acid) telah banyak dipergunakan dalam praktik klinik selama bertahun-tahun untuk mengatasi berbagai permasalahan pada kulit. Konsentrasi yang dipergunakan bervariasi antara 2,00% hingga 70,00% untuk mengatasi jerawat, ichthyosis, keratosis, kutil, psoriasis, photoaged skin, dan permasalahan-permasalahan lainnya (Kornhauser dkk., 2009). AHA (alpha-hydroxy acid) juga dapat digunakan sebagai peeling

agent untuk memperbaiki kerutan di wajah dan tanda-tanda lain penuaan (Scott &

Yu, 2002). Asam glikolat merupakan suatu AHA yang larut dalam alcohol. Asam glikolat diperoleh dari buah-buahan dan gula susu (Zonunsanga, 2015). Asam glikolat merupakan AHA yang memiliki bobot molekul terendah. Bobot molekul asam glikolat yang kecil membuatnya sangat mudah untuk penetrasi ke dalam kulit (Elson, 2002). Pada tahun 1980-an, asam glikolat mulai dipergunakan sebagai peeling agent (Fabbrocini dkk., 2006). Peeling menggunakan asam glikolat efektif untuk mengobati berbagai tipe jerawat serta menginduksi proses perbaikan dan pengembalian ke kondisi kulit yang normal (Fabbrocini dkk., 2006). Asam glikolat menyebabkan pemisahan stratum korneum dalam bentuk lembaran

(sheetlike), tanpa edema dan erythema (Scott & Yu, 2002).

Bentuk sediaan sangat bergantung pada tujuan penggunaan produk dan tipe kulit pasien. Dalam chemical peeling therapy, bentuk sediaan yang berupa

(2)

larutan telah digunakan dalam praktik klinik selama bertahun-tahun. Sehubungan dengan tujuan penggunaannya dalam peeling therapy, bentuk sediaan gel juga sesuai untuk dipergunakan karena dapat menimbulkan efek dingin akibat penguapan air yang diperlambat sehingga menutupi rasa sakit, memungkinkan pemakaian pada bagian tubuh yang berambut, mudah dicuci dengan air, dan memiliki kemampuan menyebar yang baik pada kulit (Voigt, 1984). Larutan hidroalkohol-glikol dan gel cocok untuk kulit berminyak dan berjerawat (Campos dkk., 2015). Gel akan segera mencair jika kontak dengan kulit dan membentuk satu lapisan. Absorbsi pada kulit lebih baik daripada bentuk sediaan krim (Sharma, 2008).

Untuk memperoleh gel dengan sifat fisik tertentu yang sesuai dengan tujuan penggunaannya dapat diperlukan campuran dua atau lebih gelling agent atau basis (Lieberman dkk., 1998). Gelling agent merupakan salah satu faktor penting di dalam formulasi sediaan gel karena masing-masing gelling agent memiliki karakteristik tersendiri. Komponen gelling agent juga merupakan faktor kritis yang dapat mempengaruhi sifat fisik gel yang dihasilkan. Variasi gelling

agent berpengaruh terhadap daya sebar dan daya lekat sediaan (Fujiastuti &

Sugihartini, 2015).

Karbomer dan CMC-Na merupakan gelling agent yang bersifat hidrofilik. Basis yang bersifat hidrofilik dapat memperlambat proses pengeringan dan mampu bertahan lama pada permukaan kulit (Bakker dkk., 1990). Penggunaan CMC-Na sebagai gelling agent dapat menghasilkan sediaan gel yang netral, resisten terhadap pertumbuhan mikroba, dan memiliki viskositas yang stabil

(3)

(Lieberman dkk., 1998). Namun, CMC-Na dapat membentuk larutan koloida dalam air yang membuat gel menjadi tidak jernih akibat terbentuknya dispersi koloid yang ditandai dengan munculnya bintik-bintik dalam gel (Rowe dkk., 2006). Basis CMC-Na akan menghasilkan sediaan gel dengan daya sebar yang lebih kecil dibandingkan dengan sediaan gel yang mengandung basis karbomer (Erawati dkk., 2013). Penambahan gelling agent karbomer diharapkan dapat memperbaiki kekurangan tersebut sehingga gel yang dihasilkan menjadi jernih serta memiliki daya sebar dan daya lekat yang baik sehingga nyaman untuk digunakan dalam peeling therapy. Kadar CMC-Na sebagai gelling agent adalah 3,00% - 6,00%, sedangkan karbomer yaitu 0,50% - 2,00% (Rowe dkk., 2006). Metode SLD (Simplex Lattice Design) digunakan untuk menentukan formula optimum kombinasi gelling agent CMC-Na dan karbomer. Keuntungan metode ini yaitu praktis dan cepat karena tidak menentukan formula secara trial and error (Armstrong & James, 1996).

Oleh karena itu, perlu dilakukan proses optimasi formula gel asam glikolat menggunakan kombinasi gelling agent CMC-Na dan karbomer yang diharapkan pada konsentrasi tertentu dapat menghasilkan sediaan gel dengan sifat fisik optimum yaitu memiliki viskositas, daya sebar, dan daya lekat yang baik sehingga nyaman untuk dapat dipergunakan dalam peeling therapy. Selain itu, juga akan diamati stabilitas fisik formula optimum gel asam glikolat selama 4 minggu penyimpanan pada suhu ruang (28°C) dan diharapkan tidak terjadi perubahan yang bermakna pada sifat-sifat fisik sediaan gel asam glikolat yang dihasilkan.

(4)

B. Rumusan Masalah

1. Berapakah perbandingan konsentrasi kombinasi gelling agent CMC-Na dan karbomer dalam sediaan gel asam glikolat yang menghasilkan formula dengan sifat fisik optimum yaitu memiliki viskositas, daya sebar, dan daya lekat yang baik?

2. Bagaimanakah stabilitas fisik formula optimum gel asam glikolat selama 4 minggu penyimpanan pada suhu ruang (28°C)?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui perbandingan konsentrasi kombinasi gelling agent CMC-Na dan karbomer dalam sediaan gel asam glikolat yang menghasilkan formula dengan sifat fisik optimum yaitu memiliki viskositas, daya sebar, dan daya lekat yang baik.

2. Mengetahui stabilitas fisik formula optimum gel asam glikolat selama 4 minggu penyimpanan pada suhu ruang (28°C).

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai formulasi gel asam glikolat menggunakan kombinasi gelling agent CMC-Na dan karbomer yang menghasilkan sifat fisik optimum yaitu memiliki viskositas, daya sebar, dan daya lekat yang baik serta stabilitas fisiknya selama 4 minggu penyimpanan pada suhu ruang (28°C).

(5)

E. Tinjauan Pustaka 1. Kosmetika

Kosmetika berasal dari kata kosmein (bahasa Yunani) yang berarti berhias. Bahan yang dipakai dalam usaha mempercantik diri ini, dahulu diramu dari bahan-bahan alami yang terdapat di sekitarnya. Sekarang kosmetika dibuat tidak hanya dari bahan alami, tetapi juga dari bahan sintetis dengan maksud meningkatkan kecantikan (Tranggono & Latifah, 2007).

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No.220/Menkes/Per/X/76 tanggal 6 September 1976, kosmetika adalah bahan atau campuran bahan untuk digosokkan, dilekatkan, dituangkan, dipercikkan atau disemprotkan pada, dimasukkan ke dalam, dipergunakan pada badan atau bagian badan manusia dengan maksud untuk membersihkan, memelihara, menambah daya tarik atau mengubah rupa, dan tidak termasuk golongan obat. Kosmetika diharapkan dapat menghasilkan suatu perubahan baik dalam struktur maupun faal sel kulit (Tranggono & Latifah, 2007).

Berdasarkan Keputusan Kepala BPOM RI No. HK.00.05.4.1745 tentang kosmetik, produk kosmetika dibagi menjadi 2 golongan berdasarkan bahan dan penggunaannya sebagai berikut :

1. Kosmetik golongan I yang meliputi : a. Kosmetik yang digunakan untuk bayi;

b. Kosmetik yang digunakan di sekitar mata, rongga mulut, dan mukosa lainnya;

(6)

c. Kosmetik yang mengandung bahan dengan persyaratan kadar dan penandaan;

d. Kosmetik yang mengandung bahan dan fungsinya belum lazim serta belum diketahui keamanan dan kemanfaatannya.

2. Kosmetik golongan II, yaitu kosmetik yang tidak termasuk ke dalam golongan I.

2. Peeling Therapy

Gambar 1. Peeling therapy

Sumber : www.sothys.com.au

Peeling adalah suatu proses perawatan dengan mengangkat atau

melakukan pengelupasan bagian kulit terluar sehingga terbentuk lapisan kulit yang paling baru. Peeling sebagaimana yang tampak pada gambar 1 memiliki banyak manfaat antara lain memutihkan kulit wajah, mengangkat kulit mati, menghilangkan pigmentasi, menipiskan hiperpigmentasi atau flek hitam, meremajakan kulit dari dalam, mengurangi kerut dan mengencangkan kulit wajah, merangsang pembentukan kolagen, memulihkan kesegaran, dan menipiskan kerutan-kerutan halus. Secara umum, ada dua metode peeling, yakni chemical

(7)

a. Peeling kimia (chemical peeling)

Chemical peeling merupakan metode pengelupasan kulit dengan

menggunakan cairan sebagai bahan dasar untuk mempercepat proses pengelupasan. Prosesnya menggunakan tingkatan sesuai masalah kulit yang diderita, di mana pada setiap tingkatan menggunakan cairan kimia yang berbeda pula. Eksfoliasi secara kimia (chemical peeling) dapat menurunkan sumbatan keratotik sehingga metode ini merupakan pengobatan lini kedua sebagai alternatif penggunaan antijerawat topikal dan antibiotik sistemik. Chemical peeling menyebabkan terjadinya adesi korneosit atau epidermolisis pada lapisan stratum granulosum (İlknur dkk., 2010).

Berikut macam-macam chemical peeling yang biasa dilakukan :

1). Chemical peeling ringan

Dokter menggunakan chemical peeling dengan konsentrasi ringan pada kondisi kulit yang terdapat kerut, kulit yang kering dan mempunyai bercak kehitaman serta jerawat. Cairan yang digunakan untuk chemical peeling ringan adalah cairan yang mirip dengan AHA (alpha-hydroxy acid) seperti asam glikosilat, asam salisilat, asam laktat, dan asam buah-buahan.

2). Chemical peeling sedang

Chemical peeling sedang biasa digunakan untuk mengurangi keriput dan masalah

pigmentasi. Pada chemical peeling sedang, banyak dokter menggunakan TCA

(8)

3). Chemical peeling dalam

Chemical peeling dalam digunakan untuk keriput yang sudah menyebar di

wajah, flek yang disebabkan oleh penuaan atau paparan sinar matahari dan pertumbuhan pre-kanker. Peeling jenis ini mempunyai prosedur yang lebih komples, lebih lama prosesnya (1-2 jam), dan hasilnya juga lebih lama. Zat yang digunakan adalah Phenol Acid. Penggunaan phenol acid ini biasanya digunakan untuk tindakan facial peeling karena cairan ini dapat menyebabkan kulit menjadi putih secara permanen.

Efek samping yang sering timbul setelah melakukan chemical peeling antara lain rasa perih dan terbakar, serta kemerahan sementara pada kulit. Hal ini disebabkan karena terkelupasnya lapisan kulit yang paling luar untuk digantikan oleh kulit baru yang lebih segar dan juga karena larutan chemical peeling yang digunakan(Yu & Scott, 2002).

b. Peeling mekanik (mechanical peeling)

Mechanical peeling merupakan suatu metode pengelupasan kulit dengan

menggunakan alat. Salah satu caranya yaitu menggunakan metode mikrodermabrasi, di mana alat yang digunakan adalah aluminium kristal oksidasi. Proses peeling ini terbilang cepat dan langsung sehingga kulit akan terlihat kemerahan dan akan mempercepat proses tumbuhnya kulit wajah yang baru.

3. Gel

Gel didefinisikan sebagai suatu sistem setengah padat yang terdiri dari suatu dispersi yang tersusun baik dari partikel anorganik yang kecil ataupun molekul organik yang besar dan saling diresapi cairan (Ansel, 1989). Gel dapat

(9)

pula didefinisikan sebagai suatu bentuk semipadat yang merupakan suatu sistem koloid di mana pergerakan medium pendispersi dibatasi oleh suatu jaringan yang terjalin dari partikel terlarut atau makromolekul dari fase terdispersinya. Wujudnya yang setengah padat disebabkan oleh meningkatnya viskositas akibat gaya gesek internal yang tinggi (Parrott, 1970).

Dalam formulasinya, selain mengandung gelling agent dan air, sediaan gel juga mengandung bahan obat, pelarut (seperti alcohol dan propilen glikol), bahan pengawet antimikroba (seperti metilparaben, propilparaben, dan klorheksidin glukonat), serta penstabil (seperti edentate disodium) (Mahato, 2007). Gel dapat menyerap cairan dan mengembang. Peristiwa tersebut disebut imbibisi. Interaksi antar fase terdispersi dapat sangat kuat dan mengakibatkan medium pendispersi terdesak keluar membentuk droplet atau butiran-butiran. Proses tersebut dinamakan sineresis (Parrott, 1970).

Gel dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa parameter. Berdasarkan fase sistem koloidnya, gel terbagi menjadi 2, yaitu inorganik (sistem dua fase / gel fase ganda) dan organik (sistem satu fase / gel fase tunggal). Gel fase tunggal terdiri dari makromolekul organik yang tersebar dalam suatu cairan sedemikian hingga tidak terlihat adanya ikatan antara molekul besar yang terdispersi dan cairan. Sedangkan gel fase ganda yaitu gel yang terdiri dari jaringan partikel yang terpisah misalnya gel alumunium hidroksida (Mahato, 2007). Berdasarkan pelarutnya, gel terbagi menjadi 2 kelompok, yaitu hydrogel (mengandung air dalam medium pendispersinya) dan organogel (mengandung pelarut non-aqueous dalam medium pendispersinya) ( Basha dkk., 2011).

(10)

Basis gel, berdasarkan komposisinya dapat dibedakan menjadi basis hidrofobik dan hidrofilik. Basis gel hidrofobik terdiri dari fase anorganik. Interaksinya dengan medium pendispersi sangat kecil. Basis ini tidak secara spontan menyebar (Ansel, 1989). Sedangkan basis hidrofilik umumnya terdiri dari fase organik yang besar. Basis ini dapat larut dengan molekul dari medium pendispersi. Sistem koloid hidrofilik lebih mudah dibuat dan memiliki stabilitas yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan sistem koloid hidrofobik (Ansel, 1989).

Sediaan gel memiliki beberapa keistimewaan, di antaranya yaitu pelepasan obat yang lebih baik, tidak menyumbat pori-pori kulit, tidak melapisi kulit dengan kedap, menimbulkan efek dingin akibat penguapan air yang diperlambat sehingga menutupi rasa sakit, memungkinkan pemakaian pada bagian tubuh yang berambut, mudah dicuci dengan air, dan memiliki kemampuan menyebar yang baik pada kulit (Voigt, 1984).

4. Asam Glikolat

a. Sifat kimia asam glikolat

HO

OH

O

Gambar 2. Struktur molekul asam glikolat Sumber : chemistry.about.com

(11)

Asam glikolat memiliki karakteristik kimia sebagai berikut (Anonim, 2005) : Penampilan fisik : Padat kristal

Bau : Tidak berbau

Bobot molekul : 76,05 g/mol Warna : putih kekuningan

pH : 2,33 (1% larutan dalam air)

pKa : 3,83

Titik lebur : 79°C (174,2°F)

Kelarutan : Mudah larut dalam air dingin. Larut dalam metanol, dietil eter, aseton.

Asam glikolat adalah suatu AHA (alpha-hydroxy acid) yang larut dalam alkohol. Asam glikolat diperoleh dari buah-buahan dan gula susu (Zonunsanga, 2015). Asam glikolat merupakan kelompok AHA (alpha-hydroxy acid) yang memiliki bobot molekul terendah (Grimes, 2002). Bobot molekul asam glikolat yang kecil membuatnya sangat mudah untuk penetrasi ke dalam kulit (Elson, 2002).

Asam glikolat memiliki dua atom karbon, satu atom karbon dengan gugus karboksil dan satu atom karbon lainnya dengan gugus hidroksil. Struktur molekul asam glikolat ditunjukkan oleh gambar 2. Oleh karena struktur yang dimiliknya, asam glikolat bersifat sangat hidrofil (Sharad, 2013). Asam glikolat larut dalam air dan sedikit larut dalam lipid. Larutan berair dari asam glikolat dapat dengan efektif penetrasi ke dalam stratum korneum, menetralkan stratum korneum, dan menyebabkan desquamasi (Scott & Yu, 2002).

(12)

AHA (alpha-hydroxy acid) dalam bentuk asam bebasnya memiliki bioavailabilitas yang lebih tinggi dibandingkan dalam bentuk garam logamnya jika digunakan secara topikal karena dalam bentuk garam logam, AHA akan terdisosiasi hampir seluruhnya menjadi ion AHA (anion) dan ion logam (kation) yang menyebabkan tidak dapat penetrasi menembus stratum korneum sebagaimana jika dalam bentuk asam bebas (Yu & Scott, 2002).

Pada fase pertama permeasi, asam glikolat bebas akan penetrasi ke dalam kulit dan konsentrasi asam bebasnya menurun. Untuk mempertahankan keseimbangan disosiasi, ion glikolat dan ion hidrogen dalam formula akan bereaksi untuk membentuk asam glikolat bebas guna menggantikan kehilangan atau penurunan konsentrasinya. Jika bentuk sediaan krim, losion, dan gel tetap berada di kulit dan tidak tercuci ataupun hilang, dimungkinkan dapat terjadi permeasi fase kedua dari asam glikolat bebas yang telah dibentuk sebelumnya (Yu & Scott, 2002).

b. Manfaat asam glikolat dalam dermatologi

Asam glikolat telah diketahui sebagai terapi alternatif yang penting dalam berbagai kondisi diantaranya photodamage, jerawat, rosacea, striae albae

pseudofolliculitis barbae, gangguan hiperpigmentasi, actinic keratosis,

kerutan-kerutan halus, lentigines, melasma, dan seborrheic keratosis. Selain itu, asam glikolat dapat mengurangi perkembangan tumor kulit yang diinduksi UV dan juga sebagai agen terapeutik penting dalam mengatasi kondisi eksfoliatif kulit seperti ichthyosis, xeroderma, dan psoriasis (Fabbrocini dkk., 2006). Asam glikolat

(13)

efektif untuk mengatasi jerawat komedonal dan menurunkan hiperpigmentasi yang banyak terjadi pada orang berkulit gelap (Elson, 2002).

Formulasi yang mengandung AHA (alpha-hydroxy acid) telah banyak dipergunakan dalam praktik klinik selama bertahun-tahun untuk mengatasi berbagai permasalahan pada kulit. Dari kelompok HA (hydroxyl acid), yang paling banyak dipergunakan yakni asam glikolat, asam laktat, dan asam salisilat. Konsentrasi yang dipergunakan bervariasi antara 2,00% hingga 70,00% untuk mengatasi jerawat, ichthyosis, keratosis, kutil, psoriasis, photoaged skin, dan permasalahan-permasalahan lainnya (Kornhauser dkk., 2009). Pada studi yang dilakukan oleh Grover dan Reddu (2003), penggunaan asam glikolat 10,00% - 30,00% dengan interval 4 hari berhasil untuk mengobati pasien jerawat.

Asam glikolat akan memecah ikatan dan mencapai lapisan dermis sebagai perantara penghantaran obat. Asam glikolat juga menginduksi pembentukan kolagen (Zonunsanga, 2015). Asam glikolat bersinergi dengan retinaldehid, keduanya bermanfaat dalam pengobatan jerawat. Asam glikolat dapat meningkatkan penetrasi retinaldehid dan juga memperbaiki proses eksfoliasi yang terjadi (Dreno dkk., 2009). Asam glikolat memiliki sifat keratolitik dan dapat menstimulasi lapisan germinativum dan fibroblast. Beberapa studi juga telah menunjukkan bahwa asam glikolat memiliki efek antiinflamasi dan aksi antioksidan (Fabbrocini dkk., 2006).

Penggunaan asam glikolat secara topikal merupakan suatu terapi yang efektif pada pasien yang mengalami pseudofolliculitis barbae, yakni suatu reaksi inflamasi asing yang terjadi di sekitar rambut-rambut pada kulit wajah akibat dari

(14)

pencukuran. Penggunaan jangka panjang asam glikolat pada kadar rendah secara topikal juga bermanfaat dalam mengatasi bekas luka jerawat dan direkomendasikan untuk orang-orang yang tidak dapat menoleransi prosedur

peeling (Fabbrocini dkk., 2006).

c. Asam glikolat sebagai peeling agent

Peeling therapy menggunakan alpha-hydroxy acid (AHA) sudah banyak

dilakukan dalam praktik dermatologi selama bertahun-tahun dan telah dikembangkan. Peeling therapy menggunakan AHA selain memiliki manfaat terapeutik, juga memiliki manfaat kosmetik ketika diaplikasikan pada kulit (Sharad, 2013).

Pada tahun 1980-an, asam glikolat mulai dipergunakan sebagai peeling

agent. Asam glikolat beraksi dengan menipiskan lapisan stratum korneum,

memicu epidermolisis, dan mendispersi melanin lapisan basal. Asam glikolat juga meningkatkan kandungan asam hyaluronat kulit dan ekspresi gen kolagen dengan memicu sekresi IL-6 (Zonunsanga, 2015).

Asam glikolat secara luas digunakan untuk terapi chemical peeling dalam berbagai konsentrasi yaitu 20,00% hingga 70,00%. Pasien dengan berbagai tipe dan warna kulit dapat ditangani dengan metode ini dan hampir pada semua bagian tubuh dapat dilakukan peeling (Fabbrocini dkk., 2006).

Asam glikolat memiliki bobot molekul yang paling kecil di antara AHA yang lainnya sehingga dapat dengan mudah penetrasi ke dalam kulit dan menyebabkannya menjadi peeling agent yang cukup diminati. Asam glikolat

(15)

memiliki dua atom karbon, satu atom karbon dengan gugus karboksil dan satu atom karbon lainnya dengan gugus hidroksil. Oleh karena struktur yang dimiliknya, asam glikolat bersifat sangat hidrofil (Sharad, 2013).

Mekanisme aksi utama asam glikolat pada kulit yakni dengan menurunkan kohesi korneosit (menurunkan kemampuan sel-sel kulit untuk saling bersatu dengan yang lainnya). Karakteristik tersebut dan juga bobot molekul yang rendah dari asam glikolat menjadikannya sebagai suatu bahan yang baik untuk menghilangkan sumbatan keratin pada jerawat. Bobot molekul yang rendah tersebut membuat kemampuan penetrasi asam glikolat menjadi semakin tinggi dan mudah untuk menembus stratum korneum (Elson, 2002). Mekanisme lain dari asam glikolat adalah menurunkan kemampuan sel-sel epidermis untuk mempertahankan keterkaitan antara satu dengan yang lainnya sehingga berakibat pada terbukanya rongga-rongga antar sel yang menyebabkan penetrasi zat-zat lain menuju kulit mejadi lebih baik. Aksi asam glikolat sebagian besar berada pada interseluler (Elson, 2002).

Sebagai peeling agent, asam glikolat tersedia dalam bentuk asam bebas, ternetralisasi parsial (pH yang lebih tinggi), terbuffer, dan juga dalam bentuk larutan yang teresterifikasi. Konsentrasi asam glikolat sebagai peeling agent juga tersedia beragam, mulai dari 20,00% hingga 70,00%. Sangat dianjurkan untuk memulai peeling therapy dengan dosis yang paling rendah yaitu 20,00%, baru kemudian ditingkatkan baik konsentrasi maupun waktu aplikasinya selama sesi-sesi yang berurutan. Dalam melakukan chemical peeling menggunakan asam glikolat sebaiknya dimulai dari konsentrasi yang paling rendah dahulu untuk

(16)

mengamati sensitivitas dan reaktivitas pasien (Grimes, 2002). Dengan menaikkan kekuatan secara gradual tersebut juga dapat meminimalkan efek samping yang terjadi. (Grimes, 2002). Semakin tinggi konsentrasi asam glikolat dan semakin rendah pH, proses peeling akan semakin intens. Semakin lama waktu aplikasi, semakin dalam proses peeling berlangsung (Sharad, 2013). Semakin rendah pH, koefisien permeabilitas transmembran asam glikolat semakin meningkat (Fabbrocini dkk., 2006).

Proses terapi dilakukan tiap 15 hari selama 4 sampai 6 bulan hingga hasil yang dikendaki tercapai. Antara sesi-sesi peeling therapy harus ada minimal dua minggu jeda. Proses netralisasi setelah melakukan glycolic acid peel therapy (GA

peel therapy) sangat penting untuk menghentikan asidifikasi pada kulit. Selain itu,

pre-peel priming dan post-peel care juga sama pentingnya untuk mencegah

timbulnya efek samping yang tidak dikehendaki. Dalam bentuk sediaan gel, asam glikolat akan memiliki waktu penetrasi yang lebih lambat sehingga proses peeling menjadi lebih mudah untuk dikontrol (Sharad, 2013).

Chemical peeling menggunakan asam glikolat dapat menyebabkan gejala-gejala iritasi seperti rasa terbakar dan gatal-gatal. Penggunaan secara topical strontium nitrat 20,00% potensial untuk menekan iritasi yang terjadi (Fabbrocini dkk., 2006).

5. CMC-Na

CMC-Na memiliki nama lain Carmellose sodium, Akucell, Aquasorb,

(17)

natrium dari polikarboksimetil ether selulosa. Bobot molekul CMC-Na sekitar 90000-700000 (Rowe dkk., 2006).

Na dapat menghasilkan sediaan gel yang elastis dan lembut. CMC-Na dapat digunakan sebagai coating agent, stabilizing agent, suspending agent,

viscosity-increasing agent atau gelling agent, bahan pengikat tablet, serta

disintegran tablet dan kapsul. CMC-Na secara luas digunakan dalam formulasi sediaan oral dan topikal terutama karena sifat peningkat viskositasnya. CMC-Na sebanyak 3,00% - 6,00% dapat membentuk suatu massa gel yang dapat digunakan sebagai basis dalam aplikasinya (Rowe dkk., 2006). Viskositas larutan CMC-Na stabil pada pH 4-10 dan memiliki stabilitas optimum pada pH 7-9 (Premjeet dkk., 2012). Larutan CMC-Na stabil pada pH 2-10. Pada pH di bawah 2 akan terjadi presipitasi dan pada pH di atas 10 viskositas akan menurun secara cepat (Rowe dkk., 2006).

6. Karbomer

Karbomer memiliki nama lain Acritamer, Carbopol, polyacrylic acid, dan

carboxyvinyl polymer. Karbomer merupakan polimer sintetik berbobot molekul

tinggi dari asam akrilat yang berikatan silang dengan alil sukrosa atau alil ether dari pentaeritritol. Karbomer mengandung 56,00% - 68,00% gugus karboksil sehingga perlu dinetralkan untuk meningkatkan pH agar terbentuk massa gel (Rowe dkk., 2006).

Karbomer merupakan material koloid hidrofilik yang mengental lebih baik daripada natural gum. Karbomer didispersikan ke dalam air membentuk larutan asam yang keruh yang kemudian dinetralkan dengan basa kuat seperti NaOH,

(18)

trietanol amin, atau dengan basa inorganik lemah (contoh : ammonium hidroksida) sehingga akan meningkatkan konsistensi dan mengurangi kekeruhan (Barry, 1983; Rowe dkk., 2006). Karbomer digunakan secara luas dalam formulasi sediaan cair dan semipadat. Karbomer biasa digunakan sebagai bioadhesive, bahan pengemulsi, bahan pengatur pelepasan obat, bahan pensuspensi, bahan pengikat tablet, dan bahan peningkat viskositas. Karbomer merupakan basis gel yang kuat sehingga penggunaannya hanya diperlukan dalam jumlah yang sedikit yaitu 0,50% - 2,00%. Karbomer aman digunakan secara topikal karena tidak mengiritasi dan tidak menimbulkan hipersensitivitas pada manusia (Rowe dkk., 2006).

7. Stabilitas Produk Obat

Stabilitas produk obat adalah suatu kondisi di mana suatu produk obat tetap bertahan dalam batas-batas spesifikasinya selama penyimpanan dan penggunaan dengan sifat dan karakteristik yang sama dengan saat baru diproduksi (Anonim, 2005). Ada 5 jenis stabilitas produk, yaitu :

a. Stabilitas kimia

Tiap zat aktif dapat mempertahankan integritas kimia dan potensinya dalam jangka waktu tertentu.

b. Stabilitas fisik

Suatu produk tidak mengalami perubahan yang signifikan pada sifat-sifat fisiknya seperti penampilan, homogenitas, viskositas, disolusi, dan sebagainya selama jangka waktu tertentu.

(19)

c. Stabilitas mikrobiologi

Produk dapat mempertahankan resistensinya terhadap pertumbuhan mikroba selama jangka waktu tertentu.

d. Stabilitas terapetik

Suatu produk tidak mengalami perubahan efek terapi. e. Stabilitas toksikologi

Produk tidak mengalami peningkatan toksisitas yang signifikan selama jangka waktu tertentu.

Ketidakstabilan formulasi obat dapat dideteksi dengan suatu perubahan yang terjadi pada penampilan fisik, warna, bau, rasa, dan tekstur dari formulasi tersebut. Sedangkan di sisi lain, perubahan kimia dapat terjadi yang tidak dibuktikan sendiri dan hanya dapat dipastikan melalui analisis kimia (Ansel, 1989). Tidak ada produk obat dalam sistem kemasan tertutup yang sama sekali stabil, dan produsen atau pengemas produk obat itu wajib menentukan ciri-ciri stabilitas tiap-tiap produk. Sangat penting bagi produsen farmasi untuk meramalkan dengan tepat stabilitas produk pada penyimpanan normal dari data penyimpanan dipercepat karena keuntungan ekonomis besar yang diperoleh dari pemasaran produk baru secepat mungkin setelah formulasinya selesai (Lachman dkk., 2008).

Pengujian stabilitas dilakukan pada kemasan yang ditujukan untuk dipasarkan termasuk juga pengemas sekunder dan label kemasan (Anonim, 2005). Penggunaan kondisi ekstrim baik temperatur, kelembaban, cahaya, ataupun faktor-faktor lainnya ditujukan untuk pengujian stabilitas yang dipercepat

(20)

(accelerated study). Tujuan dilakukannya uji stabilitas dipercepat adalah untuk menentukan formulasi suatu produk obat yang paling stabil dari beberapa formulasi yang diusulkan. Jika formulasi yang paling stabil sudah dipastikan, kestabilan jangka panjangnya (shelf-life) diramalkan menggunakan data yang diperoleh dari pengujian dipercepat. Di samping pengkajian kestabilan yang dipercepat, produk obat juga disimpan di bawah kondisi transpor dan penyimpanan biasa yang diharapkan selama distribusi suatu produk dapat tahan untuk waktu 5 tahun atau lebih lama. Selama waktu tersebut, dilakukan pengamatan terhadap tanda-tanda fisik penguraian dan pengujian secara kimia. Pengkajian ini kemudian dipertimbangkan bersama hasil uji stabilitas yang dipercepat untuk menentukan kestabilan produk obat, shelf-life aktual, dan tanggal kadaluwarsa yang lebih tepat (Ansel, 1989).

Pengujian terhadap sediaan topikal meliputi penampilan, kejernihan, warna, homogenitas, bau, pH, resuspendability (untuk losion), konsistensi, viskositas, distribusi ukuran partikel (untuk suspensi), kadar zat aktif, produk degradasi, serta kadar pengawet dan antioksidan jika memang digunakan dalam formula (Anonim, 2005).

8. Simplex Lattice Design

Optimasi merupakan suatu metode atau desain eksperimental yang bertujuan untuk memperoleh interpretasi data secara matematis serta memudahkan dalam proses penyusunannya (Armstrong & James, 1986). Simplex

Lattice Design merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk

(21)

komposisi bahan yang akan diuji. Dalam menerapkan Simplex Lattice Design, ditentukan terlebih dahulu berbagai formula yang mengandung kombinasi berbeda dari variasi bahan. Hasil dari percobaan kemudian digunakan untuk membuat suatu persamaan polynomial (simplex) di mana persamaan ini dapat digunakan untuk memprediksi profil respon (Bolton & Bon, 2004).

Simplex Lattice Design yang paling sederhana terdiri dari 2 macam

kombinasi bahan berbeda di mana memerlukan 3 formula, yaitu : a. Percobaan menggunakan bahan A saja (A=100%)

b. Percobaan menggunakan bahan B saja (B=100%)

c. Percobaan menggunakan bahan campuran 50% bahan A dan 50% bahan B

Prinsip dasar Simplex Lattice Design adalah untuk mengetahui profil efek kombinasi komposisi bahan yang berbeda terhadap suatu parameter di mana terdapat dua variabel bebas A dan B. Hubungan antara respon dan komponen dapat digambarkan dengan persamaan (1) sebagai berikut.

Y = a [A] + b [B] + ab [A][B] (1)

Keterangan :

Y : respon

a,b,ab : koefisien yang didapat dari percobaan

[A][B] : fraksi komponen dengan persyaratan 0 ≤ [A] ≤ 1, 0 ≤ [B] ≤ 1

Nilai respon yang didapat disubstitusikan ke dalam persamaan di atas agar didapatkan nilai koefisien a, b, dan ab. Jika nilai koefisien sudah diketahui, maka

(22)

dapat dihitung nilai respon (Y) sehingga didapatkan gambaran profilnya dari variasi kedua komponen tersebut (Armstrong & James, 1996).

Penentuan formula optimum didapatkan dari respon total yang paling besar. Respon total dihitung menggunakan persamaan (2) sebagai berikut.

Ytot = Y1 + Y2 + Y3 + Yn (2)

Y1, Y2, Y3, dst merupakan respon dari masing-masing sifat fisik sediaan. Dari persamaan respon total tersebut akan dapat ditentukan formula yang optimum. Verifikasi dilakukan pada formula yang memiliki respon paling optimum (Armstrong & James, 1996).

F. Landasan Teori

Asam glikolat merupakan AHA yang memiliki bobot molekul terendah. Bobot molekul asam glikolat yang kecil membuatnya sangat mudah untuk penetrasi ke dalam kulit (Elson, 2002). AHA memicu adesi antara sel-sel pada lapisan paling atas kulit dan menginduksi terkikisnya lapisan-lapisan kering pada permukaan kulit. Peristiwa ini biasa disebut eksfoliasi (Campos dkk., 2015). Eksfoliasi secara kimia dapat menurunkan sumbatan keratotik sehingga metode ini merupakan pengobatan lini kedua sebagai alternatif penggunaan antijerawat topikal dan antibiotik sistemik (İlknur dkk., 2010).

Bentuk sediaan sangat bergantung pada tujuan penggunaan produk dan tipe kulit pasien. Meskipun gel merupakan suatu bentuk sediaan yang lama, namun hingga sekarang masih banyak dikembangkan dan diteliti mengenai profil pelepasannya yang menunjukkan absorbsi perkutan zat aktif yang lebih baik daripada bentuk sediaan krim ataupun salep (Chandira dkk., 2010). Sehubungan

(23)

dengan tujuan penggunaannya dalam peeling therapy, bentuk sediaan gel sesuai untuk dipergunakan karena menimbulkan efek dingin akibat penguapan air yang diperlambat sehingga menutupi rasa sakit, memungkinkan pemakaian pada bagian tubuh yang berambut, mudah dicuci dengan air, dan memiliki kemampuan menyebar yang baik pada kulit (Voigt, 1984). Untuk memperoleh gel dengan sifat fisik tertentu yang sesuai dengan tujuan penggunaannya dapat diperlukan campuran dua atau lebih basis atau gelling agent (Lieberman dkk., 1998).

Penggunaan CMC-Na sebagai gelling agent dapat menghasilkan sediaan gel yang netral, resisten terhadap pertumbuhan mikroba, dan memiliki viskositas yang stabil serta elastis dan lembut (Lieberman dkk., 1998; Rowe dkk., 2006). Namun, CMC-Na dapat membentuk larutan koloida dalam air yang membuat gel menjadi tidak jernih akibat terbentuknya disperse koloid yang ditandai dengan munculnya bintik-bintik dalam gel (Rowe dkk., 2006). Basis CMC-Na akan menghasilkan sediaan gel dengan daya sebar yang lebih kecil dibandingkan dengan sediaan gel yang mengandung basis karbomer (Erawati dkk., 2013). Penambahan gelling agent karbomer diharapkan dapat memperbaiki kekurangan tersebut sehingga gel yang dihasilkan menjadi jernih dan memiliki daya sebar yang lebih baik. Karbomer membuat gel menjadi sangat jernih dan halus (Yanhendri, 2012), namun karbomer memiliki daya lekat yang lebih rendah dibanding dengan CMC-Na (Rowe dkk., 2006). Penambahan gelling agent CMC-Na juga diharapkan dapat menutupi kekurangan dari karbomer sehingga sediaan gel yang dihasilkan memilki daya lekat yang baik. Kombinasi CMC-Na dan karbomer pada konsentrasi tertentu diharapkan akan menghasilkan sediaan gel

(24)

dengan sifat fisik yang baik yaitu memiliki viskositas, daya sebar, dan daya lekat yang baik sehingga ideal dan nyaman untuk digunakan dalam peeling therapy. Kadar CMC-Na sebagai gelling agent adalah 3,00% - 6,00%, sedangkan karbomer yaitu 0,50% - 2,00% (Rowe dkk., 2006). Optimasi dilakukan dengan pendekatan

Simplex Lattice Design untuk memperoleh formula optimum kombinasi gelling

agent karbomer dan CMC-Na.

CMC-Na dan karbomer merupakan gelling agent yang bersifat hidrofilik. Sistem koloid hidrofilik memiliki stabilitas yang lebih baik dibandingkan dengan sistem koloid hidrofobik karena terjadi interaksi yang kuat antara medium pendispersi dan fase terdispersinya (Ansel, 1989). Karbomer sebagai gelling agent dalam hidrogel penyembuh luka ekstrak binahong mampu mempertahankan viskositas sediaan. Interaksi antara karbomer dan CMC-Na akan memperkecil penurunan viskositas karena terbentuk cross link dengan CMC melalui interaksi

hydrogen bonding menggantikan interaksi ionik CMC-Na yang telah runtuh

(Yuliani, 2012). Larutan CMC-Na stabil pada pH 2-10. Pada pH di bawah 2 akan terjadi presipitasi dan pada pH di atas 10 viskositas akan menurun secara cepat. Sedangkan karbomer memiliki viskositas yang stabil pada pH 3-12 (Rowe dkk., 2006). Formula optimum gel asam glikolat dengan suatu nilai pH tertentu diharapkan memiliki stabilitas fisik yang baik yaitu tidak mengalami perubahan yang bermakna pada sifat-sifat fisik sediaan yang meliputi viskositas, daya sebar, serta daya lekat selama 4 minggu penyimpanan pada suhu ruang (28°C).

(25)

G. Hipotesis

1. Pada kombinasi konsentrasi gelling agent CMC-Na 3,00% - 6,00% dan karbomer 0,50% - 2,00% akan diperoleh formula sediaan gel asam glikolat dengan sifat fisik optimum yaitu memiliki viskositas, daya sebar, dan daya lekat yang baik.

2. Formula optimum gel asam glikolat menggunakan kombinasi gelling

agent CMC-Na dan karbomer stabil secara fisik selama 4 minggu

Gambar

Gambar 1. Peeling therapy  Sumber : www.sothys.com.au
Gambar 2. Struktur molekul asam glikolat  Sumber : chemistry.about.com

Referensi

Dokumen terkait

Kurva TGA Sekam Padi yang telah dicuci menggunakan HCl dan pemanasan (sampel 2) dengan laju pemanasan 1 ◦ C/menit diolah dengan menggunakan persmaan 8 untuk mendapatkan

metode yang tidak destruktif dan dapat digunakan baik untuk analisis. kualitatif maupun kuantitatif (Gandjar dan

hasil kajian mendapati teks ini menyentuh aspek kepimpinan seperti pemimpin keluarga, remaja, agama, belia dan kampung.. semua peristiwa yang dilalui oleh manusia menyerlahkan

Ketahanan susu kuda sumbawa selama penyimpanan lima hari dalam suhu ruang semakin menurun, susu yang disimpan mengalami peningkatan total asam (P<0,01).

Berdasarkan hasil perhitungan dengan metode DRAWS dapat diketahui rata-rata skor beban kerja yang diperoleh karyawan bagian Perendaman, Penggilingan, Perebusan

Berdasarkan data tersebut, semua responden yang menyatakan bahwa pengembangan karir pegawai harus didasarkan pada kompetensi, yaitu sebanyak 158 orang (100%) berpendapat bahwa perlu

Sumber pendapatan utama rumah tangga petani contoh di Kabupaten Donggala adalah dari usahatani (On-Farm), yang memberi kontribusi sebesar 65,51 persen dari seluruh

Proses penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan 2 siklus, yang meliputi tahapan sebagai berikut : (1) perencanaan (2) pelaksanaan (3) observasi (4) refleksi.Hasil