PERMASALAHAN-PERMASALAHAN PERKAWINAN USIA MUDA YANG ADA DI PAROKI KELUARGA SUCI TERING
KUTAI BARAT KALIMANTAN TIMUR
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Agama Katolik
Oleh:
Maria Dolorosa Tonis NIM: 121124031
PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv
PERSEMBAHAN
Skripsi ini dipersembahkan kepada
Mama Adelina Tonis dan bapak Welson Lawing (Alm),
bapak Nikolas Laki (Alm) dan mama Yuliana Taek,
mama Teriana dan bapak Murdian Tului,
kakak Elpidus Laki dan Emiliana Noi, adik Norce Sali dan Joni,
kakak Nofri dan Mega, Adik Ririn Maidiana dan Junaidi,
semua keluarga yang mendukung dan mendoakanku,
teman-teman angkatan 2012
dan
v MOTTO
Kebahagiaan adalah ketika apa yang anda pikirkan
Apa yang anda katakan dan apa yang anda lakukan,
Semua itu di dalam keharmonisan
(Mahatma Gandhi)
Demikianlah tinggal ketiga hal ini,
yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan
yang paling besar diantaranya ialah kasih.
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha kasih dan penyayang, atas
segala rahmat dan kasih-Nya yang berlimpah penulis mampu menyelesaikan sripsi
yang berjudul PERMASALAHAN-PERMASALAHAN PERKAWINAN USIA MUDA YANG ADA DI PAROKI KELUARGA SUCI TERING KUTAI BARAT KALIMANTAN TIMUR, skripsi ini diajukan guna memberikan sumbangan pemikiran, gagasan dan ispirasi bagi siapapun yang
memiliki kerinduan dalam mengembangkan Gereja Katolik dimanapun berada.
Proses penyusunan skripsi ini, berjalan dengan lancar karena atas
dukungan dan kebaikan dari banyak orang, sehingga penulis mampu
menyelesaikan skripsi ini meskipun mengalami banyak kesulitan. Penulis
mengalami pendampingan, dukungan, motivasi dan perhatian yang diyakini
sebagai perpanjangan kasih dan karya Tuhan dalam membimbing serta
memampukan penulis menyelesaikan skripsi pada kesempatan ini, penulis juga
mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Dr. CB. Kusmaryanto, SCJ, selaku dosen pembimbing utama dan dosen
penelitian yang dengan setia meluagkan waktu untuk membimbing dan
mendampingi penulis dengan penuh perhatian dan kesabaran, memberi
masukan dan kritikan, sehingga penulis termotivasi dalam menyelesaikan
xi
2. Drs. L. Bambang Hendarto. Y., M. Hum, selaku dosen pembimbing akademik
dan dosen penguji II yang telah meluangkan waktu untuk mempelajari dan
memberi masukan sehubungan dengan skripsi ini.
3. Martinus Ariya, S.Pd., Mag. Theo selaku dosen penguji III yang telah
meluangkan waktu untuk mempelajari dan memberikan masukan demi
semakin baiknya skripsi ini.
4. Para dosen Program Studi Pendidikan Agama Katolik, Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, yang telah
mendidik dan membimbing penulis selama belajar hingga selesainya skripsi
ini dengan penuh kasih.
5. Staf dan karyawan Program Studi Pendidikan Agama Katolik yang turut
memberi perhatian dan dukungan bagi penulis.
6. Dinas Pendidikan Daerah Kutai Barat, Kalimantan Timur yang telah memberi
kesempatan kepada penulis untuk mengembangkan diri melalui studi hingga
selesai.
7. Kepada Bapak, Ibu, kakak, adik dan seluruh keluarga yang telah memberikan
dukungan baik moral maupun materiil yang tiada hentinya dengan memberi
cinta dan perhatian serta doa kepada penulis hingga dapat menyelesaikan
studi.
8. Sahabat dan teman-teman angkatan 2012 yang telah memberi dukungan
selama bersama dalam studi.
9. Romo Thomas Lukas Atsui Wiyatngow, MSF, selaku pemimpin Paroki
xiii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN ... vii
ABSTRAK ... viii
BAB II. PERKAWINAN USIA MUDA DAN USIA PERKAWINAN... 13
A.PENGERTIAN PERKAWINAN PADA UMUMNYA DAN
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkawinan di usia muda ... 33
C. PENGERTIAN KEHARMONISAN KELUARGA ... 41
xiv
2. Faktor-faktor yang mendukung keharmonisan keluarga ... 43
BAB III. PENELITIAN PERKAWINAN USIA MUDA DI PAROKI KELUARGA SUCI TERING KUTAI BARAT KALIMANTAN TIMUR ... 46
A.PAROKI KELUARGA SUCI TERING ... 46
1. Sejarah Singkat Paroki Keluarga Suci Tering ... 46
2. Letak Geografis Wilayah Paroki Keluarga Suci Tering... 47
3. Gambaran Umum Paroki Keluarga Suci Tering ... 49
4. Keadaan Perkawinan Usia Muda di Paroki Keluarga Suci Tering .. 53
B. PENELITIAN PERKAWINAN USIA MUDA DI PAROKI KELUARGA SUCI TERING KUTAI BARAT KALIMANTAN TIMUR ... 55 KUTAI BARATKALIMANTAN TIMUR... 102
A. KETERBATASAN PENELITIAN ... 102
B. PENGOLAHAN HASIL PENELITIAN ... 103
1. Faktor pendukung ... 105
2. Faktor penghambat ... 110
xv
C.TEMA DAN TUJUAN PROGRAM REKOLEKSI ... 121
D. MATRIKS PROGRAM ... 126
E. GAMBARAN PELAKSANAAN PROGRAM ... 130
A.Contoh salah satu Pelaksanaan Program Pengantar dan Tema I “HakikatPerkawinan Kristiani” ... 132
BAB VII. PENUTUP ... 146
A. KESIMPULAN ... 146
B. SARAN ... 147
DAFTAR PUSTAKA ... 150
1. KITAB SUCI DAN DOKUMEN GEREJA ... 150
2. BUKU-BUKU ... 150
LAMPIRAN Lampiran 1 : Surat Permohonan Izin Penelitian ... (1)
Lampiran 2 : Surat telah Melakukan Penelitian ... (2)
Lampiran 3 : Kuesioner Penelitian ... (3)
Lampiran 4 : Salah Satu Contoh Jawaban Kuesioner dan Wawancara ... (6)
xvi
DAFTAR SINGKATAN
A. Singkatan Kitab Suci
Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti singkatan Kitab
Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dalam terjemahan baru yang
diselenggarakan oleh Lembaga Alkitab Indonesia, LAI, (2012).
Kej : Kejadian
KHK : Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonici), diundangkan oleh Paus
Yohanes Paulus II, 25 Januari 1983.
KWI : Konverensi Waligereja Indonesia
GS : Gaudium Et Spes (Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II tentang Gereja Dewasa ini, 21 November 1965)
AA : Apostolicam Actuositatem (Dekrit Konsili Vatikan II tentang Kerasulan
xvii KK : Kepala Keluarga
IRT : Ibu Rumah Tangga
SD : Sekolah Dasar
SMP : Sekolah Menengah Pertama
SMA : Sekolah Menengah Atas
D3 : Diploma Tiga
S1 : Strata Satu
Alm : Almarhum
Dll : Dan lain-lain
Jl : Jalan
Kec : Kecamatan
Kab : Kabupaten
RT : Rukun Tetangga
LCD : Liquid Crystal Display
SJ : Serikat Yesus
SCJ : Serikat Cinta Yesus
Pr : Projo
MSF : Missionarium a Sacra Familia (Misionaris Keluarga Kudus)
Dkk : Dan kawan-kawan
NTT : Nusa Tenggara Timur
Km : Kilometer
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Perkawinan merupakan salah satu anugerah paling besar karena dihidupi
di dalam keharmonisan tetapi anugerah itu dapat menjadi suatu kekecewaan berat
bagi mereka yang menghampirinya secara tidak hormat atau mempersiapkannya
secara salah. Karena perkawinan yang berhasil dapat menjadikan suami-istri
bersemangat dan bertahan dalam menghadapi segala situasi yang masing-masing
anggota keluarga mampu menyikapi, membangun, menumbuhkan, merawat dan
memeliharanya.
Perkawinan menghadapi tantangan dan cobaan dari zaman ke zaman. Di
zaman modern ini, tantangan dan cobaan terhadap keutuhan perkawinan semakin
berat karena sikap individualisme, hedonisme, konsumerisme, sekuarisme, dan
pendewaaan nilai kebebasan yang dapat melunturkan nilai-nilai dalam hidup
perkawinan seperti kesatuan, kerukunan, kesabaran dan lain sebaginya (Purnomo,
2015: 10). Perkawinan usia muda sering mendapat tantangan dalam kehidupan
rumah tangga yang dapat berakibat terhadap pasangan suami-istri, anak-anak yang
dilahirkan dan orang tua masing-masing keluarga. Hal ini dapat disebabkan
karena baik fisik dan psikis pasangan suami-istri belum dewasa atau belum siap
untuk membina rumah tangga sehingga sering terjadi kesalahpahaman,
kecemburuan, komunikasi yang tidak lancar, marah, takut, khawatir dan saling
maka perkembangan mereka akan terhambat baik individu maupun sosialnya.
Emosi yang tidak stabil memungkinkan banyak pertengkaran dan mereka yang
bertengkar cenderung masih kekanak-kanakan artinya mereka belum mampu
mengendalikan emosi dengan baik, emosi yang tidak stabil biasanya ada pada
masa anak remaja atau orang muda. Masa remaja adalah masa transisi ke taraf
kedewasaan, masa remaja berlangsung antara usia 11/12 tahun sampai dengan
18/19 tahun, dalam usia tersebut mereka mengalami masa pertumbuhan dan
perkembangan fisik maupun perkembangan psikis. Mereka bukan lagi anak-anak
baik bentuk badan atau cara berpikir dan bertindak, tetapi bukan pula orang
dewasa yang telah matang (Supriyati, 2013: 12).
Perkawinan zaman ini kebanyakan dimulai dengan tingginya daya
romantisme, tetapi dalam kehidupan perkawinan romantisme saja tidak cukup
harus ada sebuah komitmen dan komitmen itulah selalu tidak ada pada orang
muda, sehingga menjelang perkawinan biasanya masing-masing dari mereka
hanya memiliki kesadaran yang dangkal mengenai keinginan, kebutuhan dan
pengharapan yang dimiliki pasangannya selama masa itu (setelah menikah) justru
kebutuhan yang tidak pentinglah yang mendapat perhatian (Wright, 2013: 116).
Cara berpikir yang romantisme sering kali membuat mereka buta. Artinya
perbedaan pengharapan tentang perkawinan karena orang muda sering mengalami
emosi yang tidak stabil dalam hal berkomitmen, hal ini akan membuat perkawinan
hanya sebatas pada romantisme. Komitmen adalah ikrar atau janji yang mengikat,
ikrar yang harus diwujudkan, bagaimanapun halangannya ini adalah penyerahan
Perkawinan bukan hanya sekedar menyatukan diri sebagai jawaban atas
permasalahan yang sedang dihadapi, seperti memenuhi kebutuh lahiriah semata
tetapi lebih dari itu perkawinan merupakan sebuah ikatan lahir-batin antara
seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami-istri dengan tujuan
membentuk keluarga, melahirkan anak, membangun hidup kekerabatan yang
bahagia dan sejahtera (PPK, 7).
Dengan demikian perkawinan hendaknya dipandang sebagai pintu
menuju pengembangan diri pengembangan yang dimaksud adalah pertama-tama
dimensi spiritual, karena tujuan dasar perkawinan bukanlah untuk memasukkan
dua ego ke dalam “perkumpulan orang-orang yang saling mengagumi” dan bukan
sekedar untuk memperbanyak keturunan, tetapi perkawinan diarahkan untuk
pencapaian tujuan hidup yang mendasar bagi setiap pribadi, yaitu memperluas
kesadaran manusia yang terbatas menuju kesadaran universal (Walters, 2006: 35).
Kesadaran universal yang dimaksud adalah masing-masing pribadi diarahkan
untuk memahami makna tujuan perkawinan yaitu demi kesejahteran suami-istri,
anak-anak dan pendidikan anak, serta membangun kerukunan dalam hidup
bermasyarakat.
Hidup perkawinan Kristiani tidak terlepas dari persoalan hidup berumah
tangga, baik itu perkelahian, kesalahpahaman, perbedaan pendapat dan lain
sebagainya, hal tersebut berdampak pada penurunan nilai kesadaran suami-istri
akan tujuan perkawinan. Pada intinya tujuan perkawinan diarahkan untuk
mengembangkan dan memurnikan cinta kasih suami-istri menuju kesejahteraan
pula dalam hidup perkawinan orang yang ingin membangun hidup rumah tangga
harus tahu tujuan dari perkawinan itu sendiri, karena mengambil keputusan untuk
menikah adalah sebuah tanggung jawab yang sangat besar, tanggung jawabnya
yaitu pemberian seluruh diri untuk mensejahterakan keluarganya bagaimanapun
halangannya. Melalui pengalaman emprik peneliti pernah hidup dalam sebuah
keluarga dan dekat dengan sejumlah keluarga, mendengarkan cerita hidup
perkawinan mereka terutama hidup perkawinan keluarga muda, mulai dari yang
menyenangkan sampai dengan cerita yang menyedihkan seperti merasa putus asa
dan tidak mampu mempertahankan hidup rumah tangganya hingga ada niat untuk
berpisah, selain itu peneliti juga mengalami sendiri bagaimana hidup perkawinan
orang tua mengalami kehancuran yang berujung pada ambang perceraian.
Ungkapan untuk menyejahterakan mudah dikatakan, tetapi kenyataan
dalam menjalankannya sangat sulit hal ini yang menjadi persoalan bahwa hidup
perkawinan itu tidak mudah hal tersebut bisa dapat terjadi karena ketidak
mampuan pasangan suami-istri untuk keluar dari masa krisis dan tidak mampu
mengatasi kekecewaan, kejengkelan, keputusasaan dalam menghadapi pasangan
mereka sehingga akhirnya mereka memilih untuk berpisah.
Tahun 1974 di Indonesia telah merumuskan Undang-Undang perkawinan
yang dikenal dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
yang berbunyi: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
Artinya tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang
bahagia, kekal dan sejahtera dengan demikian kesejahteraan dalam perkawinan
tidak dapat diharapkan dari mereka yang kurang matang baik fisik, emosional,
kedewasaan dan tanggung jawab, syarat perkawinan dalam Undang-Undang
perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang kematang bagi calon suami-istri
tercantum dalam pasal 7 ayat (1), bahwa pekawinan hanya diizinkan jika pihak
laki-laki telah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita berusia 16 tahun (Asmin
1986: 18-22). Dalam Kanon 1083:§1 ditetapkan bahwa laki-laki sebelum berumur
genap 16 tahun dan perempuan sebelum berumur genap 14 tahun tidak dapat
melangsungkan perkawinan yang sah. Meskipun batas perkawinan telah
ditetapkan dalam pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan
dalam Kanon 1083:§1. Tetapi dalam prakteknya masih banyak dijumpai
perkawinan pada usia muda masih sangat tinggi.
Perkawinan usia muda dapat didefinisikan sebagai ikatan lahir batin
antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami istri yang
masih remaja, orang yang digolongkan sebagai remaja adalah mereka yang
berusia 11 sampai dengan 24 tahun dan belum menikah untuk remaja Indonesia
(Sarlito, 2015: 18).
Paroki Keluarga Suci Tering merupakan salah satu paroki tertua di
Kalimantan Timur, di sini tonggak sejarah perkembangan misi Gereja Katolik
oleh para misionaris MSF. Awal mulanya pusat misi berada di Paroki Hati Kudus
Yesus, Laham dan karena mempertimbangkan keadaan geografis untuk akses
pusat misi para misionaris MSF hingga saat ini. Pusat paroki terletak di tepi
sungai Mahakam, jaraknya ±50 meter dari tepi sungai Mahakam. Paroki Keluarga
Suci Tering memiliki ±1.898 kepala keluarga dan secara keseluruhan umat
berjumlah ±7.823 jiwa termasuk anak-anak, remaja, dewasa dan orang tua dari
sekian banyaknya umat di Paroki Keluarga Suci Tering yang telah menikah di
tahun 2016 ini ±63 pasang dan yang menikah di usia muda berjumlah ±10 pasang.
Berdasarkan data yang diperoleh dari paroki, umat Paroki Keluarga Suci
Tering sangat pasif, dimana umat mempercayakan seluruh kegiatan yang
berkaitan dengan gereja diserahkan kepada pastor atau pelayan pastoral yang lain.
Umat kurang semangat untuk aktif dalam kehidupan menggereja dan tidak peduli
dengan kebutuhan rohani, dapat disimpulkan bahwa pemahaman umat tentang
perkawinan masih sangat minim, hal tersebut membuktikan bahwa perkawinan
usia muda masih saja terjadi. Mereka yang cendrung menikah di usia muda
banyak terdapat di daerah pedalaman yang sulit dijangkau hal ini bisa saja terjadi
karena keadaan ekonomi keluarga, pergaulan bebas dan lain-lain. Dalam hal ini
umat diharapkan sadar, terutama orang-orang muda untuk memahami tentang
resiko-resiko dari perkawinan usia muda, kesadaran umat sangat penting karena
kesadaran dapat merubah hidup seseorang menjadi lebih baik terutama dalam
memperkembangkan masa sepan bangsa dan Gereja.
Beberapa fenomena perkawinan usia muda menunjukkan bahwa
keluarga-keluarga Kristiani belum menghayati secara utuh hidup perkawinan
dalam menyejahterakan dan membahagiakan keluarga. Kesadaran dan
sebuah ikatan perkawinan keluarga Kristiani, kesejahteraan suami istri memang
bukanlah hal yang mudah untuk dilaksanakan dan dihidupi, tetapi kesejahteraan
itu tetap merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan perkawinan di
mana kesejahteraan itu menjadi tolak ukur kehidupan perkawinan yang bahagia
dan sejahtera.
Dari latar belakang di atas mengenai beberapa permasalahan perkawinan
usia muda dan kesejahteraan suami istri adalah sangat perlu dan penting.
Mengingat perkawinan usia muda sering mengalami ketidakbahagiaan dan
kesejahteraan dalam rumah tangga, maka bisa dikatakan hal ini menjadi salah satu
persoalan umat di Paroki Keluarga Suci Tering. Mereka yang menikah di usia
muda cenderung mengalami ketidakharmonisan dalam keluarga di mana
keduanya masih memiliki ego yang tidak stabil dalam memaknai sebuah
persoalan, maka penulis memutuskan untuk mengangkat topik perkawinan usia
muda sebagai topik utama dalam seluruh pembahasan skripsi, berdasarkan uraian
dalam latar belakang tersebut di atas, maka penulis menyusun skripsi ini dengan
judul “Permasalahan-Permasalahan Perkawinan Usia Muda yang ada di
B. RUMUSAN PERMASALAHAN
Bedasarkan uraian latar belakang permasalahan di atas, maka penulis
dapat mengemukakan beberapa rumusan permasalahan penelitian sebagai berikut:
1. Apa itu perkawinan usia muda ?
2. Apa permasalahan perkawinan usia muda yang mendukung dan yang tidak
mendukung yang ada di Paroki Keluarga Suci Tering Kutai Barat
Kaliamantan Timur?
3. Upaya apa yang dilakukan untuk membantu keluarga muda Katolik dalam
menyelesaikan problematika rumah tangga di Paroki Keluarga Suci Tering
Kutai Barat Kalimantan Timur?
C. TUJUAN PENULISAN
Dalam skripsi ini ada beberapa tujuan yang ingin dicapai diantarnya
adalah sebagai berikut:
1. Memperdalam pemahaman tentang perkawinan usia muda.
2. Mengetahui dan memahami apa saja permasalahan perkawinan usia muda di
Paroki Keluarga Suci Tering Kutai Barat Kalimantan Timur.
3. Mengetahui dan menemukan cara dalam mengatasi problematika rumah
tangga keluarga muda dalam terang Injil demi tercipta keluarga Kristiani
D. MANFAAT PENULISAN 1. Bagi umat
Menambah pengetahuan empirik tentang permasalah-permasalahan
perkawinan usia muda dan pengaruhnya terhadap keluarga Kristiani. Selain
itu juga diharapkan umat dapat menanamkan sikap sosialis untuk mencegah
terjadinya perkawinan usia muda.
2. Bagi Paroki Keluarga Suci Tering
Membantu paroki untuk berpastoral bagi orang muda atau anak-anak remaja
agar menghindari perkawinan usia muda. Membantu paroki dan
pasangan-pasangan yang akan menikah untuk memahami arti perkawinan dan tujuan
perkawinan Kristiani.
3. Bagi peneliti
Dapat mengetahui secara lebih mendalam tentang
permasalahan-permasalahan perkawinan usia muda dalam keluarga Kristiani yang
berpengaruh terhadap keluarga Kristiani, dengan mengetahui dan memahami
peneliti dapat mencegah perkawinan usia muda dan membantu meringankan
problematika rumah tangga keluarga muda dengan berpastoral atau
berkatekese.
4. Bagi Universitas Sanata Dharma
Sebagai tambahan sumber bacaan bagi perpustakaan Universitas Sanata
E. METODE PENULISAN
Metode penulisan yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif
dengan memanfaatkan studi pustaka dan penelitian lapangan. Penelitian kualitatif
yaitu sebagai prosedur penelitian yang mengjhasilkan data deskriptif berupa
kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati (Moleong,
1989: 3). Sedangkan studi pustaka dan penelitian lapangan yaitu dengan
menggunakan kuesioner dan instrumen wawancara yang topiknya bersumber dari
rumusan masalah, penulis membahas hasil penelitian dan menarik kesimpulan
terhadap penelitian tersebut, penulis memanfaatkan studi pustaka untuk
mendukung pembahasannya untuk memperkuat teori.
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Judul skripsi ini adalah permasalahan-permasalahan perkawinan usia
muda yang ada di Paroki Keluarga Suci Tering Kutai Barat Kalimantan Timur.
Berikut penulis menguraikan gambaran umum mengenai sistematika penulisan
yang hendak dibahas dalam penulisan skripsi:
Bab I menguraikan pendahuluan, meliputi: latar belakang penelitian,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode dan sistematika
penulisan.
Bab II penulis menguraikan kajian pustaka tentang perkawinan usia
muda dan usia perkawinan, meliputi: deskripsi perkawinan pada umumnya,
perkawinan Katolik, perkawinan usia muda, tujuan perkawinan, ciri-ciri
pendukung dan faktor penghambat yang memperngaruhi perkawinan usia muda
dalam mewujudkan perkawinan yang harmonis, antara lain: faktor kepribadian,
internal keluarga, ekonomi, kekerasan dalam rumah tangga, alat komunikasi,
iman, dan sosial.
Bab III berisikan penelitian perkawinan usia muda di Paroki Keluarga
Suci Tering Kutai Barat Kalimantan Timur terhadap pasangan suami-isri Katolik
yang usia perkawinan 1 sampai dengan 5 tahun, meliputi: sejarah singkat Paroki
Keluarga Suci Tering, gambaran umum paroki, keadaan perkawinan usia muda di
Paroki Keluarga Suci Tering, jenis penelitian, variabel penelitian, instrumen
penelitian, waktu dan tempat, populasi dan sampel, teknik analisis serta hasil
penelitian.
Bab IV berisikan keterbatasan penelitian dan pengolahan hasil penelitian
tentang permasalahan-permasalahan perkawinan usia muda yang ada di Paroki
Keluarga Suci Tering Kutai Barat Kalimantan Timur dengan mendeskripsikan
penelitian dan mungulasnya secara mendalam.
Bab V berisikan usulan program katekese dengan model rekoleksi bagi
pasangan suami-istri yang menikah di usia muda dalam kurun waktu 1 sampai
dengan 5 tahun di Paroki Keluarga Suci Tering Kutai Barat Kalimantan Timur,
meliputi: latar belakang pemilihan program, usulan program dalam bentuk
rekoleksi, tema dan tujuan program rekoleksi, matriks program, gambaran
pelasanaan program, contoh pelaksanaan program.
Demikian proses berpikir penulis yang dituangkan dalam skripsi ini.
Penulis berharap penulisan mengenai permasalahan-permasalahan perkawinan
usia muda berguna bagi pasangan keluarga muda khususnya Gereja dan pada
BAB II
PERKAWINAN USIA MUDA DAN USIA PERKAWINAN
A. PENGERTIAN PERKAWINAN PADA UMUMNYA DAN PERKAWINAN MENURUT GEREJA
1. Perkawinan pada umumnya
Di Indonesia sejak tahun 1974 telah dirumuskan undang-undang
perkawinan yang dikenal dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan yang berbunyi:
“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
Menurut Sadjono dalam Asmin (1986: 19) “ikatan lahir” berarti berarti
dalam batin suami-istri yang bersangkutan terkandung niat yang sungguh-sungguh
untuk hidup bersama sebagai suami istri dengan tujuan membentuk dan membina
keluarga yang bahagia dan kekal, ikatan tersebut prinsipnya mengandung asas
monogam. Artinya perkawinan sah terjadi apabila yang melangsungkan
perkawinan itu ialah seorang laki-laki dan seorang perempuan dan perkawinan sah
dilakukan menurut hukum masing-masing agama atau kepercayaan diluar itu tidak
sah (PPK 2011: 7). Perkawinan bersifat monogam memiliki arti bahwa
perkawinan itu hanya sah apabila dilaksanakan oleh seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan yang bersifat kekal artinya tak terceraikan bahwa perkawinan
yang telah dilangsungkan secara sah tidak dapat diceraikan atau diputuskan oleh
Perkawinan adalah sebuah ikatan lahir-batin antara seorang laki-laki dan
seorang perempuan sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga,
melahirkan anak, membangun hidup kekerabatan yang bahagia dan sejahtera
(PPK, 7), perkawinan dipandang sebagai ikatan lahir-batin dengan tujuan
membentuk keluarga dan melahirkan anak serta hidup bahagia, maka perkawinan
layaknya diartikan sebagai lembaga yang suci dengan memiliki tujuan yang jauh
lebih tinggi daripada sekedar pemenuhan kepentingan diri (Walters, 2006: 159).
Jika perkawinan tidak dipandang sebagai lembaga yang suci demi perkembangan
diri yang jauh lebih tinggi, hal ini bisa menjadi rintangan untuk terwujudnya
kebahagiaan sejati (harmonis), pasangan yang menikah hanya demi pemuasan diri
sendiri akan lebih mengikat dan membatasi diri sendiri serta memperkuat ego
dengan demikian perkawinan yang dibangun tidak akan bertahan.
a. Tujuan Perkawinan pada Umumnya
Setiap orang memiliki tujuan hidupnya masing-masing, demikian juga
hidup perkawinan perlu ada tujuan hidup yang jelas, karena setiap orang memiliki
tujuan hidupnya masing-masing tentu seorang laki-laki dan seorang perempuan
memiliki tujuan hidup yang berbeda-beda tetapi karena telah disatukan dalam
sebuah perkawinan selayaknya tujuan yang berbeda itu harus dibulatkan agar
menjadi satu tujuan yang sama untuk membentuk hidup rumah tangga yang
bahagia.
Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, pasal 1 pada anak kalimat
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Rumusan tersebut
mengandung harapan bahwa dengan melangsungkan perkawinan akan diperoleh
suatu kebahagia artinya kebahagiaan yang ingin dicapai bukanlah kebahagiaan
yang sifatnya sementara saja, tetapi kebahagiaan kekal membangun hidup rumah
tangga yang bahagia dan kekal harus didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa,
pandangan ini sejalan dengan sifat religious dari bangsa Indonesia yang mendapat
realisasinya di dalam kehidupan beragama dan bernegara (Asmin, 1986: 20).
Tujuan yang tidak sama antara pasangan suami-istri akan menjadi
sumber permasalahan dalam keluarga, karena jika salah satunya ingin hidup
bahagia dengan melahirkan, menjalin kekerabatan dan membentuk keluarga yang
bahagia sedangkan salah satunya hanya ingin hidup bersama untuk memenuhi
kebutuhan biologisnya semata, maka akan sangat sulit bagi pasangan tersebut
untuk mencapai tujuan perkawinan yang bahagia dan kekal.
Tidak mudah tetapi tidak berarti tidak dapat dilaksanakan, karena itu
perlu ditekankan bahwa antara suami dan istri demi untuk membentuk keluarga
yang bahagia dan kekal selamanya perlu mempersatukan tujuan yang ingin
dicapai dalam perkawinan dan harus sungguh-sunghuh diresapi dan disadari
bahwa tujuan itu akan dicapai secara bersama-sama, bukan hanya oleh suami atau
istri saja. Karena tanpa ada kesatuan tujuan dan tanpa adanya kesadaran bahwa
tujuan harus dicapai bersama-sama, maka dapat kita bayangkan bahwa keluarga
itu akan mudah mengalami hambatan-hambatan yang akhirnya membawa mereka
jauh dari kebahagiaan, karena tujuan perkawinan merupakan titik tujuan bersama
2. Perkawinan Katolik
Perkawinan memurut Kitab Suci, menjadi suami-istri berarti suatu
kebutuhan total dalam kehidupan seseorang dimana keduanya saling
membutuhkan satu sama lain, Kitab Kejadian mengatakan: “Sebab itu seorang
laki-laki akan meninggalkan ayah-ibunya dan bersatu dengan istrinya sehingga
keduanya menjadi satu daging (Kej. 2:24)”.
Perikop ini menceritakan kesatuan antara dua pribadi yang mana seorang
laki-laki dan seorang perempuan memulai hidup baru sebagai suami-istri,
demikian hendak ingin diungkapkan bahwa perkawinan Katolik adalah
perkawinan yang sifatnya satu atau monogam (Iman Katolik, 2012: 435). Menjadi
satu daging merupakan unsur utama dalam sebuah perkawinan, kesatuan tersebut
bukan soal “kontrak” atau janji semata, lebih dari itu keduanya menjadi manusia
baru yang bersatu meliputi seluruh hidup jiwa dan badan.
Perkawinan adalah ikatan yang mempersatukan antara seorang laki-laki
dan seorang perempuan ikatan tersebut menyatukan keduanya dalam hal fisik,
emosi, rohani, kekuatan, kelemahan dan lain sebagainya. Karena itu mereka
sungguh-sungguh menjadi satu manusia baru dan dalam kesatuan tersebut mereka
harus menyadari bahwa Kristus sendiri yang telah mempersatukan mereka dalam
ikatan perkawinan. Dengan demikian kesatuan mereka adalah menjadi wakil
Allah di dunia yang melaksanakan mandat dari Allah, yaitu berkembang dan
beranak cucu, perempuan menjadi patner bagi laki-laki untuk melahirkan
Hakikat perkawinan adalah sebuah perjanjian (foedus, consensus,
convenant) merupakan tindakan kemauan antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan untuk kebersamaan seluruh hidup Kitab Hukum Kanonik
menjelaskan:
“Perjanjian (foedus) perkawinan, dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk antara mereka persekutuan (consortium) seluruh hidup, yang menurut ciri kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum) serta kelahiran dan pendidikan anak, antara orang-orang yang dibabtis, oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen (Kanon No 1055-§1)”.
Arti perjanjian nikah adalah tindakan kemauan untuk saling memberi dan
menerima dalam Kitab Hukum Kanononik 1057-§1-2 menjelaskan:
“Kesepakatan pihak-pihak yang dinyatakan secara legitim antara orang-orang yang menurut hukum mampu, membuat perkawinan: kesepakatan itu tidak dapat diganti oleh kuasa manusia manapun §2 Kesepakatan perkawinan adalah tindakan kehendak dengan seorang laki-laki dan seorang perempuan saling menyerahkan diri dan saling menerima untuk membentuk perkawinan dengan perjanjian yang tidak dapat ditarik kembali”.
Kanon-kanon ini hendak menjelaskan bahwa perjanjian tersebut adalah
tindakan kemauan untuk saling memberi dan menerima sejauh laki-laki dan
perempuan yang hendak menikah membuat kesepakatan yang muncul dari
keinginan sendiri dan bukan dari kehendak orang lain, karena kesepakatan
tersebut tidak dapat digantikan oleh kuasa manapun.
Tuhan yang telah menciptakan manusia karena cinta dan memanggil
manusia untuk mencinta, merupakan suatu panggilan kodrati dan mendasar dari
setiap manusia (KGK 1604, 7) Gereja mengajarkan bahwa perkawinan adalah
Pencipta dan dikukuhkan dengan hukum-hukum-Nya dan Allah sendirilah
pencipta Perkawinan (GS, 48). Dengan demikian perkawinan dipandang sebagai
suatu ikatan suci demi kesejahtraan suami-istri dan kelahiran anak serta
pendidikan anak dan tidak hanya tergantung pada kemauan manusiawi
semata-mata, tetapi juga kehendak Allah (PPK, 8 b) yang artinya mereka hendaknya
memandang perkawinan itu sebagai cinta kasih Allah kepada umat-Nya.
Kekhasan perkawinan Katolik berbeda dengan perkawinan pada
umumnya (formacanonica) contohnya pada Kanon 1108-§1:
“Perkawinan hanyalah sah bila dilangsungkan dihadapan Ordinaris wilayah atau Pastor-pastor atau imam atau diakon yang diberi delegasi oleh salah satu dari mereka itu, yang meneguhkannya, serta dengan tetap berlaku kekecualian-kekecualian yang disebutkan dalam kanon-kanon 144, 1112, §1, 1116 dan 1127 §1-2”.
Kanon No 1108-§1 memberikan prinsip umum untuk sahnya tata peneguhan
nikah orang Katolik, yaitu perkawinan harus dilangsungkan dihadapan: ordinaris
wilayah atau pastor paroki atau seorang imam atau diakon yang mendapatkan
delegasi atau dari ordinaris wilayah atau dari pastor paroki. Mereka ini adalah
saksi resmi (testis qualificatus) yang bertugas untuk meneguhkan perkawinan,
sebab tanpa mereka perkawinan itu tidak akan terlaksana dan tidak dapat
dikatakan sah dalam Gereja.
Perkawinan adalah kesepakatan nikah antara masing-masing pribadi
yaitu antara seorang laki-laki dan perempuan untuk menumbuhkan dan
mengembangkan kemampuan serta bakat yang dimiliki, juga dipandang sebagai
salah satu sekolah Allah yang terbaik, dapat menjadi tempat suami-istri
berpadu semakin mendalam, halus, penuh kasih sayang dan memuaskan
keduabelah pihak.
Perkawinan dapat diartikan sebagai sebuah komitmen yang mencakup
tiga pribadi, yakni suami, istri dan Yesus Kristus, karena perkawinan adalah ikrar
untuk saling setia dan tunduk satu sama lain (Wright, 2013:11-12). Firman Allah
menunjukkan bahwa komitmen perkawinan itu kudus sekaligus praktis dimana
Allah menggunakan hubungan perkawinan untuk menggambarkan hubungan-Nya
dengan Gereja sebagai mempelai wanita-Nya dan berkomitmen untuk mencintai
tanpa syarat.
a. Tujuan Perkawinan Katolik
Tujuan perkawinan Katolik kurang lebih sama dengan tujuan perkawinan
pada umumnya yaitu demi kesejahteraan keluarga, tetapi lebih dari itu tujuan
perkawinan Katolik lebih dirincikan lagi seperti yang tertulis di dalam Kitab
Hukum Kanonik: “Menurut ciri kondratinya terarah pada kesejahteraan suami istri
(bonum coniugum) serta kelahiran dan pendidikan anak (KHK 1055-§1)”.
Tujuan pertama yaitu kesejahteraan suami-istri artinya kesejahteraan
lahiriah berupa (pangan, sandang, papan) dan kesejahteraan batiniah berupa
(mapan, harmoni, kecocokan hati) suami-istri adalah pasangan atau patner hidup
yang diberikan oleh Tuhan sendiri sebagai tanda cinta-Nya, maka sebagai wujud
syukur suami-istri diharapkan saling mencintai satu sama lain dengan sepenuh
hati sampai akhir hidup artinya cinta dan kesetiaan masing-masing adalah sebagai
anak artinya dengan perkawinan keduanya terbuka terhadap keturunan, mendidik,
membersarkan anak, dengan demikian tujuan perkawinan diarahkan untuk
mengembangkan dan memurnikan cinta kasih suami-istri menuju kesejahteraan
dan kebahagiaan hidup bersama (GS, 49).
Tujuan perkawinan berarti suami-istri tidak hanya sekedar membentuk
sebuah persekutuan hidup dalam ikatan perkawinan, tetapi demi kebahagiaan dan
kesejahteraan keduanya serta terbuka pada kelahiran anak dan pendidikan anak
(Rubiayatmoko, 2015: 19), secara singkat tujuan perkawinan dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1) Demi Kebahagiaan atau Kesejahteraan Suami-Istri
Kristianto dalam Rukiyanto (2013: 92) merumuskan perkawinan
bertujuan untuk mengembangkan dan memurnikan cinta kasih suami-istri,
kebahagiaan, kesejahteraan, kedamaian, keharmonisan, kesetiaan, serta keutuhan
adalah tanda otentik cinta suami-istri yang sungguh hidup dan berkembang
semakin murni, cinta yang demikian mampu memperkaya dan mempersatukan
keakraban suami-istri, untuk terciptanya suasana yang dengan demikian dapat
diupayakan melalui tujuan yang sekunder dalam perkawinan, bersifat sekunder
artinya memperoleh keturunan, pemenuhan kebutuhan seksual, serta mencapai
kesejahteraan hidup baik sosial, ekonomi, material, rohani dan lain-lain.
Perkawinan adalah jalan kepenuhan hidup kasih dan hidup Kristiani yang
menggambarkan hubungan Kristus dan Gereja. Agar cinta kasih suami-istri
masing-masing orang tua dan Gereja, supaya menjadikan hidup perkawinan lebih
berarti dan bermakna bagi keduanya juga diharapkan sebuah sikap yang dewasa.
Kepenuhan hidup Kristiani berarti keduanya memiliki komitmen untuk disatukan
dalam perayaan Ekaristi. Kedepannya hidup perkawinan tidak terlepas dari
tantangan, untuk menyikapi setiap problematika kehidupan rumah tangga, tetapi
yakinlah bahwa ada keluarga, teman dan Gereja yang siap untuk mendampingi
sehingga kehidupan perkawinan yang dibangun itu tumbuh menjadi keluarga yang
bahagia dan sejahtera dengan segala isinya menjadi sempurna.
Kesejahteraan suami-istri adalah kesejahteraan keluarga dimana keluarga
adalah tempat pembentukan manusia atau lebih tepatnya memanusiakan manusia.
Di dalam lingkungan keluarga semua anggota mulai dari anak-anak sampai
dengan kakek-nenek diharapkan tumbuh dan berkembang dengan saling
membantu demi terciptanya cinta kasih dan memiliki relasi yang erat satu dengan
yang lain (GS, 52).
Kesejahteraan keluarga dan kesejahteraan masyarakat pada umumnya
sangat erat hubungannya yang artinya nilai yang diterima dari dalam keluarga
akan terpantul di dalam masyarakat, pengalaman yang baik dan buruk dalam
keluarga akan sangat mempengaruhi tindakan seseorang dalam masyarakat.
Keluarga adalah pendidik utama, tetapi pendidikan yang perlu
ditanamkan oleh orang tua bukan pertama-tama pengetahuan dan
perintah-perintah malainkan teladan dan sikap termasuk cara berpikir, cara berbicara,
sopan santun, devosi, iman dan sebagainya. Sebab anak adalah peniru yang handal
bahwa orang tuanya hidup rukun, saling memperhatikan, ramah, sopan, hangat
dan penuh kasih, karena itu sangat pentinglah keluarga sebagai sekolah, harus
memiliki suasana yang dapat membuat para anggotanya itu merasa nyaman (sweet
home) (Budyapranata, 1979: 7).
2) Keterbukaan pada Kelahiran Anak (Bonum Prolis)
Tujuan ini secara spontan disadari oleh setiap orang yang hendak
menikah pada umumnya mereka yang hendak menikah bertujuan untuk
memperoleh keturunan (anak) tujuan ini dianggap sebagai tujuan hakiki dari
perkawinan oleh masyarakat umumnya, tetapi perlu diketahui bahwa dengan
menekankan hubungan pribadi antara suami-istri, Konsili Vatikan II mengoreksi
pandangan dari masa lampau, yang menganggap bahwa perkawinan bukan hanya
untuk melahirkan keturunan sebagai tujuan dalam perkawinan “Perkawinan
diadakan bukan hanya demi adanya keturunan saja” (GS, 50).
Hubungan seksual antara suami-istri mempunyai nilai yang tidak hanya
berkaitan dengan prokreasi (untuk menurunkan anak) tetapi dalam status hidup
dan kedudukannya suami-istri mempunyai karunia yang khas di tengah umat
Allah (LG, 11), sebagai orang tua ayah dan ibu bagi anak-anak yang dilahirkan
diajak untuk bersedia penuh keberanian bekerjasama dengan cinta kasih Sang
Pencipta dan Penyelamat yang melalui mereka makin memperluas dan
memperkaya keluarga-Nya dalam hidup saling berdampingan dan penuh kasih.
Prokreasi bukan tujuan tunggal atau utama perkawinan tetapi tetap
peristiwa pribadi yang dijalankan oleh pasangan suami-itri dengan penuh hormat
yang telah direncanakan oleh keduanyaa dengan tanggung jawab penuh demikian
hendaknya suami-istri mempertimbangkan kesejahteraan dan kerukunan keluarga,
masyarakat dan Gereja (GS, 50).
3) Pendidikan Anak
Kristianto dalam Rukiyanto (2013: 19) mendefinisikan anak adalah buah
cinta kasih suami-istri yang hidup yang harus dirawat dan dididik agar dapat
tumbuh dan berkembang mencapai kedewasaannya. Artinya orang tua memiliki
hak sekaligus kewajiban, untuk mendidik anak-anak mereka khususnya dalam
masalah iman dan moral karena orang tua merupakan pendidik pertama bagi
anak-anak, maka sebagai tugas dasariah dari hidup perkawinan dan hidup
berkeluarga orang tua harus mampu memberi contoh dan teladan yang baik bagi
anak-anak yang dilahirkan, dengan memberi perhatian pada pendidikan anak-anak
yang sesuai dengan keyakinan mereka. Artinya orang tua tidak mengabaikan hak
anak untuk memilih apa yang anak inginkan sejauh tidak melanggar nilai-nilai
iman dan moral.
Peran utama orang tua adalah memberi contoh yang baik kepada
anak-anak sehingga apa yang anak-anak-anak-anak dapatkan dalam keluarga itu juga yang mereka
pancarkan dalam kehidupan mereka di sekolah dan masyarakat. Dengan kata lain
karakter anak ditentukan oleh bagaimana karakter orang tuanya. Dalam
tahun-tahun terakhir mutu moral pendidikan umum dan pendidikan perindividu merosot,
pergaulan yang tidak sehat, tauran dan masih banyak hal lainnya, menjadi orang
tua yang bertanggung jawab juga mencakup kewajiban untuk menempatkan
anak-anak dalam lingkungan intelektual yang sehat dan selaras dengan kemampuan
mereka. Anak-anak perlu mendapat pendidikan yang tepat dalam
keutamaan-keutamaan Kristiani seperti kejujuran dan kemurnian (Marks, 2009: 93).
b. Ciri-ciri Perkawinan Katolik
Menurut (Hadiwardoyo, 2011: 26) menyimpulkan pandangan Paulus
dalam 1 Korintus 7 tentang hakikat perkawinan dapat dirumuskan sebagai berikut:
“Perkawinan merupakan kesatuan erat antara seorang pria dan seorang wanita, yang memberikan kepada keduanya hak prerogativ atas hubungan seksual dengan patnernya dan menjauhkan keduanya dari bahaya pencabulan; suami istri menikah karena karisma yang mereka terima dari Allah sendiri; dengan perkawinan, orang Kristen toh tidak mampu lagi mencurahkan perhatiannya pada Allah karena itu Paulus lebih senang kalau orang Kristen tidak menikah demi Kerajaan-Nya”.
Artinya, Paulus mau menegaskan bahwa suami-istri harus menghindarkan diri
dari godaan untuk hubungan seksual dengan orang lain karena tubuh suami adalah
milik istri dan tubuh istri adalah milik suami, ditekankan bahwa perkawinan
merupakan kesatuan yang amat erat antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan perkawinan berperan sebagai jalan keluar yang baik dari bahaya
pencabulan karena perkawinan Katolik sifatnya satu dan tak terceraikan.
Ciri-ciri hakiki perkawinan Kristiani ialah (Unitas) kesatuan dan
(Indissolubilitas) tak dapat diputuskan yang dalam perkawinan Kristiani
memperoleh kekukuhan khusus atas dasar sakramen (KHK 1056). Artinya ikatan
sendiri kepada suami-istri untuk hidup berdampingan di dalam kasih mesra.
Karena Kristus adalah sumber rahmat kekuatan bagi suami-istri untuk melangkah
maju menuju kepenuhan kasih dan kepenuhan hidup Kristiani dengan saling
mengampuni dan menanggung beban, merendahkan diri seorang kepada yang lain
di dalam takut akan Kristus (Ef. 5: 21) serta saling mengasihi dalam cinta yang
mesra, subur dan adikodrati (PPK, 9) secara singkat ciri-ciri perkawinan kristiani
dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Unitas (kesatuan)
Ciri unitas menunjukkan unsur unitif dan monogam unsur unitif ini
dimaksudkan sebagai unsur yang menyatukan suami-istri secara lahir batin karena
tujuan dari perkawinan ialah kesatuan hidup yang tidak terpisahkan dari
suami-istri (Hadiwaryono, 2011: 61) Allah menetapkan bahwa ikatan suami-suami-istri tunggal
secara mutlak. Karena perkawinan Kristiani menandakan misteri kesatuan antara
Kristus dan Gereja-Nya yang dinyatakan dalam ciri tunggal, tak terceraikan dan
subur, perkawinan Kristiani berciri tunggal merupakan tanda kasih yang total
dimana keduanya saling memberikan diri secara utuh dengan kata lain tubuh
suami adalah milik istri dan tubuh istri adalah milik suami, keduanya bukan lagi
2) Indissolubilitas (tak-terputuskan)
Perkawinan mempunyai ciri tak-terceraikan berdasarkan hukum
kodratnya, karena menampakkan persatuan sempurna antara Kristus dan Gereja
seperti yang tertulis dalam (Ef 5: 32) yang berbunyi: “Rahasia ini besar, tetapi
yang aku maksud ialah hubungan Kristus dan jemaat”; perkawinan Kristiani
melambangkan kasih Allah kepada manusia maka cinta kasih suami-istri hendak
menampakkan cinta kasih yang setia yang dinyatakan dengan ciri tak terceraikan
karena Allah kita adalah Allah yang setia (Hadiwaryono, 2011: 61).
Kitab Suci Perjanjian Baru juga berbicara mengenai pekawinan yang
berbunyi “Bahwa seorang laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya untuk
bersatu dengan istrinya” (Mat. 19: 5) menunjukkan bahwa kesetiaan kepada
pasangan harus diutamakan di atas keluarga asalnya (Maureen & Lanny, 2008:
94); penulis maksudkan bahwa bila seorang bersedia untuk menikah hendaknya ia
telah siap dalam tugas dan tangung jawabnya dengan berani meninggalkan ayah
dan ibunya untuk tinggal bersama pasangan hidup yang telah ia pilih untuk hidup
bersatu membina rumah tangga yang sejahtera, hidup bersatu berarti segala yang
ada pada diri suami adalah milik istri dan segala kepunyaan yang ada pada diri
istri adalah milik suami sehingga keduanya menjadi kesatuan yang utuh dalam
B. PENGERTIAN PERKAWINAN USIA MUDA 1. Perkawinan Usia Muda
Dalam perkawinan usia dan kedewasaan menjadi hal yang hendak
diperhatikan bagi para calon pasangan suami-istri yang ingin melangsungkan
perkawinan. Hal ini menjadi pertimbangan karena kualitas akal dan mental yang
relatif tidak stabil memungkinkan salah satunya atau keduanya tidak dapat
mengontrol diri sendiri, kedewasaan dalam bidang fisik, biologis, sosial, ekonomi,
emosi, tanggung jawab dan keyakinan agama merupakan modal yang besar dan
berarti dalam upaya membangun rumah tangga yang sejahtera.
Perkawinan merupakan salah satu bagian penting di dalam kehidupan
masyarakat, umumnya seseorang yang sudah menikah pada usia berapapun
dianggap dan diperlakukan sebagai orang dewasa penuh baik secara hukum
maupun dalam kehidupan masyarakat dan keluarga. Dalam kenyataannya orang
yang secara umur berusia 24 tahun belum berarti dewasa baik secara sosial,
ekonomi yang berarti hidupnya masih ketergantungan dengan orang tua umumnya
belum memiliki pekerjaan dan belum memiliki hak penuh sebagai orang dewasa
secara adat atau tradisi serta belum bisa memberikan pendapatnya sendiri. Dengan
kata lain, orang-orang yang dengan batas usia 24 tahun belum dapat memenuhi
persyaratan kedewasaan secara sosial maupun psikolgis mereka masih dapat
digolongkan sebagai remaja (Sarlito, 2015: 19).
Perkawinan usia muda dapat didefinisikan sebagai ikatan antara seorang
laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami istri yang masih muda atau
11-24 tahun dan belum menikah untuk remaja Indonesia (Sarlito, 2015: 18).
Perkawinan usia muda adalah perkawinan yang melanggar syarat dan ketentuan
perkawinan yang menurut Undang-Undang Perkawinan pasal 7 ayat (1) No. 1
Tahun 1974 menyatakan, jika perempuan yang usianya kurang dari 16 tahun dan
laki-laki kurang dari 19 tahun tidak dapat melangsungkan perkawinan.
Perkawinan pada usia muda merupakan bentuk kegiatan yang sudah
dilaksanakan oleh masyarakat dengan dipengaruhi oleh banyak faktor salah
satunya adalah faktor keluarga dan kehendak bebas dari anak yang memutuskan
untuk menikah di usia muda, akan tetapi secara psikologis mereka yang berusia 16
tahun dan 19 tahun belum bisa dikatakan dewasa. Karena orang-orang yang belum
sampai batas usia 24 tahun belum dapat memenuhi persyaratan kedewasaan secara
sosial maupun psikologis mereka masih dapat digolongkan sebagai remaja
(Sarlito, 2015: 19). Dengan demikian perkawinan usia muda dapat diartikan
sebagai perkawinan yang dilaksanakan pada usia remaja yang belum memiliki
kesiapan atau kematangan fisik baik psikologis maupun sosialnya untuk
membangun hidup rumah tangga. Perkawinan usia muda adalah perkawinan
remaja dilihat dari segi usia belum cukup matang untuk membentuk sebuah
kelurga.
2. Usia yang Cukup untuk Menikah
Menurut definisi Organisasi Kesehatan Sedunia atau WHO (World
Health Organization) mangungkapkan bahwa, remaja adalah suatu masa di mana
sekundernya seperti tumbuh kumis, suara berubah (putra), menstruasi (putri) dan
lain-lain sampai ia mencapai kematangan seksual, dengan demikian remaja juga
dapat diartikan sebagai suatu masa di mana individu mengalami perkembangan
psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa (Sarlito, 2015:
12).
Masa remaja adalah masa transisi ke taraf kedewasaan yang merupakan
suatu periode transisi menuju perluasan dari masa individu menjadi matang secara
seksual dan untuk sampai pada kematangan sacara legal masa ini dimulai dari
masa pra-remaja (pueral; pra-puber) pada usia antara 10/11 tahun untuk putri dan
11/12 tahun untuk putra. Masa remaja berlangsung antara usia 11/12 tahun sampai
dengan18/19 tahun, dalam masa pubertas tersebut dari seluruh fase yang ada
kematangan ini adalah puncaknya. Remaja disebut dengan adolescent sedangkan
masanya disebut adolescence, puncak masa remaja disebut masa pubertas
(Supriyati, 2013: 12); dalam masa ini anak mengalami masa pertumbuhan dan
masa perkembangan fisik maupun psikis, mereka bukan lagi disebut anak-anak
baik bentuk badan atau cara berpikir dan bertindak tetapi bukan pula orang
dewasa yang telah matang.
Menurut Hurlock dalam Ali & Asrori (2015: 9) tentang psikologi
remaja, secara psikologis remaja adalah suatu usia di mana individu menjadi
terintegrasi ke dalam masyarakat dewasa, suatu usia di mana anak tidak merasa
bahwa dirinya berada di bawah tingkat orang yang lebih tua melainkan merasa
sama, atau paling tidak sejajar. Artinya remaja dikenal dengan masa pencarian jati
diperlakukan sebagai orang dewasa ternyata mereka belum dapat menunjukkan
sikap dewasa.
Masa remaja adalah masa pencarian jati diri dengan ego yang relatif
belum stabil, dengan rasa ingin tahu yang tinggi mereka sering memiliki
keinginan untuk mencoba-coba sesuatu yang baru untuk menjelajah dan
bertualang tetapi tidak semuanya tersalurkan, sehingga mereka mengalami
kegelisahan yang ditandai dengan angan-angan dan mengakibatkan diri mereka
diliputi perasaan gelisah, mereka juga berani melakukan pertentangan jika dirinya
merasa disepelekan dengan demikian mereka sangat memerlukan keteladanan,
konsisten, serta komunikasi yang tulus dan empatik dari orang dewasa (Ali &
Asrori, 2015: 16-17).
Perkawinan mengandaikan kedewasaan baik jasmani maupun psikologis
kedewasaan tersebut mulai nampak pada batas umur tertentu, telah ditetapkan di
dalam undang-undang perkawinan bahwa batas umur boleh menikah bagi
perempuan adalah 16 tahun sedangkakan bagi laki-laki ialah 19 tahun dan hukum
perkawinan Gereja memutuskan batas umur bagi seorang perempuan adalah 14
tahun dan bagi laki-laki 16 tahun, dengan alasan mereka hanya bertunangan dan
menunggu hingga baik laki-laki maupun perempuan sudah dewasa baik fisik dan
psikologinya baru bisa melangsungkan perkawinan. Tetapi di dalam masyarakat
umumnya perkawinan di usia muda masih banyak terjadi di desa-desa. Karena itu
batas umur 21 tahun mengartikan bahwa orang tua masih bertangungjawab atas
hidup dan perkembangan serta tindakan anak dari lahir sampai dengan mencapai
sendiri dan bertangung jawab penuh atas pilihan dan tindakan perbuatannya. Oleh
karena itu apabila anak laki-laki atau anak perempuan, meski telah boleh menikah
secara hukum bila belum mencapai umur 21 tahun, perlu mendapat izin atau restu
dari orang tua dan jika tidak mungkin pengadilan negeri setempat dapat
memberikan dispensasi (Soekanto & Soerjono, 1990: 15).
Setiap orang memiliki hak untuk melangsungkan perkawinan, tetapi
orang tersebut perlu dan wajib memenuhi syarat perkawinan sejauh tidak dilarang
hukum (KHK, 1058); kanon tersebut hendak menegaskan hak seseorang untuk
menikah (ius connubii) sebagai hak asasi dan fundamental manusia, hak ini
meliputi hak untuk melangsungkan perkawinan dan memilih calon pasangan
hidupnya secara bebas baik laki-laki dan perempuan, mempunyai hak dasariah
untuk menikah. Halangan nikah adalah semua halangan nikah yang sudah
ditentukan oleh hukum Gereja larangan nikah tersebut tidak bertujuan untuk
menghapus hak kodrati seseorang untuk menikah, tetapi untuk mengatur
pelaksanaannya dengan alasan supaya yang bersangkutan dapat menikah dan
menghidupi perkawinan sesuai dengan paham dan ajaran Gereja Katolik.
Para gembala jiwa-jiwa hendaknya berusaha menjauhkkan kaum muda
dari perayaan perkawinan sebelum usia yang lazim untuk melangsungkan
perkawinan menurut kebiasaan daerah yang diterima Kanon 1072 (PPK, 290).
Perkawinan anak-anak remaja atau mereka yang belum mencapai usia nikah, pada
umumnya harus terlebih dahulu meminta nasehat dan persetujuan orangtuanya.
Selain karena rasa hormat, juga karena nasehat orang tua akan sangat berguna
berkeluarga. Kewajiban ini merupakan suatu keharusan, jika orang tua tidak
mengizinkan sebaiknya pastor melihat alasan larangan itu, kalau memang masuk
akal, pastor semestinya mengingatkan kedua calon agar mengikuti nasehat
orangtuanya sebelum mendapat izin dari ordinaris wilayah, sebagaimana
dinormakan dalam Kanon 1071-§1.6°; sehubungan dengan kanon tersebut perlu
juga untuk memperhatikan Undang-undang Republik Indonesia No. 1 tentang
Perkawinan Sipil, pasal 6 (Rubiyatmoko, 2015: 55-56).
Dalam Kanon No. 1083-§1 ditetapkan bahwa laki-laki sebelum berumur
genap 16 tahun dan perempuan sebelum berumur genap 14 tahun tidak dapat
melangsungkan perkawinan yang sah, dengan alasan bahwa ini adalah halangan
nikah kodrati yaitu sejauh belum mencapai kematangan fisik dan psikis mereka
belum bisa melangsungkan perkawinan, syaratnya mereka hanya akan
bertunangan saja hingga keduanya dewasa secara fisik maupun psikis.
Kematangan fisik ditandai dengan alat reproduksi sudah bisa berfungsi untuk
melahirkan, kematangan psikis artinya mampu bertangungjawab atas perbuatan
dan hukumnya. Sedangkan menurut Undang-Undang Perkawinan Republik
Indonesia Tahun 1974 ayat (7) No. 1 ditetapkan batas umur untuk sahnya
perkawinan adalah 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan.
Sesesorang yang belum mencapai usia 18 tahun masih terhitung sebagai anak dan
masih berada dalam bimbingan dan perlindungan orang tua, keluarga, wali, orang
tua asuh, warga masyarakat dan pemerintah (UU RI No. 23 Pasal 1 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak). Dalam UU RI No. 23 Pasal 26 (1) c, ditegaskan
terjadinya perkawinan pada usia anak-anak, untuk melangsungkan perkawinan
seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dibutuhkan izin dari kedua orang
tuanya (UU RI No. 23 pasal 6 (2)).
Kristianto dalam Rukiyanto (2013: 106) membatasi usia perkawinan
dengan didasarkan pada alasan bahwa perkawinan menuntut kematangan secara
biologis-seksual, psikologis dan dimaksudkan agar yang bersangkutan siap dan
mampu menurut kodratnya terarah kepada kelahiran anak (tujuan prokreatif).
Menurut Undang-undang tahun 1974 mengatakan bahwa perkawinan itu sah
apabila telah disahkan oleh agama masing-masing, tetapi apabila perkawinan
tersebut hanya perkawinan adat, maka perkawinan itu tidak dapat dikatakan sah
sebab perkawinan tersebut belum di sahkan di dalam Gereja atau dalam agama.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkawinan di usia muda a. Faktor Kepribadian
Kepribadian adalah keseluruhan pola (bentuk) tingkah laku, sifat-sifat,
kebiasan, kecakapan, bentuk tubuh serta unsur-unsur psiko-fisik lainnya yang
selalu menampakkan diri dalam kehidupan seseorang (Ahmadi & Munawar, 2005:
158); Gereja mengajarkan bahwa perkawinan adalah persekutuan seluruh hidup
dan kasih mesra antara suami-istri (PPK, 8) yang terjadi dalam perkawinan adalah
persatuan dua insan (laki-laki dan perempuan) yang memiliki sikap dan karakter
yang berbeda-beda keduanya menjadi satu dalam prosesnya antara suami-istri ada
yang sudah matang dan siap untuk membangun sebuah rumah tangga dan ada
Dengan demikian pasangan suami-istri diharapakan mampu memahami
sifat dan karakter masing-masing dan memaknai arti perkawinan itu sendiri,
terkadang karena kepribadian yang belum dewasa setiap pasangan tidak akan
mampu menerima keunikan pasangannya apabila ketidakmampuan dalam
memahami keunikan pasangan masih terus berlangsung, maka persoalan dapat
muncul dalam kehidupan rumah tangga yang telah dibangun. Untuk itu,
suami-istri harus mempersiapkan segalanya dengan matang untuk saling percaya dan rela
mempertanggungjawabkan kekurangan dari masing-masing pribadi, saling
melengkapi satu sama lain sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan dan hidup
sejahtera.
b. Faktor Internal Keluarga
Sebagai komunitas mini, setiap anggota di dalam keluarga terjalin oleh
relasi yang bersifat personal dan fungsional, relasi personal adalah relasi antar
pribadi yang tidak didasarkan pada kedudukan atau fungsi seseorang, artinya
setiap orang dalam keluarga adalah setara, sedangkan relasi fungsional adalah
relasi yang muncul dari kedudukan atau fungsi seseorang dalam keluarga. Dalam
keluarga kedua relasi tersebut tidak dapat dipisahkan, sebab dalam hubungan
keluarga harus selalu ada dalam semangat menerima pribadi yang bermartabat
sama karena setiap pribadi memiliki hak asasi yang sama pula.
Suami-istri dipanggil untuk hidup dalam persekutuan yang bersifat
eksklusif dan tak terputuskan kecuali oleh kematian, dalam persekutuan tersebut
sebagai sakramen cinta kasih Allah yaitu sebagai tanda dan sarana kehadiran cinta
kasih Allah yang menyelamatkan. Tetapi perkembangan teknologi di zaman ini
dapat menghasilkan nilai positif dan negatif seperti kemudahan, kenyamanan dan
kecepatan dampak negatif dari teknologi adalah gaya hidup instan “sekali pakai
lalu buang” tidak berkesinambungan dengan munculnya hal-hal tersebut dapat
menimbulkan persoalan besar yang dapat mempengaruhi relasi suami istri seperti
ketidaknyamanan relasi mendorong mereka untuk melakukan perceraian (PPK,
20- 22).
Bila dianalisis dengan lebih saksama lagi faktor interen keluarga adalah
konflik secara verbal yang artinya kurangnya perhatian terhadap pasangan dan
anak-anak karena berbagai kesibukan pekerjaan yang tidak dibarengi dengan
komunikasi sehingga terjadi konflik verbal, perlu diketahui bahwa melalui konflik
ini dapat pula membuka sebuah pintu komunikasi antara suami-istri sehingga
keduanya dapat memaknainya sebagai suatu cara yang dipakai Allah untuk
mengajarkan kepada mereka tentang kerendahan hati untuk mau terbuka satu
dengan yang lain melalui komunikasi (Wright, 2013: 209).
c. Faktor Ekonomi
Manusia tidak dapat terlepas dari kehidupan dan pengolahan ekonomi,
karena manusia membutuhkan pangan, sandang dan papan, kesehatan pendidikan
serta fasilitas-fasilitas lainnya yang menunjang kehidupannya untuk hidup dan
berkembang, begitu juga dalam kehidupan rumah tangga ketika membagun
keluarga hal ini tidak dapat dipungkiri sebab masalah ekonomi kerap menjadi
masalah yang serius dalam kehidupan keluarga maupun masyarakat dan dunia.
Ekonomi adalah salah satu cara untuk mencapai kesejahteraan dengan
menyediakan produk barang dan jasa yang dilaksanakan berdasarkan prinsip
bahwa Allah menciptakan segala sesuatu untuk kesejahteraan semua orang, akan
tetapi sistem perekonomian dewasa ini belum mendukung tercapainya
kesejahteraan pada semua orang, semakin meluasnya kesenjangan antara yang
kaya dan yang miskin menjadi bukti bahwa kekayaan yang kita miliki belum
sepenuhnya memenuhi kepentingan masyarakat luas secara merata, sehingga
menimbulkan penderitaan pada banyak keluarga dan gejolak sosial lainnya.
Dengan semua masalah tersebut Gereja mengajak keluarga-keluarga
untuk merencanakan dan mengelola ekonomi rumah-tangganya dengan
memprioritaskan pemenuhan kebutuhan dasar bagi semua anggotanya,
mengembangkan pendidikan yang menekankan sikap hemat, sederhana,
menabung, menghindari sikap aji mumpung, sehingga biaya-biaya yang tak
terduga dapat tertangani; menjauhi sikap minimalis dengan membangun semangat
kerajinan dan kerja keras; membangun sikap solider dan semangat berbagi;
mengembangkan sikap jujur dan terbuka dalam hal keuangan rumah tangga.
Apabila hal ini dijalankan dengan baik yakinlah bahwa kehidupan ekonomi rumah
tangga keluarga akan selalu tercukupi (PPK, 39- 40).
d. Faktor Kekerasan dalam Rumah Tangga
Kekerasan dalam segala bentuk merupakan tindakan yang tidak selaras
dengan harkat dan martabat manusia demikian juga dalam kehidupan rumah
tangga kekerasan bisa saja terjadi, karena relasi dalam keluarga yang seharusnya
bersifat personal dan fungsional berubah menjadi relasi yang diwarnai konflik
kekerasan tersebut dapat berupa kekerasan fisik maupun psikis, seksual maupun
finansial, verbal maupun non-verbal hal tersebut dapat menyebabkan kehidupan
perkawinan yang dibangun atas dasar cinta kasih antara suami-istri menjadi
berantarakan sehingga mengakibatkan perkelahian yang berujuang pada
perceraian serta rasa trauma yang mendalam.
Dalam menghadapi masalah rumah tangga tersebut Gereja menasehati
keluarga-keluarga agar menghindari tindakan kekerasan terutama ketika terjadi
konflik atau persoalan yang sulit dan berat hendaknya suami-istri menyelesaikan
konflik dan pertentangan itu dalam semangat saling mengasihi dan menghargai,
ikut ambil bagaian dalam kegiatan Gereja dan masyarakat dalam upaya
menaggulangi budaya kekerasan dengan membantu korban kekerasan rumah
tangga dan menjadi teladan bagi hidup beriman Kristiani di tengah keluarga,
masayarakat dan Gereja (PPK, 47).
e. Alat komunikasi
Setiap makhluk adalah individu dan sebagai subjek yang saling
berkomunikasi, karena dengan berkomunikasi manusia dapat menciptakan
keterbelengguan, melestarikan kebudayaan sebagai identitasnya dan mengkritisi
dunia sekitarnya, supaya manusia hidup bahagia, untuk menghasilkan
komunikasi yang berdayaguna, manusia yang adalah makhluk individu dan
bersubjek itu membutuhkan media yang sesuai. Yaitu kesediaan dari
masing-masing individu untuk membuka diri menjalin interaksi dengan individu yang lain
supaya tercipta komunikasi yang berdayaguna dan menghasilkan keharmonisan di
dalam diri masing-masing individu, kelompok maupun masyarakat.
Perkembangan teknologi komunikasi sepertinya tidak bisa dibendung
lagi itu adalah salah satu proyek terbesar dunia yang dapat mempersatukan bahkan
dapat menjadi permusuhan dan persaingan yang besar hal itu tidak dapat
dipungkiri bahwa banyaknya teknologi komunikasi modern yang bermunculan
membawa dampak positif dan negatif, dampak negatif yang dapat dirasakan dari
teknologi komunikasi modern adalah tumbuhnya budaya individualisme,
konsumarisme dan budaya kekerasan, karena itu kita perlu mengembangkan sikap
kritis agar bisa memilah-milah antara dampak positif dan negatif, dengan
demikian melalui segala macam dan bentuk media semestinya manusia semakin
mencapai keinginan dasariah manusia yang sesungguhnya yaitu persaudaraan,
rekonsiliasi, keadilan kebebasan, harmoni, kesejahteraan damai dan cinta
(Iswarahadi, 2014: 9).
Komunikasi merupakan inti perkawinan, karena memberikan sebuah
pengalaman kesatuan yaitu keintiman suami-istri, kesatuan tersebut membuat
komunikasi merupakan tindakan kasih yang menciptakan kasih yang semakin
mendalam antara suami-istri (Tim Publikasi Pastoral Redemptorist, 2006: 27).
f. Sosial
Manusia sebagai individu pada hakikatnya adalah makhluk sosial karena
manusia harus bertangung jawab untuk bekerjasama dengan sesamanya dan saling
bergantung satu sama lain, bersosial berarti mau berinteraksi atau saling
berhubungan dengan manusia yang lainnya, sebab manusia tidak dapat hidup
sendiri, manusia sebagai individu selalu membutuhkan bantuan orang lain untuk
mendorong dan memperkembangkan kelangsungan hidupnya (Sugiyana, 2013:
67).
Gereja menegaskan dalam kehidupan bersama, manusia tidak dapat
memajukan martabat pribadi tanpa menunjukkan kepedulian kepada keluarga,
kelompok, paguyuban, komunitas baik kategorial maupun teritorial di dalam
masyarakat (Sugiyana, 2013: 74), sebab relasi-relasi tersebut di atas dapat
membantu setiap pribadi untuk tumbuh dan memperkokoh persekutuan antar
setiap pribadi, demikian dianjurkan dalam kehidupan bersama perlu
dikembangkan sikap saling mendukung, memajukan dan memperkembangkan
setiap pribadi di dalam keluarga, kelompok, dan paguyuban-paguyuban yang ada
di dalam masyarakat.
Begitu juga dalam hidup perkawinan suami-istri membutuhkan tujuan
hidup yang sama untuk mencapai kesejahteraan hidup di dalam keluarga dan