• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERMASALAHAN-PERMASALAHAN PERKAWINAN USIA MUDA YANG ADA DI PAROKI KELUARGA SUCI TERING KUTAI BARAT KALIMANTAN TIMUR SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PERMASALAHAN-PERMASALAHAN PERKAWINAN USIA MUDA YANG ADA DI PAROKI KELUARGA SUCI TERING KUTAI BARAT KALIMANTAN TIMUR SKRIPSI"

Copied!
186
0
0

Teks penuh

(1)

PERMASALAHAN-PERMASALAHAN PERKAWINAN USIA MUDA YANG ADA DI PAROKI KELUARGA SUCI TERING

KUTAI BARAT KALIMANTAN TIMUR

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Agama Katolik

Oleh:

Maria Dolorosa Tonis NIM: 121124031

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)

iv

PERSEMBAHAN

Skripsi ini dipersembahkan kepada

Mama Adelina Tonis dan bapak Welson Lawing (Alm),

bapak Nikolas Laki (Alm) dan mama Yuliana Taek,

mama Teriana dan bapak Murdian Tului,

kakak Elpidus Laki dan Emiliana Noi, adik Norce Sali dan Joni,

kakak Nofri dan Mega, Adik Ririn Maidiana dan Junaidi,

semua keluarga yang mendukung dan mendoakanku,

teman-teman angkatan 2012

dan

(5)

v MOTTO

Kebahagiaan adalah ketika apa yang anda pikirkan

Apa yang anda katakan dan apa yang anda lakukan,

Semua itu di dalam keharmonisan

(Mahatma Gandhi)

Demikianlah tinggal ketiga hal ini,

yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan

yang paling besar diantaranya ialah kasih.

(6)
(7)
(8)
(9)
(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha kasih dan penyayang, atas

segala rahmat dan kasih-Nya yang berlimpah penulis mampu menyelesaikan sripsi

yang berjudul PERMASALAHAN-PERMASALAHAN PERKAWINAN USIA MUDA YANG ADA DI PAROKI KELUARGA SUCI TERING KUTAI BARAT KALIMANTAN TIMUR, skripsi ini diajukan guna memberikan sumbangan pemikiran, gagasan dan ispirasi bagi siapapun yang

memiliki kerinduan dalam mengembangkan Gereja Katolik dimanapun berada.

Proses penyusunan skripsi ini, berjalan dengan lancar karena atas

dukungan dan kebaikan dari banyak orang, sehingga penulis mampu

menyelesaikan skripsi ini meskipun mengalami banyak kesulitan. Penulis

mengalami pendampingan, dukungan, motivasi dan perhatian yang diyakini

sebagai perpanjangan kasih dan karya Tuhan dalam membimbing serta

memampukan penulis menyelesaikan skripsi pada kesempatan ini, penulis juga

mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Dr. CB. Kusmaryanto, SCJ, selaku dosen pembimbing utama dan dosen

penelitian yang dengan setia meluagkan waktu untuk membimbing dan

mendampingi penulis dengan penuh perhatian dan kesabaran, memberi

masukan dan kritikan, sehingga penulis termotivasi dalam menyelesaikan

(11)

xi

2. Drs. L. Bambang Hendarto. Y., M. Hum, selaku dosen pembimbing akademik

dan dosen penguji II yang telah meluangkan waktu untuk mempelajari dan

memberi masukan sehubungan dengan skripsi ini.

3. Martinus Ariya, S.Pd., Mag. Theo selaku dosen penguji III yang telah

meluangkan waktu untuk mempelajari dan memberikan masukan demi

semakin baiknya skripsi ini.

4. Para dosen Program Studi Pendidikan Agama Katolik, Fakultas Keguruan

dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, yang telah

mendidik dan membimbing penulis selama belajar hingga selesainya skripsi

ini dengan penuh kasih.

5. Staf dan karyawan Program Studi Pendidikan Agama Katolik yang turut

memberi perhatian dan dukungan bagi penulis.

6. Dinas Pendidikan Daerah Kutai Barat, Kalimantan Timur yang telah memberi

kesempatan kepada penulis untuk mengembangkan diri melalui studi hingga

selesai.

7. Kepada Bapak, Ibu, kakak, adik dan seluruh keluarga yang telah memberikan

dukungan baik moral maupun materiil yang tiada hentinya dengan memberi

cinta dan perhatian serta doa kepada penulis hingga dapat menyelesaikan

studi.

8. Sahabat dan teman-teman angkatan 2012 yang telah memberi dukungan

selama bersama dalam studi.

9. Romo Thomas Lukas Atsui Wiyatngow, MSF, selaku pemimpin Paroki

(12)
(13)

xiii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN ... vii

ABSTRAK ... viii

BAB II. PERKAWINAN USIA MUDA DAN USIA PERKAWINAN... 13

A.PENGERTIAN PERKAWINAN PADA UMUMNYA DAN

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkawinan di usia muda ... 33

C. PENGERTIAN KEHARMONISAN KELUARGA ... 41

(14)

xiv

2. Faktor-faktor yang mendukung keharmonisan keluarga ... 43

BAB III. PENELITIAN PERKAWINAN USIA MUDA DI PAROKI KELUARGA SUCI TERING KUTAI BARAT KALIMANTAN TIMUR ... 46

A.PAROKI KELUARGA SUCI TERING ... 46

1. Sejarah Singkat Paroki Keluarga Suci Tering ... 46

2. Letak Geografis Wilayah Paroki Keluarga Suci Tering... 47

3. Gambaran Umum Paroki Keluarga Suci Tering ... 49

4. Keadaan Perkawinan Usia Muda di Paroki Keluarga Suci Tering .. 53

B. PENELITIAN PERKAWINAN USIA MUDA DI PAROKI KELUARGA SUCI TERING KUTAI BARAT KALIMANTAN TIMUR ... 55 KUTAI BARATKALIMANTAN TIMUR... 102

A. KETERBATASAN PENELITIAN ... 102

B. PENGOLAHAN HASIL PENELITIAN ... 103

1. Faktor pendukung ... 105

2. Faktor penghambat ... 110

(15)

xv

C.TEMA DAN TUJUAN PROGRAM REKOLEKSI ... 121

D. MATRIKS PROGRAM ... 126

E. GAMBARAN PELAKSANAAN PROGRAM ... 130

A.Contoh salah satu Pelaksanaan Program Pengantar dan Tema I “HakikatPerkawinan Kristiani” ... 132

BAB VII. PENUTUP ... 146

A. KESIMPULAN ... 146

B. SARAN ... 147

DAFTAR PUSTAKA ... 150

1. KITAB SUCI DAN DOKUMEN GEREJA ... 150

2. BUKU-BUKU ... 150

LAMPIRAN Lampiran 1 : Surat Permohonan Izin Penelitian ... (1)

Lampiran 2 : Surat telah Melakukan Penelitian ... (2)

Lampiran 3 : Kuesioner Penelitian ... (3)

Lampiran 4 : Salah Satu Contoh Jawaban Kuesioner dan Wawancara ... (6)

(16)

xvi

DAFTAR SINGKATAN

A. Singkatan Kitab Suci

Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti singkatan Kitab

Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dalam terjemahan baru yang

diselenggarakan oleh Lembaga Alkitab Indonesia, LAI, (2012).

Kej : Kejadian

KHK : Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonici), diundangkan oleh Paus

Yohanes Paulus II, 25 Januari 1983.

KWI : Konverensi Waligereja Indonesia

GS : Gaudium Et Spes (Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II tentang Gereja Dewasa ini, 21 November 1965)

AA : Apostolicam Actuositatem (Dekrit Konsili Vatikan II tentang Kerasulan

(17)

xvii KK : Kepala Keluarga

IRT : Ibu Rumah Tangga

SD : Sekolah Dasar

SMP : Sekolah Menengah Pertama

SMA : Sekolah Menengah Atas

D3 : Diploma Tiga

S1 : Strata Satu

Alm : Almarhum

Dll : Dan lain-lain

Jl : Jalan

Kec : Kecamatan

Kab : Kabupaten

RT : Rukun Tetangga

LCD : Liquid Crystal Display

SJ : Serikat Yesus

SCJ : Serikat Cinta Yesus

Pr : Projo

MSF : Missionarium a Sacra Familia (Misionaris Keluarga Kudus)

Dkk : Dan kawan-kawan

NTT : Nusa Tenggara Timur

Km : Kilometer

(18)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Perkawinan merupakan salah satu anugerah paling besar karena dihidupi

di dalam keharmonisan tetapi anugerah itu dapat menjadi suatu kekecewaan berat

bagi mereka yang menghampirinya secara tidak hormat atau mempersiapkannya

secara salah. Karena perkawinan yang berhasil dapat menjadikan suami-istri

bersemangat dan bertahan dalam menghadapi segala situasi yang masing-masing

anggota keluarga mampu menyikapi, membangun, menumbuhkan, merawat dan

memeliharanya.

Perkawinan menghadapi tantangan dan cobaan dari zaman ke zaman. Di

zaman modern ini, tantangan dan cobaan terhadap keutuhan perkawinan semakin

berat karena sikap individualisme, hedonisme, konsumerisme, sekuarisme, dan

pendewaaan nilai kebebasan yang dapat melunturkan nilai-nilai dalam hidup

perkawinan seperti kesatuan, kerukunan, kesabaran dan lain sebaginya (Purnomo,

2015: 10). Perkawinan usia muda sering mendapat tantangan dalam kehidupan

rumah tangga yang dapat berakibat terhadap pasangan suami-istri, anak-anak yang

dilahirkan dan orang tua masing-masing keluarga. Hal ini dapat disebabkan

karena baik fisik dan psikis pasangan suami-istri belum dewasa atau belum siap

untuk membina rumah tangga sehingga sering terjadi kesalahpahaman,

kecemburuan, komunikasi yang tidak lancar, marah, takut, khawatir dan saling

(19)

maka perkembangan mereka akan terhambat baik individu maupun sosialnya.

Emosi yang tidak stabil memungkinkan banyak pertengkaran dan mereka yang

bertengkar cenderung masih kekanak-kanakan artinya mereka belum mampu

mengendalikan emosi dengan baik, emosi yang tidak stabil biasanya ada pada

masa anak remaja atau orang muda. Masa remaja adalah masa transisi ke taraf

kedewasaan, masa remaja berlangsung antara usia 11/12 tahun sampai dengan

18/19 tahun, dalam usia tersebut mereka mengalami masa pertumbuhan dan

perkembangan fisik maupun perkembangan psikis. Mereka bukan lagi anak-anak

baik bentuk badan atau cara berpikir dan bertindak, tetapi bukan pula orang

dewasa yang telah matang (Supriyati, 2013: 12).

Perkawinan zaman ini kebanyakan dimulai dengan tingginya daya

romantisme, tetapi dalam kehidupan perkawinan romantisme saja tidak cukup

harus ada sebuah komitmen dan komitmen itulah selalu tidak ada pada orang

muda, sehingga menjelang perkawinan biasanya masing-masing dari mereka

hanya memiliki kesadaran yang dangkal mengenai keinginan, kebutuhan dan

pengharapan yang dimiliki pasangannya selama masa itu (setelah menikah) justru

kebutuhan yang tidak pentinglah yang mendapat perhatian (Wright, 2013: 116).

Cara berpikir yang romantisme sering kali membuat mereka buta. Artinya

perbedaan pengharapan tentang perkawinan karena orang muda sering mengalami

emosi yang tidak stabil dalam hal berkomitmen, hal ini akan membuat perkawinan

hanya sebatas pada romantisme. Komitmen adalah ikrar atau janji yang mengikat,

ikrar yang harus diwujudkan, bagaimanapun halangannya ini adalah penyerahan

(20)

Perkawinan bukan hanya sekedar menyatukan diri sebagai jawaban atas

permasalahan yang sedang dihadapi, seperti memenuhi kebutuh lahiriah semata

tetapi lebih dari itu perkawinan merupakan sebuah ikatan lahir-batin antara

seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami-istri dengan tujuan

membentuk keluarga, melahirkan anak, membangun hidup kekerabatan yang

bahagia dan sejahtera (PPK, 7).

Dengan demikian perkawinan hendaknya dipandang sebagai pintu

menuju pengembangan diri pengembangan yang dimaksud adalah pertama-tama

dimensi spiritual, karena tujuan dasar perkawinan bukanlah untuk memasukkan

dua ego ke dalam “perkumpulan orang-orang yang saling mengagumi” dan bukan

sekedar untuk memperbanyak keturunan, tetapi perkawinan diarahkan untuk

pencapaian tujuan hidup yang mendasar bagi setiap pribadi, yaitu memperluas

kesadaran manusia yang terbatas menuju kesadaran universal (Walters, 2006: 35).

Kesadaran universal yang dimaksud adalah masing-masing pribadi diarahkan

untuk memahami makna tujuan perkawinan yaitu demi kesejahteran suami-istri,

anak-anak dan pendidikan anak, serta membangun kerukunan dalam hidup

bermasyarakat.

Hidup perkawinan Kristiani tidak terlepas dari persoalan hidup berumah

tangga, baik itu perkelahian, kesalahpahaman, perbedaan pendapat dan lain

sebagainya, hal tersebut berdampak pada penurunan nilai kesadaran suami-istri

akan tujuan perkawinan. Pada intinya tujuan perkawinan diarahkan untuk

mengembangkan dan memurnikan cinta kasih suami-istri menuju kesejahteraan

(21)

pula dalam hidup perkawinan orang yang ingin membangun hidup rumah tangga

harus tahu tujuan dari perkawinan itu sendiri, karena mengambil keputusan untuk

menikah adalah sebuah tanggung jawab yang sangat besar, tanggung jawabnya

yaitu pemberian seluruh diri untuk mensejahterakan keluarganya bagaimanapun

halangannya. Melalui pengalaman emprik peneliti pernah hidup dalam sebuah

keluarga dan dekat dengan sejumlah keluarga, mendengarkan cerita hidup

perkawinan mereka terutama hidup perkawinan keluarga muda, mulai dari yang

menyenangkan sampai dengan cerita yang menyedihkan seperti merasa putus asa

dan tidak mampu mempertahankan hidup rumah tangganya hingga ada niat untuk

berpisah, selain itu peneliti juga mengalami sendiri bagaimana hidup perkawinan

orang tua mengalami kehancuran yang berujung pada ambang perceraian.

Ungkapan untuk menyejahterakan mudah dikatakan, tetapi kenyataan

dalam menjalankannya sangat sulit hal ini yang menjadi persoalan bahwa hidup

perkawinan itu tidak mudah hal tersebut bisa dapat terjadi karena ketidak

mampuan pasangan suami-istri untuk keluar dari masa krisis dan tidak mampu

mengatasi kekecewaan, kejengkelan, keputusasaan dalam menghadapi pasangan

mereka sehingga akhirnya mereka memilih untuk berpisah.

Tahun 1974 di Indonesia telah merumuskan Undang-Undang perkawinan

yang dikenal dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

yang berbunyi: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan

seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah

(22)

Artinya tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang

bahagia, kekal dan sejahtera dengan demikian kesejahteraan dalam perkawinan

tidak dapat diharapkan dari mereka yang kurang matang baik fisik, emosional,

kedewasaan dan tanggung jawab, syarat perkawinan dalam Undang-Undang

perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang kematang bagi calon suami-istri

tercantum dalam pasal 7 ayat (1), bahwa pekawinan hanya diizinkan jika pihak

laki-laki telah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita berusia 16 tahun (Asmin

1986: 18-22). Dalam Kanon 1083:§1 ditetapkan bahwa laki-laki sebelum berumur

genap 16 tahun dan perempuan sebelum berumur genap 14 tahun tidak dapat

melangsungkan perkawinan yang sah. Meskipun batas perkawinan telah

ditetapkan dalam pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan

dalam Kanon 1083:§1. Tetapi dalam prakteknya masih banyak dijumpai

perkawinan pada usia muda masih sangat tinggi.

Perkawinan usia muda dapat didefinisikan sebagai ikatan lahir batin

antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami istri yang

masih remaja, orang yang digolongkan sebagai remaja adalah mereka yang

berusia 11 sampai dengan 24 tahun dan belum menikah untuk remaja Indonesia

(Sarlito, 2015: 18).

Paroki Keluarga Suci Tering merupakan salah satu paroki tertua di

Kalimantan Timur, di sini tonggak sejarah perkembangan misi Gereja Katolik

oleh para misionaris MSF. Awal mulanya pusat misi berada di Paroki Hati Kudus

Yesus, Laham dan karena mempertimbangkan keadaan geografis untuk akses

(23)

pusat misi para misionaris MSF hingga saat ini. Pusat paroki terletak di tepi

sungai Mahakam, jaraknya ±50 meter dari tepi sungai Mahakam. Paroki Keluarga

Suci Tering memiliki ±1.898 kepala keluarga dan secara keseluruhan umat

berjumlah ±7.823 jiwa termasuk anak-anak, remaja, dewasa dan orang tua dari

sekian banyaknya umat di Paroki Keluarga Suci Tering yang telah menikah di

tahun 2016 ini ±63 pasang dan yang menikah di usia muda berjumlah ±10 pasang.

Berdasarkan data yang diperoleh dari paroki, umat Paroki Keluarga Suci

Tering sangat pasif, dimana umat mempercayakan seluruh kegiatan yang

berkaitan dengan gereja diserahkan kepada pastor atau pelayan pastoral yang lain.

Umat kurang semangat untuk aktif dalam kehidupan menggereja dan tidak peduli

dengan kebutuhan rohani, dapat disimpulkan bahwa pemahaman umat tentang

perkawinan masih sangat minim, hal tersebut membuktikan bahwa perkawinan

usia muda masih saja terjadi. Mereka yang cendrung menikah di usia muda

banyak terdapat di daerah pedalaman yang sulit dijangkau hal ini bisa saja terjadi

karena keadaan ekonomi keluarga, pergaulan bebas dan lain-lain. Dalam hal ini

umat diharapkan sadar, terutama orang-orang muda untuk memahami tentang

resiko-resiko dari perkawinan usia muda, kesadaran umat sangat penting karena

kesadaran dapat merubah hidup seseorang menjadi lebih baik terutama dalam

memperkembangkan masa sepan bangsa dan Gereja.

Beberapa fenomena perkawinan usia muda menunjukkan bahwa

keluarga-keluarga Kristiani belum menghayati secara utuh hidup perkawinan

dalam menyejahterakan dan membahagiakan keluarga. Kesadaran dan

(24)

sebuah ikatan perkawinan keluarga Kristiani, kesejahteraan suami istri memang

bukanlah hal yang mudah untuk dilaksanakan dan dihidupi, tetapi kesejahteraan

itu tetap merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan perkawinan di

mana kesejahteraan itu menjadi tolak ukur kehidupan perkawinan yang bahagia

dan sejahtera.

Dari latar belakang di atas mengenai beberapa permasalahan perkawinan

usia muda dan kesejahteraan suami istri adalah sangat perlu dan penting.

Mengingat perkawinan usia muda sering mengalami ketidakbahagiaan dan

kesejahteraan dalam rumah tangga, maka bisa dikatakan hal ini menjadi salah satu

persoalan umat di Paroki Keluarga Suci Tering. Mereka yang menikah di usia

muda cenderung mengalami ketidakharmonisan dalam keluarga di mana

keduanya masih memiliki ego yang tidak stabil dalam memaknai sebuah

persoalan, maka penulis memutuskan untuk mengangkat topik perkawinan usia

muda sebagai topik utama dalam seluruh pembahasan skripsi, berdasarkan uraian

dalam latar belakang tersebut di atas, maka penulis menyusun skripsi ini dengan

judul “Permasalahan-Permasalahan Perkawinan Usia Muda yang ada di

(25)

B. RUMUSAN PERMASALAHAN

Bedasarkan uraian latar belakang permasalahan di atas, maka penulis

dapat mengemukakan beberapa rumusan permasalahan penelitian sebagai berikut:

1. Apa itu perkawinan usia muda ?

2. Apa permasalahan perkawinan usia muda yang mendukung dan yang tidak

mendukung yang ada di Paroki Keluarga Suci Tering Kutai Barat

Kaliamantan Timur?

3. Upaya apa yang dilakukan untuk membantu keluarga muda Katolik dalam

menyelesaikan problematika rumah tangga di Paroki Keluarga Suci Tering

Kutai Barat Kalimantan Timur?

C. TUJUAN PENULISAN

Dalam skripsi ini ada beberapa tujuan yang ingin dicapai diantarnya

adalah sebagai berikut:

1. Memperdalam pemahaman tentang perkawinan usia muda.

2. Mengetahui dan memahami apa saja permasalahan perkawinan usia muda di

Paroki Keluarga Suci Tering Kutai Barat Kalimantan Timur.

3. Mengetahui dan menemukan cara dalam mengatasi problematika rumah

tangga keluarga muda dalam terang Injil demi tercipta keluarga Kristiani

(26)

D. MANFAAT PENULISAN 1. Bagi umat

Menambah pengetahuan empirik tentang permasalah-permasalahan

perkawinan usia muda dan pengaruhnya terhadap keluarga Kristiani. Selain

itu juga diharapkan umat dapat menanamkan sikap sosialis untuk mencegah

terjadinya perkawinan usia muda.

2. Bagi Paroki Keluarga Suci Tering

Membantu paroki untuk berpastoral bagi orang muda atau anak-anak remaja

agar menghindari perkawinan usia muda. Membantu paroki dan

pasangan-pasangan yang akan menikah untuk memahami arti perkawinan dan tujuan

perkawinan Kristiani.

3. Bagi peneliti

Dapat mengetahui secara lebih mendalam tentang

permasalahan-permasalahan perkawinan usia muda dalam keluarga Kristiani yang

berpengaruh terhadap keluarga Kristiani, dengan mengetahui dan memahami

peneliti dapat mencegah perkawinan usia muda dan membantu meringankan

problematika rumah tangga keluarga muda dengan berpastoral atau

berkatekese.

4. Bagi Universitas Sanata Dharma

Sebagai tambahan sumber bacaan bagi perpustakaan Universitas Sanata

(27)

E. METODE PENULISAN

Metode penulisan yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif

dengan memanfaatkan studi pustaka dan penelitian lapangan. Penelitian kualitatif

yaitu sebagai prosedur penelitian yang mengjhasilkan data deskriptif berupa

kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati (Moleong,

1989: 3). Sedangkan studi pustaka dan penelitian lapangan yaitu dengan

menggunakan kuesioner dan instrumen wawancara yang topiknya bersumber dari

rumusan masalah, penulis membahas hasil penelitian dan menarik kesimpulan

terhadap penelitian tersebut, penulis memanfaatkan studi pustaka untuk

mendukung pembahasannya untuk memperkuat teori.

F. SISTEMATIKA PENULISAN

Judul skripsi ini adalah permasalahan-permasalahan perkawinan usia

muda yang ada di Paroki Keluarga Suci Tering Kutai Barat Kalimantan Timur.

Berikut penulis menguraikan gambaran umum mengenai sistematika penulisan

yang hendak dibahas dalam penulisan skripsi:

Bab I menguraikan pendahuluan, meliputi: latar belakang penelitian,

rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode dan sistematika

penulisan.

Bab II penulis menguraikan kajian pustaka tentang perkawinan usia

muda dan usia perkawinan, meliputi: deskripsi perkawinan pada umumnya,

perkawinan Katolik, perkawinan usia muda, tujuan perkawinan, ciri-ciri

(28)

pendukung dan faktor penghambat yang memperngaruhi perkawinan usia muda

dalam mewujudkan perkawinan yang harmonis, antara lain: faktor kepribadian,

internal keluarga, ekonomi, kekerasan dalam rumah tangga, alat komunikasi,

iman, dan sosial.

Bab III berisikan penelitian perkawinan usia muda di Paroki Keluarga

Suci Tering Kutai Barat Kalimantan Timur terhadap pasangan suami-isri Katolik

yang usia perkawinan 1 sampai dengan 5 tahun, meliputi: sejarah singkat Paroki

Keluarga Suci Tering, gambaran umum paroki, keadaan perkawinan usia muda di

Paroki Keluarga Suci Tering, jenis penelitian, variabel penelitian, instrumen

penelitian, waktu dan tempat, populasi dan sampel, teknik analisis serta hasil

penelitian.

Bab IV berisikan keterbatasan penelitian dan pengolahan hasil penelitian

tentang permasalahan-permasalahan perkawinan usia muda yang ada di Paroki

Keluarga Suci Tering Kutai Barat Kalimantan Timur dengan mendeskripsikan

penelitian dan mungulasnya secara mendalam.

Bab V berisikan usulan program katekese dengan model rekoleksi bagi

pasangan suami-istri yang menikah di usia muda dalam kurun waktu 1 sampai

dengan 5 tahun di Paroki Keluarga Suci Tering Kutai Barat Kalimantan Timur,

meliputi: latar belakang pemilihan program, usulan program dalam bentuk

rekoleksi, tema dan tujuan program rekoleksi, matriks program, gambaran

pelasanaan program, contoh pelaksanaan program.

(29)

Demikian proses berpikir penulis yang dituangkan dalam skripsi ini.

Penulis berharap penulisan mengenai permasalahan-permasalahan perkawinan

usia muda berguna bagi pasangan keluarga muda khususnya Gereja dan pada

(30)

BAB II

PERKAWINAN USIA MUDA DAN USIA PERKAWINAN

A. PENGERTIAN PERKAWINAN PADA UMUMNYA DAN PERKAWINAN MENURUT GEREJA

1. Perkawinan pada umumnya

Di Indonesia sejak tahun 1974 telah dirumuskan undang-undang

perkawinan yang dikenal dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan yang berbunyi:

“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”

Menurut Sadjono dalam Asmin (1986: 19) “ikatan lahir” berarti berarti

dalam batin suami-istri yang bersangkutan terkandung niat yang sungguh-sungguh

untuk hidup bersama sebagai suami istri dengan tujuan membentuk dan membina

keluarga yang bahagia dan kekal, ikatan tersebut prinsipnya mengandung asas

monogam. Artinya perkawinan sah terjadi apabila yang melangsungkan

perkawinan itu ialah seorang laki-laki dan seorang perempuan dan perkawinan sah

dilakukan menurut hukum masing-masing agama atau kepercayaan diluar itu tidak

sah (PPK 2011: 7). Perkawinan bersifat monogam memiliki arti bahwa

perkawinan itu hanya sah apabila dilaksanakan oleh seorang laki-laki dan seorang

perempuan dan yang bersifat kekal artinya tak terceraikan bahwa perkawinan

yang telah dilangsungkan secara sah tidak dapat diceraikan atau diputuskan oleh

(31)

Perkawinan adalah sebuah ikatan lahir-batin antara seorang laki-laki dan

seorang perempuan sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga,

melahirkan anak, membangun hidup kekerabatan yang bahagia dan sejahtera

(PPK, 7), perkawinan dipandang sebagai ikatan lahir-batin dengan tujuan

membentuk keluarga dan melahirkan anak serta hidup bahagia, maka perkawinan

layaknya diartikan sebagai lembaga yang suci dengan memiliki tujuan yang jauh

lebih tinggi daripada sekedar pemenuhan kepentingan diri (Walters, 2006: 159).

Jika perkawinan tidak dipandang sebagai lembaga yang suci demi perkembangan

diri yang jauh lebih tinggi, hal ini bisa menjadi rintangan untuk terwujudnya

kebahagiaan sejati (harmonis), pasangan yang menikah hanya demi pemuasan diri

sendiri akan lebih mengikat dan membatasi diri sendiri serta memperkuat ego

dengan demikian perkawinan yang dibangun tidak akan bertahan.

a. Tujuan Perkawinan pada Umumnya

Setiap orang memiliki tujuan hidupnya masing-masing, demikian juga

hidup perkawinan perlu ada tujuan hidup yang jelas, karena setiap orang memiliki

tujuan hidupnya masing-masing tentu seorang laki-laki dan seorang perempuan

memiliki tujuan hidup yang berbeda-beda tetapi karena telah disatukan dalam

sebuah perkawinan selayaknya tujuan yang berbeda itu harus dibulatkan agar

menjadi satu tujuan yang sama untuk membentuk hidup rumah tangga yang

bahagia.

Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, pasal 1 pada anak kalimat

(32)

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Rumusan tersebut

mengandung harapan bahwa dengan melangsungkan perkawinan akan diperoleh

suatu kebahagia artinya kebahagiaan yang ingin dicapai bukanlah kebahagiaan

yang sifatnya sementara saja, tetapi kebahagiaan kekal membangun hidup rumah

tangga yang bahagia dan kekal harus didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa,

pandangan ini sejalan dengan sifat religious dari bangsa Indonesia yang mendapat

realisasinya di dalam kehidupan beragama dan bernegara (Asmin, 1986: 20).

Tujuan yang tidak sama antara pasangan suami-istri akan menjadi

sumber permasalahan dalam keluarga, karena jika salah satunya ingin hidup

bahagia dengan melahirkan, menjalin kekerabatan dan membentuk keluarga yang

bahagia sedangkan salah satunya hanya ingin hidup bersama untuk memenuhi

kebutuhan biologisnya semata, maka akan sangat sulit bagi pasangan tersebut

untuk mencapai tujuan perkawinan yang bahagia dan kekal.

Tidak mudah tetapi tidak berarti tidak dapat dilaksanakan, karena itu

perlu ditekankan bahwa antara suami dan istri demi untuk membentuk keluarga

yang bahagia dan kekal selamanya perlu mempersatukan tujuan yang ingin

dicapai dalam perkawinan dan harus sungguh-sunghuh diresapi dan disadari

bahwa tujuan itu akan dicapai secara bersama-sama, bukan hanya oleh suami atau

istri saja. Karena tanpa ada kesatuan tujuan dan tanpa adanya kesadaran bahwa

tujuan harus dicapai bersama-sama, maka dapat kita bayangkan bahwa keluarga

itu akan mudah mengalami hambatan-hambatan yang akhirnya membawa mereka

jauh dari kebahagiaan, karena tujuan perkawinan merupakan titik tujuan bersama

(33)

2. Perkawinan Katolik

Perkawinan memurut Kitab Suci, menjadi suami-istri berarti suatu

kebutuhan total dalam kehidupan seseorang dimana keduanya saling

membutuhkan satu sama lain, Kitab Kejadian mengatakan: “Sebab itu seorang

laki-laki akan meninggalkan ayah-ibunya dan bersatu dengan istrinya sehingga

keduanya menjadi satu daging (Kej. 2:24)”.

Perikop ini menceritakan kesatuan antara dua pribadi yang mana seorang

laki-laki dan seorang perempuan memulai hidup baru sebagai suami-istri,

demikian hendak ingin diungkapkan bahwa perkawinan Katolik adalah

perkawinan yang sifatnya satu atau monogam (Iman Katolik, 2012: 435). Menjadi

satu daging merupakan unsur utama dalam sebuah perkawinan, kesatuan tersebut

bukan soal “kontrak” atau janji semata, lebih dari itu keduanya menjadi manusia

baru yang bersatu meliputi seluruh hidup jiwa dan badan.

Perkawinan adalah ikatan yang mempersatukan antara seorang laki-laki

dan seorang perempuan ikatan tersebut menyatukan keduanya dalam hal fisik,

emosi, rohani, kekuatan, kelemahan dan lain sebagainya. Karena itu mereka

sungguh-sungguh menjadi satu manusia baru dan dalam kesatuan tersebut mereka

harus menyadari bahwa Kristus sendiri yang telah mempersatukan mereka dalam

ikatan perkawinan. Dengan demikian kesatuan mereka adalah menjadi wakil

Allah di dunia yang melaksanakan mandat dari Allah, yaitu berkembang dan

beranak cucu, perempuan menjadi patner bagi laki-laki untuk melahirkan

(34)

Hakikat perkawinan adalah sebuah perjanjian (foedus, consensus,

convenant) merupakan tindakan kemauan antara seorang laki-laki dan seorang

perempuan untuk kebersamaan seluruh hidup Kitab Hukum Kanonik

menjelaskan:

“Perjanjian (foedus) perkawinan, dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk antara mereka persekutuan (consortium) seluruh hidup, yang menurut ciri kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum) serta kelahiran dan pendidikan anak, antara orang-orang yang dibabtis, oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen (Kanon No 1055-§1)”.

Arti perjanjian nikah adalah tindakan kemauan untuk saling memberi dan

menerima dalam Kitab Hukum Kanononik 1057-§1-2 menjelaskan:

“Kesepakatan pihak-pihak yang dinyatakan secara legitim antara orang-orang yang menurut hukum mampu, membuat perkawinan: kesepakatan itu tidak dapat diganti oleh kuasa manusia manapun §2 Kesepakatan perkawinan adalah tindakan kehendak dengan seorang laki-laki dan seorang perempuan saling menyerahkan diri dan saling menerima untuk membentuk perkawinan dengan perjanjian yang tidak dapat ditarik kembali”.

Kanon-kanon ini hendak menjelaskan bahwa perjanjian tersebut adalah

tindakan kemauan untuk saling memberi dan menerima sejauh laki-laki dan

perempuan yang hendak menikah membuat kesepakatan yang muncul dari

keinginan sendiri dan bukan dari kehendak orang lain, karena kesepakatan

tersebut tidak dapat digantikan oleh kuasa manapun.

Tuhan yang telah menciptakan manusia karena cinta dan memanggil

manusia untuk mencinta, merupakan suatu panggilan kodrati dan mendasar dari

setiap manusia (KGK 1604, 7) Gereja mengajarkan bahwa perkawinan adalah

(35)

Pencipta dan dikukuhkan dengan hukum-hukum-Nya dan Allah sendirilah

pencipta Perkawinan (GS, 48). Dengan demikian perkawinan dipandang sebagai

suatu ikatan suci demi kesejahtraan suami-istri dan kelahiran anak serta

pendidikan anak dan tidak hanya tergantung pada kemauan manusiawi

semata-mata, tetapi juga kehendak Allah (PPK, 8 b) yang artinya mereka hendaknya

memandang perkawinan itu sebagai cinta kasih Allah kepada umat-Nya.

Kekhasan perkawinan Katolik berbeda dengan perkawinan pada

umumnya (formacanonica) contohnya pada Kanon 1108-§1:

“Perkawinan hanyalah sah bila dilangsungkan dihadapan Ordinaris wilayah atau Pastor-pastor atau imam atau diakon yang diberi delegasi oleh salah satu dari mereka itu, yang meneguhkannya, serta dengan tetap berlaku kekecualian-kekecualian yang disebutkan dalam kanon-kanon 144, 1112, §1, 1116 dan 1127 §1-2”.

Kanon No 1108-§1 memberikan prinsip umum untuk sahnya tata peneguhan

nikah orang Katolik, yaitu perkawinan harus dilangsungkan dihadapan: ordinaris

wilayah atau pastor paroki atau seorang imam atau diakon yang mendapatkan

delegasi atau dari ordinaris wilayah atau dari pastor paroki. Mereka ini adalah

saksi resmi (testis qualificatus) yang bertugas untuk meneguhkan perkawinan,

sebab tanpa mereka perkawinan itu tidak akan terlaksana dan tidak dapat

dikatakan sah dalam Gereja.

Perkawinan adalah kesepakatan nikah antara masing-masing pribadi

yaitu antara seorang laki-laki dan perempuan untuk menumbuhkan dan

mengembangkan kemampuan serta bakat yang dimiliki, juga dipandang sebagai

salah satu sekolah Allah yang terbaik, dapat menjadi tempat suami-istri

(36)

berpadu semakin mendalam, halus, penuh kasih sayang dan memuaskan

keduabelah pihak.

Perkawinan dapat diartikan sebagai sebuah komitmen yang mencakup

tiga pribadi, yakni suami, istri dan Yesus Kristus, karena perkawinan adalah ikrar

untuk saling setia dan tunduk satu sama lain (Wright, 2013:11-12). Firman Allah

menunjukkan bahwa komitmen perkawinan itu kudus sekaligus praktis dimana

Allah menggunakan hubungan perkawinan untuk menggambarkan hubungan-Nya

dengan Gereja sebagai mempelai wanita-Nya dan berkomitmen untuk mencintai

tanpa syarat.

a. Tujuan Perkawinan Katolik

Tujuan perkawinan Katolik kurang lebih sama dengan tujuan perkawinan

pada umumnya yaitu demi kesejahteraan keluarga, tetapi lebih dari itu tujuan

perkawinan Katolik lebih dirincikan lagi seperti yang tertulis di dalam Kitab

Hukum Kanonik: “Menurut ciri kondratinya terarah pada kesejahteraan suami istri

(bonum coniugum) serta kelahiran dan pendidikan anak (KHK 1055-§1)”.

Tujuan pertama yaitu kesejahteraan suami-istri artinya kesejahteraan

lahiriah berupa (pangan, sandang, papan) dan kesejahteraan batiniah berupa

(mapan, harmoni, kecocokan hati) suami-istri adalah pasangan atau patner hidup

yang diberikan oleh Tuhan sendiri sebagai tanda cinta-Nya, maka sebagai wujud

syukur suami-istri diharapkan saling mencintai satu sama lain dengan sepenuh

hati sampai akhir hidup artinya cinta dan kesetiaan masing-masing adalah sebagai

(37)

anak artinya dengan perkawinan keduanya terbuka terhadap keturunan, mendidik,

membersarkan anak, dengan demikian tujuan perkawinan diarahkan untuk

mengembangkan dan memurnikan cinta kasih suami-istri menuju kesejahteraan

dan kebahagiaan hidup bersama (GS, 49).

Tujuan perkawinan berarti suami-istri tidak hanya sekedar membentuk

sebuah persekutuan hidup dalam ikatan perkawinan, tetapi demi kebahagiaan dan

kesejahteraan keduanya serta terbuka pada kelahiran anak dan pendidikan anak

(Rubiayatmoko, 2015: 19), secara singkat tujuan perkawinan dapat dijelaskan

sebagai berikut:

1) Demi Kebahagiaan atau Kesejahteraan Suami-Istri

Kristianto dalam Rukiyanto (2013: 92) merumuskan perkawinan

bertujuan untuk mengembangkan dan memurnikan cinta kasih suami-istri,

kebahagiaan, kesejahteraan, kedamaian, keharmonisan, kesetiaan, serta keutuhan

adalah tanda otentik cinta suami-istri yang sungguh hidup dan berkembang

semakin murni, cinta yang demikian mampu memperkaya dan mempersatukan

keakraban suami-istri, untuk terciptanya suasana yang dengan demikian dapat

diupayakan melalui tujuan yang sekunder dalam perkawinan, bersifat sekunder

artinya memperoleh keturunan, pemenuhan kebutuhan seksual, serta mencapai

kesejahteraan hidup baik sosial, ekonomi, material, rohani dan lain-lain.

Perkawinan adalah jalan kepenuhan hidup kasih dan hidup Kristiani yang

menggambarkan hubungan Kristus dan Gereja. Agar cinta kasih suami-istri

(38)

masing-masing orang tua dan Gereja, supaya menjadikan hidup perkawinan lebih

berarti dan bermakna bagi keduanya juga diharapkan sebuah sikap yang dewasa.

Kepenuhan hidup Kristiani berarti keduanya memiliki komitmen untuk disatukan

dalam perayaan Ekaristi. Kedepannya hidup perkawinan tidak terlepas dari

tantangan, untuk menyikapi setiap problematika kehidupan rumah tangga, tetapi

yakinlah bahwa ada keluarga, teman dan Gereja yang siap untuk mendampingi

sehingga kehidupan perkawinan yang dibangun itu tumbuh menjadi keluarga yang

bahagia dan sejahtera dengan segala isinya menjadi sempurna.

Kesejahteraan suami-istri adalah kesejahteraan keluarga dimana keluarga

adalah tempat pembentukan manusia atau lebih tepatnya memanusiakan manusia.

Di dalam lingkungan keluarga semua anggota mulai dari anak-anak sampai

dengan kakek-nenek diharapkan tumbuh dan berkembang dengan saling

membantu demi terciptanya cinta kasih dan memiliki relasi yang erat satu dengan

yang lain (GS, 52).

Kesejahteraan keluarga dan kesejahteraan masyarakat pada umumnya

sangat erat hubungannya yang artinya nilai yang diterima dari dalam keluarga

akan terpantul di dalam masyarakat, pengalaman yang baik dan buruk dalam

keluarga akan sangat mempengaruhi tindakan seseorang dalam masyarakat.

Keluarga adalah pendidik utama, tetapi pendidikan yang perlu

ditanamkan oleh orang tua bukan pertama-tama pengetahuan dan

perintah-perintah malainkan teladan dan sikap termasuk cara berpikir, cara berbicara,

sopan santun, devosi, iman dan sebagainya. Sebab anak adalah peniru yang handal

(39)

bahwa orang tuanya hidup rukun, saling memperhatikan, ramah, sopan, hangat

dan penuh kasih, karena itu sangat pentinglah keluarga sebagai sekolah, harus

memiliki suasana yang dapat membuat para anggotanya itu merasa nyaman (sweet

home) (Budyapranata, 1979: 7).

2) Keterbukaan pada Kelahiran Anak (Bonum Prolis)

Tujuan ini secara spontan disadari oleh setiap orang yang hendak

menikah pada umumnya mereka yang hendak menikah bertujuan untuk

memperoleh keturunan (anak) tujuan ini dianggap sebagai tujuan hakiki dari

perkawinan oleh masyarakat umumnya, tetapi perlu diketahui bahwa dengan

menekankan hubungan pribadi antara suami-istri, Konsili Vatikan II mengoreksi

pandangan dari masa lampau, yang menganggap bahwa perkawinan bukan hanya

untuk melahirkan keturunan sebagai tujuan dalam perkawinan “Perkawinan

diadakan bukan hanya demi adanya keturunan saja” (GS, 50).

Hubungan seksual antara suami-istri mempunyai nilai yang tidak hanya

berkaitan dengan prokreasi (untuk menurunkan anak) tetapi dalam status hidup

dan kedudukannya suami-istri mempunyai karunia yang khas di tengah umat

Allah (LG, 11), sebagai orang tua ayah dan ibu bagi anak-anak yang dilahirkan

diajak untuk bersedia penuh keberanian bekerjasama dengan cinta kasih Sang

Pencipta dan Penyelamat yang melalui mereka makin memperluas dan

memperkaya keluarga-Nya dalam hidup saling berdampingan dan penuh kasih.

Prokreasi bukan tujuan tunggal atau utama perkawinan tetapi tetap

(40)

peristiwa pribadi yang dijalankan oleh pasangan suami-itri dengan penuh hormat

yang telah direncanakan oleh keduanyaa dengan tanggung jawab penuh demikian

hendaknya suami-istri mempertimbangkan kesejahteraan dan kerukunan keluarga,

masyarakat dan Gereja (GS, 50).

3) Pendidikan Anak

Kristianto dalam Rukiyanto (2013: 19) mendefinisikan anak adalah buah

cinta kasih suami-istri yang hidup yang harus dirawat dan dididik agar dapat

tumbuh dan berkembang mencapai kedewasaannya. Artinya orang tua memiliki

hak sekaligus kewajiban, untuk mendidik anak-anak mereka khususnya dalam

masalah iman dan moral karena orang tua merupakan pendidik pertama bagi

anak-anak, maka sebagai tugas dasariah dari hidup perkawinan dan hidup

berkeluarga orang tua harus mampu memberi contoh dan teladan yang baik bagi

anak-anak yang dilahirkan, dengan memberi perhatian pada pendidikan anak-anak

yang sesuai dengan keyakinan mereka. Artinya orang tua tidak mengabaikan hak

anak untuk memilih apa yang anak inginkan sejauh tidak melanggar nilai-nilai

iman dan moral.

Peran utama orang tua adalah memberi contoh yang baik kepada

anak-anak sehingga apa yang anak-anak-anak-anak dapatkan dalam keluarga itu juga yang mereka

pancarkan dalam kehidupan mereka di sekolah dan masyarakat. Dengan kata lain

karakter anak ditentukan oleh bagaimana karakter orang tuanya. Dalam

tahun-tahun terakhir mutu moral pendidikan umum dan pendidikan perindividu merosot,

(41)

pergaulan yang tidak sehat, tauran dan masih banyak hal lainnya, menjadi orang

tua yang bertanggung jawab juga mencakup kewajiban untuk menempatkan

anak-anak dalam lingkungan intelektual yang sehat dan selaras dengan kemampuan

mereka. Anak-anak perlu mendapat pendidikan yang tepat dalam

keutamaan-keutamaan Kristiani seperti kejujuran dan kemurnian (Marks, 2009: 93).

b. Ciri-ciri Perkawinan Katolik

Menurut (Hadiwardoyo, 2011: 26) menyimpulkan pandangan Paulus

dalam 1 Korintus 7 tentang hakikat perkawinan dapat dirumuskan sebagai berikut:

“Perkawinan merupakan kesatuan erat antara seorang pria dan seorang wanita, yang memberikan kepada keduanya hak prerogativ atas hubungan seksual dengan patnernya dan menjauhkan keduanya dari bahaya pencabulan; suami istri menikah karena karisma yang mereka terima dari Allah sendiri; dengan perkawinan, orang Kristen toh tidak mampu lagi mencurahkan perhatiannya pada Allah karena itu Paulus lebih senang kalau orang Kristen tidak menikah demi Kerajaan-Nya”.

Artinya, Paulus mau menegaskan bahwa suami-istri harus menghindarkan diri

dari godaan untuk hubungan seksual dengan orang lain karena tubuh suami adalah

milik istri dan tubuh istri adalah milik suami, ditekankan bahwa perkawinan

merupakan kesatuan yang amat erat antara seorang laki-laki dan seorang

perempuan dan perkawinan berperan sebagai jalan keluar yang baik dari bahaya

pencabulan karena perkawinan Katolik sifatnya satu dan tak terceraikan.

Ciri-ciri hakiki perkawinan Kristiani ialah (Unitas) kesatuan dan

(Indissolubilitas) tak dapat diputuskan yang dalam perkawinan Kristiani

memperoleh kekukuhan khusus atas dasar sakramen (KHK 1056). Artinya ikatan

(42)

sendiri kepada suami-istri untuk hidup berdampingan di dalam kasih mesra.

Karena Kristus adalah sumber rahmat kekuatan bagi suami-istri untuk melangkah

maju menuju kepenuhan kasih dan kepenuhan hidup Kristiani dengan saling

mengampuni dan menanggung beban, merendahkan diri seorang kepada yang lain

di dalam takut akan Kristus (Ef. 5: 21) serta saling mengasihi dalam cinta yang

mesra, subur dan adikodrati (PPK, 9) secara singkat ciri-ciri perkawinan kristiani

dapat dijelaskan sebagai berikut:

1) Unitas (kesatuan)

Ciri unitas menunjukkan unsur unitif dan monogam unsur unitif ini

dimaksudkan sebagai unsur yang menyatukan suami-istri secara lahir batin karena

tujuan dari perkawinan ialah kesatuan hidup yang tidak terpisahkan dari

suami-istri (Hadiwaryono, 2011: 61) Allah menetapkan bahwa ikatan suami-suami-istri tunggal

secara mutlak. Karena perkawinan Kristiani menandakan misteri kesatuan antara

Kristus dan Gereja-Nya yang dinyatakan dalam ciri tunggal, tak terceraikan dan

subur, perkawinan Kristiani berciri tunggal merupakan tanda kasih yang total

dimana keduanya saling memberikan diri secara utuh dengan kata lain tubuh

suami adalah milik istri dan tubuh istri adalah milik suami, keduanya bukan lagi

(43)

2) Indissolubilitas (tak-terputuskan)

Perkawinan mempunyai ciri tak-terceraikan berdasarkan hukum

kodratnya, karena menampakkan persatuan sempurna antara Kristus dan Gereja

seperti yang tertulis dalam (Ef 5: 32) yang berbunyi: “Rahasia ini besar, tetapi

yang aku maksud ialah hubungan Kristus dan jemaat”; perkawinan Kristiani

melambangkan kasih Allah kepada manusia maka cinta kasih suami-istri hendak

menampakkan cinta kasih yang setia yang dinyatakan dengan ciri tak terceraikan

karena Allah kita adalah Allah yang setia (Hadiwaryono, 2011: 61).

Kitab Suci Perjanjian Baru juga berbicara mengenai pekawinan yang

berbunyi “Bahwa seorang laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya untuk

bersatu dengan istrinya” (Mat. 19: 5) menunjukkan bahwa kesetiaan kepada

pasangan harus diutamakan di atas keluarga asalnya (Maureen & Lanny, 2008:

94); penulis maksudkan bahwa bila seorang bersedia untuk menikah hendaknya ia

telah siap dalam tugas dan tangung jawabnya dengan berani meninggalkan ayah

dan ibunya untuk tinggal bersama pasangan hidup yang telah ia pilih untuk hidup

bersatu membina rumah tangga yang sejahtera, hidup bersatu berarti segala yang

ada pada diri suami adalah milik istri dan segala kepunyaan yang ada pada diri

istri adalah milik suami sehingga keduanya menjadi kesatuan yang utuh dalam

(44)

B. PENGERTIAN PERKAWINAN USIA MUDA 1. Perkawinan Usia Muda

Dalam perkawinan usia dan kedewasaan menjadi hal yang hendak

diperhatikan bagi para calon pasangan suami-istri yang ingin melangsungkan

perkawinan. Hal ini menjadi pertimbangan karena kualitas akal dan mental yang

relatif tidak stabil memungkinkan salah satunya atau keduanya tidak dapat

mengontrol diri sendiri, kedewasaan dalam bidang fisik, biologis, sosial, ekonomi,

emosi, tanggung jawab dan keyakinan agama merupakan modal yang besar dan

berarti dalam upaya membangun rumah tangga yang sejahtera.

Perkawinan merupakan salah satu bagian penting di dalam kehidupan

masyarakat, umumnya seseorang yang sudah menikah pada usia berapapun

dianggap dan diperlakukan sebagai orang dewasa penuh baik secara hukum

maupun dalam kehidupan masyarakat dan keluarga. Dalam kenyataannya orang

yang secara umur berusia 24 tahun belum berarti dewasa baik secara sosial,

ekonomi yang berarti hidupnya masih ketergantungan dengan orang tua umumnya

belum memiliki pekerjaan dan belum memiliki hak penuh sebagai orang dewasa

secara adat atau tradisi serta belum bisa memberikan pendapatnya sendiri. Dengan

kata lain, orang-orang yang dengan batas usia 24 tahun belum dapat memenuhi

persyaratan kedewasaan secara sosial maupun psikolgis mereka masih dapat

digolongkan sebagai remaja (Sarlito, 2015: 19).

Perkawinan usia muda dapat didefinisikan sebagai ikatan antara seorang

laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami istri yang masih muda atau

(45)

11-24 tahun dan belum menikah untuk remaja Indonesia (Sarlito, 2015: 18).

Perkawinan usia muda adalah perkawinan yang melanggar syarat dan ketentuan

perkawinan yang menurut Undang-Undang Perkawinan pasal 7 ayat (1) No. 1

Tahun 1974 menyatakan, jika perempuan yang usianya kurang dari 16 tahun dan

laki-laki kurang dari 19 tahun tidak dapat melangsungkan perkawinan.

Perkawinan pada usia muda merupakan bentuk kegiatan yang sudah

dilaksanakan oleh masyarakat dengan dipengaruhi oleh banyak faktor salah

satunya adalah faktor keluarga dan kehendak bebas dari anak yang memutuskan

untuk menikah di usia muda, akan tetapi secara psikologis mereka yang berusia 16

tahun dan 19 tahun belum bisa dikatakan dewasa. Karena orang-orang yang belum

sampai batas usia 24 tahun belum dapat memenuhi persyaratan kedewasaan secara

sosial maupun psikologis mereka masih dapat digolongkan sebagai remaja

(Sarlito, 2015: 19). Dengan demikian perkawinan usia muda dapat diartikan

sebagai perkawinan yang dilaksanakan pada usia remaja yang belum memiliki

kesiapan atau kematangan fisik baik psikologis maupun sosialnya untuk

membangun hidup rumah tangga. Perkawinan usia muda adalah perkawinan

remaja dilihat dari segi usia belum cukup matang untuk membentuk sebuah

kelurga.

2. Usia yang Cukup untuk Menikah

Menurut definisi Organisasi Kesehatan Sedunia atau WHO (World

Health Organization) mangungkapkan bahwa, remaja adalah suatu masa di mana

(46)

sekundernya seperti tumbuh kumis, suara berubah (putra), menstruasi (putri) dan

lain-lain sampai ia mencapai kematangan seksual, dengan demikian remaja juga

dapat diartikan sebagai suatu masa di mana individu mengalami perkembangan

psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa (Sarlito, 2015:

12).

Masa remaja adalah masa transisi ke taraf kedewasaan yang merupakan

suatu periode transisi menuju perluasan dari masa individu menjadi matang secara

seksual dan untuk sampai pada kematangan sacara legal masa ini dimulai dari

masa pra-remaja (pueral; pra-puber) pada usia antara 10/11 tahun untuk putri dan

11/12 tahun untuk putra. Masa remaja berlangsung antara usia 11/12 tahun sampai

dengan18/19 tahun, dalam masa pubertas tersebut dari seluruh fase yang ada

kematangan ini adalah puncaknya. Remaja disebut dengan adolescent sedangkan

masanya disebut adolescence, puncak masa remaja disebut masa pubertas

(Supriyati, 2013: 12); dalam masa ini anak mengalami masa pertumbuhan dan

masa perkembangan fisik maupun psikis, mereka bukan lagi disebut anak-anak

baik bentuk badan atau cara berpikir dan bertindak tetapi bukan pula orang

dewasa yang telah matang.

Menurut Hurlock dalam Ali & Asrori (2015: 9) tentang psikologi

remaja, secara psikologis remaja adalah suatu usia di mana individu menjadi

terintegrasi ke dalam masyarakat dewasa, suatu usia di mana anak tidak merasa

bahwa dirinya berada di bawah tingkat orang yang lebih tua melainkan merasa

sama, atau paling tidak sejajar. Artinya remaja dikenal dengan masa pencarian jati

(47)

diperlakukan sebagai orang dewasa ternyata mereka belum dapat menunjukkan

sikap dewasa.

Masa remaja adalah masa pencarian jati diri dengan ego yang relatif

belum stabil, dengan rasa ingin tahu yang tinggi mereka sering memiliki

keinginan untuk mencoba-coba sesuatu yang baru untuk menjelajah dan

bertualang tetapi tidak semuanya tersalurkan, sehingga mereka mengalami

kegelisahan yang ditandai dengan angan-angan dan mengakibatkan diri mereka

diliputi perasaan gelisah, mereka juga berani melakukan pertentangan jika dirinya

merasa disepelekan dengan demikian mereka sangat memerlukan keteladanan,

konsisten, serta komunikasi yang tulus dan empatik dari orang dewasa (Ali &

Asrori, 2015: 16-17).

Perkawinan mengandaikan kedewasaan baik jasmani maupun psikologis

kedewasaan tersebut mulai nampak pada batas umur tertentu, telah ditetapkan di

dalam undang-undang perkawinan bahwa batas umur boleh menikah bagi

perempuan adalah 16 tahun sedangkakan bagi laki-laki ialah 19 tahun dan hukum

perkawinan Gereja memutuskan batas umur bagi seorang perempuan adalah 14

tahun dan bagi laki-laki 16 tahun, dengan alasan mereka hanya bertunangan dan

menunggu hingga baik laki-laki maupun perempuan sudah dewasa baik fisik dan

psikologinya baru bisa melangsungkan perkawinan. Tetapi di dalam masyarakat

umumnya perkawinan di usia muda masih banyak terjadi di desa-desa. Karena itu

batas umur 21 tahun mengartikan bahwa orang tua masih bertangungjawab atas

hidup dan perkembangan serta tindakan anak dari lahir sampai dengan mencapai

(48)

sendiri dan bertangung jawab penuh atas pilihan dan tindakan perbuatannya. Oleh

karena itu apabila anak laki-laki atau anak perempuan, meski telah boleh menikah

secara hukum bila belum mencapai umur 21 tahun, perlu mendapat izin atau restu

dari orang tua dan jika tidak mungkin pengadilan negeri setempat dapat

memberikan dispensasi (Soekanto & Soerjono, 1990: 15).

Setiap orang memiliki hak untuk melangsungkan perkawinan, tetapi

orang tersebut perlu dan wajib memenuhi syarat perkawinan sejauh tidak dilarang

hukum (KHK, 1058); kanon tersebut hendak menegaskan hak seseorang untuk

menikah (ius connubii) sebagai hak asasi dan fundamental manusia, hak ini

meliputi hak untuk melangsungkan perkawinan dan memilih calon pasangan

hidupnya secara bebas baik laki-laki dan perempuan, mempunyai hak dasariah

untuk menikah. Halangan nikah adalah semua halangan nikah yang sudah

ditentukan oleh hukum Gereja larangan nikah tersebut tidak bertujuan untuk

menghapus hak kodrati seseorang untuk menikah, tetapi untuk mengatur

pelaksanaannya dengan alasan supaya yang bersangkutan dapat menikah dan

menghidupi perkawinan sesuai dengan paham dan ajaran Gereja Katolik.

Para gembala jiwa-jiwa hendaknya berusaha menjauhkkan kaum muda

dari perayaan perkawinan sebelum usia yang lazim untuk melangsungkan

perkawinan menurut kebiasaan daerah yang diterima Kanon 1072 (PPK, 290).

Perkawinan anak-anak remaja atau mereka yang belum mencapai usia nikah, pada

umumnya harus terlebih dahulu meminta nasehat dan persetujuan orangtuanya.

Selain karena rasa hormat, juga karena nasehat orang tua akan sangat berguna

(49)

berkeluarga. Kewajiban ini merupakan suatu keharusan, jika orang tua tidak

mengizinkan sebaiknya pastor melihat alasan larangan itu, kalau memang masuk

akal, pastor semestinya mengingatkan kedua calon agar mengikuti nasehat

orangtuanya sebelum mendapat izin dari ordinaris wilayah, sebagaimana

dinormakan dalam Kanon 1071-§1.6°; sehubungan dengan kanon tersebut perlu

juga untuk memperhatikan Undang-undang Republik Indonesia No. 1 tentang

Perkawinan Sipil, pasal 6 (Rubiyatmoko, 2015: 55-56).

Dalam Kanon No. 1083-§1 ditetapkan bahwa laki-laki sebelum berumur

genap 16 tahun dan perempuan sebelum berumur genap 14 tahun tidak dapat

melangsungkan perkawinan yang sah, dengan alasan bahwa ini adalah halangan

nikah kodrati yaitu sejauh belum mencapai kematangan fisik dan psikis mereka

belum bisa melangsungkan perkawinan, syaratnya mereka hanya akan

bertunangan saja hingga keduanya dewasa secara fisik maupun psikis.

Kematangan fisik ditandai dengan alat reproduksi sudah bisa berfungsi untuk

melahirkan, kematangan psikis artinya mampu bertangungjawab atas perbuatan

dan hukumnya. Sedangkan menurut Undang-Undang Perkawinan Republik

Indonesia Tahun 1974 ayat (7) No. 1 ditetapkan batas umur untuk sahnya

perkawinan adalah 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan.

Sesesorang yang belum mencapai usia 18 tahun masih terhitung sebagai anak dan

masih berada dalam bimbingan dan perlindungan orang tua, keluarga, wali, orang

tua asuh, warga masyarakat dan pemerintah (UU RI No. 23 Pasal 1 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak). Dalam UU RI No. 23 Pasal 26 (1) c, ditegaskan

(50)

terjadinya perkawinan pada usia anak-anak, untuk melangsungkan perkawinan

seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dibutuhkan izin dari kedua orang

tuanya (UU RI No. 23 pasal 6 (2)).

Kristianto dalam Rukiyanto (2013: 106) membatasi usia perkawinan

dengan didasarkan pada alasan bahwa perkawinan menuntut kematangan secara

biologis-seksual, psikologis dan dimaksudkan agar yang bersangkutan siap dan

mampu menurut kodratnya terarah kepada kelahiran anak (tujuan prokreatif).

Menurut Undang-undang tahun 1974 mengatakan bahwa perkawinan itu sah

apabila telah disahkan oleh agama masing-masing, tetapi apabila perkawinan

tersebut hanya perkawinan adat, maka perkawinan itu tidak dapat dikatakan sah

sebab perkawinan tersebut belum di sahkan di dalam Gereja atau dalam agama.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkawinan di usia muda a. Faktor Kepribadian

Kepribadian adalah keseluruhan pola (bentuk) tingkah laku, sifat-sifat,

kebiasan, kecakapan, bentuk tubuh serta unsur-unsur psiko-fisik lainnya yang

selalu menampakkan diri dalam kehidupan seseorang (Ahmadi & Munawar, 2005:

158); Gereja mengajarkan bahwa perkawinan adalah persekutuan seluruh hidup

dan kasih mesra antara suami-istri (PPK, 8) yang terjadi dalam perkawinan adalah

persatuan dua insan (laki-laki dan perempuan) yang memiliki sikap dan karakter

yang berbeda-beda keduanya menjadi satu dalam prosesnya antara suami-istri ada

yang sudah matang dan siap untuk membangun sebuah rumah tangga dan ada

(51)

Dengan demikian pasangan suami-istri diharapakan mampu memahami

sifat dan karakter masing-masing dan memaknai arti perkawinan itu sendiri,

terkadang karena kepribadian yang belum dewasa setiap pasangan tidak akan

mampu menerima keunikan pasangannya apabila ketidakmampuan dalam

memahami keunikan pasangan masih terus berlangsung, maka persoalan dapat

muncul dalam kehidupan rumah tangga yang telah dibangun. Untuk itu,

suami-istri harus mempersiapkan segalanya dengan matang untuk saling percaya dan rela

mempertanggungjawabkan kekurangan dari masing-masing pribadi, saling

melengkapi satu sama lain sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan dan hidup

sejahtera.

b. Faktor Internal Keluarga

Sebagai komunitas mini, setiap anggota di dalam keluarga terjalin oleh

relasi yang bersifat personal dan fungsional, relasi personal adalah relasi antar

pribadi yang tidak didasarkan pada kedudukan atau fungsi seseorang, artinya

setiap orang dalam keluarga adalah setara, sedangkan relasi fungsional adalah

relasi yang muncul dari kedudukan atau fungsi seseorang dalam keluarga. Dalam

keluarga kedua relasi tersebut tidak dapat dipisahkan, sebab dalam hubungan

keluarga harus selalu ada dalam semangat menerima pribadi yang bermartabat

sama karena setiap pribadi memiliki hak asasi yang sama pula.

Suami-istri dipanggil untuk hidup dalam persekutuan yang bersifat

eksklusif dan tak terputuskan kecuali oleh kematian, dalam persekutuan tersebut

(52)

sebagai sakramen cinta kasih Allah yaitu sebagai tanda dan sarana kehadiran cinta

kasih Allah yang menyelamatkan. Tetapi perkembangan teknologi di zaman ini

dapat menghasilkan nilai positif dan negatif seperti kemudahan, kenyamanan dan

kecepatan dampak negatif dari teknologi adalah gaya hidup instan “sekali pakai

lalu buang” tidak berkesinambungan dengan munculnya hal-hal tersebut dapat

menimbulkan persoalan besar yang dapat mempengaruhi relasi suami istri seperti

ketidaknyamanan relasi mendorong mereka untuk melakukan perceraian (PPK,

20- 22).

Bila dianalisis dengan lebih saksama lagi faktor interen keluarga adalah

konflik secara verbal yang artinya kurangnya perhatian terhadap pasangan dan

anak-anak karena berbagai kesibukan pekerjaan yang tidak dibarengi dengan

komunikasi sehingga terjadi konflik verbal, perlu diketahui bahwa melalui konflik

ini dapat pula membuka sebuah pintu komunikasi antara suami-istri sehingga

keduanya dapat memaknainya sebagai suatu cara yang dipakai Allah untuk

mengajarkan kepada mereka tentang kerendahan hati untuk mau terbuka satu

dengan yang lain melalui komunikasi (Wright, 2013: 209).

c. Faktor Ekonomi

Manusia tidak dapat terlepas dari kehidupan dan pengolahan ekonomi,

karena manusia membutuhkan pangan, sandang dan papan, kesehatan pendidikan

serta fasilitas-fasilitas lainnya yang menunjang kehidupannya untuk hidup dan

berkembang, begitu juga dalam kehidupan rumah tangga ketika membagun

(53)

keluarga hal ini tidak dapat dipungkiri sebab masalah ekonomi kerap menjadi

masalah yang serius dalam kehidupan keluarga maupun masyarakat dan dunia.

Ekonomi adalah salah satu cara untuk mencapai kesejahteraan dengan

menyediakan produk barang dan jasa yang dilaksanakan berdasarkan prinsip

bahwa Allah menciptakan segala sesuatu untuk kesejahteraan semua orang, akan

tetapi sistem perekonomian dewasa ini belum mendukung tercapainya

kesejahteraan pada semua orang, semakin meluasnya kesenjangan antara yang

kaya dan yang miskin menjadi bukti bahwa kekayaan yang kita miliki belum

sepenuhnya memenuhi kepentingan masyarakat luas secara merata, sehingga

menimbulkan penderitaan pada banyak keluarga dan gejolak sosial lainnya.

Dengan semua masalah tersebut Gereja mengajak keluarga-keluarga

untuk merencanakan dan mengelola ekonomi rumah-tangganya dengan

memprioritaskan pemenuhan kebutuhan dasar bagi semua anggotanya,

mengembangkan pendidikan yang menekankan sikap hemat, sederhana,

menabung, menghindari sikap aji mumpung, sehingga biaya-biaya yang tak

terduga dapat tertangani; menjauhi sikap minimalis dengan membangun semangat

kerajinan dan kerja keras; membangun sikap solider dan semangat berbagi;

mengembangkan sikap jujur dan terbuka dalam hal keuangan rumah tangga.

Apabila hal ini dijalankan dengan baik yakinlah bahwa kehidupan ekonomi rumah

tangga keluarga akan selalu tercukupi (PPK, 39- 40).

(54)

d. Faktor Kekerasan dalam Rumah Tangga

Kekerasan dalam segala bentuk merupakan tindakan yang tidak selaras

dengan harkat dan martabat manusia demikian juga dalam kehidupan rumah

tangga kekerasan bisa saja terjadi, karena relasi dalam keluarga yang seharusnya

bersifat personal dan fungsional berubah menjadi relasi yang diwarnai konflik

kekerasan tersebut dapat berupa kekerasan fisik maupun psikis, seksual maupun

finansial, verbal maupun non-verbal hal tersebut dapat menyebabkan kehidupan

perkawinan yang dibangun atas dasar cinta kasih antara suami-istri menjadi

berantarakan sehingga mengakibatkan perkelahian yang berujuang pada

perceraian serta rasa trauma yang mendalam.

Dalam menghadapi masalah rumah tangga tersebut Gereja menasehati

keluarga-keluarga agar menghindari tindakan kekerasan terutama ketika terjadi

konflik atau persoalan yang sulit dan berat hendaknya suami-istri menyelesaikan

konflik dan pertentangan itu dalam semangat saling mengasihi dan menghargai,

ikut ambil bagaian dalam kegiatan Gereja dan masyarakat dalam upaya

menaggulangi budaya kekerasan dengan membantu korban kekerasan rumah

tangga dan menjadi teladan bagi hidup beriman Kristiani di tengah keluarga,

masayarakat dan Gereja (PPK, 47).

e. Alat komunikasi

Setiap makhluk adalah individu dan sebagai subjek yang saling

berkomunikasi, karena dengan berkomunikasi manusia dapat menciptakan

(55)

keterbelengguan, melestarikan kebudayaan sebagai identitasnya dan mengkritisi

dunia sekitarnya, supaya manusia hidup bahagia, untuk menghasilkan

komunikasi yang berdayaguna, manusia yang adalah makhluk individu dan

bersubjek itu membutuhkan media yang sesuai. Yaitu kesediaan dari

masing-masing individu untuk membuka diri menjalin interaksi dengan individu yang lain

supaya tercipta komunikasi yang berdayaguna dan menghasilkan keharmonisan di

dalam diri masing-masing individu, kelompok maupun masyarakat.

Perkembangan teknologi komunikasi sepertinya tidak bisa dibendung

lagi itu adalah salah satu proyek terbesar dunia yang dapat mempersatukan bahkan

dapat menjadi permusuhan dan persaingan yang besar hal itu tidak dapat

dipungkiri bahwa banyaknya teknologi komunikasi modern yang bermunculan

membawa dampak positif dan negatif, dampak negatif yang dapat dirasakan dari

teknologi komunikasi modern adalah tumbuhnya budaya individualisme,

konsumarisme dan budaya kekerasan, karena itu kita perlu mengembangkan sikap

kritis agar bisa memilah-milah antara dampak positif dan negatif, dengan

demikian melalui segala macam dan bentuk media semestinya manusia semakin

mencapai keinginan dasariah manusia yang sesungguhnya yaitu persaudaraan,

rekonsiliasi, keadilan kebebasan, harmoni, kesejahteraan damai dan cinta

(Iswarahadi, 2014: 9).

Komunikasi merupakan inti perkawinan, karena memberikan sebuah

pengalaman kesatuan yaitu keintiman suami-istri, kesatuan tersebut membuat

(56)

komunikasi merupakan tindakan kasih yang menciptakan kasih yang semakin

mendalam antara suami-istri (Tim Publikasi Pastoral Redemptorist, 2006: 27).

f. Sosial

Manusia sebagai individu pada hakikatnya adalah makhluk sosial karena

manusia harus bertangung jawab untuk bekerjasama dengan sesamanya dan saling

bergantung satu sama lain, bersosial berarti mau berinteraksi atau saling

berhubungan dengan manusia yang lainnya, sebab manusia tidak dapat hidup

sendiri, manusia sebagai individu selalu membutuhkan bantuan orang lain untuk

mendorong dan memperkembangkan kelangsungan hidupnya (Sugiyana, 2013:

67).

Gereja menegaskan dalam kehidupan bersama, manusia tidak dapat

memajukan martabat pribadi tanpa menunjukkan kepedulian kepada keluarga,

kelompok, paguyuban, komunitas baik kategorial maupun teritorial di dalam

masyarakat (Sugiyana, 2013: 74), sebab relasi-relasi tersebut di atas dapat

membantu setiap pribadi untuk tumbuh dan memperkokoh persekutuan antar

setiap pribadi, demikian dianjurkan dalam kehidupan bersama perlu

dikembangkan sikap saling mendukung, memajukan dan memperkembangkan

setiap pribadi di dalam keluarga, kelompok, dan paguyuban-paguyuban yang ada

di dalam masyarakat.

Begitu juga dalam hidup perkawinan suami-istri membutuhkan tujuan

hidup yang sama untuk mencapai kesejahteraan hidup di dalam keluarga dan

Gambar

Tabel 1. Jumlah Penduduk dan Suku Mayoritas
Tabel 2. Jumlah Pemeluk Agama
Tabel 3. Status Perkawinan Tahun 2011-2016
Tabel 4.  Kisi-kisi kuesioner penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan adanya sistem penerapan Perancangan iLearning Raharja Ask and News (iRAN) Dalam Meningkatkan Sistem Informasi Pada Perguruan Tinggi ini diharapkan nantinya bagi calon

Seluruh dosen pendidikan matematika Universitas Muhammadiyah purwokerto yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat kepada peneliti... Naser Rulloh, S.Pd Kepala MTs

Perancangan jaringan indoor jaringan HSDPA pada provider 3 pada Gedung C Fakultas Teknik Universitas Riau menggunakan propagasi COST 231 MultiWall dimana dalam

Berdasarkan pendapat diatas, maka yang disebut pendidikan menurut saya adalah suatu proses interaksi yang ditandai oleh keseimbangan antara pendidik dengan peserta

(3) rata-rata persentase jumlah siswa yang melakukan aktivitas yang diharapkan mencapai 100% dan hal ini berarti aktivitas siswa telah mencapai kriteria aktif (4) angket respon

Mengadakan pertemuan untuk orang tua, guru dan siswa, dimana di dalam pertemuan tersebut akan membahas tentang perkembangan belajar siswa, perkembangan sikap atau perilaku

PT. Semen Tonasa Kabupaten Pangkep, dalam menjalankan kegiatan produksi semen selama ini maka perusahaan menggunakan anggaran statis sebagai alat pengendalian

Penetapan rencana tindakan pada klien dengan nyeri akut post