1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Anak merupakan cikal bakal lahirnya suatu generasi baru yang merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan juga merupakan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional. Menurut pendapat penulis masa depan bangsa dan negara di masa yang akan datang berada di tangan anak, semakin baik kepribadian seorang anak maka semakin baik pula kehidupan masa depan bangsa. Begitu pula sebaliknya, apabila kepribadian anak tersebut buruk maka akan buruk pula
kehidupan bangsa yang akan datang. Dalam hal ini negara mempunyai kewajiban
untuk menjamin hak setiap anak atas kelangsungan hidupnya, tumbuh dan berkembang serta hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Wagiati Soetedjo mengemukakan bahwa “Berbicara mengenai anak adalah sangat penting karena anak merupakan potensi nasib manusia hari mendatang, dialah yang ikut berperan menentukan sejarah bangsa sekaligus cermin sikap hidup
bangsa pada masa mendatang”.1 Oleh karena itu sudah selayaknya jika anak
diberikan perlindungan dalam segala aspek kehidupannya, sehingga mereka dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.
Hubungan antara orang tua dengan anaknya merupakan suatu hubungan yang hakiki, baik hubungan psikologis maupun mental spiritualnya, mengingat ciri dan sifat anak yang khas tersebut, maka dalam menjatuhkan hukuman atau tindakan
terhadap anak nakal diusahakan agar anak jangan dipisahkan dari orang tuanya. Apabila karena hubungan antara orang tua dan anak kurang baik, atau karena sifat perbuatannya sangat merugikan masyarakat sehingga perlu memisahkan anak dari orang tuanya hendaklah tetap dipertimbangkan bahwa pemisahan tersebut semata-mata demi pertumbuhan dan perkembangan anak secara sehat dan wajar, di samping pertimbangan tersebut, demi pertumbuhan dan perkembangan mental anak, perlu ditentukan pembedaan perlakuan di dalam hukum acara dan ancaman pidananya. Dalam buku Kartini Kartono, dijelaskan bahwa kriminalitas atau kejahatan itu bukan merupakan peristiwa herediter (bawaan sejak lahir, warisan)
juga bukan merupakan warisan biologis2, karena itu seorang anak melakukan
kesalahan atau tindakan yang bisa merugikan orang lain adalah bukan merupakan bawaan lahir atau warisan melainkan ada berbagai faktor yang mendukung perkembangan tingkah laku anak yaitu lingkungan keluarga dan lingkungan tempat bergaulnya anak.
Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh anak umumnya disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain adanya dampak negatif dari perkembangan pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan gaya dan cara hidup.
Orang tua telah membawa perubahan sosial mendasar dalam kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak karena orang tua adalah orang yang pertama kali bersentuhan dengan anak. Selain itu, anak yang
kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan, bimbingan dan pembinaan dalam pengembangan sikap, perilaku, penyesuaian diri, serta pengawasan dari orang tua wali, atau orang tua asuh akan mudah terseret dalam arus pergaulan masyarakat dan lingkungannya yang kurang sehat dan merugikan perkembangan
pribadi anak-anak, di masa-masa inilah anak seringkali memilikikeinginan untuk
melakukan sesuatu hal yang baru. Dalam masa pertumbuhan, anak seringkali
terpengaruh oleh lingkungan dimana anak itubergaul dan bersosialisasi.
Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang dimaksud dengan anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan
anak yang menjadi saksi pidana.3
Anak yang melakukan suatu tindakan pidana harus bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya, hal ini harus dilakukan sehingga dapat memberikan pelajaran kepada anak, agar di masa mendatang anak tersebut tidak mengulangi kesalahan yang sama. Pemberian hukuman terhadap anak harus memperhatikan aspek perkembangan anak dan kepentingan yang terbaik bagi anak. Anak berhadapan dengan hukum harus tetap dilindungi dan diperhatikan hak-haknya sehingga tidak mengganggu atau bahkan merusak masa-masa pertumbuhan anak, hal inilah yang mendasari dibentuknya sistem peradilan pidana anak. Dalam hal
menjamin seorang anak agar kehidupannya bisa berjalan dengan normal, maka
negara telah memberikan payunghukum untuk proses penyidikan dan penanganan
3 Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sisterm Peradilan
anak berhadapan dengan hukum yakni UU No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak yang sebenarnya belum berjalan secara efektif dalam memberikan
perlindungan terhadap anak dalam penanganan perkara anak sehingga di cabut dan
diganti dengan UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Perubahan, pembedaan perlakuannya terletak pada hukum-hukum acara dan ancaman pidananya. Pembedaan itu lebih ditujukan untuk memberikan
perlindungan dan pengayoman terhadap anak dalammenyongsong masa depannya
yang masih panjang, serta memberi kesempatan kepada anak setelah melalui pembinaan akan memperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab dan berguna bagi diri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan
negara.4
Substansi yang diatur dalam UU No. 11 Tahun 2012tentang Sistem Peradilan
Pidana anak untuk anak yang berhadapan dengan hukum yang paling mendasar
dalam Undang-Undang ini adalah pengaturan secara tegas mengenai upaya
penyelesaian perkara diluar pengadilan, yaitu dimaksudkan untuk menghindari dan
menjauhkan Anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi
atau memberi cap buruk terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan
diharapkan anak dapat kembali kedalam lingkungan sosial secara wajar. Oleh
karena itu sangat diperlukan peran serta semua pihak dalam rangka mewujudkan
hal tersebut.
Perubahan-perubahan pada peradilan umum menuju peradilan yang mengutamakan perlindungan anak dan pendekatan diversi atau dengan kata lain
dengan mengupayakan penyelesaian perkara diluar pengadilan, pada saat ini mengambarkan terjadinya perubahan kebijakan peradilan pidana yang ditujukan untuk melindungi anak yang melakukan tindak pidana. Dengan penerapan konsep diversi bentuk peradilan formal yang ada selama ini lebih mengutamakan usaha memberikan perlindungan bagi anak dari tindakan pemenjaraan, selain itu terlihat bahwa perlindungan anak dengan kebijakan diversi dapat dilakukan di semua tingkat peradilan mulai dari masyarakat sebelum terjadinya tindak pidana dengan melakukan pencegahan. Setelah itu jika ada anak yang melakukan pelanggaran
maka tidak perlu diproses ke polisi5.
Polisi perannya dalam sistem peradilan pidana adalah suatu kelompok pekerja yang unik, mereka menjalankan peran fungsional dan simbolik yang penting dalam masyarakat kita, mewakili salah satu dari pelindung kebebasan yang paling penting perorangan atau kelompok. Namun secara paradoksal kita akui atau tidak petugas
polisi juga dapat merupakan ancaman terhadap kebebasan yang sama6. Dalam
realitas kehidupan selalu saja ada pandangan baik dan buruk, demikian juga dengan polisi ada yang baik yang menjalankan profesinya dengan tujuan mulia untuk melindungi dan melayani masyarakat dan ada juga polisi yang memanfaatkan masyarakat, khususnya yang melanggar ketentuan Undang-Undang dan melakukan penyimpangan.
Polisi adalah gerbang awal sistem peradilan pidana, karena Polisi adalah
penentu apakah suatu tindak pidana akan terus diproses atau tidak. Dengan adanya
5 Marlina, 2009, Peradilan Pidana Anak di Indonesia:Pengembangan Konsep Diversi
dan Restorative Justice, Refika Aditama, Bandung, hlm. 162
laporan atau pengaduan masyarakat atau pengetahuan polisi sendiri tentang telah
terjadinya suatu tindak pidanamaka dimulai lah proses peradilan pidana.
Aparat Kepolisian Republik Indonesia dalammelaksanakan tugas, fungsi dan
wewenang nya tunduk kepada Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Undang-Undang Nomor 8tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana. Sebagai penegak hukum aparat kepolisian berkewajiban menindak pelaku tindak pidana kejahatan dan pelanggaran, serta menentukan pasal-pasal yang akan dituduhkan kepada pihak-pihak yang
melakukan kejahatan dan pelanggaran sebagaimana diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana. Secara simbolis, petugas polisi bukan hanya merupakan bagian dari sistem peradilan pidana, namun mereka juga mewakili suatu sumber pembatas yang sah dalam suatu masyarakat bebas. Kegiatan polisi dalam suatu masyarakat demokratis dan bebas merupakan bentuk tugas polisi yang paling sulit. Selain itu, praktik-praktik polisi dipandang hingga tingkat tertentu sebagai ukuran yang kita gunakan untuk menilai kesucian pemerintah, tekanan dan kesetiaan terhadap jaminan konstitusional. Dalam banyak hal, integritas polisi adalah jendela yang di gunakan untuk menilai kejujuran semua tindakan pemerintah yang berkaitan dengan penegakan hukum, yang mereka lakukan dan bagaimana mereka melakukannya mempengaruhi persepsi kita dalam memandang kejujuran dan keadilan seluruh sistem peradilan pidana.
Polisi adalah bagian dari administrasi pemerintahan yang fungsinya untuk memelihara keteraturan serta ketertiban dalam masyarakat, menegakkan hukum, mendeteksi kejahatan serta mencegah terjadinya kejahatan. Dengan kata lain polisi
mempunyai fungsi sebagai pengayom masyarakat dari ancaman dan tindak kejahatan yang mengganggu rasa aman serta merugikan secara kejiwaan dan
material, dengan cara memelihara keteraturan dan ketertiban sosial.7
Polisi sebagai fungsi dinamakan juga polisi dalam arti materil, sedangkan polisi sebagai organ adalah polisi dalam arti formal. Sementara Reksodiputro menyebutkan bahwa fungsi polisi dalam pemeliharaan keteraturan, sebagai pengayom, berada pada perbatasan antara perilaku warga masyarakat yang bersifat kriminal dengan yang bersifat non kriminal. Dalam pemahaman seperti ini, maka fungsi polisi adalah "mengatasi situasi” ("handling the situation").8
Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan Pasal 4 Undang-Undang No 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan suatu organisasi yang memiliki tujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, pelayanan masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Undang-Undang merumuskan tugas pokok POLRI adalah (a) Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; (b) Menegakkan hukum dan (c) Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat, Pasal 13 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia9. Dalam melakukan tugas pokok penegakan hukum
7 Parsuji Suparlan, 1999, Etika Publik Polisi Indonesia: Aganda dan Tantangannya,
Sarasehan, Lembaga Studi Pengemangan Etika Uaha, Alumni, Bandung, hlm. 23
8 Soebroto Brotodirejo, 1997, Pengantar Hukum Kepolisian Umum di Indonesia,
Percetakan Yuselia. Surabaya, hlm 8
9 Pasal 13 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik
sebagaimana disebut di atas, maka polisi melakukan tugas penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan
perundangan lainnya. Oleh karena itu dalamrangka penyelenggaraan tugas tersebut
polisi mempunyai kewenangan-kewenangan yang diatur oleh Undang-undang . Penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) KUHAP adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
KUHAP untukmencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat
terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.10
Ketika seseorang melakukan perbuatan atau berada pada suatu keadaan, berdasarkan bukti permulaan patut diduga telah melakukan tindak pidana, maka saat itu juga aparat dapat menetapkan statusnya sebagai tersangka. Sebagai tersangka maka aparat berhak untuk merampas sebagian kebebasannya yang sebelumnya dilindungi oleh Undang-Undang.
Anak berhadapan dengan hukum sebagai pelaku bukanlah pelaku kejahatan sampai dia dinyatakan demikian oleh hakim melalui vonis dan suatu sidang peradilan, oleh karena itu selama proses penyidikan anak dilindungi hak-hak nya yang diatur dalam Pasal 3 UU No. 11 Tahun 2012 tentang SPPA yaitu tentang hak anak dalam proses peradilan pidana yang substansinya adalah melindungi anak secara baik dan memberikan pelayanan khusus untuk anak yang berhadapan dengan hukum.
Ketentuan penyidikan diatur dalam Undang-Undang SPPA No. 11 Tahun
2012 pada Pasal 26 yang berisi: 11 (1) Penyidikan terhadap perkara Anak dilakukan oleh Penyidik yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Bahwa menurut Pasal 26 UU No. 11 Tahun 2012 adalah Penyidik yang benar-benar dikhususkan untuk menangani perkara pidana anak atau anak yang berhadapan dengan hukum, dan bila memang di suatu daerah tidak ada
penyidik khusus anak maka boleh dilakukan penyidikan oleh penyidik dewasa.12
Dengan tingginya perkembangan teknologi baik media cetak maupun online dimana media online dengan perkembangan nya menjadi ancaman tersendiri bagi perkembangan psikis dan karakter anak, tidak hanya media faktor lingkungan sangat penting dan dapat menentukan bagaimana anak berperilaku.
Tinggi nya angka anak yang berhadapan dengan hukum melalui sumber resmi data KPAI yang di dapat dari sumber langsung di bank data KPAI masih sangat memprihatinkan jumlah data kasus perlindungan anak berdasarkan lokasi
pengaduan dan pemantauan media se-Indonesia tahun 2011-2016di wilayah depok
adalah kurang lebih 4.169 (empat ribu seratus enam puluh sembilan) kasus dan jumlah anak berhadapan hukum berjumlah 396 (tiga ratus sembilan puluh enam) kasus, jika dibandingkan dengan lokasi yang berseberangan dengan wilayah hukum
kota Depok13 yaitu kota Bogor dan kota Tangerang kasus anak berhadapan dengan
hukum di kota depok masih lebih tinggi dibandingkan di wilayah kota Bogor dan
11 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. 12 Pasal 26 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sisterm Peradilan Pidana Anak. 13 Komisi Perlindungan Anak Indonesia, “Bank Data Perlindungan Anak”,
http://bankdata.kpai.go.id/tabulasi-data/data-kasus-se-indonesia/data-kasus-perlindungan-anak-berdasarkan-lokasi-pengaduan-dan-pemantauan-media-se-indonesia-tahun-2011-2016#depok,
Tangerang, wilayah kota Bogor14 dari sumber langsung di bank data KPAI jumlah data kasus perlindungan anak berdasarkan lokasi pengaduan dan pemantauan media
se-Indonesia tahun 2011-2016adalah kurang lebih 3.916 (tiga ribu sembilan ratus
enam belas ribu) kasus dan jumlah anak berhadapan hukum berjumlah 346 (tiga
ratus empat puluh enam) kasus, di kota Tangerang15 dari sumber langsung di bank
data KPAI jumlah data kasus perlindungan anak berdasarkan lokasi pengaduan dan
pemantauan media se-Indonesia tahun 2011-2016adalah kurang lebih 3.720 (tiga
ribu tujuh ratus dua puluh ribu) kasus dan jumlah anak berhadapan hukum berjumlah 361 (tiga ratus enam puluh satu) kasus, dengan melihat data tersebut penulis tertarik untuk melakukan sebuah penelitian mendalam tentang bagaimana penangan perkara tindak pidana anak pada proses penyidikan di wilayah hukum Polresta Depok.
Sejak berkembangnya Hukum Acara Pidana Anak di Indonesia melalui pemberlakuan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, terdapat penyesuaian dan perubahan dalam Kepolisian Negara Republik Indonesia. Perubahan tersebut terkait dengan proses penyidikan terhadap anak nakal atau anak yang berhadapan dengan hukum yang dilakukan oleh Polri, yaitu dalam hal substansi hukum Kepolisian yang menjadi dasar tindakan penyidikan berupa aturan-aturan produk hukum yang dibuat oleh Polri, Struktur
14 Ibid., “Bank Data Perlindungan Anak”,
http://bankdata.kpai.go.id/tabulasi-data/data-
kasus-se-indonesia/data-kasus-perlindungan-anak-berdasarkan-lokasi-pengaduan-dan-pemantauan-media-se-indonesia-tahun-2011-2016#bogor, diaskes 3 Febuari 2017, Pukul 13.00
15 Ibid., “Bank Data Perlindungan Anak”,
http://bankdata.kpai.go.id/tabulasi-data/data- kasus-se-indonesia/data-kasus-perlindungan-anak-berdasarkan-lokasi-pengaduan-dan-pemantauan-media-se-indonesia-tahun- 2011-2016#
Hukum Kepolisian berupa Struktur Organisasi Polri dan Kultur atau Budaya Hukum Kepolisian berupa Kultur atau Budaya para Penyidik Polri ketika melakukan penyidikan terhadap penanganan perkara pidana anak.
Anak yang Berhadapan dengan Hukum dikhawatirkan mengalami proses pemeriksaan dengan menggunakan cara-cara orang dewasa, terlebih lagi yang ditakutkan penulis adanya kekerasan, ancaman, ditakut-takuti dan bahkan dipukul pada saat proses penanganan perkara terhadap anak berhadapan dengan hukum ole Polisi.
Pada hakikatnya berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak adalah dalam rangka memberikan perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum khususnya ketika proses penyidikan.
Mengingat bahwa perkembangan sistem peradilan pidana anak tersebut berkaitan juga dengan perkembangan sistem hukum Kepolisian di Indonesia, maka hal tersebut membutuhkan satu kajian yang komprehensif.
Perkembangan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dalam memberikan perlindungan kepada anak yang berhadapan dengan hukum ketika proses penyidikan oleh Penyidik Polri perlu untuk dilakukan sebuah suatu studi mendalam guna mengetahui perkembangan yang terjadi karena adanya perubahan peraturan serta dan penyesuaian yang terjadi oleh penegak hukum khususnya penyidik kepolisian.
Agar sejalan dengan latar belakang masalah di atas dan agar mengarah pada sasaran yang jelas maka dalam penelitian ini penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana proses penyidikan perkara pidana anak di Polresta Depok?
2. Apa faktor-faktor yang menyebabkan munculnya problematika dalam
penyidikan perkara pidana anak di Polresta Depok?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian hukum ini merupakan sasaran yang ingin dicapai. Dengan menetapkan suatu tujuan dari sebuah penelitian, diharapkan penelitian yang dilakukan tidak salah arah.
Berdasar permasalahan di atas tujuan Tesis ini adalah: 1. Tujuan Objektif
Tujuan Objektif penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui proses penyidikan perkara pidana anak di Polresta Depok;
b. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan munculnya
problematika dalam penyidikan perkara pidana anak di Polresta Depok; 2. Tujuan Subyektif
Tujuan Subyektif penelitian ini adalah:
a. Memberi masukan, saran, kritik dan umpan balik bagi penegak hukum
khususnya kepolisian serta masyarakat pada umumnya akan pentingnya pengetahuan hukum dan kesadaran hukum, terkait dengan Penyidikan Dalam Penanganan Perkara Pidana Anak di Polresta Depok.
b. Memperoleh data sebagai bahan utama dalam penyusunan Tesis guna melengkapi persyaratan dalam mencapai gelar Magister Hukum (M.H.) pada Program Magister Hukum Litigasi, Klaster Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada.
D. Manfaat penelitian
Penulisan yang penulis lakukan mempunyai manfaat bukan hanya bagi penulis saja, penulisan ini diharapkan juga dapat berguna bagi pihak-pihak lain. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Manfaat Teoritis
Manfaat Teoritis penelitian ini adalah Untuk menambah literatur dalam pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan lebih khusus bagi perkembangan pengetahuan yang berkaitan dengan penyidikan dalam penanganan perkara pidana anak di Polresta Depok.
2. Manfaat Praktis
Manfaat Praktis Penelitian ini adalah:
a. Untuk melengkapi syarat akademis guna mencapai jenjang Magister ilmu
hukum pada Fakultas Hukum Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada;
b. Untuk menulis Tesis dalam mengungkap permasalahan tertentu secara
sistematis dan berusaha memecahkan masalah yang ada tersebut dengan metode ilmiah sehingga menunjang pengembangan ilmu pengetahuan yang pernah penulis terima selama kuliah.
c. Hasil penelitian ini mampu memberikan masukan dan umpan balik bagi pelaku penegak hukum serta masyarakat pada umumnya akan pentingnya pengetahuan hukum dan kesadaran hukum.
d. Penelitian ini hendaknya dapat dijadikan rekomendasi oleh Polri dalam
mengambil keputusan dan untuk menata kembali tata cara penyidikan khusus anak, khususnya dalam petunjuk pelaksanaan di lapangan. Tak kalah pentingnya penelitian ini juga diharapkan dapat memperbanyak dan memperkaya perkembangan ilmu pengetahuan.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang dilakukan di Perpustakaan
Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada dan Internet tidak ditemukan
penelitian yang mirip dengan penelitian ini. Memang ada beberapa penelitian,
dan Tesis yang mengangkat tema mengenaipenyidikan sebagai berikut.
a. Penulisan hukum yang dilakukan oleh Beja pada Tahun 2014 dari
Universitas Gajah Mada dengan judul “Kedudukan Penyidik dalam Penerapan Program Restorative Justice Perkara Pidana Umum di Polres
Bantul”.16 Penelitian ini bertujuan untuk menelaah dan mengetahui serta
menjelaskan alasan-alasan mengapa perkara biasa atau bukan delik aduan dapat diselesaikan melalui Program Restorative Justice. Jelas terdapat perbedaan dalam penulisan hukum ini karena peneliti mengamati proses
16 Beja, 2014,”Kedudukan Penyidik dalam Penerapan Program Restorative Justice Perkara
penyidikan yang dilakukan penyidik anak kepada anak yang berhadapan dengan hukum dan bertujuan untuk mengamati jalanya proses penyidikan kepada anak yang berhadapan dengan hukum .
b. Penulisan hukum jenis Tesis yang dilakukan oleh Neny Zulaiha padaTahun
2016 dari Universitas Gajah Mada dengan judul “Asas Restelijk Pardon Dalam Penyelesaian Perkara Anak yang Berkonflik dengan Hukum menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak”17. Penulisan hukum ini bertujuan untuk mendalami Rechterlijk
pardon/Judicial pardon di Indonesia, khususnya pengaturan dalam sistem peradilan pidana anak. Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur pemaafan hakim dalam Pasal 70. Penelitian ini juga bertujuan mempertegas hubungan antara Diversi dan Rechterlijk Pardon, sedangkan penulis dalam penulisan hukum ini mengenai penanganan perkara anak yang dilakukan penyidik anak di tingkat penyidikan perbedaannya terdapat pada permasalahannya yang berbeda.
Berdasarkan permasalahan dan penelitian-penelitian yang ada sebelumnya
dapatlah dinyatakan bahwa penelitian ini berbeda dengan penelitian yang ada
sebelumnya. Apabilatanpa sepengetahuan peneliti ternyata pernah ada penelitian
yang sama dengan penelitian ini,maka diharapkan penelitian ini dapat melengkapi
penelitian yang pernah ada.
17 Neny Zulaiha, 2016,”Asas Restelijk Pardon Dalam Penyelesaian Perkara Anak yang
Berkonflik dengan Hukum menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak”, Tesis, Fakultas Hukum, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.