7 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 HIV dan AIDS 2.1.1 Pengertian
AIDS merupakan singkatan dari Aquired Immune Deficiency Syndrome. Aquired artinya didapat, bukan keturunan. Immune terkait dengan sistem kekebalan tubuh kita. Deficiency berarti kekurangan. Syndrome atau sindrom berarti penyakit dengan kumpulan gejala, bukan gejala tertentu. Jadi AIDS merupakan kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh oleh virus yang disebut HIV. Dalam bahasa Indonesia dialihkan sebagai sindrom cacat kekebalan tubuh dapatan (Siregar, 2004).
HIV adalah kependekan dari Human Immuno Deficiency Virus adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh dan kemudian menimbulkan AIDS. Virus ini menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut terutama limfosit yang memiliki CD4 sebagai sebuah penanda yang berada di permukaan sel limfosit. Karena berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia menunjukkan berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit yang seharusnya berperan dalam mengatasi infeksi yang masuk ke tubuh manusia. Pada orang dengan sistem kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar antara 1400-1500. Sedangkan pada orang dengan sistem kekebalan yang terganggu seperti penderita HIV nilai CD4 semakin lama akan semakin menurun (KPAN, 2010). Pada saat CD4 semakin menurun tersebut berbagai penyakit yang dibawa virus, kuman, bakteri dan lain-lain sangat mudah menyerang seseorang yang sudah terinfeksi HIV (Syaiful, 2000).
2.1.2 Epidemiologi
Menurut Wibisono dalam Zulkifli (2004) menyatakan epidemiologi AIDS meliputi agent, host dan environment.
1. Agent
Agent merupakan faktor penyebab penyakit dapat berupa unsur hidup atau mati yang terdapat dalam jumlah yang berlebih atau kekurangan. Pada penyakit AIDS virus HIV merupakan penyebab penyakit tersebut. virus HIV termasuk kedalam golongan retrovirus yang sangat mudah bermutasi sehingga sulit untuk menemukan obat yang dapat membunuh virus tersebut. Daya penularan HIV tergantung pada kadar virus yang terdapat pada sumber perantara penularan. Virus ini tidak dapat hidup diluar tubuh manusia karena akan mati pada temperatur 60oC selama 30 menit.
2. Host
Host adalah keadaan manusia yang sedemikian rupa sehingga menjadi faktor risiko untuk terjadi penyakit. Pada epidemiologi HIV secara global, 35 juta orang hidup dengan HIV dengan angka kematian sebesar 1,5 juta pada akhir 2013. Di wilayah Asia dan Pasifik pada tahun 2013 tercatat 4.800.000 orang hidup dengan HIV dan 250.000 penderita meninggal. Pada laporan yang sama 350.000 kasus terindikasi sebagai kasus infeksi baru dengan 22.000 orang diantaranya anak-anak (UNAIDS, 2014). Berdasarkan golongan umur penderita AIDS terbanyak ditemukan pada golongan umur 20 sampai 29 tahun dengan 18.352 kasus, setelah itu golongan umur 30 sampai 39 tahun (15.890 kasus) dan 40 sampai 49 tahun (5.974 kasus).
3. Environment
Lingkungan biologis sosial, ekonomi, budaya dan agama sangat menentukan penyebaran AIDS. Faktor sosial, ekonomi, budaya dan agama secara bersama-sama atau sendiri-sendiri sangat berpengaruh terhadap perilaku seksual masyarakat.
2.1.3 Masa inkubasi
Masa inkubasi merupakan masa dimana seseorang (host) yang terinfeksi agen penyakit sampai timbulnya gejala (Budiarto, 2002). Infeksi HIV ke manusia sampai timbul gejala rata-rata selama 8 sampai 10 tahun (Williams, 2011). Menurut Suesen dalam Siregar (2004) menyatakan bahwa Infeksi HIV pada manusia mempunyai masa inkubasi yang lama (5-10 tahun) dan menyebabkan gejala penyakit yang bervariasi mulai dari tanpa gejala sampai dengan gejala yang berat sehingga menyebabkan kematian.
Selain masa inkubasi pada infeksi HIV terjadi masa laten. Masa laten terjadi 3-4 bulan, dimana masa ini antibodi dalam tubuh berkembang terhadap virus HIV dan apabila dilakukan tes virus HIV belum terdeteksi. Pada masa pengidap HIV sudah bisa menularkan HIV ke orang lain (Muninjaya, 1999).
2.1.4 Penularan
HIV terutama berada dalam cairan tubuh manusia, seperti darah, cairan sperma, cairan vagina dan air susu. Zulkifli (2004) membedakan penularan HIV Menjadi 2 cara, yaitu:
1. Secara kontak seksual
Melalui hubungan seksual dengan pengidap HIV tanpa perlindungan. Yang dimaksud hubungan seksual di sini adalah hubungan yang dilakukan secara vaginal, anal, dan oral. Pada saat berhubungan tersebut terjadi luka lecet yang berukuran mikroskopis pada dinding vagina, kulit penis, dubur dan mulut yang berisiko tinggi sebagai jalan masuk virus HIV ke darah (Syaiful, 2000).
2. Secara non seksual
b. Alat-alat tajam atau runcing (seperti pisau beda, jarum, pisau cukur dan sebagainya) untuk membuat sayatan di kulit, menyunat seseorang, membuat tato, penyalahgunaan narkoba dan sebagainya dapat menularkan HIV
c. Transmisi transplasental, yaitu penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak yang dilahirkan
Hubungan sosial dengan orang yang mengidap HIV seperti berjabatan tangan, bersentuhan, berpelukan, berciuman, makan bersama, menggunakan peralatan makan dan minum yang sama, tinggal serumah bersama ODHA, berenang dikolam renang dan menggunakan kamar mandi tidak berisiko terjadi penularan HIV (Yayasan Spritiria, 2006). Walaupun hubungan sosial tersebut terjadi kontak dengan cairan tubuh pengidap HIV, seperti keringat dan air liur namun tetap tidak berisiko tinggi tertular HIV. Hal tersebut dikarenakan pada cairan tubuh lainnya konsentrasi HIV sangat rendah.
2.1.5 Pencegahan
Pencegahan HIV pada intinya tidak masuknya cairan tubuh yang memiliki konsentrasi tinggi HIV ke dalam tubuh. Cara pencegahan penularan HIV dapat dilakukan dengan cara:
1. Mencegah penularan HIV lewat hubungan seks a. Abstinensi, yaitu tidak melakukan hubungan seks
b. Monogami yaitu tidak berganti-ganti pasangan dan saling setia kepada pasangannya.
c. Menggunakan kondom apabila melakukan hubungan seks berisiko 2. Mencegah penularan secara non seksual
a. Mensterilkan alat yang menembus kulit dan darah (seperti jarum suntik, jarum tato, atau pisau cukur)
b. Tidak menggunakan jarum suntik dan alat menembus kulit bergantian dengan orang lain
c. Menghindari transfusi darah yang berisiko
2.2 Pengetahuan, Sikap dan Lingkungan Terhadap Penularan HIV/AIDS 2.2.1 Pengetahuan terhadap penularan HIV/AIDS
Pengetahuan adalah hasil penggunaan panca indra yang menimbulkan kesan didalam pikiran manusia. Pengetahuan adalah hasil “tahu” dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Tanpa pengetahuan seseorang tidak mempunyai dasar untuk mengambil keputusan dan berperilaku terhadap suatu keadaan yang dihadapi (Achmadi, 2013).
Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih bertahan lama dari pada perilaku yang tanpa didasari dengan pengetahuan. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang, yaitu tingkat pendidikan, informasi yang didapat, pengalaman yang dimiliki dan keadaan sosial ekonomi (Sarlito, 2008)
Dalam membentuk perilaku berisiko terhadap penularan HIV/AIDS, pengetahuan seseorang sangat mempengaruhinya. Hal ini dikarenakan pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (Overt behavior) (Notoadmojo, 2010). Laporan UNICEF 2012 diketahui pengetahuan remaja di Indonesia tentang perilaku berisiko, pencegahan HIV, penyalahgunaan narkoba dan alkohol masih rendah yang dapat mendorong terjadinya perilaku yang menyimpang. Namun hal tersebut berbeda dari hasil penelitian Yuliantini (2012) yang mendapatkan hasil pengetahuan HIV/AIDS pada siswa di
SMA “X” Jakarta sebagian besar memiliki pengetahuan baik (52,1%) dan pada siswa SMTI Negeri Kota Banda Aceh yang sebagaian besar siswanya (64,5%) memiliki pengetahuan baik tentang HIV/AIDS (Handayani, 2011).
Pengukuran pengetahuan khususnya pengetahuan kesehatan dilakukan dengan mengajukan pertanyaan secara lisan (wawancara) maupun melalui angket atau kuesioner. Indikator dari pengetahuan adalah besarnya persentase pengetahuan individu terhadap variabel yang diukur (Raffi dalam Nursalam, 2003)
2.2.2 Sikap terhadap penularan HIV/AIDS
Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu objek atau rangsangan. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi adalah merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku.
Menurut Notoatmodjo (2010) menyatakan suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (over behavior). Sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu obyek adalah perasaan mendukung atau memihak maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak pada obyek tersebut. Menurut Azwar (2003) sikap seseorang terhadap suatu hal dapat dibentuk oleh beberapa faktor seperti pengalaman pribadi, pengaruh orang lain, pengaruh kebudayaan, media massa, lembaga pendidikan dan lembaga agama, serta pengaruh emosional.
Sikap membuat seseorang mendekat,atau menjauhi. Namun dalam hal sikap seseorang terhadap HIV/AIDS tidak selalu terwujud dalam tindakan nyata. Hal ini disebabkan karena kurang berhati-hati dengan tindakan yang memudahkan mereka tertular HIV. Pada penelitian Yulianingsih (2013) mengenai perilaku terkait HIV/AIDS pada siswa kelas XI SMA N 1 Jasinga Bogor, sebagian besar siswa
memiliki sikap yang baik tetapi dalam penelitian tersebut sikap tidak memiliki hubungan bermakna dengan perilaku terkait HIV/AIDS.
Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Pengukuran secara langsung dilakukan dengan memberikan pertanyaan tentang stimulus atau objek yang diukur. Pengukuran secara tidak langsung didapat melalui kuesioner atau angket. Indikator pengukuran dapat dilakukan dengan tingkatan setuju atau tidak setuju maupun dengan skala Lickert.
2.2.3 Lingkungan terhadap penularan HIV/AIDS
Lingkungan juga disebut faktor ekstrinsik. Lingkungan dapat dibedakan berupa lingkungan fisik, lingkungan biologis, atau sosial ekonomi (Budiato, 2001). Lingkungan fisik yang dimaksud antara lain geografis dan keadaan musim. Lingkungan biologis ialah makhluk hidup yang berada di sekitar manusia. Lingkungan biologis ini biasa mempengaruhi penyakit yang bersumber dari binatang. Sedangkan yang termasuk lingkungan sosial ekonomi dapat berupa pekerjaan, keluarga, pergaulan, urbanisasi dan sebagainya.
Keluarga merupakan lingkungan yang pertama kali dikenal setiap individu. Keluarga atau orang tua pada khususnya memiliki peran yang penting dalam pembentukan perilaku seseorang. Namun pada beberapa penelitian orang tua tidak memiliki pengaruh pada perilaku remaja seperti pada penelitan di SMA N 1 Baturaden dan SMA N 1 Purwokerto bahwa pengawasan orang tua tidak ada pengaruh bermakna terhadap perilaku seksual pranikah siswa (Dewi, 2009).
Teman sebaya adalah remaja atau kelompok remaja dengan tingkat usia atau kedewasaan yang sama yang memiliki nilai-nilai yang berlaku pada kelompok tersebut (Slavin, 2011). Dalam beberapa penelitian menunjukan teman sebaya mempengaruhi
perilaku remaja diantaranya pada penelitian dilakukan di Fakultas Ilmu Sosial yang menunjukkan adanya pengaruh bermakna teman sebaya terhadap perilaku seksual pranikah berisiko (Mandey, 2015) dan pada penelitian di SMA N Baturraden dan SMA N 1 Purwokerto yang mendapatkan hasil perilaku seksual pranikah di pengaruhi oleh teman sebaya (Dewi, 2009).
Lingkungan sekitar tempat tinggal remaja merupakan tempat memperoleh pengalaman bergaul dengan teman sekolah, luar sekolah dan masyarakat luas. Di lingkunganya tersebut remaja mengenal lingkungan baru yang berlainan dengan yang didapat di rumahnya. Dalam halnya mendapatkan pengetahuan tentang seks dan HIV/AIDS remaja bisa mendapatkannya dari teman luar rumah, sehingga remaja mempunyai kebebasan memilih darimana ia akan mendapatkan (Dariyo dalam Sari, 2012). Pengaruh lingkungan dapat dilihat pada faktor yang mempengaruhi perilaku berisiko tertular HIV/AIDS pada remaja pengguna narkoba suntik di Kecamatan Ciledug, dimana faktor yang berpengaruh adalah status ekonomi, pola asuh orang tua dan kegiatan di luar rumah (Syarif, 2008). Lingkungan pergaulan seperti teman sebaya dapat berpengaruh pada perilaku seks pranikah remaja yang berisiko terjadi penularan HIV/AIDS.
2.3 Perilaku 2.3.1 Pengertian
Perilaku adalah tindakan atau perbuatan organisme atau individu yang dapat diamati atau bahkan dipelajari (Robert Kwik dalam Mubarak, 2006). Perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang diamati maupun tidak bisa diamati oleh orang lain (Notoadmodjo, 2010).
Menurut B.F Skinner dalam Achmadi (2013), perilaku dapat dikontrol hanya berkenaan dengan kejadian atau situasi-situasi yang dapat diamati. Kondisi sosial dan fisik di lingkungan sangat penting dalam menentukan perilaku.
2.3.2 Perilaku kesehatan
Perilaku kesehatan adalah respon seseorang terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit atau penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, minuman dan lingkungan (Notoadmodjo, 2010) . Menurut Notoadmojo dalam Achmadi (2013) perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu:
1. Perilaku individu tehadap sakit atau penyakit
Perilaku individu tehadap sakit atau penyakit yaitu bagaimana manusia merespon baik secara pasif (mengetahui, bersikap, dan mempersepsikan penyakit dan sakit didalam dirinya atau orang lain) maupun aktif (tindakan) yang dilakukan sehubung dengan penyakit tersebut. Perilaku terhadap sakit atau penyakit dapat berupa perilaku peningkatan dan pemeliharaan kesehatan, serta perilaku pencegahan penyakit.
2. Perilaku mencari pengobatan
Perilaku ini adalah menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat menderita penyakit atau kecelakaan. Misalnya, usaha untuk mengobati sendiri penyakitnya atau mencari pengobatan ke fasilitas kesehatan.
3. Perilaku terhadap kesehatan lingkungan
Perilaku terhadap kesehatan lingkungan merupakan tindakan seseorang merespon lingkungan, baik lingkungan fisik maupun sosial budaya, dan sebagainya. Lingkungan tersebut menjadi determinan kesehatan manusia.
Seseorang baru merasakan sakit apabila terjadi rasa yang tidak wajar pada kondisi tubuhnya dan menggagu pekerjaaan, hal ini menurut Sarwono (2007) sebagai persepsi sehat-sakit. Seseorang akan bereaksi atas sakit yang dideritanya karena beberapa faktor, yaitu:
a. Diketahuinya dan dirasakan gejala-gejala yang menyimpang dari keadaan normal b. Banyaknya gejala yang dianggap serius dan akan menyebabkan bahaya
c. Dampak gejala yang dirasakan tehadap lingkungan kerja dan sosial. d. Frekuensi gejala dan tanda-tanda yang tampak dan persistensinya e. Kemungkinan individu terserang penyakit tersebut (suscepbility) f. Perbedaan interprestasi terhadap gejala yang dikenali
g. Adanya kebutuhan untuk bertindak terhadap gejala yang dirasakan
h. Tersedia sarana kesehatan, akses menuju sarana tersebut, kesediaan biaya dan kemampuan untuk mengatasi stigma dan jarak sosial (rasa malu, takut dan sebagainya).
Perilaku kesehatan dapat berupa perilaku yang positif dan negatif (Conner dalam Achmadi, 2013). Perilaku kesehatan tidak hanya dalam bentuk menjaga kesehatan maupun mencari kesembuhan saat sakit, namun perilaku kesehatan dalam bentuk negatif dapat berupa perilaku berisiko. Perilaku berisiko adalah setiap perilaku atau tindakan yang memungkinkan meningkatnya risiko tertular atau menularkan penyakit. Contoh dari perilaku berisiko dalam hal risiko tertular HIV termasuk melakukan menggunakan jarum suntik bergantian, hubungan seks tanpa kondom dan lain sebagainya.
2.3.3 Faktor yang mempengaruhi perilaku
Perilaku seseorang terhadap suatu objek dipengaruhi oleh faktor-faktor baik dari dalam maupun dari luar individu. Urutan terjadinya perilaku dapat digambarkan pada skema berikut :
Gambar 2.1 Skema Perilaku (Notoadmodjo, 2010)
Skema diatas menggambarkan terjadinya perilaku diawali dari faktor eksternal seseorang yang meliputi lingkungan sekitar baik fisik maupun non fisik seperti iklim, manusia, sosial budaya, pengaruh pergaulan, pengawasan orang tua, dan sebagainya. Kemuadian faktor eksternal tersebut diketahui, dipersepsikan diyakini dan sebagainya sehingga timbul suatu respon atau tindakan seseorang. Tahap ini pengetahuan, sikap, keadaan karakteristik, dan sebagainya mempengaruhi timbulnya respon yang disebut juga sebagai faktor internal.
2.4 Remaja 2.4.1 Pengertian
Masa remaja adalah masa perkembangan transisi antara masa anak-anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis kognitif dan sosial emosional (Santrock, 2003). Perubahan fisik yang sangat menonjol pada masa ini terjadi pada fungsi seksual atau karakteristik seks sekunder. Masa ini remaja juga mudah mengalami perubahan perilaku terutama terlihat pada perilaku sosial. Masa remaja dibagi menjadi 2 periode, yaitu periode remaja awal (13 sampai 17 tahun) dan periode remaja akhir (17 sampai 18 tahun) (Iwanto et al, 1989).
Pada masa remaja, seseorang mengalami perkembangan yang berdampak pada perubahan sosial dan emosi. Terdapat jarak hubungan remaja dengan orang tua pada masa ini, remaja cenderung lebih dekat dengan teman sebayanya. Waktu yang dihabiskan remaja dengan teman sebayanya cenderung lebih banyak ketimbang dengan dirinya sendiri maupun anggota keluarga (Ambert dalam Slavin, 2011). Sebagian orang dalam masa remaja mengalami konflik individu.
Masalah-masalah pada masa remaja dapat terjadi karena pada masa ini pertama kalinya seseorang mengambil keputusan untuk berperilaku yang dapat berdampak jangka panjang. AIDS pada kelompok usia remaja tidak menjadi kasus yang tertinggi pada saat ini, namun karena AIDS berkembang penuh memerlukan waktu 10 tahun untuk terlihat. Dengan perilaku remaja seperti seks tanpa perlindungan penggunaan bersama jarum suntik dan perilaku berisiko tinggi lainnya menyebabkan tingginya kasus AIDS pada kelompok dewasa muda (Hein dalam Slavin, 2011).
2.4.2 Remaja dan HIV/AIDS
Penularan HIV pada remaja terjadi cukup tinggi. Hal ini dibuktikan dengan pernyataan dari UNICEF yang menyatakan terjadi peningkatan kasus HIV pada remaja sebesar 50% selama tahun 2005 sampai 2012. Di Indonesia pada tahun 2013 prevalensi HIV diantara remaja berumur 15 sampai 24 tahun sebesar 0,4% pada laki-laki dan 0,5% pada perempuan. Prevalensi pada tahun 2013 tersebut menduduki peringkat pertama diantara negara kawasan Asia dan Pasifik.
Tingginya penularan HIV pada remaja dikarenakan perubahan fisik dan psikis pada remaja. Pada saat masa remaja juga terjadi masa pubertas dimana terjadi pematangan hormon dan fungsi alat reproduksi. Hal ini menyebabkan peningkatan dorongan seksual. Hubungan seksual ini lah yang menjadi salah satu penularan HIV.
Mc Kinley Health Center (dalam Dewi, 2012) menyatakan perilaku seksual yang berisiko tinggi meliputi petting dan oral seks tanpa kondom sedangkan perilaku seksual yang berbahaya apabila melakukan anal seks dan hubungan seksual tanpa menggunakan kondom. Bedasarkan data akumulatif Kemenkes RI sampai dengan bulan September 2014, penularan AIDS terbanyak terjadi pada hubungan heteroseksual sebanyak 34.305. Bedasarkan penelitian yang dilakukan pada siswa SMA di Medan tahun 2009 diperoleh hasil 64,8% berperilaku seksual diluar nikah (Dewi, 2009). Penelitian lain memperoleh sekitar 16% remaja mempunyai pengalaman melakukan hubungan seks pada usia 13 sampai 15 tahun dan 44% pada usia 16 sampai 18 tahun (Sofyan dalam Dalimunthe, 2013).
Selain perilaku seks pra nikah yang berisiko terjadi penularan HIV/AIDS, beberapa perilaku lain seperti penyalahgunaan narkoba banyak terjadi pada remaja. Hasil survei nasional pada kelompok pelajar dan mahasiswa yang dilakuan BNN tahun 2011, diketahui 4 orang dari 100 pelajar pernah menggunakan narkotika dan rata-rata pertama kali menggunakan pada umur 16 tahun. Saat ini terjadi peningkatan kasus AIDS akibat narkoba, khususnya pada remaja. Di Indonesia penggunaan narkoba melalui jarum suntik menjadi tren baru cara penularan HIV/AIDS, karena akibat penggunaan jarum suntik yang telah terkontaminasi HIV. Kencenderungan remaja yang menggunakan narkoba suntik memiliki perilaku seksual berisiko tinggi (Kemenkes RI, 2014b). Kecenderungan ini juga dapat dilihat pada penelitian Syarif (2008) yang mendapatkan hasil remaja yang menggunakan narkoba di Kota Tanggerang 55,3% berperilaku berisiko tertular HIV/AIDS.
Banyaknya penyalahgunaan narkoba oleh remaja karena masa ini hubungan mereka dengan teman sebaya jauh melebihi hubungan dengan keluarga, sehingga lingkungan pergaulan remaja sangat berperan mendorong mereka menggunakan
narkoba. Selain itu remaja memiliki keinginan untuk mencoba-coba, mengikuti trend dan gaya hidup untuk bersenang-senang dan bersosialisasi dengan kelompoknya.
2.4.3 Remaja dan pariwisata
Industri pariwisata tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan masyarakat di Bali. Keterbukaan masyarakat Bali terhadap arus wisatawan dan informasi-informasi yang dibawa dari luar berdampak pada kehidupan masyarakat Bali. Keterbukaan masyarakat ini dapat menyebabkan perubahan sistem nilai dalam moral, etika dan tata pergaulan dalam masyarakat. Dampak perkembangan pariwisata seperti itu juga berimbas pada perilaku remaja di Bali. Hal tersebut merupakan faktor eksternal dari perubahan perilaku yaitu faktor lingkungan dimana remaja tersebut tinggal.
Remaja yang tinggal di Bali secara langsung mendapatkan imbas dari pengaruh perkembangan pariwisata yang begitu pesat. Dengan fasilitas yang ada menyebabkan pergaulan remaja semakin luas dan semakin bebas. Walaupun sistem adat di Bali masih berlaku tetapi beberapa awig-awig (peraturan adat) mengenai perbuatan menyimpang seperti hubungan seks pranikah tidak begitu mengikat saat ini (Laksmiwati, 1999). Pembangunan fasilitas pendukung pariwisata seperti hotel, diskotik, bar, pub, cafe dan sebagainya tidak hanya memberikan keuntungan dalam segi ekonomi bagi masyarakat di Bali, namun tidak dapat dihindari dampak negatif yang diakibatkan. Ditempat-tempat tersebut tidak hanya dikunjungi wisatawan mancanegara atau domestik tetapi juga dikunjungan remaja yang tinggal di Bali. Di area tersebut terjadi pertukaran informasi dan memberi pengaruh terhadap perkembangan perilaku remaja. Selain itu penyebaran narkotika didaerah seperti itu sangat tinggi terjadi. Selain pembangunan fasilitas pariwisata yang legal dibangun di Bali juga terdapat pembangunan fasilitas yang ilegal, seperti tempat pelacuran. Tempat
pelacuran ini tidak hanya menyasar wisatawan, tetapi juga remaja yang menjadi salah satu konsumen dari bisnis ini (Laksmiwati, 1999).