• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN BAGUS RANGIN DALAM PEMBERONTAKAN RAKYAT CIREBON 1802-1818 SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PERAN BAGUS RANGIN DALAM PEMBERONTAKAN RAKYAT CIREBON 1802-1818 SKRIPSI"

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)

i

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Program Studi Ilmu Sejarah

Oleh:

Nama: Nanang Supramono

NIM: 004314002

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH

JURUSAN SEJARAH FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

iv

Martabat yang sama. Kita hanya dibingungkan oleh sudut pandang yang

berbeda, yang selalu menjadi konflik manusia”

( Sahabat Lama: Humania, 1997)

“ Aku tidak akan takut dengan hari esok karena aku sudah melihat kemarin

dan aku mencintai hari ini:

( Anonim)

(5)

v

Kupersembahkan skripsi ini untuk

™

Tuhan Yesus dan Bunda Maria yang melimpahkan kasih,berkat, rahmat

dan karunianya yang tak berkesudahan.

(6)

vi

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi ini merupakan karya sendiri dan belum pernah saya ajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan di perguruan tinggi

Skripsi ini tidak memuat karya orang lain atau suatu lembaga atau bagian dari karya orang lain , kecuali bagian-bagian tertentu yang dijadikan sumber.

Yogyakarta, 31Juli 2008 Penulis

(7)

vii Yogyakarta

2008

Pada awal abad ke-19 kolonialisme kuat di Hindia Belanda, pulau Jawa sebagai bagian utama penetrasi kekuasaan pemerintah kolonial. Akibat penetrasi dengan pemerintah kolonial tersebut, telah menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan sosial yang memicu lahirnya gerakan sosial di daerah-daerah, termasuk di Cirebon. Buruknya keadaan sosial,sekonomi,dan politik akibat penguasaan pihak asing yang intensif telah memicu timbulnya gerakan pemberontakan Rakyat Cirebon 1802-1818 dengan pemimpinnya Bagus Rangin. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan memberikan gambaran tentang kondisi yang melingkupi gerakan pemberontakan rakyat Cirebon yaitu kondisi geografis, demografis serta kondisi politik dan sosial ekonomi. Dalam karya ini juga dibahas jalannya pemberontakan dan dampak pemberontakan rakyat cirebon.

Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah sejarah kritis dengan menggunakan studi literature. Metode sejarah kritis yang digunakan meliputi empat langkah, pertama, heuristik yaitu mengumpulkan kembali jejak-jejak masa lampau (data sejarah)., kedua, kritik sumber yaitu kegiatan untuk memperoleh kebenaran dan kejernihan data, baik kritik ekstern tentang wujud sumber atau kritik intern tentang isi sumber untuk melihat keaslian atau kredibilitas sumber. Ketiga, interpretasi dan seleksi yaitu kegatan untuk mencari makna dari sumber-sumber yang berhubungan dengan fakta. Keempat , yaitu kekuatan untuk menyampaikan sintesa dalam bentuk historiografi.

(8)

viii Yogyakarta

2008

In the beginning of 19 th century, colonialism had already found in Netherlands Indies with Java as the center of colonial govermentt’s political penetration. The result of such penetration were social changes in local areas, including Cirebon. The Cirebon revolt 1802-1818, led by Bagus Rangin. Was provohed by bed condition of the society caused by foreign domination over economic and political sectors. This research is purposed to analyze and describe the background of the Cirebon Revolt. Including the geographical, demographical, political an socio-economical background of the region during the time of the uprising. In this research also the writer will add the chronology of the revolt and its in pacts.

The method employed in this research is critical historical using literature study it is down to four stages. The first one is heuristic, used to hare post. Second, source criticism, which is used to acguire the genuinity of the data, either eternal criticism upon the form of the source or internal criticism upon the credibility of the source. Third, interpretation and selection which is used to find out what meanings the sources have with in the relation with the fact. Fourth, the synthezising of the into historiography.

(9)
(10)

ix

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul PERAN BAGUS RANGIN DALAM PEMBERONTAKAN RAKYAT CIREBON 1802-1818. Skripsi ini dapat selesai berkat dukungan, bantuan, dan bimbingan dari banyak pihak, oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum, Selaku Dekan Sastra, yang telah memberikan ijin atas penulian skripsi ini.

2. Bapak Drs. Hb. Hery Santosa, M. Hum, Selaku Ketua Jurusan Sejarah, yang telah memberikan ijin atas penulisan skripsi ini. 3. Ketua Program Studi Ilmu Sejarah, yang telah memberikan

pandangan dalam skripsi ini.

4. Bapak Drs. H. Purwanta M.A, Selaku Pembimbing I, yang telah bersedia membimbing dan mengoreksi skripsi ini hingga selesai.

5. Pembimbing Akademis, yang telah memberikan dukungan dan bimbingan kepada penulis selama menyelesaikan kuliah di Universitas Sanata Dharma.

(11)

x

8. Staf sekretariat Sastra, Mas Tri yang telah banyak membantu dan melayani penulis selama duduk di bangku kuliah.

9. Keluargaku yang ada di Semarang, Bude Tin, Pakde No, Mas Andik, Mas Sigit n Mbak Reni terimakasih atas doanya… 10. Keluargaku di Bengkulu Bulek Yani, Om Joko, terimakasih

atas doanya

11. Keluargaku di Yogya Om kos dan Bulek Fanni terimakasih doanya

12. Saudaraku Rosalia ( mbak nia ), Ririn, Niken, Cukup, Rosa, Vika makasih atas dorongan dan doanya yaaaa……..

13. Ponakanku Ano, angel…….

14. Teman-teman sejawat: Fajar, Lazarus, Agung (bondok), Andreas (Q-ser), Kristian (Pokemon), Yustina (Use), Siska, Agnes, Retno Wuri (Ulil), Yoan Ira ( Ijo), Yohana, Resta, Yanti, Tika, Terimakasih Atas kesetiannya dan dukungannya selama ini

(12)

xi

( Kapan ke warnet neh ), Heri ( mana cewnya kok ga pernah di bawa ke kos), Wian ( katrox), Triko n Amel, Doni, Alfredo (Fred), Aldo, Claus n Ento, Rinto, Felik, Andi (Bapak”e dimas), Yuda, Den mas Suthur (kapan neng purawisata neh), makasih atas pertemanannya selama ini I luv you full ha….Ha….

17. Sahabat-sahabatku: Aris n Kiki, Cendi n Carla, Dwi n Nining, Galuh Tiwy, Li-Liecharity, Meyca “cantik”, Mupet, Matur nuwun nggih dah mau jadi temen curhat, kapan kita kumpul n main bareng lagi……

18. Teman- teman KKN, Jati, Kristian, Daru, Nino, Ajeng, April, Lisa, Rita, Terimakasih atas persaudarannya selama di Bambanglipuro.

19. My Luv H 4780 BD, Terimakasih sudah temani aku selama ini dan udah mau nganterin aku kemanapun aku mau….

(13)

xii

bermanfaat bagi pembaca dan Universitas Sanata Dharma.

Penulis

(14)

xiii

BAB II KONDISI YANG MELATARBELAKANGI PEMBERONTAKAN RAKYAT CIREBON

A. Kondisi Geografis dan Demografis Cirebon……….. 1. Cirebon di Bawah Kekuasaan Belanda………...

(15)

xiv

2.Eksploitasi Tanam Paksa dan Keresahan Sosial………….. 3.Persewaan Desa dan Penarikan Pajak………..

BAB III JALANNYA PEMBERONTAKAN RAKYAT CIREBON

A. Munculnya Bagus Rangin Sebagai Pemimpin Rakyat………. B. Jalannya Pemberontakan……….. C. Meluasnya Gerakan Pemberontakan………... D. Kegagalan Pemberontakan Rakyat Cirebon………...

BAB IV DAMPAK PEMBERONTAKAN

A. Bidang Ekonomi………..

B. Bidang Politik………..

C. Bidang Sosial………...

BAB V PENUTUP……….

DAFTAR PUSTAKA………... LAMPIRAN………..

31 33

37 41 42 50

53 54 57

60

(16)

xv

Lampiran 1. Daerah –Daerah Di Karesidenan Cirebon ... 68 Lampiran 2. Silsilah Sultan Cirebon ... 69 Lampiran 3. Pengikut Bagus Rangin Dalam Pemberontakan

Rakyat Cirebon ... 70 Lampiran 4. Daerah Pengikut Bagus Rangin Dalam

(17)

A. Latar Belakang

Dalam masyarakat agraris Jawa, tanah dan tenaga kerja merupakan

merupakan modal terhadap produksi pertanian. Menjelang akhir abad ke 18

struktur agraris mempunyai bentuk yang mencerminkan pengaruh-pengaruh yang

kuat dari struktur kekuaaan feodal. Untuk mendapatkan hasil produksi yang

semakin besar, raja serta pemegang apanagenya.1 Para bupati dan para

pembantunya, menekan petani secara lebih intensif. Kenaikan produksi

menambah volume ekspor VOC ke negara induk, sehingga akumulasi modal

menjadi menumpuk di sana sedangkan di sisi lain modal yang digunakan untuk

menambah kesejahteraan petani sangat sedikit sekali jumlahnya, pendapatan yang

diperoleh bupati dan pejabat di sekitarnya di gunakan untuk menopang gaya hidup

yang mewah. Intensifikasi pertanian dengan teknologi tradisional tidak mengubah

sifat homogen masyarakat, oleh karena itu kehidupan para petani tetap tidak

berubah dan semakin memburuk. Kekuasaan perdagangan masih saja tetap

dikuasai oleh VOC sebagai pemegang monopoli lewat kekuasaan politik.

Kebijakan politiknya adalah berupa sistem pemerintahan tidak langsung dengan

memberi kekuasaan terhadap para bupati. Dengan demikian para bupati diperkuat

oleh kekuasaannya dan lebih mampu memungut hasil-hasil yang diminta oleh

1

Apanage atau tanah lungguh adalah tanah jabatan sementara sebagai upah seorang priyayi atau bangsawan, Tanah apanege dapat dieksploitasi sehingga menghasilkan pajak yang berupa uang,barang dan tenaga kerja. Lihat Suhartono, 1991, Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta 1830-1920, Yogyakarta: Tiara Wacana, hlm.29

(18)

VOC, yaitu Contingenten 2 dan Verplichte leveranties3. Penetrasi kapitalisme komersial yang dijalankan oleh VOC, menurut rakyat agar menanam tanaman

ekspor dan membiarkan mereka hidup dalam subsitensi berdasarkan pola agraris

tradisional4. Dengan mempertahankan sistem swadaya seperti itu maka VOC

akan menambah beban mastarakat yang sangat besar.

Pada akhir abad ke-18 para pejabat VOC mulai merasakan bahwa kompeni

tidak lagi memperoleh apa yang seharusnya mereka dapatkan ini disebabkan

karena anah-tanah yang digarap bertambah luas, tetapi jumlah cacah5 dari setiap

kabupaten tetap tidak berubah bahkan semakin kecil jumlahnya. Kecilnya jumlah

setoran yang diperoleh dimungkinkan adanya manipulasi dari para bupati, hasil

pungutan lebih besar daripada yang diperoleh. Banyaknya bupati yang melakukan

manipulasi untuk menopang gaya hidup yang mewah, akibatnya mereka terdorong

untuk menyewakan seluruh tanah desa kepada orang-orang Cina untuk

mendapatkan pembayaran tunai dengan segera. Desa-desa yang tanahnya

disewakan mengabdi sepenuhnya kepada tuan tanah Cina. Selama jangka waktu

persewaan itu pihak penyewa memiliki kekuasaan untuk menarik penghasilan dan

menuntut jasa penduduk yang desanya disewakan. Kekuasaannya itu dilakukan

selama waktu sewa, misalnya 3,4, atau 10 tahun. Para pejabat VOC akhirnya

2

Contingenten atau kontingensi adalah sistem penyerahan produksi komoditi perdagangan berdasarkan kuota yang ditentukan setiap tahun. Penyerahan barang yang diwajibkan jumlahnya ditetapkan dengan mendapat pembayaran kembali. Lihat Sartono Kartodirjo & Djoko Suryo, 1991, Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial Ekonomi, Yogyakarta: Aditya Media,hlm. 28.

3 Ibid.

4

Sartono Kartodirjo, 1999, Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900, Dari EmporiumSampai Imperium, Jilid I, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hlm.196-297.

(19)

banyak yang mengikuti perilaku bupati untuk memperoleh uang pengganti cacah

dengan menyewakan desa-desa6 . Dengan demikian hak-hak feudal di pindahkan

kepada penyewa yang sudah tentu mempunyai hasrat besar untuk mengambil

keuntungan yang sebanyak-banyaknya.7

Dipandang dari sudut petani, beban yang dipikul menjadi sangat berat.

Petani tidak hanya dibebani untuk menyerahkan hasil pertanian dan pajak kepada

orang-orang Cina, namun tenaganya juga diperas. Di samping itu petani juga

harus mengadakan produksi untuk penguasa dengan perantara dan tambahan lagi

di atasnya berbagai hasil yang perlu disetor kepada VOC.

Kondisi petani yang terdesak tersebut menimbulkan reaksi dalam bentuk

gerakan perlawanan. Kehidupan subsitsensi yang tidak dapat ditoleransi lagi

merupakan cirri timbulnya perlawanan. Tuntutan penyerahan hasil pertanian dan

penyerahan tenaga kerja oleh orang-orang Cina menimbulkan suasana

ketidakpuasan. Guna menciptakan kembali situasi seperti sebelum adanya

orang-orang Cina dan residen yang telah memerasnya, maka dibuat ideology tandingan.

Dimana Elit pedesaan sebagai pimpinannya menandingi ideology colonial yang

selama ini dipandang stagnan dan menyebabkan ketidakdinamisan

lembaga-lembaga tradisional. Menurut elit tersebut lembaga-lembaga dan masyarakat yang sudah

menyatu merupakan kehidupan kolektif. Tidak berfungsingya lembaga

tradisional berarti kehidupan masyarakat pedesan menjadi kurang bermakna

sekaligus menghilangkan eksistensi dan jatidiri dari masyarakat tradisional

6

Ibid 7

(20)

Dilihat dari lokasinya maka perlawanan petani dibedakan menjadi dua

tempat, yaitu di pusat kerajaan dan di pinggiran. Daerah pinggiran yang

biasanya dijadikan basis perlawanan. Namun, aliansi dua lokasi terjadi karena

keduanya saling tergantung dalam memimpin dan mengalokasikan kekuatan

menghadapi penguasa. Selain itu, konflik yang terjadi di dalam istana terus

berkembang ke luar dan pecah sebagai gerakan pemberontakan petani di

pedesaan. Pemberontakan rakyat Cirebon 1802-1818 merupakan ekspresi

ketidakpuasan petani dalam bentuk gerakan pemberontakan yang meluas dari

pusat kerajaan ke pedesaan.

Protes sosial para petani Cirebon yang terjadi di daerah pertanian ini di

sebabkan karena para petani merasa dirugikan oleh orang-orang Cina dan

residen. Oleh karena itu, mereka melakukan pemberontakan terhadap pemerintah

colonial dan mengadakan pembunuhan terhadap orang-orang Cina. Permasalahan

kehidupan sosial ekonomi yang lama terpendam dan buruk ini, akhirnya

melahirkan kekuatan perlawanan menjadi besar skala yang luas. Perlawanan itu

dipimpin oleh Bagus Rangin, seorang bangsawan dari daerah Jatitujuh

Majalengka.8

Pemberontakan rakyat Cirebon, dapat digolongkan sebagai gerakan

nativistis9 dan messianistis Harapan akan datangnya Ratu Adil bertujuan melawan pemerintahan colonial dan orang0orang Cina, juga kemudian hendak

8

Edi S. Ekadjati,dkk,1990, sejarah Perlawanan terhadap Imperialisme Kolonialisme di Jawa Barat, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,hlm 101-102.

9

(21)

mendirikan sebuah kerajaan baru yaitu Negara Panca Tengah yang beribukota di

Bantarjati dan Bagus Rangin akan bertindak sebagai rajanya.

Sebelum gerakan pemberontakan tersebut berhasil mencapai tujuannya,

Bagus Rangin sebagai pemimpin pemberontakan berhasil di tangkap. Meskipun

demikian, sempat muncul pemberontakan kecil pada tahun 1816 dan tahun 1818,

di bawah pimpinan yang lain yaitu Bagus Jabin dan Nairem. Para pemberontakan

ini pun berhasil ditangkap oleh pihak Belanda. Dengan ditangkapnya para

pemimpin pemberontakan, rakyat Cirebon kehilangan semangat juangnya untuk

melakukan pemberontakan kembali dan akhirnya pemberontakan di Cirebon

berhenti pada tahun 1818.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan atas uraian latar belakang masalah di atas maka yang menjadi

pokok permasalahan penulisan skripsi ini tentang peran Bagus Rangin yang

dilakukan oleh Rakyat Cirebon. Oleh karena itu dalam penelitian ini diajukan

beberapa yang menjadi pokok atau rumusan masalah yaitu sebagai berikut:

1. Mengapa terjadi Pemberontakan?

2. Bagaimana jalannya Pemberontakan Rakyat Cirebon?

3. Dampak pemberontakan Rakyat Cirebon?

C. Tujuan Penelitian

(22)

1. Untuk mendeskripsikan dan menganalisa latar belakang Peran Bagus

Rangin dalam Pemberontakan Rakyat Cirebon 1802-1818.

2. Untuk mendeskripsikan dan menganalisa jalannya Peran Bagus Rangin

dalam Pemberontakan Rakyat Cirebon 1802-1818.

3. Untuk mendeskripsikan dan menganalisa Dampak Peran Bagus Rangin

dalam Pemberontakan Rakyat Cirebon 1802-1818.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Penulis

Penulisan ini dapat menjadi pengetahuan tentang bentuk Peran Bagus

Rangin dalam Pemberontakan Rakyat Cirebon 1802-1818 dan juga

menjadi tolok ukur kemampuan penulis dalam melakukan penelitian

sejarah.

2. Bagi Universitas Sanata Dharma

Penulisan ini di harapkan bisa menjadi wawasan atau pengetahuan yang

menambah ilmu pengetahuan mengenai Peran Bagus Rangin dalam

Pemberontakan Rakyat Cirebon 1802-1818 yang berupa karya ilmiah di

Universitas Sanata Dharma.

3. Bagi Dunia Ilmu Pendidikan

Penulisan ini di harapkan mampu menambah wawasan dan memperkaya

perbendaharaan ilmu sejarah mengenai Peran Bagus Rangin dalam

(23)

E. Tinjauan Pustaka

Dalam proses penulisan ini penulis memperoleh data dari bentuk

pengumpulan data-data melalui studi pustaka. Dalam mendapatkan data

mengenai permasalahan Peran Bagus Rangin dalam Pemberontakan Rakyat

Cirebon 1802-1818. Maka penulis menggunakan bahan pustaka sebagai sumber

penelitian. Buku-buku yang di gunakan sebagai sumber primer untuk

mendapatkan data-data mengenai pokok permasalahan pada penelitian ini antara

lain adalah:

Pertama, buku yang berjudul Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme Kolonialisme di Jawa Barat (1990) Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Buku ini disususn oleh tim yang terdiri dari Edi S. Ekadjati, Rosad

Amijaja, Didi Suryadi dan Erna Sutarna berisi tentang perlawanan terhadap

kekuasaan asing yang terdapat di Jawa Barat, termasuk Edi S. Ekadjati

membahas tentang pemberontakan Bagus Rangin di Cirebon. Masalah yang di

bahas yaitu awal mula pemberontakan dan jalannya pemberontakan, dalam dua

periode yaitu tahun 1802-1812 dan pada tahun 1816-1818. Bagus Rangin sebagai

pemimpin pemberontakan di gambarkan dengan jelas juga tokoh-tokoh

pemberontakan yang lain yang terlibat dalam pemberontakan ini. Buku ini hanya

memaparkan proses terjadinya pemberontakan.

Kedua, Sejarah Kerajaan Tradisional Cirebon (2001), buku ini ditulis oleh M. Sanggupri Bochari dan Wiwi Kuswiyah, diterbitkan oleh Depaetemen

Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta. Buku ini berisi tentang sejarah kerajan

(24)

abad ke 20. Faktor sosial ekonmi sebagai penyebab munculnya pemberontakan

dibahas dalan buku ini dan sedikit disinggung tentang jalannya pemberontakan.

Ketiga, buku yang berjudul Cirebon (1982), buku ini ditukis oleh tim Yayasan Mitra Budaya, Aburahman Paramita sebagai penyunting terdiri dari

kumpulan tulisan yang cukup lengkap mengenai Cirebon. Termasuk latar

belakang sejarahnya yang ditulis oleh Sulaiman Setyawati. Rentetan peristiwa

yang terjadi di Cirebon dan perjumpaan dengan Belanda mewarnai sejarah

Cirebon. Sepanjang abad ke 18 bencana alam dan bencana yang diciptakan

manusia membuat miskin rakyat Cirebon. Kondisi sosial yang buruk ini

merupakan salah satu penyebab timbulnya pemberontakan Rakyat Cirebon

sepanjang abad 18 sampai abad 19. Buku ini berisi tentang garis besar sejarah

Cirebon.

Keempat, R . H. Unang Sunardjo SH.. (1983), Meninjau Sepintas Panggung Sejarah Pemberontakan Kerajaan Cirebon 1479-1809. Bandung: Tarsito. Buku

ini berisi tentang gambaran rangkaian peristiwa campur tangan pemerintah

colonial Belanda di kerajaan Cirebon sampai kehilangan kekuasaanya. Unang

Sunardjo tidak sedikitpun menyinggung pemberontakan yang terjadi tahun

1802-1818, akan tetapi keadaan politik tahun 1802-1818 bisa mengungkap penyebab

timbulnya pemberontakan Rakyat Cirebon.

F. Landasan Teori

Secara umum kekuasaan adalah merupakan kemampuan seseorang di dalam

(25)

keinginannya. Dengan kekuasaan, maka seseorang bisa menjadikan orang lain

menuruti akan kehendaknya. Kekuasaan menjadikan seseorang bisa membuat

orang-orang yang ada disekitarnya bersedia membantu untuk mencapai suatu

tujuan yang diharapkan. Pentingnya kedudukan kekuasaan dalam pencapaian

kebahagiaan hidup menjadikan keinginan berkuasa merupakan hasrat yang cukup

besar dalam diri manusia.

Dalam masyarakat, setiap orang menjadi subyek kekuasaan (penguasa)

sekaligus juga sebagai obyek kekuasaan (dikuasai). Kekuasaan yang terdapat

dalam masyarakat, menurut M . Mac Iver , dapat digambarkan dalam bentuk

pirmamida bertingkat. Dimana pemerintah Belanda berada pada urutan teratas,

bupati dan kepala desa berada pada tingkat ke -3 dan ke-4, sedangkan masyarakat

berada ditingkat paling dasar.

Semua ini terjadi karena kenyataan bahwa kekuasaanyang satu

membuktikan dirinya lebih unggul daripada yang lain. Di antara banyak bentuk

kekuasaan yang terdapat dalam kehidupan masyarakat, salah satunya adalah

kekuasan politik. Kekuasaan politik ialah kemampuan untuk mempengaruhi

kebijaksanaan umum baik terbebtuknya maupun akibat sesuai dengan tujuan

pemegang kekuasaan itu sendiri.10 .

Unsur yang sangat erat kaitannya dengan penggunaan kekuasaan adalah

wewenang dan legitimasi. Wewenang merupakan kekuasaan yang dilembagakan,

dengan demikian penguasa berhak secara formal untuk mengeluarkan peraturan

dan menuntut kepatuhan terhadap peraturan itu.

10

(26)

Oleh sebab itu mengapa terjadi pemberontakan, ini disebabkan oleh adanya

para bupati dan pembantunya yang menekan petani secara intensif, selain itu juga

petani harus menyerahkan hasil pertanian dan pajak kepada orang-orang Cina

dan juga petani harus mengadakan produksi untuk penguasa.

Menurut Tilly, orang bertindak bersama-sama karena dua hal, yaitu

dorongan dari luar dan motifasi individu tertntu dalam masyarakat.Namun

demikian Tilly mengkombinasikan keduanya, dalam hal ini dorongan eksternal

atas struktur social berinteraksi dengan unsur kepentingan individu.

Dalam teori collective action, Tilly membedakan menjadi tiga menurut

faktor penyebabnya , yaitu pertama competitive action, yaitu adanya dua pihak

atau lebih yang bersaing untuk merebut atau menegakkan sesuatu. Kedua,

reactive collective action, yaitu upaya kelompok masyarakat unuk mengembalikan hak-hak yang mapan yang telah digusur oleh pihak tetntu,

terutama Negara dan lembaga-lembaganya. Ketiga, proactive collective action, yaitu upaya kelompok masyarakat untuk menciptakan suatu struktrur social baru

yang sebelumnya tidak ada.11 Pemberontakan Rakyat Cirebon ini lebih mengacu

pada jenis collective yang kedua. Masyarakat bereaksi ketika terjadi perubahan

sosial yang ditimbulkan oleh dominasi Barat. Sartono Kartodirdjo

mengungangkap ide tentang menghidupkan kembali beberapa unsur kebudayaan

murni dari masyarakat untuk menolak serbuan kebudayaan asing. Harapan

11

(27)

nativis menjanjikan akan akan datangnya bumi pertiwi yang putih, tidak ada

orang asing dan akan diperintah oleh kerajaan lama.12

Untuk melaksanakan proses collective action, Tilly menjelaskan dalam

model mobilisasi yang memiliki unsur-unsur kepentingan, organisasi, mobilisasi

dan kesempatan. Pemberontakan yang dipimpin Bagus Rangin ini melalui

organisasi sederhana dengan membentuk jaringan antar pengikutnya untuk

mempermudah mobilisasi.

G. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan dua metode penilitian, adalah

sebagai berikut:

1. Pengumpulan Data

Metode yang digunakan disebut metode sejarah yaitu suatu proses menguji

dan menganalisa secara kritis. Rekontruksi imajinasi terhadap masalampau

berdasarkan data yang diperoleh melalui metode sejarah itu disebut penulisan

sejarah (historiografi). Dalam melakukan penulisan sejarah dapat dilakukan

dengan empat tahapan pokok. Pertama, Pemilihan subjek penelitian dan

pengumpulan objek yang berasal dari jaman pada masa itu serta pengumpulan

bahan-bahan tertulis dan lisan. Kedua, menyingkirkan bahan-bahan yang tidak

otentik. Ketiga, menyimpulkan kesaksian yang dapat dipercaya mengenai

bahan-bahan yang otentik. Kempat, penyusunan kesaksian yang dapat dipercaya

menjadi sebuah kisah atau penyajian sejarah.

12

(28)

Metode pengumpulan data yang dilakukan adalah studi pustaka dengan

mencari dan menganalisis buku-buku yang tersimpan diperpustakaan, arsip-arsip

pemerintah dan sebagainya. Studi pustaka merupakan metode pengumpulan

sumber, dimana penulis mencari dan mengolah data-data yang sudah berbentuk

tulisan. Data yang ada kemudian dipelajari untuk kemudian diseleksi. Buku-buku

yang relevan dengan suatu permasalahan digunakan sebagai sumber data dan

acuan penulisan. Selain mengumpulkan data sejarah dari buku, juga diusahakan

mencari data-data yang tersimpan didalam arsip atau catatan yang tersimpan di

dalam perpustakaan daerah dan lembaga pemerintahan daerah.

2. Analisis Data

Data-data yang sudah diseleksi dari buku-buku, arsip dan catatan pemerintah

daerah kemudian dilakukan kritik sumber. Kritik sumber adalah tahap penulisan

sejarah untuk pengujian data. Kritik sumber bertujuan mengetahui sejauh mana

kredibilitas sumber yaitu kebenaran fakta sehingga bisa dipercaya dan

dipertanggungjawabkan. Kritik digunakan untuk menghindari kepalsuan sumber,

apalagi sebagian besar sumber data merupakan sumber sekunder.

Metode deskriptif analisa digunakan sebagai metodologi penulisan. Dengan

metode ini diharapkan mampu menggambarkan peristiwa yang secara jelas,

lengkap dan analitis. Penglohan data yang secara cermat diharapkan bisa

mengurangi subyektifitas yang biasanya muncul dalam sebuah historiografi.

H. Sistematika Penulisan

(29)

Pada Bab I Pendahuluan. Di mana pada bab ini berisi mengenai latar

belakang masalah, Rumusan Masalah, yang merumuskan permasalahan yang

dijadikan pokok penelitian, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Tinjauan

Pustaka, Landasan Pemikiran, Metode dan Pendekatan Penelitian dan

Sistematika Penulisan.

Bab II Kondisi Yang Melatarbelakangi Pemberontakan Rakyat Cirebon,

pada bab ini pembahasan diawali dengan penjelasan tentang kondisi geografis

dan demografi Cirebon, yang terkait dengan kondisi alam dan keadaan

penduduk. Untuk kondisi politik dan pemerintahan dibahas mengenai struktur

dan birokrasi pemerintahan kerajaan Cirebon sejak kedatangan Belanda hingga

proses campur tangan Belanda dalam mengatur segala kebijakan politik yang

diterapkan di lingkungan kerajaan Cirebon. Selanjutnya dibahas pula kondisi

sosial ekonomi yang terkait dengan eksploitasi tanaman paksa dan

keresahan-keresahan sosial. Sistem persewaan desa dan penarikan pajak, memunculkan

pemerasan oleh residen dan orang Cina, merupakan salah satu pemicu timbulnya

pemberontakan rakyat Cirebon.

Bab III Jalannya Pemberontakan Rakyat Cirebon, dalam bab ini berisi

tentang latar belakang munculnya pemberontakan rakya Cirebon, kepemimpinan,

ideology, tujuan, organisasi, pengikut, strategi dan proses berlangusngnya

pemberontakan rakyat Cirebon. Pemberontakan rakyat Cirebon ini pertama kali

muncul pada tahun 1802 dan melahirkan seorang pemimpin yaitu Bagus Rangin.

Pemberontakan sempat terhenti ketika pemimpinya tertangkap Belanda pada

(30)

berakhir tahun 1818. sama seperti gerakan pemberontakan pada umumnya di kala

itu, akhirnya pemberontakan rakyat Cirebon pun mengalami kegagalan dan

kekalahan dari pemerintah colonial Belanda.

Bab IV Dampak Pemberontakan, dalam bab ini akan dibahas mengenai

dampak-dampak pemberontakan, yang meliputi aspek politik,sosial dan

ekonomi. Aspek politik dapat dilihat dari berkurangnya

kewenangan-kewenangan pemerintah pribumi dalam menjalankan pemerintahan. Aspek sosial

terkait dengan keadaan sosial penduduk akibat yang ditimbulkan dari

pemberontakan. Sedangkan aspek ekonomi terlihat dari keadaan ekonomi akibat

pemberontakan, apakah semakin buruk atau semakin baik.

Bab V Kesimpulan, bagian ini berisi tentang pokok permasalahan yang

terdapat dalam bab-bab sebelumnya.

(31)

Pemberontakan rakyat Cirebon terjadi karena adanya

perubahan-perubahan politik, ekonomi dan keadaan demografi yang mempengaruhi

hubungan kekuasaan dan kekayaan di daerah pedesaan. Cirebon dengan kondisi

geografisnya yang menguntungkan, dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial untuk

disewakan kepada orang-orang Cina. Sistem persewaan desa ini tidak membuat

kondisi masyarakat menjadi makmur, sebaliknya mereka menderita karena

pemerasan oleh orang-orang Cina.

A. Kondisi Geografis dan Demografis Cirebon

Cirebon1 secara geografis terletak di ujung timur, pantai utara Jawa Barat

dan merupakan daerah karisidenan yang meliputi regenschap Cirebon, Kuningan,

Majalengka, dan Indramayu dengan luas wilayah 5.642.569 km.2 Karisidenan

Cirebon berbatasan dengan distrik Ciamis di sebelah selatan, Jawa Tengah di

sebelah timur dan timur laut, distrik Sumedang dan Subang di sebelah barat dan di

1

Cirebon pada awalnya merupakan sebuah desa yang bernama Lemahwungkuk yang menjadi pusat penyebaran agama Islam di daerah sekitarnya. Selanjutnya, desa ini berkembang menjadi kota dengan nama Cirebon, yang menjadi pusat kerajaan Cirebon. Asal kata Cirebon sendiri terdiri dari cai atau ci yaitu dalam bahasa sunda artinya air, dan kata rebon yaitu udang kecil-kecil bahan untuk membuat terasi (karena Cirebon banyak menghasilkan udang/rebon). Singgih Tri Sulistiyono. 1995/1996, Dari Lemahwungkuk Hingga Cheribon: Pasang Surut Perkembangan Kota Cirebon Sampai Awal Abad XX”, Makalah Diskusi Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutera, Cirebon: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Tradisional, Proyek IDSN,hlm.80.

2

Letak geografis Karisidenan Cirebon bisa dilihat dalam peta lampiran 1, hlm 78.

(32)

38

Dominasi politik kolonial yang menimbulkan perubahan sosial telah

menciptakan kondisi yang memicu lahirnya pergolakan sosial. Penetrasi ekonomi,

politik dan kultural Barat yang terjadi pada masa kolonial mengakibatkan

runtuhnya tata kehidupan tradisional. Runtuhnya bangunan tradisional sebagai

akibat adanya gagasan-gagasan baru dalam kehidupan sosial menimbulkan

kegoncangan norma-norma lama serta tekanan dikalangan petani. Oleh karena itu,

petani memiliki kecenderungan melakukan reaksi dalam menghadapi pengaruh

penetrasi kolonial.

A. Munculnya Bagus Rangin Sebagai Pemimpin Rakyat

.

Dalam gerakan massa organisasinya masih mempergunakan struktur

hubungan tradisional. Hubungan patron-cilent, hubungan keluarga, guru-murid,

dan hubungan yang sifatnya komunal, menjadikan loyalitas pengikut semakin

kuat bahkan menjadi mutlak. Kedudukan paling tinggi dipegang oleh pemimpin

yang menjadi penggerak bagi pengikutnya. Dengan demikian dalam struktur

organisasi kekuasaan pemimpin menjadi besar sekali. Seorang pemimpin

memiliki kemampuan dan pengalaman yang lebih disbanding para pengikutnya.

Kepemimpinan dalam gerakan pemberontakan, meliputi pengaturan operasional

gerakan atau taktik dan koordinasi para pengikut.

(33)

Bagus Rangin merupakan pemimpin pemberontakan pada periode pertama

yaitu tahun 1802-1812. Perjuangannya dalam menentang kolonialisme dan

imperialisme Belanda, pada hakekatnya merupakan kelanjutan dari perlawanan

Pangeran Surianegara (Raja Kanoman). Sebagai seorang pemimpin, Bagus

Rangin banyak melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain untuk

mengontrol keadaan rakyatnya. Berpindah-pindah tempat untuk mengumpulkan

pengikut. Tempat pertemuan dengan para pengikutnya yaitu di Gunung Aji,

daerah Sumedang dan Ciasem (Kabuyutan Kawocan). Merupakan sebuah tempat

rahasia, dan sengaja tidak memilih tempat tinggal sebagai tempat pertemuannya,

karena untuk menghindari kecurigaan pemerintah kolonial Belanda.

Pemberontakan yang dia lakukan tidak seorang diri, tetapi dibantu oleh adiknya

yaitu Bagus Serit sebagai orang kepercayaannya. Bagus Serit banyak berjasa

kepada Bagus Rangin, karena telah membantunya pada saat melakukan

penyerbuan ke rumah-rumah bangsawan di Palimanan.

Pengikut sebagai struktur dibawah pemimpin senantiasa menjadi

pendukung dan selalu untuk digerakkan oleh pemimpinannya. Loyalitas anggota

terhadap pemimpin kadang mutlak dan lebih didasarkan hubungan pribadi.

Pengikut Bagus Rangin kebanyakan berasal dari golongan petani dan rakyat

biasa pada umumnya, yang merasa senasib dengannya karena tanahnya dikuasai

oleh residen.

Pemberontakan ini tidak hanya terbatas di daerah Cirebon saja, tetapi juga

meluas ke daerah-daerah lain, baik di karisidenan Cirebon maupun di luar

(34)

diantaranya dari Kuningan, Cirebon, Majalengka, Indramayu, Sumedang,

Karawang dan Subang.1 Diperkirakan jumlah pengikut terbanyak berasal dari

Distrik Sumedang. Pengikut Bagus Rangin yang memiliki senjata diperkirakan

kurang lebih 150 orang, yang terdiri dari penduduk Karawang, Pamanukan,

Mlandong, Prakanmuncang dan Bandung. Persenjataan yang dimiliki berupa

peluru dan senapan yang berasal dari Karawang dan Pamanukan.

Bagus Rangin memulai karirnya sebagai pimpinan pemberontak karena

residen Belanda merampas tanah, warisan nenek-moyangnya. Tanah tersebut

dipergunakan oleh residen sendiri. Kejadian ini merupakan motivasi baginya

untuk membenci semua orang Eropa dan orang asing.2 Kharisma yang dimilki

memudahkan membangkitkan loyalitas pengikutnya untuk menggerakkan

mereka dengan tujuan melawan penjajah. Sebagai bentuk loyalitas, rasa hormat,

setia dan tunduk, para pengikutnya membawakan persediaan beras dan logistic

lainnya. Mereka juga melindungi Bagus Rangin dari Pemerintah Kolonial

Belanda yang selalu berusaha mencari dan menangkapnya.

Pusat gerakan Bagus Rangin berlokasi di daerah Jatitujuh, termasuk

Kabupaten Majalengka, Karisidenan Cirebon.3 Gerakan perlawanan rakyat

Cirebon secara spontan diawali dengan penentangan terhadap pemerintah

kolonial Belanda beserta kaki tangannya. Sasaran pertama gerakan ini ialah

residen dan orang-orang Cina, karena dianggap secara langsung meras rakyat.

1

Nama-nama sejumlah Pengikut Bagus Rngin dan tempatnya asalnya dapat dilihat pada lampiran 3, hlm. 74.

2

Paramita R. Abduracman, loc.cit.

3

(35)

Akibatnya banyak orang Cina yang dibunuh dan diusir dari Cirebon. Kekacauan

di Cirebon ini menyebar ke daerah Sumedang, karena terlalu kejamnya sikap dan

tindakan pemerintah kolonial Belanda terhadap rakyat dan juga pejabat pribumi.4

Pihak Belanda menduga bahwa pecahnya kerusuhan digerakkan oleh

Pangeran Surianegara. S.H Rose selaku residen Cirebon menyarankan kepada

pemerintah Belanda di Batavia, bahwa untuk menumpas gerakan itu pemerintah

harus mengundang Raja Kanoman beserta dua orang saudaranya ke Batavia

dengan alasan untuk berunding. Pemerintah kolonial Belanda menerima saran itu

dan kemudian disampaikan undangan kaepada Raja Kanoman. Setibanya di

Batavia bukanlah perundingan yang dilakukan, melainkan penangkapan terhadap

ketiga orang pemimpin gerakan rakyat itu.

Pada saat itu juga S.H Rose mengajukan resolusi kepada pemerintah di

Batavia, memohon supaya dikeluarkan perintah oleh Belanda kepada parea

bulpati, agar tidak memberi jalan kepada rombongan tersebut. Bupati Karawang

R.A Surialaga diperintahkan, apabila sudah tiba di Karawang dicegat dan

disuruh kembali ke Cirebon.. Berdasarkan Resolusi 15 Maret 1805, untuk

memulangkan rombongan rakyat Cirebon, Belanda mengirimkan kapal ke

Clincing. Rombongan tersebut berhasil dipulangkan ke Cirebon tanggal 17 Mei

1805.

B. Jalannya Pemberontakan

4

(36)

Pada tahun 1768 pejabat kompeni di Batavia memecat Sultan Cirebon \,

alasannya karena dianggap melakukan korupsi. Otomatis daerahnya diserahkan

kepada Sultan Sepuh oleh Kompeni5. Sultan Cirebon kemudian dibuang ke

Maluku . Dengan tindakan kompeni itu, akhirnya Kasultanan Cirebon hanya

dikuasai oleh Sultan Sepuh dan Sultan Anom. Dalam mengendalikan

pemerintahannya kedua Sultan tersebut selalu tergantung kepada kompeni.6

Pada tahun 1798 Sultan Kanoman wafat. Rakyat berharap agar Raja

Konoman sebagai gantinya. Harapan rakyat itu ditolak oleh Belanda, bahkan

pihak Belanda sengaja mengangkat Pangeran Surantaka yang tidak disenangi

oleh rakyat. Pangeran Surianegara yang dicintai oleh rakyat Cirebon diusir oleh

Belanda dari keratin bersama dua orangsaudaranya, yaitu Pangeran Kabupaten

dan Pangeran Lutan.

Pengusiran Raja Kanoman mengundang protes para bangsawan dan

pemuka agama di Cirebon. Mereka meminta kepada pemerintah Belanda agar

meninjau kembali keputusan tersebut. Pihak Kasultanan Kasepuhan juga turut

mempersoalkan pangeran yang dicabut haknya itu. Pada akhirnya masyarakat

pun mengidentifikasikan diri dengan persoalan pangeran yang haknya di cabut.

Rakyat pedesaan Cirebon pada saat itu sedang dilanda keresahan, karena

tenaganya habis dieksploitasi oleh orang-orang Cina yang menyewa desa

mereka. Pajak yang ditarik oleh orang Cina terlalu besar dan banyak macamnya.

C. Meluasnya Gerakan Pemberontakan

5

Silsilah Sultan Agung Cirebon dapat dilihat pada lampiran 2 hlm 73.

6 Edi S.Ekadjati,dkk,1990, Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme Kolonialisme di

(37)

Rakyat Cirebon tidak berhenti begitu saja, walaupun pimpinan mereka

telah dibuang ke Ambon, situasi pergolakan terus berlangsung bahkan

semakin meningkat dan meluas. Dewan penasehat Belanda di Batavia

mengirim delegasi dipimpin mantan Residen Cirebon P. Wallbeek,

mengajukan suatu perjanjian yang berisi sebagai berikut:7

¾ Raja Kanoman akan dilantik kembali menjadi raja

¾ Pemerintah kolonial Belanda akan memperbaiki kehidupan rakyat

¾ Orang Cina tidak akan diperbolehkan lagi menyewa desa dan tidak

diizinkan tinggal di pedesaan

¾ Mempermudah urusan rakyat

¾ Pemerintah kolonial Hindia Belanda akan mengangkat patih dan

beberapa menteri bagi tiap raja, supaya pemerintah lebih tetap

¾ Kepada Raja Kanoman akan diberi 1000 cacah oleh Panembahan

Cirebon

¾ Penghasilan Residen Cirebon dari kopi yang besar sekali jumlahnya

akan dikurangi.

Membaca isi perjanjian itu rakyat Cirebon marah dan menolaknya. Mereka

beranggapan bahwa perjanjian tidak menjamin adanya perbaikan terhadap

kehidupan rakyat Cirebon, terutama dari segi perekonomian. Pemerintah kolonial

Belanda pun sulit untuk memadamkannya. Kondisi sosial ekonomi rakyat yang

semakin susah, justru menambah semangat perjuangan rakyat Cirebon untuk

7

(38)

menentang pemerintah kolonial Belanda dan orang-orang yang dianggap

memerasnya.

Rakyat Palimanan daerah antara Jatitujuh dan Majalengka, mulai bangkit

pula dengan melakukan perlawanan terhadap penguasa daerahnya. Sama daerah

lain di Cirebon, desa-desa di Palimanan disewakan bupati kepada orang-orang

Cina, petani dihisap tenaganya dan dikenakan pajak yang sangat tinggi. Atas

tindakan orang-orang Cina itu, rakyat Palimanan mengajukan suatu permohonan

kepada bupati supaya pajak bagi rakyat di daerah tersebut diringankan. Oleh

karena jawaban bupati tidak memuaskan, akhirnya mereka melancarkan

perlawanan. Mereka meminta bantuan dan nasehat kepada Bagus Rangin yang

dianggap sebagai pemimpin. Bagus Rangin menyetujui tujuan gerakan rakyat

Palimanan dan menasehatkan, bahwa yang wajib dibunuh terlebih dahulu ialah

bupati dan wakil Residen Belanda, karena kedua orang pejabat itulah yang paling

bertanggung jawab atas kesengsaraan rakyat.8

Setelah mendapat persetujuan Bagus Rangin, rakyat Palimanan segera

menyerbu kota Palimanan dibawah pimpinan Bagus Serit (adik Bagus Rangin).

Mereka menyerbu ke dalam pendopo kabupaten untuk membunuh Bupati

Tumenggung Madenda, dan mendobrak rumah wakil Residen Belanda untuk

dibunuh. Rumah para bangsawan setempat dan orang Cina pun di kepung dan

diserang. Beberapa orang yang dijumpainya dibunuh, termasuk orang yang

dianggap menyebabkan kemelaratan hidup mereka.9

8 Edi. S Ekadjati, op.cit. hlm. 104. 9

(39)

Usai melancarkan serangan ke Palimanan, para penyerang tersebut

mengundurkan diri dan berpencar ke tempat-tempat asal mereka, bahkan ada

sebagian dari mereka bergabung kepada Bagus Rangin. Bagus Rangin pun

akhirnya berhasil menghimpun para pemberontak dengan jumlah yang cukup

banyak.

Dalam laporan tanggal 25 Februari 1806, Residen Van Lawick

memberitakan kembali adanya gerakan melawan pemerintah kolonial. Menurut

berita tersebut, di daerah perbatasan antara Kabupaten Sumedang dan Cirebon

(yaitu daerah Jatitujuh dan sekitarnya) muncul para pemberontak.10 Kelompok

pemberontak tersebut berjumlah kurang lebih 1000 orang dan 50 diantaranya

bersenjata.11 Sampai akhir tahun 1806 jumlah pemberontak yang bersenjata

berjumlah sekitar 40.000 orang. Pasukan yang langsung dipimpin Bagus Rangin

berjumlah antara 280-300 orang dan sudah terlatih perang.

Gubernur Jenderal A. H Wiese (1805-1808) dengan persetujuan Dewan

Penasehat Pemerintah Hindia Belanda di Batavia, segera menugaskan Nicolaeus

Engelhard sebagai pemimpin pasukan. Pasukan bantuan Bupati Bangkalan

Mangkudiningrat didatangkan untuk menumpas pemberontakan rakyat Cirebon.

Nicolaeus Engelhard beserta pasukan Belanda, meminta kepada kepala

daerah pribumi (bupati) yang daerahnya terletak di sekeliling daerah

pemberontakan, diperintahkan mempersiapkan dan mengirim pasukan ke tempat

yang dilanda kekacauan untuk ikut serta memadamkan pemberontakan. Pasukan

10

Ibid.

11

(40)

bantuan didatangkan dari Sumedang, Subang, Karawang, dan Cirebon. Paukan

Cirebon dan Sumedang ditugaskan mengepung daerah perlawanan dari arah

selatan dan timur, sedangkan pasukan Subang dan Karawang mengepung dari

arah barat dan utara. Pasukan Sumedang yang dipimpin oleh bupati dan Patih

Sumedang, yaitu R. A Surianegara dan Raden Wangsayuda, mendirikan

markasnya di Damar Wangi dan di Tomo, sedangkan pasukan Cirebon menjaga

daerah sepanjang sungai Cimanuk. Pasukan Cirebon melancarkan serangan

terhadap daerah pemusatan pasukan Bagus Rangin di sekitar Bantar Jati,

Jatitujuh daerah perbatasan antara Sumedang dan Cirebon. Pada waktu itu,

pasukan Karawang yang dipimpin oleh bupatinya, R. A Suryalaga bergerak maju

pula sambil menyerang tempat-tempat kedudukan para pemberontak.

Mengingat pertempuran tersebut berlangsung dalam waktu cukup lama

mengakibatkan banyaknya jatuh korban di kedua belah pihak. Dua orang kepala

distrik yaitu Putra Patih Sumedang menjadi korban, 25 orang prajurit Sumedang

ditawan dan di hokum mati. Pasukan Bagus Rangin pun banyak jatuh korban,

dan sebagian lagi pasukannya berhasil meloloskan diri. Untuk meredakan

pertempuran, pada tanggal 1 September 1806 diadakan perjanjian antara Sultan

Sepuh dan Sultan Anom dengan Pemerintah Kolonial Belanda. Isi perjanjian

antara lain menetapkan, “Raja Kanoman beserta dua orang saudaranya

dikembalikan ke Cirebon dan dinobatkan menjadi sultan. Orang-orang Cina tidak

diperbolehkan tinggal di daerah pedalaman dan kepada para sultan yang

memihak Belanda tidak diperkenankan memeras rakyatnya”. Sampai berlakunya

(41)

perjanjian itu belum dapat meredakan perlawanan rakyat daerah Jatitujuh dan

sekitarnya.12 Pemberontakan pun terus berlangsung, kadang-kadang di bawah

seorang pemimpin dan kadang-kadang dilakukan sendiri oleh

kelompok-kelompok pemberontak yang tersebar di Cirebon.13

Pada saat pemerintah Gubernur Jenderal W.Daendels berkuasa, perlawanan

rakyat makin meluas ke daerah Indramayu sebelah selatan, karena Daendels

secara terus menerus mengurangi kekuasaan sultan. Untuk mencoba meredakan

perlawanan rakyat, di samping mendatangkan pasukan bantuan, pada tanggal 25

Maret 1808 Daendels mengembalikan raja Kanoman dari tempat

pembuangannya di Ambon, dan menobatkannya menjadi Sultan Cirebon. Akan

tetapi Sultan Kanoman yang baru dilantik tersebut, tidak mampu mengembalikan

ketenangan rakyat.14 Daendels membagi daerah Cirebon menjadi dua bagian,

yaitu :

1. Bagian Utara disebut wilayah Kasultanan Cirebon yang meliputi

daerah-daerah: Kuningan, Cirebon, Indramayu, dan Gebang.

2. Bagian Selatan yang disebut tanah-tanah Priangan yang meliputi

wilayah Kabupaten Limbangan, kabupaten Sukapura dan kabupaten

Galuh.

Pada tanggal 13 Maret 1809, wilayah Kasultanan Cirebon dikepalai oleh

tiga orang sultan ( Sultan Kasepuhan, Sultan Kanoman, Sultan Kacirebonan).

12

M. Sanggupri Bochari & Wiwi Kuswiyah, op.cit, hlm. 49.

13

Paramita R. Abdurracman, op.cit, hlm. 60.

(42)

Wilayah kekuasaan Sultan Sepuh (Kasepuhan), yaitu bagian selatan meliputi

Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Cirebon, bagian tengah adalah daerah

kekuasaan Sultan Anom (Kanoman), diperkirakan sama dengan daerah

kabupaten Majalengka sekarang, dan Sultan Kacirebonan wilayah kekuasaannya

yaitu daerah Indramayu. Untuk kota Cirebon dan sekitarnya, yang terdiri dari

persawahan dibagi dua wilayah antara Sultan Sepuh dan Sultan Anom.

Tindakan-tindakan lain Daendels terhadap para sultan di Cirebon, yaitu

memecat kembali Sultan Kanoman yang sikap dan tindakannya dianggap selalu

menentang Pemerintah Kolonial Belanda. Pemecatan terhadap Sultan Kanoman

membuat rakyat Cirebon sangat kecewa, karena Sultan Kanoman dianggap

sebagai figur pemimpin yang selalu membela rakyat. Segala kebijakan Daendels

tersebut mengakibatkan keresahan di segala lapisan masyarakat. Akhirnya semua

perlawanan dan gerakan-gerakan rakyat di daerah-daerah yang semula hamper

reda menjadi berkobar lagi, bahkan semakin menghebat dan melahirkan

pemimpin-pemimpin pemberontakan.

Di samping pemberontak rakyat Cirebon, Belanda di bawah Daendels

menghadapi perang lain, yaitu melawan Inggris yang menentang Eropa di bawah

Napoleon. Pada tahun 1811 orang-orang Inggris berhasil mendarat di Jawa dan

mengalahkan tentara Belanda. Banyak pasukan Indonesia dalam tentara Belanda

bercerai-berai di pedalaman dan mulai beroprasi sendiri-sendiri. Keadaan seperti

itu dimanfaatkan oleh Bagus Rangi untuk menghimpun para pemberontak dan

memimpin pemberontakan. Pemberontak-pemberontak di bawah pimpinan

(43)

Cina, dan melakukan tindakan-tindakan seperti lazimnya dilakukan dalam

pemberontakan pada saat itu.

Bagus rangin berhasil mengumpulkan kembali pengikutnya di Gunung Aji

( daerah Sumedang dan Ciasem). Masyarakat masih menghormatinya, karena dia

dianggap sakti dan diharapkan mampu tampil sebagai pemimpin dalam

mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Sementara itu gabungan tentara

Belanda dibantu oleh para bupati yang telah bergerak dari kabupaten menuju

Jatitujuh. Pasukan Bagus Rangin mengadakan serangan terlebih dahulu, caranya

dengan memasang umbul-umbul di lapangan Jawura. Maksud dari pemasangan

tersebut sebagai tanta “ menentang perang”. Dipilihnya lapangan Jawura karena

letaknya yang strategis dan menguntungkan. Lapangan Jawura berada di sebelah

barat Desa Kertajati (5 km dari Jatitujuh), memanjang ke arah timur-barat dengan

luas kurang lebih lima hektar.

Pasukan gabungan Pemerintah Kolonial memerintahkan tiap kebupaten di

wilayah Priangan dan Kabupaten Karawang untuk mengirimkan pasukannya,

terutama kabupaten yang berbatasan dengan daerah perlawanan. Bupati

Sumedang Pangeran Kusumahdinata dan Bupati Karawang R.A Surialaga,

masing-masing ditetapkan sebagai komandan pasukan. Kedua pasukan itu

dibantu oleh pasukan Belanda dari Batavia, dipimpin oleh seorang Mayor dengan

para opsir. Begitu tiba di perbatasan Kertajati dan Babakan, pasukan gabungan

melihat umbul-umbul merah yang dipasang oleh pasukan Bagus Rangin. Hal itu

(44)

dimulainya perang yang diawali dengan dentuman meriam, maka terjadilah

pertempuran di lapangan Jawura.15

Akibat pertempuran di lapangan Jawura pada tanggal 22 Juli 1810,

Bagus Rangin dapat mengalahkan pasukan Sumedang di Bantarjati. Bagus

Rangin juga mengakui bahwa pasukannya menderita kekalahan di beberapa

tempat lain. Dipihak lain, pasukan yang dipimpin Buyut Merat dan Buyut Deisa

dapat mengalahkan pasukan Belanda di Karawang. Persenjataan Belanda yang

sangat lengkap dan terus menerus didatangkannya pasukan bantuan dari berbagai

daerah, akhirnya membuat pasukan Bagus Rangin kalah dan berhasil dipukul

mundur ke desa Panongan.

Penumpasan perlawanan rakyat Cirebon sempat terhenti, mengingat pada

saat itu sedang terjadi pergantian kekuasaan dari pemerintah kolonial Belanda ke

tangan Inggris. Kondisi ini dimanfaatkan Bagus Rangin untuk

mengkonsolidasikan dan menyusun kekuatan kembali untuk melakukan

pemberontakan. Pengikutnya yang tercerai-berai berhasil dihimpu kemballi.

Raffles sebagai Gubernur Jenderal, mengeluhkan kebijakan untuk

mengumpulkan pasukan bantuan dari Cianjur guna menumpas perlawanan rakyat

cirebon.

Pasukan bantuan yang didatangkan Raffles, memicu pertempuran muncul

kembali di Bantarjati dari tanggal 16 sampai 29 Februari 1812. pertempuran

antara pasukan Bgus Rangin dan pasukan bantuan tidak dapat dihindari, namun

(45)

karena didesak terus-menerus akhirnya pasukan Bagus Rangin mengalami

kekalahan. Para pengikut dan pemimpin pemberontakan rakyat Cirebon banyak

yang melarikan diri, termasuk Bagus Rangin.

Pasukan rakyat Cirebon yang berhasil melarikan diri kemudian bertahan

disuatu daerah yang bernama Pangayoman. Serangan yang teru-menerus

dilakukan oleh serdadu Belanda, akhirnya membuat mereka mundur ke

Kampung Sindang sebagai tempat pertahanan terakhir. Bagus Rangin yang

mengalami kekalahan di Bantarjati pada tanggal 23 Januari 1812, pergi ke

Sumedang di hutan Ujung Jaya, karena di sana terdapat istri dan anaknya.

Operasi militer pasukan pemerintah colonial digelar terus dengan

menelusuri desa-desa yang dianggap sebagai tempat persembunyian para

pemberontak. Operasi ini terutama ditujukan untuk menangkap Bagus Rangin.

Pada akhirnya operasi militer ini berhasil menangkap Bagus Rangin di Panongan

pada tanggal 27 Juni 1812 dan perlawanan untuk sementara padam.

D. Kegagalan Pemberontakan Rakyat Cirebon

Tertangkapnya Bagus Rangin pada tanggal 27 Juni 1812, membuat

pemerintah kolonial Belanda beranggapan bahwa pemberontakan tersebut telah

padam dan tidak perlu dikhawatirkan adanya pemberontakan susulan. Menurut

penilaian pemerintah kolonial Belanda, hanya Bagus Rangin yang mampu

menjadi pemimpin pemberontakan dan mengumpulkan pengikut yang banyak.

Keadaan seperti ini justru dimanfaatkan oleh seorang pemuda bernama

(46)

kembali terhadap pemerintah kolonial Belanda. Sebagai keponakan Bagus

Rangin, Jabin menganggap bahwa dirinya harus melanjutkan perjuangan

pamannya untuk membela rakyat kecil dan melawan Belanda. Dengan tidak

diduga sama sekali oleh Belanda, pemberontakan meletus lagi sampai dua kali

terjadi tahun 1816 dan berakhir tahun 1818. Pemberontakan tahun 1816 yang

dipimpin Bagus Jabin dan pemberontakan 1818 yang dipimpin Nairem menemui

kegagalan dan dapat dipatahkan oleh Belanda. Akhirnya pemberontakan di

Cirebon berhenti dan pemimpinnya pun mengalami nasib yang sama dengan

Bagus Rangin.

Gerakan pemberontakan rakyat Cirebon yang dipimpin Bagus Rangin dan

para pengikutnya gagal mencapai tujuannya. Ada beberapa faktor yang menjadi

penyebab, yaitu faktor sumber daya manusia yang terdiri atas kepelmimpinan,

organisasi dan keterlibatan rakyat. Kepemimpinan yang didasarkan atas kharisma

seseorang tidak selalu membawa hasil. Dengan ditangkapnya Bagus Rangin dan

para pemimpin selainnya, menyebabkan para pengikutnya kehilangan target daya

juang. Hal ini sama dengan gerakan-gerakan pemberontakan pada umumnya saat

itu, apabila pemimpinnya mati maka secara otomatis pemberontakan tersebut

berhenti. Faktor organisasi yang tidak mengikat dalam sifat keanggotaannya dan

hanya bertumpu para pemimpinnya sehingga sulit untuk melakukan koordinasi

antar cabang dan ranting di daerah-daerah yang terlibat pemberontakan. Faktor

lainnya yaitu keterlibatan rakyat dalam gerakan pemberontakan hanya didasarkan

pada dorongan moral dan tidak memiliki tujuan yang jelas, menyebabkan

(47)

Faktor kedua adalah faktor sarana dan prasarana yang menyangkut masalah

dana, logistik dan persenjataan. Masalah dana, persediaan logistik dan

persenjataan yang dimiliki Bagus Rangin tidak memungkinkan jika digunakan

untuk perlawanan jangka panjang. Dibandingkan dengan persenjataan yang

dimiliki pemerintah kolonial Belanda, senjata pasukan Bagus Rangin sudah

ketinggalan zaman dan masih tradisional. Masalah taktik dan strategi yang

digunakan Bagus Rangin pun masih terlalu sederhana, sehingga mudah sekali

dipatahkan oleh pemerintah kolonial Belanda.

Dari dua faktor penyebab kegagalan pemberontakan di atas, faktor sumber

daya manusia serta faktor sarana dan prasarana merupakan hal yang menentukan

faktor keberhasilan dari gerakan pemberontakan ini. Sedangkan kematian Bagus

Rangin sebagai tokoh utama menjadi faktor dominn penyebab gagalnya

pemberontakan rakyat Cirebon.

(48)

bagian utara berbatasan dengan Laut Jawa.3 Selanjutnya pada zaman

Pemerintahan Hindia Belanda, Cirebon berkedudukan sebagai ibu kota

karisidenan, ibukota kabupaten, dan sekaligus ibukota distrik.4

Kerajaan Cirebon letaknya di tepi pantai, namun sebagian besar wilayahnya

berada di pedalaman. Akibatnya Cirebon bukan hanya merupakan kerajaan

maritim, tetapi juga merupakan kerajaan yang bersifat agraris. Kondisi ini

menjadikan Karisidenan Cirebon memiliki topografi yang unik, Indramayu dan

bagian utara Cirebon merupakan dataran rendah dengan karakteristik daerah

pesisir, sedangkan Kuningan5 dan Majalengka6 merupakan daerah dataran tinggi

dengan karakteristik wilayah pegunungan. Dari dataran rendah dihasilkan beras

yang berlimpah dan merupakan komoditi ekspor. Sementara itu dari daerah

dataran tinggi dihasilkan komoditi sayur-sayuran dan buah-buahan.

Dilihat dari letak geografisnya, posisi Cirebon sangat strategis. Pada jaman

VOC kota Cirebon menjadi pusat perniagaan Belanda di daerah antara Batavia

dan Jepara. Kota pelabuhan ini terletak pada teluk yang terlindungi oleh

Semenanjung Indramayu dan karang-karang di sebagian lepas pantai dari

terjangan ombak dari arah utara. Pesisir Cirebon merupakan pantai yang landai

dan tidak curam, sehingga mudah didatangi oleh kapal-kapal dan perahu, yang

menyebabkan Cirebon menjadi berkembang menjadi kota pelabuhan yang ramai.

3

Paramita R. Abdurahman, 1982, Cerbon, Jakarta: Sinar Harapan, hlm.11 4

Singgih Tri Sulistiyono, loc.cit. 5

Kuningan terletak di lereng gunung Ciremai ( 3.070 m), pernah menjadi pintu gerbang dan jalan lalu lintas utama antara kerajaan Galuh di selatan dan kerajaan Cirebon di pantai utara.

6

(49)

Kondisi alamiah seperti itu sangat memudahkan didalam pembangunan sarana

dan prasarana pelabuhan separti dermaga, dan sebagainya. Tidak mengherankan

apabila konstelasi geografi yang dimiliki Cirebon seperti ini berkembang sebagai

pusat ekonomi dan pusat pemerintahan.

Sebagai kota pelabuhan perdagangan, penduduk Cirebon melakukan kontak

budaya dengan para pendatang. Proses interaksi sosial pun terjalin antara

penduduk Cirebon dan para pendatang. Implikasi lebih jauh, banyak penduduk

pendatang menetap secara permanent, yang berdampak penduduk Cirebon tidak

homogen7 . Pendatang asing yang berasal dari Cina, Parsi, Gujarat, Arab, dan

lain-lain. Untuk pendatang pribumi terdiri dari orang Jawa, Sunda, Madura,

Betawi, Batak, Minangkabau, Bugis, dan, Melayu8. Pemerintah Belanda

mengelompokkan penduduk Cirebon berdasarkan ras, yaitu golongan Timur

Asing (Vreemde Oosterlingen)9 dalam sistem hukum kolonial memiliki

kedudukan satu tingkat lebih tinggi dari golongan pribumi (Inlanders). Oleh

karena itu secara kondusif mereka memiliki lebih banyak peluang untuk maju di

bidang ekonomi10. Tempat tinggal mereka pun terpisah, baik secara kultural

maupun karena kebijakan pemerintah kolonial yang bersifat rasialis11.

Dari informasi Raffles pada tahun 1815 tercatat jumlah penduduk Cirebon

sebanyak 216.001 orang, yang terdiri dari 213.685 orang pribumi dan 2.343

7

Supriatno, 2001, Ziarah di Komplek Makam Sunan Gunung Jati, Cirebon: Suatu Studi Mangenai Kepercayaan Kepada Wali dalam Islam, Thesis Universitas Kristen Duta Wacana, hlm.47.

8

Ibid., hlm.49. 9

Golongan Timur Asing (Vreemde Oosterlingen) terdiri dari orang-orang Cina, Arab dan Benggala.

10

Supriatno, loc.cit. 11

(50)

orang Cina12 . Jumlah etnis Cina merupakan kelompok minoritas, akan tetapi

perannya dalam sektor ekonomi cukup berat. Dari hasil penelitian Fernando pada

tahun 1815 diketahui bahwa kepadatan penduduk rata-rata di residensi Cirebon

di daerah pedesaan lebih padat, dari pada di distrik kota Cirebon. Di distrik kota

Cirebon rata penduduk tiap desa hanya sebanyak 130 jiwa sedangkan

rata-rata penduduk tiap desa di residensi berjumlah 264 jiwa13.

Mata pencaharian penduduk Cirebon menurut sensus Raffles pada tahun

1815, pada umumnya bekerja sebagai petani, yaitu sebanyak 132.215 orang.

Selain bertani juga memiliki mata pencaharian pada sektor lain, yaitu sebagai

pengerajin dan nelayan sebanyak 83.889 orang14.

Struktur sosial penduduk Cirebon tersusun secara hirarki vertikal, pelapisan

sosial berdasarkan kedudukan atau peran seseorang atau kelompok orang di

dalam masyarakat. Bila dilihat dari segi ini, penduduk Cirebon dapat

dikelompokkan ke dalam tiga lapisan sosial, yaitu: golongan menengah dan

golongan bawah15.

Golongan pertama, yaitu kaum bangsawan tingkat atas, elit birokrasi

(tradisional) juga sekaligus merupakan elit agama. Golongan ini terdiri atas

sultan atau raja beserta keluarganya dan para pejabat tinggi kerajaan. Kedudukan

sultan atau raja menempati posisi tertinggi dalam status sosialnya, karena

12

Thomas Stamford Raffles, 1817, The History of Java Vol II, London: Oxford University Press, hlm. 255.

13

M. R. Fernando, Peasant and Plantation Economy: The Social Impact of the European Plantation Econ” Cirebon Residency from the Cultyivation System to the End of First Decade of the Twentieth Century, Unpublished ph.D. Thesis Monasth University, hlm.97.

14

Thomas Stamford Raffles.loc.cit.

15

(51)

merupakan penguasa tertinggi daripada lapisan masyarakat lainnya. Raja secara

langsung atau tidak langsung menentukan nasib kehidupan ekonominya dan

perdagangan melalui segala peraturan yang dikeluarkannya.

Golongan kedua adalah kaum bangsawan tingkat menengah, yang terdiri

atas pegawai kerajaan tingkat menengah dan pemuka agama. Golongan ini

berperan sebagai penasehat raja dalam bidang agama, politik, ekonomi, militer

dan budaya.

Ketiga, golongan bawah yaitu lapisan rakyat biasa atau rakyat kecil pada

umumnya dengan mata pencaharian sebagai petani, pedagang, tukang dan

nelayan. Golongan bawah ini merupakan tulang punggung bagi kehidupan

perekonomian kerajaan Cirebon, karena tanpa adanya masyarakat kecil ini

kehidupan perekonomian tidak akan berjalan dengan lancar. Dengan demikian,

golongan rakyat kecil pun mempunyai andil yang sangat besar dalam

perkembangan kehidupan perekonomian di kerajaan Cirebon. Golongan lain

dalam lapisan ini adalah prajurit dan tentara kerajaan. Mereka sangat berperan

pada saat terjadi peperangan. Dalam situasi damai mereka bertugas sebagai

penjaga keamanan kota atau sebagai pengawal raja.

Kondisi politik dan pemerintahan di kerajaan Cirebon yang

melatarbelakangi pemberontakan Cirebon meliputi, Cirebon di bawah kekuasaan

Belanda, Cirebon di bawah kekuasaan Inggris dan persoalan konflik juga

persoalaan hak waris.

(52)

1. Cirebon di bawah Kekuasaan Belanda

Pada tahun 1596, rombongan para pedagang Belanda di bawah pimpinan

Cornelis de Houtman mendarat di Banten. Pada tahun yang sama orang Belanda

pertama yang datang ke Cirebon, melaporkan bahwa Cirebon pada saat itu

merupakan kota dagang yang relatif kuat yang sekelilingnya dibentengi dengan

sebuah aliran sungai.16 Pejabat VOC pertama yang datang ke kerajaan Cirebon

adalah wakil Gubernur Jenderal yang dalam perjalannya ke Mataram singgah di

sana pada tahun 1622. Ia bertemu Panembahan Ratu yang saat itu usianya sudah

lanjut. Pejabat VOC itu merasa sangat terkesan ketika Panembahan Ratu

berkunjung ke Mataram pada tahun 1636. Sultan Agung menyambutnya dengan

penuh respek dan menganggap Panembahan Ratu sebagai penasehat Spiritualnya.

Cirebon diperkirakan menjadi Vassal setelah Sultan Agung dan Panembahan

Ratu wafat, masing-masing pada tahun 1645 dan 1649, karena Panembahan

Girilaya, pengganti Panembahan Ratu, diharuskan “tinggal” di Istana Mataram

hingga akhir hayatnya pada tahun 1667. Ini berarti, Panembahan Girilaya sudah

bukan sultan yang merdeka lagi seperti para pendahulunya.17

Sejak awal berdirinya, batas-batas wilayah Kesultanan Cirebon termasuk

bermasalah. Munculnya Banten sebagai kasultanan yang berdaulat ditangan

Maulana Hasanudin, timbul permasalahan apakah Sunda Kelapa termasuk

wilayah kekuasaan Cirebon atau Banten. Meskipun Maulana Hasanudin telah

16

Hoesein Djajadiningrat,1983, Tinjauan Kritis Tenatang Sejarah Banten. Kenangan Terj KITLV bersama LIPI, Jakarta: Djambatan,hlm,hlm.97.

17

(53)

menyerahkan pengelolaan Sunda Kelapa kepada menantunya, yaitu Bagus

Angke, secara formal Sunda Kelapa masih termasuk wilayah Kesultanan

Cirebon. Hal ini menimbulkan kesulitan dalam penentuan batas wilayah

Cirebon.18 Namun dengan demikian, masalah batas wilayah ini tidak pernah

menimbulkan konflik terbuka antara Cirebon dan Banten, karena bagi

Kesultanan Banten, mengenai batas wilayah ini di anggap mudah saja karena

semua wilayah yang dahulu merupakan wilayah Kerajaan Sunda Pajajaran,

merupakan bagian wilayah Kesultanan Banten. Akan tetapi ada beberpa wilayah

yang mengakui sebagai bagian dan Kesultanan Cirebon tetapi kenyataannya

diakui sebagai wilayah Kesultana Banten.

Mataram semakin bertindak represif terhadap Cirebon terutama setelah

Sultan Agung mengalami kegagalan dalam penyerbuan ke Batavia pada

perempat abad ke XVII. Pada waktu menyerbu VOC di Batavia, laskar Sultan

Agung dibantu oleh Cirebon. Akan tetapi karena ekspedisi ini mengalami

kegagalan, mereka takut memperoleh serangan Balasan dari VOC sehingga

mereka dan keluarganya pindah ke daerah kekuasaan Kerajaan Banten yang

netral dan aman. Tindakan ini dipandang sebagai pembelotan oleh Sultan Agung.

Selanjutnya Sultan Agung menghukum mereka dan akhirnya Cirebon

ditempatkan di bawah kekuasaan Mataram dengan setiap tahun mengirim upeti.19

Kemantapan posisi geopolitik Cirebon, ternyata seringkali diuji oleh

tekanan Mataram, sekalipun Cirebon tidak pernah mengalami serangan fisik

18

Ibid, hlm. 36.

19

(54)

langsung dari Mataram. Namun hal tersebut tidak dengan sendirinya

menghilangkan kekhawatiran Cirebon terhadap kekuasaan Mataram yang

semakin kuat dan meluas. Dalam hal konflik antara Mataram dan VOC, Cirebon

lebih banyak memilih jalan tengah.20 Sampai akhirnya Cirebon menjadi

buffer-power Mataram untuk menahan laju kompeni yang berpusat di Batavia,

sehingga Matara kemudian mengubah sikapnya terhadap Banten dan

mengalihkan ambisi teritorialnya ke Timur. Akhirnya Cirebon lebih memilih

proteksi Belanda pada tahun 1681, daripada konflik dengan Mataram.

Pada tanggal 31 Desember 1799 VOC secara resmi dibubarkan.21 Di saat

yang sama di negeri Belanda, kekuasaan sedang beralih. Negeri Belanda

diduduki Perancis dengan panglima perangnya Napoleon Bonaparte yang

mengangkat saudaranya sendiri Louis Bonaparte menjadi raja Belanda. Raja

mengirim ke Hindia salah salah seorang pahlawan dan pemimpin revolusi

Belanda, Marsekal H.W. Daendles, untuk memperbaiki pemerintahan Kolonial

Belanda. Daendles sebagai penguasa baru utusan Perancis tidak mengganti

seluruh pejabat Belanda di Hindia Belanda, dan mencoba merubah sistem

pemerintahan yang ada menjadi lebih baik.

Daendels menyatukan wilayah kesultanan Cirebon dengan sebagian

wilayah Priangan menjadi kesultanan Chirebon en Cheribonsche Preanger

20

Hasan Muarif Ambary, 1995/1996, “Peranan Cirebon sebagai Pusat Perkembangan dan Penyebaran Islam”,Makalah Diskusi Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutera, Cirebon: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek IDSN, hlm. 47-48.

21

(55)

Regentschappen, yang meliputi Kesultanan Cirebon, Limbangan, Sukapura,dan

Galuh. Pada tanggal 2 Februari 1809, dikeluarkan Reglement op het beheer van

de Cheribonsche Landen, yang pada dasarnya menjadikan para Sultan Cirebon

sebagai birokrat yang bersubordinasi kepada birokrat Hindia Belanda. Para

Sultan dianggap sebagai pegawai Kerajaan Belanda dengan pangkat bupati.

Rumah tangga para sultan diatur oleh pemerintah kolonial, termasuk juga soal

tanah milik Keprabon, jumlah pegawai, dan pengiring keluarga sultan.22 Dengan

keluarnya peraturan (reglement) Pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1809

yang ditetapkan oleh Gubernur Jenderal Daendels, maka berakhirlah seluruh

kekuasaan politik para sultan di Cirebon.23

Setelah mengakhiri status para sultan, pemerintah kolonial Belanda

melakukan perubahan-perubahan dalam soal administrasi wilayah. Sebagaimana

yang terjadi di wilayah Jawa lainya, selama abad ke-19, Cirebon beberapa kali

mengalami perubahan administrasi. Bekas wilayah para Sultan Cirebon dijadikan

4 kabupaten, yaitu Kabupaten Cirebon, Kuningan, Majalengka, dan Indramayu

Selama pecahnya pemberontakan 1802, pemecatan secara tidak adil

terhadap Sultan Kanoman seringkali dijadikan sebagai alasan serius sebagai

penyebab meletusnya pemberontakan. Pada saat Daendels melantik kembali

Sultan Kanoman pada tahun 1808, ternyata tidak mampu meredakan tuntutan

rakyat. Sultan yang baru dilantik pun tidak mampu mengembalikan ketenangan

masyarakat.

22

Referensi

Dokumen terkait

Dalam hal ini kami juga melihat bahwa yang dimaksud dengan strangers termasuk mereka yang berasal dari budaya yang sama namun berada di lingkungan yang baru..

[r]

Oleh karena itu, agar warga miskin yang ada di Kabupaten Sragen dapat menjadi peserta program jaminan sosial maka Pemerintah Daerah Kabupaten Sragen membayarkan

Pada pemutihan dengan hidrogen peroksida diharapkan yang terjadi adalah persamaan reaksi (1), sedang reaksi dekomposisi yang disebabkan dari pengaruh katalis ion-ion logam

Ijazah Sarjana Muda Sains Komputer (Kejuruteraan Perisian). 03 - Pulau Pinang

Di atas pintu utama terdapat ukiran bunga teratai (lotus) diberi warna emas dan warna merah di bagian tengahnya yang menandakan sebuah tempat suci, yaitu tempat ibadah yang

Semua node B Indosat telah memanfaatkan HSDPA (High Speed Downlink Packet Access) teknologi. Indosat adalah operator 3G, yang sepenuhnya mengadopsi teknologi HSDPA dasar di

Mengingat bahwa unsur sambandha merupakan unsur yang tidak kalah penting dalam sebuah prasasti sīma, maka kajian prasasti berdasarkan sambandha yang di ambil dari masa