i
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Program Studi Ilmu Sejarah
Oleh:
Nama: Nanang Supramono
NIM: 004314002
PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH
JURUSAN SEJARAH FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
iv
Martabat yang sama. Kita hanya dibingungkan oleh sudut pandang yang
berbeda, yang selalu menjadi konflik manusia”
( Sahabat Lama: Humania, 1997)
“ Aku tidak akan takut dengan hari esok karena aku sudah melihat kemarin
dan aku mencintai hari ini:
( Anonim)
v
Kupersembahkan skripsi ini untuk
Tuhan Yesus dan Bunda Maria yang melimpahkan kasih,berkat, rahmat
dan karunianya yang tak berkesudahan.
vi
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi ini merupakan karya sendiri dan belum pernah saya ajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan di perguruan tinggi
Skripsi ini tidak memuat karya orang lain atau suatu lembaga atau bagian dari karya orang lain , kecuali bagian-bagian tertentu yang dijadikan sumber.
Yogyakarta, 31Juli 2008 Penulis
vii Yogyakarta
2008
Pada awal abad ke-19 kolonialisme kuat di Hindia Belanda, pulau Jawa sebagai bagian utama penetrasi kekuasaan pemerintah kolonial. Akibat penetrasi dengan pemerintah kolonial tersebut, telah menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan sosial yang memicu lahirnya gerakan sosial di daerah-daerah, termasuk di Cirebon. Buruknya keadaan sosial,sekonomi,dan politik akibat penguasaan pihak asing yang intensif telah memicu timbulnya gerakan pemberontakan Rakyat Cirebon 1802-1818 dengan pemimpinnya Bagus Rangin. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan memberikan gambaran tentang kondisi yang melingkupi gerakan pemberontakan rakyat Cirebon yaitu kondisi geografis, demografis serta kondisi politik dan sosial ekonomi. Dalam karya ini juga dibahas jalannya pemberontakan dan dampak pemberontakan rakyat cirebon.
Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah sejarah kritis dengan menggunakan studi literature. Metode sejarah kritis yang digunakan meliputi empat langkah, pertama, heuristik yaitu mengumpulkan kembali jejak-jejak masa lampau (data sejarah)., kedua, kritik sumber yaitu kegiatan untuk memperoleh kebenaran dan kejernihan data, baik kritik ekstern tentang wujud sumber atau kritik intern tentang isi sumber untuk melihat keaslian atau kredibilitas sumber. Ketiga, interpretasi dan seleksi yaitu kegatan untuk mencari makna dari sumber-sumber yang berhubungan dengan fakta. Keempat , yaitu kekuatan untuk menyampaikan sintesa dalam bentuk historiografi.
viii Yogyakarta
2008
In the beginning of 19 th century, colonialism had already found in Netherlands Indies with Java as the center of colonial govermentt’s political penetration. The result of such penetration were social changes in local areas, including Cirebon. The Cirebon revolt 1802-1818, led by Bagus Rangin. Was provohed by bed condition of the society caused by foreign domination over economic and political sectors. This research is purposed to analyze and describe the background of the Cirebon Revolt. Including the geographical, demographical, political an socio-economical background of the region during the time of the uprising. In this research also the writer will add the chronology of the revolt and its in pacts.
The method employed in this research is critical historical using literature study it is down to four stages. The first one is heuristic, used to hare post. Second, source criticism, which is used to acguire the genuinity of the data, either eternal criticism upon the form of the source or internal criticism upon the credibility of the source. Third, interpretation and selection which is used to find out what meanings the sources have with in the relation with the fact. Fourth, the synthezising of the into historiography.
ix
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul PERAN BAGUS RANGIN DALAM PEMBERONTAKAN RAKYAT CIREBON 1802-1818. Skripsi ini dapat selesai berkat dukungan, bantuan, dan bimbingan dari banyak pihak, oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum, Selaku Dekan Sastra, yang telah memberikan ijin atas penulian skripsi ini.
2. Bapak Drs. Hb. Hery Santosa, M. Hum, Selaku Ketua Jurusan Sejarah, yang telah memberikan ijin atas penulisan skripsi ini. 3. Ketua Program Studi Ilmu Sejarah, yang telah memberikan
pandangan dalam skripsi ini.
4. Bapak Drs. H. Purwanta M.A, Selaku Pembimbing I, yang telah bersedia membimbing dan mengoreksi skripsi ini hingga selesai.
5. Pembimbing Akademis, yang telah memberikan dukungan dan bimbingan kepada penulis selama menyelesaikan kuliah di Universitas Sanata Dharma.
x
8. Staf sekretariat Sastra, Mas Tri yang telah banyak membantu dan melayani penulis selama duduk di bangku kuliah.
9. Keluargaku yang ada di Semarang, Bude Tin, Pakde No, Mas Andik, Mas Sigit n Mbak Reni terimakasih atas doanya… 10. Keluargaku di Bengkulu Bulek Yani, Om Joko, terimakasih
atas doanya
11. Keluargaku di Yogya Om kos dan Bulek Fanni terimakasih doanya
12. Saudaraku Rosalia ( mbak nia ), Ririn, Niken, Cukup, Rosa, Vika makasih atas dorongan dan doanya yaaaa……..
13. Ponakanku Ano, angel…….
14. Teman-teman sejawat: Fajar, Lazarus, Agung (bondok), Andreas (Q-ser), Kristian (Pokemon), Yustina (Use), Siska, Agnes, Retno Wuri (Ulil), Yoan Ira ( Ijo), Yohana, Resta, Yanti, Tika, Terimakasih Atas kesetiannya dan dukungannya selama ini
xi
( Kapan ke warnet neh ), Heri ( mana cewnya kok ga pernah di bawa ke kos), Wian ( katrox), Triko n Amel, Doni, Alfredo (Fred), Aldo, Claus n Ento, Rinto, Felik, Andi (Bapak”e dimas), Yuda, Den mas Suthur (kapan neng purawisata neh), makasih atas pertemanannya selama ini I luv you full ha….Ha….
17. Sahabat-sahabatku: Aris n Kiki, Cendi n Carla, Dwi n Nining, Galuh Tiwy, Li-Liecharity, Meyca “cantik”, Mupet, Matur nuwun nggih dah mau jadi temen curhat, kapan kita kumpul n main bareng lagi……
18. Teman- teman KKN, Jati, Kristian, Daru, Nino, Ajeng, April, Lisa, Rita, Terimakasih atas persaudarannya selama di Bambanglipuro.
19. My Luv H 4780 BD, Terimakasih sudah temani aku selama ini dan udah mau nganterin aku kemanapun aku mau….
xii
bermanfaat bagi pembaca dan Universitas Sanata Dharma.
Penulis
xiii
BAB II KONDISI YANG MELATARBELAKANGI PEMBERONTAKAN RAKYAT CIREBON
A. Kondisi Geografis dan Demografis Cirebon……….. 1. Cirebon di Bawah Kekuasaan Belanda………...
xiv
2.Eksploitasi Tanam Paksa dan Keresahan Sosial………….. 3.Persewaan Desa dan Penarikan Pajak………..
BAB III JALANNYA PEMBERONTAKAN RAKYAT CIREBON
A. Munculnya Bagus Rangin Sebagai Pemimpin Rakyat………. B. Jalannya Pemberontakan……….. C. Meluasnya Gerakan Pemberontakan………... D. Kegagalan Pemberontakan Rakyat Cirebon………...
BAB IV DAMPAK PEMBERONTAKAN
A. Bidang Ekonomi………..
B. Bidang Politik………..
C. Bidang Sosial………...
BAB V PENUTUP……….
DAFTAR PUSTAKA………... LAMPIRAN………..
31 33
37 41 42 50
53 54 57
60
xv
Lampiran 1. Daerah –Daerah Di Karesidenan Cirebon ... 68 Lampiran 2. Silsilah Sultan Cirebon ... 69 Lampiran 3. Pengikut Bagus Rangin Dalam Pemberontakan
Rakyat Cirebon ... 70 Lampiran 4. Daerah Pengikut Bagus Rangin Dalam
A. Latar Belakang
Dalam masyarakat agraris Jawa, tanah dan tenaga kerja merupakan
merupakan modal terhadap produksi pertanian. Menjelang akhir abad ke 18
struktur agraris mempunyai bentuk yang mencerminkan pengaruh-pengaruh yang
kuat dari struktur kekuaaan feodal. Untuk mendapatkan hasil produksi yang
semakin besar, raja serta pemegang apanagenya.1 Para bupati dan para
pembantunya, menekan petani secara lebih intensif. Kenaikan produksi
menambah volume ekspor VOC ke negara induk, sehingga akumulasi modal
menjadi menumpuk di sana sedangkan di sisi lain modal yang digunakan untuk
menambah kesejahteraan petani sangat sedikit sekali jumlahnya, pendapatan yang
diperoleh bupati dan pejabat di sekitarnya di gunakan untuk menopang gaya hidup
yang mewah. Intensifikasi pertanian dengan teknologi tradisional tidak mengubah
sifat homogen masyarakat, oleh karena itu kehidupan para petani tetap tidak
berubah dan semakin memburuk. Kekuasaan perdagangan masih saja tetap
dikuasai oleh VOC sebagai pemegang monopoli lewat kekuasaan politik.
Kebijakan politiknya adalah berupa sistem pemerintahan tidak langsung dengan
memberi kekuasaan terhadap para bupati. Dengan demikian para bupati diperkuat
oleh kekuasaannya dan lebih mampu memungut hasil-hasil yang diminta oleh
1
Apanage atau tanah lungguh adalah tanah jabatan sementara sebagai upah seorang priyayi atau bangsawan, Tanah apanege dapat dieksploitasi sehingga menghasilkan pajak yang berupa uang,barang dan tenaga kerja. Lihat Suhartono, 1991, Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta 1830-1920, Yogyakarta: Tiara Wacana, hlm.29
VOC, yaitu Contingenten 2 dan Verplichte leveranties3. Penetrasi kapitalisme komersial yang dijalankan oleh VOC, menurut rakyat agar menanam tanaman
ekspor dan membiarkan mereka hidup dalam subsitensi berdasarkan pola agraris
tradisional4. Dengan mempertahankan sistem swadaya seperti itu maka VOC
akan menambah beban mastarakat yang sangat besar.
Pada akhir abad ke-18 para pejabat VOC mulai merasakan bahwa kompeni
tidak lagi memperoleh apa yang seharusnya mereka dapatkan ini disebabkan
karena anah-tanah yang digarap bertambah luas, tetapi jumlah cacah5 dari setiap
kabupaten tetap tidak berubah bahkan semakin kecil jumlahnya. Kecilnya jumlah
setoran yang diperoleh dimungkinkan adanya manipulasi dari para bupati, hasil
pungutan lebih besar daripada yang diperoleh. Banyaknya bupati yang melakukan
manipulasi untuk menopang gaya hidup yang mewah, akibatnya mereka terdorong
untuk menyewakan seluruh tanah desa kepada orang-orang Cina untuk
mendapatkan pembayaran tunai dengan segera. Desa-desa yang tanahnya
disewakan mengabdi sepenuhnya kepada tuan tanah Cina. Selama jangka waktu
persewaan itu pihak penyewa memiliki kekuasaan untuk menarik penghasilan dan
menuntut jasa penduduk yang desanya disewakan. Kekuasaannya itu dilakukan
selama waktu sewa, misalnya 3,4, atau 10 tahun. Para pejabat VOC akhirnya
2
Contingenten atau kontingensi adalah sistem penyerahan produksi komoditi perdagangan berdasarkan kuota yang ditentukan setiap tahun. Penyerahan barang yang diwajibkan jumlahnya ditetapkan dengan mendapat pembayaran kembali. Lihat Sartono Kartodirjo & Djoko Suryo, 1991, Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial Ekonomi, Yogyakarta: Aditya Media,hlm. 28.
3 Ibid.
4
Sartono Kartodirjo, 1999, Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900, Dari EmporiumSampai Imperium, Jilid I, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hlm.196-297.
banyak yang mengikuti perilaku bupati untuk memperoleh uang pengganti cacah
dengan menyewakan desa-desa6 . Dengan demikian hak-hak feudal di pindahkan
kepada penyewa yang sudah tentu mempunyai hasrat besar untuk mengambil
keuntungan yang sebanyak-banyaknya.7
Dipandang dari sudut petani, beban yang dipikul menjadi sangat berat.
Petani tidak hanya dibebani untuk menyerahkan hasil pertanian dan pajak kepada
orang-orang Cina, namun tenaganya juga diperas. Di samping itu petani juga
harus mengadakan produksi untuk penguasa dengan perantara dan tambahan lagi
di atasnya berbagai hasil yang perlu disetor kepada VOC.
Kondisi petani yang terdesak tersebut menimbulkan reaksi dalam bentuk
gerakan perlawanan. Kehidupan subsitsensi yang tidak dapat ditoleransi lagi
merupakan cirri timbulnya perlawanan. Tuntutan penyerahan hasil pertanian dan
penyerahan tenaga kerja oleh orang-orang Cina menimbulkan suasana
ketidakpuasan. Guna menciptakan kembali situasi seperti sebelum adanya
orang-orang Cina dan residen yang telah memerasnya, maka dibuat ideology tandingan.
Dimana Elit pedesaan sebagai pimpinannya menandingi ideology colonial yang
selama ini dipandang stagnan dan menyebabkan ketidakdinamisan
lembaga-lembaga tradisional. Menurut elit tersebut lembaga-lembaga dan masyarakat yang sudah
menyatu merupakan kehidupan kolektif. Tidak berfungsingya lembaga
tradisional berarti kehidupan masyarakat pedesan menjadi kurang bermakna
sekaligus menghilangkan eksistensi dan jatidiri dari masyarakat tradisional
6
Ibid 7
Dilihat dari lokasinya maka perlawanan petani dibedakan menjadi dua
tempat, yaitu di pusat kerajaan dan di pinggiran. Daerah pinggiran yang
biasanya dijadikan basis perlawanan. Namun, aliansi dua lokasi terjadi karena
keduanya saling tergantung dalam memimpin dan mengalokasikan kekuatan
menghadapi penguasa. Selain itu, konflik yang terjadi di dalam istana terus
berkembang ke luar dan pecah sebagai gerakan pemberontakan petani di
pedesaan. Pemberontakan rakyat Cirebon 1802-1818 merupakan ekspresi
ketidakpuasan petani dalam bentuk gerakan pemberontakan yang meluas dari
pusat kerajaan ke pedesaan.
Protes sosial para petani Cirebon yang terjadi di daerah pertanian ini di
sebabkan karena para petani merasa dirugikan oleh orang-orang Cina dan
residen. Oleh karena itu, mereka melakukan pemberontakan terhadap pemerintah
colonial dan mengadakan pembunuhan terhadap orang-orang Cina. Permasalahan
kehidupan sosial ekonomi yang lama terpendam dan buruk ini, akhirnya
melahirkan kekuatan perlawanan menjadi besar skala yang luas. Perlawanan itu
dipimpin oleh Bagus Rangin, seorang bangsawan dari daerah Jatitujuh
Majalengka.8
Pemberontakan rakyat Cirebon, dapat digolongkan sebagai gerakan
nativistis9 dan messianistis Harapan akan datangnya Ratu Adil bertujuan melawan pemerintahan colonial dan orang0orang Cina, juga kemudian hendak
8
Edi S. Ekadjati,dkk,1990, sejarah Perlawanan terhadap Imperialisme Kolonialisme di Jawa Barat, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,hlm 101-102.
9
mendirikan sebuah kerajaan baru yaitu Negara Panca Tengah yang beribukota di
Bantarjati dan Bagus Rangin akan bertindak sebagai rajanya.
Sebelum gerakan pemberontakan tersebut berhasil mencapai tujuannya,
Bagus Rangin sebagai pemimpin pemberontakan berhasil di tangkap. Meskipun
demikian, sempat muncul pemberontakan kecil pada tahun 1816 dan tahun 1818,
di bawah pimpinan yang lain yaitu Bagus Jabin dan Nairem. Para pemberontakan
ini pun berhasil ditangkap oleh pihak Belanda. Dengan ditangkapnya para
pemimpin pemberontakan, rakyat Cirebon kehilangan semangat juangnya untuk
melakukan pemberontakan kembali dan akhirnya pemberontakan di Cirebon
berhenti pada tahun 1818.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan atas uraian latar belakang masalah di atas maka yang menjadi
pokok permasalahan penulisan skripsi ini tentang peran Bagus Rangin yang
dilakukan oleh Rakyat Cirebon. Oleh karena itu dalam penelitian ini diajukan
beberapa yang menjadi pokok atau rumusan masalah yaitu sebagai berikut:
1. Mengapa terjadi Pemberontakan?
2. Bagaimana jalannya Pemberontakan Rakyat Cirebon?
3. Dampak pemberontakan Rakyat Cirebon?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mendeskripsikan dan menganalisa latar belakang Peran Bagus
Rangin dalam Pemberontakan Rakyat Cirebon 1802-1818.
2. Untuk mendeskripsikan dan menganalisa jalannya Peran Bagus Rangin
dalam Pemberontakan Rakyat Cirebon 1802-1818.
3. Untuk mendeskripsikan dan menganalisa Dampak Peran Bagus Rangin
dalam Pemberontakan Rakyat Cirebon 1802-1818.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Penulis
Penulisan ini dapat menjadi pengetahuan tentang bentuk Peran Bagus
Rangin dalam Pemberontakan Rakyat Cirebon 1802-1818 dan juga
menjadi tolok ukur kemampuan penulis dalam melakukan penelitian
sejarah.
2. Bagi Universitas Sanata Dharma
Penulisan ini di harapkan bisa menjadi wawasan atau pengetahuan yang
menambah ilmu pengetahuan mengenai Peran Bagus Rangin dalam
Pemberontakan Rakyat Cirebon 1802-1818 yang berupa karya ilmiah di
Universitas Sanata Dharma.
3. Bagi Dunia Ilmu Pendidikan
Penulisan ini di harapkan mampu menambah wawasan dan memperkaya
perbendaharaan ilmu sejarah mengenai Peran Bagus Rangin dalam
E. Tinjauan Pustaka
Dalam proses penulisan ini penulis memperoleh data dari bentuk
pengumpulan data-data melalui studi pustaka. Dalam mendapatkan data
mengenai permasalahan Peran Bagus Rangin dalam Pemberontakan Rakyat
Cirebon 1802-1818. Maka penulis menggunakan bahan pustaka sebagai sumber
penelitian. Buku-buku yang di gunakan sebagai sumber primer untuk
mendapatkan data-data mengenai pokok permasalahan pada penelitian ini antara
lain adalah:
Pertama, buku yang berjudul Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme Kolonialisme di Jawa Barat (1990) Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Buku ini disususn oleh tim yang terdiri dari Edi S. Ekadjati, Rosad
Amijaja, Didi Suryadi dan Erna Sutarna berisi tentang perlawanan terhadap
kekuasaan asing yang terdapat di Jawa Barat, termasuk Edi S. Ekadjati
membahas tentang pemberontakan Bagus Rangin di Cirebon. Masalah yang di
bahas yaitu awal mula pemberontakan dan jalannya pemberontakan, dalam dua
periode yaitu tahun 1802-1812 dan pada tahun 1816-1818. Bagus Rangin sebagai
pemimpin pemberontakan di gambarkan dengan jelas juga tokoh-tokoh
pemberontakan yang lain yang terlibat dalam pemberontakan ini. Buku ini hanya
memaparkan proses terjadinya pemberontakan.
Kedua, Sejarah Kerajaan Tradisional Cirebon (2001), buku ini ditulis oleh M. Sanggupri Bochari dan Wiwi Kuswiyah, diterbitkan oleh Depaetemen
Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta. Buku ini berisi tentang sejarah kerajan
abad ke 20. Faktor sosial ekonmi sebagai penyebab munculnya pemberontakan
dibahas dalan buku ini dan sedikit disinggung tentang jalannya pemberontakan.
Ketiga, buku yang berjudul Cirebon (1982), buku ini ditukis oleh tim Yayasan Mitra Budaya, Aburahman Paramita sebagai penyunting terdiri dari
kumpulan tulisan yang cukup lengkap mengenai Cirebon. Termasuk latar
belakang sejarahnya yang ditulis oleh Sulaiman Setyawati. Rentetan peristiwa
yang terjadi di Cirebon dan perjumpaan dengan Belanda mewarnai sejarah
Cirebon. Sepanjang abad ke 18 bencana alam dan bencana yang diciptakan
manusia membuat miskin rakyat Cirebon. Kondisi sosial yang buruk ini
merupakan salah satu penyebab timbulnya pemberontakan Rakyat Cirebon
sepanjang abad 18 sampai abad 19. Buku ini berisi tentang garis besar sejarah
Cirebon.
Keempat, R . H. Unang Sunardjo SH.. (1983), Meninjau Sepintas Panggung Sejarah Pemberontakan Kerajaan Cirebon 1479-1809. Bandung: Tarsito. Buku
ini berisi tentang gambaran rangkaian peristiwa campur tangan pemerintah
colonial Belanda di kerajaan Cirebon sampai kehilangan kekuasaanya. Unang
Sunardjo tidak sedikitpun menyinggung pemberontakan yang terjadi tahun
1802-1818, akan tetapi keadaan politik tahun 1802-1818 bisa mengungkap penyebab
timbulnya pemberontakan Rakyat Cirebon.
F. Landasan Teori
Secara umum kekuasaan adalah merupakan kemampuan seseorang di dalam
keinginannya. Dengan kekuasaan, maka seseorang bisa menjadikan orang lain
menuruti akan kehendaknya. Kekuasaan menjadikan seseorang bisa membuat
orang-orang yang ada disekitarnya bersedia membantu untuk mencapai suatu
tujuan yang diharapkan. Pentingnya kedudukan kekuasaan dalam pencapaian
kebahagiaan hidup menjadikan keinginan berkuasa merupakan hasrat yang cukup
besar dalam diri manusia.
Dalam masyarakat, setiap orang menjadi subyek kekuasaan (penguasa)
sekaligus juga sebagai obyek kekuasaan (dikuasai). Kekuasaan yang terdapat
dalam masyarakat, menurut M . Mac Iver , dapat digambarkan dalam bentuk
pirmamida bertingkat. Dimana pemerintah Belanda berada pada urutan teratas,
bupati dan kepala desa berada pada tingkat ke -3 dan ke-4, sedangkan masyarakat
berada ditingkat paling dasar.
Semua ini terjadi karena kenyataan bahwa kekuasaanyang satu
membuktikan dirinya lebih unggul daripada yang lain. Di antara banyak bentuk
kekuasaan yang terdapat dalam kehidupan masyarakat, salah satunya adalah
kekuasan politik. Kekuasaan politik ialah kemampuan untuk mempengaruhi
kebijaksanaan umum baik terbebtuknya maupun akibat sesuai dengan tujuan
pemegang kekuasaan itu sendiri.10 .
Unsur yang sangat erat kaitannya dengan penggunaan kekuasaan adalah
wewenang dan legitimasi. Wewenang merupakan kekuasaan yang dilembagakan,
dengan demikian penguasa berhak secara formal untuk mengeluarkan peraturan
dan menuntut kepatuhan terhadap peraturan itu.
10
Oleh sebab itu mengapa terjadi pemberontakan, ini disebabkan oleh adanya
para bupati dan pembantunya yang menekan petani secara intensif, selain itu juga
petani harus menyerahkan hasil pertanian dan pajak kepada orang-orang Cina
dan juga petani harus mengadakan produksi untuk penguasa.
Menurut Tilly, orang bertindak bersama-sama karena dua hal, yaitu
dorongan dari luar dan motifasi individu tertntu dalam masyarakat.Namun
demikian Tilly mengkombinasikan keduanya, dalam hal ini dorongan eksternal
atas struktur social berinteraksi dengan unsur kepentingan individu.
Dalam teori collective action, Tilly membedakan menjadi tiga menurut
faktor penyebabnya , yaitu pertama competitive action, yaitu adanya dua pihak
atau lebih yang bersaing untuk merebut atau menegakkan sesuatu. Kedua,
reactive collective action, yaitu upaya kelompok masyarakat unuk mengembalikan hak-hak yang mapan yang telah digusur oleh pihak tetntu,
terutama Negara dan lembaga-lembaganya. Ketiga, proactive collective action, yaitu upaya kelompok masyarakat untuk menciptakan suatu struktrur social baru
yang sebelumnya tidak ada.11 Pemberontakan Rakyat Cirebon ini lebih mengacu
pada jenis collective yang kedua. Masyarakat bereaksi ketika terjadi perubahan
sosial yang ditimbulkan oleh dominasi Barat. Sartono Kartodirdjo
mengungangkap ide tentang menghidupkan kembali beberapa unsur kebudayaan
murni dari masyarakat untuk menolak serbuan kebudayaan asing. Harapan
11
nativis menjanjikan akan akan datangnya bumi pertiwi yang putih, tidak ada
orang asing dan akan diperintah oleh kerajaan lama.12
Untuk melaksanakan proses collective action, Tilly menjelaskan dalam
model mobilisasi yang memiliki unsur-unsur kepentingan, organisasi, mobilisasi
dan kesempatan. Pemberontakan yang dipimpin Bagus Rangin ini melalui
organisasi sederhana dengan membentuk jaringan antar pengikutnya untuk
mempermudah mobilisasi.
G. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan dua metode penilitian, adalah
sebagai berikut:
1. Pengumpulan Data
Metode yang digunakan disebut metode sejarah yaitu suatu proses menguji
dan menganalisa secara kritis. Rekontruksi imajinasi terhadap masalampau
berdasarkan data yang diperoleh melalui metode sejarah itu disebut penulisan
sejarah (historiografi). Dalam melakukan penulisan sejarah dapat dilakukan
dengan empat tahapan pokok. Pertama, Pemilihan subjek penelitian dan
pengumpulan objek yang berasal dari jaman pada masa itu serta pengumpulan
bahan-bahan tertulis dan lisan. Kedua, menyingkirkan bahan-bahan yang tidak
otentik. Ketiga, menyimpulkan kesaksian yang dapat dipercaya mengenai
bahan-bahan yang otentik. Kempat, penyusunan kesaksian yang dapat dipercaya
menjadi sebuah kisah atau penyajian sejarah.
12
Metode pengumpulan data yang dilakukan adalah studi pustaka dengan
mencari dan menganalisis buku-buku yang tersimpan diperpustakaan, arsip-arsip
pemerintah dan sebagainya. Studi pustaka merupakan metode pengumpulan
sumber, dimana penulis mencari dan mengolah data-data yang sudah berbentuk
tulisan. Data yang ada kemudian dipelajari untuk kemudian diseleksi. Buku-buku
yang relevan dengan suatu permasalahan digunakan sebagai sumber data dan
acuan penulisan. Selain mengumpulkan data sejarah dari buku, juga diusahakan
mencari data-data yang tersimpan didalam arsip atau catatan yang tersimpan di
dalam perpustakaan daerah dan lembaga pemerintahan daerah.
2. Analisis Data
Data-data yang sudah diseleksi dari buku-buku, arsip dan catatan pemerintah
daerah kemudian dilakukan kritik sumber. Kritik sumber adalah tahap penulisan
sejarah untuk pengujian data. Kritik sumber bertujuan mengetahui sejauh mana
kredibilitas sumber yaitu kebenaran fakta sehingga bisa dipercaya dan
dipertanggungjawabkan. Kritik digunakan untuk menghindari kepalsuan sumber,
apalagi sebagian besar sumber data merupakan sumber sekunder.
Metode deskriptif analisa digunakan sebagai metodologi penulisan. Dengan
metode ini diharapkan mampu menggambarkan peristiwa yang secara jelas,
lengkap dan analitis. Penglohan data yang secara cermat diharapkan bisa
mengurangi subyektifitas yang biasanya muncul dalam sebuah historiografi.
H. Sistematika Penulisan
Pada Bab I Pendahuluan. Di mana pada bab ini berisi mengenai latar
belakang masalah, Rumusan Masalah, yang merumuskan permasalahan yang
dijadikan pokok penelitian, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Tinjauan
Pustaka, Landasan Pemikiran, Metode dan Pendekatan Penelitian dan
Sistematika Penulisan.
Bab II Kondisi Yang Melatarbelakangi Pemberontakan Rakyat Cirebon,
pada bab ini pembahasan diawali dengan penjelasan tentang kondisi geografis
dan demografi Cirebon, yang terkait dengan kondisi alam dan keadaan
penduduk. Untuk kondisi politik dan pemerintahan dibahas mengenai struktur
dan birokrasi pemerintahan kerajaan Cirebon sejak kedatangan Belanda hingga
proses campur tangan Belanda dalam mengatur segala kebijakan politik yang
diterapkan di lingkungan kerajaan Cirebon. Selanjutnya dibahas pula kondisi
sosial ekonomi yang terkait dengan eksploitasi tanaman paksa dan
keresahan-keresahan sosial. Sistem persewaan desa dan penarikan pajak, memunculkan
pemerasan oleh residen dan orang Cina, merupakan salah satu pemicu timbulnya
pemberontakan rakyat Cirebon.
Bab III Jalannya Pemberontakan Rakyat Cirebon, dalam bab ini berisi
tentang latar belakang munculnya pemberontakan rakya Cirebon, kepemimpinan,
ideology, tujuan, organisasi, pengikut, strategi dan proses berlangusngnya
pemberontakan rakyat Cirebon. Pemberontakan rakyat Cirebon ini pertama kali
muncul pada tahun 1802 dan melahirkan seorang pemimpin yaitu Bagus Rangin.
Pemberontakan sempat terhenti ketika pemimpinya tertangkap Belanda pada
berakhir tahun 1818. sama seperti gerakan pemberontakan pada umumnya di kala
itu, akhirnya pemberontakan rakyat Cirebon pun mengalami kegagalan dan
kekalahan dari pemerintah colonial Belanda.
Bab IV Dampak Pemberontakan, dalam bab ini akan dibahas mengenai
dampak-dampak pemberontakan, yang meliputi aspek politik,sosial dan
ekonomi. Aspek politik dapat dilihat dari berkurangnya
kewenangan-kewenangan pemerintah pribumi dalam menjalankan pemerintahan. Aspek sosial
terkait dengan keadaan sosial penduduk akibat yang ditimbulkan dari
pemberontakan. Sedangkan aspek ekonomi terlihat dari keadaan ekonomi akibat
pemberontakan, apakah semakin buruk atau semakin baik.
Bab V Kesimpulan, bagian ini berisi tentang pokok permasalahan yang
terdapat dalam bab-bab sebelumnya.
Pemberontakan rakyat Cirebon terjadi karena adanya
perubahan-perubahan politik, ekonomi dan keadaan demografi yang mempengaruhi
hubungan kekuasaan dan kekayaan di daerah pedesaan. Cirebon dengan kondisi
geografisnya yang menguntungkan, dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial untuk
disewakan kepada orang-orang Cina. Sistem persewaan desa ini tidak membuat
kondisi masyarakat menjadi makmur, sebaliknya mereka menderita karena
pemerasan oleh orang-orang Cina.
A. Kondisi Geografis dan Demografis Cirebon
Cirebon1 secara geografis terletak di ujung timur, pantai utara Jawa Barat
dan merupakan daerah karisidenan yang meliputi regenschap Cirebon, Kuningan,
Majalengka, dan Indramayu dengan luas wilayah 5.642.569 km.2 Karisidenan
Cirebon berbatasan dengan distrik Ciamis di sebelah selatan, Jawa Tengah di
sebelah timur dan timur laut, distrik Sumedang dan Subang di sebelah barat dan di
1
Cirebon pada awalnya merupakan sebuah desa yang bernama Lemahwungkuk yang menjadi pusat penyebaran agama Islam di daerah sekitarnya. Selanjutnya, desa ini berkembang menjadi kota dengan nama Cirebon, yang menjadi pusat kerajaan Cirebon. Asal kata Cirebon sendiri terdiri dari cai atau ci yaitu dalam bahasa sunda artinya air, dan kata rebon yaitu udang kecil-kecil bahan untuk membuat terasi (karena Cirebon banyak menghasilkan udang/rebon). Singgih Tri Sulistiyono. 1995/1996, Dari Lemahwungkuk Hingga Cheribon: Pasang Surut Perkembangan Kota Cirebon Sampai Awal Abad XX”, Makalah Diskusi Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutera, Cirebon: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Tradisional, Proyek IDSN,hlm.80.
2
Letak geografis Karisidenan Cirebon bisa dilihat dalam peta lampiran 1, hlm 78.
38
Dominasi politik kolonial yang menimbulkan perubahan sosial telah
menciptakan kondisi yang memicu lahirnya pergolakan sosial. Penetrasi ekonomi,
politik dan kultural Barat yang terjadi pada masa kolonial mengakibatkan
runtuhnya tata kehidupan tradisional. Runtuhnya bangunan tradisional sebagai
akibat adanya gagasan-gagasan baru dalam kehidupan sosial menimbulkan
kegoncangan norma-norma lama serta tekanan dikalangan petani. Oleh karena itu,
petani memiliki kecenderungan melakukan reaksi dalam menghadapi pengaruh
penetrasi kolonial.
A. Munculnya Bagus Rangin Sebagai Pemimpin Rakyat
.
Dalam gerakan massa organisasinya masih mempergunakan struktur
hubungan tradisional. Hubungan patron-cilent, hubungan keluarga, guru-murid,
dan hubungan yang sifatnya komunal, menjadikan loyalitas pengikut semakin
kuat bahkan menjadi mutlak. Kedudukan paling tinggi dipegang oleh pemimpin
yang menjadi penggerak bagi pengikutnya. Dengan demikian dalam struktur
organisasi kekuasaan pemimpin menjadi besar sekali. Seorang pemimpin
memiliki kemampuan dan pengalaman yang lebih disbanding para pengikutnya.
Kepemimpinan dalam gerakan pemberontakan, meliputi pengaturan operasional
gerakan atau taktik dan koordinasi para pengikut.
Bagus Rangin merupakan pemimpin pemberontakan pada periode pertama
yaitu tahun 1802-1812. Perjuangannya dalam menentang kolonialisme dan
imperialisme Belanda, pada hakekatnya merupakan kelanjutan dari perlawanan
Pangeran Surianegara (Raja Kanoman). Sebagai seorang pemimpin, Bagus
Rangin banyak melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain untuk
mengontrol keadaan rakyatnya. Berpindah-pindah tempat untuk mengumpulkan
pengikut. Tempat pertemuan dengan para pengikutnya yaitu di Gunung Aji,
daerah Sumedang dan Ciasem (Kabuyutan Kawocan). Merupakan sebuah tempat
rahasia, dan sengaja tidak memilih tempat tinggal sebagai tempat pertemuannya,
karena untuk menghindari kecurigaan pemerintah kolonial Belanda.
Pemberontakan yang dia lakukan tidak seorang diri, tetapi dibantu oleh adiknya
yaitu Bagus Serit sebagai orang kepercayaannya. Bagus Serit banyak berjasa
kepada Bagus Rangin, karena telah membantunya pada saat melakukan
penyerbuan ke rumah-rumah bangsawan di Palimanan.
Pengikut sebagai struktur dibawah pemimpin senantiasa menjadi
pendukung dan selalu untuk digerakkan oleh pemimpinannya. Loyalitas anggota
terhadap pemimpin kadang mutlak dan lebih didasarkan hubungan pribadi.
Pengikut Bagus Rangin kebanyakan berasal dari golongan petani dan rakyat
biasa pada umumnya, yang merasa senasib dengannya karena tanahnya dikuasai
oleh residen.
Pemberontakan ini tidak hanya terbatas di daerah Cirebon saja, tetapi juga
meluas ke daerah-daerah lain, baik di karisidenan Cirebon maupun di luar
diantaranya dari Kuningan, Cirebon, Majalengka, Indramayu, Sumedang,
Karawang dan Subang.1 Diperkirakan jumlah pengikut terbanyak berasal dari
Distrik Sumedang. Pengikut Bagus Rangin yang memiliki senjata diperkirakan
kurang lebih 150 orang, yang terdiri dari penduduk Karawang, Pamanukan,
Mlandong, Prakanmuncang dan Bandung. Persenjataan yang dimiliki berupa
peluru dan senapan yang berasal dari Karawang dan Pamanukan.
Bagus Rangin memulai karirnya sebagai pimpinan pemberontak karena
residen Belanda merampas tanah, warisan nenek-moyangnya. Tanah tersebut
dipergunakan oleh residen sendiri. Kejadian ini merupakan motivasi baginya
untuk membenci semua orang Eropa dan orang asing.2 Kharisma yang dimilki
memudahkan membangkitkan loyalitas pengikutnya untuk menggerakkan
mereka dengan tujuan melawan penjajah. Sebagai bentuk loyalitas, rasa hormat,
setia dan tunduk, para pengikutnya membawakan persediaan beras dan logistic
lainnya. Mereka juga melindungi Bagus Rangin dari Pemerintah Kolonial
Belanda yang selalu berusaha mencari dan menangkapnya.
Pusat gerakan Bagus Rangin berlokasi di daerah Jatitujuh, termasuk
Kabupaten Majalengka, Karisidenan Cirebon.3 Gerakan perlawanan rakyat
Cirebon secara spontan diawali dengan penentangan terhadap pemerintah
kolonial Belanda beserta kaki tangannya. Sasaran pertama gerakan ini ialah
residen dan orang-orang Cina, karena dianggap secara langsung meras rakyat.
1
Nama-nama sejumlah Pengikut Bagus Rngin dan tempatnya asalnya dapat dilihat pada lampiran 3, hlm. 74.
2
Paramita R. Abduracman, loc.cit.
3
Akibatnya banyak orang Cina yang dibunuh dan diusir dari Cirebon. Kekacauan
di Cirebon ini menyebar ke daerah Sumedang, karena terlalu kejamnya sikap dan
tindakan pemerintah kolonial Belanda terhadap rakyat dan juga pejabat pribumi.4
Pihak Belanda menduga bahwa pecahnya kerusuhan digerakkan oleh
Pangeran Surianegara. S.H Rose selaku residen Cirebon menyarankan kepada
pemerintah Belanda di Batavia, bahwa untuk menumpas gerakan itu pemerintah
harus mengundang Raja Kanoman beserta dua orang saudaranya ke Batavia
dengan alasan untuk berunding. Pemerintah kolonial Belanda menerima saran itu
dan kemudian disampaikan undangan kaepada Raja Kanoman. Setibanya di
Batavia bukanlah perundingan yang dilakukan, melainkan penangkapan terhadap
ketiga orang pemimpin gerakan rakyat itu.
Pada saat itu juga S.H Rose mengajukan resolusi kepada pemerintah di
Batavia, memohon supaya dikeluarkan perintah oleh Belanda kepada parea
bulpati, agar tidak memberi jalan kepada rombongan tersebut. Bupati Karawang
R.A Surialaga diperintahkan, apabila sudah tiba di Karawang dicegat dan
disuruh kembali ke Cirebon.. Berdasarkan Resolusi 15 Maret 1805, untuk
memulangkan rombongan rakyat Cirebon, Belanda mengirimkan kapal ke
Clincing. Rombongan tersebut berhasil dipulangkan ke Cirebon tanggal 17 Mei
1805.
B. Jalannya Pemberontakan
4
Pada tahun 1768 pejabat kompeni di Batavia memecat Sultan Cirebon \,
alasannya karena dianggap melakukan korupsi. Otomatis daerahnya diserahkan
kepada Sultan Sepuh oleh Kompeni5. Sultan Cirebon kemudian dibuang ke
Maluku . Dengan tindakan kompeni itu, akhirnya Kasultanan Cirebon hanya
dikuasai oleh Sultan Sepuh dan Sultan Anom. Dalam mengendalikan
pemerintahannya kedua Sultan tersebut selalu tergantung kepada kompeni.6
Pada tahun 1798 Sultan Kanoman wafat. Rakyat berharap agar Raja
Konoman sebagai gantinya. Harapan rakyat itu ditolak oleh Belanda, bahkan
pihak Belanda sengaja mengangkat Pangeran Surantaka yang tidak disenangi
oleh rakyat. Pangeran Surianegara yang dicintai oleh rakyat Cirebon diusir oleh
Belanda dari keratin bersama dua orangsaudaranya, yaitu Pangeran Kabupaten
dan Pangeran Lutan.
Pengusiran Raja Kanoman mengundang protes para bangsawan dan
pemuka agama di Cirebon. Mereka meminta kepada pemerintah Belanda agar
meninjau kembali keputusan tersebut. Pihak Kasultanan Kasepuhan juga turut
mempersoalkan pangeran yang dicabut haknya itu. Pada akhirnya masyarakat
pun mengidentifikasikan diri dengan persoalan pangeran yang haknya di cabut.
Rakyat pedesaan Cirebon pada saat itu sedang dilanda keresahan, karena
tenaganya habis dieksploitasi oleh orang-orang Cina yang menyewa desa
mereka. Pajak yang ditarik oleh orang Cina terlalu besar dan banyak macamnya.
C. Meluasnya Gerakan Pemberontakan
5
Silsilah Sultan Agung Cirebon dapat dilihat pada lampiran 2 hlm 73.
6 Edi S.Ekadjati,dkk,1990, Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme Kolonialisme di
Rakyat Cirebon tidak berhenti begitu saja, walaupun pimpinan mereka
telah dibuang ke Ambon, situasi pergolakan terus berlangsung bahkan
semakin meningkat dan meluas. Dewan penasehat Belanda di Batavia
mengirim delegasi dipimpin mantan Residen Cirebon P. Wallbeek,
mengajukan suatu perjanjian yang berisi sebagai berikut:7
¾ Raja Kanoman akan dilantik kembali menjadi raja
¾ Pemerintah kolonial Belanda akan memperbaiki kehidupan rakyat
¾ Orang Cina tidak akan diperbolehkan lagi menyewa desa dan tidak
diizinkan tinggal di pedesaan
¾ Mempermudah urusan rakyat
¾ Pemerintah kolonial Hindia Belanda akan mengangkat patih dan
beberapa menteri bagi tiap raja, supaya pemerintah lebih tetap
¾ Kepada Raja Kanoman akan diberi 1000 cacah oleh Panembahan
Cirebon
¾ Penghasilan Residen Cirebon dari kopi yang besar sekali jumlahnya
akan dikurangi.
Membaca isi perjanjian itu rakyat Cirebon marah dan menolaknya. Mereka
beranggapan bahwa perjanjian tidak menjamin adanya perbaikan terhadap
kehidupan rakyat Cirebon, terutama dari segi perekonomian. Pemerintah kolonial
Belanda pun sulit untuk memadamkannya. Kondisi sosial ekonomi rakyat yang
semakin susah, justru menambah semangat perjuangan rakyat Cirebon untuk
7
menentang pemerintah kolonial Belanda dan orang-orang yang dianggap
memerasnya.
Rakyat Palimanan daerah antara Jatitujuh dan Majalengka, mulai bangkit
pula dengan melakukan perlawanan terhadap penguasa daerahnya. Sama daerah
lain di Cirebon, desa-desa di Palimanan disewakan bupati kepada orang-orang
Cina, petani dihisap tenaganya dan dikenakan pajak yang sangat tinggi. Atas
tindakan orang-orang Cina itu, rakyat Palimanan mengajukan suatu permohonan
kepada bupati supaya pajak bagi rakyat di daerah tersebut diringankan. Oleh
karena jawaban bupati tidak memuaskan, akhirnya mereka melancarkan
perlawanan. Mereka meminta bantuan dan nasehat kepada Bagus Rangin yang
dianggap sebagai pemimpin. Bagus Rangin menyetujui tujuan gerakan rakyat
Palimanan dan menasehatkan, bahwa yang wajib dibunuh terlebih dahulu ialah
bupati dan wakil Residen Belanda, karena kedua orang pejabat itulah yang paling
bertanggung jawab atas kesengsaraan rakyat.8
Setelah mendapat persetujuan Bagus Rangin, rakyat Palimanan segera
menyerbu kota Palimanan dibawah pimpinan Bagus Serit (adik Bagus Rangin).
Mereka menyerbu ke dalam pendopo kabupaten untuk membunuh Bupati
Tumenggung Madenda, dan mendobrak rumah wakil Residen Belanda untuk
dibunuh. Rumah para bangsawan setempat dan orang Cina pun di kepung dan
diserang. Beberapa orang yang dijumpainya dibunuh, termasuk orang yang
dianggap menyebabkan kemelaratan hidup mereka.9
8 Edi. S Ekadjati, op.cit. hlm. 104. 9
Usai melancarkan serangan ke Palimanan, para penyerang tersebut
mengundurkan diri dan berpencar ke tempat-tempat asal mereka, bahkan ada
sebagian dari mereka bergabung kepada Bagus Rangin. Bagus Rangin pun
akhirnya berhasil menghimpun para pemberontak dengan jumlah yang cukup
banyak.
Dalam laporan tanggal 25 Februari 1806, Residen Van Lawick
memberitakan kembali adanya gerakan melawan pemerintah kolonial. Menurut
berita tersebut, di daerah perbatasan antara Kabupaten Sumedang dan Cirebon
(yaitu daerah Jatitujuh dan sekitarnya) muncul para pemberontak.10 Kelompok
pemberontak tersebut berjumlah kurang lebih 1000 orang dan 50 diantaranya
bersenjata.11 Sampai akhir tahun 1806 jumlah pemberontak yang bersenjata
berjumlah sekitar 40.000 orang. Pasukan yang langsung dipimpin Bagus Rangin
berjumlah antara 280-300 orang dan sudah terlatih perang.
Gubernur Jenderal A. H Wiese (1805-1808) dengan persetujuan Dewan
Penasehat Pemerintah Hindia Belanda di Batavia, segera menugaskan Nicolaeus
Engelhard sebagai pemimpin pasukan. Pasukan bantuan Bupati Bangkalan
Mangkudiningrat didatangkan untuk menumpas pemberontakan rakyat Cirebon.
Nicolaeus Engelhard beserta pasukan Belanda, meminta kepada kepala
daerah pribumi (bupati) yang daerahnya terletak di sekeliling daerah
pemberontakan, diperintahkan mempersiapkan dan mengirim pasukan ke tempat
yang dilanda kekacauan untuk ikut serta memadamkan pemberontakan. Pasukan
10
Ibid.
11
bantuan didatangkan dari Sumedang, Subang, Karawang, dan Cirebon. Paukan
Cirebon dan Sumedang ditugaskan mengepung daerah perlawanan dari arah
selatan dan timur, sedangkan pasukan Subang dan Karawang mengepung dari
arah barat dan utara. Pasukan Sumedang yang dipimpin oleh bupati dan Patih
Sumedang, yaitu R. A Surianegara dan Raden Wangsayuda, mendirikan
markasnya di Damar Wangi dan di Tomo, sedangkan pasukan Cirebon menjaga
daerah sepanjang sungai Cimanuk. Pasukan Cirebon melancarkan serangan
terhadap daerah pemusatan pasukan Bagus Rangin di sekitar Bantar Jati,
Jatitujuh daerah perbatasan antara Sumedang dan Cirebon. Pada waktu itu,
pasukan Karawang yang dipimpin oleh bupatinya, R. A Suryalaga bergerak maju
pula sambil menyerang tempat-tempat kedudukan para pemberontak.
Mengingat pertempuran tersebut berlangsung dalam waktu cukup lama
mengakibatkan banyaknya jatuh korban di kedua belah pihak. Dua orang kepala
distrik yaitu Putra Patih Sumedang menjadi korban, 25 orang prajurit Sumedang
ditawan dan di hokum mati. Pasukan Bagus Rangin pun banyak jatuh korban,
dan sebagian lagi pasukannya berhasil meloloskan diri. Untuk meredakan
pertempuran, pada tanggal 1 September 1806 diadakan perjanjian antara Sultan
Sepuh dan Sultan Anom dengan Pemerintah Kolonial Belanda. Isi perjanjian
antara lain menetapkan, “Raja Kanoman beserta dua orang saudaranya
dikembalikan ke Cirebon dan dinobatkan menjadi sultan. Orang-orang Cina tidak
diperbolehkan tinggal di daerah pedalaman dan kepada para sultan yang
memihak Belanda tidak diperkenankan memeras rakyatnya”. Sampai berlakunya
perjanjian itu belum dapat meredakan perlawanan rakyat daerah Jatitujuh dan
sekitarnya.12 Pemberontakan pun terus berlangsung, kadang-kadang di bawah
seorang pemimpin dan kadang-kadang dilakukan sendiri oleh
kelompok-kelompok pemberontak yang tersebar di Cirebon.13
Pada saat pemerintah Gubernur Jenderal W.Daendels berkuasa, perlawanan
rakyat makin meluas ke daerah Indramayu sebelah selatan, karena Daendels
secara terus menerus mengurangi kekuasaan sultan. Untuk mencoba meredakan
perlawanan rakyat, di samping mendatangkan pasukan bantuan, pada tanggal 25
Maret 1808 Daendels mengembalikan raja Kanoman dari tempat
pembuangannya di Ambon, dan menobatkannya menjadi Sultan Cirebon. Akan
tetapi Sultan Kanoman yang baru dilantik tersebut, tidak mampu mengembalikan
ketenangan rakyat.14 Daendels membagi daerah Cirebon menjadi dua bagian,
yaitu :
1. Bagian Utara disebut wilayah Kasultanan Cirebon yang meliputi
daerah-daerah: Kuningan, Cirebon, Indramayu, dan Gebang.
2. Bagian Selatan yang disebut tanah-tanah Priangan yang meliputi
wilayah Kabupaten Limbangan, kabupaten Sukapura dan kabupaten
Galuh.
Pada tanggal 13 Maret 1809, wilayah Kasultanan Cirebon dikepalai oleh
tiga orang sultan ( Sultan Kasepuhan, Sultan Kanoman, Sultan Kacirebonan).
12
M. Sanggupri Bochari & Wiwi Kuswiyah, op.cit, hlm. 49.
13
Paramita R. Abdurracman, op.cit, hlm. 60.
Wilayah kekuasaan Sultan Sepuh (Kasepuhan), yaitu bagian selatan meliputi
Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Cirebon, bagian tengah adalah daerah
kekuasaan Sultan Anom (Kanoman), diperkirakan sama dengan daerah
kabupaten Majalengka sekarang, dan Sultan Kacirebonan wilayah kekuasaannya
yaitu daerah Indramayu. Untuk kota Cirebon dan sekitarnya, yang terdiri dari
persawahan dibagi dua wilayah antara Sultan Sepuh dan Sultan Anom.
Tindakan-tindakan lain Daendels terhadap para sultan di Cirebon, yaitu
memecat kembali Sultan Kanoman yang sikap dan tindakannya dianggap selalu
menentang Pemerintah Kolonial Belanda. Pemecatan terhadap Sultan Kanoman
membuat rakyat Cirebon sangat kecewa, karena Sultan Kanoman dianggap
sebagai figur pemimpin yang selalu membela rakyat. Segala kebijakan Daendels
tersebut mengakibatkan keresahan di segala lapisan masyarakat. Akhirnya semua
perlawanan dan gerakan-gerakan rakyat di daerah-daerah yang semula hamper
reda menjadi berkobar lagi, bahkan semakin menghebat dan melahirkan
pemimpin-pemimpin pemberontakan.
Di samping pemberontak rakyat Cirebon, Belanda di bawah Daendels
menghadapi perang lain, yaitu melawan Inggris yang menentang Eropa di bawah
Napoleon. Pada tahun 1811 orang-orang Inggris berhasil mendarat di Jawa dan
mengalahkan tentara Belanda. Banyak pasukan Indonesia dalam tentara Belanda
bercerai-berai di pedalaman dan mulai beroprasi sendiri-sendiri. Keadaan seperti
itu dimanfaatkan oleh Bagus Rangi untuk menghimpun para pemberontak dan
memimpin pemberontakan. Pemberontak-pemberontak di bawah pimpinan
Cina, dan melakukan tindakan-tindakan seperti lazimnya dilakukan dalam
pemberontakan pada saat itu.
Bagus rangin berhasil mengumpulkan kembali pengikutnya di Gunung Aji
( daerah Sumedang dan Ciasem). Masyarakat masih menghormatinya, karena dia
dianggap sakti dan diharapkan mampu tampil sebagai pemimpin dalam
mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Sementara itu gabungan tentara
Belanda dibantu oleh para bupati yang telah bergerak dari kabupaten menuju
Jatitujuh. Pasukan Bagus Rangin mengadakan serangan terlebih dahulu, caranya
dengan memasang umbul-umbul di lapangan Jawura. Maksud dari pemasangan
tersebut sebagai tanta “ menentang perang”. Dipilihnya lapangan Jawura karena
letaknya yang strategis dan menguntungkan. Lapangan Jawura berada di sebelah
barat Desa Kertajati (5 km dari Jatitujuh), memanjang ke arah timur-barat dengan
luas kurang lebih lima hektar.
Pasukan gabungan Pemerintah Kolonial memerintahkan tiap kebupaten di
wilayah Priangan dan Kabupaten Karawang untuk mengirimkan pasukannya,
terutama kabupaten yang berbatasan dengan daerah perlawanan. Bupati
Sumedang Pangeran Kusumahdinata dan Bupati Karawang R.A Surialaga,
masing-masing ditetapkan sebagai komandan pasukan. Kedua pasukan itu
dibantu oleh pasukan Belanda dari Batavia, dipimpin oleh seorang Mayor dengan
para opsir. Begitu tiba di perbatasan Kertajati dan Babakan, pasukan gabungan
melihat umbul-umbul merah yang dipasang oleh pasukan Bagus Rangin. Hal itu
dimulainya perang yang diawali dengan dentuman meriam, maka terjadilah
pertempuran di lapangan Jawura.15
Akibat pertempuran di lapangan Jawura pada tanggal 22 Juli 1810,
Bagus Rangin dapat mengalahkan pasukan Sumedang di Bantarjati. Bagus
Rangin juga mengakui bahwa pasukannya menderita kekalahan di beberapa
tempat lain. Dipihak lain, pasukan yang dipimpin Buyut Merat dan Buyut Deisa
dapat mengalahkan pasukan Belanda di Karawang. Persenjataan Belanda yang
sangat lengkap dan terus menerus didatangkannya pasukan bantuan dari berbagai
daerah, akhirnya membuat pasukan Bagus Rangin kalah dan berhasil dipukul
mundur ke desa Panongan.
Penumpasan perlawanan rakyat Cirebon sempat terhenti, mengingat pada
saat itu sedang terjadi pergantian kekuasaan dari pemerintah kolonial Belanda ke
tangan Inggris. Kondisi ini dimanfaatkan Bagus Rangin untuk
mengkonsolidasikan dan menyusun kekuatan kembali untuk melakukan
pemberontakan. Pengikutnya yang tercerai-berai berhasil dihimpu kemballi.
Raffles sebagai Gubernur Jenderal, mengeluhkan kebijakan untuk
mengumpulkan pasukan bantuan dari Cianjur guna menumpas perlawanan rakyat
cirebon.
Pasukan bantuan yang didatangkan Raffles, memicu pertempuran muncul
kembali di Bantarjati dari tanggal 16 sampai 29 Februari 1812. pertempuran
antara pasukan Bgus Rangin dan pasukan bantuan tidak dapat dihindari, namun
karena didesak terus-menerus akhirnya pasukan Bagus Rangin mengalami
kekalahan. Para pengikut dan pemimpin pemberontakan rakyat Cirebon banyak
yang melarikan diri, termasuk Bagus Rangin.
Pasukan rakyat Cirebon yang berhasil melarikan diri kemudian bertahan
disuatu daerah yang bernama Pangayoman. Serangan yang teru-menerus
dilakukan oleh serdadu Belanda, akhirnya membuat mereka mundur ke
Kampung Sindang sebagai tempat pertahanan terakhir. Bagus Rangin yang
mengalami kekalahan di Bantarjati pada tanggal 23 Januari 1812, pergi ke
Sumedang di hutan Ujung Jaya, karena di sana terdapat istri dan anaknya.
Operasi militer pasukan pemerintah colonial digelar terus dengan
menelusuri desa-desa yang dianggap sebagai tempat persembunyian para
pemberontak. Operasi ini terutama ditujukan untuk menangkap Bagus Rangin.
Pada akhirnya operasi militer ini berhasil menangkap Bagus Rangin di Panongan
pada tanggal 27 Juni 1812 dan perlawanan untuk sementara padam.
D. Kegagalan Pemberontakan Rakyat Cirebon
Tertangkapnya Bagus Rangin pada tanggal 27 Juni 1812, membuat
pemerintah kolonial Belanda beranggapan bahwa pemberontakan tersebut telah
padam dan tidak perlu dikhawatirkan adanya pemberontakan susulan. Menurut
penilaian pemerintah kolonial Belanda, hanya Bagus Rangin yang mampu
menjadi pemimpin pemberontakan dan mengumpulkan pengikut yang banyak.
Keadaan seperti ini justru dimanfaatkan oleh seorang pemuda bernama
kembali terhadap pemerintah kolonial Belanda. Sebagai keponakan Bagus
Rangin, Jabin menganggap bahwa dirinya harus melanjutkan perjuangan
pamannya untuk membela rakyat kecil dan melawan Belanda. Dengan tidak
diduga sama sekali oleh Belanda, pemberontakan meletus lagi sampai dua kali
terjadi tahun 1816 dan berakhir tahun 1818. Pemberontakan tahun 1816 yang
dipimpin Bagus Jabin dan pemberontakan 1818 yang dipimpin Nairem menemui
kegagalan dan dapat dipatahkan oleh Belanda. Akhirnya pemberontakan di
Cirebon berhenti dan pemimpinnya pun mengalami nasib yang sama dengan
Bagus Rangin.
Gerakan pemberontakan rakyat Cirebon yang dipimpin Bagus Rangin dan
para pengikutnya gagal mencapai tujuannya. Ada beberapa faktor yang menjadi
penyebab, yaitu faktor sumber daya manusia yang terdiri atas kepelmimpinan,
organisasi dan keterlibatan rakyat. Kepemimpinan yang didasarkan atas kharisma
seseorang tidak selalu membawa hasil. Dengan ditangkapnya Bagus Rangin dan
para pemimpin selainnya, menyebabkan para pengikutnya kehilangan target daya
juang. Hal ini sama dengan gerakan-gerakan pemberontakan pada umumnya saat
itu, apabila pemimpinnya mati maka secara otomatis pemberontakan tersebut
berhenti. Faktor organisasi yang tidak mengikat dalam sifat keanggotaannya dan
hanya bertumpu para pemimpinnya sehingga sulit untuk melakukan koordinasi
antar cabang dan ranting di daerah-daerah yang terlibat pemberontakan. Faktor
lainnya yaitu keterlibatan rakyat dalam gerakan pemberontakan hanya didasarkan
pada dorongan moral dan tidak memiliki tujuan yang jelas, menyebabkan
Faktor kedua adalah faktor sarana dan prasarana yang menyangkut masalah
dana, logistik dan persenjataan. Masalah dana, persediaan logistik dan
persenjataan yang dimiliki Bagus Rangin tidak memungkinkan jika digunakan
untuk perlawanan jangka panjang. Dibandingkan dengan persenjataan yang
dimiliki pemerintah kolonial Belanda, senjata pasukan Bagus Rangin sudah
ketinggalan zaman dan masih tradisional. Masalah taktik dan strategi yang
digunakan Bagus Rangin pun masih terlalu sederhana, sehingga mudah sekali
dipatahkan oleh pemerintah kolonial Belanda.
Dari dua faktor penyebab kegagalan pemberontakan di atas, faktor sumber
daya manusia serta faktor sarana dan prasarana merupakan hal yang menentukan
faktor keberhasilan dari gerakan pemberontakan ini. Sedangkan kematian Bagus
Rangin sebagai tokoh utama menjadi faktor dominn penyebab gagalnya
pemberontakan rakyat Cirebon.
bagian utara berbatasan dengan Laut Jawa.3 Selanjutnya pada zaman
Pemerintahan Hindia Belanda, Cirebon berkedudukan sebagai ibu kota
karisidenan, ibukota kabupaten, dan sekaligus ibukota distrik.4
Kerajaan Cirebon letaknya di tepi pantai, namun sebagian besar wilayahnya
berada di pedalaman. Akibatnya Cirebon bukan hanya merupakan kerajaan
maritim, tetapi juga merupakan kerajaan yang bersifat agraris. Kondisi ini
menjadikan Karisidenan Cirebon memiliki topografi yang unik, Indramayu dan
bagian utara Cirebon merupakan dataran rendah dengan karakteristik daerah
pesisir, sedangkan Kuningan5 dan Majalengka6 merupakan daerah dataran tinggi
dengan karakteristik wilayah pegunungan. Dari dataran rendah dihasilkan beras
yang berlimpah dan merupakan komoditi ekspor. Sementara itu dari daerah
dataran tinggi dihasilkan komoditi sayur-sayuran dan buah-buahan.
Dilihat dari letak geografisnya, posisi Cirebon sangat strategis. Pada jaman
VOC kota Cirebon menjadi pusat perniagaan Belanda di daerah antara Batavia
dan Jepara. Kota pelabuhan ini terletak pada teluk yang terlindungi oleh
Semenanjung Indramayu dan karang-karang di sebagian lepas pantai dari
terjangan ombak dari arah utara. Pesisir Cirebon merupakan pantai yang landai
dan tidak curam, sehingga mudah didatangi oleh kapal-kapal dan perahu, yang
menyebabkan Cirebon menjadi berkembang menjadi kota pelabuhan yang ramai.
3
Paramita R. Abdurahman, 1982, Cerbon, Jakarta: Sinar Harapan, hlm.11 4
Singgih Tri Sulistiyono, loc.cit. 5
Kuningan terletak di lereng gunung Ciremai ( 3.070 m), pernah menjadi pintu gerbang dan jalan lalu lintas utama antara kerajaan Galuh di selatan dan kerajaan Cirebon di pantai utara.
6
Kondisi alamiah seperti itu sangat memudahkan didalam pembangunan sarana
dan prasarana pelabuhan separti dermaga, dan sebagainya. Tidak mengherankan
apabila konstelasi geografi yang dimiliki Cirebon seperti ini berkembang sebagai
pusat ekonomi dan pusat pemerintahan.
Sebagai kota pelabuhan perdagangan, penduduk Cirebon melakukan kontak
budaya dengan para pendatang. Proses interaksi sosial pun terjalin antara
penduduk Cirebon dan para pendatang. Implikasi lebih jauh, banyak penduduk
pendatang menetap secara permanent, yang berdampak penduduk Cirebon tidak
homogen7 . Pendatang asing yang berasal dari Cina, Parsi, Gujarat, Arab, dan
lain-lain. Untuk pendatang pribumi terdiri dari orang Jawa, Sunda, Madura,
Betawi, Batak, Minangkabau, Bugis, dan, Melayu8. Pemerintah Belanda
mengelompokkan penduduk Cirebon berdasarkan ras, yaitu golongan Timur
Asing (Vreemde Oosterlingen)9 dalam sistem hukum kolonial memiliki
kedudukan satu tingkat lebih tinggi dari golongan pribumi (Inlanders). Oleh
karena itu secara kondusif mereka memiliki lebih banyak peluang untuk maju di
bidang ekonomi10. Tempat tinggal mereka pun terpisah, baik secara kultural
maupun karena kebijakan pemerintah kolonial yang bersifat rasialis11.
Dari informasi Raffles pada tahun 1815 tercatat jumlah penduduk Cirebon
sebanyak 216.001 orang, yang terdiri dari 213.685 orang pribumi dan 2.343
7
Supriatno, 2001, Ziarah di Komplek Makam Sunan Gunung Jati, Cirebon: Suatu Studi Mangenai Kepercayaan Kepada Wali dalam Islam, Thesis Universitas Kristen Duta Wacana, hlm.47.
8
Ibid., hlm.49. 9
Golongan Timur Asing (Vreemde Oosterlingen) terdiri dari orang-orang Cina, Arab dan Benggala.
10
Supriatno, loc.cit. 11
orang Cina12 . Jumlah etnis Cina merupakan kelompok minoritas, akan tetapi
perannya dalam sektor ekonomi cukup berat. Dari hasil penelitian Fernando pada
tahun 1815 diketahui bahwa kepadatan penduduk rata-rata di residensi Cirebon
di daerah pedesaan lebih padat, dari pada di distrik kota Cirebon. Di distrik kota
Cirebon rata penduduk tiap desa hanya sebanyak 130 jiwa sedangkan
rata-rata penduduk tiap desa di residensi berjumlah 264 jiwa13.
Mata pencaharian penduduk Cirebon menurut sensus Raffles pada tahun
1815, pada umumnya bekerja sebagai petani, yaitu sebanyak 132.215 orang.
Selain bertani juga memiliki mata pencaharian pada sektor lain, yaitu sebagai
pengerajin dan nelayan sebanyak 83.889 orang14.
Struktur sosial penduduk Cirebon tersusun secara hirarki vertikal, pelapisan
sosial berdasarkan kedudukan atau peran seseorang atau kelompok orang di
dalam masyarakat. Bila dilihat dari segi ini, penduduk Cirebon dapat
dikelompokkan ke dalam tiga lapisan sosial, yaitu: golongan menengah dan
golongan bawah15.
Golongan pertama, yaitu kaum bangsawan tingkat atas, elit birokrasi
(tradisional) juga sekaligus merupakan elit agama. Golongan ini terdiri atas
sultan atau raja beserta keluarganya dan para pejabat tinggi kerajaan. Kedudukan
sultan atau raja menempati posisi tertinggi dalam status sosialnya, karena
12
Thomas Stamford Raffles, 1817, The History of Java Vol II, London: Oxford University Press, hlm. 255.
13
M. R. Fernando, Peasant and Plantation Economy: The Social Impact of the European Plantation Econ” Cirebon Residency from the Cultyivation System to the End of First Decade of the Twentieth Century, Unpublished ph.D. Thesis Monasth University, hlm.97.
14
Thomas Stamford Raffles.loc.cit.
15
merupakan penguasa tertinggi daripada lapisan masyarakat lainnya. Raja secara
langsung atau tidak langsung menentukan nasib kehidupan ekonominya dan
perdagangan melalui segala peraturan yang dikeluarkannya.
Golongan kedua adalah kaum bangsawan tingkat menengah, yang terdiri
atas pegawai kerajaan tingkat menengah dan pemuka agama. Golongan ini
berperan sebagai penasehat raja dalam bidang agama, politik, ekonomi, militer
dan budaya.
Ketiga, golongan bawah yaitu lapisan rakyat biasa atau rakyat kecil pada
umumnya dengan mata pencaharian sebagai petani, pedagang, tukang dan
nelayan. Golongan bawah ini merupakan tulang punggung bagi kehidupan
perekonomian kerajaan Cirebon, karena tanpa adanya masyarakat kecil ini
kehidupan perekonomian tidak akan berjalan dengan lancar. Dengan demikian,
golongan rakyat kecil pun mempunyai andil yang sangat besar dalam
perkembangan kehidupan perekonomian di kerajaan Cirebon. Golongan lain
dalam lapisan ini adalah prajurit dan tentara kerajaan. Mereka sangat berperan
pada saat terjadi peperangan. Dalam situasi damai mereka bertugas sebagai
penjaga keamanan kota atau sebagai pengawal raja.
Kondisi politik dan pemerintahan di kerajaan Cirebon yang
melatarbelakangi pemberontakan Cirebon meliputi, Cirebon di bawah kekuasaan
Belanda, Cirebon di bawah kekuasaan Inggris dan persoalan konflik juga
persoalaan hak waris.
1. Cirebon di bawah Kekuasaan Belanda
Pada tahun 1596, rombongan para pedagang Belanda di bawah pimpinan
Cornelis de Houtman mendarat di Banten. Pada tahun yang sama orang Belanda
pertama yang datang ke Cirebon, melaporkan bahwa Cirebon pada saat itu
merupakan kota dagang yang relatif kuat yang sekelilingnya dibentengi dengan
sebuah aliran sungai.16 Pejabat VOC pertama yang datang ke kerajaan Cirebon
adalah wakil Gubernur Jenderal yang dalam perjalannya ke Mataram singgah di
sana pada tahun 1622. Ia bertemu Panembahan Ratu yang saat itu usianya sudah
lanjut. Pejabat VOC itu merasa sangat terkesan ketika Panembahan Ratu
berkunjung ke Mataram pada tahun 1636. Sultan Agung menyambutnya dengan
penuh respek dan menganggap Panembahan Ratu sebagai penasehat Spiritualnya.
Cirebon diperkirakan menjadi Vassal setelah Sultan Agung dan Panembahan
Ratu wafat, masing-masing pada tahun 1645 dan 1649, karena Panembahan
Girilaya, pengganti Panembahan Ratu, diharuskan “tinggal” di Istana Mataram
hingga akhir hayatnya pada tahun 1667. Ini berarti, Panembahan Girilaya sudah
bukan sultan yang merdeka lagi seperti para pendahulunya.17
Sejak awal berdirinya, batas-batas wilayah Kesultanan Cirebon termasuk
bermasalah. Munculnya Banten sebagai kasultanan yang berdaulat ditangan
Maulana Hasanudin, timbul permasalahan apakah Sunda Kelapa termasuk
wilayah kekuasaan Cirebon atau Banten. Meskipun Maulana Hasanudin telah
16
Hoesein Djajadiningrat,1983, Tinjauan Kritis Tenatang Sejarah Banten. Kenangan Terj KITLV bersama LIPI, Jakarta: Djambatan,hlm,hlm.97.
17
menyerahkan pengelolaan Sunda Kelapa kepada menantunya, yaitu Bagus
Angke, secara formal Sunda Kelapa masih termasuk wilayah Kesultanan
Cirebon. Hal ini menimbulkan kesulitan dalam penentuan batas wilayah
Cirebon.18 Namun dengan demikian, masalah batas wilayah ini tidak pernah
menimbulkan konflik terbuka antara Cirebon dan Banten, karena bagi
Kesultanan Banten, mengenai batas wilayah ini di anggap mudah saja karena
semua wilayah yang dahulu merupakan wilayah Kerajaan Sunda Pajajaran,
merupakan bagian wilayah Kesultanan Banten. Akan tetapi ada beberpa wilayah
yang mengakui sebagai bagian dan Kesultanan Cirebon tetapi kenyataannya
diakui sebagai wilayah Kesultana Banten.
Mataram semakin bertindak represif terhadap Cirebon terutama setelah
Sultan Agung mengalami kegagalan dalam penyerbuan ke Batavia pada
perempat abad ke XVII. Pada waktu menyerbu VOC di Batavia, laskar Sultan
Agung dibantu oleh Cirebon. Akan tetapi karena ekspedisi ini mengalami
kegagalan, mereka takut memperoleh serangan Balasan dari VOC sehingga
mereka dan keluarganya pindah ke daerah kekuasaan Kerajaan Banten yang
netral dan aman. Tindakan ini dipandang sebagai pembelotan oleh Sultan Agung.
Selanjutnya Sultan Agung menghukum mereka dan akhirnya Cirebon
ditempatkan di bawah kekuasaan Mataram dengan setiap tahun mengirim upeti.19
Kemantapan posisi geopolitik Cirebon, ternyata seringkali diuji oleh
tekanan Mataram, sekalipun Cirebon tidak pernah mengalami serangan fisik
18
Ibid, hlm. 36.
19
langsung dari Mataram. Namun hal tersebut tidak dengan sendirinya
menghilangkan kekhawatiran Cirebon terhadap kekuasaan Mataram yang
semakin kuat dan meluas. Dalam hal konflik antara Mataram dan VOC, Cirebon
lebih banyak memilih jalan tengah.20 Sampai akhirnya Cirebon menjadi
buffer-power Mataram untuk menahan laju kompeni yang berpusat di Batavia,
sehingga Matara kemudian mengubah sikapnya terhadap Banten dan
mengalihkan ambisi teritorialnya ke Timur. Akhirnya Cirebon lebih memilih
proteksi Belanda pada tahun 1681, daripada konflik dengan Mataram.
Pada tanggal 31 Desember 1799 VOC secara resmi dibubarkan.21 Di saat
yang sama di negeri Belanda, kekuasaan sedang beralih. Negeri Belanda
diduduki Perancis dengan panglima perangnya Napoleon Bonaparte yang
mengangkat saudaranya sendiri Louis Bonaparte menjadi raja Belanda. Raja
mengirim ke Hindia salah salah seorang pahlawan dan pemimpin revolusi
Belanda, Marsekal H.W. Daendles, untuk memperbaiki pemerintahan Kolonial
Belanda. Daendles sebagai penguasa baru utusan Perancis tidak mengganti
seluruh pejabat Belanda di Hindia Belanda, dan mencoba merubah sistem
pemerintahan yang ada menjadi lebih baik.
Daendels menyatukan wilayah kesultanan Cirebon dengan sebagian
wilayah Priangan menjadi kesultanan Chirebon en Cheribonsche Preanger
20
Hasan Muarif Ambary, 1995/1996, “Peranan Cirebon sebagai Pusat Perkembangan dan Penyebaran Islam”,Makalah Diskusi Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutera, Cirebon: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek IDSN, hlm. 47-48.
21
Regentschappen, yang meliputi Kesultanan Cirebon, Limbangan, Sukapura,dan
Galuh. Pada tanggal 2 Februari 1809, dikeluarkan Reglement op het beheer van
de Cheribonsche Landen, yang pada dasarnya menjadikan para Sultan Cirebon
sebagai birokrat yang bersubordinasi kepada birokrat Hindia Belanda. Para
Sultan dianggap sebagai pegawai Kerajaan Belanda dengan pangkat bupati.
Rumah tangga para sultan diatur oleh pemerintah kolonial, termasuk juga soal
tanah milik Keprabon, jumlah pegawai, dan pengiring keluarga sultan.22 Dengan
keluarnya peraturan (reglement) Pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1809
yang ditetapkan oleh Gubernur Jenderal Daendels, maka berakhirlah seluruh
kekuasaan politik para sultan di Cirebon.23
Setelah mengakhiri status para sultan, pemerintah kolonial Belanda
melakukan perubahan-perubahan dalam soal administrasi wilayah. Sebagaimana
yang terjadi di wilayah Jawa lainya, selama abad ke-19, Cirebon beberapa kali
mengalami perubahan administrasi. Bekas wilayah para Sultan Cirebon dijadikan
4 kabupaten, yaitu Kabupaten Cirebon, Kuningan, Majalengka, dan Indramayu
Selama pecahnya pemberontakan 1802, pemecatan secara tidak adil
terhadap Sultan Kanoman seringkali dijadikan sebagai alasan serius sebagai
penyebab meletusnya pemberontakan. Pada saat Daendels melantik kembali
Sultan Kanoman pada tahun 1808, ternyata tidak mampu meredakan tuntutan
rakyat. Sultan yang baru dilantik pun tidak mampu mengembalikan ketenangan
masyarakat.
22