• Tidak ada hasil yang ditemukan

i ADAPTASI DALAM KOMUNIKASI ANTARBUDAYA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "i ADAPTASI DALAM KOMUNIKASI ANTARBUDAYA"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

i

ADAPTASI DALAM KOMUNIKASI ANTARBUDAYA

(Studi pada Individu Dewasa Muda Perempuan yang Berpacaran Jarak Jauh dengan Pria Eropa)

YUNITA TITI SASANTI Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Brawijaya Malang

ABSTRAKSI

Penelitian ini membahas tentang adaptasi dalam komunikasi antarbudaya pada individu dewasa muda perempuan yang berpacaran jarak jauh dengan pria Eropa. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memahami dan menganalisis perilaku komunikasi, proses adaptasi, dan mengidentifikasi hambatan dan strategi mengatasi hambatan dalam komunikasi antarbudaya yang dilakukan individu dewasa muda perempuan dalam menjalin pacaran jarak jauh dengan pria Eropa. Penelitian ini menggunakan teori komunikasi antarbudaya dan komunikasi antarpribadi. Penelitian ini menggunakan metodologi kualitatif deskriptif.

Hasil dari penelitian ini ditemukan adanya toleransi dan pengertian dalam sebuah hubungan pacaran membuat komunikasi yang dilakukan subyek penelitian cukup efektif sehingga hubungan bisa bertahan sampai saat ini. Hal ini tidak terlepas peran media online sebagai alat komunikasi dalam pacaran jarak jauh, yang mengakibatkan ketergantungan pada media dalam menjalin hubungan serta komunikasi yang bersifat terjadwal. Proses adaptasi yang dilakukan tidak terlepas pada unsur kebudayaan, seperti agama, bahasa dan sistem kemasyarakatan sebagai bentuk penyesuain diri dalam hubungan pacaran beda budaya. Proses adaptasi juga dapat mempengaruhi pergeseran budaya seperti pada perilaku yang menyimpang dari nilai budaya yang dimiliki karena tidak adanya filter pada diri sehingga subyek penelitian mudah mengadopsi budaya pasangan. Hambatan komunikasi antarbudaya dalam hubungan pacaran jarak jauh pernah terjadi yaitu pada berkurangnya keakraban fisik, pekerjaan serta dibutuhkannya biaya yang cukup besar untuk mempertahankan hubungan tersebut sehingga kemunduran dalam hubungan tidak bisa dihindari. Hambatan yang sangat terlihat dalam penelitian ini adalah pada rintangan budaya yang mana adanya perbedaan bahasa dan pergaulan. Namun hambatan ini mampu diatasi dengan kematangan emosional yang dimiliki, pengertian, keterbukaaan diri, kompromi, toleransi dan sifat mengalah untuk mempertahankan hubungan.

(2)

ii ABSTRACT

This study discusses the adaptation in intercultural communication among young women individual having long distance relationship with European men. The objective of this study is to understand and analyze the behavior of communication, adaptation process, and identify any barriers and strategies to overcome the barriers in the intercultural communication used by the young women individual in having long distance relationship with European men. This study used theory of intercultural communication and interpersonal communication. This study used descriptive qualitative method.

Results of this study found that the existence of tolerance and understanding in a dating relationship do make communication effective enough study subjects so that the relationship can survive to this day. This is related to the role of online media as a communication tool in a long-distance relationship, which resulted in a reliance on media relations and communications that are scheduled. The adaptation process is done can not be separated on cultural elements, such as religion, language and social system as a form of self adjustment in different cultures dating relationships. The process of adaptation can also affect a cultural shift as the behavior that deviates from the value of the culture in the absence of the filter itself so easily adopt the culture of research subjects couples. Barriers to intercultural communication in long-distance dating relationship ever happened that the reduction of physical intimacy, work and considerable expense needed to maintain the relationship so that deterioration in the relationship can not be avoided. Barriers are very visible in this research is the cultural barrier where the difference in language and socially. Yet this barrier is able to overcome the emotional maturity owned, understanding, self greater openness, compromise, tolerance and succumb to maintain relationships

(3)

1 I. PENDAHULUAN

Manusia memiliki berbagai macam bentuk sosialisasi yaitu berkenalan, melakukan pertemanan, bersahabat bahkan bisa menjalin hubungan untuk berpacaran. Hubungan pacaran merupakan hubungan akrab yang banyak dikenal saat ini, biasanya hubungan pacaran sudah dimulai sejak dewasa muda pada usia 18 tahun (Hurlock dalam Santock, 2003: 54). Secara umum, alasan seseorang untuk berpacaran adalah merasakan kebersamaan dengan orang lain. Selain itu, adanya keinginan untuk merasakan cinta, kasih sayang, penerimaan dari lawan jenis serta adanya rasa aman yang dirasakan oleh setiap pasangan tidak terkecuali pada perempuan yang masih berusia muda. Perkembangan pada masa dewasa muda membuat seorang perempuan ingin memiliki teman dekat yang dapat membuatnya nyaman dan bisa berbagi, kedekatan dan rasa nyaman yang dimiliki membuat individu dewasa muda menjalin sebuah hubungan yaitu pacaran.

Proses seseorang pacaran tidak pernah lepas dari masalah komunikasi yaitu adanya masalah dalam pacaran. Tidak ada sepasang orang yang sedang berpacaran tanpa mengalami suatu masalah sedikitpun. Khususnya bagi pasangan yang berbeda budaya karena pasangan yang beda budaya juga memiliki ajaran budaya yang melekat.

Komunikasi antarbudaya bagi pasangan yang menjalin hubungan pacaran dengan bangsa lain atau budaya yang berbeda yaitu budaya Barat (Eropa) dengan budaya Indonesia yang lebih ketimuran saat ini bukan hal yang awam lagi (Sarwendah, 2009). Tidak sedikit orang Indonesia khususnya perempuan yang memiliki ketertarikan dengan pria asing (foreign) dan menjalin pacaran dengan orang yang berbeda budaya, meskipun adanya

kesulitan dalam beradaptasi dan berkomunikasi pada saat menjalin hubungan. Menjalani hubungan pacaran sering kali individu tidak bisa berdekatan dengan pasangannya, sehingga mereka melakukan pacaran jarak jauh. Menurut Melville (dalam Nisa, 2010) pacaran jarak jauh merupakan hubungan antara dua pihak yang saling berkomitmen dimana individu tidak berada secara berdekatan satu sama lain, dan tidak dapat bertemu ketika mereka saling membutuhkan, karena bersekolah atau bekerja pada kota yang berbeda, pulau yang berbeda bahkan negara atau benua yang berbeda. Tahap pacaran merupakan masa dimana seseorang untuk lebih mengenal budaya pasangan masing-masing agar tidak terjadi suatu masalah atau kejutan budaya (culture shock). Menurut Ward, Bochne, Furnham; dan Wan (dalam DeVito, 2007: 51), tekanan yang dirasakan ketika berhadapan dengan budaya baru ini disebut cuture shock, yaitu reaksi psikologi yang dialami oleh individu ketika berada dalam budaya yang berbeda dari budayanya. Berpacaran beda budaya khususnya antara budaya Barat (Eropa) dan budaya Timur (Indonesia) terkadang ada hambatan-hambatan yang terjadi dalam berkomunikasi karena mempunyai latar belakang yang berbeda, bahasa berbeda, agama berbeda, sikap, perilaku dan etnik yang berbeda (Nurwijaya, 2007: 5).

(4)

2 menjalin sebuah hubungan pacaran, sehingga semakin baik proses komunikasi antarbudaya yang ia lakukan, semakin cepat proses adaptasi yang dia alami.

Kompetensi komunikasi antarbudaya merupakan salah satu aspek penting dalam proses adaptasi. Keberhasilan adaptasi seseorang, tergantung pada seberapa fungsional kompetensi antarbudaya yang dimiliki dan strategi akomodasi melalui komunikasi yang dapat mengarah kepada komunikasi antarbudaya yang efektif; stereotip, etnosentrisme, penarikan, pengabaian, dan sekumpulan perilaku negatif lain (Dodd, 1998: 157). Jika seseorang mampu melihat proses adaptasi dengan positif, maka dia akan mendorong untuk menggunakan perbedaan budaya sebagai keunggulan. Di sisi lain, pembelajaran akan variasi budaya menjadikan masa adaptasi lebih cepat dan mudah.

Perempuan dalam penelitian ini sebagai objek penelitian yang difokuskan pada individu dewasa muda karena periode transisi seorang perempuan antara masa remaja dan masa dewasa yang merupakan masa perpanjangan kondisi ekonomi dan pribadi yang sementara. Masa muda pada seorang perempuan merupakan masa terpenting, dimana dirinya dituntut untuk menyesuaikan diri terhadap pola hidup dan harapan sosial yang baru (Hurlock, 1997). Dua kriteria yang diajukan untuk menunjukkan akhir masa muda dan permulaan dari dewasa awal adalah kemandirian ekonomi dan kemandirian dalam membuat keputusan. Pembuatan keputusan secara luas tentang karir, nilai-nilai, keluarga dan hubungan, serta tentang gaya hidup (Santrock, 2002: 36).

Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti memandang topik ini sebagai hal yang menarik untuk diteliti.

Penelitian ini memfokuskan pada adaptasi dalam komunikasi antarbudaya yang dilakukan perempuan Indonesia dewasa muda dalam menjalin pacaran jarak jauh dengan pria Eropa. Hasil dari penelitian ini digunakan sebagai masukan bagi pasangan yang menjalin hubungan pacaran beda budaya untuk mengembangkan komunikasi antarbudaya yang efektif.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Komunikasi dalam Menjalin Hubungan Antarbudaya Indonesia-Eropa

Komunikasi dan budaya menjadi satu hal yang tidak dapat dipisahkan, hal ini didasarkan pada pernyataan Liliweri (2009: 6) bahwa komunikasi antarbudaya merupakan komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh mereka yang berbeda latar belakang kebudayaan dan kedua budaya tersebut melaksanakan proses komunikasi.

Komunikasi antarbudaya bisa terjalin dengan siapa saja dan dalam kondisi apapun seperti, pada sebuah organisasi, kelompok maupun sebuah hubungan antarpribadi. Menjalin hubungan antarpribadi seperti menjalin hubungan pacaran bisa dilakukan dengan orang yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda seperti hubungan pacaran Indonesia-Eropa.

(5)

3 berbeda ketika berbicara dengan orang tua dan dengan teman. Selain dinyatakan dengan kosakata, tingkat kesopanan, keformalan, dan keakraban juga harus dinyatakan dengan sikap tubuh. Karena itu masyarakat Jawa sangat menghargai bahasa-bahasa nonverbal (Kridalaksana, 2001: 7).

Sebaliknya budaya Eropa yang manganut nilai budaya barat seperti kebebasan berperilaku mulai seks bebas, minuman keras, bebasnya berpenampilan sampai gaya hidup hedononisme yang tinggi tidak diikat pada suatu peraturan yang ada dalam sebuah agama (Soeleman, 2001: 50). Setiap budaya memiliki unsur-unsur kebudayaan yang memepengaruhi perilaku mereka. Perilaku yang terjadi dalam hubungan beda budaya tentunya tidak terlepas dari kompetensi komunikasi antarbudaya untuk mengurangi kecemasan dan ketidakpastian dalam hubungan. Adapun beberapa faktor yang menyebabkan ketidakpastian dan kecemasan dalam suatu pertemuan antarbudaya, faktor-faktor tersebut adalah motivasi, pengetahuan, dan kecakapan (Rahardjo, 2005: 69-70). Sedangkan, menurut Gundykunst faktor-faktor tersebut merupakan kompetensi komunikasi antarbudaya, yang secara konseptual diberi arti sebagai kecakapan-kecakapan yang dibutuhkan oleh suatu pihak untuk berkomunikasi dengan orang lain yang berbeda latar belakang budaya (Rahardjo, 2005: 71).

2.1.1.Proses Adaptasi dalam Hubungan Antarbudaya

Kim (dalam Martin dan Nakayama2004:286) menggambarakan proses adaptasi dalam model sistem komunikasi dimana dia melihat bahwa komunikasi memiliki dua sisi resiko dalam adaptasi: pendatang yang berkomunikasi lebih sering dengan

budaya barunya beradaptasi lebih baik tapi bisa juga merasakan culture shock yang lebih besar. Interaksi antarbudaya mendorong seseorang keluar dari cara pandangannya yang sudah terbangun sejak lahir dan hal ini akan menimbulkan stres. Namun begitu di sisi lain pembelajaran tentang budaya baru membuat perempuan Indonesia yang belajar akan budaya barat akan lebih merasa nyaman karena mampu memahami bagaimana sesuatu itu dipandang berbeda dari budayanya yaitu budaya timur.

Hal yang paling penting dalam memprediksi adaptasi adalah frekuensi partisipasi komunikasi dengan budaya baru (Begley dalam Samovar Porter dan McDaniel (eds.) 2006: 392). Meskipun wawasan dan pengetahuan budaya dapat dikumpulkan melalui pembelajaran sebelumnya, namun pengalaman akan bertambah melalui percakapan setiap harinya dengan orang-orang di lingkungan baru. Implikasi dari hal ini adalah informasi yang terkait dengan aturan budaya komunikatif, isyarat nonverbal, dan adat umum dapat dipelajari dan digunakan selama proses komunikasi. Pada akhirya, pengalaman komunikasi praktis berkontribusi pada adaptasi yang efektif.

2.2. Komunikasi Antarpribadi dalam Menjalin Hubungan Pacaran Jarak Jauh

(6)

4 dan sebagainya (Mulyana, 2004: 73). Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan komunikasi antar pribadi (interpersonal communication) adalah kajian tentang proses komunikasi antar dua pribadi yang berbeda dan diharapkan masing-masing peserta komunikasi dapat menangkap reaksi secara langsung baik verbal maupun nonverbal. Teori komunikasi antarpribadi mempelajari komunikasi yang terjadi antara dua orang yang memiliki suatu hubungan seperti menjalin hubungan pacaran.

Dalam menjalin hubungan pacaran harus dilandasi rasa cinta, yang menurut Armstrong (2005) cinta terkait dengan visi kebahagiaan. Sedangkan menurut Dindia dan Timmerman (dalam Devito, 2007: 265) perasaan cinta ditandai dengan kedekatan dan mempedulikan secara intim, gairah, dan komitmen. Cinta kepada seseorang dapat dikomunikasikan dalam bentuk komunikasi verbal maupun non verbal (Devito, 2007: 269).

Berdasarkan definisi dan uraian mengenai pacaran, maka dapat disimpulkan bahwa pacaran merupakan salah satu bentuk hubungan yang ditandai dengan adanya rasa cinta, komitmen, dan self-disclosure atau pengungkapan diri. Pengungkapan diri atau self disclousure merupakan bagian dari hubungan antarpribadi, yang mana menurut Canary (dalam Taylor, dkk, 2009) pengungkapan diri sebagai suatu percakapan dimana kita berbagi informasi dan perasaan pribadi dengan orang lain. Sedangkan Gardner (2002) menyatakan pengungkapan diri sebagai suatu bentuk tindakan bertukar informasi dengan orang lain mengenai diri yang mencakup keadaan pribadi, disposisi, pengalaman masa lalu, dan rencana masa depan.

Menjalin hubungan pacaran terkadang seseorang tidak bisa bertemu

dengan pasangannya sehingga mereka menjalin hubungan pacaran jarak jauh. Pacaran jarak jauh pada intinya mempunyai pengertian sebuah hubungan romantis dengan komitmen berpacaran, dimana antara kedua individu terpisahkan oleh jarak yang patut dipertimbangkan (Lestari, 2009: 25).

2.2.1.Negosiasi dalam Hubungan Pacaran

Negosiasi merepresentasikan pertukaran informasi melalui bahasa yang mengoordinasikan dan mengelola makna. Dalam negosiasi, bahasa beroperasi dalam dua level: level logikal (untuk proposal atau penawaran) dan level pragmatis (semantik, sintaksis, dan gaya) (Lewicki Barry& Saunders, 2012: 223). Sheppard dan Tuchinsky mencatat beberapa cara di mana suatu konteks hubungan yang ada mengubah dinamika negosiasi (Lewicki, Barry& Saunders, 2012: 365-369):

1) Negosiasi dalam hubungan terjadi setiap saat

2) Negosiasi seringkali bukanlah jalan untuk mendiskusikan sebuah masalah, tetapi cara untuk belajar lebih banyak tentang pihak lain dan

meningkatkan saling

ketergantungan

3) Resolusi dari masalah-masalah distributif yang sederhana memiliki implikasi untuk masa depan

4) Isu-isu distributif dalam negosiasi hubungan dapat memanas secara emosional

5) Negosiasi dalam hubungan dapat saja tidak pernah berakhir

6) Dalam banyak negosiasi, orang lain merupakan masalah utama

(7)

masalah-5 masalah substantial untuk memelihara atau meningkatkan hubungan.

2.3.Hambatan Komunikasi Antarbudaya dalam Hubungan Pacaran Jarak Jauh

Menurut Shannon dan Weaver (dalam Cangara, 2008: 153), gangguan komunikasi terjadi jika terdapat intervensi yang mengganggu salah satu elemen komunikasi, sehingga proses komunikasi tidak berlangsung secara efektif. Melihat bahwa komunikasi antarbudaya bermula dari komunikasi antarpribadi (Liliweri, 2003: 17) maka, gangguan komunikasi antarpribadi juga dapat menjadi gangguan pada saat komunikasi antarbudaya berlangsung. Gangguan komunikasi tersebut antara lain sebagai berikut (Devito, 2007: 246-249):

a. Beliefs about relationship b. Excessive intimacy claim c. Third-party relationship d. Ralationship change e. Undefined expectation f. Work-ralated problem g. Financial difficulties

Selain hambatan komunikasi yang dikemukakan oleh Devito diatas, ada beberapa hambatan komunikasi yang dikemukakan oleh Cangara (1998: 156) antara lain:

a. Rintangan kerangka berfikir

Rintangan kerangka berfikir terjadi karena adanya perbedaan persepsi antara komunikator dengan komunikan. Perbedaan ini dikaitkan karena adanya perbedaan pengalaman.

b. Rintangan budaya

Rintangan budaya merupakan rintagan yang terjadi disebabkan karena adanya perbedaan norma, kebiasaan, dan nilai-nilai yang dianut oleh pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi tersebut.

III. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metodologi penelitian kualitatif dengan jenis deskriptif. Fokus dalam penelitian ini adalah adaptasi komunikasi antarbudaya, adaptasi disini peneliti fokuskan pada unsur kebudayaan, yaitu: adaptasi agama, adaptasi bahasa, dan adaptasi sistem kemasyarakatan

Teknik pengumpulan data yang digunkaan menggunakan wawancara mendalam yang dilakukan peneliti kepada informan dan di dukung leh dokumentasi yang berupa data-data pribadi milik informan yang berpacaran jarak jauh dengan pria Eropa. Analisis data didasarkan analisis data dari Moleong yaitu memilah-milah data dalam kategori, mencari hubungan antar ketagori, Menyederhanakan dan mengintegrasikan data ke dalam struktur atau pola yang saling berkaitan secara logis, membandingkan antar data yang disederhanakan, menarik kesimpulan.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1.Perilaku Komunikasi

Antarbudaya dalam Hubungan Pacaran Jarak Jauh

(8)

6 memiliki kekasih bukan dari asal budaya yang sama bahkan negara yang berbeda melainkan dari budaya Eropa dan berkewarganegaraan asing yang notabennya memiliki culture yang sangat kontras dengan culture Indonesia.

Hubungan pacaran yang dilakukan Mayda dan informan lainnya merupakan bentuk komunikasi antarbudaya, informan melakukan interaksi dan komunikasi dengan pria Eropa yang memiliki perbedaan budaya. Menjalin hubungan pacaran dengan orang yang berbeda kebudayaan tidak terlepas dari peran keluarga, latar belakang keluarga mempengaruhi seseorang dalam memilih pasangan. Ketika perempuan Indonesia yaitu Ovy, Umi, dan Mayda berkomunikasi dengan pasangannya itulah yang disebut komunikasi antarbudaya karena kedua belah pihak “menerima” perbedaan diantara mereka sehingga bermanfaat untuk menurunkan tingkat ketidakpastian dan kecemasan dalam hubungan mereka.

Komunikasi terjadi pada informan dan pasangannya bukan hanya dipengaruhi oleh budaya dari masing-masing individu melainkan juga dipengaruhi adanya kesenjangan jarak dalam hubungan pacaran jarak jauh yang mereka jalani sampai saat ini. Komunikasi yang terjalin dalam hubungan pacaran jarak jauh mereka memang tidaklah begitu lancar seperti pasangan pada umumnya yang bisa bertemu dan menghubungi kapan saja.

Adanya perbedaan waktu dan pekerjaan yang membuat informan melakukan komunikasi setiap hari pada malam hari melalui media sosial. Melalui media sosial seperti skype, faceboook. Family contact day, dll informan bisa berkomunikasi dengan pasangannya yang berada di Eropa. Perkembangan alat komunikasi

sekarang ini komunikasi bisa dilakukan kapan saja, dimana saja dengan mudah. Adanya perbedaan waktu antara Indonesia dan Eropa membuat komunikasi yang terjalin antara informan dan kekasihnya terjadwal pada malam hari. Komunikasi yang terjalin melalui media sosial ini dapat menyebabkan ketergantungan pada media, yang mana hanya melalui media sosial informan bisa berkomunikasi dengan kekasihnya, keluarga, dan teman-teman kekasihnya yang berada di Eropa. Perkembangan dan kemajuan teknologi saat ini membuat seseorang lebih mudah menjangkau dan berkomunikasi dengan orang yang berada di negara yang berbeda. Melalui perkembangan teknologi yang bisa bebicara dan melihat orang lain yang berada jauh seperti melalui skype dapat membuat informan mengetahui keadaan pasangan dan layaknya komunikasi face to face meskipun pada kenyataanya mereka berada pada jarak yang jauh.

Menjalin hubungan pacaran jarak jauh beda budaya tidaklah mudah, hal ini disebabkan adanya kecemasan dan ketidakpastian dalam sebuah hubungan. Oleh karena itu, dibutuhkan kompetensi komunikasi antarbudaya untuk mengetahui sejauh mana perilaku komunikasi Umi, Ovy, dan Mayda dalam upaya menyesuaikan diri terhadap budaya Eropa dalam menjalin hubungan pacaran jarak jauh.

a. Motivasi

(9)

7 nyaman dan senang dalam menjalin hubungan serta keinginan untuk mempertahankan hubungan, mampu menurunkan kecemasan dan ketidakpastian dapat menjadi motivasi. Rasa bahagia dan nyaman juga dirasakan oleh informan yang sebagai bentuk motivasi mereka menjalin hubungan pacaran.

Rasa bahagia dan nyaman bisa dirasakan jika diantara keduanya memiliki persamaan hobby, cara berfikir, pandangan mengenai kehidupan, dll. Menjalin hubungan pacaran adalah sebuah bentuk visi memperoleh kebahagiaan (Armstrong, 2005). Jika seseorang merasa bahagia dalam hubungan yang dijalani maka merekapun memiliki motivasi dalam menjalin hubungan pacaran. Faktor keluarga dalam pacaran beda budaya juga merupakan motivasi, yang mana orang tua Mayda dan Umi sudah mengetahui dan menyetujui hubungan mereka dengan pria Eropa.

b. Pengetahuan

Berdasarkan hasil wawancara dengan seluruh informan, ternyata pengetahuan mereka cukup luas mengenai budaya Eropa. Pengetahuan mengenai budaya baru yaitu budaya Eropa diperoleh informan ketika mereka berkunjung ke Eropa. Penting kiranya untuk membekali diri dengan pengetahuan tentang budaya yang mana tempat kekasih informan tinggal. Kesadaran diri untuk memahami budaya Eropa merupakan langkah awal dalam menjalin hubungan pacaran.

Menurut pernyataan informan bahwa budaya Eropa cenderung bebas, individual, memiliki rasa ingin tahu yang besar, dan tidak bisa terlepas dari party dan vodkha. Komunikasi yang Ovy, Umi, dan Mayda lakukan merupakan bentuk mengumpulkan informasi akan perbedaan dan kesamaan budaya yang ada. Pengetahuan yang

dimiliki informan mengenai budaya Eropa dapat membantu informan dalam menyesuaikan diri dengan kekasihnya sehingga informan mampu mengurangi kecemasan dan ketidakpastian dalam hubungan yang dijalani. Pengetahuan dipahami sebagai kualitas dari pemahaman kita tentang apa yang dibutuhkan dan tindakan supaya memiliki kompetensi komunikasi antarbudaya (Rahardjo, 2005: 71). Pengetahuan yang dimiliki Umi mengenai budaya Eropa yang tidak terlepas dari party dan vodkha tidak mempengaruhi perilaku umi dalam berkomunikasi dengan Kirill, karena Kirill merupakan seorang muslim yang tidak minum-minuman keras, sehingga hal ini tidak menjadi masalah dalam hubungan Umi. Namun mengenai party yang sering dilakukan European Umi tidak begitu mempermasalahkan, karena saat Umi berada di Rusia dia pernah diajak teman-temannya dan Kirill mengikuti party di salah satu acara temannya sebagai bentuk menghormati, dan tentunya Umi masih menjaga aturan-aturan seorang muslim yang tidak minum-minuman keras seperti vodkha dan berdansa.

c. Kecakapan

(10)

8 dapat membantu menyesuaikan diri. Seperti yang diungkapkan oleh Ovy bahwa ia sering membicarakan atau mendiskusikan mengenai perbedaan yang ada untuk mengetahui cara berfikir kekasihnya yang berbeda budaya.

Hal serupa juga sering dilakukan oleh kedua informan lainnya bahwa mereka memiliki rasa ingin tahu yang besar mengenai budaya Eropa sebagai kemampuan untuk mengelola kecemasan dan menyesuaikan perilaku. Menjalin komunikasi antarbudaya dibutuhkan kemampuan untuk bertoleransi pada ambiguitas, dalam komunikasi antarbudaya seringkali terjadinya perbedaan berperilaku yang mengakibatkan ambiguitas dalam hubungan. Menurut Ovy, Umi, dan Mayda perbedaan perilaku seringkali terjadi karena perbedaan cara berfikir antara Indonesian dan European.

Penilaian terhadap budaya Eropa dan European berdasarkan pengalaman dan adanya kontribusi stereotip terhadap penilaian yang mampu mempengaruhi pola perilaku komunikasi mereka. Namun, kontribusi stereotip yang terdapat pada informan tidak begitu mempengaruhi perilaku komunikasi yang terjalin dalam hubungan dengan pria Eropa, hal ini dikarenakan adanya komunikasi yang baik dan toleransi pada budaya masing-masing sebagai kecakapan menyesuaikan diri yang dimiliki informan.

4.2.Proses Adaptasi Komunikasi Antarbudaya yang Dilakukan Individu Dewasa Muda Perempuan yang Menjalin Pacaran Jarak Jauh dengan Pria Eropa

Proses adaptasi berkaitan dengan usaha menerima pola-pola dan aturan-aturan komunikasi dominan yang ada di budaya baru. Kim (dalam Mulyana dan Rakhmat (eds), 2009: 137) menjelaskan bahwa komunikasi befungsi sebagai alat

untuk menafsirkan lingkungan fisik dan sosial kita sehingga komunikasi dapat membantu individu menyesuaikan diri dan berhubungan dengan lingkungan. Berdasarkan keselarasan jawaban dengan seluruh informan bahwa mereka tidak begitu mengalami kesulitan beradaptasi yang begitu berarti, kesulitan hanya terjadi pada awal-awal pacaran, selanjutnya mereka mampu menghadapikesulitan-kesulitan tersebut. Hal yang paling penting dalam memprediksi adaptasi adalah frekuensi partisipasi dengan budaya baru (Begley dalam Samovar, Porter, dan McDaniel (eds), 2006: 392). Menjalin hubungan pacaran membuat Ovy, Umi, dan Mayda terbiasa dengan pasangannya dalam berkomunikasi, tentunya tidak terlepas dari bantuan pihak lain seperti komunikasi yang mereka lakukan dengan keluarga, teman pasangan yang seorang European dan peranan media yang dapat memudahkan mereka melakukan adaptasi.

Keberhasilan adaptasi seseorang, tergantung pada seberapa fungsional kompetensi komunikasi antarbudaya yang dimiliki dan strategi akomodasi melalui komunikasi yang dapat mengarah kepada komunikasi antarbudaya yang efektif (Begley dalam Samovar Porter dan McDaniel (eds.) 2006: 392). Proses adaptasi tidak terlepas dari unsur-unsur kebudayaan yang sudah ada, yang mana dalam hubungan pacaran beda budaya ini adaptasi perlu dilakukan karena perbedaan budaya yang ada akan mempengaruhi hubungan yang terjalin. Kebudayaan yang dimiliki seseorang akan berpengaruh pada tingkah laku, cara berfikir dan bagaimana seseorang menyikapi suatu permasalahan.

(11)

9 bahasa Inggris dan bahasa dari asal mereka untuk berkomunikasi. Menurut (Soekanto, 1990: 176), bahasa terdiri atas bahasa lisan dan bahasa tertulis, kebudayaan yang beragam sangat berpengaruh pada bahasa yang dipakainya. Bahasa merupakan salah satu unsur kebudayaan yang dimiliki setiap kelompok budaya, dalam komunikasi antarbudaya dibutuhkan penyesuaian bahasa yang merupakan perilaku komunikasi.

Adaptasi bahasa yang digunakan informan untuk berkomunikasi dengan kekasihnya adalah bahasa Inggris sebagai bahasa sehari-hari. Bahasa mempunyai peran dan pengaruh yang besar dalam proses komunikasi, bagaimana seseorang mampu menangkap apa yang dimaksud melalui bahasa. Menurut Gudykunst dan Kim (2003: 337), adaptasi dapat terjadi dalam dimensi kognitif dalam dimensi kognitif, terjadi penyesuaian bahasa verbal dan nonverbal. Pada proses adaptasi bahasa, informan terkadang mengalami kesulitan untuk memahami ekspresi verbal dari pasangannya seperti cara pengucapan dan logat yang yang berbeda.

Perbedaan bahasa (language difference) khususnya yang berhubungan dengan aksen, artikulasi yang kurang jelas dan pronounciation yang mengakibatkan terjadinya miss communication sebuah hubungan, dalam komunikasi antarbudaya juga dipengaruhi oleh komunikasi verbal dan non-verbal komunikasi verbal orang Eropa tentunya berbeda dengan orang Indonesia, di Eropa komunikasi verbal bisa dilihat dari gaya berbicara yaitu, pada masyarakat Anglo Saxon seperti di Eropa bagian barat mereka berbicara dengan lawan bicaranya secara bergantian sedangkan pada masyarakat oriental seperti Indonesia pada saat komunikasi terdiam itu karena adanya

misunderstanding (Trompenaars & Turner, 2009: 74). Sedangkan pada komunikasi non-verbal orang Eropa menggunakan eye-contact seperti yang ada di Indonesia sebagai komunikasi non-verbal yang menandakan bahwa komunikan tertarik untuk berkomunikasi (Trompenaars & Turner, 2009: 74). Dari proses adaptasi yang Umi, Ovy, dan Mayda lakukan membuat mereka terinspirasi mempelajari bahasa dari asal kekasih mereka.

Menjalin hubungan pacaran beda budaya tidak hanya dilakukan dengan adaptasi bahasa saja, akan tetapi adaptasi mengenai sistem kemasyarakatan seperti pergaulan juga perlu dilakukan. Seperti yang kita ketahui bahwa budaya Eropa memiliki cara pergaulan yang sangat berbeda dengan budaya Indonesia. Hal ini tentunya akan mempengaruhi informan dalam menjalin hubungan pacaran dengan pria Eropa, oleh karena itu dibutuhkan adaptasi pergaulan dalam menjalin hubungan pacaran. Pergaulan di Eropa menganut budaya barat yaitu kebebasan berperilaku mulai dari seks bebas, minuman keras, hedonisme yang tidak diikat pada suatu peraturan agama sebagai bentuk public act display.

(12)

10 hubungan terjadi setiap saat. Negosiasi seringkali bukanlah jalan untuk mendiskusikan sebuah masalah, tetapi cara untuk belajar lebih banyak tentang pihak lain dan meningkatkan saling ketergantungan (Lewicki, Barry& Saunders, 2012: 365-369).

Proses negosiasi dalam hubungan yang informan lakukan tidak sepenuhnya berhasil, hal ini bisa terlihat dari pernyataan Mayda bahwa dia sudah pernah berciuman dengan Nic. Berdasarkan hasil wawancara yang peneliti dapatkan diketahui bahwa Mayda dan Ovy sedikit banyak berperilaku kebarat-baratan. Perilaku kebarat-baratan merupakan gaya atau tingkah laku yang menyerupai budaya barat yang seperti Mayda dan Ovy lakukan dengan berciuman dengan kekasihnya. Menjalin hubungan pacaran memang sangat dibutuhkan keintiman dalam hubungan. Keintiman adalah sebuah perasaan yang menandakan adanya kedekatan dan konektivitas antara individu satu dengan lainnya (Gamble&Gamble, 2005: 268). Akan tetapi dalam budaya Indonesia keintiman tidak selayaknya diekspresikan dengan hal-hal yang melanggar norma-norma dan nilai-nilai budaya, seperti berciuman. Perilaku tersebut merupakan sebuah bentuk pergeseran budaya yang ada dalam hubungan pacaran beda budaya. Pergeseran budaya yang terjadi dalam hubungan Ovy dan Mayda juga merupakan pelanggaran atau keluar dari keyakinan yang mereka miliki yaitu sebagai seorang muslim. Adaptasi dalam hubungan pacaran beda budaya yang mereka jalani ternyata memepengaruhi cara berfikir dan tingkah laku mereka yang tidak sesuai dengan budaya Indonesia. Mayda dan Ovy merasa berciuman adalah hal yang wajar dan merupakan sebuah bentuk show of the love. Hubungan pacaran

yang dilakukan orang Eropa atau budaya barat memang sudah hal yang biasa jika melakukan ciuman dengan kekasihnya, hal ini tentunya sering kita jumpai jika kita berapa di Eropa atau di film-film barat karena berciuman adalah sebuah ekspresi small gesture yang ada di barat dalam menjalin hubungan (Sarwendah, 2009). Apa yang dilakukan Ovy dan Mayda merupakan bentuk adaptasi komunikasi antarbudaya, karena mereka melakukan penyesuain diri terhadap budaya kekasihnya meskipun hal tersebut tidak sesuai dengan budaya Indonesia dan agama yang diyakini Ovy dan Mayda.

Adaptasi pergaulan yang informan lakukan dalam menjalin hubungan beda budaya juga tercermin dari etika makan yang ada di Eropa, berdasarkan hasil wawancara yang peneliti lakukan diketahui bahwa etika makan di Eropa berbeda dengan di Indonesia. Etika makan yang berbeda antara Indonesia dan Eropa bisa terlihat dari tata cara makan mulai dari makanan pembuka sampai penutup dan adanya champagne dalam menu makan. Tata aturan makan di Eropa sangant berbeda dengan di Indonesia apalagi di Jawa yang notabenya informan tinggal di Jawa. Masyarakat Jawa tidak mempunyai aturan khusus mengenai tata cara makan peralatan makan disediakan pun tidak banyak macamnya (Kridalaksana, 2001: 26).

(13)

11 pergeseran budaya seorang Indonesian yang bergama muslim bertingkah laku seperti European. Pergeseran budaya tersebut terjadi karena tidak adanya filter pada diri Mayda yang mengakibatkan Mayda mudah mengadopsi budaya Eropa yang merupakan budaya kekasihnya sehingga identitas diri Mayda sebagai perempuan Indonesia yang bergama muslim luntur oleh pengaruh budaya Eropa selama menjalin hubungan pacaran dengan European.

4.2.Hambatan Komunikasi dan Strategi Mengatasi Hambatan Komunikasi Antarbudaya dalam Hubungan Pacaran Jarak Jauh

Melihat bahwa komunikasi antarbudaya bermula dari komunikasi antarpribadi maka, gangguan komunikasi antarpribadi juga dapat menjadi gangguan pada saat komunikasi antarbudaya berlangsung. Ganguan komunikasi tersebut antara lain sebagai berikut:

a. Belief About Relationship

Kepercayaan individu terhadap sebuah hubungan akan mempengaruhi dalam sebuah hubungan itu sendiri (Devito, 2001: 246). Kepercayaan dapat timbul dengan adanya keterbukaan dalam menjalin hubungan pacaran. Menurut pernyataan informan mereka menanamkan kepercayaan kepada pasangannya karena kepercayaan dalam hubungan itu penting terlebih lagi mereka menjalin hubungan pacaran jarak jauh yang tidak bisa memonitor perilaku pasangan. Oleh karena itu mereka hanya bisa mengandalkan kepercayaan kepada pasangan untuk menjaga agar hubungan yang terjalin dengan pasangan yang berada di Eropa tetap berjalan baik.

b. Excessive Intimacy Claim

Menjalin hubungan pacaran seseorang menginginkan pasangannya untuk selalu mau mendengar, mencintai, penuh perhatian, dan masih banyak lagi yang harus dilakukan sebagai bentuk kasih sayang. Pernyataan tersebut sesuai dengan apa yang dinyatakan Devito (2007, 247), bahwa seseorang memiliki tuntutan yang lebih terhadap pasangannya pasangannya untuk simpati dan empati, bersedia untuk membuka diri secara total, atau berbagi mengenai hal-hal yang istimewa secara intensif.

Keintiman yang mereka dapatkan lebih banyak tidak bisa dirasakan secara langsung karena hanya melalui alat komunikasi seperti chat, blacberry messager, atau lewat skype sehingga berkurangnya keakraban fisik yang tidak bisa terpuaskan secara rutin dalam menjalin pacaran jarak jauh. Meskipun komunikasi yang terjalin melalui skype, video call, dll keakraban, kedekatan, dan rasa kangen dalam hubungan pacaran jarak jauh bisa sedikit terobati, karena mereka bisa berbicara dan bertatap muka melalui media namun hal tersebut tidak bisa menggantikan keintiman dan kedekatan layaknya komunikasi face to face. Adanya hambatan dalam komunikasi tatap muka tidak menjadikan hubungan Ovy, Umi, dan Mayda berakhir karena adanya rasa pengertian dan selalu mendiskusikan permasalahan yang ada membuat mereka mampu mempertahankan dan menjaga hubungan jarak jauh tetap harmonis karena sudah menjadi resiko dalam hubungan yang terjalin tidak bisa bertemu dan mengekspresikan apa yang dirasakan secara langsung.

c. Third-party Relationship

(14)

12 wawancaran dengan seluruh informan mereka tidak pernah mengalami adanya hambatan karena pihak ketiga, hal ini tidak terjadi pada informan penelitian karena kepercayaan yang dimiliki oleh masing-masing pasangan. Menjalin hubungan pacaran jarak jauh memamng tidaklah mudah, seringkali timbul rasa khawatir dan curiga yang berlebihan, apalagi ketika pasangan tidak bisa dihubungi. Namun hal ini tidak terjadi karena dalam menajalin hubungan dibutuhkan keterbukaan diri dan raas percaya satu sama lain.

d. Relationship Change

Kemunduran dalam hubungan merupakan hal yang sering terjadi pada hubungan pacaran, terlebih lagi pada pacaran jarak jauh yang memang mereka tidak bisa bertemu dan berkomunikasi kapan saja ia inginkan. Namun kemunduran yang terjadi pada hubungan Ovy tidak berjalan lama karena mereka mampu mengatasi permasalahan tersebut. Kemunduran dalam hubungan juga sempat terjadi pada Umi dan Kirill yang pada saat itu Kirill harus menjalankan wajib militer sesuai peraturan di Rusia bahwa setiap pria dewasa diwajibkan untuk wajib militer. Kemunduruan hubungan yang terjadi pada hubungan Umi dapat terselesaikan ketika Kirill telah menyelesaikan wamil nya dan hubungan mereka pun kembali normal. Hambatan ini mampu mereka atasi karena adanya rasa saling mencintai dan ingin mempertahankan hubungan, hal ini pun tidak terlepas dari kematangan emosional yang dimiliki sehingga mampu menyelesaikan permasalahan tersebut.

e. Undefined Expectation

Seseorang memiliki harapan yang terkadang tidak realistis misalnya saja ketika seseorang mempunyai harapan untuk selalu bersama, namun dalam kenyataan tidak dapat terwujud, maka

akan mengakibatkan berkurangnya perasaan diantara keduanya (Devito, 2007: 248). Hal ini dialami oleh seluruh informan yang mana mereka berharap bisa menghabiskan waktu bersama pasangannya, namun karena jarak yang tidak memungkinkan mereka menghabiskan waktu bersama pasangannya. Menjalin hubungan pacaran seringkali adanya ketidakpastian harapan siapa yang harus berkorban dalam sebuah hubungan (Ledere dalam Devito,2007:248). Hal ini dirasakan oleh Umi yang merasa bahwa pengorbanan dalam hubungannya tidak imbang satu sama lain. Menjalin hubungan pacaran dibutuhkan pengertian satu sama lain, jika pengertian dalam hubungan dapat dilakukan maka permasalahan karena ketidakseimbangan dalam pengorbanan dan ketidak sesuaian harapan untuk bertemu mampu diatasi dengan bersikap mengalah untuk mempertahankan hubungan.

f. Work-related Problem

Pekerjaan juga sering menjadi faktor kemunduran sebuah hubungan, hal ini berlaku untuk semua jenis hubungan. Hal ini menyangkut pendapat pasangan dalam sebuah hubungan, jika gaji wanita lebih tinggi atau waktunya lebih dihabiskan dalam pekerjaannya maka hal ini mengakibatkan kemunduran dalam hubungan (Devito, 2007: 248). Masalah pekerjaan juga menjadi kendala dalam hubungan salah satu informan, yang mana pekerjaan pasangan yang sibuk sehingga mengganggu komunikasi yang terjalin.

(15)

13 dikarenakan disaat kirill sibuk Umi mempunyai waktu luang, begitu juga sebaliknya. Namun dengan adanya kompromi dalam menjalin sebuah hubungan yang menghasilkan kesepakatan-kesepakatan dalam hubungan yang terjalin baik Umi maupun Kirill mampu menyelesaikan permasalahan tersebut. Permasalahan ini tidak dialami oleh Ovy dan Mayda karena mereka belum bekerja sehingga mempunyai banyak waktu meskipun kekasih mereka sudah bekerja tetapi mereka tidak mempermasalahkan hal tersebut karen mereka sudah terbiasa. g. Financial Difficulties

Uang sangat penting dalam sebuah hubunan karena uang dapat memberikan kekuatan dalam sebuah hubungan (Devito, 2007: 249). Setiap individu secara sadar akan merasa nyaman menjalin hubungan selama hubungan tersebut memuaskan ditinjau dari segi ganjaran. Oleh karena itu uang juga dapat menjadi hambatan dalam sebuah hubungan. Berdasarkan hasil wawancara dengan informan financial dalam konteks ini informan tidak terlalu mempermasalahkan financial pasangan mereka karena ketiga kekasih informan sudah memiliki pekerjaan. Namun, mereka perlu mengetahui segi financial dari kekasihnya karena mempunyai harapan hubungan sampai pernikahan, belum lagi biaya yang harus dikeluarkan untuk bertemu sangat besar kerena Indonesia-Eropa. Hal ini terjadi pada kekasih Ovy yang kejar setoran untuk bisa ke Indonesia dan bertemu dengan keluarga Ovy. Biaya berkunjung ketempat pasangan juga tidak sedikit sehingga hal ini sedikit mempengaruhi dalam hubungan Umi, Ovy, dan Mayda mereka harus mengumpulkan uang terlebih dahulu untuk bisa ke Eropa. Namun, mereka tidak terlalu mengkhawatirkan akan hal ini menjadi masalah dalam hubungan karena

mereka mampu menjalin komunikasi untuk memecahkan permasalahan ini dengan adanya kesepakatan dalam hubungan.

h. Rintangan Kerangka Berfikir Perbedaan kerangka berfikir terjadi karena adanya perbedaan persepsi, perbedaan ini dikarenakan adanya perbedaan pengalaman (Cangara, 1998: 156). Pada komunikasi antarbudaya yang ideal seseorang mengharapkan banyak persamaan dalam pengalaman dan persepsi, namun karakter budaya cenderung memperkenalkan kepada pengalaman-pengalaman yang tidak sama. Perbedaan kerangka berfikir yang dimiliki Umi dan Kirill juga mempengaruhi hubungan yang mereka jalani, yang menurut Kirill seorang perempuan dewasa diwajibkan bekerja hal itu sesuai dengan budaya yang ada di Eropa, bahwa baik pria dan wanita dewasa diwajibkan bekerja dan tidak adanya perbedaan gender dalam sebuah pekerjaan. Hal ini tentunya berbeda dengan cara berfikir Umi yang mana di Indonesia tidak diwajibkan bekerja apalagi budaya Indonesia perempuan yang sudah menikah lebih banyak menghabiskan waktu dirumah sebagai ibu rumah tangga dibandingkan harus bekerja. Namun dengan adanya sikap terbuka dan penjelasan yang reasonable membuat pasangan mengerti bahwa perbedaan budaya mempengaruhi cara berfikir pasangan yang berbeda, dan hal ini mampu mereka atasi dengan adanya sikap mengerti dan bertoleransi terhadap pasangan yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda.

i. Rintangan Budaya

(16)

14 bahwa dalam hubungan pacaran beda budaya yang mereka jalani tentunya mengakibatkan perilaku yang berbeda dalam hubungan. Seperti yang kita ketahui bahwa budaya Eropa berbeda dengan budaya Indonesia, di Eropa sepasang kekasih berciuman ditempat umum atau berpelukan adalah hal yang wajar namun hal ini sangat berbeda dengan di Indonesia yang menekankan pada norma-norma yang berlaku.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Ovy diketahaui bahwa rintangan budaya yang dialami adalah pada bahasa dan bagaimana seorang European menajalin hubungan pacaran. Bahasa merupakan salah satu identitas dari suatu kebudayaan yang mana kekasih Ovy kurang lancar dalam berbahasa Inggris sehingga hal ini dibutukan perhatian dan pemahaman yang lebih dalam berkomunikasi. Permasalahan pada bahasa ini juga dialami oleh Mayda yang mana kekasih Mayda yang berwarga negara Perancis terkadang memiliki logat yang berbeda dalam berkomunikasi sehingga mengakibatkan ketidak pahaman atau kebingungan dalam menerima pesan. Rintangan budaya yang begitu mencolok adalah bagaimana hubungan pacaran yang terjalin di Eropa berbeda dengan di Indonesia. Di Eropa mereka lebih ekpresif dalam mengungkapkan rasa cinta “show the love relationship” seperti berciuman atau berpelukan ditempat umum sudah menjadi hal yang biasa, menjalin hubungan pacaran di Eropa dengan adanya free sex juga bukan hal yang awam lagi karena memang di Eropa tidak ada batas-batas norma yang berpatokan pada agama seperti di Indonesia, hal tersebut tentunya sangat bertolak belakang dengan kebudayaan yang dimiliki Ovy dan Mayda yang mana mereka merupakan seorang muslim dan tinggal di jawa yang kental akan adat istiadat

dan nilai-nilai agama dan norma yang berlaku. Hambatan pada bahasa mampu mereka atasi dengan adanya sikap aktif untuk menanyakan kembali pada kekasih mereka jika ada yang tidak mereka mengerti, akan tetapi dari hasil keseluruhan wawancara dengan Ovy dan Mayda diketahui bahwa mereka mampu mengatasi perbedaan gaya berpacaran seperti free sex dalam hubungan yang dijalani dengan terjalinnya kesepakatan dalam hubungan dan toleransi, akan tetapi mereka justru tidak mempermasalahkan adanya ciuman dalam hubungan pacaran. Akan tetapi hambatan tersebut tidak terjadi pada Umi yang memang kekasih Umi juga seorang muslim. V. KESIMPULAN

(17)

15 sebagai bentuk penyesuain diri dalam hubungan pacaran beda budaya. Dalam proses adaptasi juga dapat mempengaruhi pergeseran budaya seperti pada perilaku yang menyimpang dari nilai budaya yang dimiliki karena tidak adanya filter pada diri sehingga subyek penelitian mudah mengadopsi budaya pasangan.

3. Hambatan komunikasi antarbudaya dalam hubungan pacaran jarak jauh pernah terjadi yaitu pada berkurangnya keakraban fisik karena intensitas pertemuan yang minim, pekerjaan serta dibutuhkannya biaya yang cukup besar untuk mempertahankan hubungan tersebut sehingga kemunduran dalam hubungan tidak bisa dihindari. Namun hambatan ini mampu diatasi dengan kematangan emosional yang dimiliki, pengertian, keterbukaaan diri, kompromi dan sifat mengalah untuk mempertahankan hubungan. Hambatan yang sangat terlihat dalam penelitian ini adalah pada rintangan budaya yang mana adanya perbedaan bahasa (language differences) khususnya yang berhubungan dengan aksen, artikulasi yang kurang jelas dan pronounciation, namun hal ini mampu diatasi dengan adanya komunikasi secara aktif yang dilakukan dalam proses komunikasi. Hambatan juga terjadi pada pergaulan pasangan yang tidak sesuai dengan kebudayaan subyek penelitian seperti free sex akan tetapi adanya kesepakatan dan toleransi dalam hubungan pacaran beda budaya hambatan ini mampu diatasi. DAFTAR PUSTAKA

Bachtiar, Azis. 2004. Manajemen Kasih Sayang Kiat Melanggengkan Hubungan dan Menikmati Indahnya Dunia Cinta,

Yogyakarta: Saujana Yogyakarta..

Devito, Joseph. A.. 2007. The Interpersonal Communication Book. Boston: Pearson.

Dodd, Carley. H. 1998. Dynamics of Intercultural Communication. Boston: McGraw-Hill.

Gudykunst, William B. & Young Yun Kim. 2003. Communicating With Strangers: An Approach to Intercultural Communication. 3rd Ed. McGraw-Hill. Boston.

Gudykunst, William B. 2002. “Intercultural Communication Theories” dalam William B. Gudykunst & Bella Mody (eds). Handbook of International and Intercultural Communication. 2nd Ed. Sage Publications. California.

Koentjaraningrat. 2002. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.

Kriyantono, Rachmat. 2006. Teknis Praktis Riset Komunikasi: Disertai Contoh Praktis Riset Media, Publik Relations, Advertising, Komunikasi Organisasi, Komunikasi Pemasaran, Jakarta: Kencana Media Group.

Kridalaksana, Harimurti et all. 2001. Wiwara Pengantar Bahasa dan Kebudyaan Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Lewicki, Roy J, Bruce Barry., et al. 2012. Negosiasi. Jakarta: Salemba Humanika

Liliweri, Alo. 2003. Makna Budaya dalam Komunikasi Antar budaya. Yogyakarta: LKIS. Martin, Judith. N. dan Nakayama,

(18)

16 Intercultural Communication in Contexts. New York: McGraw-Hill.

Moleong, Lexy J. 2005. Metode Penelitian Kualitatif.

Bandung: Remaja

Rosdakarya.

___________. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Mulyana, Deddy. 2004. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar.

Bandung: Remaja

Rosdakarya.

Mulyana, Deddy dan Jalaluddin Rakhmat. 2006. Komunikasi Antarbudaya: Panduan Bekomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya.

Bandung: Remaja

Rosdakarya.

Nurwijaya, Hartati. 2007. Perkawinan Antarbangsa: Love and Shock. Jakarta: Restu Agung. Samovar, Larry A., and Porter, Richard

E. 2006. Communication Between Cultures. Beltmon CA: Wardsworth Inc

Santrock, J. W. 2002. Life-Span Development/John W. Santrock; Alih Bahasa, Juda Damanik, Achmad Chusain; editor, Wisnu Chandra Kristaji, Yati Sumihartati Ed. 5. Jakarta: Erlangga.

Santrock, J. W. 2003. Adolescence: Perkembangan Remanja/John W. Santrock; Alih Bahasa, Shinto B , Adelar, Sherly Saragi; editor, Wisnu Chandra Kristaji, Yati Sumihartat. Jakarta: Erlangga.

Soelaeman, Munandar. M. 2001. Ilmu Budaya Dasar: Suatu Pengantar. Bandung: Refika Aditama.

Soekanto, Soejono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. Trompenaars, Fons and Turner, Charles.

Referensi

Dokumen terkait

Fungsi Senam hamil dengan mengacu pada sasaran utama senam hamil yaitu menyamankan kehamilan dengan mempermudah persalinan, makan program senam hamil ditujukan

(3) Setiap pemungutan / penerimaan retribusi diberikan tanda terima / bukti pembayaran yang sah, dimana bentuknya ditetapkan dengan Peraturan Bupati. Penerimaan yang

Berdasarkan Tabel 1 dan Gambar 2 diatas, terlihat bahwa losses terbesar terjadi pada titik sebar di piringan kelapa sawit. Perhitungan ini didapat dari perhitungan

[r]

Intra Asia harus dapat menemukan suatu alat/cara yang tepat untuk mendukung efisiensi biaya operasional perusahaan, sehingga kendala harga yang tinggi dapat di atasi, dan hal

Kesayangan TABITA PT.HM Sampoerna Tbk PT.HM Sampoerna Tbk Cita Husada FIRST CARE CLINIC PT.SC JOHNSON MANUFACTURING SURABAYA PT.HM Sampoerna Tbk MARYAM GIGI BHAKTI KASIH DON BOSCO

Pengabdian masyarakat yang dilakukan di desa Batuyang dengan program “meningkatkan Kesejahteraan Perekonomian Masyarakata Melalui Kelompok Usaha Bersama (KUBE)”

sejalan dengan pendapat dari Charles Himawan. Atau dengan kata lain, keadilan adalah keadaan bila setiap orang memperoleh apa yang menjadi hak nya dan setiap orang memperoleh