NABI MUHAMMAD TERSIHIR
(Tafsiran Muhammad Abduh Terhadap Ayat Tersihirnya Nabi Muhammad)
Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi
Tugas Mata Kuliah Studi Quran Dan Hadis
Dosen Pengampu: Dr. Abdul Mustaqim, MA.
Oleh:
ZAHRODIN FANANI NIM: 1430016025
PROGRAM DOKTORAL STUDI ISLAM PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
Pendahuluan
Sihir merupakan barang dagangan orang-orang Yahudi sebagaimana terdapat
dalam surat al Baqoroh: 102,
نننككلنون ننامنييلنسن رنفنكن امنون ننامنييلنسن ككليمن ىلنعن ننيطكاينشننلا ولنتيتن امن اوعنبنتنناون رنحيسنكلا سنانننلا ننومنلنكعنين اورنفنكن ننيطكاينشننلا
Artinya:
“Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitanlah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia”1
Orang Yahudi berusaha menyihir Nabi Muhammad, hingga Nabi Muhammad
merasa telah melakukan sesuatu, padahal belum melakukannya.2
Problem Nabi Muhammad tersihir ini, bila diterima oleh akal manusia, berarti
manusia mengakui apa yang didakwakan oleh non muslim, bahwa Nabi Muhammad
telah kena sihir, padahal yang demikian itu sangat bertentangan dengan ayat yang ada
dalam Al-Qur’an:
Artinya:
“Allah memelihara engkau dari manusia”3
Menerima pernyataan Nabi Muhammad tersihir juga akan mengakibatkan
jatuhnya martabat kenabian Nabi Muhammad, serta berarti bahwa sihir bisa saja
membekas kepada para Nabi dan orang shalih.
Muhammad Abduh salah seorang ulama kontemporer dari Mesir juga
membahas masalah ini dalam tafsiranya, untuk itu di dalam makalah ini akan
dipaprkan penafsiran Muhammad Abduh terhadap ayat yang berkaitan dengan
tersihirnya Nabi Muhammad serta analisis kritis terhadap penafsiran yang
dilakukannya.
1 Qs. Al-Baqarah: 102
2 Hr. Bukhori Dan Muslim
Biografi Muhammad Abduh
Muhammad Abduh lahir di sebuah Desa di Propinsi Gharbiyah pada tahun
1265 H bertepatan dengan tahun 1848/1849 M, ayahnya bernama Abduh Ibnu Hasan
Khairullah dan Ibunya bernama Junainah, mempunyai Silsilah dengan keturunan
Umar bin Khattab.
Muhammad Abduh lahir dalam lingkungan petani yang hidup sederhana, taat
dan cinta ilmu pengetahuan. Orang tuanya berasal dari kota Mahallat Nashr. Situasi
politik yang menyebabkan orang tuanya menyingkir ke desa kelahirannya dan
kembali ke Mahallat Nashr setelah situasi politik mengizinkan. 4
Masa pendidikan Muhammad Abduh di mulai dengan pelajaran dasar
membaca dan menulis yang didapatkannya dari orang tuanya sendiri, kemudian ia
belajar al-Quran pada seorang Hafiz, pendidikan selanjutnya ditempuhnya di Thanta,
di sebuah lembaga pendidikan Masjid al-Ahmadi, namun tempat ini Muhammad
Abduh mengikuti pelajaran yang diberikan dengan rasa tidak puas, bahkan
membawanya kepada rasa putus asa untuk mendapatkan ilmu seperti yang
diharapkannya. Perasaan yang demikian berpangkal dari metode pengajaran yang
diterapkan disekolah tersebut yang mementingkan hafalan tanpa pengertian. 5
Di Kanisah Urin, ia bertemu Syekh Darwisy Khadar (Paman ayahnya), dari
pertemuan tersebut yang kemudia melahirkan kesadaran Muhammad Abduh, Syekh
Darwisy tidak hanya mengajarkan etika dan moral, tetapi juga praktek kezuhudan
tarekatnya. 6
4 Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, Tarikh Al Ustadz Al Imam Muhammad Abduh, Juz 1, Percetakan Al Mannar Mesir, Tahun 1931, Hlm. 14
5 Ibid.
Pada tahun 1903 Muhammad Abduh memperoleh kesempatan pergi ke Inggris
untuk melakukan pertukaran pikiran filosofis dengan Hebert Spencer, hingga ia
mempunyai 4 tujuan pokok dari gerakan pemikirannya: 7
1. Pemurnian amal perbuatan umat Islam dari segala bentuk bid’ah
2. Pembaharuan dalam bidang pendidikan
3. Perumusan kembali ajaran Islam menurut pikiran modern
4. Tangkisan terhadap pengaruh Barat dan Nasrani
Metode Penafsiran Muhammad Abduh
Muhammad Abduh melihat bahwa tafsir yang baik adalah tafsir yang tidak
keluar dari maksud dan tujuan al-Quran itu sendiri, yaitu yang disandarkan kepada
pemahaman Kitab Ilahi dengan menempatkannya sebagai sandaran agama dan
hidayah (petunjuk) dari Allah swt kepada seluruh alam, yang didalamnya terkumpul
penjelasan-penjelasan tentang apa-apa yang baik dan bermanfaat bagi manusia di
dunia dan yang membawa keselamatan di akhirat, oleh karena itu setiap manusia
wajib memahami ayat-ayat al-Quran sesuai dengan kemampuannya sendiri, baik dia
itu ‘aalim ataupun jaahil.8
Ia melihat bahwa tafsir terbagi ke dalam beberapa tingkatan. Tingkatan paling
bawah, yaitu tafsir yang menjelaskan dengan cecara global (ijmali) apa-apa yang
membangkitkan hat untuk mengakui atau memuji kebesaran Allah swt,
mensucilan-Nya, dan yang mendorong jiwa untuk berpaling dari perbuatan-perbuatan keji, serta
membawanya kepada perbuatan baik, sedang tingkatan paling atas adalah tafsir yang
di dalamnya mencakup hal-hal sebagai berikut:9
7 Thahir Al Thanahy, Mudzakkirot Al Ustadz Al Imam, Dar Al Hilal, Kairo, Tanpa Tahun, Hlm. 81.
1. Pemahaman terhadap kebenaran-kebenara lafadz al-mufradat (kosa kata) yang
sesuai dengan yang sering dipergunakan oleh para ahli bahasa Arab.
2. Mempergunakan ilmu asalib (ilmu ma’ani dan ilmu bayan) dan dengan
memperhatikan kaedah-kaedah tata bahasa Arab (ilmu i’rab).
3. Memperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan manusia mulai dari
kondisinya, perkembangannya, tabia-tabiatnya, sejarahnya,
perbedan-perbedaannya: pintar dan bodoh, kuat dan lemah, beriman dan tidak beriman,
dsb. Begitu juga memperhatikan pengetahuan sekitar kosmos dsb. Untuk itu
diperlukan berbagai disiplin ilmu, khususnya ilmu sejarah.
4. Menjelaskan bahwa al-Quran merupakan hidayah dan petunjuk bagi manusia.
Dalam hal ini seorang mufassir harus mengetahui bagaimana keadaan
masyarakat (Arab dan non-Arab) pada masa kenabian, sewaktu manusia
keluar dari alam kegelapan dengan hidayah al-Quran ke alam terang
benderang.
5. menguraikan secara benar hal-hal yang berhubungan dengan sirah Rasulullah.
Untuk itu seorang mufassir harus mengetahui sirah Nabi dan para sahabatnya.
Abduh berpendapat bahwa wahyu dan akal tidak mungkin bertentangan.
Adapun apabila terdapat pertentangan antara aqli dan naqli maka diambil apa yang
benar menurut akal, sehingga tampak dihadapannya dua jalan: tunduk kepada
kebenaran naqli dengan mengakui ketidakmampuan dalam memahaminya dan
menyerahkan perkara tersebut kepada Allah swt, atau mena’wilkan naqli dengan
memperhatikan kaedah-kaedah bahasa sehingga ada persesuian antara maknanya
dengan apa yang telah ditetapkan oleh akal.10
Muhammad Abduh memiliki perbedaan dengan Mu’tazilah dari segi tujuan
dan sasaran dari penggunaan akal, dimana Mu’tazilah mempergunakan pemikiran
rasional dan penakwilan ayat-ayat dalam rangka berargumentasi untuk
mempertahankan alirannya sendiri, sedangkan Abduh dalam usaha merasionalisasikan
ajaran Islam buat para rasionalis modern yang tidak dapat menerima sesuatu yang
tidak rasional dan tidak memiliki metode ilmiah. Dan rasionalitas Abduh tersebut
terlihat dikala ia berhujjah bahwa ilmu dan iman tidak mungkin bertentangan. Ia
berusaha menyajikan ajaran-ajaran dasar Islam dalam suatu kerangka intelektual yang
dapat diterima oleh pikiran modern dan yang sekaligus disatu pihak memungkinkan
pembaharuan terus menerus dan dilain pihak memberi ruang bagi tuntutan ilmu
pengetahuan baru.11
Contoh penafsirannya adalah saat Muhammad Abduh menafsirkan firman
Allah ayat pertama dari surat al-Insyiqaq: “Idza as-samaaun asy-syaqqat,” yang arti
terjemahannya: “Apabila langit terbelah,” ia memandang bahwa “insyiqaaq as-samaa”
maknanya bisa berupa satu kejadian besar dari sekian kejadian-kejadian yang
berhubungan dengan tata surya, seperti kejadian lewatnya sebuah bintang dekat
dengan bintang lainnya yang menimbulkan gaya tarik menarik dan menyebabkan
terjadinya benturan antara keduanya. Karena benturan tersebut, maka tata surya
mengalami goncangan yang kuat. Sehingga munculah di langit awan dan kabut yang
datang dari berbagai arah. Maka langitpun terbelah oleh awan dan kabut tersebut. Hal
ini kemudian mengakibatkan rusaknya peredaran tata surya.12
Sangat jelas sekali, bahwa penafsiran yang disuguhkan Muhammad Abduh
tersebut disandarkan atas asa-asas pandangan atau teori ilmu pengetahuan baru, yang
11Di Kutif Dari Makalah H.Zainul Kamal. Ma, Pengaruh Pemikiran Islam Internasional Terhadap Pemikiran Islam Di Indonesia, Mizan, Cetakan V, 1994, Hal 132.
jauh dari penafsiran atau penjelasan yang lazim pada masyarakat Arab dan pada masa
dimana al-Quran diturunkan.
Tafsiran Muhammad Abduh Terhadap Ayat Tersihirnya Nabi
Muhammad Abduh berpendapat tentang tersihirnya nabi Muhammad dengan
menafsirkan surat al falaq ayat ke-4:
) نب ديبل هرحس ملسو هلآ ىلعو هيلع هللا ىلص يبنلا نأ يف ثيداحأ انه اوور دقو يتأي وأ هلعفي ل وهو ءيشلا لعفي هنأ هيلإ ليخي ناك ىتح هيف هرحس رثنأو ،مصعلا ىلص يفوعو رئب نم رحسلا داوم تجرخأو كلذب هأبنأ هللا نأو ،هيتأي ل وهو ائئيش . نأ ىفخي لو ةروسلا هذه تلزنو كلذ نم هب لزن ناك امم ملسو هلآ ىلعو هيلع هللا ائئيش لعفي هنأ نظي نأ ىلإ رملا هب لصي ىتح ملسلا هيلع هسفن يف رحسلا ريثأث وهسلا ضورع ليبق نم لو ،نادبلا يف ضارملا ريثأت ليبق نم سيل ،هلعفي ل وهو قدنصي امم وهو ،حورلاب ذخآ ،لقعلاب سام وه لب ،ةيداعلا روملا ضعب يف نايسنلاو .{ارئوحسم لئجر لنإ نوعبتنت نإ هيف نيكرشملا لوق } : ،عقي ل وهو عقي ائئيش نأ هل لينخو ،هلقع يف طلوخ نم لإ مهدنع روحسملا سيلو .هيلإ ىحوي لو هيلإ ىحوي هنأ هيلإ لينخيف ربخلا نأ اهل بجي امو ةوبنلا يه ام نولقعي ل نيذلا نيدلنقملا نم ريثك ناك دقو نم هب قيدصتلا مدعو ،هب داقتعلا مزليف ،حص دق ةفيرشلا سفنلا يف رحسلا ريثأتب . رظناف رحسلا ةحصب نآرقلا ءاج دقو ،رحسلا راكنإ نم برض هنل ،نيعدتبملا عدب جتحي ،هللاب ذوعن ،ةعدب دلنقملا رظن يف حيرصلا قحلاو ،حيحصلا نيدلا بلقني فيك ىلعو هيلع هللا ىلص هنع رحسلا هيفن يف نآرقلا نع ضرعيو ،رحسلا توبث ىلع نأ عم ،كلت يف لوؤي لو هذه يف لوؤيو ،هيلع نيكرشملا ءارتفا نم هدنعو ملسو هلآ : ،ملسلا هيلع هسبلي ناطيشلا نإ نولوقي اوناك مهننل رهاظ نوكرشملا هدصق يذلا رحسلا رثأ هنيعب وهو ،هبورض نم برضو مهدنع رحسلاب فرعت ناطيشلا ةسبلمو .مهمعز يف هكاردإو هلقع طلاخ دق هنإف ،ديبل ىلإ بسن يذلا 13
Tersihirnya nabi jelas bertentangan dengan ke-ma’shum-annya sehingga
memunculkan aib bagi tugas atau risalah yang dibawa, maka dari itu sebenarnya sihir
tak jauh berbeda dengan penyakit, sebagaimana penyakit dan sihir dapat menimpa
seorang manusia begitu pula seorang Nabi.
Busthomi menguatkan bahwa, Muhammad Abduh tidak pernah mempercayai
sihir karena pada hakikatnya nabi sedang dalam keadaan sakit.14 Maka bisa jadi juga
yang dimaksud dengan surat al falaq ayat ke empat tersebut adalah Ajaran untuk
13 Abduh, Muhammad, Tafsir Al Qur’an Al Karim Juz ‘Amma, Al Jam’iyyah Al Hurriyyah, Cet. 3, Tahun. 1341, Hlm. 182-183
berlindung daripada kejahatan perempuan-perempuan yang meniup pada buhul-buhul,
dan hal ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan sihir.
Buhul-buhul yang dimaksud di ujung ayat ke empat ini ialah suatu maksud
atau rencana yang telah disusun oleh seorang laki-laki, kemudian Perempuan yang
meniup-niup itu menurut nya ialah bujuk dan rayuan perempuan, yang dengan
lemah-lembut, lenggang-lenggok gemulai terhadap laki-laki, merayu dan membujuk.15
Analisis Kritis Terhadap Tafsiran Muhammad Abduh
Tafsiran Muhammad Abduh tersebut mengisyaratkan bahwa sihir itu tidak ada,
tetapi yang ada adalah penyakit atau ilmu sulap yang bias dipelajari oleh semua orang.
Muhammad Abduh dalam menafsirkan ayat sihir ini jelas sekali sangat
terpengaruh oleh ilmu pengetahuan modern, sehingga hal-hal yang bersifat
bertentangan dengan akal akan segera dilakukan ta’wil atau mentafsirkan ayat
derngan makna yang tidak seharusnya, bias jadi dengan menghubung-hubungkan
dengan ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa itu.
Ayat Al Qur’an yang bersifat aqidiy (keyakinan) akan lebih selamat
penafsirannya bila ditafsirkan dengan metode penafsiran bi al ma’tsur, namun dalam
masalah ini Muhammad Abduh terkesan tidak mau menggunakan hadits yang
menerangkan dan menjelaskannya, seperti salah satu hadits yang diriwayatkan oleh
‘Aisyah:
ننبي دنيبكلن هنلن لناقنين ققييرنزن ينكبن نيمك للجنرن منلننسنون هكييلنعن هنلننلا ىلننصن هكلننلا لنوسنرن رنحنسن
ءنييشننلا لنعنفيين نناكن هننننأن هكييلنإك لنيننخنين منلننسنون هكييلنعن هنلننلا ىلننصن هكلننلا لنوسنرن نناكن ىتننحن مكصنعيأنليا
اين لناقن مننثن اعندنون اعندن هننننككلن يدكنيعك ونهنون ةقلنييلن تناذن ويأن مقويين تناذن نناكن اذنإك ىتننحن هنلنعنفن امنون
دننيعك امنهندنحنأن دنعنقنفن نكالنجنرن ينكاتنأن هكيفك هنتنييتنفيتنسيا امنيفك ينكاتنفيأن هنلننلا نننأن تكريعنشنأن ةنشنئكاعن
نيمن لناقن بلوبنطيمن لناقنفن لكجنرننلا عنجنون امن هكبكحكاصنلك امنهندنحنأن لناقنفن يننلنجيرك دننيعك رنخنآلياون يسكأيرن
ةقلنخينن عكليطن فنكجنون ةقطناشنمنون طقشيمن يفك لناقن ءقييشن ينكأن يفك لناقن مكصنعيأنليا ننبي دنيبكلن لناقن هنبننطن
سقانن يفك منلننسنون هكييلنعن هنلننلا ىلننصن هكلننلا لنوسنرن اهناتنأنفن نناونريذن ركئيبك يفك لناقن ونهن ننييأنون لناقن رقكنذن
سنوءنرن اهنلكخينن سنوءنرن نننأنكن ويأن ءكانننحكليا ةنعناقننن اهنءنامن نننأنكن ةنشنئكاعن اين لناقنفن ءناجنفن هكبكاحنصيأن نيمك
رنونكثنأن نيأن تنهيرككنفن هنلننلا ينكافناعن ديقن لناقن هنتنجيرنخيتنسيا النفنأن هكلننلا لنوسنرن اين تنليقن نكيطكاينشننلا .تي ننفكدنفن اهنبك رنمنأنفن ارنئشن هكيفك سكانننلا ىلنعن 16
Artinya:
“Rasûlullâh shallallahu 'alaihi wa sallam disihir oleh seseorang dari Banî Zuraiq, yang bernama Labîd bin al-A’sham, sehingga beliau merasa melakukan sesuatu yang tidak dilakukannya. Sampai pada suatu hari atau pada suatu malam ketika beliau berada disisiku, beliau terus berdo’a dan berdo’a. Kemudian beliau bersabda, “Wahai ‘Âisyah, apakah kamu tahu bahwa Allâh telah memperkenankan do’aku tentang apa yang aku tanyakan kepada-Nya? Ada dua orang yang mendatangiku, satu diantaranya duduk di dekat kepalaku dan yang satunya lagi berada di dekat kakiku. Lalu salah seorang diantara keduanya berkata kepada temannya, ”Sakit apa orang ini?” “Terkena sihir,” sahut temannya. “Siapa yang telah menyihirnya?” tanya temannya lagi. Temannya menjawab, “Labîd bin al-A’sham.” “Dengan apa?” Dia menjawab, “Dengan sisir dan rontokan rambut ketika disisir, dan mayang kurma jantan.” “Lalu dimana semuanya itu berada?” tanya temannya. Dia menjawab, “Disumur Dzarwân.” Kemudian Rasûlullâh
shallallahu 'alaihi wa sallam mendatangi sumur itu bersama beberapa orang sahabat beliau. Setelah kembali, beliau berkata, “Wahai ‘Âisyah, seakan-akan airnya berwarna merah seperti perasan daun pacar, dan ujung dahan pohon kurma (yang berada di dekatnya) seakan-akan seperti kepala syaitan.” Lalu ‘Âisyah bertanya, “Wahai Rasûlullâh, tidakkah engkau meminta dikeluarkan?” Beliau menjawab, “Allâh telah menyembuhkanku, sehingga aku tidak ingin memberi pengaruh buruk kepada umat manusia dalam hal itu.” Kemudian beliau memerintahkan untuk menimbunnya, maka semuanya pun ditimbun dengan segera."
Penutup
Tafsiran ayat tentang tersihirnya nabi adalah hakiki dan bukan majazi atau
bahkan bias dita’wilkan sebagaimana yang dilakukan oleh Muhammad Abduh, hal itu
supaya dalam diri Nabi Muhammad terdapat suri tauladan bagi umatnya, jika salah
seorang dari umatnya terkena sihir, maka sungguh orang yang lebih baik darinya pun
juga pernah terkena sihir, bersamaan dengan itu, Nabi Muhammad tidak meminta
pertolongan kepada tukang sihir, atau dukun, , akan tetapi hanya meminta pertolongan
kepada Allah Ta’ala.
Daftar Pustaka
Abbas Mahmud Al Aqqod, ‘Abqoriyyah Al Ishlah Wa Al Ta’lim Al Ustadz
Muhammad Abduh, Mishr Li Fajjalah, Tanpa Tahun.
Abduh, Muhammad, Tafsir Al Qur’an Al Karim Juz ‘Amma, Al Jam’iyyah Al
Hurriyyah, Cet. 3, Tahun. 1341.
Al Bukhori, Muhammad Bin Ismail. Shohih Al Bukhori. Kairo: Dar Ibnu Haitsam,
2004.
Al Qur’an Al Karim Dan Terjemahannya. Bandung: PT. Syamil Media Cipta,
2005.
Makalah H.Zainul Kamal. Ma, Pengaruh Pemikiran Islam Internasional
Terhadap Pemikiran Islam Di Indonesia, Mizan, Cetakan V,
1994.
Muhammad Abduh, Al-Islam Wa An-Nashraniah, darul haddatsah, Beirut, tahun
1902
Muhammad Abduh, Tafsir Al-Manar, Darul Al-Ma’rifah, Jilid I, Beirut.
Muslim, Shahîh Muslim, Kitab Ash-Shalâh, Bab At-Tasyahhud F As-Shalâh, Cet.ȋ
Dâr Al-Kutub Al-‘Ilmiyah.
Sa’id, Busthomi Muhammad, Mafhum Tajdid Al Din, Markaz Al Ta’shil Li Al
Dirosat Wa Al Buhuts, Cetakan Ke-2, Tahun 2012
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, Tarikh Al Ustadz Al Imam Muhammad Abduh,
Juz 1, Percetakan Al Mannar Mesir, Tahun 1931.
Thahir Al Thanahy, Mudzakkirot Al Ustadz Al Imam, Dar Al Hilal, Kairo, Tanpa