• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektivitas Pelatihan Bersyukur Untuk Meningkatkan Resiliensi Pada Penyintas Erupsi Gunung Sinabung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Efektivitas Pelatihan Bersyukur Untuk Meningkatkan Resiliensi Pada Penyintas Erupsi Gunung Sinabung"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Masalah

Menurut Asian Disaster Risk Reduction bencana adalah gangguan serius dari keberfungsian masyarakat yang menyebabkan kerugian manusia, materi atau kerugian lingkungan yang melampaui kemampuan masyarakat yang terkena dampak untuk mengatasinya dengan kemampuan yang dimiliki (Shaluf, 2007). Sedangkan menurut Badan Nasional Penanggulan Bencana pada tahun 2007, bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Menurut data dari situs BNPB selama 10 tahun terakhir tercatat jumlah bencana yang terjadi di Indonesia lebih dari 1000 kali dan juga lebih dari 5000 korban yang terkena dampak bencana.

(2)

penyintas juga akan kehilangan pekerjaan, kehilangan peran dalam masyarakat, kehilangan harapan akan masa depan ( Hackbarth, Pavkov, Wetchler & Flannery, 2012). Selain itu dampak bencana dapat berupa korban jiwa, harta benda, kerusakan infrastruktur, lingkungan sosial, dan gangguan

terhadap tata kehidupan serta penghidupan masyarakat yang telah mapan

sebelumnya. Kehilangan orang yang dicintai, rumah, harta benda, sawah, atau

ternak yang menjadi mata pencarian, dapat menyebabkan guncangan jiwa dan

trauma hebat (Hikmawati & Rusmiyati, 2012). Hal ini tentu saja akan berdampak pada kesehatan dan kesejahteraan bagi masyarakat.

Erupsi gunung api Sinabung di Tanah Karo Sumatera Utara sampai saat ini masih menjadi fokus pemerintah daerah Sumatera Utara. Sebelumnya pemerintah menetapkan Gunung Sinabung merupakan gunung tipe B yang sejarah letusannya tidak lagi tercatat sejak tahun 1800, namun sejak terjadi erupsi bulan Agustus tahun 2010 pemerintah menetapkan gunung Sinabung termasuk dalam gunung tipe A (Islahudin, 2013).

(3)

“Kaget lah kami pas malam disuruh ngungsi, kan waktu itu malam trus tiba-tiba jadi gak ada persiapan kami buat ngungsi” (komunikasi personal, Desember 2013)

“Rasanya takut...kedengaran suara gunungnya macam suara meledak gitu..terus atap rumah kami kayak disiram kerikil...sempat bolong juga itu atap rumah” (komunikasi personal, Desember 2013)

“Gak tau lah apa yang dibawa dari rumah, tapi waktu malam itu karena takut langsung ikut aja mobil yang bawa kami” (komunikasi personal, Desember 2013)

Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa masyarakat yang menjadi penyintas erupsi Sinabung yang tinggal di posko pengungsian, kondisi saat ini lebih parah dibandingkan dengan erupsi yang terjadi pada tahun 2010. Ketika erupsi tahun 2010 mereka hanya mengungsi selama 2 minggu, namun saat ini mereka telah lebih dari 6 bulan tinggal di posko pengungsian dan tidak tahu harus berapa lama mereka harus mengungsi.

Tinggal di posko pengungsian akan menimbulkan masalah bagi para penyintas baik masalah fisik maupun masalah psikologis. Beberapa masalah dapat disebabkan karena berbagai keterbatasan yang ada ketika hidup dalam posko pengungsian (Hikmawati & Rusmiyati, 2012).

(4)

ladang namun saat ini mereka merasa takut untuk melihat ladang karena kondisi gunung Sinabung yang tidak dapat diprediksi.

Masalah ekonomi sangat terasa setelah terjadi bencana. Kehilangan pendapatan menjadi dampak yang utama (Ursano, Fullerton dan Terhakopian, 2008). Menurut penuturan para penyintas kondisi ladang mereka ada yang akan memasuki masa panen, namun akibat abu vulkanik dari erupsi Sinabung yang merusak tanaman para penyintas tidak bisa mendapatkan hasil panen dari ladang. Hal ini berdampak pada pendapatan yang mereka peroleh. Selain itu para penyintas juga harus tetap mengeluarkan biaya untuk anak-anak mereka. Hal ini tentunya menjadi salah satu stressor ketika berada di posko pengungsian. Hal ini sesuai dengan penuturan beberapa orang penyintas berikut ini:

“...Gak tahu lagilah kami mau kayak mana...ladang pun udah rusak..padahal sebentar lagi bisa dipanen..jadi gak ada uang masuk kami sementara anak-anak juga butuh uang untuk keperluan hidup, kayak biaya kost... untuk yang ngerti bagus, tapi kalo masih kecil-kecil gini mana tau anak-anak itu kalo kita juga lagi gak ada uang,,mau anak-anak minta uang untuk beli jajan..jadi udah payah kali rasanya.” (komunikasi personal, Desember, 2013)

“Kerja aku cuma keladangnya, disitulah dapat uang,,tapi sekarang

cemana mau keladang juga takut kan,,” (komunikasi personal,

Januari 2013)

(5)

Selanjutnya peneliti mendapatkan informasi para penyintas mengatakan bahwa apa yang akan dilakukan mereka selanjutnya tergantung dari kondisi gunung Sinabung. Selain kehilangan mata pencaharian, mereka juga tidak memiliki aktivitas selama berada di pengungsian. Sebagian besar dari para penyintas biasanya berkumpul di kedai kopi sambil “ngobrol”. Hal ini sesuai dengan penuturan dari beberapa penyintas seperti berikut:

“Yaa mau kayak mana lagi...ya inilah duduk-duduk sambil minum kopi... main kartu... ada yang main catur..ya biar gak bosanlah..soalnya gak tau lagi mau ngapain kami, udah bosan kali disini” (komunikasi personal, Desember 2013)

“udah jenuh kali lah disini, gak ada kerjaan, lagian nanti kita kalo kerja tau-tau pindah pula keluarga, jadi serba salah rasanya..kita

gak tau kan mau macam mana (komunikasi personal, Januari

2014)

(6)

menurut penyintas kurang efektif karena mereka tidak memiliki aktivitas lain ketika acara tersebut telah selesai. Selain itu penyintas juga tidak memiliki inisiatif untuk melakukan kegiatan yang dapat dilakukan secara bersama seperti membersihkan posko pengungsian.

Masalah lain yang dialami penyintas saat berada di posko pengungsian adalah hilangnya privasi untuk dapat membangun hubungan yang intim dengan pasangan. Kondisi tempat tidur yang penuh sesak dan harus berbagi dengan orang lain membuat para penyintas kehilangan privasi. Hal ini juga menimbulkan sumber stressor bagi para penyintas.

Selain itu ketersediaan air bersih yang terbatas menjadi salah satu sumber masalah bagi para penyintas. Faktor kebersihan juga menjadi masalah bagi para penyintas saat berada di posko pengungsian.

Para penyintas merasa tidak nyaman dengan kondisi posko meskipun para penyintas mengakui untuk kebutuhan fisik seperti makan dan minum telah terpenuhi namun mereka merasa kurang mendapat pemenuhan psikologis yang dapat membantu mereka untuk bisa adaptif selama berada dalam posko pengungsian. Hal ini sesuai dengan penuturan dari para penyintas seperti :

“Kayak mana kubilang ya...gak nyaman kali rasanya..semua serba susah kurasa, airnya ini kurang..jadi jorok lah..kan kau liat

sendiri kayak mana joroknya” (komunikasi personal Desember

2013)

(7)

“gimana gak stress, orang-orang ini pun kayak gini..mau tidur pun gak nyaman karena rame kan 1 ruangan, terus uang juga gak ada, biasa kerja kita sekarang gak ada yang bisa dikerjakan, pasrah aja lah gak tau lagi kan mau kayak mana..kalo mau direlokasi ya terserah lah” ( komunikasi personal, Januari 2014)

Saat berada di pengungsian penyintas merasa cemas, khawatir, tidak nyaman dengan kondisi yang mereka alami dan mengalami gangguan tidur. Reaksi tersebut merupakan hal yang wajar saat berada dalam situasi bencana, namun apabila terus terjadi dan penyintas tidak mampu melakukan coping yang baik dalam situasi yang serba terbatas dalam posko pengungsian

maka akan menyebabkan gangguan pada penyintas. Menurut Hikmawati & Rusmiyati (2012) kondisi yang serba terbatas saat dipengungsian dapat

menambah rasa cemas para pengungsi.

Selain itu peneliti juga memperoleh data dari penyintas anak-anak yang mengatakan bahwa saat ini mereka sering menjadi pelampiasan amarah orang tua mereka. Hal ini sesuai dengan penuturan penyintas sebagai berikut : “sering kali pun marah orang tu...ntah apa sikit-sikit marah..”(komunikasi personal, Januari 2014)

“dulu waktu belum mengungsi ada juga marah-marah mamak

sama bapak, tapi gak sering kayak disini” (komunikasi personal,

Januari 2014)

(8)

berada di tempat pengungsian telah lama berhenti merokok, namun saat ini orang tuanya kembali merokok. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Saderer (2012) bahwa timbulnya perilaku merokok dapat terjadi karena adanya masalah emosional.

Seiring dengan aktivitas gunung Sinabung yang statusnya telah menurun menjadi siaga, pemerintah telah mengizinkan penyintas yang berasal dari 16 desa yang termasuk dalam zona aman untuk kembali ke tempat asalnya masing-masing. Bagi para penyintas yang desanya ditetapkan oleh pemerintah sebagai zona bahaya tidak diizinkan untuk kembali dan diharuskan untuk tetap berada di posko pengungsian (Mandailing, 2014).

Walaupun telah ada penyintas yang kembali ke tempat masing-masing, namun kondisi tempat tinggal yang rusak akibat erupsi gunung Sinabung akan menjadi stressor bagi mereka. Selain itu kerusakan harta benda dan ladang yang mereka miliki juga menambah beban bagi para penyintas. Para penyintas tidak bisa langsung berladang saat kembali ke desa disebabkan kondisi lahan yang belum cocok untuk di tanami. Selain itu penyintas harus mulai kembali dari awal lagi untuk mengolah lahan yang mereka miliki namun penyintas tidak memiliki modal usaha karena tidak memperoleh hasil panen yang telah rusak akibat erupsi.

(9)

kehidupan selama berada di tempat pengungsian. Apabila para penyintas tidak bisa melakukan adaptasi yang baik terhadap stressor yang terjadi maka akan menimbulkan gangguan dalam kehidupan mereka.

Didiet (2014) memaparkan bahwa dalam dua bulan terakhir, pengungsi terlihat mulai melamun, diam, terkadang sampai menangis dan putus asa. Bahkan, seorang pengungsi nekat bunuh diri akibat tak mampu menahan cobaan. Selain itu Hutagalung (2014) juga turut memaparkan bahwa beberapa warga mulai bertingkah aneh. Mereka terlihat termenung, berbicara sendiri dan mengalami depresi. Berdasarkan penelitian gangguan psikologis yang dapat muncul pasca bencana seperti kecemasan, depresi, post traumatic stress disorder (PTSD) bahkan bunuh diri dapat muncul pada para penyintas (

Pietrzak, Tracy, Galea, Kilpatrick, Ruggiero, Hamblen, Southwick, & Norris, 2012; Kyotuku, Umeyama, Harada, Kikuchi, Watanabe, Dougall, & Dan, 2011; Caldera, Palma, Penayo, & Kullgren, 2001).

(10)

bisa melaksanakan kegiatan seperti menjaga kebersihan posko, bergotong royong membersihkan sampah di sekitar lokasi.

Erupsi gunung Sinabung juga membuat para penyintas kurang optimis menghadapi masa depan. Kehilangan sumber ekonomi, rusaknya harta benda dan ketidakpastian waktu mengungsi berapa lama, membuat penyintas tidak mengetahui apa yang dapat mereka lakukan. Saat ini penyintas juga tidak memiliki tujuan dalam menjalani kegiatan sehari-hari di posko pengungsian. Bencana erupsi Sinabung membuat para penyintas merasa putus asa akan kehidupannya. Perasaan putus asa terjadi ketika individu menggambarkan bahwa mereka tidak memiliki kekuatan untuk mengontrol dan mengubah situasi yang ada (Seligman, 1990; Schultz and Schultz, 1993).

Berdasarkan wawancara yang peneliti lakukan terhadap relawan yang ikut membantu penanganan erupsi Sinabung diperoleh keterangan sebagai berikut :

“kalo pengungsi disini sudah nyerah kurasa, jadi gak mau orang ini ngapa-ngapain. Kayak kemaren lah contohnya ada tenda yang udah miring dan mau roboh, tapi gak ada kemauan orang ni untuk benerin, ato beresin lah.Cuma duduk-duduk sambil termenung aja orang ini. Kan itu bisa dikerjain sama-sama. Padahal itu juga tempat tinggal orang itu” (Komunikasi personal, Juni 2014)

(11)

dikemukakan oleh Hikmawati & Rusmiyati (2012) bahwa ketika berada di posko pengungsian, pengungsi kehilangan harga diri dan rasa percaya diri, sehingga terkesan pasrah, putus asa, tidak berdaya dalam menghadapi masa

depan, cenderung menyalahkan orang/pihak lain yang dianggap menambah

beban hidup mereka. Walaupun demikian di posko pengungsian ada beberapa individu yang mampu bangkit saat mereka berada dalam keadaan sulit dan tetap berjuang untuk memiliki kehidupan yang lebih baik. Kemampuan ini disebut dengan resiliensi.

Resiliensi mengacu pada adaptasi yang positif atau kemampuan untuk mengelola atau usaha untuk memperoleh kembali mental yang sehat walaupun mengalami kemalangan (Herrman, Stewart, Granadoz, Berger, Jackson, & Yuen, 2011). Hal ini juga terlihat pada beberapa penyintas erupsi Sinabung. Ada beberapa orang penyintas yang turut serta berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan di posko. Hal ini dilakukan secara suka rela dengan alasan agar penyintas tersebut tidak merasa bosan. Penyintas tersebut mengakui bahwa kalau tidak beraktivitas maka akan menimbulkan kesedihan karena teringat kondisi yang dialami. Untuk mengalihkan pikiran tersebut maka penyintas berusaha untuk mencari kegiatan seperti membantu kegiatan di posko pengungsian (observasi dan wawancara pada penyintas, Januari 2014).

(12)

memiliki karakteristik seperti memiliki emosi yang positif, memiliki kontrol atas dirinya, fleksibilitas dalam berfikir, altruisme, aktif dalam penyelesaian masalah, berani dan memiliki spiritual. Selain itu orang yang resilien dapat mengatasi tekanan dengan baik, ramah, menunjukkan minat yang lebih tinggi untuk berafiliasi pada orang lain, memiliki sikap optimis. Mereka menyelesaikan krisis secara cepat dengan komitmen dan self-efficacy yang tinggi dan memiliki pemahaman bahwa segala kesulitan dapat dipahami, dikelola, dan memiliki makna bagi kehidupan (Astuti 2005). Dengan demikian kemampuan untuk menjadi individu yang resilien dapat membantu dan memudahkan para penyintas agar dapat bertahan dan menyesuaikan diri secara positif selama berada dalam situasi yang tidak menyenangkan.

Resiliensi bukanlah suatu keadaan yang menetap namun merupakan sebuah proses yang dinamis. Resiliensi merupakan kemampuan yang universal yang ada pada individu atau komunitas untuk dapat merencanakan, merespon dan bangkit kembali dari pengalaman yang tidak menyenangkan (Holcomb, 2009). Resiliensi dapat ditingkatkan melalui berbagai cara. Salah satu hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan resiliensi adalah dengan memberikan latihan bersyukur (gratitude interventions) terhadap kehidupan (Emmon, 2013).

Bersyukur merupakan bagian dari pendekatan psikologi positif yang berupaya untuk melihat sisi positif sosok manusia. Pemrakarsa psikologi positif, Seligman melihat bahwa di tengah ketidakberdayaannya, manusia

(13)

dipandang sebagai makhluk yang bisa bangkit dari segala ketidakberdayaan

dan memaksimalkan potensi diri. Psikologi positif melihat manusia sebagai

sosok yang mampu menentukan cara memandang kehidupan. Psikologi

positif berpusat pada pemaknaanhidup, bagaimana manusia memaknai segala

hal yang terjadi dalam dirinya, dimana pemaknaan ini bersifat sangat

subyektif. Untuk itulah, pemaknaan hidup yang positif merupakan hal yang

sangat penting agar manusia, dengan berbagai latar belakangnya, dengan

berbagai subyektivitas yang dimilikinya, bisa meraih kebahagiaan (Arbiyah,

Imelda, & Oriza, 2008)

Sebagai masyarakat yang beragama, bersyukur merupakan bagian dalam kehidupan masyarakat Karo. Pada masyarakat tradisional suku Karo ada suatu kepercayaan untuk melakukan upacara tertentu sebagai bentuk syukur kepada debata atau Tuhan yang disebut dengan erpanger. Upacara ini bertujuan untuk mengungkapkan rasa syukur kepada debata yang telah memberikan rahmat tertentu seperti memperoleh keberuntungan, terhindar dari kecelakaan, sembuh dari penyakit dan lain-lain (Prinst, 2004). Selain itu ada juga tradisi pesta tahunan yang bertujuan untuk mensyukuri hasil panen yang telah diperoleh (Ginting, 2007). Dengan demikian terlihat bahwa masyarakat Karo memiliki nilai bersyukur terhadap apa yang telah diperoleh dalam kehidupan.

(14)

menikmati situasi dan pengalaman hidup, meningkatkan kepuasan dan kenyamanan dalam kehidupan dan melakukan penyesuaian. Penelitian yang dilakukan oleh Fredrickson dkk ( 2003) menyimpulkan bahwa dengan emosi positif seperti bersyukur, cinta dan simpati membantu individu menjadi resilient dan mengurangi depresi, menjadi lebih tenang, merasa optimis dan memiliki kepuasan dalam hidup. Selain itu bersyukur dapat membantu individu untuk mengatasi stres dan trauma dengan menginterpretasi ulang secara positif pengalaman yang negatif ( Kobau, Seligman, Peterson, Diener, Zack, Chapman, & Thompson, 2011). Dengan memberikan latihan bersyukur diperoleh bahwa individu menjadi lebih optimis dan lebih memiliki emosi yang positif. Selanjutnya individu yang bersyukur memperlihatkan emosi positif yang tinggi seperti menikmati hidup, optimis, antusias, love, happines. Selanjutnya individu yang bersyukur dapat mengatasi tekanan dalam kehidupan secara lebih efektif, menunjukkan peningkatan resiliensi dalam menghadapi stress akibat trauma, lebih cepat pulih dari penyakit, dan memiliki kesehatan yang lebih baik (Emmon, 2013).

(15)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “sejauh mana efektifitas latihan bersyukur dalam meningkatkan resiliensi pada penyintas erupsi gunung Sinabung?”

1.3 Tujuan penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat sejauh mana efektifitas pemberian pelatihan bersyukur dalam meningkatkan resiliensi pada penyintas erupsi gunung Sinabung.

1.4 Manfaat penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan teoritis dalam memperkaya dan mengembangkan khasanah teori psikologi khususnya Psikologi Klinis Dewasa mengenai intervensi yang dapat digunakan dalam meningkatkan resiliensi pada penyintas yang terkena dampak dari bencana. Selain itu penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada para penyintas mengenai upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan resiliensi.

1.5 Sistematika Penulisan

BAB I : Pendahuluan ; latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, sistematika penulisan.

BAB II : Tinjauan Pustaka ; teori yang digunakan dalam penelitian yaitu resiliensi dan latihan bersyukur

(16)

prosedur penelitian, tahap pelaksanaan, rancangan intervensi dan meotde analisis data

BAB IV : Pelaksanaan dan Hasil Penelitian ; pelaksanaan intervensi, hasil penelitian serta pembahasan penelitian efektifitas penerapan latihan bersyukur dalam meningkatkan resiliensi pada penyintas erupsi gunung Sinabung

BAB V : Kesimpulan dan Saran ; pada bab ini akan diuraikan tentang kesimpulan dan akan dibahas pula tentang bagaimana implikasi hasil penelitian terhadap pelayanan penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui aktivitas dan hasil belajar siswa setelah menggunakan penerapan metode jigsaw menggunakan media pembelajaran berbasis

dapat terjadi dalam rantai proses pengolahan makanan, mulai dari sumber bahan mentah.. hingga penyajian makanan dalam

City Health Department Salatiga has conducted the process of toddler nutrition status based on anthropometry standard corresponded to Ministry of Health Republic of

dapat terjadi dalam rantai proses pengolahan makanan, mulai dari sumber bahan mentah.. hingga penyajian makanan dalam

mendukung integrasi data status gizi dari Puskesmas dan DKK serta membantu pencatatan data penimbangan, pengolahan data penimbangan menjadi status gizi, dan pengelolaan

Selain itu menurut BKKBN (2007) faktor- faktor yang mempengaruhi rendahnya partisipasi laki-laki dalam KB, antara lain terbatasnya sosialisasi dan promosi KB

Tabel 4.36 Tanggapan Responden Terhadap Masyarakat membutuhkan Program Pembangunan Pariwisata yang baru di Desa Tomok Parsaoran. No Pertanyaan Jawaban Responde

aktivitas yang dimulai dengan mengunyah bolus yang telah dikeluarkan dari.. rumen ke mulut hingga aktivitas menelan beberapa bolus, serta