1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan suatu penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan nyamuk Aedes albopictus. Sampai saat ini yang paling berperan adalah nyamuk Aedes aegypti, karena hidupnya didalam dan sekitar rumah, sedangkan nyamuk Aedes albopictus hidupnya di kebun-kebun sehingga jarang kontak dengan manusia (Siregar, 2004).
Tahun 1968, empat belas tahun sesudah kejadian luar biasa pertama di Manila, demam berdarah dengue dilaporkan untuk pertama kalinya di Indonesia yaitu berupa kejadian luar biasa demam berdarah dengue di Surabaya sebanyak 58 kasus dengan 24 kematian. Setiap tahunnya terjadi peningkatan kasus di berbagai wilayah Indonesia. Kejadian luar biasa demam berdarah dengue terjadi di sebagian besar di perkotaan dan sebagian kecil pada pedesaan (Soegeng,2006). Di Indonesia sampai saat ini penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) masih
merupakan masalah kesehatan masyarakat. Pada tahun 2013, jumlah penderita
DBD yang dilaporkan sebanyak 112.511 kasus dengan jumlah kematian 871
orang. Terjadi peningkatan kasus pada tahun 2013 dibandingkan dengan tahun
2012 yang sebesar 90.245 kasus (Depkes RI, 2013).
Penyakit DBD telah menyebar luas ke seluruh wilayah Provinsi Sumatera
Utara sebagai KLB dengan angka kesakitan dan kematian yang relatif tinggi.
Serdang, Binjai, Langkat, Asahan, Tebing Tinggi, Pematang Siantar dan Kabupaten
Karo. Sejak tahun 2005 rata-rata insiden rate DBD per 100,000 penduduk di
Provinsi Sumatera Utara relatif tinggi. Pada tahun 2013, jumlah kasus DBD
tercatat 4.732 kasus dengan IR 35 per 100.000 penduduk. Jumlah ini mengalami
kenaikan bila dibandingkan dengan tahun 2012 dengan jumlah kasus 4,367 kasus
dengan IR sebesar 33 per 100.000 penduduk. Bila dibandingkan dengan angka
indikator keberhasilan program dalam menekan laju penyebaran DBD, yaitu
Insidens Rate DBD adalah sebesar 5 per 100,000 penduduk, angka Sumatera
Utara sangat jauh diatas indikator tersebut. Insidens rate DBD dengan insidens
rate yang sangat tinggi dalam 3 tahun terakhir umumnya dilaporkan oleh daerah
perkotaan yakni Kota Medan, Deli Serdang, Pematang Siantar, Langkat dan
Simalungun (Depkes Prov Sumut, 2013).
Demam berdarah di Indonesia sudah menjadi kejadian luar biasa setiap
musim penghujan tiba. Bahkan beberapa daerah di Indonesia telah menjadi
daerah endemik langganan demam berdarah (Suharmiati dan Lestari, 2007). DBD
ditandai dengan demam mendadak dua sampai tujuh hari tanpa penyebab yang
jelas, lemah atau lesu, gelisah, nyeri uluh hati, disertai dengan tanda-tanda
pendarahan di kulit berupa bintik pendarahan (petechiae), lebam (ecchymosis)
atau ruam (purpura). Kadang-kadang mimisan, feses berdarah, muntah darah,
kesadaran menurun atau renjatan/syok (Depkes RI, 2005). Vaksin untuk
mencegah demam berdarah dengue atau DBD sampai saat ini belum ditemukan,
membasmi vektor pembawa virus, yaitu nyamuk Aedes aegypti L. (Suharmiati
dan Lestari, 2007). Pengendalian nyamuk yang sering dilakukan yaitu dengan
melakukan penyemprotan (fogging) dengan menggunakan bahan kimiawi yang
menimbulkan efek negatif baik bagi lingkungan maupun manusia serta hewan
lain yang bukan termasuk target yang akan dibasmi.
Selama ini yang dilakukan oleh masyarakat untuk menghindari gigitan dari nyamuk adalah menggunakan lotion penolak nyamuk (repellent) yang beredar dipasaran, yang diketahui mengandung N,N-dietil-metoluamida (DEET) yang dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan oleh penggunanya. DEET mengandung hidrokarbon terhalogenasi yang mempunyai waktu paruh terurai relatif panjang dan dikhawatirkan dapat bersifat racun (Flint and Robert Van den Bosch, 1995 dalam Mustanir dan Rosnani, 2008. 175). Penggunaan DEET pada kulit sering menimbulkan adalah iritasi kulit, termasuk eritema (kemerahan pada kulit) dan pruritis (gatal), sedangkan penggunaan DEET dengan konsentrasi yang tinggi dan setiap hari dapat menyebabkan efek yang lebih parah seperti insomnia, kram otot, gangguan pada suasana hati (mood disturbances) dan terbentuk ruam (BPOM, 2009:6). Cara kerja dari penolak nyamuk ini sendiri berawal dari bahan-bahan yang terkandung dalam penolak nyamuk mengeluarkan bau yang tidak disukai oleh nyamuk, sehingga nyamuk tersebut tidak mendekat dan menggigit.
glikosida yang berperan aktif sebagai antioksidan, antilarvasida maupun penolak nyamuk. Flavonoid merupakan senyawa pertahanan tumbuhan yang memiliki sifat menghambat makan serangga dan juga bersifat toksis (Dinata, 2009). Hasil penelitian Adityo dkk. (2013:163) menjelaskan bahwa batang kecombrang memiliki aktivitas larvasida terhadap larva instar III Aedes aegypti.
Penelitian sebelumnya menggunakan tumbuhan sebagai repellent telah dilakukan oleh Darwis (2009). Dari hasil diketahui bahwa ekstrak daun rosemary (Rosmarinus officianalis) efektif digunakan sebagai repellent terhadap nyamuk Aedes aegypti sebesar 5%. Penelitian lain tentang repellent juga dilakukan oleh Sianipar (2010), dari hasil penelitian diketahui bahwa ekstrak daun zodia (Evodia suaveolens) dengan konsentrasi 3% mampu bertahan selama 1 jam pertama.
Hasil penelitian yang dilakukan Jaffar et al. (2007:1) menunjukkan adanya kandungan minyak atsiri dalam beberapa bagian tanaman kecombrang dengan kadar berbeda, yaitu pada daun sebesar 0,0735%, bunga sebesar 0,0334%, batang sebesar 0,0029% dan rimpang sebesar 0,0021%. Minyak atsiri diketahui memiliki aktivitas repellent. Sebagai perbandingan, seperti pada penelitian Choi dkk dalam Djatmiko dkk. (2011) minyak atsiri Thymus vulgaris (thyme) terbukti memiliki aktivitas repellent.
Alternatif ini dapat dijadikan pilihan karena belum ada produk sabun yang dijual di pasaran yang digunakan sebagai sabun mandi penolak nyamuk Aedes aegypty. 1.2 Rumusan Masalah
Sebagian besar repellent untuk nyamuk Aedes aegypty yang beredar di Indonesia merupakan bahan kimia sintetis beracun yang dikemas dalam bentuk lotion yang dapat menimbulkan kemerahan pada kulit dan iritasi. Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian repellent yang berasal dari bahan alami dan dikemas dalam bentuk sabun yang tidak menimbulkan efek samping terhadap kesehatan. Daun kecombrang diduga dapat dijadikan salah satu alternatif repellent nabati karena mengandung minyak atsiri, alkaloid, saponin, tanin, fenolik, flavonoid, triterpenoid, dan steroid.
1.3 Hipotesis Penelitian
Ha: Adanya perbedaan jumlah nyamuk Aedes aegypti yang tidak hinggap
pada subjek penelitian disetiap peningkatan konsentrasi 5%, 7,5%, dan 10%
sabun ekstrak daun kecombrang (Etlingera elatior).
Ho: Tidak adanya perbedaan jumlah nyamuk Aedes aegypti yang tidak
hinggap pada subjek penelitian disetiap peningkatan konsentrasi 5%, 7,5%, dan
10% sabun ekstrak daun kecombrang (Etlingera elatior).
1.4 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pengaruh sabun yang berisi ekstrak daun kecombrang (Etlingera elatior) sebagai penolak nyamuk (repellent) Aedes aegpty. 2. Untuk mengetahui perbedaan setiap konsentrasi ekstrak daun kecombrang
nyamuk yang tidak hinggap pada subjek penelitian yaitu kelinci (Oryctolagus cuniculus).
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah 1. Bagi Ilmu Pengetahuan
Memberikan informasi mengenai pengaruh sabun ekstrak minyak atsiri dari daun kecombrang (Etlingera elatior) sebagai penolak nyamuk (repellent) Aedes aegypty dan sebagai informasi kepada peneliti lain mengenai ekstrakdaun kecombrang (Etlingera elatior). 2. Bagi Masyarakat
Memberikan informasi mengenai pengendalian vektor nyamuk Aedes aegypty dapat menggunakan sabun ekrak minyak atsiri dari daun kecombrang (Etlingera elatior).
3. Bagi Peneliti