• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. adalah lingkungan pertama yang dimiliki seorang anak untuk mendapatkan pengasuhan,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. adalah lingkungan pertama yang dimiliki seorang anak untuk mendapatkan pengasuhan,"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kehidupan seorang anak dimulai ditengah lingkungan keluarga, lingkungan keluarga adalah lingkungan pertama yang dimiliki seorang anak untuk mendapatkan pengasuhan, pelajaran, dan pendidikan. Dengan meningkatnya usia dan kematangan anak, lingkungan mereka makin luas dan anak diharapkan makin mampu menyesuaikan diri dengan baik (Munandar, 2001: 2).

Bagi anak-anak, pendengaran dan kemampuan berbahasa adalah alat yang sangat penting untuk belajar, bermain dan membangun kemampuan sosial. Dimana anak belajar untuk berkomunikasi dengan meniru suara yang mereka dengar. Akan tetapi jika mereka mengalami gangguan pada organ pendengarannya yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk mendengar, maka dipastikan akan menghambat perkembangan anak, sehingga keadaan tersebut mempengaruhi pada perkembangan intelijensi, bicara, emosi dan sosial si anak maupun pada kepribadiannya.

Secara fisik anak tuna rungu tidak berbeda dengan anak dengar (normal) pada umumnya, sebab orang akan mengetahui bahwa anak yang menyandang ketunarunguan pada saat berbicara. Mereka berbicara tanpa suara atau dengan suara yang kurang atau tidak jelas artikulasinya, atau bahkan tidak berbicara sama sekali melainkan hanya berisyarat. Dari ketidakmampuan anak tuna rungu dalam berbicara, muncul pendapat umum yang berkembang, bahwa anak tuna rungu ialah

(2)

anak yang hanya tidak mampu mendengar sehingga tidak dapat berkomunikasi secara lisan dengan orang dengar. Karena pendapat itulah ketunarunguan dianggap ketunaan yang paling ringan dan kurang mengundang simpati, dibanding dengan ketunaan yang berat dan dapat mengakibatkan keterasingan dalam kehidupan sehari-hari (Sutjihati Soemantri, 2006 : 20).

Masyarakat seakan-akan banyak yang tidak peduli dan bersifat acuh pada diri orang yang memiliki kekurangan pada dalam dirinya. Sikap tidak peduli dan acuh tersebut sebenarnya lambat laun merugikan orang yang berbuat tersebut. Karena pada kondisi tersebut mudah sekali terjadinya penyimpangan kondisi sosial pada lingkungan yang cenderung acuh dan individualistis tersebut. Hal itu pun sebenarnya telah mengganggu keadaan sosial masyarakat di sekeliling tempat beradanya orang yang memiliki gangguan tersebut.

Anak dengan kecacatan rungu wicara merupakan realitas sosial yang tidak terelakkan keberadaannya. Mereka membutuhkan perhatian dan dukungan baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Secara umum keberadaan anak dengan kecacatan rungu wicara terkadang dianggap beban yang keadaannya disembunyikan atau diisolasi dari kehidupan masyarakat. Kecacatan pada anak merupakan kondisi yang tidak diinginkan oleh siapapun. (http://actiononhearingloss.org.ukdiakses pada tanggal18 Mei 2013 pukul 21.01 wib)

Anak berkebutuhan khusus termasuk penyandang cacat merupakan salah satu sumber daya manusia bangsa Indonesia yang kualitasnya harus ditingkatkan agar dapat berperan, tidak hanya sebagai obyek pembangunan tetapi juga sebagai subyek pembangunan. Anak berkebutuhan khusus perlu dikenali dan diidentifikasi dari kelompok anak pada umumnya, karena mereka memerlukan pelayanan yang ntentunya bersifat khusus, seperti pelayanan medik, pendidikan khusus maupun latihan-latihan tertentu yang bertujuan untuk mengurangi

(3)

keterbatasan dan ketergantungan akibat kelainan yang diderita, serta menumbuhkan kemandirian hidup dalam bermasyarakat.

Masalah kecacatan pada anak merupakan masalah yang cukup kompleks baik secara kuantitas maupun kualitas, mengingat berbagai jenis kecacatan mempunyai permasalahan tersendiri. Jika masalah anak tuna rungu wicara ini ditangani secara dini dengan baik dan keterampilan mereka ditingkatkan sesuai minat, maka beban keluarga, masyarakat dan negara dapat dikurangi. Sebaliknya jika tidak diatasi secara benar , maka dampaknya akan memperberat beban keluarga dan negara. (http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2137017-faktor-penyebab-tunarungu/ diakses pada tanggal 19 Mei 2013 pukul 20.55 wib)

Menurut data WHO (World Health Organization) di tahun 2011, 360 juta orang lahir dengan cacat dengar dan ketulian atau sekitar 5,3% dari total penduduk dunia. Sedangkan menurut data yang dikeluarkan oleh Kementrian Sosial RI per Desember 2010, jumlah penyandang cacat di Indonesia yakni sebesar 11.580.117 orang, dimana penyandang cacat tuna rungu wicara sebesar 2.547.626 orang atau sekitar 25% dari dari total keseluruhan. (http://eprints.undip.ac.id diakses pada tanggal 19 Mei 2013 pukul 21.05 wib)

Tidak ada data yang akurat tentang populasi anak dengan kecacatan rungu wicara di Indonesia. Namun, sebagai gambaran terdapat 295.795 anak dengan kecacatan adalah Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Sementara Departemen Pendidikan Nasional menyatakan baru sekitar 48.000 anak dengan kecacatan dari 1,3 juta anak penyandang cacat usia sekolah yang menikmati pendidikan. Sisanya lebih banyak tinggal dirumah. Dengan demikian anak dengan kecacatan termasuk anak dengan kecacatan rungu wicara masih mendapat perlakuan diskriminatif.

(4)

Kondisi di atas dalam sudut pandang perkembangan anak dipandang kurang menguntungkan terutama pada pemenuhan hak-hak anak secara umumnya. Berbagai keterbatasan yang ada pada keluarga yang memiliki anak dengan kecacatan rungu wicara menyebabkan terkendalanya keluarga dalam memberikan pelayanan dalam penanganan anak tersebut. Demikian juga para petugas dan penyelenggara pelayanan anak dengan kecacatan rungu wicara, sering kali juga terkendala oleh keterbatasan kemampuan serta keterampilan yang menyebabkan tidak optimalnya pelayanan dan rehabilitasi sosial anak dengan kecacatan rungu wicara (DepsosRI, 2008).

Permasalahan sosial yang ada di daerah-daerah lain dan yang ada di Sumatera Utara tidak terlepas dari permasalahan kesejahteraan sosial. Permasalahan sosial yang terjadi saat ini adalah sebagian dari permasalahan kesenjangan sosial yang perlu penanganan khusus untuk mengatasi dan menanggulanginya agar tidak semakin meluas dan menyebar, seandainya tidak segera dilakukan langkah-langkah strategis seperti dalam melakukan penanganan melalui ilmu kesejahteraan sosial, maka dihawatirkan akan menyebabkan dampak sosial yang lebih besar di masyarakat seperti kenakalan remaja, anak-anak terlantar, anak-anak jalanan, penyandang cacat dan pengemis. (Harian Sumut Pos, 23 April 2013 : 22)

Dengan semakin banyaknya permasalahan yang ada di Sumatera Utara pada khususnya dan yang ada di masyarakat pada umumnya, maka ilmu kesejahteraan sosial semakin diperlukan sebagai salah satu ilmu yang akan menjawab semua tantangan dan permasalahan sosial yang saat ini mendera masyarakat. Antara Ilmu Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial saling terkait sebagai suatu elemen yang tidak dapat dipisahkan, mengenai kesejahteraan sosial.

Midgley melihat kesejahteraan sosial sebagai suatu keadaan atau kondisi kehidupan manusia yang tercipta ketika berbagai permasalahan sosial dapat dikelola dengan baik, ketika

(5)

kebutuhan manusia dapat terpenuhi dan ketika kesempatan sosial dapat dimaksimalkan (Midgley, dalam Adi, 2005 : 16)

Pekerja sosial merupakan aktivitas profesional untuk menolong individu, kelompok dan masyarakat dalam meningkatkan atau memperbaiki kapasitas mereka agar berfungsi sosial dan menciptakan kondisi-kondisi masyarakat yang kondusif untuk mencapai tujuan tersebut. Sejak kelahirannya sekian abad lalu, pekerja sosial (social worker) telah terlibat dalam penanggulangan kemiskinan. Dalam hal ini, pekerja sosial seharusnya lebih menfokuskan pada pembangunan sosial yaitu penanganan masalah-masalah sosial yang bersifat mikro. Namun demikian, dalam program anti kemiskinan terkait pemberdayaan para penyandang cacat, pekerja sosial masih belum mampu menunjukkan strategi dan indikator keberhasilan yang accountable sesuai dengan orientasi dan konsepsi pekerja sosial (Edi Suharto, 2007 : 2)

Salah satu penyebab dari kondisi ini adalah para teoritisi dan praktisi pekerja sosial belum mampu mensinergikan kemampuan profesionalnya dalam mengembangkan program-program pembangunan kesejahteraan sosial yang khas, genuine, dan sejalan dengan konsepsi keberfungsian sosial. Konsep keberfungsian sosial masih belum dikembangkan lebih jauh untuk menganalisis masalah kemiskinan terkait penyandang cacat. Konsepsi yang berkembang selama ini cenderung masih bermatra individual berdasarkan pendekatan casework yang masih sangat west-oriented. Namun, terdapat kecenderungan dimana para pekerja sosial lebih confident jika memakai konsep-konsep milik profesi lain.

Secara umum, istilah kesejahteraan sosial sering diartikan sebagai kondisi sejahtera (konsepsi pertama), yaitu suatu keadaan terpenuhinya segala bentuk kebutuhan hidup, khususnya yang bersifat mendasar seperti makanan, pakaian, perumahan, pendidikan, dan perawatan kesehatan. Hal-hal seperti itulah yang dilakukan oleh sebagian pekerja sosial yang ada di

(6)

lembaga-lembaga sosial, membantu dan memberikan pelayanan dan bimbingan sesuai dengan amanat yang harus dilaksanakan sebagai penopang keberlangsungan terwujudnya kesejahteraan sosial, sebagaimana disebutkan didalam UUD 1945 pasal 34 tentang kepedulian Negara terhadap kelompok lemah (fakir miskin dan anak terlantar) serta jaminan sosial.

Peran pekerja sosial dalam kaitannya dengan masalah tersebut, yang tercantum dalam UUD 1945 pasal 34 sangatlah urgen dalam kaitannya dengan tercapainya kesejahteraan sosial. Pekerjaan sosial dalam lembaga-lembaga sosial memiliki peran dalam memberikan bimbingan, baik bimbingan yang bersifat perseorangan (casework), kelompok (groupwork) maupun dalam cakupan yang lebih luas seperti pengorganisasian masyarakat (community organization). Selain itu, pola strategi dalam menentukan kebijakan yang tepat dan sesuai dengan apa yang dibutuhkan atau dengan kata lain dampak dari kebijakan itu bagi para anak penyandang cacat juga harus lebih diupayakan agar tumbuh kembang anak terjamin dan dapat diterima ditengah-tengah masyarakat (Edi Suharto, 2007 : 27).

Bimbingan pekerja sosial terhadap anak penyandang cacat tuna rungu wicara adalah bagian dari bimbingan perseorangan (casework) dan kelompok (groupwork) karena pekerja sosial atau social worker dihadapkan pada individu dan kelompok dalam sebuah panti sosial atau lembaga sosial yang khusus menampung anak-anak sampai usia remaja. Dimana pelayanan dan rehabilitasi sosial merupakan upaya yang tidak dapat terpisahkan dengan sistem pelayanan secara umum. Pelayanan dan rehabilitasi sosial anak cacat rungu wicara merupakan rangkaian kegiatan pembinaan dan pelayanan kesejahteraan sosial dalam rangka menjamin tumbuh kembang anak, sehingga mampu melaksanakan fungsi sosial secara wajar disegala aspek kehidupan di dalam keluarga maupun masyarakat. Hal ini perlu didukung oleh lingkungan

(7)

khususnya wadah pelayanan dan rehabilitasi sosial yakni panti sosial seperti di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematang Siantar.

Menampung untuk memberikan bimbingan psikologis, edukatif dan kreativitas kepada anak-anak yang ditampung di panti sosial adalah bagian dari kewajiban dan tugas dari Panti Sosial UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematang Siantar, maka sebagai lembaga sosial yang menangani masalah-masalah sosial, diharapkan bisa mengurangi masalah sosial yang terjadi pada anak cacat rungu wicara dan dapat membangun sumber daya manusia yang lebih baik.

Panti sosial ini termasuk rencana penelitian yang akan diteliti karena Panti Sosial UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematang Siantar tersebut mempunyai tugas memberikan pembinaan kesejahteraan sosial kepada 24 anak yang meliputi pembinaan fisik, mental, sosial, bakat dan kemampuan serta keterampilan bagi penyandang cacat tuna rungu wicara agar dapat tumbuh dan berkembang serta wajar.

Dilihat dari tugas, fungsi dan kewajiban seorang pekerja sosial (social worker) secara khusus dan panti sosial secara umum diranah pelayanan sosial, peneliti tertarik untuk meneliti Panti Sosial UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematang Siantar ini untuk diangkat sebagai sebuah karya ilmiah dengan judul “Strategi Pekerja Sosial dalam Pelayanan Anak Tuna Rungu Wicara (Studi Kasus di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lanjut Usia Pematang Siantar)”.

(8)

1.2 Perumusan Masalah

Perumusan masalah merupakan langkah yang penting, karena langkah ini akan menentukan kemana suatu penelitian itu diarahkan. Berdasarkan latar belakang masalah penelitian yang telah diuraikan sebelumnya, maka masalah penelitian ini dirumuskan sebagai berikut : “Bagaimana strategi yang dilakukan pekerja sosial terhadap pelayanan anak tuna rungu wicara di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lanjut Usia Pematang Siantar?”

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mendiskripsikan mengenai strategi pekerja sosial dalam pelayanan anak tuna rungu wicara di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lanjut Usia Pematang Siantar dan mengetahui apakah strategi yang dilakukan pekerja sosial itu berjalan dengan baik.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharap dapat digunakan dalam rangka :

1. Secara teoritis, penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan sumbangsih pemikiran tentang memahami pekerja sosial dalam panti sosial.

2. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi dan sebagai bahan kajian dan perbandingan para mahasiswa yang tertarik terhadap masalah terkait pekerja sosial.

(9)

3. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi gambaran pekerja sosial dalam menjalankan strateginya bagi peningkatan pelayanan terhadap anak tuna rungu wicara.

1.4 Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan memahami dan mengetahui isi yang terkandung dalam skripsi ini, maka diperlukan sistematika. Sistematika penulisan ini secara garis besarnya dikelompokkan dalam enam bab, dengan urutan sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Berisikan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Berisikan uraian dan konsep yang berkaitan dengan masalah objek yang diteliti, kerangka pemikiran, defenisi konsep dan defenisi operasional.

BAB III : METODE PENELITIAN

Berisikan tentang tipe penelitian, lokasi penelitian, populasi penelitian, teknik pengumpulan data serta teknik analisis data.

BAB IV : GAMBARAN LOKASI PENELITIAN

Berisikan tentang sejarah singkat serta gambaran umum lokasi penelitian dan data-data lain yang berhubungan dengan objek yang akan diteliti.

BAB V : ANALISIS DATA

Berisikan uraian data yang diperoleh dari hasil penelitian beserta dengan analisisnya.

(10)

BAB VI : PENUTUP

Berisikan tentang pokok-pokok kesimpulan dan saran-saran yang perlu disampaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dengan hasil penelitian.

Referensi

Dokumen terkait

Kesulitan belajar yang dialami siswa, diidentifikasi melalui faktor- faktor yang mempengaruhi proses dan hasil belajar. Ada dua faktor yang mempengaruhinya, yaitu: faktor

Dalam menerapkan bimbingan bagi anak tuna wicara di Panti Sosial Bina Serumpun terjadi faktor penghambat dari interaksi anak kelainan bicara yang meliputi dari

PERAN PEKERJA SOSIAL DALAM PERLINDUNGAN DAN PEMENUHAN HAK ANAK TERLANTAR DI YAYASAN SAYAP IBU (YSI) CABANG D I YOGYAKARTA PANTI 1 PENGASUHAN ANAK TERLANTAR SKRIPSI Diajukan kepada

Peran sekolah pada akhirnya bukan hanya sebagai ins- titusi yang mengajarkan pengetahuan dan keterampilan teknis, melainkan juga sebuah ruang kecil dalam komu- nitas yang

[r]

Pelaksanaan kegiatan meliputi dialog interaktif dilakukan kepada masyarakat (kader, pedagang perempuan yang ada di Pasar Sindhu Sanur Kota Denpasar beserta pasangan dan

Fungsi-fungsi bahasa dalam pendidikan dapat dibagi atas empat subfungsi: (1) fungsi integratif, memberikan penekanan pada penggunaan bahasa sebagai alat yang membuat anak didik

Salah satu cara yang dilakukan agar anak yatim tetap dalam pengasuhan adalah dengan menampung anak- anak tersebut ke dalam suatu wadah, yaitu panti asuhan guna